• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Novel Pengakuan Eks Parasit Lajang merupakan novel karya Ayu Utami

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Novel Pengakuan Eks Parasit Lajang merupakan novel karya Ayu Utami"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

“Sekarang aku sudah memiliki tata moralku yang mandiri, kubangun ulang dari sistem-sistem yang diperkenalkan kepadaku tapi dengan rasa keadilanku yang spesifik.” (Utami, 2013: 37)

Novel Pengakuan Eks Parasit Lajang merupakan novel karya Ayu Utami yang terbit pada bulan Februari 2013. Novel ini adalah sebuah novel autobiografi seksualitas dan spiritualitas pertama di Indonesia. Pernyataan tersebut dapat ditemukan pada cover belakang novel. Novel ini, sebagaimana novel-novel Ayu Utami terdahulu masih mengangkat masalah perempuan. Kata “Pengakuan” dari judul novel ini “Pengakuan Eks Parasit Lajang” memperlihatkan bahwa ada hal yang akan diakui dan dijelaskan Ayu dalam novel ini. Lewat novel ini Ayu seakan ingin menyampaikan sebuah pengakuan dan penjelasan dari seorang Eks Parasit Lajang.

Ayu Utami mulai terkenal dengan novel Saman yang terbit pada tahun 1998. Dalam novel Saman, ia mencoba mengangkat ketidakadilan pada perempuan. Berkat novel ini pula, ia mendapat Prince Claus Award 2000 dan Prince Clause Fun, sebuah yayasan yang bermarkas di Den Haag, Belanda yang mempunyai misi mendukung dan memajukan kegiatan di bidang budaya dan

(2)

pembangunan. Selain itu, dari novelnya yang berjudul Bilangan Fu, ia mendapat penghargaan Khatulistiwa Literary Award pada 2008.

Novel Pengakuan Eks Parasit Lajang, yang kemudian disingkat menjadi PEPL, dapat dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, “Seorang Gadis yang Melepas Keperawanannya dan Menjadi Peselingkuh”. Kedua, “Bocah yang Kehilangan Imannya”, dan yang ketiga, “Seorang Wanita di Jalan Pulang.” Masing-masing bagian mengisahkan waktu tertentu dalam kehidupan tokoh A.

Secara garis besar, novel ini menceritakan kisah hidup tokoh A yang digambarkan tidak mau begitu saja menerima semua konsep perempuan yang ada dalam lingkungannya. Konsep yang dimaksud adalah suatu konsep yang merupakan konstruksi masyarakat, adat istiadat ataupun ajaran agama tentang perempuan yang telah ada sebelum dirinya muncul di dunia ini. Sebagai manusia yang berfikir dan sadar atas kebebasan dirinya sebagai manusia, ia tidak mau menerima semuanya sebagai suatu hal yang given. Semua konsep tersebut harus “dicerna” dan melalui rasionalisasi secara ketat dan kritis. Ditambah lagi kondisi perempuan yang selalu diposisikan sebagai manusia kelas dua yang cenderung dirugikan oleh aturan tersebut. Itu semua merupakan keadaan atau faktisitas yang dihadapi A dalam merealisasikan eksistensinya sebagai manusia yang bebas.

Salah satu tindakannya untuk menghadapi kenyataan tersebut adalah dengan berani melepaskan keperawanannnya kepada lelaki yang bukan suaminya pada umur dua puluh tahun. Ia juga membangun tata moralnya sendiri yang dibangun dari sistem-sistem yang diperkenalkannya sejak lahir disertai rasa keadilannnya sendiri. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut: Sekarang aku sudah

(3)

memiliki tata moralku yang mandiri, kubangun ulang dari sistem-sistem yang diperkenalkan kepadaku tapi dengan rasa keadilanku yang spesifik (Utami, 2013: 37).

Sikap tokoh A di atas sesuai dengan konsep Eksistensialisme Jean Paul Sartre. Sartre (2002) mengatakan bahwa manusia adalah mahluk yang eksistensinya mendahului essensinya dan bahwa manusia adalah mahluk yang bebas yang dalam situasi apapun tidak dapat lain selain menginginkan kebebasannya. Manusia adalah bukan apa-apa selain apa yang ia buat dari dirinya sendiri, itulah prinsip pertama eksistensialisme.

Akan tetapi, banyak perempuan yang menerima begitu saja konsep yang dibuat masyarakat dan meyakini perkataan atau label yang disematkan orang lain padanya. Itu semua dianggap sebagai takdir Tuhan yang harus ia jalani. Kondisi tersebut dapat dikategorikan oleh Sartre sebagai ’keyakinan yang buruk’ (mauvoise foi). Mauvoise foi adalah keadaan saat manusia mencoba lari dari kebebasannya. Ia menyerah dan menjadikannya menjadi cukup, menjadi en-soi. Padahal, sebagai mana dikatakan Sartre bahwa manusia itu bebas, terlebih manusia adalah kebebasan itu sendiri. Tidak ada hukum-hukum di luar manusia yang mengatur dan memaksanya untuk menjadi apa dan siapa. Dirinya sendiri adalah orang yang berhak menentukan akan menjadi apa dirinya. Bukan orang lain bahkan Tuhan sekali pun.

