• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM MASYARAKAT MINANGKABAU. Secara etimologi, Minangkabau berasal dari dua kata, yaitu minang dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM MASYARAKAT MINANGKABAU. Secara etimologi, Minangkabau berasal dari dua kata, yaitu minang dan"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM MASYARAKAT MINANGKABAU

2.1 Asal-Usul Masyarakat Minangkabau

Secara etimologi, Minangkabau berasal dari dua kata, yaitu minang dan

kabau. Kata minang ini awalnya dari pengucapan bahasa masyarakat yang

mengucapkan kata manang yang berarti kemenangan, dan kata kabau yang berarti kerbau. Jadi kata minangkabau berarti ―kerbau yang menang‖. Menurut lagenda, nama ini diperoleh dari peristiwa perselisihan di antara kerajaan Minangkabau dengan seorang putera dari Jawa yang meminta pengakuan kekuasaan di Melayu. Untuk mengelakkan diri mereka dari berperang, rakyat Minangkabau mengusulkan pertandingan adu kerbau di antara kedua pihak. Putera tersebut setuju dan mengadakan seekor kerbau yang besar badannya dan ganas. Sedangkan rakyat setempat hanya mengandalakan seekor anak kerbau yang lapar tetapi dengan diberikan pisau pada tanduknya. Sewaktu peraduan, si anak kerbau yang kelaparan dengan tidak sengaja menyerudukkan tanduknya di perut kerbau besar itu karena ingin mencari puting susu untuk meghilangkan lapar dan dahaganya. Kerbau yang ganas itu mati, dan rakyat setempat berhasil menyelesaikan pergelutan tersebut dengan cara yang aman (http://ms.wikipedia.org/wiki/

Minangkabau).

Keterkaitan masyarakat Minangkabau dengan hewan kerbau ini dapat dilihat dari berbagai identitas budaya orang Minangkabau, seperti atap rumah adat

(2)

mereka yang berbentuk layaknya menyerupai tanduk kerbau. Begitu juga dengan pakaian adat perempuan Minangkabau yang disebut dengan baju tanduak kabau.

Namun dari beberapa sumber lain menyebutkan bahwa nama Minangkabau sudah ada jauh sebelum peristiwa adu kerbau itu terjadi, dimana istilah yang lebih tepat sebelumnya adalah ―Minangkabwa,‖ ―Minangakamwa,‖ ―Minangatamwan,‖ dan ―Phinangkabhu.‖ Istilah Minangakamwa atau Minangkamba berarti Minang (sungai) Kembar yang merujuk pada dua sungai Kampar yaitu Kampar Kiri dan Sungai Kampar Kanan. Sedangkan istilah Minangatamwan yang merujuk kepada Sungai Kampar memang disebutkan dalam prasasti Kedukan Bukit dimana di situ disebutkan bahwa pendiri Kerajaan Sriwijaya yang bernama Dapunta Hyang melakukan migrasi massal dari hulu Sungai Kampar (Minangatamwan) yang terletak di sekitar daerah Lima Puluh Kota, Sumatera Barat (http://roezyhamdani.

blogspot.com/p/suku-minangkabau.html).

Menurut para ahli kebudayaan, suku bangsa Minangkabau ini merupakan bagian dari bangsa Deutero Melayu (Melayu Muda). Dimana mereka melakukan migrasi dari dataran China Selatan ke pulau Sumatera sekitar 2500-2000 tahun yang lalu. Diperkirakan kelompok masyarakat Minangkabau ini masuk dari arah timur pulau Sumatera, menyusuri aliran sungai Kampar sampai ke dataran tinggi yang disebut dengan darek (kampung halaman orang Minangkabau). Kemudian suku Minang menyebar ke daerah pesisir di pantai barat pulau Sumatera, yang terbentang dari Barus bagian utara hingga Kerinci bagian selatan. Migrasi tersebut terjadi ketika pantai barat Sumatera menjadi pelabuhan alternatif perdagangan selain Malaka, saat jatuh ke tangan Portugis.

(3)

Dalam buku Dasar-dasar adat Minangkabau (Idrus Hakimi, 1980), diebutkan bahwa nenek moyang masyarakat Minangkabau berasal dari keturunan Raja Iskandar Zulkarnain. Keturunannya menyebar kemana-mana mencari tanah-tanah baru untuk dibuka. Beberapa kawasan yang menjadi Darek tersebut membentuk semacam konfederasi yang disebut mereka dengan nama Luhak. Sesuai dengan pembagian kawasannya, Luhak tersebut disebut mereka menjadi

Luhak Nan Tigo.

Luhak Nan Tigo ada tiga bagian di daerah Minangkabau yang membawahi

daerah rantau, yaitu: (1) Luhak Agam berpusat di Bukittinggi dengan Rantau Pasaman, (2) Luhak Tanah Data berpusat di Batusangkar dengan Rantau Solok, dan (3) Luhak Lima Puluah Koto berpusat di Paya Kumbuh dengan Rantau Kampar.

