• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kata kunci: abu vulkanik Merapi, asam humat-fulvat, C-organik, pupuk kandang sapi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kata kunci: abu vulkanik Merapi, asam humat-fulvat, C-organik, pupuk kandang sapi"

Copied!
72
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH KOMBINASI ABU VULKANIK MERAPI, PUPUK ORGANIK DAN TANAH MINERAL TERHADAP SIFAT FISIKO-KIMIA MEDIA TANAM SERTA

PERTUMBUHAN TANAMAN JAGUNG (Zea mays L.) Nurlaeny, N., Saribun, D.S. dan Hudaya, R.

Jurusan Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan, Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran Jl. Raya Bandung-Sumedang Km 21 Jatinangor 45363

E-mail: nenny_nurlaeny@yahoo.de ABSTRAK

Kerugian serius yang ditimbulkan bagi areal pertanian akibat material vulkanik yang dikeluarkan saat gunung berapi meletus terutama ditentukan oleh ketebalan lapisan abu, musim dan intensitas curah hujan serta jenis dan fase pertumbuhan tanaman. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi pengaruh kombinasi abu vulkanik Merapi, pupuk kandang sapi dan tanah mineral terhadap sifat fisiko-kimia media tanam dengan indikator pertumbuhan tanaman jagung (Zea mays L.) Percobaan dilakukan dalam rumah kasa dari bulan Februari - Juli 2011 di kebun percobaan Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran dengan ketinggian tempat ± 740 m dpl. Rancangan percobaan menggunakan rancangan acak kelompok faktor tunggal dengan sembilan kombinasi perlakuan dan tiga kali ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berbagai kombinasi media tanam yang terdiri dari abu vulkanik Merapi, pupuk kandang sapi dan tanah mineral memberikan pengaruh yang sangat nyata (α .01) terhadap kandungan C-organik, asam humat-fulvat, bobot isi dan bobot kering pupus tanaman jagung. Kandungan C-organik dan asam humat-fulvat mempunyai korelasi positif dengan bobot kering pupus tanaman, tetapi bobot isi media tanam berkorelasi negatif dengan bobot kering pupus tanaman.

Kata kunci: abu vulkanik Merapi, asam humat-fulvat, C-organik, pupuk kandang sapi

EFFECTS OF MERAPI VOLCANIC ASH, MANURE AND MINERAL SOIL ON PHYSICOCHEMICAL PROPERTIES OF GROWING MEDIA

AND MAIZE (Zea mays L.) PLANT GROWTH ABSTRACT

Volcanic ash fall can have serious detrimental effects on agricultural crops depending on ash thickness, timing and intensity of subsequent rainfall, the type and growing condition of a crop. The purpose of this research was to evaluate the effects of combination of Merapi volcanic ash, cow manure and mineral soil on some physicochemical properties of growing media. The pot experiment in a screen house was carried out from February - July 2011, in the experiment field of Agriculture Faculty, Padjadjaran University Jatinangor at ± 740 m above sea level. The experiment used a randomized block design, which arranged in one factor, nine combination treatments and three replications. Results of this research showed that combination of Merapi volcanic ash, cow manure and mineral soil as growing media gave highly significant effects (α .01) on organic-C, humic-fulvic acids, bulk density and dry weight of maize. There was a positive correlation between dry weight of maize with organic-C and humic-fulvic acids content, but it had a negative correlation with bulk density of its growing media.

Key words: cow manure, humic-fulvic acids, Merapi volcanic ash, organic-C

PENDAHULUAN

Material vulkanik yang berasal dari letusan gunung Merapi pada tanggal 26 Oktober 2010 berpotensi meningkatkan kesuburan lahan pertanian di kemudian hari. Menurut Shoji & Takahashi (2002) material ini merupakan bahan yang kaya akan

unsur-unsur hara, sehingga dapat memerbaharui sumberdaya lahan. Meskipun demikian, timbunan material vulkanik dalam jumlah banyak juga dapat berdampak negatif bagi pertumbuhan tanaman terutama terhadap tanah sebagai media tumbuhnya. Masalah yang ditimbulkan pada lahan yang baru terdampak material vulkanik untuk dijadikan

(2)

sebagai media tanam adalah sifat fisik, kimia dan biologinya yang tidak mendukung pertumbuhan tanaman secara optimal.

Berdasarkan kadar silikanya, batuan hasil erupsi gunung berapi dapat dikelompokkan menjadi batu vulkanik masam (kadar SiO2 > 65%), sedang (35-65%) dan basa (< 35%) (McGeary et al., 2002). Tingginya kadar Si, Al dan Fe dalam material vulkanik Merapi akan memberikan dampak yang sangat merugikan bagi pertumbuhan tanaman dan kesehatan tanah. Diketahui bahwa material vulkanik belum dapat menyumbangkan unsur hara bagi tanaman, karena merupakan bahan baru (recent material) yang belum mengalami pelapukan sempurna dan juga dominasi fraksi pasir menjadikan material vulkanik ini tidak dapat menahan air.

Hardjowigeno (2003) menyatakan bahwa bobot isi (bulk density) menunjukkan perbandingan antara berat tanah kering dengan volume tanah, termasuk volume pori-pori tanah. Bobot isi tanah merupakan petunjuk kepadatan tanah, dimana semakin tinggi bobot isi tanah semakin sulit untuk meneruskan air atau ditembus akar tanaman.

Berbagai jenis bahan organik mampu memperbaiki sifat fisika, kimia dan biologi suatu media tanam (Lengkong & Kawulusan, 2008). Fungsi utama bahan organik antara lain memperbaiki struktur tanah dan daya simpan air, memasok unsur hara dan asam-asam organik untuk melepaskan ikatan-ikatan material secara kimia, meningkatkan kapasitas tukar kation dan daya ikat hara, serta sebagai sumber karbon, mineral dan energi bagi mikroba (Syukur & Harsono, 2008). Ameliorasi dengan bahan organik merupakan salah satu alternatif yang mampu meminimalisasi dampak negatif dari kandungan unsur kimia berlebih pada suatu media tanam. Melalui proses khelasi, kelebihan unsur-unsur kimia yang bersifat toksik bagi tanaman akan dikurangi atau dikhelat oleh adanya bahan-bahan pembenah tanah (Clemens et al., 1990).

Asam humat-fulvat merupakan fraksi bahan organik yang mempunyai peranan penting dalam reaksi kimia di dalam tanah. Besarnya kandungan total asam humat-

fulvat dalam bahan organik berkorelasi dengan besarnya kandungan lignin dan polifenol (Fox et al., 1990). Melalui pembentukan khelat logam-organik, asam-asam organik akan melarutkan mineral-mineral primer dan sekunder yang ada di dalam media tanam dan selanjutnya akan menjadi tersedia bagi tanaman (Foy et al., 1978). Makin besar afinitas kation logam terhadap asam humat-fulvat, maka semakin mudah terlepasnya kation dari permukaan berbagai jenis mineral.

Penelitian ini dilakukan untuk meng- evaluasi perubahan sifat-sifat fisik dan kimia yang terjadi dalam media tanam yang terdiri dari kombinasi abu vulkanik Merapi, pupuk kandang sapi dan tanah mineral Inceptisol yang berasal dari lapisan subsoil. Parameter yang diamati ditujukan untuk mengetahui hubungan antara bobot kering pupus tanaman jagung (Zea mays L.) dengan kandungan C-organik, asam humat-fulvat, dan bobot isi media tanam.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini menggunakan pot plastik bervolume 10 kg yang dilaksanakan pada bulan Februari - Juli 2011 dalam rumah kasa (screen house) di kebun percobaan Fakultas Pertanian UNPAD Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat dengan ketinggian tempat 740 m dpl. Material abu vulkanik Merapi diambil pada tanggal 18-19 Desember 2010 dari Dusun Somoketro, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang (± 17 km arah Utara dari kaki G. Merapi), pupuk kandang sapi berasal dari peternakan sapi PEDCA Jatinangor (Tabel 2a) dan tanah mineral ordo Inceptisols asal Jatinangor diambil dari lapisan subsoil (Tabel 2b). Tanaman indikator yang digunakan adalah jagung hibrida varietas Bisi-16 (Zea mays L.) dengan dosis pupuk dasar Urea (300 kg/ ha), SP-18 (200 kg/ha), KCl (100 kg/ha) (Departemen Pertanian, 2004).

Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan metode eksperimen dalam Rancangan Acak Kelompok faktor tunggal dengan sembilan kombinasi perlakuan. Kombinasi perlakuan terdiri atas (I) 0%

(3)

abu vulkanik Merapi + 50% pupuk kandang sapi + 50% tanah mineral, (II) 40% abu vulkanik Merapi + 10% pupuk kandang sapi + 50% tanah mineral (III) 30% abu vulkanik Merapi + 20% pupuk kandang sapi + 50% tanah mineral, (IV) 20% abu vulkanik Merapi + 30% pupuk kandang sapi + 50% tanah mineral, (V) 10% abu vulkanik Merapi + 40% pupuk kandang sapi + 50% tanah mineral, (VI) 40% abu vulkanik Merapi + 50% pupuk kandang sapi + 10% tanah mineral, (VII) 30% abu vulkanik Merapi + 50% pupuk kandang sapi + 20% tanah mineral, (VIII) 20% abu vulkanik Merapi + 50% pupuk kandang sapi + 30% tanah mineral, (IX) 10% abu vulkanik Merapi + 50% pupuk kandang sapi + 40% tanah mineral. Perlakuan tersebut diulang tiga kali sehingga total kombinasi perlakuan berjumlah 27 pot percobaan.

Parameter pengamatan utama yang diuji secara statistik meliputi kandungan C-organik yang dianalisis dengan metode Walkley & Black; kandungan asam humat-fulvat dianalisis dengan pengekstrak 0,5 M NaOH/0,1 M Na2P2O7 (Stevenson, 1994); bobot isi media tanam ditentukan dengan menghitung massa tanah per volume total tanah, dalam kondisi tanah basah maupun kering (Wesley (1973) serta penimbangan bobot kering pupus tanaman jagung hibrida dilakukan pada fase pertumbuhan vegetatif akhir. Parameter penunjang dalam penelitian ini adalah sifat-sifat kimia pupuk kandang sapi, sifat fisika tanah mineral Inceptisol dan komponen pertumbuhan tanaman (tinggi tanaman, jumlah daun dan diameter batang).

