• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan agama Islam pada masa kerajaan Majapahit 1376 1478

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perkembangan agama Islam pada masa kerajaan Majapahit 1376 1478"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

i

PERKEMBANGAN AGAMA ISLAM PADA MASA KERAJAAN MAJAPAHIT 1376 - 1478

MAKALAH

Diajukan Untuk Mempenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Sejarah

Oleh :

Heri Andri

NIM : 081314047

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Makalah ini saya persembahkan kepada:

1. Allah SWT, yang telah banyak memberikan limpahan rakhmat serta hidayahnya kepada saya,

2. Kedua orangtua Kukuh Suyono dan Ibu Khomariyah, S.Pd., yang telah membesarkan dan mendidik saya dengan penuh cinta dan kasih sayang, 3. Adik-adikku Fajar, Nova, dan Rahmad yang telah mendukung saya dalam

mengerjakan makalah ini.

4. Teman-teman seperjuangan Pendidikan Sejarah angakatan 2008 terima kasih atas bantuan dan kerjasama kalian selama ini,

(5)

v

MOTTO

Jangan sekali-sekali melupakan sejarah (Jas Merah). (Soekarno)

Manusia tidak merancang untuk gagal, mereka gagal untuk merancang. (William J. Siegel)

Kehidupan merupakan sebab akibat, kehidupan kita sekarang adalah akibat dari kehidupan kita sebelumnya, jadi jalanilah kehidupan kita sekarang sebaik

(6)
(7)
(8)

viii

ABSTRAK

Perkembangan Agama Islam Pada Masa Kerajaan Majapahit 1376 – 1478 Heri Andri

Universitas Sanata Dharma 2013

Penulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis tiga permasalahan pokok, yaitu : 1). Proses masuknya agama Islam di Kerajaan Majapahit. 2). Perkembangan agama Islam di Majapahit tahun 1376 – 1478. 3). Dampak perkembangan agama Islam bagi kerajaan Majapahit.

Penulisan ini menggunakan metode sejarah. Metode sejarah memiliki lima tahap, yaitu : (1) pemilihan topik, (2) pengumpulan sumber, (3) verivikasi, (4) intepretasi, (5) penulisan. Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan multidimensional, serta ditulis secara deskriptif analitis.

(9)

ix

ABSTRACT

The Development of Islam in the Era of Majapahit Kingdom in 1376-1478 Heri Andri

UNIVERSITAS SANATA DHARMA 2013

The objectives of this study are to describe and to analyze 3 basic problems. They are: 1) The process of Islam arrival into the Majapahit kingdom, 2) The development of Islam in Majapahit in the period of 1376-1478, and 3) The impact of Islam development towards the Majapahit kingdom.

This writing uses historical method. Historical method has five stages, namely: (1) the selection of the topic, (2) the collection sources, (3) verification, (4) interpretation, (5) writing. Meanwhile, the approach used in this writing is multidimensional approach. This study is written by using analytical description.

(10)

x

Kata Pengantar

Puji dan syukur saya panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Perkembangan Agama Islam Pada Masa Kerajaan Majapahit Tahun 1367 –1478”.

Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini tidak mungkin selesai tanpa bantuan berbagai pihak. Maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada :

1. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Sosial Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah yang telah memberikan saran dan dorongan untuk menyelesaikan makalah ini.

3. Drs. A.K. Wiharyanto, M.M., selaku dosen pembimbing yang telah sabar membimbing dan memberikan banyak arahan serta masukkan selama penyususnan makalah ini.

4. Seluruh dosen dan pihak sekretariat Program Studi Pendidikan Sejarah yang telah memberikan dukungan dan bantuan selama penulis menyelesaikan studi di Universitas Sanata Dharma.

(11)

xi

6. Seluruh teman-teman terutama teman dari Pendidikan Sejarah 2008, terima kasih atas doa dan dukungannya.

7. Seluruh karyawan Perpustakaan USD yang telah menyediakan buku-buku yang diperlukan untuk penulisan makalah ini.

8. Semua pihak yang telah membantu dan tidak bisa disebutkan secara satu-persatu oleh penulis dalam makalah ini.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis dengan tangan terbuka akan menerima segala tanggapan, saran, kritik dari pembaca demi penyempurnaan makalah ini. Akhir kata, penulis berharap semoga makalah ini dapat menjadi salah satu sumbangan yang bermanfaat.

Yogyakarta, 30 Oktober 2013 Penulis

(12)

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penulisan... 10

D. Manfaat Penulisan ... 11

E. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II: PROSES MASUKNYA AGAMA ISLAM KE MAJAPAHIT A. Melalui Perdagangan... 13

B. Melalui Hubungan Diplomatik ... 17

C. Melalui Perkawinan ... 20

(13)

xiii

BAB III: PERKEMBANGAN AGAMA ISLAM DI MAJAPAHIT TAHUN

1376-1478

A. Munculnya Syaikh Jumadil Kubro Sebagai Pencetus

Pendidikan Pesantren ... 31

B. Munculnya Walisongo ... 36

BAB IV: PERKEMBANGAN AGAMA ISLAM BAGI KERAJAAN MAJAPAHIT A. Munculnya Kadipaten Islam Demak ... 42

B. Munculnya Demak Sebagai Kerajaan Islam dan Runtuhnya Majapahit ... 51

BAB V: KESIMPULAN ... 61

DAFTAR PUSTAKA ... 63

LAMPIRAN ... 65

A. Silabus ... 65

B. RPP... 68

C. Penilaian Kognitif ... 72

D. Penilaian Afektif ... 75

E. Penilaian Psikomotorik ... 76

(14)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Majapahit merupakan salah satu kerajaan terbesar di Nusantara di zamannya. Majapahit mencapai kejayaannya pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada. Sebagai salah satu kerajaan besar di Indonesia, wilayah kekuasannya meliputi Pulau Jawa, Sumatra (Jambi, Palembang, Dharmasyara, Kandis, Kahwas, Siak, Mandialing, Panai, Kampe Haru, Temiang, Parlak, Samudra, Lamuiri Barus, Batan, Lampung), Kalimantan (Kapuas, Katingan, Sampit, Kotas lingga, kota Waringin, Sambas, Lawai, Kandangan Singkawang, Tirem Landa, Sedu, Barune, Sukada, Seludung, Solot, Pasir, Barito, Sawaku, Tanjung Kutei, Malano), Semenanjung Tanah Malayu (Pahang, Langkasuka, Kelantan, Siawang, Nagor, Paka, Muar, Dungun, Tumasik, Kelang, Kedah, Jerai), sebelah timur Jawa ( Bali, Badahulu, Lo Gajah, Gurun, Sukun, Taliwung, Dompo, Sapi, Gunung Api, Seram, Hutan Kandali, Sasak, Bantayan, Luwuk, Makasar, Buton, Banggawi, Kunir, Balian, Wandan, Ambon, Wanin, Seran, Timor1. Dengan wilayah yang begitu luas membuat Majapahit menjadi kerajaan yang unik dan menarik untuk dipelajari. Keunikan Majapahit itu sendiri karena masyarakat yang plural dengan berbagai wilayah di nusantara.

Masa Majapahit adalah masa Hindu Buddha, dimana saat itu kedua agama tersebut adalah agama mayoritas penduduk Jawa dan sekitarnya. Hindu-Buddha

1

(15)

sebagai agama mayoritas masyarakat telah membentuk Majapahit menjadi kerajaan yang plural. Toleransi antar umat beragama telah terjadi pada zaman Majapahit, masyarakat Hindu dan Buddha hidup secara berdampingan.

Agama Hindu dan Buddha sebenarnya telah menjadi bagian dari Jawa dan sekitarnya jauh sebelum berdirinya Majapahit. Sampai dengan masa keemasannya Majapahit, agama Hindu dan Buddha telah berakar di Pulau Jawa kira-kira selama empat ratus tahun. Sebelum Majapahit muncul, Hindu Buddha telah menjadi agama masyarakat Jawa yang tidak dapat terpisahkan. Sebagai agama mayoritas disatu wilayah, konsekuensi yang timbul adalah masyarakat dalam satu wilayah itu akan menjadi masyarakat yang heterogen khususnya dalam bidang keagamaan. Kehidupan masyarakat yang heterogen membuat masyarakat tersebut kaya akan kebudayaan, dan menjadi masyarakat yang plural. Dengan demikian pluralisme agama dalam masyarakat ataupun kerajaan di Jawa telah ada sebelum Majapahit muncul. Toleransi agama dalam masyarakat Majapahit sebenarnya hanya meneruskan apa yang sudah ada dalam masyarakat Jawa itu sendiri. Hal yang menjadi menarik dalam pluralisme di Majapahit adalah bagaimana kerajaan mengatur perbedaan agama yang ada dalam tatanegaranya.

Tercatat dalam Negarakretagama pupuh LXXIII-LXXVI, candi dan makam keluarga raja yang berjumlah 27, dan berpuluh-puluh biara, dan desa perdikan milik empat aliran agama Siwa, Brahma, Wisnu ,dan Buddha di Jawa Timur dan Bali2. Dari data ini dapat diketahui, pengaruh Hindu Budha di Majapahit telah sampai masuk dalam desa-desa kecil. Dengan demikian di masa Majapahit kedua

2

(16)

agama ini telah menjadi panutan untuk hidup semua masyarakat. Dari data di atas juga dapat diketahui pula bahwa raja Majapahit tidak semua memeluk agama Hindu tetapi beberapa raja juga memeluk agama Buddha. Suksesi pergantian raja dalam kerajaan Majapahit, sebenarnya telah diatur dalam tatanegara atau konsep kekuasaan Majapahit itu sendiri. Dalam konsep kekuasaannya, Majapahit tidak mempersoalkan agama calon raja. Raja dipilih berdasarkan faktor keturunan dan kesepakatan penasehat kerajaan. Berikut ini merupakan gambaran konsep kekuasaan kerajaan Majapahit secara sederhana :

Gambar 1. Menjelaskan konsep kekuasaan Majapahit. Sumber : Slamet Mulyana, 1979 : 463

Berdasarkan konsep kekuasaan tersebut, setiap jabatan memiliki tugas dan tanggung jawabnya sendiri-sendiri. Setiap jabatan masih memiliki cabangnya sendiri-sendiri guna mempermudah menjalankan kehidupan kerajaan, baik secara sosial maupun politik.