Tokoh A adalah seorang manusia yang menginginkan kebebasannya dan tidak ingin terikat pada aturan keluarga, masyarakat, ataupun agama jika aturan tersebut merugikan dirinya sebagai perempuan. Aturan-aturan yang merugikan

(4)

perempuan tersebut tidak bisa dilepaskan dari kesalahan dalam memahami konsep gender yang dianggap merupakan kodrat yang sama halnya dengan konsep jenis kelamin. Padahal, kedua konsep tersebut adalah dua hal yang berbeda. Fakih (2012: 7) mendefinisikan jenis kelamin sebagai pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya, bahwa manusia jenis laki-laki adalah manusia yang memliki atau bersifat seperti daftar berikut ini: laki-laki adalah manusia yang memiliki penis dan memproduksi sperma. Sedangkan perempuan memiliki alat reproduksi seperti rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi telur, memiliki vagina, dan mempunyai alat menyusui. Alat-alat tersebut secara biologis melekat pada manusia jenis perempuan dan laki-laki selamanya. Artinya secara biologis alat-alat tersebut tidak bisa dipertukarkan antara alat biologis yang melekat pada manusia laki-laki dan perempuan. Secara permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan biologis atau sering dikatakan sebagai ketentuan Tuhan atau kodrat.

Sedangkan konsep lainnya adalah konsep gender, yakni suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap: kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Ciri dari sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki, yang bisa berubah dari waktu ke waktu serta berbeda dari tempat ke tempat lainnya,

(5)

maupun berbeda dari suatu kelas ke kelas yang lain, itulah yang dikenal dengan konsep gender.

Kesalahan yang menyamakan antara konsep gender dan seks akan membuat perempuan menganggap bahwa gender merupakan sebuah kodrat dari Tuhan yang tidak bisa diubah dan diganggu gugat. Dengan mempercayai hal tersebut sebagai suatu hal yang kodrati dapat membawa perempuan kepada sebuah situasi yang membuat perempuan kehilangan kebebasannya sebagai manusia yang eksistensinya mendahului esensinya. Dengan mempercayai hal tersebut perempuan jatuh kepada mauvoise foi. Perempuan merasa cukup dengan definisi (essensi) yang diberikan masyarakat kepadanya.

Menyangkut hal tersebut, novel ini mengangkat beberapa mitos yang merupakan konstruksi sosial dan merugikan perempuan sekaligus membuatnya kehilangan eksistensinya. Mitos-mitos tersebut antara lain: pertama, mitos penciptaan perempuan dari tulang rusuk laki-laki. Mitos ini dapat ditemukan dalam agama Islam dan Kristen. Mitos yang menganggap perempuan adalah bagian dari tulang rusuk laki-laki secara tidak langsung membuat posisi perempuan sebagai yang tersubordinasi. Perempuan seakan merupakan bagian tubuh dari laki-laki, perempuan merupakan turunan dari laki-laki, sehingga perempuan dipimpin oleh laki-laki. Kedua, mitos tentang keperawanan. Perempuan harus menjaga keperawanannya hingga menikah. Keperawanannya hanya diperuntukkan bagi suaminya. Pada masa itu perempuan masih hidup dengan ditakut-takuti. Perempuan harus menjaga selaput daranya sampai malam pertama pernikahan (Utami, 2013:33). Ibuku pernah berkata bahwa perempuan

(6)

itu seperti porselin. jika sudah pecah. Jadi tidak berharga (Utami, 2013: 35). Analogi seperti ini menjadikan perempuan tidak memiliki hak atas tubuhnya sendiri secara penuh. Dirinya, termasuk tubuhnya sendiri, dengan demikian bukan sepenuhnya adalah haknya melainkan menjadi hak orang lain yaitu suaminya kelak.

Novel ini juga mengangkat fenomena Perawan Tua. Perawan Tua adalah sebutan yang diberikan kepada perempuan “tua” yang belum menikah. Suatu sebutan dalam masyarakat yang merugikan dan menghantui perempuan yang menyandangnya. Mitos seperti itu membuat perempuan secara tidak langsung dituntut menikah sebelum dirinya menjadi tua agar tidak dilabeli sebagai Perawan Tua. Dengan demikian, tubuh perempuan seperti memiliki waktu kadaluarsa tertentu seperti halnya makanan. Jika telah “kadaluarsa” maka nilai perempuan tersebut di masyarakat akan turun.

Beberapa contoh di atas merupakan beberapa mitos yang membuat perempuan kehilangan eksistensinya. Perempuan seakan dituntut menjadi apa yang masyarakat, agama, dan terutama laki-laki inginkan. Perempuan tidak lagi melakukan dan menjadi apa yang ia “inginkan” tapi melakukan apa yang diinginkan keluarga, masyarakat, agama, dan lain sebagainya.

Gambaran mengenai perempuan yang harus menikah sebelum umur tertentu, perempuan yang harus menjaga keperawanannya hingga menikah, perempuan yang harus menurut kepada laki-laki karena posisi laki-laki yang lebih tinggi dari perempuan, perempuan yang lebih lemah dan emosional dibandingkan dengan laki-laki, kesemuanya adalah konsep gender berupa mitos yang diciptakan

(7)

oleh masyarakat. Hal tersebut bukanlah kodrat dari Tuhan seperti halnya jenis kelamin yang bersifat biologis dan tidak dapat dipertukarkan satu sama lain.