Pengaruh kombinasi perlakuan ter- hadap parameter yang diamati diuji secara statistik menggunakan analisis sidik ragam pada taraf nyata sampai sangat nyata (.05 -.01%) sesuai rancangan percobaan yang digunakan. Perbedaan nilai rata-rata diantara kombinasi perlakuan diuji dengan Uji Jarak Berganda Duncan (DMRT). Hubungan antara bobot kering pupus tanaman jagung hibrida dengan kandungan C-organik, asam humat-fulvat dan bobot isi media tanam diuji dengan analisis regresi-korelasi (Gomez & Gomez, 1995).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisis menunjukkan bahwa abu vulkanik Merapi yang digunakan dalam penelitian ini memiliki pH agak alkalis yaitu 7,60 dan didominasi oleh fraksi pasir sebanyak 70,2% (Tabel 1). Material vulkanik yang merupakan bahan baru (recent material) dipastikan belum dapat menyumbangkan unsur hara bagi tanaman karena belum mengalami pelapukan yang sempurna. Dominasi fraksi pasir juga menjadikan material vulkanik ini mempunyai kemampuan memegang air yang rendah yang ditunjukkan dari nilai kadar airnya sebesar 0,11%.

Pemberian amelioran pupuk kandang sapi dan tanah mineral Inceptisol pada

No. Parameter Nilai

1. SiO2 (%) 54,56 2. Al2O3 (%) 18,37 3. Fe2O3 (%) 18,59 5. MgO (%) 2,45 6. Na2O (%) 3,62 7. K2O (%) 2,32 8. MnO (%) 0,17 9. TiO2 (%) 0,92 10. P2O5 (%) 0,32 11. Kadar air (%) 0,11 12. pH H2O (1:2,5) 7,60 13 pH KCl 1 N (1:2,5) 7,31 14 SO4 (mg kg-1) 801 15 Ca (mg kg-1) 442 16 Mg (mg kg-1) 152 17 C-organik** (%) 0,63 18 N total **.(%) 0,14 19 KTK** (cmol kg-1) 10,57 20 Tekstur **: Pasir (%) 70,2 Debu (%) 10,0 Liat (%) 19,8

Keterangan: Hasil Analisis di Pusat PPTMB, 2010 **) Hasil Analisis di Lab.Kimia Tanah

Fakultas Pertanian Unpad, 2011 Tabel 1. Komposisi kimia abu vulkanik

(4)

berbagai kombinasi perlakuan (Tabel 2) menunjukkan adanya perbaikan sifat fisika dan kimia media tanam berbahan campuran abu vulkanik Merapi tersebut.

Tabel 2. Kombinasi perlakuan

Perlakuan AVM (%) PKS (%) TM (%) Berat% Bobot (kg/ pot ) I 0 50 50 100 10 II 40 10 50 100 10 III 30 20 50 100 10 IV 20 30 50 100 10 V 10 40 50 100 10 VI 40 50 10 100 10 VII 30 50 20 100 10 VIII 20 50 30 100 10 IX 10 50 40 100 10

Keterangan: AVM = abu vulkanik Merapi; PKS = pupuk kandang sapi; TM = tanah mineral Pupuk kandang sapi yang mempunyai kandungan C-organik sebesar 38,38% (Tabel 3a) mampu meningkatkan kandungan bahan organik dalam media tanam. Menurut Hayes dan Clapp (2001) humus yang merupakan fraksi bahan organik mempunyai peranan penting bagi struktur dan porositas tanah. Selain merupakan koloid dengan luas permukaan spesifik yang tinggi, serta mampu mempertukarkan kation dan anion, humus juga mampu memegang air sebanyak 4-6 kali lebih besar dari beratnya.

No Parameter Nilai 1. pH H2O 7,99 2. KTK (cmol/kg) 18,50 3. C organik (%) 38,38 4. N total (%) 1,69 5. P total (%) 0,41 6. K total (%) 0,55 7. Ca total (%) 3,27 8. Mg total (%) 0,36 9. C/N 23 11. Kadar Air (%) 8,40 12. Asam humat-fulvat (%) 0,42

Tabel 3a. Komposisi kimia pupuk kandang sapi

Keterangan: Hasil Analisis di Lab. Kimia Tanah Fakultas Pertanian Unpad, 2011

Tabel 3b. Komposisi kimia tanah mineral Inceptisol dari lapisan subsoil

No Parameter Nilai 1 pH H2O (1: 2,5) 7,06 2 pH KCl 1 N (1 : 2,5) 6,85 3 C-Organik (%) 0,49 4 N-total (%) 0,12 5 C/N 4 6 P2O5 Olsen (mg kg-1) 5,12 7 P2O5 HCl 25% (mg 100 g-1) 5,02 8 K2O HCl 25% (mg 100 g-1) tt*) 9 Kation Dapat Tukar:

Ca (cmol kg-1) 3,4 Mg (cmol kg-1) 4,2 K (cmol kg-1) 0,1 Na (cmol kg-1) 0,1 10. KTK (cmol kg-1) 21,14 11. Kejenuhan Basa (%) 36,90 12. Al+3 dd (cmol/kg) 0,03 13. H+ dd (cmol/kg) 0,37 14. Tekstur: Pasir (%) 7,3 Debu (%) Liat (%) 31,261,5

Keterangan: tt*) = tidak terukur; Hasil Analisis di Lab. Kimia Tanah – Fakultas Pertanian Unpad, 2011.

Tingginya kandungan fraksi liat pada tanah mineral yang digunakan dalam penelitian ini (Tabel 3b) menunjukkan bahwa pada berbagai kombinasi media tanam ini, fraksi liat dengan muatan negatifnya berperan sebagai tapak jerapan (cation exchanger) bagi kation-kation hara yang berasal dari proses penguraian pupuk kandang sapi. Tang & Rengel (2003) menyatakan bahwa partikel mineral liat dan bahan organik tanah merupakan sumber muatan negatif terbesar di dalam tanah.

Hasil uji statistik (α .01) menunjukkan bahwa persentase abu vulkanik Merapi, pupuk kandang sapi dan tanah mineral dalam berbagai kombinasi media tanam secara nyata mempengaruhi kandungan C-organik (Tabel 4). Kombinasi 30% abu vulkanik Merapi, 50% pupuk kandang sapi dan 20% tanah mineral (perlakuan VII) memberikan

(5)

kandungan C organik tertinggi (4,64%), sementara kandungan C organik terendah (0,43%), dihasilkan oleh kombinasi 40% abu vulkanik Merapi, 10% pupuk kandang sapi dan 50% tanah mineral (perlakuan II). Hal ini sejalan dengan pernyataan Syukur (2005), bahwa penambahan bahan organik berbanding lurus dengan peningkatan C-organik tanah dan sebaliknya. Meskipun demikian sifat fisika media tanam seperti tekstur, porositas, bobot isi dan kapasitas menahan air merupakan faktor yang juga harus diperhitungkan (Baldwin, 2006).

Peningkatan persentase pupuk kan- dang sapi secara nyata meningkatkan kandungan asam humat-fulvat pada media tanam (Tabel 4). Konsentrasi asam humat-fulvat tertinggi dalam media tanam (0,21%) disebabkan oleh tingginya persentase pupuk kandang sapi dan rendahnya persentase abu vulkanik pada kombinasi perlakuan IX (10% abu vulkanik Merapi + 50% pupuk kandang sapi + 40% tanah mineral). Diduga selain media tanam mendapatkan sumbangan asam humat-fulvat dari pupuk kandang sapi (0,42%), aktivitas mikroba yang mendekomposisi pupuk organik juga akan menghasilkan sejumlah asam organik dari metabolitnya. Diketahui bahwa bakteri merupakan kelompok mikroba dekomposer yang jumlahnya paling banyak dan bersama

Tabel 4. Pengaruh kombinasi abu vulkanik Merapi, pupuk kandang sapi dan tanah mineral terhadap terhadap C-organik, asam humat-fulvat, bobot isi media tanam dan bobot kering pupus tanaman Jagung

Kombinasi perlakuan C-organik (%) Asam humat-fulvat (%) Bobot isi (g/cm3)

Bobot kering pupus (g/tanaman) I 0 % AVM + 50 % PKS + 50 % TM 3,34 cde 0,11 ab 0,61 a 263,49 d II 40 % AVM + 10 % PKS + 50 % TM 0,43 a 0,09 a 1,09 b 63,89 a III 30 % AVM + 20 % PKS + 50 % TM 0,87 ab 0,09 a 0,83 ab 119,43 ab IV 20 % AVM + 30 % PKS + 50 % TM 1,86 abc 0,10 ab 0,75 ab 171,84 bc V 10 % AVM + 40 % PKS + 50 % TM 2,71 cd 0,13 abc 0,65 a 209,77 cd VI 40 % AVM + 50 % PKS + 10 % TM 2,28 bcd 0,08 a 0,63 a 222,29 cd

VII 30 % AVM + 50 % PKS + 20 % TM 4,64 e 0,15 abc 0,58 a 277,90 d

VIII 20 % AVM + 50 % PKS + 30 % TM 3,08 cde 0,19 bc 0,58 a 283,27 d

IX 10 % AVM + 50 % PKS + 40 % TM 3,90 de 0,21 c 0,60 a 227,48 cd

Keterangan: AVM = abu vulkanik Merapi; PKS = pupuk kandang sapi; TM = tanah mineral Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji DMRT 5%.

dengan mikroba indigen dari tanah mineral akan memberikan kontribusi dalam menguraikan bahan organik, mensintesis asam-asam atau senyawa organik tertentu serta memicu proses mineralisasi N (Conte et al., 2003; Winarso, 2005). Sebaliknya pada kombinasi perlakuan VI (40% abu vulkanik Merapi + 50% pupuk kandang sapi + 10% tanah mineral) menunjukkan konsentrasi asam humat-fulvat yang terendah (0,08%). Kondisi lingkungan media tanam yang tidak optimal untuk mendukung pertumbuhan dan aktivitas mikroba dekomposer diduga merupakan akibat dari dominannya material vulkanik yang masih baru.

Selain dapat meningkatkan kandung- an C-organik, kapasitas menahan air, daya larut unsur hara P, K, Ca dan Mg, serta kapasitas tukar kation, pemberian pupuk organik juga mampu menurunkan kejenuhan Al serta bobot isi tanah (Lund & Doss, 1980; Aidi et al., 1996). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa media tanam yang mengandung 40-50% pupuk kandang sapi secara nyata (α .01) memberikan bobot isi yang rendah (0,58-0,61 g/cm3) (Tabel 4),

sementara media tanam dengan persentase pupuk kandang sapi 10-30% menunjukkan nilai bobot isi yang lebih besar (1,09 g/ cm3). Menurut Wesley (1973) bobot isi atau

(6)

kepadatan suatu jenis tanah, dimana makin tinggi nilai kerapatan isi tanah, makin sulit tanah tersebut untuk meneruskan air atau ditembus akar tanaman. Tingginya pemberian pupuk kandang sapi (40-50%) ke dalam media tanam ternyata mampu memperbaiki struktur tanah sehingga hal ini mendukung pendapat Yunus (2004) yang menyatakan bahwa semakin kecil angka kerapatan isi tanah, maka kegemburan tanah semakin meningkat.