Daerah rantau terbagi atas, ke utara Luhak Agam; Pasaman, Lubuk Sikaping, dan Rao. Ke selatan dan tenggara Luhak Tanah Data; ada Solok, Silayo, Muaro Paneh, Alahan Panjang, Muaro Labuah, Alam Surambi Sungai Pagu, Sawah Lunto Sijunjung, sampai keperbatasan Riau dan Jambi. Selanjutnya rantau sepanjang hiliran sungai besar; Rokan, Siak, Tapung, Kampar, Kuantan/Indragiri, dan Batang Hari. Sedangkan daerah pesisir terbagi atas, dari utara ke selatan; Meulaboh, Tapak Tuan, Singkil, Sibolga, Sikilang, Aie Bangih, Tiku, Pariaman, Padang, Bandar Sapuluh, Air Haji, Balai Salasa, Sungai Tunu, Punggasan, Lakitan, Kambang, Ampiang Parak, Surantiah, Batang Kapeh, Painan (Bungo Pasang), dan seterusnya Bayang nan Tujuah, Indrapura, Kerinci, Muko-muko, dan Bengkulu.

(4)

Tiap-tiap luhak dibentuk dari beberapa kelarasan, dan pada kelarasan dibentuk suku, dimana setiap suku Minangkabau diatur menurut garis keturunan ibu (matrilineal). Untuk mengesahkan suku, ada harta pusaka dari nenek diwariskan kepada ibu, dan dari ibu diwariskan kepada anak perempuan.

Dalam etnik Minangkabau terdapat banyak klan, dimana mereka sendiri yang menyebutnya dengan istilah suku. Awalnya sebagai suku mereka ada empat suku, yaitu suku Bodi, Caniago, Koto, dan Piliang. Sekarang seiring jalannya waktu, berkembang sampai sudah mencapai ratusan suku, diantaranya suku Gudam, Pinawan, Padang Laweh, Salo, Tanjung, Sikumbang, Panai, dan lain-lain.

2.2 Sistem Agama dan Kepercayaan

Awal sebelum agama Islam masuk di Minangkabau, agama Hindu dan Budha telah muncul di Minangkabau. Tetapi kedua agama ini hanya berkembang di sekitar istana saja. Diperkirakan sekitar pertengahan abad ke tujuh agama Islam masuk dibawa oleh para pedagang, akan tetapi mulai berkembang sekitar abad ke tiga belas.

Hingga saat ini agama Islam menjadi satu-satunya agama yang berkembang di Minangkabau dan telah menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari identitas masyarakat Minangkabau. Pengaruh agama Islam kuat di dalam adat Minangkabau, seperti yang tercatat di dalam pepatah mereka, adat basandi syara’,

syara’ basandi Kitabullah, yang artinya, adat (Minangkabau) bersendi hukum

(5)

Minangkabau dengan agama Islam memiliki suatu kesatuan yang saling menunjang dalam membina masyarakatnya.

Setiap orang yang menjalankan adat Minangkabau haruslah beragam Islam karena adat mereka sejalan dengan agama Islam. Terdapat banyak persamaan di antara paham Islam dengan paham orang Minangkabau. Ciri-ciri Islam begitu mendalam dalam adat Minangkabau, sehingga mereka yang tidak mengamalkan agama Islam dianggap telah terkeluar dari masyarakat Minangkabau.

2.3 Sistem Kekerabatan

Masyarakat Minangkabau menggunakan sistem matrilineal, baik itu di Medan ataupun daerah perantauan mereka lainnya maupun di kampung halaman mereka sendiri Sumatera Barat. Dimana yang artinya keluarga yang menganut prinsip silsilah keturunan yang diperhitungkan melalui garis ibu. Dalam sistem kekerabatan matrilineal terdapat 3 unsur yang paling dominan, yaitu: Pertama, garis keturunan ―menurut garis ibu.‖ Kedua, perkawinan harus dengan kelompok lain, di luar kelompok sendiri, yang sekarang dikenal dengan istilah eksogami matrilineal. Ketiga, ibu memegang peran sentral dalam pendidikan, pengamanan kekayaan, dan kesejahteraan keluarga.

Dalam perkawinan masyarakat Minangkabau menganut sistem eksogami, dimana yang artinya adalah sistem perkawinan di luar batas suatu lingkungan tertentu, atau dengan kata lainnya perkawinan di luar kelompoknya. Serta matrilokal dimana suami tinggal di sekitar rumah kerabat isterinya, atau di dalam

(6)

lingkungan kekerabatan isterinya. Semua harta dan tanah yang dimiliki diwariskan kepada anak perempuan.

Masyarakat Minangkabau memiliki kelompok kekerabatan, dimana ikatan kekerabataan tersebut terbentuk berdasarkan paruik, kampueng, dan suku. Paruik adalah kelompok kerabat seketurunan menurut garis keturunan ibu yang merupakan kelompok keluarga terkecil yang terdiri dari ibu, anak laki-laki dan perempuan, saudara laki-laki ibu, saudara perempuan ibu, serta anak-anaknya dan cucu-cucu dari anak perempuannya. Dimana dulunya mereka tinggal dirumah yang disebut dengan Rumah Gadang (rumah besar). Kumpulan dari paruik membentuk klen besar, yaitu kampueng yang dipimpin oleh seorang penghulu

andiko atau datuek kampueng. Kemudian gabungan kampueng membentuk

sukuyang merupakan satu keturunan yang sama berdasarkan prinsip matrilineal dan dipimpin oleh seorang penghulu suku.

Dalam keluarga Minangkabau, ayah tidak termasuk dalam anggota keluarga istri dan anaknya, akan tetapi ia tetap menjadi anggota kaum warganya masing-masing, yaitu ibunya. Ayah dipandang sebagai pemberi keturunan. Dimana ayah atau laki-laki yang menikahi seorang perempuan dari satu paruik atau kampueng lain disebut dengan urang sumando (orang pendatang). Ada pula keluarga batih ada dalam sistem kekeluargaan Minangkabau yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak meskipun tidak begitu dikenal, mengingat ibu dan ayah akan tetap menjadi anggota dan terlibat dalam keluarga asalnya, yaitu ibunya.