Perempuan dapat bereksistensi menjadi dirinya sendiri. Perempuan bisa bereksistensi sebagai perempuan bukan dibentuk menjadi perempuan. Ia mengada dan menyadari keberadaannya yang bebas di dunia kemudian memberikan essensi terhadap keberadaannya. Bukan mengikuti “definisi” perempuan yang dibuat oleh masyarakat. Dia bisa melakukan dan menjadi apa yang ia inginkan karena sebagaimana konsep eksistensialisme Sartre, bahwa sebagai manusia, “eksistensi mendahului esensi”. Bahwa sebagai perempuan ia bisa menjadi subjek dan melakukan apa yang ia kehendaki. Bukannya menjadi objek yang tindakannya ditentukan oleh sesuatu di luar dirinya. Ia bebas karena dialah yang menentukan menjadi apa dirinya.

Sebagian besar perempuan tidak sadar telah menjadi objek. Dalam masyarakat, bahkan dalam lingkungan yang paling kecil yaitu keluarga, perempuan sudah dibentuk menjadi perempuan sesuai dengan apa yang diinginkan oleh keluarga tersebut, oleh yang dominan, oleh ayah yang merupakan kepala keluarga. Perempuan sejak di lingkungan keluarga telah dibentuk menjadi perempuan. Perempuan yang lemah lembut, yang patuh dan dipimpin laki-laki. Bahkan sebagian besar perempuan mengamini dirinya untuk menjadi perempuan yang dikonstruksi oleh masyarakat dan bukan sebagai perempuan.

Persoalan inilah yang diangkat Ayu Utami dalam novel terbarunya, Pengakuan Eks Parasit Lajang. Ia menghadirkan tokoh A, seorang perempuan yang berbeda dari perempuan “kebanyakan”. Tokoh A dalam novel ini begitu

(8)

“berbeda”. Dia tidak dapat begitu saja menerima bahkan menolak definisi dan hakikat yang diberikan oleh sesuatu yang di luar dirinya kepadanya terlebih lagi jika itu merugikan dirinya. Bahkan tokoh A berani membuat aturan dan tata moralnya yang ia bangun sendiri. Membaca novel ini dapat mengantarkan kita pada imajinasi tentang perempuan yang bebas. Perempuan yang melakukan apa yang diinginkannya walaupun harus melawan agama dan masyarakat. Melalui narasi tokoh A, kita dibawa kepada “dunia” yang berbeda. Dunia di mana konsep-konsep tentang laki-laki, perempuan, agama, dan seksualitas ditata dengan pengertian baru melalui rasionalisasi yang ketat dan kritis.

Penelitian ini bermaksud menjelaskan bahwa novel PEPL sebagai suatu karya dari Ayu Utami yang di dalamnya terdapat pesan yang menggambarkan usaha perempuan untuk dapat bereksistensi sebagai manusia yang bebas yang diwujudkan dengan usaha perempuan menghadapi keadaan di hadapannya melalui pilihan-pilihannya yang akan membawanya kepada perempuan yang bebas dan bertanggung jawab atas kebebasannya bukan menjadi perempuan yang berada dalam keyakinan yang buruk karena pasrah kepada keadaan.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Gambaran perempuan seperti mitos-mitos yang dipaparkan pada latar belakang di atas adalah realitas sosial. Perempuan dijadikan sebuah produk oleh masyarakat yang di dalamnya terdapat nilai-nilai yang menunjukkan perempuan yang baik dan perempuan yang buruk. Hal tersebut menujukkan bahwa esensi dari perempuan telah dulu ada sebelum perempuan itu lahir ke dunia.

(9)

Perempuan adalah manusia yang berbeda dengan benda-benda. Perempuan mencari dan menemukan jati dirinya. Ia hadir terlebih dahulu ke dunia kemudian menemukan dan memilih esensinya sebagai perempuan. Selain itu, perempuan hadir di dunia ini tidak secara otomatis tetapi mereka memperjuangkan keberadaannya (her being) dan membangun realitas hidup untuk mengembangkan pribadinya.

Perempuan relatif memiliki banyak kesulitan dalam menemukan eksistensi dan dalam sikap menyambut kerumitan masalah yang muncul dalam kehidupannya. Dimulai dari tuntutan domestik yang mengharuskan perempuan untuk mengurusi keluarga, kemudian “mitos-mitos” tentang perempuan, salah satunya mitos keperawanan. Perempuan seakan tidak memiliki hak sepenuhnya atas tubuhnya sendiri. Tubuhnya adalah milik orang lain, milik suaminya. Kemudian posisi perempuan dalam agama yang dimarginalkan dan lebih mementingkan laki-laki. Tuntutan masyarakat dan agama pada perempuan tersebut menjadikan perempuan harus memperjuangkan eksistensinya. Perempuan menjadi perempuan yang diinginkannya dan bukan membuat dirinya menjadi perempuan yang diinginkan masyarakatnya. Perjuangan untuk dapat bereksistensi inilah yang diangkat Ayu Utami dalam novel PEPL karya Ayu Utami. Dengan demikian dapat dirumuskan masalah yang akan diangkat dalam penelitian ini sebagai berikut.

1. Bagaimanakah perempuan memperlakukan tubuhnya untuk bereksistensi dalam novel PEPL karya Ayu Utami?

(10)

2. Bagaimana perempuan menemukan dan mempertahankan eksistensinya dalam novel PEPL karya Ayu Utami?

3. Apa yang ingin disampaikan Ayu Utami sebagai pengarang dalam novel PEPL?

1.3 TUJUAN PENELITIAN

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah dikemukakan, melalui suatu rangkaian kerja dan prosedur analisis yang direncanakan, penelitian ini memiliki dua tujuan, yaitu tujuan khusus dan umum. Tujuan khusus adalah untuk menjawab permasalahan yang telah dikemukakan sebelumnya, yakni diharapkan dapat mengungkapkan cara perempuan memperlakukan tubuhnya untuk bereksistensi, mengungkapkan cara perempuan menemukan dan mempertahankan eksistensinya dan mengungkapkan pesan yang ingin disampaikan Ayu Utami sebagai pengarang dalam novel PEPL.