Perbedaan perlakuan kombinasi media tanam menghasilkan pertumbuhan tanaman jagung hibrida yang beragam (Tabel 5a-c). Komponen pertumbuhan tanaman terbaik dihasilkan dari kombinasi 30% abu vulkanik Merapi, 50% pupuk kandang sapi dan 20% tanah mineral (perlakuan VII) dengan tinggi tanaman (200,3 cm), jumlah daun terbanyak (14 helai) dan diameter batang terbesar

Tabel 5. Pengaruh kombinasi abu vulkanik Merapi, pupuk kandang sapi dan tanah mineral terhadap nilai rata-rata tinggi tanaman (a), jumlah daun (b) dan diameter batang (c)

Perlakuan Umur Tanaman (MST)

1 2 3 4 5 6 7 8 I 7,4 29,9 59,3 90,7 121,9 149,3 163,5 177,6 II 7,8 28,8 61,7 72,2 88,3 103,9 113,0 117,0 III 6,0 29,3 58,1 84,1 108,1 126,5 134,9 141,2 IV 7,4 30,1 57,1 86,3 113,0 133,7 149,0 162,0 V 9,3 35,8 66,4 94,2 123,2 150,4 168,8 183,5 VI 7,1 30,8 60,2 89,6 118,1 139,9 156,0 172,1 VII 7,7 30,0 59,0 89,8 125,1 154,6 176,3 200,3 VIII 9,0 34,0 63,6 88,9 127,7 151,7 167,7 185,8 IX 5,7 25,0 51,9 82,2 125,7 145,8 165,0 182,5 a. Tinggi Tanaman (cm)

b. Rata-rata Jumlah Daun (helai)

Perlakuan Umur Tanaman (MST)

1 2 3 4 5 6 7 8 I 3 5 8 9 11 13 13 13 II 2 5 8 8 8 10 10 11 III 2 5 8 9 10 11 11 12 IV 2 6 7 9 10 12 12 12 V 3 5 8 10 11 12 12 12 VI 2 5 8 9 10 11 12 12 VII 3 5 8 9 11 12 12 14 VIII 3 5 8 9 11 12 12 13 IX 2 5 8 9 11 12 12 12

(3,20 cm). Sifat fisika media tanam yang mempunyai nisbah antara fraksi liat dan pasir yang berimbang, didukung oleh tingginya kandungan bahan organik pada perlakuan VII, menyebabkan daya pegang air, reaksi kimia dan proses penyerapan unsur hara oleh tanaman dapat berjalan dengan baik. Hal ini juga mendukung pernyataan Musfal (2010), bahwa banyaknya jumlah daun tanaman jagung berbanding lurus dengan pertumbuhan tinggi tanaman.

Peningkatan persentase abu vulkanik Merapi dan penurunan persentase pupuk kandang sapi pada kombinasi perlakuan II-VI menghasilkan nilai komponen per- tumbuhan tanaman yang terendah. Diduga sifat fisik media tanam tidak optimal dalam mendukung pertumbuhan tanaman. Ketidakseimbangan nisbah antara fraksi liat dan pasir dapat menyebabkan daya pegang

(7)

c. Rata-rata Diameter Batang (cm)

Perlakuan Umur tanaman (MST)

1 2 3 4 5 6 7 8 I 0,27 0,59 1,10 1,95 2,67 2,02 3,12 3,22 II 0,27 0,59 1,08 1,53 1,83 1,83 2,13 2,23 III 0,30 0,64 1,37 1,82 2,33 2,33 2,50 2,53 IV 0,27 0,70 1,25 1,90 2,20 2,43 2,53 2,63 V 0,27 0,71 1,43 1,73 2,17 2,43 2,58 2,82 VI 0,26 0,65 1,27 1,78 2,40 2,67 2,83 2,96 VII 0,25 0,61 1,33 2,02 2,53 2,83 3,10 3,20 VIII 0,28 0,6 1,42 2,10 2,88 2,90 3,13 3,20 IX 0,20 0,48 9,70 1,65 2,33 2,68 2,97 3,03

Keterangan: MST = minggu setelah tanam

air, reaksi kimia dan proses penyerapan unsur hara oleh akar tanaman tidak berlangsung dengan baik (Shoji & Takahashi, 2002).

Indikator tentang hubungan antara sifat fisik dan sifat kimia dalam media tanam dicerminkan oleh bobot kering pupus tanaman jagung yang dihasilkan (Gambar 1a-c).

Hubungan antara bobot kering pupus tanaman jagung (277,90 - 283,3 g tanaman-1)

(Tabel 4) dengan parameter C-organik memperlihatkan suatu korelasi positif yang ditunjukkan dengan persamaan regresi linier Y = 47,35X + 83,72 (r = 0,90); demikian juga dengan parameter asam humat-fulvat mempunyai persamaan regresi Y = 941,8X + 84,35 (r = 0,60). Sebaliknya, korelasi negatif

(b). asam humat-fulvat (a). C-organik

(c). bobot isi media tanam

Gambar 1. Hubungan antara bobot kering pupus tanaman jagung dengan C-organik (a), asam humat-fulvat (b) dan bobot isi media tanam (c)

antara bobot kering pupus tanaman jagung dengan bobot isi media tanam ditunjukkan oleh persamaan regresi Y= - 313,9x + 497,1 (r = 0,95). Hal ini membuktikan bahwa angka bobot isi media tanam yang rendah akan meningkatkan kegemburan tanah yang selanjutnya berdampak terhadap banyaknya unsur hara yang terserap per satuan bobot biomassa tanaman yang dihasilkan (Musfal, 2010).

SIMPULAN

Kombinasi perlakuan abu vulkanik Merapi, pupuk kandang sapi dan tanah mineral Inceptisol berpengaruh nyata terhadap sifat fisiko-kimia media tanam. Kandungan C-organik, dan asam humat-fulvat pada media tanam berkorelasi positif dengan bobot kering pupus tanaman jagung, sedangkan bobot isi media tanam berkorelasi negatif dengan bobot kering pupus tanaman jagung.

(8)

DAFTAR PUSTAKA

Aidi, N., A. Jumberi & R.D. Ningsih. 1996. Peranan Pupuk Organik dalam Meningkatkan Hasil Padi Gogo di Lahan Kering. Prosiding Seminar Teknologi Sistem Usahatani Lahan Rawa dan Lahan Kering. Balittra Banjarbaru. Hal.: 567-578

Baldwin, K.R., 2006. Soil Quality Consideration for Organic Farmers. North Carolina Cooperative Extension Service Publ. NC State University. Clemens, D.F., Whitehurst, B.M. &

Whitehurst, G.B., 1990. Chelates in Agriculture. Fertilizer Research 25:127-131.

Conte, P. R. Spaccini, M. Chiarella, & A. Piccolo, 2003. Chemical Properties of Humic Substances in Soils of an Italian Volcanic System. Geoderma 117: 243–250

Departemen Pertanian, 2004. Sosialisasi Jagung Hibrida. On line: http://deptan. go.id/ (Diakses pada 15 Juni 2011) Fiantis, D. 2000. Colloid-Surface Charac-

teristics and Amelioration Problems of Some Volcanic Soils in West Sumatra, Indonesia. Ph. D. Thesis. Universiti Putra Malaysia, Serdang, Selangor, Malaysia. 315 p.

Fox, R.H., Myers R.J.K. & Vallis I., 1990. The nitrogen mineralization rate of legume residues in soils as influenced by their polyphenol, lignin and nitrogen contents. Plant Soil, 129: 251-259. Foy, C. D., Chaney, R. L. & White, M. C.,

1978. The physiology of metal toxity in plants. Ann. Rev. Plant Physiol. 29:511–566

Gomez, K.A., & Gomez, A.A., 1995. Prosedur Statistik Untuk Penelitian Pertanian (Terjemahan). Universitas

Indonesia Press, Jakarta.

Hardjowigeno, S. 1987. Ilmu Tanah. Edisi Pertama. PT Mediayatama Sarana Perkasa. Jakarta.

Hardjowigeno, S. 2003. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo, Jakarta.

Hayes, M.H.B., & Clapp C.E., 2001. Humic substances: considerations of compositions, aspects of structure, and environmental influences. Soil Science 166, 723-737. doi: 10.1097/00010694-200111000-00002.

Lengkong, J. E. & R. I. Kawulusan. 2008. Pengelolaan Bahan Organik Untuk Meme-lihara Kesuburan Tanah. Soil Environment Vol 6, No.2, Agustus 2008 Hal: 91–97.

Lund, F.Z. & B.D. Doss. 1980. Residual Effect of Dairy Cattle Manure on Plant Growth and Soil Properties. Agron. J. 72: 123-130.

McGeary, D., Plummer, C.C & D. H. Carlson. 2002. Physcal Geology Earth Reavealed. McGraw Hill Higher Education. Boston. 574 p.

Musfal, 2010. Potensi Cendawan Mikoriza Arbuskila untuk Meningkatkan Hasil Tanaman Jagung. J. Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 29(4).

Shoji S. & T. Takahashi, 2002. Environmental and Agricultural Significance of Volcanic Ash Soils. Jpn. J. Soil Sci. Plant Nutr. 73: 113-135

Stevenson, F.J., 1994. Humus Chemistry: Genesis, Composition, Reactions, 2nd

Ed. Wiley, New York.

Syukur, A. 2005. Pengaruh Pemberian Bahan Organik terhadap Sifat-sifat Tanah dan Pertumbuhan Caisim di Tanah Pasir Pantai. J. Ilmu Tanah dan Lingkungan Vol 5 (1) (2005) Hal.: 30-38.

(9)

Tang, C., & Rengel, Z., 2003. Role of plant cation/anion uptake ratio in soil acidification. In: Handbook of Soil Acidity, Eds. Z Rengel), pp 57-81 Marcel Dekker, New York.

Wesley, L. D. 1973. Mekanika Tanah. Terjemahan Badan Penerbit Pekerjaan Umum. Jakarta.

Winarso, S. 2005. Kesuburan Tanah. Dasar Kesehatan dan Kualitas Tanah. Penerbit Gava Media. Yogyakarta. Yunus Y. 2004. Tanah dan Pengolahan. CV.

(10)

EFEKTIVITAS PEMBERIAN BEBERAPA BAHAN DAN DOSIS ANESTESI PADA PRAKONDISI KERANG Anodonta woodiana

Lumenta, C., dan Gybert, M.

