• Tidak ada hasil yang ditemukan

BEBERAPA CATATAN TENTANG DAUR HlDUP BINTANG LAUT PEMAKAN KARANG. Oleh. Aznam Aziz 1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BEBERAPA CATATAN TENTANG DAUR HlDUP BINTANG LAUT PEMAKAN KARANG. Oleh. Aznam Aziz 1)"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Oseana, Volume XXIII, Nomor 2, 1998 : 11 - 17 ISSN 0216- 1877

BEBERAPA CATATAN TENTANG DAUR HlDUP BINTANG LAUT PEMAKAN KARANG

Oleh Aznam Aziz 1)

ABSTRACT

SOME NOTES ON LIFE CYCLE OF CORALLNORE STARFISH. The adult specimen of the Crown-of-thorns tarrfish Acanthaster planci is considered as a carnivore on corals (corallivore) and it rarely feeds on other animals. But the juvenile stage feeds on coralline and epiphytic algae, and the larval stage grazes on unicellular algae. The animals are dioecious and thier fertilization take place ex-ternally. This paper will discuss about reproduction, growth, and juvenile stage.

PENDAHULUAN

Bintang laut pemakan karang me-rupakan salah satu kreasi alam yang menarik di ekosistem terumbu karang. Ukurannya yang relatif besar dengan jumlah tangan yang bevariasi antara 15 sampai dengan 20 buah, dan dengan warna tubuh yang mencolok abu-abu kemerahan atau violet tua kebiruan membuat biota ini cukup menarik perhatian para penyelam. Biota ini bisa hidup tersebar menyendiri atau dalam kondisi tertentu bisa hidup dalam kelompok besar (Agregasi).

Sekitar 9 sampai 10 jenis bintang laut dilaporkan menggunakan polip karang hidup sebagai pakan alternatifnya. Tetapi yang pal-ing menonjol dan atraktif adalah bintang laut jenis Acnnthnsrer planci. Seekor individu bintang laut dewasa dapat mengkonsumsi sekitar 5 m2 sampai dengan 6 m2 tutupan karang hidup dalam setahun. Suatu ledakan

populasi bintang laut ini dengan tingkat kepadatan puluhan ribu individu sampai dengan jutaan individu mampu melahap 0,5 km2 sampai dengan 6 km2 karang hidup dalam setahun (BIRKELAND 1987). Daya rusak yang hebat dari bintang laut pemakan karang ini mendapat perhatian yang cukup serius dari para pakar luar negeri. Ledakan populasi yang hebat dapat merusak puluhan kilometer terumbu karang. Hal ini telah dilaporkan dari beberapa tempat di kawasan Pasifik Barat, seprrti di Guam, Kepulauan RyuKyu Jepang selatan, dan Karang Penghalang Besar di Australia.

Kerusakan termbu karang akibat bintang laut ini bisa merubah keseimbangan ekologi di suatu tempat. Karang mati akibat tingkah makan biota ini akan patah menjadi pecahan karang, kemudian akan ditumbuhi oleh algae benang (coraline algae) dan algae merambat (encrusting algae), yang selanjutnya akan ditumbuhi oleh algae merah dan algae

1)

(2)

coklat. Disamping itu juga terlihat adanya peningkatan populasi koloni spons dan karang lunak. Dengan meningkatnya populasi algae berarti meningkat pula cadangan makanan bagi hewan herbivora. Pada tempat tertentu di Micronesia ikan herbivora bisa meningkat sampai dengan 44% (BIRKELAND 1987).

Tidak sedikit kerugian yang ditim-bulkan oleh bintang laut pemakan karang ini. Pemerintah Jepang telah menghabiskan dana sebesar 2,4 juta US dollar untuk menekan dan mengendalikan populasi bintang laut ini, dan dilaporkan telah berhasil membunuh sekitar 13 juta individu bintang laut jenis Acanthas planci. Jumlah dana yang sama juga telah dihabiskan oleh pemerintah Australia untuk mengendalikan dan mempelajari seluk beluk populasi Acanthaster planci ini di perairan Karang Penghalang Besu. Berbagai teori telah diajukan untuk menafsirkan terjadinya ledakan populasi bintang laut ini. Salah satunya adalah akibat terjadinya ledakan populasi fitoplankton akibat dari pengkayaan zat hara sehabis musim penghujan (BIRKELAND 1987).