Battara Sapta Prabu merupakan dewan penasehat raja, yang anggotanya merupakan keluarga raja sendiri. Tugas dari Battara Sapta Prabu adalah

3

Slamet Mulyana, Negarakretagama dan Tafsir Sejarahnya (Jakarta: Bhatara Karya Aksara, 1979), hlm : 46.

Raja

Battara Sapta Prabu

Dewan Mentri

Rakyan Mahamantri Katrini

(17)

mengurusi masalah pergantian, keuangan raja, dan kebijaksanaan kerajaan. Rakyan Mahamantri Katrini terdiri dari tiga orang yakni, Rakyan Mahamantri Hino, Rakyan Mahamantri I Halu, dan Rakyan Mahamantri Katrini Sirikan. Dewan Mantri terdiri dari lima orang yang bertugas mengurus tatanegara, angkatan perang, dan kejaksaan. Dharmadhyaksa adalah pejabat tinggi kerajaan yang bertugas menjalankan fungsi yuridikasi keagamaan (hukum agama)4. Dalam menjalankan tugasnya dharmadhyaksa dibagi menjadi beberapa bagian, secara rinci pembagian dan tugasnya dapat dijelaskan sebagai berikut :

Dalam perihal pengadilan raja dibantu oleh dua orang dharmadhyaksa. Seorang dharmadhyaksa kasaiwan, seorang dharmadhyaksa kasogatan, yakni kepala agama Siwa dan kepala agama Budha, dengan sebutan dang acarya, karena kedua agama itu merupakan agama utama dalam kerajaan Majapahit dan segala perundang-undangan didasarkan pada agama. Kedudukan dharmadhyaksa boleh disamakan dengan kedudukan hakim tinggi. Mereka dibantu oleh lima upapatti artinya: pembantu dalam pengadilan adalah pembantu dharmadhyaksa. Mereka itu dalam piagam biasa disebut pemegat atau sang pemegat (disingkat samgat) artinya : sang pemutus alias hakim. Baik dharmadhyaksa maupun upapatti bergelar dang arca5.

Sistem pengadilan tersebut dibuat untuk memberikan keadilan bagi masyarakat Majapahit yang memang bersifat heterogen. Fungsi lain sistem tersebut untuk memberikan keadilan pada masyarakatnya, sistem tersebut juga digunakan untuk menjaga eksistensi Majapahit dimata rakyatnya sendiri. Bagaimana jika raja Majapahit tidak bersikap adil kepada rakyatnya mungkin Majapahit tidak akan menjadi kerajaan yang besar pada masa kejayaannya. Dengan adanya konsep kekuasaan maka kehidupan sosial, maupun politik di kerajaan Majapahit sudah sangat teratur. Pandangan raja yang semula absolut

4

Esa Damar Pinuluh, Pesona Majapahit (Yogyakarta: Bukubiru, 2010), hlm.46

5

(18)

tidak akan terbukti lagi jika Majapahit telah memiliki konsep kekuasaan yang sangat rinci.

Konsep kekuasaan atau disebut juga dengan tatanegara Majapahit, tidak hanya mematahkan pandangan raja yang absolut melainkan memiliki konsekuensi sendiri bagi kehidupan sosialnya. Konsep kekuasaan yang sedemikian rupa, merupakan bukti bahwa Majapahit merupakan kerajaan yang majemuk. Adanya jabatan Dharmadhyaksa membuktikan Majapahit merupakan kerajaan yang sangat terbuka bagi masyarakat yang masuk di dalamnya. Keterbukaan ini kemudian membawa perubahan yang sangat berarti dalam kehidupan kerajaan. Masyarakat Majapahit kemudian menjadi sebuah masyarakat yang dinamis yang rentan akan perubahan, baik perubahan sosial maupun perubahan budaya, meskipun perubahan yang terjadi tidak terjadi begitu saja dan membutuhkan waktu yang cukup lama.

Pada masa kejayaannya untuk memperoleh daerah kekuasaan yang begitu luas dilakukan dengan cara penaklukan suatu daerah kedaerah yang lain Majapahit tetap berusaha untuk memperlakukan daerah taklukannya dengan adil. Setiap daerah taklukan Majapahit diberi keleluasaan untuk mengembangkan struktur pemerintahan sesuai budaya setempat. Kebijakan ini semacam memberikan otonomi daerah kepada daerah taklukan6. Struktur pemerintahan di Jawa dengan daerah taklukan Majapahit diluar Jawa dibedakan. Daerah diluar Jawa diberi kebebasan dalam mengembangkan daerahnya sendiri. Raja menyadari tidak bisa memaksakan struktur pemerintahan yang ada di Jawa untuk daerah luar

6

(19)

Jawa karena memang memiliki adat sendiri-sendiri. Selain itu daerah di luar Jawa hanya merupakan daerah atau kerajaan fasal, mereka hanya berkewajiban untuk menyerahkan pajak kepada pemerintah pusat sebagai tanda mereka tunduk kepada Majapahit. Untuk mengontrol daerah taklukan Majapahit hanya menempatkan orang Majapahit pada jabatan tertentu di daerah taklukan tersebut. Wilayah di luar pulau Jawa hanya berkewajiban menyerahkan upeti kepada Majapahit setiap tahunnya, serta kunjungan penguasa kedaerah ke istana Majapahit pada waktu tertentu7.

Kebijaksanaan yang ada dalam Kerajaan Majapahit mengenai konsep kekuasaannya tidak terlepas dari tradisi masyarakat Jawa kuno. Penguasa harus mengumpulkan disekelilingnya benda atau orang apapun yang dianggap mempunyai atau mengundang kekuasaan8. Kebijakan yang ada dalam Majapahit tidak terlepas dari nuansa politik tentang bagaimanacara mempertahankan atau memperoleh kekuasaan. Cara yang digunakan mengumpulkan benda atau orang yang berpotensi menimbulkan kekuasaan adalah dengan cara mengakui pluralitas yang ada dalam Kerajaan Majapahit itu sendiri. Sebagai contohnya adalah raja dibantu sang pemegat (hakim) dalam menjalankan proses pengadilan, sang pemegat terdiri dari dua orang yaitu satu beragama Hindu satunya lagi beragama Buddha. Raja Majapahit memiliki dua penasehat kerajaan dalam menjalankan pemerintahannya, satu dari agama Hindu dan satu dari agama Buddha. Dengan demikian raja telah mengumpulkan orang – orang yang berpotensi memiliki

7

OMiriam Budiardjo, Aneka Pemikiran Tentang Kuasa dan wibawa, (Jakarta : Sinar Harapan, 1984), hlm. 57

8

(20)

pengaruh yang kuat bagi rakyat. Selain tradisi Jawa kuno konsep kekuasaan Majapahit dipengaruhi oleh sistem kepercayaan mensejajarkan makrokosmos dan mikrokosmos9. Menurut kepercayaan ini manusia di bawah pengaruh tenaga yang bersumber pada bintang, dan planet-planet. Makrokosmos dan mikrokosmos jika dapat disejahterakan akan dapat membawa kesejahteraan, dan sebaliknya jika tidak akan membawa kehancuran dan kesengsaraan. Berdasarkan konsep inilah maka setiap kerajaan Hindu maupun Buddha berusaha untuk mensejajarkan makrokosmos dan mikrokosmos untuk mendapatkan kesejahteraan dan kejayaan. Bukti sebuah kerajaan berusaha mensejajarkan makrokosmos dan mikrokosmos dapat dilihat dari, banyak bagian dalam kesusasteraan dan prasasti dalam gelar raja, permaisuri, dan pejabat dalam sebuah “kosmis” menteri-menteri, pendeta-pendeta istana propinsi-propinsi dan sebagainya, dalam upacara-upacara dan kebiasaan-kebiasaan , dalam karya seni dalam bagian susunan ibukota istana-istana dan candi-candi10.

Dalam kehidupan yang dinamis, Majapahit terus berkembang seiring dengan masa kejayaannya. Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, Majapahit mencapai puncak kejayaannya dan wilayahnya menjadi sangat luas. Majapahit semakin aktif dalam dunia internasional sehingga banyak melakukan hubungan dengan kerajaan- kerajaan di luar wilayah nusantara. Keaktifan Majapahit dalam dunia internasional membuat kerajaan ini menjadi semakin dikenal oleh dunia luar. Berita – berita Cina dari Dinasti Yuan dan Ming menyebutkan beberapa kota

9

Geldern Robert Heine, Konsepsi Tatanegara & Kedudukan Raja di Asia Tenggara, (Jakarta : C.V. Rajawali, 1982) hlm. 2

10

(21)

pelabuhan antara lain Tuban, Sidhayu, Gresik dan Kali Mas telah di singgahi pedagang asing yang datang ke Majapahit11. Hal ini menunjukkan jika di kota – kota pelabuhan ini telah terdapat perkampungan orang-orang asing. Pedagang-pedagang yang singgah sementara di kota pelabuhan membawa pengaruh besar bagi kehidupan masyarakat sekitar.