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratulangi E-mail: cyskaliu@gmail.com

ABSTRAK

Kendala utama produksi mutiara adalah tingginya mortalitas kerang ketika berlangsung proses implantasi. Kerang yang akan diimplantasi untuk budidaya mutiara perlu dikondisikan dalam keadaan yang memudahkan pembukaan cangkangnya. Berhubung hingga kini belum tersedia informasi penggunaan anestesi dalam budidaya mutiara air tawar, prinsip-prinsip yang diaplikasikan adalah prinsip yang selama ini berhasil diaplikasikan dalam budidaya mutiara laut. Penelitian untuk menentukan respons kerang terbaik pada beberapa jenis dan dosis minyak bahan anestesi pada prakondisi kerang dilaksanakan di Balai Budidaya Air Tawar (BBAT) Tatelu di Kecamatan Dimembe, Kabupaten Minahasa. Penelitian dirancang menggunakan metode rangcangan acak lengkap dengan pola faktorial dengan 2 faktor yaitu jenis dan dosis. Faktor jenis mempunyai 4 taraf yaitu minyak menthol, minyak cengkeh, minyak pala dan minyak sereh dan faktor dosis dengan 3 taraf yaitu 1,5 ml, 2,5 ml dan 3,5 ml, dimana masing-masing perlakuan diulang sebanyak 3 kali. Hasil penelitian menunjukkan penggunaan bahan anestesi berupa minyak pala dengan dosis 2,5 ml/l lebih efektif untuk prakondisi (respons, waktu relaksasi, waktu pulih dan mortalitas) dibandingkan dengan dosis–dosis 1,5 ml/l dan 3,5 ml/l dan dengan bahan-bahan anestesi minyak cengkeh, minyak menthol dan minyak sereh.

Kata kunci: bahan dan dosis anestesi, kerang Anodonta woodiana, prakondisi

EFFECTIVENESS OF ANESTHETIC MATERIALS AND DOSE ON PRECONDITION OF Anodonta woodiana SHELLS

ABSTRACT

The main problem on oysters culture is the high mortality during implantation process. Oysters that will be implanted for cultivation need to be conditioned in a state that facilitates the opening of its shell. Because the information on the use of anesthesia in the cultivation of freshwater oyster is not yet available, these principles that was used is the principle which has been successfully applied in the cultivation of sea oyster. This study aims to determine the best responses to materials anesthetic and dose in precondition of Anodontawoodiana which is done at Freshwater Aquaculture Center (BBAT) Tatelu in District Dimembe, Minahasa Regency. The study was designed by using completely randomized design factorial pattern with two factors: materials anesthetic and dose. Material anesthetic factor has 4 degree such as menthol oil, clove oil, nutmeg oil and lemongrass oil. Dose has 3 degree such as 1,5 ml, 2,5 ml and 3,5 ml. Each treatment was repeated 3 times. The results showed that nutmeg oil dose of 2,5 ml/l more effective for precondition (respons, relaxation time, recovery and mortality rate) than dose of 1,5 ml/l and 3,5 ml/l and than another materials anasthethic (menthol oil, clove oil, and lemongrass oil).

Key words: materials and dose of anasthethic, Anodonta woodiana oyster, precondition PENDAHULUAN

Kendala utama produksi budidaya mutiara adalah tingginya mortalitas kerang ketika berlangsung proses implantasi. Kegiatan dalam menggerakkan proses ini ditandai mempengaruhi kualitas mutiara yang

dihasilkan (Norton et al.,2000). Penggunaan anestesi pada tiram dalam budidaya mutiara laut ternyata dapat mengurangi kendala tersebut. Sebagaimana halnya tiram, kerang yang akan diimplantasi untuk budidaya mutiara air tawar perlu dikondisikan dalam keadaan yang memudahkan pembukaan cangkangnya.

(11)

Hingga kini belum tersedia informasi penggunaanan astesi dalam budidaya mutiara air tawar, karena itu prinsip-prinsip yang dapat diaplikasikan adalah prinsip yang selama ini berhasil diaplikasikan dalam budidaya mutiara laut. Dalam hal ini, Mamangkey. et al. (2009) mengaplikasikan pada tiram, bahan-bahan anestesi berupa 2-phenoxyethanol, benzocaine, cairanmethol, minyak cengkeh, dan phenoxytol.

Menurut O’Connor & Lawier (2002), penggunaan bahan kimia dapat dilakukan dengan mempertimbangkan resiko pada kerang itu sendiri. Dianjurkan untuk menggunakan bahan anestesi dengan daya larut tinggi dalam air sehingga mempercepat kemampuan rileks kerang. Pada kerang mutiara donor lebih banyak digunakan anestesi daripada si penerima ketika proses penyisipan inti berupa irisan mantel. Sebagaimana dilaporkan Mamangkey et al. (2009), bahan anestesi yang digunakan pada tiram menyebabkan tiram rileks dan meningkatkan waktu di mana tiram dapat digunakan sebagai donor jaringan atau irisan mantel.

Norton et al. (2000) mengungkapkan bahwa anestesi dapat menurunkan stres dan mortalitas pada kerang ketika dilakukan implantasi inti mutiara. Perkembangan menunjukkan selain untuk implantasi, anestesi memungkinkan pemindahan lapisan jaringan dari kerang donor kekerang resipien tanpa membunuh mereka (Acosta-Salmon. et al., 2004; Acosta–Salmon dan Southgate, 2005; 2006). Lebih lanjut dinyatakan bahwa secara potensial dengan cara ini mengizinkan pendonor menghasilkan mutiara yang ber- kualitas tinggi dan donor mutiara yang telah mengalami proses anestesi untuk memindahkan lapisan jaringan (Acosta- Salmon et al., 2004). Pendekatan ini sungguh-sungguh menguntungkan pada industri budidaya mutiara, dan membenarkan penelitian dengan menggunakan anestesi pada kerang mutiara. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan respons kerang terbaik pada beberapa jenis dan dosis minyak bahan anestesi pada prakondisi kerang.

BAHAN DAN METODE Hewan uji

Kerang yang digunakan sebagai hewan uji, dikumpulkan dari kolam-kolam BBAT Tatelu yang induknya semula berasal dari Danau Tondano. Ukuran kerang untuk penelitian ini berkisar di antara 108-138 mm dan yang belum matang gonad. Seleksi kerang uji dilakukan dari stok yang terkumpul. Dalam hal ini, kerang diangkat dari air untuk melihat apakah masih hidup atau sudah mati, apakah kerang masih segar dan tidak dalam keadaan lemah dan apakah cangkangnya dalam keadaan utuh, tidak dalam keadaan retak atau pecah.

BahanAnestesi

Bahan uji yang digunakan adalah bahan alami dengan masing-masing empat jenis bahan anestesi dan tiga dosis yaitu: minyak mentol, minyak cengkeh, minyak pala, minyak sereh, minyak sereh. Bahan uji efektif digunakan untuk prakondisi. Secara khusus, pembukaan cangkang kerang dapatdimudahkan ketika kerang dianestesi, sehingga memudahkan penanganan kerang dalam proses implantasi.

Wadah Percobaan

Dalam percobaan untuk mengetahui respons dan memilih jenis serta dosis bahan anestesi yang efektif dalam prakondisi, percobaan dilaksanakan dalam loyang plastik berdiameter 50x40x25 cm, volume 30 liter air, sebanyak 12 buah yang dilengkapi dengan blower sebagai aerasi.

Percobaan anestesi pada Anodonta woodiana berlangsung pada ruang laboratorium basah di BBAT Tateludan dilaksanakan dalam loyang plastik sebanyak 12 buah. Dalam percobaan yang dirancang secara acak lengkap berpola faktorial ini diuji 2 faktor yaitu jenis bahan anestesi (dengan empat taraf) dan faktor dosis (dengan tiga taraf) sehingga terdapat 12 kombinasi perlakuan jenis dan dosis yang masing-masing diulang tiga kali. Keduabelas kombinasi perlakuan tersebut adalah:

a. Minyak Sereh dengan dosis anestesi sebanyak 1,5 ml/l

(12)

b. Minyak Sereh dengan dosis anestesi sebanyak 2,5 ml/l

c. Minyak Sereh dengan dosis anestesi sebanyak 3,5 ml/l

d. Minyak Cengkeh dengan dosis anestesi sebanyak 1,5 ml/l

e. Minyak Cengkeh dengan dosis anestesi sebanyak 2,5 ml/l

f. Minyak Cengkeh dengan dosis anestesi sebanyak 3,5 ml/l

g. Minyak Menthol dengan dosis anestesi sebanyak 1,5 ml/l

h. Minyak Menthol dengan dosis anestesi sebanyak 2,5 ml/l

i. Minyak Menthol dengan dosis anestesi sebanyak 3,5 ml/l

j. Minyak Pala dengan dosis anestesi sebanyak 1,5 ml/l

k. Minyak Pala dengan dosis anestesi sebanyak 2,5 ml/ L

l. Minyak Pala dengan dosis anestesi sebanyak 3,5 ml/l

Setiap wadah percobaan diisi air sebanyak 30 liter, diberi bahan anestesi sesuai dengan kombinasi perlakuan yang akan diuji, dan kerang ditebarkan sebanyak sembilan individu tiap wadah. Dalam percobaan pertama ini pengamatan dilakukan terutama terhadap respons kerang (%), waktu relaksasi dan waktu pemulihan atau recovery (menit),

dan kematian (ekor).

