• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. berbeda-beda antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. berbeda-beda antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya."

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pengangkatan anak yang ada di Indonesia telah dikenal sejak lama. Dalam masyarakat yang memiliki adat tertentu, telah lama dijumpai praktek pengangkatan anak. Hanya saja, motivasi dan prosedur serta akibat pengangkatan anak tersebut berbeda-beda antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya.

Masyarakat Indonesia telah mengenal sistem pengangkatan anak yang bersifat informal yang pengaturannya sesuai hukum adat yang berlaku di lingkungan adatnya masing-masing. Pengaturan pengangkatan anak secara formal dilakukan berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 1979 dan SEMA Nomor 6 Tahun 1983 jo SEMA Nomor 4 Tahun 1989 tentang Pengangkatan Anak yang Berlaku bagi Warga Negara Indonesia.

Menurut adat alasan dilakukannya pengangkatan anak adalah sebagai berikut:1

1. Karena tidak mempunyai anak.

2. Karena belas kasihan kepada anak, disebabkan orang tuanya tidak mampu membiayai.

3. Karena yatim piatu.

4. Telah mempunyai anak kandung sendiri tetapi semua laki-laki atau semua perempuan.

5. Atas dasar kepercayaan sebagai pemancing bagi yang tidak atau belum punya anak kandung.

6. Untuk mempererat hubungan kekeluargaan. 7. Untuk menjamin hari tua.

1

Emeliana Krisnawati, Aspek Hukum Perlindungan Anak, (Bandung: CV. Utomo, 2005), hlm. 28.

(2)

8. Karena unsur kepercayaan tertentu (mempunyai weton yang sama dengan orang tuanya).

Ter Haar menyatakan alasan dari perbuatan pengangkatan anak di beberapa daerah, antara lain:2

1. Motivasi perbuatan adopsi dilakukan adalah karena rasa takut bahwa keluarga yang bersangkutan akan punah (fear of extinction of a family).

2. Rasa takut akan meninggal tanpa mempunyai keturunan dan sangat khawatir akan hilang garis keturunannya (fear of dying childless and so suffering the

extinction of the line of descent).

Menurut M. Hasballah Thaib, banyak alasan seseorang untuk melakukan pengangkatan anak, di antaranya:3

1. Untuk menghilangkan rasa kesunyian diri atau kehidupan keluarga dalam suatu rumah tangga yang telah dibina bertahun-tahun tanpa kehadiran seorang anak.

2. Untuk melanjutkan garis keturunan, terutama sekali bagi bangsa yang menganut sistem pengabdian kepada leluhur.

3. Karena niat baik untuk memelihara dan mendidik anak-anak yang terlantar, menderita, miskin dan sebagainya.

4. Untuk mencari tenaga kerja atau pembantu dalam melaksanakan pekerjaan rutin yang bersifat intern maupun ekstern.

5. Untuk mencapai dan mencari tempat bergantung hidup di hari tua kelak. 6. Untuk memberikan kepuasan batiniah bagi keluarga yang sangat

membutuhkan kehadiran seorang anak dari kehidupan rumah tangga dan seluruh keluarganya.

Pengangkatan anak sering juga diistilahkan dengan adopsi. Adopsi berasal dari kata “adoptie” dalam bahasa Belanda atau “adoption” dalam bahasa Inggris.

2

Bzn, B. Ter Haar, Adat Law in Indonesia, (Terjemahan oleh Hoebel E. Adamson dan A. Arthur Schiller), (Djakarta: Bharatara, 1962), hlm. 175 dalam Runtung Sitepu dan Hotmaria,

Pengangkatan Anak dan Akibat Hukumnya, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2004), hlm. 13-14. 3

M. Hasballah Thaib, Dua Puluh Satu Masalah Aktual dalam Pandangan Fiqih Islam, (Medan: Fakultas Tarbiyah Universitas Dharmawangsa, 1995), hlm. 109.

(3)

Adoption artinya pengangkatan, pemungutan, adopsi, dan untuk sebutan

pengangkatan anak yaitu “adoption of child”.4

Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak (selanjutnya disebut PP No. 54 Tahun 2007), menyebutkan:

“Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga, orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan keputusan atau penetapan pengadilan”.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut KHI), Pasal 171 huruf h mengatakan:

“Anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan”.

Hilman Hadikusuma mengatakan bahwa anak angkat adalah anak orang lain yang dianggap anak sendiri oleh orang tua angkat dengan resmi menurut hukum adat setempat, dikarenakan tujuan untuk kelangsungan keturunan dan atau pemeliharaan atas harta kekayaan rumah tangganya.5

4

Jhon M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1981), hlm. 13. Sementara menurut Ensiklopedia Umum, bahwa Adopsi adalah suatu cara untuk mengadakan hubungan antara orang tua dan anak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

5

(4)

Menurut M. Djojodiguno dan R. Tirtawinata,6 bahwa pengangkatan anak adalah pengambilan anak orang lain dengan maksud supaya anak itu menjadi anak dari orang tua angkatnya, ditambahkan bahwa adopsi ini dilakukan dengan sedemikian rupa sehingga anak itu baik lahir maupun batin merupakan anaknya sendiri.

Pada mulanya pengangkatan anak akan dilakukan semata-mata untuk melanjutkan dan mempertahankan garis keturunan dalam sebuah keluarga yang tidak mempunyai anak atau sebagai pancingan agar setelah mengangkat anak, diharapkan keluarga tersebut dapat dikaruniai anak atau dengan motivasi yang telah disebutkan di atas. Tetapi dalam perkembangannya kemudian di tengah masyarakat, tujuan adopsi lebih ditujukan demi perlindungan dan kesejahteraan anak, seperti yang telah diatur dalam Pasal 28B Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945)7 Amandemen Kedua tahun 2000 dan Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak (selanjutnya disebut UU No. 4

6

M. Djojodiguno dan R. Tirtawinata dalam Irma Setyowati Soemitro, Aspek Hukum

Perlindungan Anak, (Semarang: Bumi Aksara, 1990), hlm. 34. Bandingkan dengan Soerojo

Wignjodipoero mengatakan bahwa pengangkatan anak adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain ke dalam keluarga sendiri sedemikian rupa, sehingga antara orang tua yang memungut anak dan anak yang dipungut itu timbul suatu hubungan kekeluargaan yang sama seperti yang ada antara orang tua dengan anak kandungnya sendiri, lihat Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-asas

Hukum Adat, (Jakarta: CV. Haji Masagung, 1990), hlm. 117. Risko El Windo Al Jufri mengatakan

bahwa pengangkatan anak adalah upaya mengalihkan hak serta kewajiban anak yang bukan asli dari keturunannya untuk dimasukkan ke dalam satu keluarga, sehingga hak dan kewajiban si anak menjadi beralih kepada pihak yang mengangkatnya sebagai anak selayaknya anak kandung, lihat Risko El Windo Al Jufri, Kedudukan Anak Angkat dalam Hukum Waris Adat pada Masyarakat Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa di Kota Jambi, Tesis, (Semarang: Program Studi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, 2010), hlm. 16.

7

Pasal 28B UUD 1945 Amandemen Kedua tahun 2000, berbunyi:

(1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.

(2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

(5)

Tahun 1979), yang menyatakan: “pengangkatan anak menurut adat dan kebiasaan dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak”.