Dengan menjawab permasalahan-permasalahan yang berhubungan dengan eksistensi perempuan tersebut maka dapat ditarik tujuan umum yang lebih luas. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk memberikan pengetahuan terhadap pembaca mengenai cara perempuan untuk dapat bereksistensi di tengah dominasi laki-laki.

1. 4 MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini mempunyai dua manfaat yaitu manfaat teoretis dan praktis. Adapun manfaat teoretis penelitian ini adalah untuk menambah pengetahuan penulis dan menerapkan teori Eksistensialisme Jean-Paul Sartre untuk

(11)

menemukan eksistensi perempuan serta pesan dari Ayu Utami sebagai pengarang dalam novel PEPL.

Adapun manfaat praktis penelitian ini antara lain diharapkan dapat (1) Memberikan sumbangan pada analisis karya sastra dengan pendekatan feminisme, khususnya feminisme eksistensialis yang menggunakan teori Eksistensialisme Jean-Paul Sartre. (2) Menunjukkan pada masyarakat luas bahwa novel PEPL karya Ayu Utami ini, meskipun adalah karya populer, namun di dalamnya terdapat nilai-nilai yang laik untuk dicermati, khususnya mengenai pentingnya eksistensi manusia khususnya sebagai perempuan. Dengan demikian diharapkan akan tercipta sebuah keselarasan hidup tanpa adanya stereotyping atau prasangka gender yang merugikan salah satu pihak.

1.5 TINJAUAN PUSTAKA

Penulis mendapatkan tiga buah penelitian dengan objek material yang sama dengan penelitian ini, yaitu yang mengkaji novel PEPL karya Ayu Utami. Yang pertama adalah tulisan Saras Dewi, Pengajar Filsafat di FIB UI, berjudul Eks Parasit lajang menjadi Thomas yang ditulis pada tahun 2013. Tulisan ini mendeskripsikan tentang tindakan tokoh A dalam novel dapat disamakan dengan Thomas si peragu. A menjadi si peragu dikarenakan ketidapuasaannya terhadap dogma dan doktrin yang ada. Menurutnya, keraguan, kecemasan, dan kegelisahan adalah emosi-emosi mendasar yang menjadikan seseorang begitu manusiawi.

Tulisan kedua berjudul Erotisme dalam Novel Pengakuan Eks Parasit Lajang yang ditulis oleh Yuri Irna Sari, Husnul Fikri, dan Syofiani, FKIP

(12)

Universitas Bung Hatta. Tulisan ini meneliti erotisme yang terdapat dalam novel PEPL. Hasil penelitian ini antara lain. Pertama, bentuk erotisme yang digambarkan pengarang ada dua, yaitu gambaran organ seksual dan gambaran aktivitas seksual. Kedua hal tersebut digambarkan secara halus dan estetis, pembaca tidak akan merasakan gairah. Kedua, bentuk nonerotisme dalam novel ini ada dua yaitu gambaran organ seksual dan gambaran aktivitas seksual. Dalam hal ini, pengarang menggambarkannya secara vulgar, kasar, tidak senonoh, dan tidak sopan, sehingga kata-kata tersebut bermakna pornografi.

Adapun tulisan ketiga berjudul Analisis Novel Pengakuan Eks Parasit Lajang Menggunakan Pendekatan Sosiologis dan Pendekatan Mimesis. Tulisan ini ditulis oleh Dewa Putu Budiaryawan, mahasiswa FKIP Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja pada tahun 2013. Tulisan ini mendeskripsikan tentang novel PEPL menggunakan pendekatan sosiologis yang melihat novel ini sebagai gambaran kehidupan suatu masyarakat dan pendekatan mimesis yang melihat novel PEPL sebagai tiruan dari keadaan masyarakat.

Penulis menemukan penelitian yang menggunakan teori Eksistensialisme Sartre dilakukan oleh Dian Eka Sari pada tahun 2013 berupa tesis yang berjudul Tragedi Eksistensi dalam Novel Notes From The Underground Karya Fyodor Doestovsky: Kajian Eksistensialisme Sartre. Penelitian ini mendeskripsikan Tragedi Eksistensi dalam novel tersebut dengan menggunakan kajian eksistensialisme Sartre. Penelitian ini mempertanyakan kebebasan manusia untuk melampaui objektivitasnya yang dimanifestasi melalui hasrat untuk mencapai keberadaan ideal, serta proses terjadinya tragedi eksistensi yang berakar dari

(13)

kebebasan tersebut. Permasalahan tersebut dianalisis menggunakan teori eksistensialisme Sartre mengenai konsep kebebasan individu yang melandasi hasrat manusia untuk mencapai keberadaan ideal (mengada dalam diri sendiri pada diri sendiri). Kemudian faktor the look dan bad-faith yang memicu timbulnya tragedi dalam keberadaan manusia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebebasan individu menjadi posibilitas baginya untuk menjadi Tuhan atas diri sendiri yakni untuk mengada mengikuti kehendak bebasnya, dan menyadari hal-hal yang mengungkung kebebasannya tersebut serta berupaya melampauinya. Akan tetapi, benturan antarkesadaran dalam relasi interpersona melumpuhkan segala posibillitas tersebut. Semakin manusia sadar akan kebebasannya, semakin ia menyadari kebebasan orang lain. Akibatnya, manusia gagal melampaui faktisitas keberadaannya sebagai objek dari keberadaan dan ideologi orang lain.