Dari berbagai hasil penelitian mengenai ekosistem terumbu karang di Indonesia, terlihat adanya laporan tentang peningkatan populasi bintang laut pemakan karang di beberapa tempat, seperti di Pulau Weh (Aceh Utara), bagian utara Pulau-pulau Seribu, dan di perairan sekitar Bali. Salah satu tindakan penyelamatan terumbu karang dari tingkah laku bintang laut ini, adalah dengan mengumpulkan secara langsung, mengang-katnya dari dalam air laut dan kemudian menguburkannya di darat.

Ikhtisar yang relatif lengkap mengenai biologi dan ekologi bintang laut ini telah dilaporkan oleh MORAN (1986). dan tulisan secara populer di Indonesia telah pula dilaporkan oleh AZlZ (1977, 1995) dan SUHARSONO (1991). Dalam tulisan kali ini

penulis lebih menekankan kepada aspek reproduksi, kehidupan larva, dan juvenil dari bintang laut ini. Semoga tulisan yang singkat ini bermanfaat untuk kita semua.

REPRODUKSI

Bintang laut jenis Aranthaster planci mempunyai kelamin terpisah antara jantan dan betina. Bintang laut dewasa dapat mencapai diameter sekitar 60 cm dan diperkirakan mencapai umur sekitar 5 tahun atau lebih (CONAND 1985). Rasio kelamin jantan dan betina dari suatu populasi normal mendekati rasio 1 : 1. Bintang laut ini mencapai matang kelamin pertama pada usia sekitar 1,5 sampai dengan 2 tahun dengan diameter tubuh sekitar 20 cm (PEARSON & ENDEAN 1969, ENDEAN 1973, YAMAGUCHI 1974, ZANN et al. 1987). Bintang laut dewasa menempati ekosistem terumbu karang, terutama tersebar pada bagian lereng terumbu luar (outer reef slope) pada kedalaman 2 m sampai dengan 6 m (PEARSON & ENDEAN 1969, CONAND 1984).

Suhu air laut sangat mempengaruhi pemijahan bintang laut i n i . Suhu optimal berkisar antara 25°C sampai dengan 30°C. Pada belahan utara wilayah Pasifik (Jepang selatan) musim memijah terjadi pada bulan Juni sampai Juli (YAMAZATO & KIYAN 1973, YAMAGUCHl & OGURO 1987, OKAJI 1991). Sedangkan di belahan selatan wilayah Pasifik (Fiji, Kaledonia Baru, dan Karang Penghalang Besar) pemijahan bintang laut ini terjadi antara bulan November sampai Februari (PEARSON & ENDEAN 1969, LUCAS 1973. CONAND 1985). Di beberapa tempat seperti Guam (Micronesia), saat memijah jatuh pada bulan September sampai Oktober (CHENEY 1974). Dan di Hawaii musim memijah jatuh pada bulan April sampai Mei (BRANHAM dalam MORAN 1986).

(3)

Satu-satunya informasi dari perairan Indonesia, dilaporkan oleh MORTENSEN (1931). Di Pulau Onrus, Teluk Jakarta, musim memijah bintang laut finis Acanthaster planci terjadi dalam bulan April. Sebagaimana invertebrata laut lainnya yang menempati daerah perairan tropis, Acanthaster planci diduga mempunyai kemampuan untuk memijah sepanjang tahun. Hal ini mengingat selalu didapatkan induk dewasa dengan kondisi matang gonad, walaupun dalam persentase relatif kecil (YAMAZATO & KIYAN 1973, CHENEY 1974).

CONAND (1985) melaporkan bahwa untuk daerah Kaledonia Baru pada umumnya aktifitas perkembangan gonad terhenti (fase istirahat) antara bulan April sampai Juli. Perkembangan gonad dimulai pada akhir Juli sampai mencapai tingkat matang gonad pada bulan Oktober. Fase pemijahan berlangsung antara bulan November sampai Februari. Fase perkembangan gonad ini juga berlaku untuk perairan sekitar Karang Penghalang Besar, Australia (LUCAS 1973). Sedangkan untuk perairan Jepang selatan fase istirahat gonad terjadi antara bulan Agustus sampai Desember/ Januari. Fase perkembangan gonad terjadi antara bulan Februari sampai Juni. Dan fase memijah terjadi antara bulan Juni sampai Juli (YAMAZATO & KIYAN 1973).