Pengangkatan anak dalam Hukum Islam pada hakikatnya dilarang (apabila memutuskan hubungan nasab dengan orang tua kandungnya), hal ini dapat dilihat pada sistem pengangkatan anak yang pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dengan mengadopsi seorang budak beliau sendiri yang bernama Zaid bin Haritsah. Dengan amat senangnya anak ini menjadi anak angkat Rasulullah, maka beliau mencantumkan di belakang namanya “bin Muhammad” menjadi “Zaid bin Muhammad”. Allah tidak menyukai dan melarang kebiasaan mengangkat anak seperti di zaman jahiliah tersebut. Oleh sebab itu, turun ayat kepada Rasulullah SAW sebagaimana yang tercantum dalam Surat Al-Ahzab (33) ayat (4) yang artinya:

“Allah tidak membenarkan anak angkat kamu menjadi anak yang sebenarnya, anggapan itu hanya dalam perkataan dari mulutmu saja, tidak dengan sebenarnya. Yang berkata benar adalah Allah dan Dia-lah yang memberi petunjuk yang lurus”.

Semenjak turunnya ayat Al-Qur’an tersebut Nabi melarang Zaid memakai nama Nabi di belakang namanya. Oleh sebab itu, Zaid kembali memakai namanya seperti semula yaitu Zaid bin Haritsah. Sewaktu pengangkatan tersebut, usia Zaid bin Haritsah masih di bawah umur.

Senada dengan hukum adat yang berlaku pada masyarakat Minangkabau, bahwa pengangkatan anak ini juga pada awalnya dilarang karena bisa mengakibatkan

(6)

kacaunya sistem kewarisan baik menurut hukum adat8 maupun menurut Hukum Islam. Kesamaan kedudukan anak angkat menurut Hukum Islam dan Hukum Adat Minangkabau menunjukkan bahwa roh dari prinsip Hukum Adat Minangkabau “Adat

Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah” sudah berjalan dengan baik.9 Akan tetapi di dalam prakteknya hal tersebut banyak terjadi penyimpangan, yaitu dengan ditemukannya di lapangan pengangkatan anak, bukan hanya terhadap anak yang di bawah umur akan tetapi juga terhadap orang yang telah dewasa.

Sistem matrilineal sebenarnya tidak ada mengakui pengangkatan anak (adopsi)10 akan tetapi Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) membuat suatu terobosan atau penyimpangan hukum sehingga tercipta suatu pengangkatan anak di daerah Minangkabau seperti yang tercantum dalam putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 13 Mei 1975 Nomor 813 K/Sip/1972. Putusan ini bermula dari suatu gugatan di Pengadilan Negeri Padang yang dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Padang.11

Mahkamah Agung berkesimpulan dalam putusan di atas, bahwa kedudukan anak angkat itu menjadi ahli waris karena telah ditunjuk terlebih dahulu sebelum

8

Adat dapat ditetapkan menjadi hukum (al-Adat al-Muhakkamah), hal ini merupakan satu kaedah yang menjadi metodologi penetapan hukum oleh para ahli hukum Islam. M. Hasballah Thaib,

Pemikiran dan Sikap M. Hasballah Thaib dalam Berbagai Dimensi, Cetakan Pertama, (Bandung:

Citapustaka Media Perintis, 2013), hlm. 11.

9

Suardi Mahyuddin, Dinamika Sistem Hukum Adat Minangkabau dalam Yurisprudensi

Mahkamah Agung, Cetakan Pertama, (Jakarta: PT. Candi Cipta Paramuda, 2009), hlm. 114-115. 10

Hal ini juga ditegaskan oleh Ter Haar mengatakan bahwa “In Minangkabau schijnt adoptie

niet voor tekomen” yang artinya dalam masyarakat Minangkabau tidak ada pengangkatan anak. 11

(7)

pewaris meninggal dunia. Bahwa menurut pengertian hukum adat Minangkabau perbuatan demikian sama dengan hibah.

Laporan Panitia Penelitian Hukum Adat Direktorat Jenderal Pembinaan Badan-badan Peradilan Umum Departemen Kehakiman Republik Indonesia sebagai hasil dari penelitiannya di 3 (tiga) tempat, yaitu Kurai Taji Bukit Tinggi, Padang dan Painan ditegaskan bahwa di tempat-tempat tersebut tidak ada pengangkatan anak. Namun di daerah Minangkabau yang lain masih ditemukan orang melakukan perbuatan mengambil anak atau memelihara anak yang diasuh sebagai anak sendiri, tetapi tetap mempunyai hubungan dengan orang tua kandungnya. Seperti yang terdapat di Sawahlunto, di Kanagarian Durian Tanah Lapang Saringan, Kubang Sirakuak, Kampung Tereng12 dan Nagari Ampang Kuranji.

Pengangkatan anak yang terjadi di Nagari Ampang Kuranji Kecamatan Koto Baru Kabupaten Dharmasraya, mempunyai perbedaan yang signifikan dengan daerah lain, yaitu pengangkatan anak terhadap orang yang sudah dewasa yang dikenal dengan istilah “urang bainduak”, di mana urang bainduak tersebut sebagian besar telah berkeluarga dan berusia di atas 21 tahun. Apabila dilihat dari aspek ekonomi, sebagian besar tidak memerlukan bantuan ekonomi (kesejahteraan) dari orang tua angkatnya (induak) untuk kepentingan diri dan keluarganya. Sedangkan urang

bainduak yang belum mapan, apabila diangkat oleh induak yang kaya, maka urang bainduak tersebut akan dihibahkan tanah (harto pusako) untuk dikelolanya demi

menghidupi keluarganya (isteri dan anak-anak), kadang kala penghibahan tersebut

12

(8)

menimbulkan sengketa, apabila tidak dilakukan dengan musyawarah terlebih dahulu dengan keluarga orang tua angkatnya.13

Berdasarkan fakta yang terjadi di Nagari Ampang Kuranji, bahwa pengangkatan urang bainduak yang berasal dari orang dewasa lebih banyak daripada anak di bawah umur yaitu berjumlah 52 (lima puluh dua) orang rentang waktu antara 2005 sampai dengan 2008.14 Pengangkatan urang bainduak tersebut berusia antara 21 sampai dengan 50 tahun. Sedangkan usia induak berkisar antara 30 sampai dengan 60 tahun, bahkan terkadang ditemui bahwa usia urang bainduak sama atau lebih tua dari usia induaknya.15

Adanya pengangkatan urang bainduak tersebut pasti akan menimbulkan akibat hukum terhadap hubungan antara urang bainduak dengan orang tua kandung dan orang tua angkatnya. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, perlu dilakukan suatu penelitian tentang “Pengangkatan Urang Bainduak Sebagai Salah Satu Bentuk

Pengangkatan Anak pada Masyarakat Minangkabau : Studi di Nagari Ampang Kuranji”.

13

Hasil wawancara dengan Ibu Nawarita, seorang warga Nagari Ampang Kuranji Suku Piliang Datuk Marajo yang mempunyai ± 6 (enam) urang bainduak, pada tanggal 26 Desember 2012, pukul 16.15 WIB.

14

Buku Hasil Kesimpulan Rapat Kerapatan Adat Nagari (KAN), 2005 – 2012.