Faika Burhan pada tahun 2012 menulis tesis dengan judul Eksistensi Perempuan dalam Dwilogi Novel Padang Bulan dan Cinta di Dalam Gelas Karya Andrea Hirata. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh fenomena kehidupan sosial perempuan yang termarjinalkan dalam masyarakat. Dalam karya sastra perempuan juga terjebak dalam mistik femininitas yang membatasi gerak mereka. Akibatnya perempuan terlampau jatuh ke dalam imanensi yang mencegahnya menuju transendensi untuk pencapaian eksistensi diri. Akan tetapi, melalui fase-fase kejatuhan hidup, perempuan mampu bangkit untuk merenungkan keberadaan dirinya kemudian tampil berjuang dan mendobrak tabu yang melemahkan posisinya. Adapun permasalahan yang muncul adalah proses penemuan eksistensi diri perempuan setelah melewati fase-fase kejatuhan hidup serta wujud

(14)

pemberontakan dan solidaritas mereka dalam grup untuk mempertahankan eksistensinya. Permasalahan tersebut dianalisis menggunakan teori feminis eksistensialis Simon de Beauvoir dan Jean-Paul Sartre mengenai kehadiran perempuan sebagai en-soi (ada dalam dirinya) dan pour-soi (ada untuk dirinya) menuju eksistensi diri dan didukung metode analisis dialektik Lucient Goldmann untuk melihat kedudukan karya sastra sebagai fakta kemanusiaan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa perempuan yang bebas mampu mencapai eksistensinya sebagai manusia. Ketika seorang perempuan mampu bereksistensi, maka ia telah menciptakan eksistensi untuk perempuan lainnya. Setiap pilihan yang dia jalani merupakan citra yang dia bangun untuk dirinya dan dunia. Kehadirannya merupakan inspirasi sekaligus mejadi simbol untuk kebangkitan perempuan di sekelilingnya. Ia menjadi ada dan menjadikan yang lainnya merasa ada.

Dari penelitian di atas, penulis melihat bahwa tidak ada penelitian yang menggunakan teori Eksistensialisme Jean-Paul Sartre dan mengangkat novel Pengakuan Eks Parasit Lajang karya Ayu Utami sebagai objek material. Berdasarkan hal tersebut, peneliti berinisiatif untuk melakukan penelitian yang berjudul Eksistensi Perempuan dalam Novel Pengakuan Eks Parasit Lajang karya Ayu Utami untu melengkapi penelitian-penelitian yang terdahulu.

1.6 LANDASAN TEORI

“Eksistensialisme” yang berasal dari kata “eksistensi” dalam bahasa Indonesia dapat ditelaah dan didefinisikan melalui dua cara. Pertama, secara

(15)

harfiah yakni sesuai dengan kaidah-kaidah tata bahasa yang berlaku, dan kedua, mengacu pada salah satu bentuk gerakan pemikiran yang ada dalam filsafat. Secara harfiah kata “eksistensi” yang dalam bahasa Inggris adalah “existence” merupakan sebuah kata benda yang berarti “state of existing ...” dan dengan kata kerja intransitif “exist” dengan pengertian “be real..”, berasal dari bahasa latin “existo” dan “exister”. Dalam bahasa Prancis, “existo” terdiri dari “ex” dan “sisto” yang berarti to stand. Kesemuanya dalam bahasa Indonesia secara harfiah berarti “ada”, “adanya”, “hidup”, “kehidupan”, “keadaan hidup”, “berdiri”, “keadaan berdiri”, “keadaan meng-Ada”, atau “berada”. Adapun imbuhan –isme di belakang kata tersebut mengacu pada pengertian aliran, ajaran, atau pemahaman. Dengan demikian, apabila secara harfiah diterjemahkan, eksistensialisme akan berarti suatu aliran, ajaran atau pemahaman mengenai “ada”, “hidup”, “kehidupan”, atau “berada”.

Definisi secara harfiah di atas belum mampu merepresentasikan maksud dari eksistensialisme karena definisi harfiah tersebut terlalu luas. Dengan demikian definisi eksistensialisme yang mengacu pada salah satu bentuk gerakan pemikiran yang ada dalam filsafat sangat perlu dipaparkan. Bentuk gerakan pemikiran yang ada dalam filsafat yang diangkat dalam tulisan ini adalah Filsafat Eksistensialisme Jean Paul Sartre.

Tesis Sartre dalam What is Literature? Dirumuskan demikian: pengarang bertanggung jawab dalam setiap karyanya untuk melaksanakan pembebasan secara konkret dari situasi yang spesifik. Sastra, diterapkan secara tepat, dapat

(16)

menjadi sarana untuk membebaskan pembacanya dari bentuk-bentuk alienasi yang berkembang dalam situasi partikular (Wibowo, 2011: 92).

Bagi Sartre prosa adalah utilitarian: menggunakan kata-kata untuk menunjuk, memperlihatkan, memerintah, menolak, menyisipkan, meminta, menghina, membujuk, dan menyindir. Hakekat kata-kata di tangan penulis prosa adalah alat untuk menunjukkan makna dunia (Wibowo, 2011: 101).