Dalam berita Cina disebutkan pedagang-pedagang asing yang datang ke Majapahit adalah pedagang dari Campa, Khmer, Thailand, Burma, Srilanka dan India. Penemuan makam Islam Fatimah binti Maimun bin Hibatullah yang wafat 7 rajab 475 hijriah (Desember 1082) di Gresik telah menandakan bahwa Islam telah masuk ke Jawa jauh sebelum Majapahit muncul. Penemuan makam Islam membuktikan bahwa daerah pesisir Jawa telah dikunjungi oleh pedagang-pedagang muslim, meskipun tidak disertai proses Islamisasi. Ketika Majapahit berkuasa pada tahun 1293 – 1527 berbarengan dengan kekuasaan kerajaan-kerajaan Islam di belahan bumi lainnya misalnya Andalusia (711 – 1493) di Mamalik di Mesir (1250 – 1517) Safawi di Iran (1252 1736) Moghul di India (1482 – 1858), dan Usmani Turki (1290 – 1924) di Nusantara sendiri Samudra Pasai (1207 – 1524) dan Aceh Darusalam (1465 – 1699)12.

Ketika Majapahit berkuasa pada 1293 – 1527 tentunya interaksi dengan Islam bukan sesuatu yang baru. Penemuan makam Islam di Troloyo telah menandakan bahwa Islam telah berkembang di pusat kota Majapahit. Makam tertua di Troloyo bertuliskan 1376 M, pada masa ini adalah masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk. Jika dilihat dari ritual pemakaman Islam yang cukup panjang

11

Esa Damar Pinuluh, op. cit, hlm. 87

12

(22)

maka di Troloyo sendiri tentunya sudah hidup komunitas muslim. Penemuan makam Islam di Troloyo, merupakan sebuah fenomena tersendiri karena Troloyo termasuk dalam Ibu Kota Majapahit. Batu nisan yang terdapat di Troloyo, di dekat situs istana Majapahit yang Hindu-Buddha. Batu-batu itu menunjukkan makam orang-orang muslim, tapi dengan pengecualian semua tarikhnya menggunakan tahun Saka India bukannya tahun Hijriah dan menggunakan angka-angka Jawa Kuno bukannya angka-angka Arab13. Penulisan tahun pada batu nisan yang menggunakan tarikh Jawa dapat dipastikan makam itu adalah makam muslim Jawa. Letak pemakaman Troloyo yang tidak jauh dari Ibu Kota Majapahit, serta bentuk makam yang memanjang dapat disimpulkan bahwa makam tersebut adalah makam bangsawan Jawa atau anggota keluarga raja.

Makam Troloyo memberi kesan bahwa sebagian bangsawan Majapahit telah memeluk agama Islam, meskipun Majapahit sendiri beragama Hindu-Buddha. Makam Islam di Troloyo meragukan pendapat para ilmuan yang mengatakan agama Islam berkembang mulai daerah pesisir Jawa, yang mulanya merupakan kekuatan agama dan politik yang menentang Majapahit sebagai kerajaan Hindu-Buddha. Situs makam di Troloyo adalah bukti bahwa Majapahit mengijinkan Islam berkembang di dalam Ibu Kotanya. Sehubungan dengan hal ini maka Majapahit telah mengenal toleransi beragama dalam pemerintahannya.

Pernikahan antara raja Majaphait Prabu Brawijaya V, (1447 – 1451) dengan seorang muslimah putri dari kerajaan Campa telah membuktikan jika Islam telah berkembang dilingkungan keluarga bangsawan Majapahit. Jika dilihat dari

13

(23)

ideologi Islam yang tidak membolehkan perkawinan antar agama maka akan memunculkan pandangan bahwa putri Campa mengikuti agama suaminya atau bahkan sebaliknya. Terlepas dari latar belakang agama pernikahan ini, Raden Rahmat mengkukuhkan diri sebagai Sunan Ampel di tanah pardikan di Ampel Denta yang berada di wilayah Surabaya. Pernikahan raja Brawijaya V dengan seorang putri Campa tentunya akan membawa dampak bagi perkembangan Islam di lingkungan kerajaan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dikemukakan maka dapatlah dirumuskan beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini yang berjudul “Perkembangan Agama Islam Pada Masa Kerajaan Majapahit 1376 – 1478” sebagai berikut;

1. Bagaimana proses masuknya Islam di Kerajaan Majapahit?

2. Bagaimana perkembangan agama Islam di Majapahit tahun 1376 - 1478? 3. Bagaimana dampak perkembangan agama Islam bagi kerajaan Majapahit?

C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan Penulisan

Sesuai dengan rumusan masalah diatas, maka tujuan penulisan makalah ini ini adalah :

(24)

b. Mendeskripsikan dan menganalisis perkembangan agama Islam di Majapahit pada tahun 1376 – 1478

c. Mendeskripsikan dampak perkembangan agama Islam di Majapahit.

2. Manfaat Penulisan

Manfaat penulisan makalah ini adalah : a. Bagi Universitas Sanata Dharma

Makalah ini diharapkan dapat memberikan kekayaan khasanah yang berguna bagi pembaca dan pemerhati sejarah di lingkungan Universitas Sanata Dharma secara umum dan secara khusus untuk Program Studi Pendidikan Sejarah.

b. Bagi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Penulisan makalah ini diharapkan menambah wawasan dan pengetahuan mengenai perkembangan masyarakat Islam di Majapahit pada tahun 1376 – 1478 beserta dampaknya bagi kehidupan sosial budaya maupun politik di Majapahit. Penulisan makalah ini juga diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pelengkap dalam pembelajaran sejarah Indonesia Madya. c. Bagi Pembaca

(25)

D. Sistematika Penulisan

Guna mempermudah melihat tentang bagaimana Sejarah Perkembangan agama Islam di Majapahit Tahun 1376 – 1478, maka penulisan makalah ini dibagi menjadi lima bab yang dijabarkan sebagai berikut :

1. BAB I : Pendahuluan yang terdiri dari Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, serta Sistematika Penulisan.

2. BAB II : Proses masuknya agama Islam ke Majapahit.

3. BAB III : Perkembangan masyarakat Islam di Majapahit tahun 1376 – 1478. 4. BAB IV : Dampak perkembangan masyarakat Islam di Majapahit bagi Majapahit.

(26)

13

BAB II

PROSES MASUKNYA AGAMA ISLAM KE MAJAPAHIT

A.Melalui Perdagangan

Penemuan makam Islam di Leran yang pada nisan makam tersebut bertuliskan seperti huruf kufi dengan nama Fatimah binti Maimun yang bertarikh 7 Rajab 475 Hijriah atau 1082 telah membuktikan agama Islam pernah sampai ke Jawa jauh sebelum Majapahit muncul. Penemuan makam tersebut telah menjelaskan bahwa kerajaan-kerajaan di Nusantara telah bersinggungan dengan bangsa asing. Kedatangan bangsa asing ke wilayah Nusantara tentunya memiliki kepentingan tertentu. Mengingat wilayah Nusantara adalah penghasil rempah-rempah maka kepentingan tersebut tentunya adalah perdagangan. Salah satu contoh kerajaan di Nusantara yang telah melakukan hubungan internasional adalah kerajaan Sriwijaya. Seperti yang disebutkan dalam berita Cina bahwa kerajaan Sriwijaya sering mengirimkan utusannya ke negeri Cina. Bukti lain yang mengatakan bahwa kerajaan di Nusantara telah aktif dalam dunia internasional adalah adanya teori timbal balik yang mengatakan bahwa orang-orang di Nusantara telah berpartisipasi aktif dalam belajar agama Hindu Buddha. Adanya koloni kecil orang Indonesia di Kurumandala, Asrama Nalanda di India khusus untuk orang Indonesia yang menimba ilmu di India1. Makam Islam yang bertarikh 7 Rajab 475 H atau 1082 bertepatan dengan tahun kejayaan Islam di Timur Tengah. Dengan demikian bukan tidak mungkin orang-orang dari Arab telah

1

(27)

sampai ke wilayah Nusantara untuk berdagang, walaupun belum diikuti oleh proses Islamisasi.

Wilayah Majapahit yang sangat luas terdiri dari laut dan daratan menjadikan Majapahit sebagai kerajaan yang kaya dan subur. Meskipun wilayah laut Majapahit sangatlah luas namun Majapahit bukan kerajaan Maritim. Kemajuan ekonomi Majapahit didukung oleh sektor pertanian dan perdagangan, wilayah laut dalam hal ini hanya digunakan sebagai jalan untuk berdagang dengan para pedagang dari bangsa lain. Berdasarkan berita Cina dari Dinasti Ming, Jawa memiliki tiga buah pelabuhan Tuban, Gresik, dan Surabaya. Pelabuhan-pelabuhan tersebut disinggahi pedagang-pedagang dari Campa, Khmer, Thailand, Burma, Srilangka, dan India. Pedagang-pedagang dari bangsa asing tersebut membawa barang dagang khas dari daerah mereka masing-masing2. Barang yang mereka bawa kemudian mereka tukarkan dengan barang dagang dari kerajaan Majapahit itu sendiri seperti rempah-rempah. Kondisi wilayah Majapahit terutama Jawa yang sangat ramai dengan jalur perdagangan membuat masyarakat Majapahit semakin maju dan mulai mengenal bangsa serta kebudayaan asing. Perdagangan di Majapahit tidak hanya terjadi di daerah pesisir saja, melainkan sampai menyentuh pedalaman Majapahit. Kemajuan perdagangan Majapahit juga didukung oleh dua sungai besar yaitu sungai Brantas, dan Bengawan Solo3. Kedua sungai itu merupakan jalur transportasi yang cukup penting bagi Majapahit karena membuat perdagangan semakin meluas dan menguntungkan para pedagang untuk melebarkan bisnisnya. Pelabuhan sungai Bubat, Pelabuhan sungai Trung, dan

2

Esa Damar Pinuluh, Pesona Majapahit (Yogyakarta: Bukubiru, 2010), hlm. 86

3

(28)

pelabuhan sungai Canggu. Perdagangan yang meluas dan tidak hanya terjadi di wilayah pesisir saja, semakin membuat masyarakat Majapahit semakin maju. Penemuan makam Islam di Troloyo sendiri telah menjelaskan bahwa Islam waktu itu telah menyebar masuk dalam lingkungan Ibukota Majapahit. Dengan adanya jalur transportasi sungai memudahkan para pedagang termasuk pedagang asing untuk masuk ke dalam wilayah Majapahit.