15

Hasil wawancara dengan H. Jhonson Putra, Tokoh Masyarakat Nagari Ampang Kuranji, pada hari Senin, 20 Mei 2013, pukul 10.00 WIB. H. Jhonson Putra mengatakan contoh urang bainduak lebih tua dari induaknya adalah Man Lena berumur 41 tahun dan ayah angkatnya berumur 38 tahun bernama Fikal.

(9)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan yang menjadi fokus pengkajian dalam tesis ini sebagai berikut:

1. Apakah dasar hukum pengangkatan urang bainduak pada masyarakat

Minangkabau di Nagari Ampang Kuranji?

2. Bagaimana akibat hukum pengangkatan urang bainduak pada masyarakat

Minangkabau di Nagari Ampang Kuranji?

3. Bagaimana penyelesaian sengketa yang terjadi pada urang bainduak di Nagari

Ampang Kuranji?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini, sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui dan menganalisa dasar hukum pengangkatan urang

bainduak pada masyarakat Minangkabau di Nagari Ampang Kuranji.

2. Untuk mengetahui dan menganalisa akibat hukum pengangkatan urang

bainduak pada masyarakat Minangkabau di Nagari Ampang Kuranji.

3. Untuk mengetahui dan menganalisa penyelesaian sengketa yang terjadi pada

(10)

D. Manfaat Penelitian

Penulis berharap dari penulisan ini dapat mencapai manfaat sebagai berikut:

1. Manfaat secara Teoritis

Penulisan ini dapat memperkaya khasanah pengetahuan di bidang Hukum Adat khususnya Hukum Adat Minangkabau mengenai dasar hukum, akibat hukum, serta penyelesaian sengketa yang terjadi terhadap urang bainduak, sehingga diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan hukum adat di Indonesia.

2. Manfaat secara Praktis

Hasil dari penulisan tesis ini diharapkan akan memberikan manfaat secara praktis, kepada:

a. Masyarakat, memberikan pengetahuan dan pemahaman mengenai motivasi, prosedur, syarat-syarat, dasar hukum dan akibat hukum pengangkatan urang bainduak menurut Hukum Adat Minangkabau.

b. Instansi terkait (Pengadilan Negeri Sawahlunto - Sijunjung, Polres Kabupaten Dharmasraya, Kecamatan Koto Baru, Nagari Ampang Kuranji, dan Kerapatan Adat Nagari (KAN) Ampang Kuranji), memberikan masukan tentang penyelesaian hukum terhadap sengketa yang terjadi pada

urang bainduak di Nagari Ampang Kuranji.

c. Peneliti, memberikan masukan dan bahan perbandingan bagi para peneliti berikutnya yang tertarik mendalami hal-hal yang berkaitan dengan

(11)

pengangkatan anak khususnya urang bainduak dengan sistem hukum adat yang berbeda.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran kepustakaan khususnya di lingkungan Universitas Sumatera Utara dan penelusuran melalui internet di berbagai Program Studi Ilmu Hukum dan Magister Kenotariatan seluruh universitas di Indonesia, penelitian dengan judul “Pengangkatan Urang Bainduak Sebagai Salah Satu Bentuk Pengangkatan

Anak pada Masyarakat Minangkabau : Studi di Nagari Ampang Kuranji”,

belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, dengan demikian penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan hukum. Adapun pengutipan-pengutipan yang dilakukan pada bagian-bagian tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan tesis ini, telah dicantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Berikut dikemukakan beberapa penelitian yang berkenaan dengan penelitian ini, sebagai berikut:

1. A. Hamid Sarong, 2007, Kedudukan Anak Angkat dalam Sistem Hukum Indonesia Studi pada Masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam. Dengan rumusan masalah:

a. Bagaimana kedudukan anak angkat dalam sistem hukum nasional Republik Indonesia?

(12)

b. Mengapa masyarakat muslim masih enggan melakukan pengangkatan secara resmi, padahal praktek pengangkatan anak atau nama lain terus terjadi dalam masyarakat?

c. Bagaimana realitas hukum masyarakat Aceh yang didasarkan pada

maslahah yang dapat dijadikan pertimbangan dalam merumuskan

Undang-Undang Pengangkatan Anak?

2. Adawiyah, 2010, Perlindungan Hukum Anak Angkat Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Ditinjau dari Hukum Islam. Dengan rumusan masalah:

a. Bagaimana ketentuan hukum pengangkatan anak menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak?

b. Bagaimana akibat hukum pengangkatan anak menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak?

c. Bagaimana perlindungan hukum terhadap anak angkat menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 ditinjau dari Hukum Islam dalam praktik hukum di Indonesia?

3. Desmi Yarni, 2003, Hak dan Kedudukan Anak Angkat Atas Harta Peninggalan Orang Tua Angkatnya pada Masyarakat Minangkabau (Kajian di Jorong Seberang Piruko Kecamatan Koto Baru Kabupaten Sawahlunto/ Sijunjung). Dengan rumusan masalah:

a. Bagaimana kriteria, motif dan prosedur pengangkatan anak di Jorong Seberang Piruko?

(13)

b. Bagaimanakah akibat yang timbul dalam pengangkatan anak?

c. Bagaimana hak dan kedudukan anak angkat atas harta peninggalan orang tua angkatnya di Jorong Seberang Piruko?

4. Edison, 2005, Pengangkatan Anak dalam Lingkungan Hukum Adat Minangkabau, Tinjauan atas Beberapa Penetapan Hakim Pengadilan Negeri Lubukbasung. Dengan rumusan masalah:

a. Faktor-faktor apakah yang melatar belakangi meningkatnya kebutuhan pengangkatan anak pada masyarakat suku Minangkabau?

b. Apakah yang menjadi pertimbangan hukum Pengadilan Negeri Lubukbasung dalam mengabulkan permohonan pengesahan pengangkatan anak di lingkungan masyarakat suku Minangkabau?

c. Bagaimana penerapan Hukum Adat Minangkabau dalam penetapan Pengadilan Negeri Lubukbasung tentang pengangkatan anak?

5. Fajri Alkhairi, Kedudukan Anak Angkat dalam Masyarakat Minangkabau di Kabupaten Padang Pariaman. Dengan rumusan masalah:

a. Bagaimana proses pengangkatan anak melalui penetapan pengadilan dan ketetapan adat Minangkabau?

b. Bagaimana status anak angkat dalam keluarga angkat dan kerabat angkat, serta hak dan kewajiban anak angkat terhadap keluarga angkat maupun kerabat angkat, telah sesuai atau belum dengan peraturan perundang-undangan maupun ketentuan Adat Minangkabau di Kabupaten Padang Pariaman?

(14)

6. Jiiy Ji’ronah Muayyanah, 2010, Tinjauan Hukum terhadap Pengangkatan Anak dan Akibat Hukumnya dalam Pembagian Warisan Menurut Hukum Islam dan Kompilasi Hukum Islam. Dengan rumusan masalah:

a. Bagaimanakah kedudukan hukum anak angkat serta akibat hukumnya dalam pembagian warisan menurut hukum Islam dan kompilasi hukum Islam?

b. Pertimbangan hukum apakah yang dipergunakan oleh hakim Pengadilan Agama dalam perkara penetapan permohonan pengangkatan anak?