Wibowo (2011: 94) berpendapat bahwa teori sastra Sarte memiliki kedekatan gagasan dengan Being and Nothingness. Sartre menempatkan kebebasan sebagai tema sentral dalam teorinya mengenai sastra. Kebebasan manusia adalah kesadaran bahwa dirinya adalah subjek yang membedakan diri dari objek. Tatapan manusia mengobjekkan apapun yang dipandangnya. Kebebasan manusia menciptakan dunia. Manusia pada dasarnya ingin menjadi subjek tunggal atas dunia ini. Akan tetapi, ia menemukan manusia lain yang juga ingin menjadi subjek. Oleh karena itu, di hadapan yang lain Aku adalah objek. Manusia hidup dalam kecemasan antara menghidupi kutuk kebebasan (berarti menjadi pour-soi) atau menolak untuk menghidupi kebebasan (menjadi être-en-soi).

Untuk dapat menjelaskan eksistensi perempuan dan mengetahui pesan pengarangnya dalam novel Pengakuan Eks Parasit Lajang karya Ayu Utami, penulis menggunakan beberapa konsep yang ditawarkan Jean-Paul Sartre dalam penelitian ini. Konsep-konsep Sartre tersebut antara lain sebagai berikut.

(17)

1.6.1 Kebebasan Manusia

Jean-Paul Sartre menawarkan sebuah definisi mengenai eksistensi dalam esainya tahun 1946, Eksistensialisme adalah Humanisme. Menurutnya, seorang eksistensialis adalah orang yang percaya dan bertindak berdasarkan dalil “Eksistensi mendahului esensi”. Sesuatu barulah dapat dimaknai ketika sesuatu tersebut “ada” terlebih dahulu. Sebagai mana yang dikatakan Sartre (2002: 44-45) pertama-tama manusia ada, berhadapan dengan dirinya sendiri, terjun ke dalam dunia—dan barulah setelah itu ia mendefinisikan dirinya. Ia tidak akan menjadi apa-apa sampai ia menjadikan hidupnya ‘apa-apa’. Manusia adalah bukan apa-apa selain apa yang ia buat dari dirinya sendiri.

Ada dalam pengertian Eksistensialisme bukanlah bersifat umum, ia bukanlah Ada di atas segala-galanya, tetapi ia bermakna khusus dalam diri manusia. Menurut Sartre “ada” itu hanya “Ada bagi dirinya sendiri yang juga merupakan Ada yang berkesadaran” (Être-pour-soi) dan “Ada dalam dirinya sendiri yang juga merupakan Ada yang tidak berkesadaran” (en-soi). Être-en-soi itu menjadi satu dengan dirinya sendiri. Être-Être-en-soi ‘ada-begitu-saja’, tanpa dirasa, tanpa campur tangan pihak lain dan tidak dapat diasalkan pada sesuatu yang lain.

Être-en-soi adalah benda-benda, objek, yang memiliki kesatuan mutlak dengan dirinya sendiri. Benda-benda itu ada begitu saja, ada pada dirinya sendiri. Ada-nya benda-benda itu tidak dapat dilukiskan dengan kategori potensi. Sedangkan être-pour-soi menunjuk pada manusia atau kesadaran. Kesadaran saya akan sesuatu menyatakan adanya perbedaan antara saya dengan sesuatu itu. Saya

(18)

tidak sama dengan sesuatu yang saya sadari. Ada jarak antara saya dan objek yang saya lihat.

Kattsoff (Nugroho, 2013:61) berpendapat bahwa eksistensi atau berada bagi Sartre haruslah konkret. Berada tidak dapat dipikirkan, berada hanya dapat dialami. Sebaliknya esensi merupakan hakikat. Esensi dapat pula didefinisikan sebagai suatu hal, ide mengenai suatu hal, sifat dasar, fungsi atau program atas sesuatu. Segala sesuatu yang bereksistensi pastilah beresensi, namun segala sesuatu yang beresensi belum tentu bereksistensi.

Bagi Sartre (2002: 44-45) seorang eksistensialis memandang dirinya sebagai eksistensi yang tidak dapat didefinisikan karena ia tahu ia memulai hidup atau eksistensinya dari ia yang bukan apa-apa. Ia tidak akan menjadi apa-apa sampai ia menjadikan hidupnya apa-apa. Manusia adalah manusia itu sendiri. Begitu pula dengan perempuan. Perempuan bukanlah apa yang disematkan padanya oleh apa yang ada di luar dirinya. Bukan bahwa ia adalah apa yang ia anggap sebagai dirinya, tetapi ia adalah apa yang ia inginkan. Perempuan yang juga merupakan manusia, sama dengan laki-laki, adalah bukan apa-apa selain apa yang ia buat dari dirinya sendiri.

Sartre menambahkan (2002: 45) bahwa manusia pertama-tama ada–yaitu bahwa, di atas segalanya, manusia adalah segala sesuatu yang meluncurkan diri ke masa depan dan menyadari bahwa ia melakukannya. Dengan demikian, manusia adalah sebuah proyek, yang memiliki kehidupan subyektif. Manusia menjadi ada apabila ia menjadi apa yang ia inginkan. Begitu pula dengan perempuan yang juga manusia, sama dengan laki-laki. Perempuan bukanlah semata-mata objek

(19)

bagi laki-laki. Sebagai manusia, ia memiliki derajat yang sama dengan laki-laki yang subjektif dan berhak bebas melakukan dan menjadi apa yang diinginkan.