Pengamatan respons dilakukan dengan mencatat lama waktu kerang rileks dan waktu pemulihan. Pengamatan ini berlangsung kurang lebih selama satu jam. Setelah pengamatan selesai kerang dipindahkan pada air normal tanpa perlakuan selama satu jam. Kemudian kerang dimasukkan dengan menggunakan wadah keranjang, sesuai masing-masing perlakuan yang sudah diletakkan di saluran air untuk diamati kelangsungan hidupnya selama satu bulan. Kematian kerang pada masing-masing perlakuan dicatat. Penentuan kombinasi perlakuan yang efektif dalam prakondisi dari Anodontawoodiana didasarkan atas besaran respons, panjangnya waktu relaksasi, pendeknya waktu pemulihan, rendahnya kematian, dan berpenampilan normal selama satu bulan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Uji coba anestesi pada kerang ini menggunakan empat jenis minyak yaitu minyak sereh, minyak cengkeh, minyak menthol, dan minyak pala. Sesuai dengan tiga dosis bahan minyak yang dicobakan, yaitu 1,5 ml/l, 2,5 ml/l, 3,5 ml/l, hasil pengamatannya disajikan secara ringkas pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1. Hasil uji coba penggunaan bahan anestesi pada kerang A. woodiana dan pengaruhnya terhadap respons, waktu relaksasi dan waktu pulih, dan mortalitas

Perlakuan Anestesi Dosis

(ml/l) Respons (%)Rata-rata Rata-rata Lama Waktu Relaks (Menit) Rata-rata Lama Waktu Pemulihan (Menit) Rata-rata Mortalitas (%) Minyak Sereh 1,5 0 0,00 - 3,70 2,5 55,56 10,33 10 3,70 3,5 44,44 14,67 15 14,81 Minyak Cengkeh 1,5 0 0,00 - 7,41 2,5 3,70 0,00 - 22,22 3,5 0 0,00 - 11,11 Minyak Menthol 1,5 11,11 10,33 10 3,70 2,5 22,22 10,00 10 3,70 3,5 18,52 10,33 10 11,11 Minyak Pala 1,5 44,44 15,33 15 11,11 2,5 81,48 15,00 5 7,41 3,5 48,15 15,00 10 14,81

(13)

Dari Tabel 1 terlihat respons rata-rata tertinggi kerang Anodonta woodiana terdapat pada pemberian anestesi minyak pala dengan dosis 2,5 ml/l, yaitu sebesar 81,5%. Kerang sama sekali tidak memberikan respons pada pemberian minyak sereh 1,5 ml/l, minyak cengkeh 1,5 ml/l dan 3,5 ml/l (Gambar 1). Pemberian bahan anestesi berupa minyak sereh dengan dosis 1,5 ml/l terhadap kerang, tidak terlihat adanya kerang yang mengalami rileks maupun pemulihan, karena kerang memang tidak memberikan respons. Kejadian yang sama juga diperlihatkan pada pemberian bahan anestesi minyak cengkeh pada dosis 1,5, 2,5 dan 3, 5 ml/l. Kecuali pemberian minyak cengkeh dengan dosis 2,5 ml/l.

Pemberian bahan anestesi berupa minyak menthol dan minyak pada pada semua dosis menunjukkan waktu rileks dan waktu pulih yang konsisten. Pemberian minyak menthol dengan dosis yang berbeda mengalami rileks dan waktu pulih yang hampir sama, 10 menit. Pemberian minyak pala pada semua dosis menunjukkan waktu relaks yang relatif sama (15 menit) tetapi beragam dalam waktu pulihnya.

Tingkat mortalitas tertinggi selama satu bulan pemeliharaan terdapat pada pemberian bahan anestesi minyak cengkeh dengan dosis 2,5 ml/l sebanyak 22,22%., sedangkan tingkat mortalitas terendah terdapat pada pemberian bahan anestesi minyak sereh dengan dosis 1,5 ml/l dan 2,5 ml/l dan minyak menthol dengan dosis 1,5 ml/l dan 2,5 ml/l dengan tingkat mortalitas rata-rata 11,11%.

Jumlah kerang yang memberikan repons, seperti terlihat dalam Gambar 1, menunjukkan respons individu yang selama satu jam berada dalam wadah percobaan, bereaksi terhadap bahan anes- tesi sebagaimana diperlihatkan dengan pembukaan cangkangnya. Ternyata, minyak pala direspons secara merata oleh kerang yang diuji, dibandingkan bahan anestesi lainnya. Sementara analisis yang dilakukan menunjukkan adanya pengaruh yang nyata dari penggunaan bahan anestsi dan terdapat interaksi antara jenis dan dosis bahan anestesi sebagaimana ditunjukkan oleh responsnya. Meskipun demikian, diantara semua bahan dan dosis anestesi yang dicobakan, ternyata minyak pala dengan dosis 2,5 ml/ lmemperoleh respons tertinggi (Tabel 1).

Pengamatan lebih jauh mencatat respons kerang terhadap minyak pala dengan dosis 2,5 ml/l, nampaknya terjadi lebih lambat dibandingkan dengan respons dari minyak lainnya yang berbeda baik jenis maupun dosisnya. Dalam hal ini, waktu relaks kerang yang ditandai oleh bukaan cangkangnya, berlangsung rata-rata 15 menit setelah dimasukkan ke wadah percobaan, yang kemudian diikuti dengan waktu tercepat dalam pemulihannya ketika dipindahkan ke wadah yang tanpa bahan anestesi.

Sebagai rangkaian dalam uji coba ini, pengamatan umum dilakukan pula untuk mengetahui keadaan kerang setelah menerima bahan anestesi. Selama sebulan, kerang yang telah pulih dan bertahan hidup dipelihara dalam penampungan stok kerang percobaan. Hasilnya, sebagian besar ditandai hidup (Tabel 2). Dari kelompok kerang yang semula teranestesi dengan minyak pala berdosis 2,5 ml/l, ditemukan hanya satu individu yang mengalami kematian, suatu jumlah yang relatif terkecil dibandingkan dengan kelompok kerang yang semula teranestesi dan berespons dengan bahan yang dicobakan lainnya.

Dalam budidaya kerang atau tiram mutiara, bahan anestesi digunakan untuk membius agar cangkangnya terbuka guna memudahkan penempatan inti atau iritan. Sejauh penelusuran pustaka yang dilakukan, penggunaan bahan anestesi terhadap Gambar 1. Respons Kerang Anodonta

woodiana terhadap Bahan Anestesi

(14)

kerang A. woodiana ternyata belum pernah dilakukan dan disajikan publikasinya. Dalam hal ini, uji coba yang dilakukan sesungguhnya mengacu pada aplikasi teknis yang dikerjakan pada tiram mutiara air laut, terutama anjuran yang diajukan Norton et al. (2000) untuk menggunakan bahan alam (minyak cengkeh dan menthol) dengan dosis rendah.

Sebagaimana ditegaskan Martins-Sousaet al. (2001) setelah menelaah sejumlah sumber, beragam efek yang dialami moluska atas pengaruh bahan anestesi, ditentukan oleh jenis, konsentrasi, dan waktu eksposisi. Demikian halnya dengan spesies moluska. Jenis moluska dari genus Biompharia mengalami pengaruh anestasi dari Cetamine berkonsentrasi 0,25 mg/ml air. Seperti juga Mamangkey et al. (2009), minyak cengkih digunakan Bilbao et al (2010) sebagai bahan anestesi pada abalone, meskipun keduanya menandai ketidakefetifan dari minyak ini.

Keberhasilan dan kegagalan ternyata dialami ketika menggunakan bahan anestesi. Hal ini terungkap dari beberapa informasi terkait dengan upaya meningkatkan efisiensi budidaya mutiara air laut. Kegagalan dilaporkan pada tiram Pinctada margatifera, ketika untuk memudahkan penyisipan inti, digunakan 2 ml/ L phenoxetal propilena selama 15 menit yang setelah pemeliharaan

mengalami mortalitas secara signifikan. Selanjutnya Norton et al. (1996) dan O’Connor dan Lawier (2002) melaporkan keberhasilan menggunakan propylene phenoxetol dengan konsentrasi 2-3 ml/ L pada jenis tiram Pinctada albina, P. ambricata, P. margatifera, dan P. maxima. Demikian pula dengan menggunakan Benzocaine pada konsentrasi 1200mg/L yang diujicobakan pada P. albina, P. margarifera, P. facata, sama berhasilnya dalam menurunkan relaksaksi pada periode pendek (Acosta–Salmon et al., 2005).

Minyak pala dikenal selama ini sebagai salah satu minyak astiri yang dihasilkan dari destilasi uap atas daging dan/atau biji buah pala. Martins-Sousaet al. (2001) menyatakan komponen utama minyak pala adalah miristisin yang bersifat racun dan mempunyai efek narkotika. Selengkapnya, aroma minyak pala mengandung d-camphene, d-pinene, limonene, d-borneol, l-terpineol, geraniol, safrol, dan myristicin. Dengan demikian, relaksasi dapat berlangsung pada kerang yang ditelaah ini sebagai tanggapan atas sifat dan efek minyak pala tersebut.

SIMPULAN

Bahan ansetesi miyak pala dapat digunakan untuk memudahkan penempatan iritan pada kerang Anodonta woodiana. Minyak pala direspon secara merata oleh kerang yang di uji dibandingkan dengan bahan anestesi yang lain. Minyak pala dengan dosis 2,5 ml/L memperoleh respon tertinggi oleh kerang Anodonta woodiana.

UCAPAN TERIMA KASIH

Kepala Balai Budidaya Air Tawar (BBAT) Tatelu, Dr. Ir. Amin Setiawan, M.S., Prof. Dr. Sukaya Sastrawibawa, SU., Amrih Joko W. M.P., Dr. Ir. Gybert Mamuaya, DAA, Ir. Jhonly Solang

DAFTAR PUSTAKA

Acosta-Salmon, H., E. Martinez-Fernandez, & P.C. Southgate, 2004. A new approach to pearl oyster broodstock

Keterangan: Nilai dengan huruf kecil yang sama (arah baris) dan huruf besar yang sama (arah kolom) menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf 5%.

Tabel 2. Rata-rata Jumlah Kerang yang Memberikan Respons pada Setiap Kombinasi Jenis dan Dosis Bahan Anestesi Jenis Bahan Anestesi 1,5 Dosis (2,5ml/l) 3,5 Minyak Sereh 0,028 aA 55,56 cC 44,44 bC Minyak Cengkeh 0,028 aA 3,70 aA 0028 aA Minyak Menthol 11,11 aB 22,22 bB 18,52 bB Minyak Pala 44,44 aC 81,48 bD 48,15 aC

(15)

selection: can saibo donors be used as future broodstock.Aquaculture 231(1-4), 205-214.

Acosta-Salmon, H., & P.C. Southgate, 2005. Mantle regeneration in the pearl oysters Pinctada fucata and Pinctada margaritifera. Aquaculture 246(1–4):447-453.

Acosta-Salmon, H., & P.C. Southgate, 2006. Wound healing after excision of mantle tissue from the Akoya pearl oyster, Pinctada fucata. Comp. Biochem. Physiol. 143:264–268. Bilbao, A., B. Sosa, H.P. Palacios & M.D.C.

Hernandez. 2010. Efficiency of clove oil as anesthetic for Abalone (HaliotisTuberculataCoccinea, Revee). Journal of Shellfish Research 29(3):679-682.

Mamangkey, N.G.F., & P.C. Southgate, 2009. Regeneration of excised mantle tissue by the silver–lip pearl

oyster, Pinctada maxima (Jameson). Fish and Shellfish Immunology 27, 164-174.

Martins-Sousa, R.L., D. Negrao-Correa, F.S.M. Bezerra & P.M.Z Coelho. 2001. Anesthesia of Biomphalaria spp. (Mollusca, Gastropoda): Sodium pentobarbital is the rrug of choice. Mem Inst Oswaldo Cruz, Rio de Janeiro 96(3):391-392

Norton, J.H., J.S. Lucas, I. Turner, R.J. Mayer, & R. Newnham, 2000. Approaches to improve cultured pearl formation in

Pinctada margaritifera through use

of relaxation, antiseptic application and incision closure during bead insertion. Aquaculture 184, 1–17. O’Connor, W.A., & N.F. Lawler, 2002.