7. Rahmi Yuliad, 2002, Kedudukan Anak di Bawah Umur atas Harta Peninggalan Orang Tuanya pada Masyarakat Minangkabau (Kajian di Nagari Panampuang Kecamatan IV Angkat Candung Kabupaten Agam). Dengan rumusan masalah:

a. Bagaimana azas, pengertian dan kedudukan anak di bawah umur menurut Hukum Adat Minangkabau?

b. Siapa yang menjadi wali dan bagaimana pengawasan terhadap wali dari anak tersebut?

c. Bagaimanakah hak anak di bawah umur terhadap harta benda perkawinan kedua orang tuanya jika terjadi putus perkawinan karena kematian?

(15)

F. Kerangka Teori dan Konsepsional 1. Kerangka Teori

Kerangka teori merupakan “kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui.16

Soerjono Soekanto mengatakan bahwa kerangka teori17 adalah penentuan tujuan dan arah penelitian dalam memilih konsep-konsep yang tepat guna pembentukan hipotesa-hipotesanya.

Teori itu bukanlah pengetahuan yang sudah pasti, tetapi harus dianggap sebagai petunjuk,18 analisis dari hasil penelitian yang dilakukan, sehingga merupakan

16

Teori adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik, tetapi merupakan suatu abstraksi intelektual di mana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Dengan kata lain, teori dalam ilmu pengetahuan merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan obyek yang dijelaskan, dan meskipun suatu penjelasan tampaknya begitu meyakinkan, akan tetapi harus didukung oleh fakta-fakta empiris agar dapat dinyatakan benar (valid atau sahih). M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hlm. 27 dan 80. Dalam hal ini, teori berguna untuk: 1). Menyimpulkan generalisasi-generalisasi dari fakta-fakta hasil pengamatan; 2). Memberi kerangka orientasi untuk analisis dan pengklasifikasian fakta-fakta

yang dikumpulkan; 3). Memberi ramalan terhadap gejala-gejala baru yang akan terjadi; dan 4). Mengisi lowongan-lowongan dalam pengetahuan peneliti tentang gejala-gejala yang telah dan

sedang terjadi. Lihat Fuad Hasan dan Koentjaraningrat, “Beberapa Azas Metodologi Ilmiah”, dalam Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Edisi Ketiga, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1997), hlm. 10.

17

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 129. Soerjono Soekanto menyebutkan bahwa di dalam penelitian hukum juga dapat disusun dengan menerangkan metode klasifikasi dan memilih ruang lingkup yang akan diteliti. Bandingkan dengan pendapat Robert K. Yin, Aplication of Case Study Research, (New Delhi: Sage Publications International and Professional Publisher Newburry Park, 1993), hlm. 4, yang mengatakan bahwa teori adalah desain langkah-langkah penelitian yang berhubungan dengan kepustakaan, isu kebijakan maupun narasumber penting lainnya. Lihat juga Catherina Marshall dan Gretchen B. Rossman,

Designing Qualitative Research, (London: Sage Publication, 1994), hlm. 21. Lihat John. W. Cresswell, Research Design: Qualitative and Quantitative Approaches, (London: Sage Publication, 1994), hlm.

82 yang menyatakan bahwa a theory is an interrelated set of construct (or variables) formed into

propositions of hypothesis that specify the relationship among variables tipically in terms of magnitude or direction. Gorys Keraf mendefinisikan teori sebagai asas-asas umum dan abstrak yang diterima

secara ilmiah dan sekurang-kurangnya dapat dipercaya untuk menerangkan fenomena-fenomena yang ada. Gorys Keraf, Argumentasi dan Narasi, (Jakarta: PT. Gramedia, 2001), hlm. 47.

(16)

masukan eksternal bagi penelitian ini. Robert K. Yin mengatakan: “theory means the

design of research steps according to some relationship to the literature, policy issues, or other substance source”.19 Maknanya teori adalah suatu langkah dalam kerangka penelitian yang berhubungan dengan literatur, isu kebijakan atau dari sumber substansi yang lain.

Teori adalah suatu penjelasan yang berupaya untuk menyederhanakan pemahaman mengenai suatu fenomena atau simpulan dari rangkaian berbagai fenomena menjadi sebuah penjelasan yang sifatnya umum.20 Penelitian dalam tesis ini menggunakan Teori Uruf, Teori Maslahat dan Teori Penyelesaian Sengketa sebagai pisau analisis.

a. Teori Uruf

Kata uruf, yang sering diartikan ke dalam bahasa Indonesia dengan arti adat, diambil dari akar kata yang sama dengan makruf lawan mungkar, karena itu uruf berarti sesuatu yang baik. Secara terminologi, kata uruf ini didefinisikan dengan kebiasaan mayoritas ummat dalam penilaian suatu perkataan atau perbuatan. Uruf merupakan salah satu dalil dalam menetapkan hukum syarak.21 Urf atau adat

18

Koentjaraningrat, Op.Cit, hlm. 21.

19

Robert K. Yin, Op.Cit, hlm. 4. Lihat juga Catherina Marshall dan Gretchen B. Rossman,

Op.Cit, hlm. 20. 20

Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum: Normatif dan

Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 134. 21

Zamakhsyari, Teori-teori Hukum Islam dalam Fiqih dan Ushul Fiqh, (Bandung: Citapustaka Media Printis, 2013), hlm. 117.

(17)

kebiasaan adalah suatu yang telah dibiasakan oleh masyarakat dan dijalankan terus menerus baik berupa perkataan ataupun perbuatan.22

Mustafa Ahmad Al-Zarqa, Ahli Fiqih di Universitas Amman Jordania, mengatakan bahwa Uruf merupakan bagian dari adat, karena adat lebih umum dari

uruf. Suatu uruf menurutnya harus berlaku pada kebanyakan orang di daerah tertentu,

bukan pada pribadi atau kelompok tertentu dan uruf muncul dari suatu pemikiran dan pengalaman, seperti kebiasaan mayoritas masyarakat pada daerah tertentu dalam menetapkan keperluan rumah tangga yang diambilkan dari mahar yang diberikan suami, atau penentuan ukuran tertentu dalam penjualan makanan.23

Adat dan kebiasaan dapat dikatakan memiliki arti yang sama. Menurut definisi yang dikemukakan oleh Ibnu Naja di dalam syarh al-Mughni adalah suatu pengertian dari yang ada dalam jiwa orang-orang berupa perkara yang berulang-ulang kali terjadi yang dapat diterima oleh tabiat yang waras.24

Imam As-Syafi’i tidak menggunakan adat sebagai sumber hukum dalam Islam, akan tetapi Imam ibn Hajar Al-Asqalani, pengikut Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa uruf/adat dapat diamalkan apabila tidak berlawanan dengan sesuatu nash.25

22

M. Hasballah Thaib, Tajdid, Reaktualisasi dan Elastisitas Hukum Islam, (Medan: Konsentrasi Hukum Islam, Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 2002), hlm. 32. Menurut Mazhab Hanafiyah, istihsan dengan urf atau adat dijadikan salah satu dalil hukum Islam. Yang dimaksud dengan istihsan dengan adat adalah penyimpangan atau pemalingan penetapan hukum yang berlawanan dengan qiyas karena adanya urf (adat) yang sudah biasa dipraktekkan atau dikenal dalam kehidupan masyarakat, lihat Muhammad Ali Said Ali Abdul Rabuh, Buhus fi Adillah

al-Mukhtalaf fi ha‟Inda al-Ushuliyyin, (Mesir: Mathba’ah al-Sa’adah, 1998), hlm. 72 dalam M. Hasballah

Thaib, Ibid, hlm. 32-33.

