• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERKEMBANGAN AGAMA ISLAM DI MAJAPAHIT TAHUN 1376 – 1478

B. Munculnya Walisongo

Kondisi kerajaan Majapahit yang plural, dan sikap yang toleran terhadap budaya asing membuat masyarakat Majapahit menjadi masyarakat yang dinamis, dan menerima setiap perubahan. Sikap pemerintah yang mengadakan hubungan internasional, berdampak pada banyaknya orang asing yang datang kewilayah Majapahit. Salah satu orang asing yang sering datang berkunjung ke Majapahit adalah orang-orang Cina, dan para pedagang dari Arab, Gujarat maupun Persia. Keberadaan mereka dapat dilihat dari makam Troloyo, dan beberapa berita Cina yang menjelaskan tentang utusannya ke Majapahit. Pada tahun 1424 ketika Majapait dalam pemerintahan raja Wikramawardhana ada seorang pembesar dari Yunan yang datang ke Majapahit yang bernama Ma Hong Fu12.

Keberadaan pesantren yang ditunjukkan dengan adanya makam Troloyo dan Masigit Agung, telah membuktikan bahwa Islam pada waktu itu sudah mulai berkembang. Perkembangan agama Islam di dalam kerajaan Majapahit dari waktu kewaktu menunjukkan perkembangan yang cukup pesat. Hal ini

12

Slamet Mulyana, Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa Dan Timbulnya Negara- Negara Islam di Nusantara(Yogyakarta : LkiS, 2007), hlm. 107

dikarenakan Majapahit yang sangat toleran dan kondisi politik dalam negeri Majapahit yang sedang kacau dikarenakan timbulnya perang saudara diantara para keturunan raja untuk memperebutkan tahta kerajaan, sehingga pemerintah tidak mampu mengontrol perkembangan agama Islam yang nantinya akan berubah menjadi suatu kekuatan politik sendiri dan mengancam keberadaan Majapahit.

Kemunculan Syekh Jumadil Kubro dan pendidikan pesantrennya mengakibatkan munculnya para santri yang kemudian ikut berpartisipasi aktif dalam penyebaran agama Islam di Majapahit dan pulau jawa. Para santri yang ahli dalam agama Islam tersebut kemudian disebut sebagai Walisongo. Pengertian Walisongo itu sendiri telah memunculkan kontroversi. Disatu sisi Walisongo diartikan sebagai tokoh Islam yang mengajarkan Islam di tanah Jawa, sedangkan sisi yang lain Walisongo diartikan sebagai badan kelembagaan yang memang jumlahnya sembilan orang.

Sebagai sebuah lembaga Walisongo memiliki empat periode perubahan, periode pertama adalah periode Maliq Ibrahim Ishaq, Jumadil Kubro, Muhamad Al Akbar, Hasanudin, Aliyudin, dan Subakir13. Periode kedua komposisi kepengurusan dilengkapi oleh Raden Ahmad Ali Rahmatulloh (Sunan Ampael) menggantikan Malik Ibrahim yang telah wafat, Ja’far Shadiq (Sunan Kudus) menggantikan Malik Israil yang telah wafat, Syarif Hidayatullah menggantikan Malik Akbar yang telah wafat14. Berdasarkan kedua periode tersebut dapat diketahui beberapa Walisongo hidup dan menyebarkan agama Islam dimasa

13

Nur Syam, Islam Pesisir (Yogyakarta: LkiS, 2005), hlm. 70

14

kerajaan Majapahit. Wali yang sangat terkenal pada pemerintahan Raja Hayam Wuruk adalah Syekh Jumadil Kubro, beliau terkenal karena pada masa itu telah mulai membangun pendidikan model pesantren, yang kemudian menjadi titik tolak penyebaran Islam di pulau Jawa. Peran penyebaran agama Islam yang dilakukan oleh para wali pada masa Majapahit sangat terasa ketika Walisongo memasuki periode kedua. Salah satu wali yang aktif dalam masa kerajaan Majapahit adalah Sunan Ngampel atau Raden Rahmat atau juga Bong Swi Ho15. Dalam Babad Tanah Jawi, Raden Rahmat adalah putra dari Makdum Ibrahim di Campa. Ia juga kemenakan dari putri Dwarawati yang kawin dengan Prabu Brawijaya. Raden Rahmat memiliki adik yang bernama Raden Santri. Mereka kemudian berangkat ke Majapahit untuk mengunjungi putri Dwarawati. Sesampainya di majapahit mereka di terima baik oleh prabu Brawijaya. Setahun tinggal di Majapahit kemudian Raden Rahmat menikah dengan anak Tumenggung Wilatikta, yang bernama Ni Gede Manila. Adik Raden Rahmat, yaitu Raden Santri kemudian menetap di Gresik.