Pada dasarnya anak laki-laki di Minangkabau telah diajarkan untuk hidup berpisah dengan orangtua dan sudara-saudara perempuannnya. Mereka tidak lagi

(7)

tinggal di rumah gadang dengan ibunya, melainkan hidup berkelompok di surau-surau (mushola atau mesjid). Disana mereka belajar mengaji, silat, dan bergaul dengan kelompok pria dengan segala tingkatan usia.

Dalam masyarakat Minangkabau, di beberapa daerah ada terdapat sebutan atau nama panggilan yang digunakan keluarga. Panggilan ini juga berlaku pada sebagian besar masyarakat Minangkabau di kota Medan, seperti seorang adik memanggil kakak perempuannya dengan panggilan uni, dan panggilan uda untuk kakak laki. Panggilan mande untuk panggilan ibu, paman atau saudara laki-laki ibu dipanggil mamak, dan orang yang lebih tua memanggil upiak kepada anak perempuannya, dan buyuang untuk anak laki-laki. Anak memanggil mak adang kepada saudara perempuan ibu yang lebih tua dan mak etek kepada yang lebih muda dari ibu. Semua laki-laki dalam pesukuan dan dalam suku yang serumpun yang menjadi kakak atau adik dari ibu kita, disebut juga dengan mamak. Jadi

mamak tidak hanya sebatas saudara kandung ibu, tapi semua laki-laki yang

segenerasi dengan ibu dalam suku yang serumpun.

Dalam keluarga Minangkabau, mamak memiliki peranan dan tanggung jawab yang penting. Mamak yang merupakan saudara laki-laki ibu berkewajiban membimbing kemenakan (keponakan), mengatur, dan mengawasi penggunaan harta pusaka. Untuk itulah mamak dapat dikatakan memiliki kedudukan yang sejajar dengan ibu. Dalam ikatan perkawinan, mamak memiliki tanggung jawab dalam kesepakatan yang dilakukan. Jika terjadi ingkar janji, maka mamak-lah yang harus membayar semua hutang tersebut bukan kemenakan yang akan dikawinkan.

(8)

Di dalam setiap kelompok orang saparuik (seperut) yang disebut satu suku dalam sistem kekerabatan Minangkabau mempunyai gelar pusaka kaum sendiri yang diturunkan dari ninik kepada mamak dan dari mamak kepada keponakan lakinya. Gelar ini yang nantinya diberikan turun-temurun kepada para laki-laki yang akan berumah tangga. Mereka akan lebih dihargai dan dihormati dengan pemberian gelar tersebut. Gelar yang diberikan kepada laki-laki yang akan menikah di Minangkabau dapat diberikan kepada siapa saja tanpa suatu acara khusus. Lain halnya dengan gelar yang harus disandang oleh seorang penghulu (kepala kaum) yang merupakan warisan adat yang hanya bisa diturunkan pada kemenakannya dalam upacara adat dengan kesepakatan kaum setelah penghulu meninggal dunia.

Perkawinan yang dilakukan menimbulkan tali kekerabatan yang baru, yaitu kerabat perempuan dari pihak laki-laki disebut pasumandan. Saudara perempuan dari ayah bagi anak-anaknya disebut bako atau induak bako, sedangkan anak-anak dari saudara laki-laki bagi saudara perempuannya disebut anak pisang.

Di kota Medan sendiri, sistem kekrabatan ini masih digunakan oleh masyarakat Minangkabau yang merantau ke kota Medan ini. Peranan datuek

kampueng dan penghulu suku juga masih berperan, akan tetapi peranannya hanya

formalitas saja.

2.4 Sistem Kesenian

Kesenian merupakan ekspresi manusia terhadap keindahan, dalam kebudayaan suku-suku bangsa yang pada mulanya bersifat deskriptif

(9)

(Koentjaraningrat, 1982:395-397). Kesenian Minangkabau pada mulanya merupakan permainan rakyat yang bersifat terbuka dari rakyat untuk rakyat. Oleh karena sifatnya yang terbuka maka menjadi milik suatu komunitas yang mudah berubah. Pengertian berubah dalam hal ini yakni dalam konteks sosiobudaya masyarakat Minangkabau yang dapat diartikan sebagai berkembang, memperkaya, dan memperbanyak aspek-aspeknya (Nerosti Adnan, 2008). Masyarakat Minangkabau memiliki berbagai macam bentuk kesenian, yakni seni bangunan, seni sastra, seni rupa,seni beladiri, seni drama, seni suara, dan seni tari.

Seni bangunan, dilihat dari rumah adat Minangkabau yang disebut dengan rumah gadang. Dimana rumah gadang ini terdiri atas biliek sebagai ruang tidur, dan didieh sebagai ruang tamu. Ciri utama rumah ini adalah bentuk lengkung atapnya yang disebut dengan gonjong yang artinya tanduk kerbau.

Seni rupa adalah suatu bentuk kesenian yang dapat dinikmati melalui penglihatan. Pada masyarakat Minangkabau, hal ini dapat dilihat dari ukiran-ukiran pada rumah gadang. Dimana biasanya ada motif gambar tumbuh-tumbuhan dan binatang yang menghiasi tiang-tiang dan dindingnya.