23

M. Al-Zarqa, Ushul al-Fiqh, (Damaskus: Damaskus University, 1997), hlm. 35.

24

Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybah wa An-Nazha‟ir, (Beirut: Daar al-Turats al-Islami, 2001), hlm. 37 dalam Zamakhsyari, Op.Cit, hlm. 118.

25

(18)

Suatu uruf baru dapat dijadikan sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara‟, apabila memenuhi syarat sebagai berikut:26

1. Uruf baik yang bersifat khusus maupun yang bersifat umum, begitu juga baik yang bersifat perbuatan ataupun bersifat ucapan, berlaku secara umum. Artinya, uruf itu terjadi pada kebanyakan kasus yang terjadi dalam masyarakat, dan keberlakuannya dianut oleh mayoritas masyarakat tersebut. 2. Uruf telah memasyarakat ketika persoalan yang akan ditetapkan hukumnya itu

muncul. Artinya, uruf yang akan dijadikan sandaran hukum itu lebih dahulu ada sebelum kasus yang akan ditetapkan hukumnya. Dalam kaitan ini, ulama

ushul fiqih membuat kaedah: “uruf yang datang kemudian tidak dapat

dijadikan sandaran hukum terhadap kasus yang telah lama”.

3. Uruf itu tidak bertentangan dengan apa yang diungkapkan secara jelas. Misalnya, dalam sebuah transaksi antara penjual dan pembeli telah diungkapkan suatu kesepakatan secara jelas bahwa barang yang dibeli akan dibawa sendiri oleh pembeli ke rumahnya. Padahal uruf yang berlaku adalah bahwa barang yang dibeli akan diantarkan penjual ke rumah pembeli. Ini berarti ada pertentangan antara uruf dengan yang diungkapkan secara jelas, maka uruf itu tidak berlaku lagi.

4. Uruf diterima apabila tidak ada nash yang mengandung hukum dari permasalahan yang dihadapi. Artinya, bila suatu permasalahan sudah ada

nash-nya maka uruf itu tidak dapat dijadikan dalil syara‟.

Para ulama Mazhab Maliki membagi uruf (adat) kepada 3 (tiga) macam, yaitu:27

1. Uruf/adat yang timbul oleh semua ulama, yaitu adat yang ditunjuki oleh nash. 2. Adat yang jika diambil berarti mengambil sesuatu yang dilarang oleh syara‟

atau meninggalkan sesuatu tugas syara‟ (adat ini tidak ada nilainya).

3. Adat yang tidak dilarang syara‟ dan tidak ditunjuki untuk mengamalkannya. b. Teori Maslahat

Mashlahat secara etimologi kata jamaknya Mashalih berarti sesuatu yang

baik, yang bermanfaat dan merupakan lawan dari keburukan atau kerusakan.

Mashlahat kadang-kadang disebut dengan istislah yang berarti mencari yang benar.

26

Zamakhsyari, Loc.Cit, hlm. 126-127.

27

(19)

Esensi mashlahat adalah terciptanya kebaikan dan kesenangan dalam kehidupan manusia serta terhindar dari hal-hal yang dapat merusak kehidupan umum.28

M. Hasballah Thaib,29 mengatakan mashlahat yang dimaksud adalah kemashlahatan yang menjadi tujuan syara‟ bukan kemashlahatan yang semata-mata berdasarkan keinginan hawa nafsu manusia. Sebab disadari sepenuhnya bahwa tujuan dari syariat hukum tidak lain adalah untuk merealisir kemashlahatan bagi manusia dari segala segi dan aspek kehidupan mereka di dunia dan terhindar dari berbagai bentuk yang dapat membawa kepada kerusakan.

Oleh karena itu masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum. Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan sampai justru karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan timbul keresahan di dalam masyarakat.30 Termasuk dalam hal pengangkatan urang bainduak di Nagari Ampang Kuranji.

28

Ibid, hlm. 27.

29

Ibid. Ibnu Taymiyyah mengatakan bahwa mashlahat adalah pandangan mujtahid tentang perbuatan yang mengandung kebaikan yang jelas dan bukan perbuatan yang berlawanan dengan hukum syara‟, lihat Nasroen Haroen, Ushul Fiqh, (Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 126. Sedangkan Al-Ghazali mengatakan arti asli mashlahat adalah menarik manfaat atau menolak

mudhorat. Adapun artinya secara istilah ialah pemeliharaan tujuan (maqashid) syara‟, yakni agama,

jiwa, akal, keturunan dan harta. Segala sesuatu yang mengandung nilai pemeliharaan atas pokok yang lima ini adalah mashlahat, semua yang menghilangkannya adalah mafsadat dan menolaknya merupakan mashlahat, lihat Jamaluddin, Analisis Hukum Perkawinan terhadap Perceraian dalam Masyarakat Kota Lhokseumawe dan Kabupaten Aceh Utara, Disertasi, (Medan: Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 2008), hlm. 23.

30

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), (Yogyakarta: Liberty, 1988), hlm. 134-135 dalam Rahmat Jhowanda, Kedudukan Anak Angkat dalam Hukum Waris Adat pada Masyarakat Aceh (Studi Kabupaten Aceh Barat), Tesis, (Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2010), hlm. 11-12.

(20)

Al-mashlahah al-mursalah dapat dijadikan sebagai dalil dalam menetapkan

hukum, mazhab Maliki dan Hambali mensyaratkan 3 (tiga) hal, yaitu:31

1. Kemashlahatan itu sejalan dengan kehendak syara‟, dan termasuk ke dalam jenis kemashlahatan yang didukung nash secara umum.

2. Kemashlahatan itu bersifat rasional dan pasti, bukan sekedar perkiraan, sehingga hukum yang ditetapkan melalui al-mashlahah al-mursalah itu benar-benar menghasilkan manfaat dan menghindari atau menolak kemudharatan. 3. Kemashlahatan itu menyangkut kepentingan orang banyak, bukan

kepentingan pribadi atau kelompok kecil tertentu. c. Teori Penyelesaian Sengketa

Secara filosofis, penyelesaian sengketa merupakan upaya untuk mengembalikan hubungan para pihak yang bersengketa dalam keadaan seperti semula. Dengan pengembalian hubungan tersebut, maka mereka dapat mengadakan hubungan, baik hubungan sosial maupun hubungan hukum antara satu dengan lainnya. Teori yang mengkaji tentang hal itu, disebut Teori Penyelesaian Sengketa.32

Istilah Teori Penyelesaian Sengketa berasal dari terjemahan bahasa Inggris, yaitu Dispute Settlement of Theory, bahasa Belandanya yaitu Theorie Van De

Beslechting Van Geschillen, sedangkan dalam bahasa Jerman disebut dengan Theorie Der Streitbeilegung. Ada 3 (tiga) suku kata yang terkandung dalam Teori

Penyelesaian Sengketa, yaitu: 1). Teori; 2). Penyelesaian; dan 3). Sengketa.33

Penyelesaian adalah proses, perbuatan, cara menyelesaikan. Menyelesaikan diartikan menyudahkan, menjadikan berakhir, membereskan atau memutuskan,

31

Said Ramadhan Al-Bouti, Dhawabith al-Mashlahah Fi al-Syari'ah al-Islamiyah, hlm. 187 dalam Zamakhsyari, Op.Cit, hlm. 46.