Propylene phenoxetol as a relaxant for the pearl oysters Pinctada imbricata and Pinctada albina. Asian Fish. Sci. 15, 51–57

(16)

KESTABILAN WARNA KURKUMIN TERENKAPSULASI DARI KUNYIT (Curcuma domestica Val. ) DALAM MINUMAN RINGAN DAN JELLY PADA

BERBAGAI KONDISI PENYIMPANAN Tensiska., Nurhadi, B., dan Isfron, A.F.

Jurusan Teknologi Industri Pangan, Fakultas Teknologi Industri Pertanian, Universitas Padjadjaran, Jatinangor.

E-mail: tensiska_agam@yahoo.com ABSTRAK

Pigmen kurkumin dari kunyit bersifat tidak stabil terhadap cahaya, suhu dan perubahan pH, oleh karena itu dilakukan penyalutan dengan polimer (mikroenkapsulasi) agar memiliki umur simpan yang lebih lama. Pigmen kurkumin yang telah dimikroenkapsulasi dapat diaplikasikan pada produk pangan seperti minuman ringan dan jelly. Tujuan penelitian ini adalah untuk menetapkan kondisi penyimpanan yang tepat terhadap pigmen kurkumin terenkapsulasi yang diaplikasikan pada produk minuman ringan dan jelly dan menduga umur simpannya. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan empat perlakuan dan tiga kali ulangan. Perlakuan yang diberikan pada minuman ringan dan jelly adalah penyimpanan suhu ruang (250 C ± 20 C), suhu refrigerator (50 C± 20 C), terekspos cahaya, dan tanpa ekspos cahaya selama 30 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua produk (minuman ringan dan jelly) yang disimpan pada suhu refrigerator dan tanpa ekspos cahaya memiliki stabilitas warna yang paling baik. Berdasarkan intensitas warna kuning, umur simpan minuman ringan pada suhu ruang dan terekspos cahaya secara berturut-turut adalah 38 hari dan 15 hari sedangkan umur simpan pada suhu refrigerator dan tanpa ekspos cahaya tidak bisa diduga pada 30 hari penyimpanan karena hasil uji statistik menunjukkan bahwa lama penyimpanan (variabel x) tidak memengaruhi penurunan intensitas warna kurkumin (variabel y) selama penyimpanan 30 hari. Umur simpan jelly suhu refrigerator adalah 46 hari, tanpa terekpos cahaya: 25 hari , suhu ruang : 17 hari dan terekspos cahaya : 15 hari.

Kata kunci: Kunyit, kurkumin, stabilitas, umur simpan

COLOR STABILITY OF ENCAPSULATED CURCUMIN PIGMENTS FROM TURMERIC (Curcuma domestica Val.) IN SOFT DRINKS AND JELLY AT VARIOUS

STORAGE CONDITIONS ABSTRACT

Curcumin pigment from turmeric is not stable on light, heat, and a change of pH, therefore microencapsulation of curcumin was carried out in order to provide a longer shelf life. Microencapsulated curcumin pigment can be applied to food products such as soft drinks and jelly. The purpose of this study was to determine the appropriate storage conditions of microencapsulated curcumin pigment in soft drinks and jelly products and also to forcast their shelf life. this is the experimental reseach with four treatments and three replications. The four treatments tested in soft drinks and jelly included storage at room temperature (250 C ± 20 C), cold storage (50 C± 20 C), exposure to light, and without exposure to light. The results of this study indicated that both products stored at refrigeration temperature without exposure to light were the most stable color. The shelf life of soft drinks stored at room temperature and exposed to light was 38 days and 15 days, respectively. Meanwhile the shelf life of the product in refrigeration and exposed to light could not be calculated because, based on statistical analysis, it was found that storage (x variable) did not influence the intensity of the color (y variable) during the 30 days. The shelf life of the jelly stored in refrigeration was 46 days, without exposure to light: 25 days, room temperature: 17 days, and exposure to light: 15 days .

(17)

PENDAHULUAN

Dua puluh tahun terakhir di negara maju, berkembang kesadaran masyarakat akan pangan fungsional (functional food) dan menghindari penggunaan bahan sintetik sebagai bahan tambahan pangan (food additif). Salah satu bahan tambahan pangan adalah pewarna. Penggunaan pewarna sintetik pada pangan memberikan kesan toksik, sedangkan pewarna alami memberi kesan menyehatkan. Selain itu, umumnya pewarna sintetik dibuat dari ter batubara sehingga mengandung logam berat yang berdampak negatif bagi kesehatan seperti penyebab kanker dan dapat menyebabkan gangguan tingkah laku serta merangsang perilaku hiperaktif pada anak-anak (Mc Cann et al., 2007 dikutip He and Giusti, 2010). Penggunaan pewarna alami sebagai bahan tambahan makanan yang aman menjadi salah satu alternatif penyelesaian permasalahan tersebut. Salah satu zat pewarna alami yang sering digunakan adalah kurkumin dari kunyit.

Rimpang kunyit dapat dimanfaatkan sebagai zat pewarna alami yaitu senyawa kurkuminoid yang menampilkan warna kuning. Pigmen kurkumin bersifat larut dalam etanol dan asam asetat glasial dan memiliki stabilitas yang baik terhadap panas dan asam, tetapi sensitif terhadap cahaya (MacDougall, 2002). Menurut Sidik (1992), bila kurkumin terkena cahaya, akan terjadi dekomposisi struktur berupa siklisasi kurkumin atau terjadi degradasi struktur sehingga warna kurkumin berubah menjadi lebih gelap.

Salah satu upaya untuk mempertahankan kestabilan pigmen kurkumin ini adalah dengan melakukan penyalutan menggunakan suatu bahan polimer sehingga memiliki daya tahan simpan yang lebih panjang. Menurut Syamsiyah (1996) dikutip Ariarti (1998), proses penyalutan (enkapsulasi) ini bertujuan untuk melindungi material inti dari pengaruh-pengaruh lingkungan yang merugikan selama penyimpanan, dari kemungkinan terjadinya oksidasi oleh cahaya, penguapan, kelembaban, udara, serta mengubah bentuk cairan menjadi padatan yang lebih mudah dalam

penanganan. Pigmen kurkumin yang telah dimikroenkapsulasi ini dapat diaplikasikan pada produk pangan, diantaranya adalah minuman ringan dan jelly.

Berdasarkan uraian di atas perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui stabilitas bubuk pigmen kurkumin terenkap- sulasi yang diaplikasikan pada minuman ringan dan jelly dalam berbagai kondisi penyimpanan. Tujuan penelitian ini untuk menetapkan kondisi penyimpanan yang tepat bagi pigmen kurkumin terenkapsulasi yang diaplikasikan pada produk minuman ringan dan jelly serta menduga umur simpannya.

BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat

Bahan utama yang digunakan adalah kunyit berumur 8-12 bulan yang diperoleh dari perkebunan kunyit di Kecamatan Tanjungsari Kabupaten Sumedang, maltodekstrin, asam asetat glasial dan akuades. Peralatan yang digunakan rotary evaporator vakum, spray drier tipe B-290 dan kromameter tipe CR-300 Minolta dan peralatan gelas.

Metode

Metode penelitian yang digunakan adalah metode percobaan (Experimental Method) dengan empat perlakuan dan tiga kali ulangan yang dilanjutkan dengan metode regresi dan korelasi. Selanjutnya hasil percobaan dianalisis secara deksriptif. Penentuan stabilitas pigmen kurkumin terbaik pada minuman ringan dan jelly berdasarkan laju perubahan intensitas warna yang paling rendah. Perlakuan yang dicobakan adalah

menambahkan bubuk pigmen kurkumin terenkapsulasi pada minuman ringan dan jelly yang disimpan selama 30 hari dengan berbagai kondisi penyimpanan yaitu :

A = Minuman ringan dan jelly yang disimpan pada suhu ruang (250 C ± 20 C)

B = Minuman ringan dan jelly yang disimpan pada suhu refrigerator (5 °C ± 2 °C) C = Minuman ringan dan jelly yang disimpan

terekspos cahaya pada suhu ruang D = Minuman ringan dan jelly yang

disimpan tanpa ekspos cahaya pada suhu ruang

(18)

Pengamatan dilakukan terhadap inten- sitas warna kuning selama penyimpanan dengan kromameter tipe CR-300 Minolta secara periodik selama penyimpanan 30 hari setiap 5 hari (Hutching, 1999)

Tahapan Penelitian

Penelitian ini dimulai dengan meng- ekstrak pigmen kurkuminoid dari rimpang kunyit mengacu pada modifikasi Vargas dan Lopez (2002) dengan pelarut akuades yang diasamkan dengan asam asetat glasial.

Selanjutnya dilakukan penyalutan atau proses mikroenkapsulasi menggunakan alat spary drier dengan bahan penyalut maltodekstrin 6%. Mikroenkapsulasi ini menggunakan modifikasi metode Sukardi, Saati dan Wahyuni (2007).

Tahap berikutnya adalah menentukan stabilitas pigmen pada produk aplikasi yaitu minuman ringan dan produk jelly. Minuman ringan dan jelly masing-masing ditambahkan pigmen kurkumin sebanyak 15.000 ppm. Penyimpanan produk aplikasi dilakukan pada (1) suhu ruang (25 ºC ± 2 ºC); (2) suhu refrigerator (5 ºC ± 2 ºC); (3) terekspos cahaya dari lampu Neon 18 Watt yang berjarak ± 1 meter dari sampel ; dan (4) tanpa terekspos cahaya (sampel disimpan pada ruangan tertutup tanpa cahaya).

Minuman ringan yang telah ditambah- kan dengan bubuk pigmen kurkumin ter- enkapsulasi disimpan dalam vial kaca dan ditutup rapat. Pada penyimpanan suhu ruang minuman ringan disimpan dalam ruangan terbuka (25 ºC ± 2 ºC) dengan tidak memperhatikan pengaruh cahaya. Penyimpanan suhu refrigerator, minuman ringan disimpan dalam refrigerator dengan suhu 5 ºC ± 2 ºC. Penyimpanan terekspos cahaya pada suhu ruang, minuman ringan

disimpan dalam ruangan terbuka bersuhu ruang (25 ºC ± 2 ºC) dengan ekspos cahaya dari lampu Neon 18 Watt yang berjarak ± 1 meter dari sampel. Penyimpanan tanpa ekspos cahaya pada suhu ruang (25 ºC ± 2 ºC), minuman ringan disimpan dalam ruangan tertutup tanpa cahaya. Jelly yang telah ditambahkan dengan bubuk pigmen kurkumin terenkapsulasi disimpan dalam plastic cup transparan dan ditutup rapat dengan bantuan plastic sealer. Jelly disimpan dengan kondisi penyimpanan yang sama seperti pada minuman ringan.