Pernikahan Raden Rahmat dengan anak Tumenggung Wilatikta, membuat Raden Rahmat menetap di Ngampel dan kemudian menjadi ulama sehingga mendapat julukan sebagai Sunan Ngampel. Sebagai seorang ulama Muslim Sunan Ngampel kemudian berupaya untuk menyebarluaskan agama Islam di wilayahnya. Pada awalnya Sunan Ngampel atau dalam nama Cina dikenal dengan Bong Swi Hoo menyebarkan agama Islam kepada orang Tionghoa disana namun lama-lama penduduk pribumi mengikuti ajaran Sunan Ngampel. Di Ngampel

15

Denta itulah kemudian Sunan Ngampel bertemu dengan Raden Patah dan Raden Kusen, ketika mereka sedang melakukan perjalanan ke Majapahit. Dalam percakapan antara Sunan Ngampel dan Raden Patah pengakuannya sebagai pendatang di Jawa. Kata Sunan Ngampel adalah sebagai berikut:Saya adalah ulama asing yang datang ke pulau Jawa. Hanya untuk sementara waktu saja, saya memimpin masyarakat Islam Jawa, Berkat sih sang prabu berbeda dengan engkau. Engkau orang Jawa tulen turun temurun, orang Jawa yang memiliki pulau Jawa”16

.

Percakapan antara Raden Patah dan Sunan Ngampel selain menjelaskan jika Sunan Ngampel bukan dari Jawa juga memiliki arti tersendiri. Pada kalimat terakhir yang dikatakan Sunan Ngampel kepada Raden Patah memiliki arti yang sangat subyektif, bisa diartikan sebagai Raden Patah merupakan orang Jawa yang berhak memiliki Jawa atau berhak atas tahta kerajaan. Setelah mendapatkan pesan tersebut Raden Patah dan Raden Kusen berpisah, Raden Kusen tetap meneruskan perjalanannya menuju Majapahit sesuai dengan perintah ayahnya, sedangkan Raden Patah tetap tinggal di Ngampel Denta, dan dijadikan menantu oleh Sunan Ngampel. Raden Kusen memutuskan mengabdi kepada prabu Brawijaya kemudian ia diangkat sebagai adipati di Terung, Sedangkan Raden Patah menetap di Glagah Wangi dan membuka hutan disana17.

Babat Tanah Jawi dan Serat Kanda telah menjelaskan bahwa Sunan Ngampel bukan orang Jawa asli melainkan orang Cina yang kemudian menetap di Jawa, dan menjadi ulama. Penjelasan ini mirip dengan berita dari kelenteng Sam

16

Slamet Mulyana, op.cit., hlm. 96

17

Po kong di Semarang. Berita kelenteng Sam Po Kong menjelaskan bahwa Bong Swi Hoo (Sunan Ngampel), pada tahun 1419 di kirim ke Swan Liong (Palembang). Dalam waktu singkat kemudian ia diutus untuk pergi ke Jawa tepatnya ke Tuban untuk menemui kapten Cina ya bernawa Gan Eng Cu yang memiliki kekuasaan secara De Facto sebagai kepala pelabuhan di Tuban. Bong Swi Hoo kemudian diangkat menantu oleh Gang Eng Cu, kemudian ia diangkat oleh Gang Eng Cu sebagai kapten Cina di Bangil yang terletak di muara sungai Porong. Sebagai seorang Cina Muslim Bong Swi Hoo terus menyebarkan agama Islam di wilayah kekuasaannya18.

Sebagai seorang Walisongo peranan penting Sunan Ngampel adalah mengislamkan orang-orang Cina maupun pribumi pada masa kerajaan Majapahit. Hasil yang dicapai oleh Sunan Ngampel dalam penyebaran agama Islam adalah membentuk masyarakat Ngampel Denta sebagai masyarakat Muslim yang pernah hidup dalam masa Majapahit terutama masa pemerintahan Raja Suhita dan Raja Kertabumi. Awal mula terbentuknya masyarakat Islam di Ngampel, bermula ketika Sunan Ngampel (Bong Swi Hoo) meminta ijin kepada pemerintah Majapahit untuk membentuk masyarakat Islam Tionghoa19. Pada waktu itu masyarakat Tionghoa Islam memang telah banyak yang menetap di Ngampel, namun karena Islam diterima oleh penduduk pribumi gerakan pembentukan masyarakat Tionhoa Islam beralih menjadi pembentukkan masyarakat Jawa Islam.

Sunan Ngampel (Bong Swi Hoo) dalam menyebarkan agama Islam kepada masyarakat Majapahit, ternyata tidak sendiri. Ia di bantu oleh beberapa

18

Ibid, hlm. 97

19

muridnya, yaitu Sunan Bonang, dan Sunan Giri. Menurut Babat Tanah Jawi Sunan Bonang adalah anak kandung dari Sunan Ngampel, sedangkan Sunan Giri adalah putra dari Wali Lanang20. Terlepas dari asal-usul kedua Sunan tersebut, yang jelas Sunan Bonang, dan Sunan Giri diasuh oleh Sunan Ngampel dengan latar belakang Jawa Islam bukan lagi Tionghoa Islam. Karena Sunan Bonang dan Sunan Giri terdidik dalam masyarakat Jawa Islam, maka cara penyebaran atau penyampaian agama Islam juga menggunakan tradisi-tradisi Jawa atau tradisi yang sudah ada dan mengubah menjadi bernafaskan Islam21. Beberapa karya Sunan Bonang adalah pencipta gending Darma, dan mengubah dan mengubah hari-hari nahas dalam agama Hindu kedalam Islam. Sunan Giri menciptakan

Gending Asmarandana, Pucung, dan lagu anak (dolanan). Dalam penyebaran

agama Islam Sunan Bonang memfokuskan diri di daerah Tuban, sedangkan Sunan Giri memfokuskan diri di Giri Gajah.

20

Ibid, hlm. 103

21

42

BAB IV

DAMPAK PERKEMBANGAN AGAMA ISLAM

Dokumen terkait