32

Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis dan

Disertasi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm. 135. 33

(21)

mengatur, memperdamaikan (perselisihan atau pertengkaran), atau mengatur sesuatu sehingga menjadi baik.34 Istilah sengketa berasal dari terjemahan bahasa Inggris, yaitu dispute. Sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah geding atau

proces. Sementara itu, penggunaan istilah sengketa itu sendiri belum ada kesatuan

pandangan dari para ahli. Ada ahli yang menggunakan istilah sengketa, dan ada juga yang menggunakan istilah konflik. Kedua istilah itu sering kali digunakan oleh para ahli. Richard L. Abel menggunakan istilah sengketa, sedangkan Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin, serta Nader dan Todd menggunakan istilah konflik. Pengertian sengketa atau konflik disajikan berikut ini. Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin mengemukakan pengertian sengketa. Sengketa berarti:35

“Persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived divergence of interest), atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang bersengketa tidak dicapai secara simultan (secara serentak)”.

Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin, melihat sengketa dari perbedaan kepentingan atau tidak dicapainya kesepakatan para pihak. Yang diartikan dengan perbedaan kepentingan adalah berlainannya keperluan atau kebutuhan dari masing-masing pihak. Richard L. Abel mengartikan sengketa (dispute) adalah:36

“Pernyataan publik mengenai tuntutan yang tidak selaras (inconsistent claim) terhadap sesuatu yang bernilai”.

34

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hlm. 801.

35

Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin, Konflik Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 9-10.

36

Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial (A Legal System A Social

(22)

Richard L. Abel melihat sengketa dari aspek ketidakcocokan atau ketidaksesuaian para pihak tentang sesuatu yang bernilai. Sesuatu yang bernilai dimaknakan sebagai sesuatu yang mempunyai harga atau berharga uang.

Laura Nader dan Harry F. Todd Jr, mengartikan sengketa sebagai:37

“Keadaan di mana sengketa tersebut dinyatakan di muka atau dengan melibatkan pihak ketiga. Selanjutnya ia mengemukakan istilah pra konflik dan konflik. Pra konflik adalah keadaan yang mendasari rasa tidak puas seseorang. Konflik itu sendiri adalah keadaan di mana para pihak menyadari atau mengetahui tentang adanya perasaan tidak puas tersebut”.

Pengertian sengketa yang disajikan oleh para ahli mengandung kelemahan-kelemahan. Kelemahan itu, meliputi tidak jelasnya subjek yang bersengketa dan objek sengketa. Oleh karena itu, pengertian sengketa yang disajikan di atas, perlu disempurnakan. Sengketa adalah:38

“Pertentangan, perselisihan atau percekcokan yang terjadi antara pihak yang satu dengan pihak lainnya dan/atau antara pihak yang satu dengan berbagai pihak yang berkaitan dengan sesuatu yang bernilai, baik itu berupa uang maupun benda”.

Dari uraian di atas, dapat dirumuskan definisi Teori Penyelesaian Sengketa. Teori Penyelesaian Sengketa merupakan teori yang mengkaji dan menganalisis tentang: “Kategori atau penggolongan sengketa atau pertentangan yang timbul dalam masyarakat, faktor penyebab terjadinya sengketa dan cara-cara atau strategi yang digunakan untuk mengakhiri sengketa tersebut”.

37

Valerine J.L. Kriekhoff, Mediasi (Tinjauan dari Segi Antropologi Hukum), dalam T.O. Ihromi, Antropologi Hukum, Sebuah Bunga Rampai, (Jakarta: Yayasan Obor, 2007), hlm. 225.

38

(23)

Ruang lingkup Teori Penyelesaian Sengketa, meliputi:39 1). Jenis-jenis sengketa; 2). Faktor penyebab timbulnya sengketa; dan 3). Strategi di dalam penyelesaian sengketa.

Dalam penelitian ini, kategori sengketa adalah penggolongan jenis-jenis sengketa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat Minangkabau di Nagari Ampang Kuranji, seperti sengketa tanah, sengketa harta perkawinan, sengketa warisan dan lainnya. Faktor penyebab timbulnya sengketa adalah sebagai upaya mengungkapkan hal-hal yang menyebabkan sesuatu hal terjadi atau menjadi lantaran terjadinya sengketa. Strategi di dalam penyelesaian sengketa adalah upaya untuk mencari dan merumuskan cara-cara mengakhiri sengketa yang timbul di antara para pihak, seperti dengan cara mediasi, rekonsiliasi, negosiasi, dan lainnya.

2. Konsepsional

Konsepsional penting dirumuskan agar tidak tersesat ke pemahaman lain, di luar maksud penulis. Konsepsional ini merupakan “alat yang dipakai oleh hukum di samping yang lain-lain, seperti asas dan standar”. Oleh karena itu kebutuhan untuk membentuk konsepsional merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan penting dalam hukum. Konsepsional adalah suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analisis.40

39

Ibid.

40

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996) dan Aminuddin dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 48-49.

(24)

Dalam bahasa Latin, kata conceptus (bahasa Belanda: begrip) atau pengertian merupakan hal yang dimengerti. Pengertian bukanlah merupakan “definisi” yang di dalam bahasa Inggris adalah definition. Definisi tersebut berarti perumusan (bahasa Belanda: omschrijving) yang pada hakikatnya merupakan suatu bentuk ungkapan pengertian di samping aneka bentuk lain yang dikenal di dalam epistemologi atau teori ilmu pengetahuan.41 Dalam konsepsional diungkapkan beberapa konsepsional atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum.42

Suatu konsepsional pada hakikatnya merupakan suatu pengarah, atau pedoman yang lebih konkrit dari kerangka teoritis (tinjauan pustaka) yang sering kali masih bersifat abstrak. Namun demikian, suatu kerangka konsepsional belaka kadang-kadang dirasakan masih juga abstrak, sehingga diperlukan definisi-definisi operasional yang akan menjadi pegangan konkrit di dalam proses penelitian.43

Konsepsional atau pengertian merupakan unsur pokok dari suatu penelitian. Kalau masalah dan kerangka teoritisnya sudah jelas, biasanya sudah diketahui pula fakta mengenai gejala-gejala yang menjadi pokok perhatian, dan suatu konsepsional sebenarnya adalah definisi secara singkat dari sekelompok fakta atau gejala itu. Maka konsepsional merupakan definisi dari apa yang perlu diamati, konsepsional

41

Konsep berbeda dengan teori, di mana teori biasanya terdiri dari pernyataan yang menjelaskan hubungan kausal antara dua variabel atau lebih. Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian

Kualitatif, Edisi III, (Yogyakarta: Roke Sarasni, 1996), hlm. 22-23, 58-59. Satjipto Rahardjo, Ibid, dan

Aminuddin dan H. Zainal Asikin, Ibid.

42

Soerjono Soekanto, 1986, Op.Cit, hlm. 21.