Pengamatan dilakukan terhadap intensitas warna kuning (nilai b*) diamati

setiap 5 hari sekali selama 30 hari dengan menggunakan kromameter tipe CR -300 Minolta (Hutching, 1999) .

HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Intensitas Warna Minuman Ringan

Kerusakan kurkumin digambarkan dengan penurunan intensitas warna kuning (nilai b*) selama penyimpanan. Namun sebelum itu, perlu dilakukan penentuan orde reaksi untuk mengetahui pola laju perubahan intensitas warna minuman ringan, apakah mengikuti reaksi orde nol (linear) atau orde satu (eksponensial). Pemilihan orde nol atau orde satu adalah berdasarkan keeratan hubungan koefisien determinasi (R2) yang

lebih besar dari kurva hubungan antara lama penyimpanan dengan nilai b* (orde nol) atau

dengan nilai ln b* (orde satu ).

Berdasarkan hasil penurunan intensitas warna kurkumin pada minuman ringan dalam beberapa kondisi penyimpanan, diperoleh kurva orde nol, dan orde satu seperti yang tertera pada Gambar 1.

Keterangan: A (Penyimpanan suhu ruang); B (Penyimpanan suhu refrigerasi); C (Penyimpanan suhu ruang terekspos cahaya); D (Penyimpanan suhu ruang tanpa ekspos cahaya)

Gambar 1. Laju penurunan intensitas warna kuning dalam minuman ringan pada berbagai penyimpanan (a) orde nol dan (b) orde satu

(19)

Tabel 1. Persamaan Regresi dan Nilai R square (R2) Minuman Ringan

pada Orde 0 dan Orde 1 Orde

Reaksi PenyimpananKondisi Persamaan Regresi R2 Orde Nol A y = -0,129x + 21,20 0,645 B y = -0,009x + 21,13 0,008 C y = -0,220x + 19,60 0,704 D y = -0,026x + 18,94 0,086 Orde Satu A y = -0,0069x + 3,056 0,644 B y = -0,0004x + 3,0499 0,009 C y = -0,013x + 2,977 0,694 D y = -0,0014x + 2,939 0,078 Berdasarkan kurva orde nol dan orde satu (Gambar 1), diketahui persamaan regresi dari berbagai kondisi penyimpanan pada Tabel 1.

dilakukan dalam waktu penyimpanan yang lebih lama, ada kemungkinan kurva perubahan intensitas warna kurkumin untuk semua kondisi penyimpanan akan mengikuti kurva orde satu. Menurut Vargas dan Lopez (2002), degradasi warna pigmen kurkumin akibat cahaya dan panas mengikuti kinetika ordo satu. Jika laju degradasi kurkumin mengikuti kinetika reaksi orde satu, berarti laju kerusakannya bersifat eksponensial, namun pada akhirnya kurkumin tidak akan pernah mencapai titik nol tetapi hanya mendekati titik nol.

Berdasarkan Gambar 1, grafik orde nol pada penyimpanan minuman ringan pada suhu ruang terekspos cahaya (peralakuan C) mengalami penurunan intensitas warna yang paling besar jika dibandingkan dengan perlakuan penyimpanan lainnya. Hal ini terjadi karena pada kondisi tersebut terdapat dua faktor yang menyebabkan kerusakan kurkumin yaitu suhu dan cahaya sehingga mengalami penurunan intensitas warna kurkumin yang paling cepat. Menurut Hendry (1996), pigmen kurkumin sensitif terhadap cahaya. Stankovic (2004) menambahkan bahwa suhu dan lama pemananasan berpengaruh nyata terhadap peningkatan degradasi kurkumin. Minuman ringan yang disimpan pada suhu refrigerator mengalami penurunan kurkumin yang paling kecil karena tidak adanya kontribusi cahaya dan kecilnya pengaruh suhu dalam proses degradasi kurkumin. Berdasarkan fakta tersebut, maka dapat dikatakan bahwa suhu dan cahaya memberikan kontribusi masing-masing terhadap degradasi kurkumin. Kedua faktor tersebut jika terdapat bersama-sama akan mempercepat laju degradasi kurkumin.

Berdasarkan analisis regresi dapat ditulis kembali persamaan regresi dan kurva hubungan lama penyimpanan terhadap intensitas warna kuning (b*) yang terpilih yaitu orde nol untuk perlakuan A, C dan D , dan orde satu untuk perlakuan B yang disajikan pada Tabel 2. Pada Tabel 2 juga disajikan laju kinetik penurunan intensitas warna minuman ringan yang diperoleh dari nilai slope persamaan regresi.

Nilai R2 yang semakin mendekati satu,

menandakan korelasi antar data semakin tinggi. Persentase penurunan intensitas warna per hari pada persamaan linear (orde nol) bersifat konstan selama penyimpanan, sedangkan pada reaksi orde satu terjadi secara eksponensial. Dapat dilihat pada Tabel 1, pada kondisi penyimpanan suhu ruang (A), terekspos cahaya (C) dan tanpa terekspos cahaya (D), orde nol memiliki koefisien determinasi (R2) yang lebih besar daripada

orde satu. Oleh karena itu dapat ditentukan bahwa laju kerusakan kurkumin pada minuman ringan tersebut mengikuti reaksi orde nol. Artinya laju penurunan degradasi kurkumin untuk setiap hari penyimpanan bersifat konstan. Penyimpanan pada suhu refrigerator (B) memiliki nilai R2 orde satu

yang lebih besar dari orde nol, sehingga disimpulkan bahwa degradasi kurkumin pada penyimpanan suhu refrigerator meng- ikuti orde satu.

Penurunan kurkumin yang mengikuti kinetika reaksi orde nol menjelaskan bahwa degradasi kurkumin selama penyimpanan 30 hari, dipengaruhi faktor suhu dan cahaya dimana penurunan kurkumin akan konstan hingga pada akhirnya mencapai titik nol. Berdasarkan Tabel 1, dapat diketahui bahwa selisih koefisien determinasi pada persamaan di atas cukup kecil. Apabila percobaan

(20)

Tabel 2. Persamaan regresi dan laju kinetik Konstan (K) antara nilai b* dengan lama penyimpanan pada minuman ringan.

Penyimpanan Persamaan Regresi R2 Laju Kinetik (K) A (suhu ruang) y = -0,129x + 21,20 0,645 0,129 B (suhu refrigerator) y = -0,0004x + 3,05 0,009 0.0004 C (terekspos cahaya, suhu ruang) y = -0,220x + 19,60 0,704 0.220 D (tanpa terekspos cahaya, suhu ruang) y = -0,026x + 18,94 0,086 0.026 Berdasarkan Tabel 2, lama penyim- panan minuman ringan pada suhu ruang memiliki hubungan yang cukup erat dengan penurunan intensitas warna kuning (b*). Hal ini terlihat dari nilai koefisien determinasi (R2) yaitu 0.645 yang artinya

64,5% penurunan intensitas warna kuning dipengaruhi oleh penyimpanan suhu ruang, sedangkan 35,5% sisanya dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang tidak diamati seperti cahaya, pH, dan lain-lain. Jika diilihat dari nilai slope (laju kinetik K) persamaan linier, minuman ringan yang disimpan pada suhu ruang memiliki nilai slope (-0,129) yang berarti bahwa setiap bertambah satu hari penyimpanan nilai intensitas warna kuning (b*) berkurang sebesar 0,129. Berbeda dengan penyimpanan suhu refrigerasi yang memiliki slope (-0,0004) yang berarti penurunan intensitas warna setiap harinya hanya 0,0004. Jika dilihat dari nilai keeratan hubungan (R2) antara lama penyimpanan

terhadap intensitas warna kuning, maka dapat dinyatakan bahwa lama penyimpanan (30 hari) pada suhu refrigerator relatif tidak berpengaruh terhadap penurunan intensitas warna pigmen kurkumin dari kunyit pada minuman ringan.

Berdasarkan Tabel 2, lama penyimpan- an minuman ringan yang terekspos cahaya memiliki hubungan yang cukup erat dengan penurunan intensitas warna kuning (b*). Hal ini terlihat dari nilai koefisien determinasi (R2) yaitu 0.704 yang artinya

70,4% penurunan intensitas warna kuning dipengaruhi oleh cahaya sedangkan 29,6%

sisanya dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang tidak diamati seperti pH, oksigen, dan lain-lain. Jika dilihat dari nilai slope (laju kinetik K) persamaan linier, minuman ringan yang terekspos cahaya memiliki nilai slope (-0,220) yang berarti bahwa setiap bertambah satu hari penyimpanan nilai intensitas warna kuning (b*) berkurang sebesar 0,220. Berbeda dengan minuman ringan tidak terekspos cahaya yang memiliki slope (-0,026) yang berarti penurunan intensitas warna setiap harinya bernilai 0,026. Berdasarkan hal tersebut, dapat dinyatakan bahwa cahaya berpengaruh terhadap intensitas warna pigmen kurkumin dan kunyit pada minuman ringan.

Berdasarkan pengujian hipotesis, diketahui bahwa perlakuan B (suhu refrigerator) dan D (suhu ruang tanpa ekspos cahaya) pada minuman ringan menunjukkan hipotesis penerimaan H0 (H0 : b = 0). Hal ini menunjukkan variabel lama penyimpanan tidak memengaruhi penurunan intensitas warna kurkumin selama penyimpanan 30 hari. Dengan demikian dapat dinyatakan, intensitas warna kurkumin pada minuman ringan yang disimpan pada suhu refrigerator dan suhu ruang tanpa terekspos cahaya, stabil selama penyimpanan 30 hari. Stabilitas yang baik pada minuman ringan ini terjadi karena kecilnya pengaruh faktor-faktor yang dapat merusak senyawa kurkumin, yaitu suhu dan cahaya. Hal ini juga ditunjukkan dengan warna minuman ringan yang relatif stabil hingga penyimpanan hari ke-30 pada kedua perlakuan tersebut.

Pada hari ke-30 minuman ringan perlakuan penyimpanan suhu ruang (A) dan terekspos cahaya pada suhu ruang (C) terlihat mengalami perubahan warna menjadi lebih gelap. Perubahan ini terjadi akibat pembentukan senyawa feruilmetan hasil degradasi kurkumin. Menurut Sidik (1992), senyawa feruilmetan berwarna kuning kecoklatan.