Seekor bintang laut betina yang hidup di perairan Karang Penghalang Besar bisa menghasilkan 12 sampai 24 juta telur (PEARSON & ENDEAN 1969), dan bintang laut yang menempati perairan sekitar Kaledonia baru menghasilkan telur sekitar 60 juta (CONAND 1985). Ukuran telur (ovum) berkisar sekitar 0,19 mm sampai dengan 0,26 mm (HAYASHI et al 1973, YAMAZATO & KIYAN 1973, YAMAGUCHI 1973, CONAND 1985). MORTENSEN (1931) melaporkan ukuran telur Acanthaster planci yang hidup di sekitar Pulau Onrus, Teluk

Jakarta berkisar sekitar 0,1 mm. Adanya perbedaan jumlah telur ukuran telur ini diduga merupakan variasi letak (zoogeografi) dari jenis yang sama.

FASE LARVA

Inseminasi terjadi secara eksternal di air laut, setelah selang waktu 90 menit akan terjadi pembelahan sel yang pertama. Stadiun 64 sel akan dicapai dalam waktu 5 sampai 6 jam setelah inseminasi. Selanjutnya embryo akan mencapai stadium morulae. Stadium blastulae dicapai kira-kira 8 sampai 9 jam setelah inseminasi, dan sekitar 16 sampai 17 jam setelah inseminasi embryo berada pada posisi gastrulae (HAYASHI et al 1973). Fase larva bergerak aktif dicapai pada saat embryo dalam tingkatan gastrulae awal, pada saat itu larva Acanthaster planci sudah bisa berenang bebas. Kira-kira 2 hari setelah inseminasi embryo telah mempunyai alat gerak yang sederhana dan saat itu disebut sebagai stadium bipinnaria larva. Lamanya stadium bipinnaria larva ini kurang lebih sekitar 2 sampai dengan 6 hari. Saat itu larva telah mempunyai sistem pencernaan yang sederhana, dan larva mulai makan. Selanjutnya larva akan mencapai tingkatan brachiolaria (Gambar 1). Lamanya stadium brachiolaria ini sekitar 4 sampai dengan 6 hari. Larva bintang laut jenis Acanthaster planci ini bersifat planktonik, dan dapat berenang bebas. Menurut YAMAGUCHI (1973) bipinnaria larva yang berumur sekitar 6 hari mempunyai kecepatan renang sekitar 0,4 mm/detik. Larva ini bersifat fototaksis negatif dan cenderung menghindari intensitas cahaya yang kuat. Lamanya fase larva mulai saat inseminasi sampai dengan saat penempelan adalah sekitar 14 sampai dengan 18 hari (OLSON 1987). Waktu fase larva ini bervariasi dari tempat ke tempat, waktu yang paling lama

(4)

untuk fase larva ini dilaporkan dari perairan sekitar Guam, Micronesia yaitu berkisar antara 21 sampai dengan 28 hari (YAMAGUCHI 1973).

Makanan dari Iarva bintang laut jenis Acanthaster planci adalah algae bersel tunggal (unicellular algae). Dari berbagai percobaan di laboratorium terbukti bahwa larva yang diberi makan algae bersel tunggal dapat hidup dan tumbuh dengan baik. Berbagai jenis algae bersel Lunggal yang dipergunakan dalam budidaya Acanthaster planci, antara lain

- Amphidiniun lutheri - Chlamydomonas sp. - Dunaliella primolecta - Monochrisis carteri - Nirszschia closterium - Phaeodactylum tricornutum

Menurut LUCAS (1973) larva akan tumbuh normal pada pergoyangan salinitas antara 26‰ sampai dengan 35‰. Pertum-buhan larva akan dihambat pada salinitas lebih rendah dari 22‰. Menurut ENDEAN (1973) pertumbuhan larva Acanthaster planci juga Gambar 1. Diagram larva dan stadium muda bintang laut jenis

Acanthser planci (Sumber YAMAGUCHI 1973). A = Larva brachiolaria umur 4 minggu setelah inseminasi B = Stadium muda umur 2 minggu setelah metamorfosis C = Stadium muda umur 7 minggu

(5)

ke tempat dan bervariasi terhadap macam algae yang dikonsumsi.

Bintang laut jenis Acanthaster planci adalah pemangsa polip karang hidup. Kondisi ini berlaku terbalik pada fase larva. Larva bin-tang laut ini merupakan mangsa yang empuk bagi polip karang. Selain karang, berbagai jenis ikan kecil dan ubur-ubur laut juga bertindak sebagai predator dari larva Acanthaster planci (YAMAGUCHI 19873,1974).