Filsafat eksistensialisme ini sebagaimana dikatakan Sartre (2002: 46) menempatkan manusia pada posisinya sebagai dirinya sendiri, dan meletakkan keseluruhan tanggung jawab hidupnya sepenuhnya di pundak manusia itu sendiri. Dengan demikian, perempuan juga memiliki kebebasan penuh atas dirinya. Dirinya adalah apa yang ditentukan oleh dirinya sendiri, bukan oleh orang lain. Seorang perempuan bebas membentuk dirinya menjadi apa yang ia inginkan.

Dengan demikian untuk memahami manusia haruslah mendekatinya sebagai subyektivitas. Sartre (2002: 46-47) melihat subyektivitas menjadi dua sisi. Di satu sisi subyektivitas berarti kebebasan subyek-subyek individual dan di sisi lain bahwa manusia tidak dapat melampaui subjektivitas. Adalah yang kedua yang memiliki makna eksistensialisme yang mendalam. Apabila kita mengatakan manusia memilih dirinya sendiri, ini tidak berarti bahwa setiap orang di antara kita harus memilih dirinya sendiri, tetapi juga bahwa dalam memilih untuk diri sendiri manusia memilih untuk semua. Memilih keputusan ini atau itu pada saat yang sama adalah penegasan nilai yang kita pilih, karena kita tidak pernah memilih pilihan yang buruk. Apa yang kita pilih selalu pilihan yang paling baik; dan tidak ada satu pilihan pun yang lebih baik bagi kita kecuali pilihan-pilihan yang lebih baik bagi sesama manusia.

Sartre (Hassan, 1976: 103) berpendapat bahwa manusia sebagai pencipta dirinya sendiri tidak akan selesai-selesai dengan ikhtiarnya itu. Sebagai eksistensi yang ditandai oleh keterbukaan menjelang masa depannya, maka manusia pun

(20)

merencakan segala sesuatu bagi dirinya sendiri. Manusia tidak lain adalah rencananya sendiri; ia meng-Ada hanya sejauh menempuh dirinya sendiri; oleh karenanya, maka ia tidak lain daripada kumpulan tindakan-tindakannya, tidak lain daripada hidupnya sendiri. Ini mengandung arti bahwa manusia bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Manusia bebas memilih apa yang baik dan tidak baik bagi dirinya sendiri dan itu adalah pilihannya sendiri. Dalam memilih, ia tidak bisa menggantungkan dan mempersalahkan orang lain atau pun Tuhan. Ada tidaknya Tuhan tidak akan mengubah penghayatan manusia tentang dirinya sebagai eksistensi. Dirinya sendirilah yang bertanggung jawab atas apa yang terjadi atas dirinya, bukan orang lain atau pun Tuhan sekalipun.

Sartre (2002: 80) seakan ingin mengatakan bahwa nasib manusia terletak di tangan manusia itu sendiri. Filsafat ini tidak menghalang-halangi manusia untuk bertindak, malahan mengatakan bahwa tidak ada harapan kecuali dalam apa yang manusia lakukan. Manusia tiba-tiba mengada di dunia ini, terbuang dan terasing berikut di bebankan untuk menciptakan nilai, norma dan tujuan bagi hidupnya sendiri tanpa patokan dan pegangan apapun. Oleh karenanya, kehidupan manusia merupakan perihal yang absurd: aneh, tak dapat dijelaskan (Sartre dalam Nugroho, 2013:79). Bagi manusia yang sadar akan eksistensinya, maka tidak ditemui hukum, nilai berikut norma yang mapan laiknya berbagai hukum dan aturan yang disepakati dan diyakini masyarakat.

Tidak ada alat atau sarana untuk menilai. Karena isi moralitas selalu konkret, dan oleh karena itu tidak dapat diprediksikan. Isi moralitas selalu harus ditemukan (Sartre, 2002: 99). Diri kita sendiri yang menentukan moralitas atas

(21)

diri kita. Sartre (2002:102) mengatakan bahwa “Hidup adalah kekosongan sampai manusia menghidupi. Adalah tugas Anda untuk memberi makna atas hidup tersebut. Dan makna hidup tidak dapat lain adalah makna yang Anda pilih. Dengan demikian, diri kita sendirilah yang memaknai hidup kita. Kita lah yang mengisi kehidupan kita dengan tindakan-tindakan dan pilihan-pilihan yang kita pilih, bukan orang tua, keluarga, teman, atau pun yang lainnya.

Adapun manusia yang menerima begitu saja apa yang ada dalam hidupnya maka dia sama saja dengan orang yang melarikan diri dari kebebasan. Keadaan ini oleh Sartre dinamakan keyakinan yang buruk atau mauvaise foi. Pilihan yang kedua ini membimbing manusia hidup dalam kepasifan, penarikan diri, dan kekalahan. Dalam cara mauvaise foi, manusia berpura-pura telah cukup diri (menjadi être en-soi) seolah yang lain sama sekali tidak dapat menyentuhnya. Untuk lari dari tanggung jawab kebebasan, manusia dapat menghayati hidup dalam ada-bagi-yang-lain (being-for-others); manusia hidup seturut keinginan orang lain pada dirinya. Orang bisa ikut arus yang ramai begitu saja. Pilihan untuk berkompromi atau menyerahkan diri dipandang sebagai sikap menolak hidup dalam kebebasan (Wibowo, 2011: 94-95).