Seni bela diri yang lebih sering disebut silek yang dimiliki masyarakat Minangkabau merupakan seni olahraga bela diri yang tumbuh kembang dan diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Silek bagi mereka merupakan jati diri, yang melekat dalam keseharian mereka, terutama bagi kaum laki-laki, tetapi bukan tabu bagi kaum perempuan, karena banyak juga perempuan Minang yang menguasai seni bela diri tersebut. Seni beladiri ini mereka pelajari

(10)

guna agar mereka bisa membela diri dari serangan para penyamun, atau melindungi kaum kerabatnya.

Seni Drama mereka berupa Randai, yang merupakan teater rakyat atau opera yang didalamnya meliputi pencak silat, musik dan tarian. Didalamnya berisi opera bernyanyi sambil bercerita dan melakukan mancak8. Seni sastra terutama sastra lisan, yaitu berupa pantun yang berupa nasihat dan syair yang paling banyak dikuasai oleh masyarakat Minangkabau.

Seni musik dan suara merupakan suatu bentuk karya seni yang dapat dinikmati manusia melalui pendengaran, seperti seni vokal, seni instrumental, dan seni sastra. Dimana seni vokal yang berkembang pada masyarakat Minangkabau, yaitu berupa dendang (nyanyian), indang, dan dikie (zikir). Sedangkan seni suara melalui instrumen, ada saluang, bansi, talam, rabano, gandang, talempong, dan lainnya.

Seni tari merupakan gabungan antara seni gerak dan seni suara yang dapat dinikmati oleh manusia melalui penglihatan dan pendengaran. Seni tari yang berkembang pada masyarakat Minangkabau, yaitu berupa mancak, tari piring, tari

Galombang, dan banyak lagi.

8 Dikatakan sebagai bungo silek (bunga silat) adalah berupa gerakan-gerakan tarian silat

yang dipamerkan di dalam acara-acara adat atau acara-acara seremoni lainnya. Gerakan-gerakan untuk mancak diupayakan seindah dan sebagus mungkin karena untuk pertunjukan. (Wawancara dengan Bapak Nawar,Padang)

(11)

2.5 Upacara Adat dan Acara Perayaan Minangkabau

Upacara adat merupakan serangkaian tindakan atau perbuatan yang terikat pada aturan tertentu berdasarkan adat istiadat, agama, dan kepercayaan. Adapun upacara- upacara adat Minangkabau:

1. Batagak Panghulu

Batagak panghulu adalah upacara pengangkatan panghulu. Sebelum

upacara peresmiannya, syarat-syarat berikut harus dipenuhi: a. Baniah, yaitu menentukan calon penghulu baru.

b. Dituah cilakoi, yaitu diperbincangkan baik buruknya calon dalam sebuah rapat.

c. Panyarahan baniah, yaitu penyerahan calon penghulu baru.

d. Manakok ari, yaitu perencanaan kapan acara peresmiannya akan dilangsungkan.

Peresmian pengangkatan panghulu dilaksanakan dengan upacara adat. Upacara ini disebut malewakan gala. Hari pertama adalah batagak gadang, yakni upacara peresmian di rumah gadang yang dihadiri urang nan ampek jinih dan pemuka masyarakat. Panghulu baru menyampaikan pidato. Lalu panghulu tertua memasangkan deta dan menyisipkan sebilah keris tanda serah terima jabatan. Terakhir panghulu baru diambil sumpahnya, dan ditutup dengan doa. Hari kedua adalah hari perjamuan. Hari berikutnya panghulu baru diarak ke rumah bakonya diringi bunyi-bunyian. Disinilah tari Galombang

(12)

2. Upacara Perkawinan (Baralek) a. Pinang-Maminang

Acara ini diprakarsai pihak perempuan. Bila calon suami untuk si perempuan sudah ditemukan, dimulailah perundingan para kerabat untuk membicarakan calon itu. Pinangan dilakukan oleh utusan yang dipimpin mamak si perempuan. Jika pinangan diterima, perkawinan bisa dilangsungkan.

b. Batimbang Tando

Batimbang tando adalah upacara pertunangan. Saat itu dilakukan pertukaran tanda bahwa mereka telah berjanji menjodohkan anak kamanakan mereka. Setelah pertunangan barulah dimulai perundingan pernikahan.

c. Malam Bainai

Bainai adalah memerahkan kuku pengantin dengan daun pacar/inai

yang telah dilumatkan. Yang diinai adalah keduapuluh kuku jari. Acara ini dilaksanakan di rumah anak daro (pengantin wanita) beberapa hari sebelum hari pernikahan. Acara ini semata-mata dihadiri perempuan dari kedua belah pihak.

d. Pernikahan

Pernikahan dilakukan pada hari yang dianggap paling baik, biasanya Kamis malam atau Jumat. Acara pernikahan diadakan di rumah anak

daro atau di masjid.

(13)

Basandiang adalah duduknya kedua pengantin di pelaminan untuk

disaksikan tamu-tamu yang hadir pada pesta perjamuan. Kedua pengantin memakai pakaian adat Minangkabau. Acara biasanya dipusatkan di rumah anak daro, jadi segala keperluan dan persiapan dilakukan oleh pihak perempuan. Di sinilah tari Galombang di persembahkan.

f. Manjalang

Manjalang merupakan acara berkunjung. Acara ini dilaksanakan di

rumah marapulai (pengantin laki-laki). Para kerabat menanti anak daro yang datang manjalang. Kedua pengantin diiringi kerabat anak daro dan perempuan yang menjujung jamba, yaitu semacam dulang berisi nasi, lauk pauk, dsb.