Makin ramainya perdagangan dan pelayaran di Asia Tenggara sangat mempengaruhi pelabuhan-pelabuhan di pesisir Jawa. Beberapa diantaranya tumbuh menjadi kota-kota pelabuhan besar dan ramai yang sering dikunjungi oleh pedagang-pedagang dari Arab, Persia, Gujarat, Benggala, dan Malaka4. Ketika para pedagang-pedagang asing tersebut tiba di Majapahit, dan memulai perdagangan, mereka tidak hanya berdagang lalu pulang ke negara asal mereka, faktor alam membuat mereka ingin tinggal sementara waktu di kota-kota pelabuhan yang mereka singgahi. Kedatangan para pedagang asing pada waktu itu menggunakan alat transportasi kapal layar yang masih menggunakan angin sebagai tenaga penggeraknya. Oleh karena itu para pedagang asing tidak bisa pulang pergi setiap saat, mereka menunggu arah angin yang tepat untuk kembali lagi ke daerah asal mereka. Jeda waktu menunggu angin musim tentunya sangatlah lama bisa berbulan-bulan lamanya. Alasan inilah yang membuat para pedagang asing tersebut tinggal sementara waktu di kota-kota pelabuhan. Para pedagang asing tersebut rata-rata merupakan orang Arab, dan Gujarat yang telah memeluk agama Islam. Tinggalnya mereka di kota-kota pelabuhan Majapahit

4

(29)

membuat mereka bersinggungan dengan penduduk pribumi. Kondisi sosial masyarakat Jawa yang sangat rentan akan perubahan telah mengenalkan mereka pada agama baru yang dipeluk oleh para pedagang asing tersebut yaitu Islam. Waktu yang cukup lama bagi para pedagang asing untuk tinggal di kota-kota pelabuhan menyebabkan mereka berinteraksi dengan masyarakat pribumi. Interaksi yang dilakukan para pedagang asing tersebut ada yang melalui perkawinan dengan penduduk pribumi.

Perkawinan dalam hukum Islam tidak mengenal kawin campur antar umat beragama, oleh karena itu dimungkinkan bahwa salah satu dari mereka yang melakukan perkawinan akan pindah agama. Islam yang tidak mengenal kasta, tentunya memiliki daya tarik tersendiri bagi para penduduk pribumi yang pada waktu itu mayoritas memeluk agama Hindu-Buddha. Jadi secara logis tentunya masyarakat pribumi yang beragama Hindu-Buddha akan tertarik dengan Islam dan beralih memeluk Islam melalui proses perkawinan. Dengan demikian, perdagangan dipesisir menimbulkan perubahan struktur sosial kelompok masyarakat5. Semakin ramainya perdagangan dikota-kota pelabuhan telah melahirkan golongan baru yang ekonominya lebih kuat, dan mereka tertarik pada agama Islam. Penganut Islam di daerah pesisir mengalami peningkatan yang sangat pesat pada masa itu. Dalam perkembangannya mereka yang telah beragama Islam terutama di daerah pesisir, merasa tidak lagi terikat dengan dasar keagamaan pemerintah pusat Majapahit yang beragama Hindu-Buddha. Penguasa kota-kota pelabuhan disepanjang jalur perdagangan pada akhirnya telah memeluk

5

(30)

Islam6. Mereka tampil sebagai penguasa-penguasa baru dengan sistem ekonomi yang sangat kuat. Perkembangan yang sangat pesat ini membuat pemerintahan Majapahit mulai kehilangan kendali terhadap wilayah dipesisir.

B. Melalui Hubungan Diplomatik

Hubungan diplomatik antar kerajaan di Nusantara, bahkan antar kerajaan asing dari luar negri sebenarnya telah berlangsung lama. Sejak Kutai muncul sebagai kerajaan Hindu pertama di Indonesia tentunya hubungan diplomatik dengan kerajaan asing sudah terjadi. Hindu merupakan agama asli orang India bukan agama asli Indonesia, kemunculannya di Indonesia sendiri telah membuktikan bahwa pengaruh India waktu itu sudah sampai ke Indonesia.

Majapahit mulai eksis tampil sebagai kerajaan mulai tahun 1293, tentunya hubungan diplomatik dengan kerajaan di Nusantara maupun kerajaan asing bukan merupakan suatu hal yang baru. Perluasan wilayah Majapahit dimulai sejak Gadjah Mada diangkat menjadi patih Amangkubumi pada tahun 1258 saka dan langsung memproklamirkan program pemerintahaannya yang disebut dengan Sumpah Nusantara7. Pernyataan sumpah ini mendapat pro dan kontra antara pejabat internal kerajaan, oleh karena itu pejabat kerajaan yang tidak setuju dengan program politik Gadjah Mada kemudian disingkirkan. Program politik tersebut mulai efektif dilaksanakan dengan menundukkan Bali pulau yang paling dekat dengan pulau Jawa8. Takluknya Bali dalam kekuasaan Majapahit membuat daerah-daerah bawahannya (kerajaan vasal) ikut jatuh dalam kekuasaan Majapahit.

6

Ibid,hlm 79

7

Ibidem.

8

(31)

Perlu diketahui konsep penaklukan wilayah yang dilakukan oleh Majapahit sangat berbeda dengan konsep kolonialisasi seperti yang dilakukan bangsa Barat. Daerah taklukan Majapahit hanya berkewajiban menyerahkan upeti tahunan dan menghadap raja Majapahit dalam waktu-waktu tertentu sebagai bukti dan tanda kesetiaan dan pengakuan kedaulatan Majapahit. Konsep penaklukan kekuasaan Majapahit terhadap daerah taklukan adalah sebagi berikut :

Baik negara bawahan maupun daerah Amancanagara (provinsi), mengambil pola pemerintahan pusat yakni Majapahit. Raja dan juru pengalasan adalah pembesar yang bertanggung jawab atas daerahnya sendiri, namun pemerintahannya dikuasakan kepada patih, sama dengan pemerintahan pusat, dimana raja Majapahit adalah orang yang bertanggung jawab terhadap kerajaan, tetapi kebikjaksanaan pemerintahan ada di tangan patih Amangkubumi atau patih seluruh negara.

Dengan demikian kerajaan-kerajaan taklukan Majapahit tetap eksis dan dapat mengembangkan kebudayaan mereka, tanpa campur tangan dari kerajaan pusat yaitu Majapahit. Salah satu kerajaan taklukan Majapahit adalah kerajaan Samudra Pasai dan kerajaan Melayu. Dua kerajaan ini merupakan kerajaan Islam walaupun dalam taklukan Majapahit masyarakat ataupun kerajaan ini tidak dihindukan ataupun Buddha. Dalam kepercayaan masyarakatnya kedua kerajaan ini tetap kerajaan Islam dan mengembangkan ke Islamannya. Pada perkembangannya Islam mengambil peran yang sangat signifikan dalam melangsungkan kemaharajaan di pulau Jawa pada beberapa abad kemudian9. Selain memberi kebebasan kepada kerajaan taklukan dalam mengembangkan pemerintahannya, Majapahit juga memberikan kebebasan kepada para tawanan perang yang dibawa ke Jawa. Tawanan perang tersebut diberi kebebasan untuk

9

(32)

tetap menjalankan kepercayaannya masing-masing sehingga membuat Majapahit mendapatkan pengaruh Islam secara nyata. Selain memiliki kerajaan taklukan Majapahit juga menjalin kerjasama dengan kerajaan-kerajaan asing di luar wilayah Nusantara seperti Syangka, Ayudhapura, Dharmaaganar, Marutama, Rajapura, Campa,Kamboja, dan Yawana. Salah satu kerajaan asing yang sangat berpengaruh terhadap Majapahit adalah Campa. Kerajaan Campa sudah menjalin hubungan dengan Jawa sejak pemerintahan Kertanegara yang menjadi raja Singasari.

Menurut Negarakretagama pada tahun 1365 kerajaan Campa mempunyai hubungan persahabatan dengan Majapahit10. Menurut Serat Kanda dan Babad Tanah Jawi memberitahukan bahwa pada permulaan abad lima belas Raja Brawijaya dari Majapahit Kawin dengan putri Campa, seorang Muslim yang juga bergelar putri dwarawati11. Selain itu dalam Babad Tanah Jawi maupun Serat Kanda menyebutkan bahwa putri Campa merupakan ibu dari Raden Patah yang nantinya menjadi raja di kerajaan Demak. Kebenaran dari putri Campa itu sendiri masih dipertanyakan, apakah ia memang putri raja dari kerajaan Campa atau hanya putri pembesar dari kerajaan Campa. Kemunculan putri Campa dalam sejarah Majapahit ada hubungannya dengan kedatangan pembesar dari Yunan ke Majapahit bernama Ma Hong Fu. Istri Ma Hong Fu itu sendiri memang berasal dari kerajaan Campa. Ketika kedatangan Ma Hong Fu ke Majapahit raja yang memerintah adalah Wikramawardhana. Sebagai istri seorang duta besar dari Yunan, ia sering menampakkan diri di depan rakyat Majapahit terutama saat-saat

10

Slamet Mulyana, Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya (Jakarta : Bhatara Karya Aksara, 1979), hlm. 152

11

(33)

hari raya12. Sebagai seorang istri pembesar ia mendapatkan tempat terhormat di panggung para pembesar, berkumpul dengan istri-istri pembesar dari Majapahit diantara selir-selir prabu. Oleh karena itu rakyat menduga kalau putri dari Campa itu merupakan salah satu selir atau istri sang prabu Wikramawardhana.