43

(25)

menentukan antara variabel-variabel yang ingin menentukan adanya hubungan empiris.44

Untuk dapat menjawab permasalahan dalam penelitian tesis ini perlu didefinisikan beberapa konsep dasar dalam rangka menyamakan persepsi agar secara operasional dapat dibatasi ruang lingkup variabel dan diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah ditentukan. Konsep tersebut adalah sebagai berikut:

a) Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan pengangkatan anak orang lain (khususnya yang orang dewasa), yang dilakukan secara adat Minangkabau di Nagari Ampang Kuranji Kecamatan Koto Baru Kabupaten Dharmasraya. b) Urang bainduak adalah orang yang berasal dari luar Nagari Ampang Kuranji

yang meminta kepada masyarakat Nagari Ampang Kuranji untuk dijadikan anak (berumur di atas 21 tahun atau telah menikah).

c) Induak adalah masyarakat Nagari Ampang Kuranji yang menjadi orang tua angkat urang bainduak.

d) Masyarakat Minangkabau adalah kelompok masyarakat yang dominan menganut ajaran Islam dan menganut garis keturunan ibu (matrilineal).45

44

Koentjaraningrat, Op.Cit, hlm. 21.

45

Matrilineal berasal dari dua kata, yaitu mater (bahasa Latin) yang berarti “ibu” dan linea (bahasa Latin) berarti “garis”. Jadi “matrilineal” berarti mengikuti “garis keturunan yang ditarik dari pihak ibu”. Lihat Amir Sjarifoedin Tj.A, Minangkabau dari Dinasti Iskandar Zulkarnain sampai

Tuanku Imam Bonjol, (Jakarta: PT. Gria Media Prima, 2011), hlm. 89. Dalam sistem kekerabatan

“matrilineal”, terdapat 3 (tiga) unsur yang paling dominan: pertama, Garis keturunan “menurut garis ibu”; kedua, Perkawinan harus dengan kelompok lain di luar kelompok sendiri, yang sekarang dikenal dengan istilah eksogami matrilineal; dan ketiga, Ibu memegang peran sentral dalam pendidikan, pengamanan kekayaan dan kesejahteraan keluarga, Ibid, hlm. 91.

(26)

G. Metode Penelitian

Secara etimologis metode diartikan sebagai jalan atau cara melakukan atau mengerjakan sesuatu, metode berasal dari bahasa Yunani “Methodos” yang artinya “jalan menuju”, bagi kepentingan ilmu pengetahuan, metode merupakan titik awal menuju proposisi-proposisi akhir dalam bidang pengetahuan tertentu.46 Maka penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya, di samping itu juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan,47 maka dalam metode penelitian merupakan cara dan prosedur yang sistematis dan terorganisir untuk menyelidiki suatu masalah tertentu dengan maksud mendapatkan informasi untuk digunakan sebagai solusi atas masalah, oleh karena itu metode merupakan keseluruhan langkah ilmiah yang digunakan untuk menemukan solusi atas suatu masalah.48

Pemilihan suatu metodologi yang baik untuk suatu penelitian tergantung kepada sasaran penelitian, bahan yang tersedia, kondisi yang meliputi kegiatan penelitian, dan terutama jenis informasi yang diperlukan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut:

46 Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Hukum, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2008),

hlm. 13.

47

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 2007), hlm. 43.

48

(27)

1. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat Deskriptif Analitis yang bertujuan untuk menggambarkan secara cermat karakteristik dari fakta-fakta (individu, kelompok atau keadaan), dan untuk menentukan frekuensi sesuatu yang terjadi.49 Kemudian menelaah dan menjelaskan serta menganalisa data secara mendalam dengan mengujinya dari berbagai peraturan perundangan yang berlaku maupun dari berbagai pendapat ahli hukum sehingga dapat diperoleh gambaran tentang data faktual yang berkaitan dengan pengangkatan urang bainduak di Nagari Ampang Kuranji.

2. Metode Pendekatan

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis sosiologis. Pendekatan yuridis sosiologis adalah metode pendekatan yang meneliti kenyataan hukum yang ada dalam masyarakat (law society) yang lebih ditujukan pada pengkajian masalah tentang dasar hukum pengangkatan anak, akibat hukum pengangkatan anak dan penyelesaian sengketa yang terjadi pada urang bainduak di Nagari Ampang Kuranji.

Penelitian yuridis sosiologis dapat disebut juga penelitian empiris yang merupakan penelitian terhadap identifikasi hukum (tidak tertulis) dan penelitian terhadap efektivitas hukum.50

49

Rianto Adi, Metode Penelitian Sosial dan Hukum, (Jakarta: Granit, 2000), hlm. 58. Dengan penelitian yang bersifat deskriptif dimaksudkan untuk melukiskan keadaan objek atau peristiwanya, lihat Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta: Andi Offset, 1989), hlm. 3.

50

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1983), hlm. 51. Menurut Ronny Hanitijo Soemitro bahwa penelitian yuridis empiris adalah suatu penelitian dengan cara melihat faktor-faktor dari segi hukum yang mempengaruhi kenyataan yang terjadi di masyarakat (lapangan) secara langsung untuk menjawab pokok permasalahan. Lihat Ronny Hanitijo Soemitro,

(28)

3. Lokasi Penelitian

Dalam rangka mendapatkan hasil penelitian yang lebih akurat terhadap jawaban permasalahan dalam penelitian tesis ini, di mana gejala sosial pengangkatan

urang bainduak pada masyarakat Nagari Ampang Kuranji dirasakan semakin

bertambah dari tahun ke tahun permasalahannya. Maka penelitian ini dilaksanakan pada Nagari Ampang Kuranji Kecamatan Koto Baru Kabupaten Dharmasraya Provinsi Sumatera Barat, dengan pertimbangan bahwa terdapat banyak kasus pengangkatan urang bainduak dibandingkan di nagari lain di Kecamatan Kota Baru.

4. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi dalam penelitian ini meliputi seluruh penduduk Nagari Ampang Kuranji yang berjumlah 4.633 jiwa dengan jumlah Kepala Keluarga (KK) sebanyak 1.143 KK.

Sampel diambil dari 8 (delapan) suku yang ada di Nagari Ampang Kuranji yang memiliki anak angkat sudah dewasa. Sampel ditentukan secara purposive

sampling yaitu dari tiap-tiap suku diambil responden 3 (tiga) orang, yang terdiri dari Penghulu Suku, Induak, dan Urang Bainduak. Jumlah responden keseluruhan 24 (dua

puluh empat) orang.

Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), hlm. 24. Lihat juga

pendapat Ronny Hanitijo Soemitro dalam bukunya “Metodologi Penelitian Hukum”, 1983, yang mengatakan bahwa hukum empiris adalah penelitian hukum yang memperoleh datanya dari data primer atau data yang diperoleh langsung dari masyarakat.

(29)

Untuk melengkapi data dalam penelitian ini, diambil 4 (empat) orang yang berkedudukan sebagai narasumber (informan key) yang kompeten dan berhubungan dengan permasalahan tesis ini antara lain, yaitu:

1. 1 (satu) orang Wali Nagari Ampang Kuranji: Amiluf Datuk Penghulu Sati. 2. 1 (satu) orang Ketua Kerapatan Adat Nagari Ampang Kuranji: Erman Datuk

Mangkudum.