3. Upacara Sunat Rasul

Sunat Rasul juga merupakan syariat Islam, tanda pendewasaan bagi seorang anak. Upacara biasanya diselenggarakan waktu si anak berumur 8 – 12 tahun, bertempat di rumah ibu si anak atau rumah keluarga terdekat ibu si anak. Acara dimulai dengan pembukaan, lalu si anak disunat, selanjutnya doa.

4. Upacara Turun Mandi

Upacara turun mandi dimaksudkan untuk menghormati keturunan yang baru lahir dan berbagi kebahagiaan dengan masyarakat bahwa di kaum tersebut telah lahir keturunan baru. Upacara ini dilaksanakan di rumah orang tua si anak saat anak tersebut berumur tiga bulan. Di sini, si anak dimandikan oleh

(14)

Adapun acara perayaan yang biasa dilakukan masyarakat Minangkabau: a. Tabuik (Tabut) adalah perayaan lokal dalam rangka memperingati

Asyura, gugurnyaImam Husain, cucu Muhammad, yang dilakukan oleh masyarakat Minangkabau di daerah pantaiSumatera Barat, khususnya di Kota Pariaman.

b. Makan bajamba atau juga disebut makan barapak adalah tradisi makan yang dilakukan oleh masyarakat Minangkabau dengan cara duduk bersama-sama di dalam suatu ruangan atau tempat yang telah ditentukan. Tradisi ini umumnya dilangsungkan di hari-hari besar agama Islam dan dalam berbagai upacara adat, pesta adat, dan pertemuan penting lainnya.

c. Turun ka sawah - upacara kerja gotong-royong d. Manyabik - upacara menuai padi

e. Hari Rayo - perayaan Hari Raya Aidilfitri f. Hari Rayo - perayaan Hari Raya Aidiladha

g. Maanta pabukoan - menghantar makanan kepada ibu mertua sewaktu bulan Ramadan

h. Tabuik - perayaan Islam di Pariaman

i. Tanah Ta Sirah, perlantikan seorang Datuk (ketua puak) apabila Datuk yang sebelumnya meninggal dunia silang beberapa jam yang lalu (tidak payah didahului dengan upacara batagak pangulu)

(15)

j. Mambangkik Batang Tarandam, perlantikan seorang Datuk apabila Datuk yang sebelumya telah meninggal 10 atau 50 tahun yang lalu (mengisi jawatan yang telah lama dikosongkan).

2.6 Masuknya Masyarakat Minangkabau di Kota Medan

Medan merupakan salah satu kota di Indonesia yang menjadi tujuan perantau beberapa suku di Indonesia. Pada tahun 1909, Medan menjadi kota yang penting di luar Jawa. Terutama setelah pemerintah kolonial membuka perusahaan perkebunan secara besar-besaran. Di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 terdapat dua gelombang migrasi besar ke kota Medan. Gelombang pertama kedatangan dari orang Tionghoa dan Jawa sebagai kuli kontrak perkebunan. Gelombang kedua ialah kedatangan orang Minangkabau, Mandailing, dan Aceh. Kedatangan merea ke Kota Medan dan sekitarnya bukan untuk bekerja sebagai buruh perkebunan, tetapi umumnya untuk berdagang, menjadi guru dan alim ulama (https://id.wikipedia. org/wiki/Kota Medan).

Keinginan masyarakat Minangkabau untuk merantau sangatlah tinggi, hal ini dilihat dari hasil studi yang pernah dilakukan tahun 1973 lalu. Pada tahun 1961 terdapat sekitar 32% orang Minang yang berdomisili di luar Sumatera Barat, tetapi pada tahun 1971, jumlahnya semakin meningkat menjadi 44% yang berdomisili di luar Sumatera Barat. Dalam hal ini berarti lebih dari separuh orang Minang berada di luar Sumatera Barat. Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa keinginan merantau orang Minangkabau begitu besarnya. Dibanding dengan suku lainnya yang ada di Indonesia, keinginan merantau orang

(16)

Minangkabau cukup besar. Sebab menurut sensus pada tahun 1930, suku perantau tertinggi di Indonesia adalah suku Bawean (35,9%), kemudian suku Batak (14,3%), selanjutnya suku Banjar (14,2%), setelah itu suku Minang sebesar 10,5% (Ahmad Yunus, 1985:4).

Ada beberapa faktor yang menjadi alasan masyarakat Minangkabau merantau, baik itu faktor budaya maupun ekonomi. Salah satu penyebab terhadap fenomena budaya ialah sistem kekerabatan matrilineal mereka. Dengan sistem tersebut, penguasaan harta pusaka dipegang oleh kaum wanita, sedangkan kaum lelaki cukup kecil. Selain itu, setelah masa akil balik laki-laki tidak lagi dapat tidur di rumah orang tuanya, karena rumah hanya diperun tukkan untuk kaum wanita beserta suaminya, dan anak-anaknya. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan banyaknya kaum laki-laki semangat untuk mengubah nasib dengan merantau untuk mencari kekayaan dengan berdagang dan meniti karir, serta melanjutkan pendidikan. Begitu juga pada penjelasan pada faktor ekonomi dimana pertumbuhan penduduk yang tidak diiringi dengan bertambahnya sumber daya alam yang dapat diolah mereka, yang menyebabkan tidak cukup memenuhi keperluan bersama. Faktor-faktor inilah yang mendorong orang Minang pergi merantau.