Istri duta besar Ma Hong Fu wafat dan dimakamkan di Majapahit secara Islam. Dengan demikian hubungan diplomatik antar kerajaan asing telah mempengaruhi kondisi kebudayaan Majapahit terutama dalam bidang agama. Telah dijelaskan bahwa istri dari duta besar Ma Hong Fu meninggal dan dimakamkan di Majapahit secara Islam, hal itu berarti secara tidak langsung telah mengenalkan Majapahit pada suatu agama baru yaitu Islam. Tidak menutup kemungkinan dalam ibukota Majapahit telah terdapat komunitas Islam dan mulai berkembang di dalamnya. Situs makam Islam di Troloyo telah menjadi bukti yang nyata jika telah terdapat masyarakat Islam di Majapahit.

C. Melalui Perkawinan

Selain melalui perdagangan dan hubungan diplomatik, masuknya Islam ke Majapahit juga melalui proses perkawinan. Pernikahan yang terjadi dalam hal ini bukan hanya wujud dari rasa cinta seseorang terhadap lawan jenis tetapi lebih dari pada itu. Pernikahan yang dilakukan merupakan strategi politik atau bisa dikatakan sebagai perkawinan politik. Biasanya seorang raja meminang putri dari kerajaan lain untuk mempertahankan wilayah suatu kerajaan, membina hubungan baik antar kerajaan, menggabungkan kedua wilayah kerajaan, atau bahkan pengakuan kedaulatan.

12

(34)

Pernikahan semacam ini pernah terjadi di dalam kerajaan Majapahit. Usaha pernikahan politik yang sangat terkenal adalah pernikahan raja Hayam Wuruk dengan Dyah Pitaloka Citraresmi. Namun usaha Raja Hayam Wuruk memperistri Dyah Pitaloka Citraresmi gagal yang berujung perang yang kemudian dinamakan dengan perang Bubat. Perang Bubat terjadi karena kesalahpahaman antar dua kerajaan Majapahit dan Sunda. Patih Madu diutus untuk mengundang orang Sunda, maksudnya untuk menikahkan putri kerajaan Sunda dengan raja Hayam Wuruk, lalu orang Sunda datang ke Majapahit, namun Maharaja tidak bersedia mempersembahkan putrinya13.

Hal yang perlu mendapat perhatian sehubungan Majapahit dengan Islam adalah, ketika rombongan kerajaan Sunda tiba di Majapahit. Rombongan tersebut tiba untuk pertama kali di Masigit Agung, lalu mereka terus berjalan kearah kepatihan. Dalam hal ini kata Masigit Agung sangat mirip dengan kata masjid Agung. Mengingat telah ditemukannya inskripsi Islam di Leran serta situs makam Tralaya yang berada di pusat kekuasaan Majapahit bukan tidak mungkin di pusat Majapahit telah dibangun Masjid.

Pada awal pembahasan sub bab ini telah dijelaskan bahwa Majapahit tidak hanya sekali melakukan perkawinan politik. Telah tercatat dalam hikayat raja-raja Pasai bahwa telah terjadi usaha pernikahan politik antara putri dari Majapahit Gemerenceng dengan putra mahkota Abdul Jalil dari Pasai. Pernikahan ini

13

(35)

kembali gagal karena terbunuhnya putra mahkota Abdul Jalil oleh ayahnya14. Kegagalan pernikahan yang akhirnya memicu peperangan antara Majapahit dengan kerajaan Samudrai Pasai yang pada akhirnya dimenangkan oleh Majapahit. Peperangan ataupun usaha pernikahan yang gagal merupakan bukti bahwa Majapahit pada waktu itu telah berinteraksi dengan Islam. Mengingat pernikahan yang akan dilakukkan, kemungkinan di dalam wilayah pusat Majapahit Islam sudah mulai tumbuh dan berkembang meskipun masih minoritas.

Hikayat Melayu juga memiliki catatan pernikahan antara Raja Mansyur Syah dengan Candra Kirana dari Majapahit. Setelah perkawinan itu dilakukan kemudian Raja Mansyur Syah meminta kepada raja Majapahit untuk memerintah di Indragiri15. Permintaan itu kemudian dikabulkan bahkan jika ia menginginkan Palembang maka akan diberikannya pula. Sikap raja Majapahit tersebut tentunya akan mempermudah perkembangan agama Islam, meskipun perkembangan tersebut jauh berada di luar pusat pemerintahan Majapahit. Sikap toleran tersebut sesuai dengan konsep politik Majapahit terhadap daerah taklukan dimana daerah taklukan dibebaskan untuk mengembangkan daerahnya sendiri. Sebagai wujud kesetian dengan Majapahit maka kerajaan vasal hanya berkewajiban mengirimkan upeti dan utusan pada waktu-waktu tertentu.

Perkawinan politik didalam kerajaan Majapahit terus berlangsung. Raja Wikramawardhana alias Hyang Wisesa kawin dengan putri Cina. Dari

14

Yaitu raja Ahmad perahu yang ditumpanginya ditenggelamkan kelaut. Karena marahnya raja Majapahit mengirimkan armada ke Pasai untuk menghukum atau menuntut balas atas kejadian tersebut.

15

(36)

perkawinan itu melahirkan Arya Dhamar, yang kemudian dipindahkan ke Palembang. Perkawinan politik ini menyebabkan Majapahit semakin berhubungan erat dengan Cina. Pengaruh perkawinan ini semakin terasa ketika banyaknya golongan muslim Cina yang datang untuk berdagang di Majapahit. Semakin banyaknya orang Islam Cina yang datang maka akan semakin banyak pula pengaruhnya bagi masyarakat Jawa yang pada waktu itu masih beragama Hindu-Buddha.

Perkawinan dengan putri Cina ternyata juga tidak dilakukan oleh Raja Wikramawardhana saja, tetapi raja Majapahit yang lainnya. Raja Kertabhumi juga kawin dengan putri Cina, dari perkawinan tersebut melahirkan Jin Bun alias Raden Patah16. Dari perkawinan inilah kemudian Islam berkembang sangat pesat di Majapahit karena putri Cina yang dinikahi raja Kertabhumi merupakan seorang muslim. Dalam Babad Tanah Jawi, dan Serat Kanda dijelaskan bahwa Prabu Brawijaya V, Dyah Kertawijaya (1447 – 1451) menikah dengan Muslimah dari kerajaan Campa Anarawati, yang kemudian bergelar Putri Dwarawati.

Interaksi Majapahit dengan Islam melalui perkawinan tidak dilakukan oleh elit kerajaan, akan tetapi oleh para penguasa di bawahnya demikian juga dengan masyarakat umum. Pada awal pembahasan makalah ini telah dijelaskan bahwa pedagang yang kewilayah Nusantara terutama pulau Jawa berasal dari berbagi negeri asing misalnya Arab, Persia, Gujarat, Sri Langka, dan Benggala. Karena faktor musim yang menjadi waktu penentu pelayaran maka mereka terpaksa

16

(37)

tinggal di bandar-bandar yang mereka datangi17. Tinggalnya mereka di kota-kota pelabuhan disambut baik oleh para penguasa setempat. Para pedagang asing tersebut diberi tempat khusus yang sering disebut dengan Pakojan18. Pakojan itu sendiri merupakan perkampungan khusus untuk para pedang-pedagang muslim yang tinggal di kota-kota pelabuhan menunggu angin musim.

Menetapnya kaum pedagang muslim di Pakojan, lambat laun telah merubah pola kehidupan masyarakat pribumi. Para pedagang muslim tidak hanya melakukan kegiatan perdagangan saja, mereka juga mulai mengajarkan agama Islam kepada penduduk setempat, terutama bagi mereka yang telah melakukan pernikahan dengan para pedagang muslim. Penyebaran agama Islam kemudian semakin meluas hal ini karena masyarakat pribumi yang beragama Hindu kemudian tertarik dengan agama Islam. Ada beberapa faktor yang menyebabkan perkawinan antara penduduk pribumi dengan pedagang muslim yang kemudian ikut berpindah agama menjadi Islam. Salah faktor yang menarik penduduk pribumi adalah Islam tidak mengenal dan membedakan status sosial seseorang. Sedangkan agama Hindu membedakan status sosial seseorang yang disebut dengan kasta. Dengan demikian masyarakat pribumi tertarik dengan agama Islam dan mulai menganut agama Islam.

Faktor lain yang menyebabkan banyaknya penduduk pribumi menikah dengan pedagang muslim ataupun berpindah agama adalah faktor ekonomi. Menurut Van Luer bahwa motif ekonomi dan politik sangatlah penting bagi

17

Ibid,hlm. 129

18

(38)

dalam masuknya Islam di Nusantara19. Menurutnya para penguasa pribumi ingin meningkatkan perdagangan mereka menerima Islam sebagai konsekuensinya. Dengan menjadi muslim mereka tentunya akan mendapatkan dukungan dari pedagang Muslim sebagai penguasa ekonomi waktu itu.

D. Dakwah Kaum Sufi

Kedatangan dan perkembangan Islam di Jawa melalui proses yang cukup panjang. Islam pertama kali datang di wilayah Nusantara terutama Jawa, ketika itu masih dalam pengaruh kerajaan Hindu-Buddha yang masih sangat kuat dan mendominasi wilayah Jawa. Kemunculan Islam di Jawa yang pada akhirnya mendominasi wilayah Jawa bahkan Nusantara, telah memunculkan beberapa teori mengenai penyebaran Islam di wilayah Nusantara. Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa Islam disebarkan melalui, perdagangan, hubungan diplomatik, dan pernikahan. Masing-masing teori tersebut memang memiliki nilai kebenaran tersendiri. Jika dilihat tujuan dari beberapa teori yang dibahas sebelumnya tentunya akan diketahui beberapa kelemahan dan keunggulan, yang memaksa kita untuk berpikir lebih analisis lagi untuk menyatakan teori tentang masuknya Islam ke wilayah Nusantara. Teori perdagangan memang kuat sebagai salah satu teori mengenai masuknya Islam di Jawa, terutama Majapahit. Kuatnya teori perdagangan terbukti dengan adanya perdagangan dengan bangsa asing sejak munculnya kerajaan-kerajaan Hindu Buddha di Nusantara.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada teori perdagangan tentang masuknya Islam di Nusantara adalah siapa sebenarnya kaum pedagang tersebut.