FASE PENEMPELAN DAN METAMORFOSA

Setelah brachiolaria mencapai usia sekitar 14 sampai dengan 20 hari, ia akan turun ke dasar bak percobaan dan melekatkan diri kepada substrat keras seperti pecahan karang. Menurut LUCAS (1973) penambahan pecahan karang mati yang ditumbuhi oleh algae benang (coraline algae) akan merangsang terjadinya penempelan. Larva akan berdiam diri tanpa bergerak dan makan selama kurang lebih dua hari. Kemudian larva ini akan menjelma menjadi miniatur bintang laut bertangan 5 (proses metaforfosis). Miniatur bintang laut ini berdiameter sekitar 0,5 mm. Sekitar 3 minggu setelah metamorfosis tangan akan bertambah menjadi 6, dan sekitar 16 sampai 18 minggu setelah metamorfosis jumlah tangan akan bertambah menjadi 16 sampai 18 buah. Lamanya fase metamorfosa ini juga bervariasi dari tempat ke tempat.

STADIUM MUDA

Apabila mengadakan observasi secara langsung ke daerah terumbu karang pada umumnya selalu mendapatkan bintang laut pemakan karang dewasa yang berukuran di atas 200 mm. Sangat sukar mendapatkan biota stadium muda (juvenile) di pemukaan karang

batu. Hal ini disebabkan karena sifat hidup bersembunyi (kriptik) dan bintang laut ini pada umumnya aktif di malam hari (noktural) (YAMAGACHUI 1973 a). Pada habitatnya juvenil dari Acanthaster planci bersembunyi di bawah bongkah karang mati yang ditumbuhi oleh algae dan algae merambat. Bintang laut stadium muda ini bisa juga didapatkan pada bagian pangkal karang bercabang. Hal ini untuk memudahkan bintang laut tersebut mencari makan dan menghindari diri dari serangan predatornya (ZANN et al. 1987).

Menurut ZANN et al. (1987) bintang laut jenis Acanthaster planci yang hidup di perairan sekitar Kepulauan Fiji, pada usia di atas 5 bulan hidup dari mengkonsumsi algae benang (coraline algae). Pada saat itu biota ini telah mencapai ukuran diameter tubuh sekitar 19,5 mm, dengan kecepatan tumbuh (growth rate) sekitar 2,6 mm/bulan. Selan-jutnya bintang laut muda yang mempunyai diameter tubuh berkisar antara 40 mm sampai 100 mm, dengan usia berkisar antara 5 sampai dengan 15 bulan, mempunyai kecepatan tumbuh sekitar 16,7 mm/bulan. Bintang laut ini masih bersifat kriptik (hidup bersembunyi). Setelah mencapai ukuran diameter tubuh di atas 100 mm atau pada usia lebih dari 20 bulan. bintang laut ini akan meninggalkan sifat kriptiknya dan aktif makan siang dan malam. Pada saat itu kecepatan tumbuh akan mengalami penrunan, yaitu sekitar 5,3 mm/bulan. Lokasi perairan. teknik pemeliharan, jenis makanan, serta usia sangat mempengaruhi kecepatan tumbuh dari bintang laut ini. Dari hasil penelitian LUCAS (1982) terlihat bahwa bintang laut muda yang diberi makan polip karang hidup akan tumbuh lebih cepat 20 kali lipat dari bintang laut muda yang diberi makan algae benang. Variasi umur. ukuran tubuh, dan macam pakan dari

(6)

Tabel 1. Variasi umur, ukuran tubuh, dan macam pakan bintang laut jenis Acanthaster planci. (Modifikasi dari MORAN 1986).

Menurut YAMAGUCHI (1987) bintang laut jenis Acanthaster planci stadium muda (juvenil) akan terhenti pertumbuhannya pada suhu air laut sekitar 16°C, dan biota ini akan mati setelah beberapa hari ditempatkan pada suhu 12°C. Suhu air laut antara 14°C sampai dengan 15°C dapat dipandang sebagai suhu yang mematikan (lethal temperature). Hal ini merupakan faktor penghalang bagi Acanthaster planci untuk menyebar ke daerah ugahari yang bertemperatur lebih dingin.

DAFTAR PUSTAKA

AZIZ, A. 1977. Bulu seribu dari Pulau Pari.

Pewarta Oseana 4 ( I ) : 6 - 8.