Masyarakat Minangkabau mendorong para pemuda dan anak-anak mereka untuk merantau dan membawa sesuatu sebagai tanda bahwa mereka telah mengadu nasib di negeri orang. Semua itu akan digunakan untuk membangun dan memperbaiki masing-masing rumah mereka di kampung halaman mereka,

(17)

membeli tanah, ataupun memberikan pemikiran-pemikiran mereka demi kemajuan daerah mereka.

Kota Medan sendiri memiliki penduduk yang heterogen, baik itu dari segi budaya, agama, profesi, dan lain-lain. Masuknya berbagai suku masyarakat membawa budaya tradisi asal mereka masing-masing. Begitu juga masyarakat Minangkabau yang merupakan salah satu suku yang merantau ke kota Medan ini memberikan keberagaman seni dan budaya yang ada di Kota Medan dari budaya tradisi yang dibawa oleh mereka sendiri.

Di kota Medan sendiri, kelompok masyarakat Minangkabau ini hampir menempati seluruh kawasan kota Medan. Tercatat masyarakat Minangkabau paling banyak bermukim di Medan Denai dan Sukaramai. Dimana lokasi-lokasi ini juga merupakan daerah strategis dalam melakukan kepentingan perdagangan.

Menurut data statistik kota Medan tahun 2000, suku Minangkabau di Sumatera Utara berjumlah 306.550 jiwa, seperti yang dilihat pada Tabel 1. Meskipun jumlah suku Minangkabau berada pada urutan ke-9, akan tetapi suku Minangkabau dan kebudayaannya cukup dikenal umum, karena kemampuan mereka memperkenalkan diri dari segi perdagangan, seperti banyaknya usaha rumah makan Minang, pedagang sate Padang, dan lain-lainnya.

(18)

Tabel 2.1:

Jumlah Penduduk Kota Medan Berdasarkan Suku Hasil Sensus Penduduk Tahun 2000

Suku Persentase Jumlah Penduduk

Melayu 5,89% 674.112 jiwa Karo 5,09% 585.173 jiwa Simalungun 2,04% 234.515 jiwa Toba 25,62% 2.948.264 jiwa Mandailing 11,27% 1.296.518 jiwa Pakpak 0,73% 83.866 jiwa Nias 6,36% 731.620 jiwa Jawa 33,40% 3.843.602 jiwa Minang 2,66% 306.550 jiwa Cina 2,71% 311.779 jiwa Aceh 0,97% 111.686 jiwa Lainnya 3,29% 379.113 jiwa

Sumber: Badan Pendataan Statistik Propinsi Sumatera Utara

2.7 Sanggar – Sanggar Minangkabau di Kota Medan 2.7.1 Sanggar Tigo Sapilin

Sanggar Tigo Sapilin merupakan salah satu sanggar kesenian Minangkabau yang berdiri sendiri tanpa dibawahi naungan organisasi manapun. Sanggar ini berdiri pada tahun 1987 oleh Bapak H. Abu Bakar Siddiq, S.H., yang juga merupakan Ketua YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) Sumatera Utara. Sanggar ini merupakan sanggar Minang yang tertua di Medan. Sanggar ini terletak di Jalan Gurilla Gg. Toke Umar, No. 18, Kelurahan Sei Kerah Hilir II, Kecamatan Medan Perjuangan, Medan.

(19)

Sanggar Tigo Sapilin ini bergerak dalam bidang musik dan tari kesenian tradisional Minangkabau, seperti tari Galombang. Sanggar ini di bentuk awalnya karena bapak ini senang dengan dunia kesenian, dari masa mudanya beliau hobi dengan dunia seni. Dia ingin memperkenalkan kepada masyarakat Medan akan kesenian Minangkabau, serta memajukan dan melestarikan kebudayaan adat Minangkabau.

Sanggar Tigo Sapilin ini awalnya memiliki anggota yang memang keluarga sendiri begitu juga kerabat Bapak ini yang berasal dari lulusan ASKI Padang Panjang. Namun sekarang karena keluarga dan kerabat bapak tersebut melanjutkan kehidupan masing-masing ke berbagai tempat, dilanjutkanlah oleh keluarga yang masih ada ditempat bapak ini dan ada juga beberapa orang dari luar keluarga. Sekitar ada 22 orang jumlah anggota sanggar Tigo Sapilin saat ini, ada perempuan dan ada laki-laki, serta terbagi atas anak-anak dan orang dewasa. Keseluruhannya tersebut sudah termasuk penari dan pemusik.

Kelompok sanggar ini biasanya melakukan latihan rutin setiap hari Sabtu sekitar pukul 15.30-17.30 wib. Dimana waktu untuk latihan ini disesuaikan karena besok harinya hari minggu libur untuk anak sekolah, kuliah, dan beberapa yang bekerja. Akan tetapi, anggota sanggar ini juga melakukan latihan di hari-hari lainnya tergantung keinginan para anggota. Begitu juga jika ada job atau panggilan permintaan pertunjukan dalam suatu acara ataupun pesta pernikahan, jadwal latihan lebih diperbanyak dari biasanya, dan jadwal latihannya di buat tergantung hari apa dan jam berapa yang bisa di berikan anggota dan disesuaikan bersama.