Perubahan Intensitas Warna Jelly Dalam menentukan laju penurunan intensitas warna kuning pada jelly, juga dilakukan penentuan orde reaksi untuk mengetahui nilai keeratan hubungan yang

(21)

paling besar antara lama penyimpanan terhadap penurunan intensitas warna kuning. Apabila orde reaksi yang berlaku adalah orde nol maka laju reaksi yang terjadi bersifat konstan sedangkan apabila orde reaksi yang berlaku adalah orde satu maka laju reaksi yang terjadi bersifat logaritmik atau eksponensial. Kurva regresi penurunan intensitas warna kuning jelly pada orde nol dan orde satu disajikan pada Gambar 2. Persamaan linear dan nilai R square (R2)

pada orde 0 dan orde 1 disajikan pada Tabel 3.

Gambar 2. Laju penurunan ntensitas warna kuning pada jelly pada berbagai kondisi penyimpanan untuk orde nol dan orde satu

Tabel 3. Persamaan inear dan nilai R2 jelly

pada orde 0 dan orde 1 Orde

Reaksi PenyimpananKondisi Persamaan Regresi R2 Orde Nol A y = -0,240x + 20,30 0,669 B y = -0,075x + 19,78 0,147 C y = -0,263x + 20,16 0,614 D y = -0,157x + 20,19 0,470 Orde Satu A y = -0,015x + 3,029 0,632 B y = -0,004x + 2,982 0,141 C y = -0,017x + 3,023 0,528 D y = -0,009x + 3,012 0,410

Tabel 4. Persamaan regresi dan laju kinetik Konstan (K) antara intensitas warna (Nilai b* ) dengan lama penyimpanan pada jelly

Penyimpanan Persamaan Regresi R2 Laju Kinetik (K) A (suhu ruang) y = -0,240x + 20,30 0,669 0,240 B (suhu refrigera-tor) y = -0,075x + 19,78 0,147 0.075 C ( terekspos

cahaya pada suhu ruang)

y = -0,263x

+ 20,16 0,614 0.263 D ( tanpa ekspos

cahaya pada suhu ruang)

y = -0,157x

+ 20,19 0,470 0.157 kurkumin pada jelly selama penyimpanan 30 hari mengikuti persamaan linear, yang artinya penurunan kurkumin akan konstan hingga pada akhirnya mencapai titik 0.

Apabila percobaan dilakukan dalam waktu penyimpanan yang lebih lama, dapat dimungkinkan kurva perubahan intensitas warna kurkumin pada semua kondisi penyimpanan akan mengikuti kurva orde satu. Menurut Vargas dan Lopez (2003), degradasi warna pigmen kurkumin akibat cahaya dan panas mengikuti kinetika ordo satu. Hal tersebut juga diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Diani (2011) yang menyatakan bahwa degradasi kurkumin selama penyimpanan terjadi secara eksponensial. Persamaan regresi dan laju kinetik konstan (slope) produk jelly untuk orde nol ditulis kembali pada Tabel 4.

Berdasarkan Tabel 3, semua persamaan intensitas warna kuning orde reaksi nol pada jelly memiliki nilai R2 yang lebih besar daripada persamaan orde satu. Hal ini berarti bahwa laju kerusakan warna kuning

Berdasarkan Tabel 4, lama penyimpanan jelly pada suhu ruang memiliki hubungan yang cukup erat dengan penurunan intensitas warna kuning (b*). Hal ini terlihat dari nilai koefisien determinasi (R2) yaitu 0,669 yang

artinya 66,9 % penurunan intensitas warna kuning dipengaruhi oleh penyimpanan suhu ruang, sedangkan 33,1% sisanya dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang tidak diamati seperti cahaya, pH, dan lain-lain. Jika diilihat dari nilai slope (laju kinetik K) persamaan linier, jelly yang disimpan pada suhu ruang memiliki nilai slope (-0,240) yang berarti bahwa setiap bertambah satu hari penyimpanan nilai intensitas warna kuning (b*) berkurang sebesar 0,240,

(22)

sedangkan penyimpanan suhu refrigerator memiliki laju penurunan (-0,075) yang berarti penurunan intensitas warna setiap harinya bernilai 0,075. Jika dilihat dari nilai keeratan hubungan (R2) antara lama

penyimpanan terhadap intensitas warna kuning, maka dapat dinyatakan bahwa lama penyimpanan pada suhu ruang berpengaruh terhadap intensitas warna. Sementara itu penyimpanan pada suhu refrigerator memiliki nilai R2 yang sangat kecil ( 0,147),

yang berarti lama penyimpanan pada suhu refrigerator relatif kurang berpengaruh terhadap intensitas warna jelly.

Berdasarkan Tabel 4, lama penyim- panan jelly yang terekspos cahaya memiliki hubungan yang cukup erat dengan penurunan intensitas warna kuning (b*). Hal ini terlihat dari nilai koefisien determinasi (R2)

yaitu 0,614 yang artinya 61,4% penurunan intensitas warna kuning dipengaruhi oleh cahaya. Jika dilihat dari nilai slope (laju kinetik K) persamaan linier, jelly yang terekspos cahaya memiliki nilai slope (-0,263) yang berarti bahwa setiap bertambah satu hari penyimpanan nilai intensitas warna kuning (b*) berkurang sebesar 0,263, sedangkan jelly tidak terekspos cahaya yang memiliki slope (-0,157) yang berarti penurunan intensitas warna setiap harinya hanya 0,157. Hal ini berarti bahwa cahaya berpengaruh terhadap kestabilan pigmen kurkumin. Fakta ini juga didukung oleh nilai (R2) atau keeratan hubungan antara

lama penyimpanan terhadap intensitas warna kuning, pada jelly yang terekspos cahaya nilai (R2) lebih besar dibandingkan

dengan yang tanpa ekspos cahaya. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa cahaya berpengaruh terhadap penurunan intensitas warna pigmen kurkuin yang diaplikasikan pada jelly.

Selain faktor suhu dan cahaya, degradasi kurkumin pada jelly selama penyimpanan juga dipengaruhi oleh kandungan gugus sulfat dari karagenan karena jelly powder yang digunakan berasal dari karagenan. Menurut Glicksman (1983), pada umumnya karagenan mengandung 25-39 % gugus sulfat ester. Hendry dan Houghton (1996) menegaskan bahwa senyawa sulfur dioksida

akan menurunkan intensitas warna pada kurkumin yang terlarutkan, terutama ketika sulfur dioksida terkandung lebih dari 100 ppm. Hal ini yang menyebabkan laju penurunan intensitas pigmen kurkumin pada produk jelly lebih cepat dibandingkan kurkumin pada produk minuman ringan dengan kondisi penyimpanan yang sama.

Berdasarkan Tabel 4, penurunan intensitas warna lebih besar pada perlakuan penyimpanan suhu ruang (A) dibandingkan dengan perlakuan suhu refrigerator (B) yang ditunjukkan oleh nilai slope. Penurunan intensitas warna kuning pada jelly terjadi karena degradasi senyawa kurkumin menjadi asam ferulat dan feruloilmetan yang diakibatkan oleh suhu seperti yang terjadi pada minuman ringan. Intensitas warna kuning jelly pada suhu refrigerator relatif stabil selama penyimpanan hingga hari ke-30. Hal ini mungkin disebabkan karena tidak adanya kontribusi cahaya dan rendahnya suhu penyimpanan sehingga tingkat kerusakan kurkumin relatif kecil.

Berdasarkan Tabel 4, jelly yang disimpan terekspos cahaya ( C ) mengalami penurunan nilai b* yang lebih besar dibandingkan dengan jelly tanpa ekspos cahaya (D). Hal ini disebabkan karena cahaya sangat berpengaruh terhadap stabilitas kurkumin.

Pendugaan Umur Simpan

Umur simpan berkaitan dengan kelayakan dan penerimaan produk oleh konsumen, oleh sebab itu dalam menentukan waktu kadaluwarsa bahan pangan diperlukan sebuah batasan mutu atau parameter kritis yang dapat mewakili ambang batas penerimaan produk oleh konsumen.

Parameter kritis pigmen kurkumin terenkapsulasi yang diaplikasikan pada minuman ringan dan jelly, ditentukan berdasarkan intensitas warna kuning yang sudah tidak dapat lagi diterima, yaitu pudarnya warna kuning pada produk. Parameter yang diuji adalah intensitas warna kuning kurkumin pada minuman ringan dan jelly (nilai b*).

Nilai b* kritis adalah intensitas warna kuning pigmen kurkumin pada produk yang

Gambar

Tabel  5. Pengaruh kombinasi abu vulkanik Merapi, pupuk kandang sapi dan tanah mineral  terhadap nilai rata-rata tinggi tanaman (a), jumlah daun (b) dan diameter batang (c)
Gambar 1. Hubungan antara bobot kering pupus  tanaman jagung dengan C-organik  (a), asam humat-fulvat (b) dan bobot  isi media tanam (c)
Tabel 1. Hasil uji coba penggunaan bahan anestesi pada kerang A. woodiana  dan pengaruhnya terhadap  respons, waktu relaksasi dan waktu pulih, dan mortalitas
Tabel 2. Rata-rata Jumlah Kerang yang  Memberikan Respons pada  Setiap Kombinasi Jenis dan Dosis   Bahan Anestesi  Jenis Bahan  Anestesi Dosis ( ml/l ) 1,5 2,5 3,5 Minyak Sereh 0,028 aA 55,56 cC 44,44 bC Minyak  Cengkeh 0,028 aA 3,70 aA 0028 aA Minyak  Men
+7

Referensi

Dokumen terkait

Membuka file database MS Access berarti membuka file yang pernah dibuat dan disimpan. Selain membuka jendela database yang pernah dibuat, Anda bisa membuka

Adanya pengaruh negatif signifikan antara instrumen promosi dengan niat pindah kerja memberikan arti bahwa semakin tinggi peluang karyawan mendapat- kan kesempatan

Penilaian kinerja didasarkan pada kuantitas dan kualitas kerja yang dinilai dari pencapaian target yang ditetapkan baik dari segi jumlah maupun standar mutu

Pada analisis rataan Pb tanah, Perlakuan M9 (100% kompos residu rumah tangga) menunjukkan hasil yang lebih tinggi dari perlakuan lainnya dan perlakuan M 1 (100%

Berdasarkan keterkaitan antara pelayanan prima dan harga terhadap loyalitas pelanggan, di mana perusahaan memberikan kualitas pelayanan yang terbaik, harga yang

Dimensi dan geometri produk dibandingkan dengan cetakan dan dievaluasi dengan pengukuran linier serta pengamatan visual.Hasil pengujian menunjukkan bahwa kombinasi waktu

Pengertian tentang “orang yang termasuk di dalam kekuasaan peradilan Agama pada waktu penjajahan, sesuai dengan politik pembedaan penduduk, adalah orang Indonesia

Masing-masing peserta harus mempunyai alat pantau individu berupa Kartu Menuju Sehat (KMS) FR-PTM. Untuk mencatat kondisi faktor risiko PTM. Kartu ini disimpan oleh