19

(39)

Ada teori yang menyatakan jika Islam Indonesia berasal dari sumber aslinya yaitu Arab20. Teori ini beranggapan bahwa untuk melihat Islam di Asia Tenggara datang dari mana, maka yang perlu diperhatikan adalah kajian terhadap teks-teks maupun literatur Islam Melayu Indonesia dan sejarah pandang Melayu terhadap berbagai istilah atau konsep kunci yang digunakan oleh para penulis Islam di Asia Tenggara. Oleh karena itu siapa sebenarnya kaum pedagang yang bermukim di Nusantara adalah kaum pedagang sekaligus pendakwah21.

Kedatangan Islam di Jawa sejak Jawa masih dalam pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha. Keberadaan Islam di Jawa dapat ditentukan dari peninggalan makam di Leran Gresik yaitu, makam Fatimah binti Maimun wafat tahun 1087 M. Situs makam Islam ini telah membuktikan bahwa Islam di Jawa khususnya Jawa Timur, ada sejak masa pemerintahan Hindu tepatnya raja Airlangga. Makam Islam tersebut telah membuktikan bahwa jaringan perdagangan internasional antara kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Jawa dengan India Selatan dan Timur Tengah sudah terjalin sedemikian kuat. Perdagangan internasional terbentuk bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia yang tidak bisa dipenuhi sendiri. Salah satu perdagangan yang dilakukan adalah pedagang dari Timur Tengah membawa kain sutra dan permadani sedangkan dari Nusantara dibawa produk pertanian dan perkebunan seperti rempah-rempah yang tidak bisa diproduksi di Timur Tengah. Akibat dai perdagangan internasional daerah-daerah pesisir Jawa menjadi daerah yang disinggahi oleh para imigran, terutama kaum pedagang. Itulah sebabnya daerah

20

Nur Syam, Islam Pesisir, (Yogyakarta: LkiS, 2005), hlm. 61

21

(40)

pesisir menjadi daerah ajang pertemuan berbagai tradisi yang datang dari berbagai wilayah22.

Tidak dapat dipungkiri bahwa Islam di Jawa memang mulai berkembang melalui daerah pesisir, yang pada waktu itu sebagai tempat bertemunya budaya asing. Nama-nama pelabuhan penting seperti Tuban, Gresik, dan Surabaya sudah tidak asing lagi bagi. Pelabuhan-pelabuhan ini menjadi transit para pedagang asing, yang akan berdagang ke pusat Majapahit. Para pedagang masuk ke pusat Majapahit memalui sungai Brantas, perlu diketahui bahwa pada waktu itu di sungai-sungai tertentu telah dibangun juga beberapa pelabuhan kecil untuk mempermudah perdagangan menuju ke pusat Majapahit ataupun menuju ke pesisir. Pedagang yang masuk kewilayah Majapahit lambat laun menetap dan menyebarkan keyakinan-keyekinannya.

Bukti-bukti bahwa orang asing maupun bangsa Arab atau bangsa Persia telah datang sampai ke Majapahit adalah temuan arkeologis yang ditemukan di Trowulan. Beberapa temuan yang ditemukan di Trowulan, terdapat bentuk arca yang ditampilkan dalam beragam ekspresi.

Artefak yang bergambar seperti orang asing yang terdapat di museum Majapahit mempunyai ciri dan bentuk sebagai berikut :

1. Orang China. Penggambarannya ditandai dengan beberapa ciri antara lain: bermata sipit dan rambutnya lurus disisir kebelakang. Penggambaran anak-anak dilakukan melalui rambut ekor kuda atau dikuncir...

2. Orang Gujarat atau Persia. Gambaran orang Gujarat atau Persia dari beberapa kepala artefak yang pada bagian bandannya telah hilang. Ciri utamanya tampak dibagian mata, hidung, mulut dan ekspresinya. Matanya besar dan agak lebar, hidung mancung dan besar dengan cuping agak bulat, bibir agak tebal, dan memakai tutup kepala berbentuk kopiah atau surban.

22

(41)

3. Orang Eropa. Secara kuantitas figuran yang menggambarkan orang Eropa tidak banyak. Figur orang Eropa dapat diasumsikan sebagai orang Portugis yag dapat diketahui berdasarkan bentuk pakaian yang dikenakan23.

Munculnya orang-orang Gujarat dan Persia di dalam wilayah atau pusat Majapahit berdampak pada benturan kebudayaan yang mereka bawa dalam hal ini adalah agama. Pedagang dari Gujarat maupun Persia bukan pedagang biasa, mereka juga seorang pendakwah Islam sufi.24 Hal ini terbukti dengan corak Islam yang bersifat mistik yang bersesuaian dengan sikap mistik masyarakat di kawasan ini sebelumnya25. Dengan demikian sudah sangat jelas bahwa Islam di Jawa terutama Majapahit disebarkan oleh kaum sufi, sebab sangat tidak mungkin jika Islam disiarkan oleh kaum pedagang secara besar-besaran jika motif mereka adalah mencari keuntungan secara material.

Pengaruh Islam sufi begitu terlihat sangat jelas ketika berdirinya kerajaan Demak. Penyebaran agama Islam di Jawa memang tidak hanya dilakukan oleh kalangan sufi saja melainkan kalangan Islam syiah juga ikut menyebarkan pengaruhnya. Namun Islam syiah di Jawa tidak mendapatkan tempat, hal ini dibuktikan dengan dilarangnya Islam syiah yang dianggap sesat. Salah satu penyebar Islam Syiah adalah Syaikh Siti Jenar atau Syaikh Lemah Abang. Ajaran dari Syaikh Siti Jenar dianggap sesat, kemudian Syaikh Siti Jenar dijatuhi hukuman mati.

23

Esa Damar Pinuluh op.cit, hlm. 113 24

Menurut beberapa penulis, dan mereka dalam jumlah yang besar, Sufi dapat dilacak pada kata Arab, dilafalkan shuuf, yang secara harfiah berarti wool, menunjuk pada bahan yang digunakan untuk jubah sederhana para mistikus Muslim awal. Idris Shah, Jalan Sufi, (Surabaya : Risalah Gusti, 1999). Hlm. 6

25

(42)

Konsep Islam Sufi di dalam masyarakat Jawa sangat jelas terlihat dari tatacara ritual keagamaannya. Islam Sufi lebih diterima masyarakat Jawa terutama Majapahit karena mampu menyesuaikan diri dan berintegrasi dengan kepercayaan lokal setempat yaitu Hindu-Buddha. Bentuk integrasi antara Islam Sufi dan kepercayaan lokal dapat terlihat dari budaya masyarakat setempat, bahkan sampai sekarang kebudayaan tersebut masih tetap hidup dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat Jawa. Salah satu contoh budaya masyarakat lokal yang terintegrasi dengan Islam Sufi adalah upacara pemujaan arwah leluhur. Perlu diketahui bahwa inti kehidupan keagamaan di Indonesia sejak dahulu kala adalah pemujaan arwah para leluhur26. Agama apapun yang masuk ke Indonesia, akan diisi dengan ritual kuno pemujaan arwah para leluhur.Dalam agama Islam aliran Sufi pemujaan arwah leluhur tetap ada bahkan menjadi salah satu upacara wajib bagi orang yang menganutnya27.

Pada masyarakat Majapahit upacara pemujaan arwah para leluhur disebut dengan upacara Srada. Upacara Srada pada masa Majapahit dilakukan untuk menghormati wafatnya Rajapatni yang diselenggarakan oleh Raja Hayam Wuruk secara besar-besaran. Upacara Srada sangat berhubungan erat dengan konsep pemujaan arwah para leluhur, meskipun pada upacara Srada yang dihormati adalah Rajapatni namun esensi dari upacara ini adalah pemujaan arwah orang yang telah meninggal.

26

Slamet Mulyana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di nusantara (Yogyakarta : LkiS Yogyakarta, 2007) hlm. 249

27

Pemujaan arwah leluhur itu sendiri tidak merupakan agama bagi rakyat, tetapi merupakan bagian unsur penting dalam ibadahnya. Pemujaan arwar para leluhur adalah sisa dari kehidupan

(43)

Setelah agama Islam masuk kewilayah Majapahit pesta Srada sebagai upacara pengormatan arwah leluhur tetap diadakan. Upacara Srada merupakan salah satu bentuk integrasi budaya yang masih ada sampai sekarang. Upacara ini digunakan kaum pendakwah Sufi sebagai salah satu sarana integrasi agar Islam dapat diterima oleh masyarakat Majapahit. Setelah agama Islam masuk di wilayah Majapahit, pesta Srada tetap dirayakan28. Pesta Srada dalam bahasa Jawa disebut dengan “Nyadran”. Upacara ini diadakan di kuburan para leluhur dalam bulan arwah atau Ruwah, yakni bulan Sya’ban, menghadapi bulan Ramadhan. Dalam

upacara ini orang-orang membawa makanan ke kuburan dan berpesta disana demi peringatan atau penghormatan terhadap arwah leluhur. Disamping itu orang-orang juga membawa bunga dan membakar kemenyan serta disertai doa pada setiap makam terutama makam anggota keluarga. Berdasarkan tatacara dan tujuan dari upacara ini sangatlah jelas jika upacara “Nyadran” sama dengan upacara Srada pada masa Majapahit dan sama dengan konsep pemujaan arwah para leluhur pada jaman prasejarah.