(20)

Sistem pelatihan dilakukan dengan menggunakan latihan bersama. Dimana pertamanya para penari dulu yang berlatih, baik itu mengulang gerakan lama maupun membentuk gerakan-gerakan yang baru. Setelah dalam beberapa hari para penari sudah mahir dan kompak, selanjutnya dipanggillah para pemusik agar saling menyesuaikan. Hal ini dikarenakan dalam tari Galombang ini sistemnya gerakan tari mengikuti musik.

Dalam pembagian honorium jika ada melakukan pertunjukan pada sanggar, yaitu dengan membagi rata pada setiap anggota dan menyisakan sekitar 20% dari penghasilan setiap pertunjukan. Sisihan tersebut digunakan untuk biaya menambah inventaris sanggar agar lebih baik dan kebutuhan sanggar lainnya. Dalam penentuan harga untuk sekali pertunjukan yang dilakukan sanggar ini, mereka memberikan harga lebih murah kepada keluarga atau kerabat dibandingkan kepada orang lain. Patokan harga yang diberikan oleh sanggar ini kepada masyarakat umum sekitar Rp. 3.000.000 – Rp.4.000.000.

Sanggar Tigo Sapilin ini telah banyak melakukan pertunjukan berbagai tari tradisional di kota Medan, dari semuanya paling banyak pertunjukan tari

Galombang untuk upacara perkawinan. Sanggar ini menyajikan tari Galombang

dengan bentuk yang sudah dikreasikan sama seperti sanggar-sanggar lainnya, yaitu gerakan baku dari gerakan ini yakni mancak ataupun bungo silek yang dikreasikan kembali dalam pola geraknya. Sanggar ini juga masih rajin ikut serta dalam ajang silahturahmi ke Bukit Tinggi yakni Pedati (Pesta Budaya Seni Pameran Dagang dan Industri).

(21)

2.7.2 Sanggar Pilago

Sanggar Pilago ini merupakan salah satu sanggar yang bergerak dalam bidang tari dan musik kesenian tradisional dan lebih berbasis pada tradisi Minangkabau. Berdiri secara individu pada tahun 2004 tanpa dibawahi naungan organisasi manapun. Dikarenakan sanggar yang spesifikasinya lebih kepada sanggar Minang jadi organisasi seperti Badan Musyawarah Masyarakat Minang (BM3) sudah mengetahui dan mereka selalu menggunakan sanggar ini dalam setiap kegiatan Minang khususnya. Sanggar ini didirikan dan diketuai oleh ibu Nurwani, yang juga merupakan dosen tetap di Universitas Negeri Medan (UNIMED) dan juga menantu dan mantan anggota sanggar dari bapak H. Abu Bakar Siddiq, S.H., pendiri sanggar Tigo Sapilin yang penulis jelaskan di atas. Dibantu juga dengan junior dan teman-teman ibu ini.

Sanggar Pilago ini dibentuk dikarenakan latar belakang pendidikan ibu Nirwani adalah seni, dan mengajar seni, secara spontan menumbuhkan rasa keinginan untuk mengembangkan kreatifitas di seni, terkhusus menjaga dan mengembangkan kesenian tradisi Minangkabau di kota Medan ini. Menyalurkan bakat juga merupakan salah satu faktor ibu ini membentuk sanggar Pilago ini. Untuk penamaan sanggar ini dibuat nama Pilago, diambil dari marga ibu ini sendiri yakni marga Piliang dan marga Caniago dari marga suami ibu ini.

Sanggar ini dulunya berlokasi di jalan Adi Nugoro, belakang taman budaya, tepatnya di sekretariat BM3, diberi tempat berlatih dan mengembangkan sanggar ini oleh pihak BM3. Tetapi berjalannya waktu, sekarang sudah dibuat di Jalan Pimpinan No.92 Medan yang merupakan rumah dari Ibu Nurwani ini sendiri.

(22)

Sanggar ini biasanya melakukan latihan rutin di hari Rabu dan Jumat sore sekitar pukul 16.00 – 18.00 WIB. Namun jika ada pesanan mendadak dari konsumen, untuk tempat pelatihannya dibuat di kampus UNIMED dari sore sampai malam hingga tidak mengenal waktu lagi, karena anggota nya dari mahasiswa ibu ini sendiri juga. Tempat ini dipilih karena lebih efisiensi.

Untuk anggotanya sampai saat ini silih berganti bergantian, karena notabenenya tadi anggotanya berasal dari mahasiswa nya sendiri. Diperkirakan ibu ini ada sekitar 30-an orang anggotanya include perempuan, laki-laki, penari, maupun pemusik nya.

Untuk sistem pelatihan, dilakukan dengan menggunakan latihan bersama dibimbing oleh ibu ini dan dibantu oleh pak Martozet dan pak Iwan selaku dosen UNIMED juga. Dimana pertamanya diberi ide terlebih dahulu lalu dikembangkan bersama para penari dan pemusik. Penari terlebih dulu yang berlatih, baik itu mengulang gerakan lama maupun membentuk gerakan-gerakan yang baru. Setelah dalam beberapa hari para penari sudah mahir dan kompak, selanjutnya digabunglah dengan para pemusik agar saling menyesuaikan.

Sanggar ini juga menawarkan tari-tarian daerah lainnya seperti Melayu, Jawa, Sunda, Batak, Mandailing, dan sebagainya. Selain tari-tarian sanggar ini juga menawarkan live musik daerah Minangkabau, misalnya pada arak-arakan pengantin dan juga musik untuk mengiringi tari.