AZIZ, A. 1995. Beberapa catatan tentang kehadiran bintang laut jenis Acanthaster planci di perairan Indone-sia. Oseana 20 (2) : 23-31. BIRKELAND, C. 1989. The Faustian Straits

of the crown-of-thorns starfish. American Scientist 77 :154 - 163. CHENEY, D.P. 1974. Spawning and

aggrega-tion of Acanthaster planci in Micronesia. Proc. Second. Int. Coral Reef Symp. Brisbane : 591 - 594. CONAND, C. 1985. Distribution,

reproduc-tion cycle and morphometric relareproduc-tion-

ship of Acanthaster planci (Echinodermava : Asteroidea) in New Caledonia, Western Tropical Pacific. In : KEEGAN, B.F. and B.D.S. O'CONNOR (eds.), Echinodermata. A.A. Balkema. Rotterdam : 499 - 506. ENDEAN. R. 1973. Population explosions of

Acanthaster planci and associated de-struction of hermatypic corals in the Indo-west Pacific region. In : JONES. O.A. and R. ENDEAN (eds). Biology and Geology of coral reef. 111. Aca-demic Press, New York : 389 - 438. HAYASHI, R.. M. KOMATSU and C. Oguro

1973. Wrinkled blastula of the seastar, Acanthaster planci. Proc. Jap. Soc. Syst. Zool. 9 : 5 9 - 6 1

LUCAS, J.S. 1973. Reproductive and larval biology of Acanthasrer planci in Gear Barrier Reef waters. Micronesica 9 (2) : 197 – 203

LUCAS, J.S. 1982. Quantitative studies al feeding and nutrion during larval de-velopment of coral reef asteroid Acanthasler planci. J. exp. Mar: Biol. Ecol. 65: 173-193.

MORAN, P.J. 1986. The Acanthaster phenom-enon. Oceanogr. Mar. Biol. An. Rev. 24 : 379-480.

(7)

MORTENSEN, T. 1931. Contribution to the study of the development and larva forms of echinoderms. 1-11 K. danske. Vidensk. Selsk. Skr: (Naturv'-math.) (9) 4 ( l ) : 1 1 - 3 9 .

OKAJI, K. I991. Delayed spawning acticity in diseved individuals of Acanthaster planci in Okinawa, In : YANA-GISAWA, T., 1. YASUMASU, C. OGURO, N. SUZUKI, and T. MOTOKAWA (eds.), Biology of echinodermata. A.A Balkema. Rotterdam : 291 - 295.

OLSON, R.R. 1987. In situ culturing as a test of the larval starvasion hypothesis for the Crown-of-thorns starfish, Acanthaster planci. Limnol. Oceanogr 32 (4) : 895 - 904.

PEARSON, R.G. and R. ENDEAN 1969. A Preliminary study of the coral predator Acanthaster planci on the Great Barrier Reef. Fisheries Notes Dept. of Harbours and marine 3 (1): 27 - 55. SUHARSONO 1991. Bulu Seribu

(Acan-thaster planci). Oseana 16 (3): 1 - 8. YAMAGUCHI, M. 1973a. Recruitment of

coral reef asteroids, with emphasis on Acanthaster planci. Micronesiea 9 (2): 207 - 212.

YAMAGUCHI, M. 1973. Early life histories of coral reef Asteroids, with special ref erence to Acanthaster planci. In : JONES, O.A. and R. ENDEAN (eds.), Biology and Geology of Coral Reef. II. Academic Press, New York : 369 - 387,

YAMAGUCHI. M. 1974. Growth of juvenile Acanthaster planci in the Laboratory. Pacific Sci. 28 (2) : 121- 138. YAMAGUCHI. M, a n d C. OGURO 1987.

Occurences and persistency of Acanthaster planci pscudo-population in relation lo oceanographic conditions aong the Pasific coast of Japan.

Galaxea 6 : 2 7 7 - 288.

YAMAZATO, M. and T. KlYAN 1973. Re-production of Acanthaster planci in Okinawa. Micronesica 9 (2): 185 - 195 ZANN. L., J. BRODIE, C. BERRYMAN and

M. NAQASIMA 1987. Reqruitment, ecology, growth and behavior of juve-nile Acanthaster planci (Echinodermata : Asteroidea). Bull Mar Sci. 41 (2) : 561 - 575.

Gambar

Tabel 1.     Variasi umur, ukuran tubuh, dan macam pakan bintang laut jenis Acanthaster planci

Referensi

Dokumen terkait