28

(44)

31

BAB III

PERKEMBANGAN AGAMA ISLAM DI MAJAPAHIT

TAHUN 1376 – 1478

A. Munculnya Syaikh Jumadil Kubro Sebagai Pencetus Pendidikan

Pesantren.

Islam memang telah berkembang di Majapahit sejak masa kejayaan Majapahit itu sendiri. Bukti mengenai keberadaan orang-orang Islam di Majapahit adalah adanya situs makam Islam Troloyo. Makam Islam di Troloyo terletak di Trowulan tak jauh dari Ibu kota Majapahit, bahkan tiga makam Islam tersebut berasal dari zaman raja Hayam Wuruk, masing-masing bertarikh Saka 1290, 1298, dan 1302 (1368, 1376, dan 1380 Masehi)1. Makam Islam di Troloyo sangatlah berbeda dengan makam Islam yang di temukan di Gresik. Jika makam Islam di Gresik merupakan makam orang asli Arab hal ini dapat dilihat dari tatacara penulisan di batu nisan makam tersebut. Makam Fatimah Binti Maimun yang wafat di gresik berinskripsi Arab tahun 475 H atau 1082 M. Sedangkan makam Islam di Troloyo bertuliskan tahun Saka, serta pahatan nisan dengan huruf Arab berbentuk tebal dan kasar serta kesalahan tulis. Dengan demikian tampaknya memang nisan-nisan tersebut dibuat oleh pengrajin lokal yang terdapat di Troloyo2.

Perbedaan penulisan pada antara batu nisan di Leran dan makam di Troloyo memunculkan pendapat bahwa makam Islam di Troloyo merupakan makam orang-orang di Majapahit yang pada waktu itu telah memeluk agama Islam. Bukti

1

Esa Damar Pinuluh, Pesona Majapahit (Yogyakarta: Bukubiru, 2010), hlm. 140

2

(45)

keberadaan Islam di Ibu Kota Majapahit juga dituliskan dalam kidung Sundayana ketika terjadi perang Bubat, rombongan raja kerajaan Sunda beristirahat di Masigit Agung. Berikut ini merupakan petikan dari Kidung Sunda :

...Tan palarapan tẽkamarẽk eng harsa, prakaça wẽtu neng ling esang

natheng Sunda, kamu kinen marẽka, de bhaţţareng Majapahit, sira wus

prāpta mangke aneng Masigit.

Terjemahan : dicegah tanpa memberitahunya kepada mereka dengan penekanan : hai raja sunda, kami mendapat langsung perintah yang dibuat oleh penguasa tertinggi Majapahit yang telah berkunjung kesini agar anda pergi saat ini juga dari kawasan sekitar masjid.3

Kata Masigit agung sangatlah mirip dengan Masjid Agung, jika dilihat dari keberadaan makam di Troloyo bukan tidak mungkin jika masyarakat Islam Majapahit telah membangun masjid untuk keperluan ibadahnya. Keberadaan makam Islam di Troloyo, yang merupakam kawasan Ibu Kota Majapahit merupakan bukti bahwa sebagian masyarakat dan bahkan pejabat atau keluarga telah memeluk Islam. Jika diperhatikan peta sebaran bangunan suci yang tentunya juga berfungsi sebagai pusat pendidikan peninggalan Kerajaan Majapahit, akan terlihat bahwa bangunan Hindu, pendeta (Karsyan) maupun Buddha terletak berdekatan dengan blok terpisah, maka jika Troloyo adalah Blok Muslim, ia akan terletak terletak disebelah selatan bangunan Hindu-Buddha yang dipisahkan oleh komplek keraton4. Artiya istana raja dinaungi disebelah timur oleh bangunan suci candi Hindu, sebelah barat oleh bangunan suci Buddha dan pendeta (Karsyan), dan sebelah selatannya oleh bangunan suci (Masigit Agung) Islam.

Konsep penataan kota yang seperti ini merupakan konsep tata kota bagi kerajaan Hindu-Buddha. Menurut kepercayaan Budhisme, gunung Meru menjadi

3

Adrian Perkasa. Orang-orang Tionghoa dan Islam di Majapahit. (Yogyakarta : Ombak, 2012). Hlm. 63

4

(46)

pusat dari jagad raya5. Oleh karena itu sistem tata kota Majapahit sama halnya dengan konsep kosmologi tersebut. Tata kota yang demikian telah membuka pintu perubahan bagi Majapahit untuk meneria setiap kebudayaan yang baru muncul, termasuk agama di dalamnya. Islam yang telah datang ke Majapahit telah memberikan perubahan terhadap masyarakat dan budayanya. Perubahan yang terjadi di dalam Majapahit tidak terlepas dari pengaruh agama Islam yang mulai disebarkan kepada masyarakat, dan bahkan kepada pejabat kerajaan.

Masuknya Islam kewilayah Majapahit tidak terlepas dari peranan Syekh Jumadil Kubro. Syehk Jumadil Kubro adalah salah seorang ulama besar yang merupakan bibit atau cikal bakal dalam penyebar agama Islam di pulau Jawa6.Syekh Jumadil Qubro yang berasal dari Samarkand, Uzbekistan, Asia Tengah ini, diyakini sebagai keturunan ke-10 dari al-Husain, cucu dari Nabi Muhammad SAW7.Syekh Jumadil Kubro diperkirakan hidup dan mulai menyebarkan agama Islam di Majapait ketika Majapahit dalam pemerintahaan Raja Tribuwana Tunggadewi, dan Raja Hayam Wuruk. Beliau wafat pada tahun 1376 M, 15 Muharram 797 H. Syek Jumadi Kubro di makamkan di komplek pemakaman Troloyo bersama pejabat kerajaan Majapahit lainnya. Ketika Syekh Jumadil Kubro hidup, ia sangat dekat dengan beberapa pejabat kerajaan, dan bahkan di antara pejabat telah memeluk agama Islam.

5

Geldren Heine Robert, Konsepsi Tentang Negara & Kedudukan Raja Di Asia Tenggara (Jakarta: CV. Rajawali,1972), hlm. 5

6

http://jawatimuran.wordpress.com/2012/06/16/syeh-jumadil-kubro-trowulan-mojokerto/

7

(47)

Keberhasilan Syekh Jumadil Kubro dalam menyebarkan agama Islam di Majapahit tentunya tidak terlepas dari usaha yang ia lakukan. Salah satu usaha yang dilakukan oleh Syekh Jumadil Kubro adalah menyebarkan agama Islam dengan cara berdakwah. Namun berdakwah saja tidak cukup untuk mengajarkan agama Islam kepada masyarakat Majapahit terutama kepada mereka yang telah memeluk Islam. Dalam kidung Sundaya telah dijelaskan adanya Masigit Agung (Masjid Agung) di lingkungan Ibukota kerajaan. Dalam masyarakat Islam, masjid selain menjadi tempat ibadah yang paling suci, juga berfungsi sebagai tempat pendidikan, sebelum tempat-tempat lain seperti madrasah atau pesantren berdiri8.

Pendidikan Islam lewat sarana masjid rupanya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang telah memeluk Islam. Pada pembahasan bab pertama makalah ini telah dijelaskan, bahwa banyaknya penduduk asing yang tinggal di Majapahit dan melakukan kawin campur dengan masyarakat setempat. Maka untuk mengajarkan agama Islam bagi anak-anak mereka agar lebih mengenal islam, mereka mendatangkan koloni-koloni Muslim untuk mengajarkan ilmunya kepada anak-anak mereka9.

Pada waktu itu pelaksanaan pendidikan formal memang belum ada, yang ada hanyalah sistem pendidikan Hindu-Buddha yaitu Mandala. Oleh karena itu Syekh Jumadil Kubro dan para pengajar agama Islam mencoba mengadopsi pola pendidikan Mandala kedalam bentuk pendidikan Islam. Dalam pelaksanaan pengajaran agama Islam, yang telah diadopsi dari pendidikan Mandala, maka pengajaran dilakukan didalam rumah. Untuk beberapa kalangan tertentu, seperti

8

Esa Dhamar Pinuluh, op. cit., hlm. 153

9

(48)

pengajaran terhadap pejabat kerajaan, pengajaran dapat dilakukan di sekitar istana atau paviliun kerajaan. Jika dilihat secara umum unsur dari pesantren adalah adanya kyai, santri, asrama, masjid, dan sistem pendidikan dijadikan sebagai acuan keberadaan pesantren, maka situs makam Troloyo yang berangka tahun 1368 sampai 1611 dengan makam homogen bertahun 1300-an sampai 1400-an dimana terdapat makam Syekh Jumadi Kubro, dan beberapa makam yang disebut sebagai para santrinya yang terdapat pada kubur telu dan makam belakang10. Keberadaan makam tersebut telah membuktikan mengenai keberadaan pesantren di kerajaan Majapahit.

Selain makam-makam di kubur telu masih banyak makam lain di area pemakan Troloyo yang mampu menunjukkan angka tahun lebih tua. Situs masjid pesucian bertahun 1389, nisan makam Malik Ibrahim bertahun 1419, masjid Ampel bertahun 1440 ditambah dengan keberadaan Masigit Agung. Petilasan Walisongo sebagai “tempat ha;aqah atau Round Stone Discussion” serta sisa

pemukiman Sentonorejo, lebih dimungkinkan disebut sebagai model pendidikan pesantren yang lebih awal dibandingkan Sunan Malik Ibrahim ataupun Sunan Ampel11. Berdasarkan makam-makam Islam yang telah ditemukan diduga pesantren yang berkembang pada massa itu masih sangat sederhana, dan hanya memiliki beberapa orang santri saja. Sama seperti pesantren yang dimiliki oleh sunan Ampel, ketika masih di Kembang Kuning dia hanya memiliki tiga orang santri yaitu, Wiryo Suroyo, Abu Hurairah, dan Kyai Bangkuning.