Dalam pembagian honorium jika ada melakukan pertunjukan pada sanggar, yaitu dengan membagi rata minimal Rp.100.00,00 pada setiap anggotanya dan menyisakan diluar dari honor anggota dari penghasilan setiap pertunjukan untuk

(23)

biaya kostum, make-up, dan juga transport. Itu tergantung juga pada incoming sanggar, jika pesanan mendapat nilai harga yang besar maka pembagian untuk anggota juga akan naik. Dalam penentuan harga untuk sekali pertunjukan yang dilakukan sanggar ini, patokan harga yang diberikan oleh sanggar ini kepada masyarakat umum bermacam- macam tergantung permintaan bentuk tari

Galombang yang mana yang dipesan. Karena ada 3 macam bentuk tari Galombang yang ditawarkan ibu ini kepada konsumen, maka berbeda-bedalah

harga yang ditawarkan. Ada bentuk tari Galombang yang biasa, dengan menggunakan 2 orang pesilat, penari 6 orang, pembawa carano 1 orang, pemusik 6 orang, jadi ada 15 anggota, dalam perhitungannya bisa dikenakan harganya sekitar Rp. 3.000.000,00. Jika bentuk tari Galombang nya diminta 4 pesilat nya, jadi menggunakan 17 anggota, maka kisaran perhitungan harganya dibuat sekiata Rp. 3.000.000,00 lebih. Ada 1 bentuk lagi, ibu ini menamakannya tari Galombang untuk pesta Baralek Gadang maksudnya pesta besar dengan menggunakan 6 orang penari Randai, 4 orang pembawa Jamba, 6 orang penari, 2 orang pesilat beserta penari piring, 3 orang pembawa carano, 8 orang pemusik, jadi totalnya menggunakan 29 anggota, perhitungan biayanya dikenakan sekitar Rp.5.000.000,00 – Rp.7.000.000,00.

Sanggar Pilago ini telah banyak melakukan pertunjukan berbagai tari tradisional di kota Medan, Sumatera Utara, maupun Sumatera Barat. Dari semuanya paling banyak untuk upacara perkawinan dan penyambutan tamu kebesaran sabagiannya. Sanggar ini juga sering diundang di acara Pedati (Pesta Budaya Seni Pameran Dagang dan Industri) yakni acara silahturahmi ke Bukit

(24)

Tinggi. Sanggar ini menyajikan tari Galombang dengan bentuk yang sudah dikreasikan juga sama seperti sanggar-sanggar lainnya, yaitu gerakan mancak ataupun bungo silek yang dikreasikan kembali dalam pola geraknya.

2.7.3 Sanggar Tri Arga

Sanggar Tri Arga ini berdiri sejak tahun 1997, yang didirikan oleh Ibu Herna, Pak Mus, dan Pak Khairul dan di ketuai oleh Ibu Herna. Awalnya sanggar ini berlokasi di Komplek Tasbih Blok 5, yang merupakan tempat latihan menari sekaligus latihan bermusik, akan tetapi seiring berjalannya waktu sanggar Tri Arga ini pindah lokasi di jalan Dolok sanggul No. 3 Medan yang merupakan rumah dari Pak Khairul.

Sanggar Tri Arga ini berbasis tradisi Minang, hal ini dapat dilihat bahwa sanggar ini mengutamakan tari-tarian Minangkabau sebagai produk utama sanggar untuk ditawarkan kepada konsumennya, seperti tari piring, tari persembahan, tari payung, tari rantak, tari bangau, begitu juga dengan tari

Galombang yang menjadi fokus penulis. Sanggar ini juga menawarkan tari-tarian

daerah lainnya seperti Melayu, Jawa, Sunda, Batak, Mandailing, dan sebagainya. Selain tari-tarian sanggar ini juga menawarkan live musik daerah Minangkabau, misalnya pada arak-arakan pengantin dan juga musik untuk mengiringi tari.

Sanggar Tri Arga ini beranggotakan 27 orang yang aktif termasuk penari dan pemusik. Kegiatan latihan menari dan bermusik di lakukan di setiap hari Rabu dan Sabtu sore. Sanggar ini mengutamakan job oriented, yaitu mempelajari tari dan musik daerah untuk kepentingan pertunjukan atau kepentingan pesanan konsumen.

Referensi

Dokumen terkait

Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga sampai saat ini masih memberikan kesempatan untuk dapat menyelesaikan skripsi dengan judul

Kegiatan inti merupakan proses pembelajaran untuk mencapai tujuan, yang dilakukan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik

bahwa dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan

Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik morfometri dan batimetri danau, mengetahui status mutu perairan, dan menentukan DTBPA Danau

Terapi CAP dapat dilaksanakan secara rawat jalan. Namun pada kasus yang berat pasien dirawat di rumah sakit dan mendapat antibiotika parenteral. Pilihan antibiotika yang

Iklan Baris Iklan Baris JAKARTA BARAT Rumah Dikontrakan Rumah Dijual JAKARTA PUSAT LAIN-LAIN JAKARTA SELATAN JAKARTA TIMUR BODETABEK.. DIKONT 2LT

Kadar testosteron dan LH plasma juga dilaporkan menurun selama periode klaster; tetapi penurunan serupa juga terjadi di kalangan penderita neuralgia trigeminal dan di

Memiliki NPWP dan BpJS Kesehatan aktif (tidak terhutang ¡uran) atau bersedia menjadi anggota BPJS serta membayar iuran jika diterimaa. Tenaga Pendukung Teknis