3. 1 (satu) orang Sekretaris Kerapatan Adat Nagari Ampang Kuranji: Aan Putra. 4. 1 (satu) orang tokoh masyarakat Nagari Ampang Kuranji: H. Jonson Putra.

5. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan salah satu tahapan dalam proses penelitian yang sifatnya mutlak untuk dilakukan karena data merupakan sumber yang akan diteliti. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara sebagai berikut:

a. Studi kepustakaan (library research)

Studi kepustakaan merupakan suatu metode pengumpulan data yang dilakukan dengan membaca bahan-bahan hukum yang ada relevansinya dengan topik pembahasan atau masalah yang akan diteliti, baik data primer maupun data sekunder.

b. Penelitian lapangan (field research).

Penelitian yang dilakukan di lapangan bertemu langsung dengan responden dan/atau narasumber untuk mendapatkan data primer.

(30)

6. Jenis Data Penelitian

Jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini ada 2 (dua), yaitu:

a. Data primer,51 adalah data yang langsung dari sumber yang diteliti. Data ini ditemukan dengan cara melakukan penelitian lapangan.

b. Data sekunder52 adalah data yang diperoleh dari dokumen publikasi, artinya data sudah dalam bentuk jadi,53 atau data kepustakaan yang dikenal dengan bahan hukum yang terdiri dari 3 (tiga) kelompok, yaitu:

1) Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.54

2) Bahan hukum sekunder merupakan semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Bahan-bahan hukum sekunder terdiri dari buku-buku teks, jurnal-jurnal hukum dan komentar-komentar atas putusan pengadilan.55

51

Data primer adalah data yang diperoleh terutama dari hasil penelitian empiris, yaitu penelitian yang dilakukan langsung di dalam masyarakat, lihat Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, 2010, Op.Cit, hlm. 156.

52

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari hasil penelaahan kepustakaan atau penelaahan terhadap berbagai literatur atau bahan pustaka yang berkaitan dengan masalah atau materi penelitian yang sering disebut sebagai bahan hukum, Ibid.

53

I Made Wirartha, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Skripsi dan Tesis, (Yogyakarta: Andi, 2006), hlm. 34.

54

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 141.

55

(31)

3) Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memberikan pemahaman dan pengertian atas bahan hukum lainnya, misalnya: Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum.

7. Alat Pengumpulan Data

Ada beberapa alat pengumpulan data dalam penelitian ini, yaitu 1) Studi dokumen.

2) Wawancara,56 yaitu penulis melakukan tanya jawab secara langsung kepada responden dan narasumber dengan menggunakan daftar pertanyaan sebagai pedoman wawancara, agar mendapatkan informasi yang lebih fokus sesuai permasalahan yang diteliti.

3) Angket atau kuesioner.57

Ditujukan kepada responden yang dipilih untuk dijadikan sampel, berisikan pertanyaan-pertanyaan dengan menggunakan kombinasi jawaban terbuka dan tertutup. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan informasi yang mendalam dari para responden.

56

Wawancara adalah melakukan tanya jawab secara langsung antara peneliti dengan responden atau narasumber atau informan untuk mendapatkan informasi. Wawancara adalah bagian penting dalam suatu penelitian hukum terutama dalam penelitian hukum empiris. Karena tanpa wawancara, peneliti akan kehilangan informasi yang hanya diperoleh dengan jalan bertanya secara langsung kepada responden, narasumber atau informan, lihat Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad,

Op.Cit, hlm. 161. 57

Angket atau kuesioner adalah teknik mengumpulkan data dengan cara menyebarkan atau membagikan daftar pertanyaan yang telah dibuat sebelumnya oleh peneliti kepada responden, narasumber atau informan. Angket bertujuan untuk mendapatkan informasi yang relevan dengan tujuan penelitian, memperoleh informasi sedetail dan seakurat mungkin, di mana angket bersifat tertutup artinya pertanyaan-pertanyaan di dalamnya sudah ada pilihan jawabannya, Ibid, hlm. 164-165.

(32)

8. Analisis Data

Analisis data pada penelitian ini dilakukan secara kualitatif,58 yaitu dari data yang diperoleh disusun secara sistematis, kemudian dianalisa secara kualitatif untuk mencapai kejelasan terhadap masalah yang akan dibahas. Analisis data kualitatif adalah suatu cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisis, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan dan juga perilakunya yang nyata, diteliti dan dipelajari secara utuh.

Pengertian analisis di sini dimaksudkan sebagai suatu penjelasan dan penginterpretasian secara logis, dan sistematis. Logis sistematis menunjukkan cara berpikir induktif-deduktif dan mengikuti tata tertib dalam penulisan laporan penelitian ilmiah. Setelah analisis data selesai maka hasilnya akan disajikan secara deskriptif, yaitu dengan menuturkan dan menggambarkan apa adanya sesuai dengan permasalahan yang diteliti.59

Melalui metode induktif, data lapangan yang diperoleh dalam penelitian dianalisis dan digeneralisasi/dihubungkan dengan ketentuan-ketentuan maupun asas-asas hukum yang terkait dengan permasalahan yang diteliti sehingga dihasilkan suatu kesimpulan umum. Selanjutnya melalui metode deduktif, ketentuan-ketentuan yang menyangkut permasalahan yang diteliti dihubungkan dengan hasil penelitian yang

58

Bogdan dan Biklen mengatakan bahwa analisis data kualitatif, adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain. Lihat Lexi J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), hlm. 247.

59

H.B. Sutopo, Metodologi Penelitian Hukum Kualitatif, Bagian II, (Surakarta: UNS Press, 1998), hlm. 37.

(33)

diperoleh. Dengan demikian, dapat diketahui dasar hukum pengangkatan urang

bainduak, akibat hukum pengangkatannya dan upaya penyelesaian sengketa apabila

terjadi pada urang bainduak di Nagari Ampang Kuranji. Sehingga dari pembahasan dan analisis yang dilakukan dapat menghasilkan suatu kesimpulan yang sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian, serta dipresentasikan dalam bentuk deskriptif.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan mengenai pengaruh kesenangan pelanggan terhadap loyalitas pelanggan pada Salon Agung di Kabupaten Gianyar Tahun 2013,

Akuisisi citra adalah tahap untuk mendapatkan citra digital. Citra yang didapat terbagi atas citra latih dan citra uji. Proses pengambilan citra telur ayam negeri adalah

e-speaking terdiri dari perintah suara membuka program, menutup program, dan perintah suara mendikte kata dalam microsoft word, yang dapat dilakukan pada menu command, menu

Hasil penelitian diperoleh simpulan bahwa persepsi kelompok tani terhadap peranan penyuluh pertanian dalam pengembangan Gabungan Kelompok Tani di Kabupaten Sukoharjo sudah

kualitas yang sama sehingga keinginan konsumen untuk tetap menikmati rokok A mild. dapat

Pemanenan air hujan ( Rain Water Harvesting ) merupakan metode atau teknologi yang digunakan untuk mengumpulkan air hujan yang berasal dari atap bangunan,

Bahwa pemberian konsentrasi air kelapa muda berpengaruh nyata terhadap tinggi stek, lingkar stek dan panjang akar akan tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap

Hasil implementasi dari sistem yang dibangun dari penulisan penelitian ini adalah sebuah sistem pakar untuk mendiagnosa kerusakan Ginjal, sistem pakar kerusakan