10

Ibid, hlm. 156

11

(49)

Pesantren yang berkembang dimasa Majapahit merupakan pesantren multikultural. Hal ini tampak pada kondisi Majapahit yang pada waktu banyak terdapat bangsa asing, selain itu murid-murid Syekh Jumadil Kubro sendiri juga multi etnis. Sebagai contohnya adalah Syekh Abdul Qadir Jaelani Shini adalah orang Cina yang bernama Tan Kim Ham, Syekh Maulana Sekhah dan Syekh Maulana Ibrahim berasal dari negeri Champa sedangkan santri lainnya tentunya adalah orang-orang Majapahit.

B. Munculnya Walisongo

Kondisi kerajaan Majapahit yang plural, dan sikap yang toleran terhadap budaya asing membuat masyarakat Majapahit menjadi masyarakat yang dinamis, dan menerima setiap perubahan. Sikap pemerintah yang mengadakan hubungan internasional, berdampak pada banyaknya orang asing yang datang kewilayah Majapahit. Salah satu orang asing yang sering datang berkunjung ke Majapahit adalah orang-orang Cina, dan para pedagang dari Arab, Gujarat maupun Persia. Keberadaan mereka dapat dilihat dari makam Troloyo, dan beberapa berita Cina yang menjelaskan tentang utusannya ke Majapahit. Pada tahun 1424 ketika Majapait dalam pemerintahan raja Wikramawardhana ada seorang pembesar dari Yunan yang datang ke Majapahit yang bernama Ma Hong Fu12.

Keberadaan pesantren yang ditunjukkan dengan adanya makam Troloyo dan Masigit Agung, telah membuktikan bahwa Islam pada waktu itu sudah mulai berkembang. Perkembangan agama Islam di dalam kerajaan Majapahit dari waktu kewaktu menunjukkan perkembangan yang cukup pesat. Hal ini

12

(50)

dikarenakan Majapahit yang sangat toleran dan kondisi politik dalam negeri Majapahit yang sedang kacau dikarenakan timbulnya perang saudara diantara para keturunan raja untuk memperebutkan tahta kerajaan, sehingga pemerintah tidak mampu mengontrol perkembangan agama Islam yang nantinya akan berubah menjadi suatu kekuatan politik sendiri dan mengancam keberadaan Majapahit.

Kemunculan Syekh Jumadil Kubro dan pendidikan pesantrennya mengakibatkan munculnya para santri yang kemudian ikut berpartisipasi aktif dalam penyebaran agama Islam di Majapahit dan pulau jawa. Para santri yang ahli dalam agama Islam tersebut kemudian disebut sebagai Walisongo. Pengertian Walisongo itu sendiri telah memunculkan kontroversi. Disatu sisi Walisongo diartikan sebagai tokoh Islam yang mengajarkan Islam di tanah Jawa, sedangkan sisi yang lain Walisongo diartikan sebagai badan kelembagaan yang memang jumlahnya sembilan orang.

Sebagai sebuah lembaga Walisongo memiliki empat periode perubahan, periode pertama adalah periode Maliq Ibrahim Ishaq, Jumadil Kubro, Muhamad Al Akbar, Hasanudin, Aliyudin, dan Subakir13. Periode kedua komposisi kepengurusan dilengkapi oleh Raden Ahmad Ali Rahmatulloh (Sunan Ampael) menggantikan Malik Ibrahim yang telah wafat, Ja’far Shadiq (Sunan Kudus) menggantikan Malik Israil yang telah wafat, Syarif Hidayatullah menggantikan Malik Akbar yang telah wafat14. Berdasarkan kedua periode tersebut dapat diketahui beberapa Walisongo hidup dan menyebarkan agama Islam dimasa

13

Nur Syam, Islam Pesisir (Yogyakarta: LkiS, 2005), hlm. 70

14

(51)

kerajaan Majapahit. Wali yang sangat terkenal pada pemerintahan Raja Hayam Wuruk adalah Syekh Jumadil Kubro, beliau terkenal karena pada masa itu telah mulai membangun pendidikan model pesantren, yang kemudian menjadi titik tolak penyebaran Islam di pulau Jawa. Peran penyebaran agama Islam yang dilakukan oleh para wali pada masa Majapahit sangat terasa ketika Walisongo memasuki periode kedua. Salah satu wali yang aktif dalam masa kerajaan Majapahit adalah Sunan Ngampel atau Raden Rahmat atau juga Bong Swi Ho15. Dalam Babad Tanah Jawi, Raden Rahmat adalah putra dari Makdum Ibrahim di Campa. Ia juga kemenakan dari putri Dwarawati yang kawin dengan Prabu Brawijaya. Raden Rahmat memiliki adik yang bernama Raden Santri. Mereka kemudian berangkat ke Majapahit untuk mengunjungi putri Dwarawati. Sesampainya di majapahit mereka di terima baik oleh prabu Brawijaya. Setahun tinggal di Majapahit kemudian Raden Rahmat menikah dengan anak Tumenggung Wilatikta, yang bernama Ni Gede Manila. Adik Raden Rahmat, yaitu Raden Santri kemudian menetap di Gresik.

Pernikahan Raden Rahmat dengan anak Tumenggung Wilatikta, membuat Raden Rahmat menetap di Ngampel dan kemudian menjadi ulama sehingga mendapat julukan sebagai Sunan Ngampel. Sebagai seorang ulama Muslim Sunan Ngampel kemudian berupaya untuk menyebarluaskan agama Islam di wilayahnya. Pada awalnya Sunan Ngampel atau dalam nama Cina dikenal dengan Bong Swi Hoo menyebarkan agama Islam kepada orang Tionghoa disana namun lama-lama penduduk pribumi mengikuti ajaran Sunan Ngampel. Di Ngampel

15

(52)

Denta itulah kemudian Sunan Ngampel bertemu dengan Raden Patah dan Raden Kusen, ketika mereka sedang melakukan perjalanan ke Majapahit. Dalam percakapan antara Sunan Ngampel dan Raden Patah pengakuannya sebagai pendatang di Jawa. Kata Sunan Ngampel adalah sebagai berikut:“Saya adalah ulama asing yang datang ke pulau Jawa. Hanya untuk sementara waktu saja, saya memimpin masyarakat Islam Jawa, Berkat sih sang prabu berbeda dengan engkau. Engkau orang Jawa tulen turun temurun, orang Jawa yang memiliki pulau Jawa”16

.

Percakapan antara Raden Patah dan Sunan Ngampel selain menjelaskan jika Sunan Ngampel bukan dari Jawa juga memiliki arti tersendiri. Pada kalimat terakhir yang dikatakan Sunan Ngampel kepada Raden Patah memiliki arti yang sangat subyektif, bisa diartikan sebagai Raden Patah merupakan orang Jawa yang berhak memiliki Jawa atau berhak atas tahta kerajaan. Setelah mendapatkan pesan tersebut Raden Patah dan Raden Kusen berpisah, Raden Kusen tetap meneruskan perjalanannya menuju Majapahit sesuai dengan perintah ayahnya, sedangkan Raden Patah tetap tinggal di Ngampel Denta, dan dijadikan menantu oleh Sunan Ngampel. Raden Kusen memutuskan mengabdi kepada prabu Brawijaya kemudian ia diangkat sebagai adipati di Terung, Sedangkan Raden Patah menetap di Glagah Wangi dan membuka hutan disana17.

Babat Tanah Jawi dan Serat Kanda telah menjelaskan bahwa Sunan Ngampel bukan orang Jawa asli melainkan orang Cina yang kemudian menetap di Jawa, dan menjadi ulama. Penjelasan ini mirip dengan berita dari kelenteng Sam

16

Slamet Mulyana, op.cit., hlm. 96

17

Gambar

Gambar 1. Menjelaskan konsep kekuasaan Majapahit.
Gambar 1. Nisan Fatimah binti Maimun.        Gambar 2. Makam Maulana Malik Ibrahim.
Gambar 4. Salah satu makam Islam di situs pemakaman Troloyo.
Gambar 6 : Silsilah raja Majapahit
+2

Referensi

Dokumen terkait

Akhirnya dapat disimpulkan bahwa sejarah masuknya agama Islam di Humbang Hasundutan terjadi pada tahun 1930, sementara perkembagannya terjadi pada tahun 1950-an dan membawa

Gerakan pemurnian ini melarang umat islam belajar dengan negara barat karena kemajuan negara barat jauih dari nilai nilai ajaran agama islam.. Lahirnya gagasan nasionalisme di

Masa kerajaan Samudera Pasai merupakan periode dimana hukum islam diterapkan dalam berbagai bidang kehidupan yang kemudian berlangsung lebih dari 2 abad yangn diawali oleh

Pada saat Kerajaan Majapahit mengalami masa kemunduran, diawal abad ke-15 Masehi kota-kota seperti Tuban dan Gresik muncul sebagai pusat penyebaran agama Islam, yang mempunyai

Beberapa faktor penyebab kemajuaan kerajaan ini adalah Kerajaan Perlak mengalami masa kejayaan dimana hal ini di sebabkan karena pusat pelayaran dan

Agama Islam secara resmi diterimadi kerajaan Konawe pada masa pemerintahan Lakidende II, Sebelum Lakidende II menerima gelar Mokole beliau telah diutus ayahnya untuk

Masuknya agama Islam ke Bali dimulai sejak jaman kerajaan pada abad XIV berasal dari sejumlah daerah di Indonesia, tidak merupakan satu-kesatuan yang utuh atau

Setelah agama Islam telah menyebar ke seluruh pelosok wilayah Bima, maka agama Islam yang berkembang di Bima mempengaruhi kehidupan di Bima Khususnya dalam