Dalam meraih kebebasan manusia yang mutlak, manusia tidak dihadapkan pada batas-batas yang mengurangi kebebasan, akan tetapi manusia dihadapkan pada kefaktaan atau faktisitas yang yang menyebabkan kurangnya penghayatan kebebasan. Sartre menyebutkan beberapa hal yang merupakan kefaktaan yang tidak dapat ditiadakan. Kefaktaan tersebut antara lain: 1) tempat, 2) masa lalu, 3) lingkungan sekitar, 4) orang lain dengan eksistensinya masing-masing, dan 5)

(22)

maut. Faktisitas tidak memiliki makna, sumber makna ada pada keputusan di pihak individu. Selalu ada interpretasi-interpretasi alternatif dari makna yang ada.

1.6.2 Tubuh sebagai Wujud Eksistensi

Sartre mempopulerkan tubuh ide yang berakar dari filsafat G.W.F. Hegel Edmund Husserl, dan Martin Heideger. Poin yang paling penting dari ide ini adalah penggambaran Hegel mengenai psike sebagai “jiwa yang teralienasi sendiri”. Hegel melihat bahwa kesadaran berada dalam arena terbagi. Di satu sisi, ada ego yang mengamati. Di sisi lain, ada Diri yang imanen, atau ego yang diamati. Sartre membuat perbedaan antara pengamat dan yang diamati dengan membagi Diri ke dalam dua bagian, yaitu Ada untuk dirinya sendiri (pour-soi) dan Ada dalam dirinya sendiri (en-soi). Ada untuk dirinya sendiri (pour-soi) mengacu kepada kehadiran yang bergerak dan berkesadaran, yang hanya dimiliki oleh manusia (Tong, 2010: 255).

Perbedaan antara Ada dalam dirinya sendiri dan Ada untuk dirinya sendiri berguna dalam melakukan anakrenalisis tentang manusia, tertutama jika kita mengasosiasikan Ada dalam dirinya sendiri dengan tubuh. Tubuh mempunyai kehadiran yang konstan dan objektif. Karena tubuh dapat dilihat, disentuh, didengarkan, dicium, dan dirasakan, tubuh adalah objek yang dilihat. Sebaliknya yang melihat—entitas yang melakukan tindakan melihat menyentuh, mendengar, mencium, dan merasakan—bukanlah objek yang semata-mata dapat dilihat, melainkan menurut Sartre, masih mempunyai sejenis ke-Ada-an; Ada untuk dirinya sendiri. Bagi Sartre, apa yang memisahkan ke-Aku-an seseorang—

(23)

kesadaran seseorang atau pikiran seseorang—dari tubuhnya, secara paradoks, adalah tidak ada sama sekali (Tong, 2010: 255).

Tubuh bagi aliran feminisme radikal adalah persoalan mendasar yang menunjukkan bahwa perempuan berbeda dari laki-laki, dan bahwa perbedaan itu bukan hanya berlaku paralel tetapi lebih bersifat superior. Persoalan tubuh dan hubungannya dengan kontruksi masyarakat juga terlihat dalam apa yang disebut sebagai sex/ gender distinction yang dikemukan oleh Gayle Rubin. Dalam konsep ini, seks dimaknai sebagai sesuatu yang kodrati. Tubuh menjadi kodrat dan fakta bahwa seseorang itu adalah perempuan. Gender adalah konstruksi masyarakat yang menempatkan, memosisikan subjek dengan tubuh perempuan dengan “keharusan” untuk memiliki gender yang sama dengan tubuhnya. Gender bagi subjek perempuan adalah feminin. Feminitas ini tidaklah kodrati dan karena itu dapat berbeda-beda dari satu budaya ke budaya lain. Apa pun juga, secara kasar dalam logika ini, menjadi terdiri dari dua lapisan yang membentuknya menjadi seorang tertentu (Prabasmoro, 2007: 43-44).

Jika seseorang tidak dilahirkan sebagai perempuan, maka menjadi perempuan adalah sesuatu yang tidak kodrati. “Menjadi perempuan” adalah proyek untuk terus “menjadi” dan menghasilkan sesuatu dari dirinya/ tubuhnya/ situasinya. Karena itu “menjadi perempuan” atau fakta bahwa saya adalah seorang perempuan bukanlah sesuatu yang ajeg dan stabil, tetapi lebih merupakan sesuatu yang selalu bergerak dan dalam tahap relatif bagaimana seseorang subjek perempuan menghasilkan sesuatu dari dirinya (Prabasmoro, 2007: 44-45).

(24)

Eksistensi kehadiran selalu menjelma sebagai wujud yang bertubuh. Tubuh kita mengukuhkan kehadiran kita, bukan saja bagi diri kita sendiri, akan tetapi juga bagi orang lain. Eksistensi yang kita hayati sebagai ketubuhan ini berarti bahwa kita menyadari tubuh kita sebagai sesuatu yang melekat pada eksistensi kita, bukan sebagai menjadi satunya jiwa dan raga, melainkan sebagai sesuatu yang memang tunggal dan tak bisa dipisahkan satu sama lain.

Eksistensi sebagai ketubuhan itu membawa kelanjutan, bahwa kita menghayati tubuh kita sebagi pusat dari dunia yang kita diami, yaitu kita diami dengan penuh penghayatan ketubuhan tadi. Oleh karena itu ketubuhan itu pun menjadi suatu titik orientasi kita. Sartre (Hassan, 1978: 113) mengatakan:

“My body is coextensive to the world and at the same time condensed into the nucleus wich I am and to which all things point.”

[Tubuhku koekstensif ke dunia dan sekaligus menjadi padat sebagai inti, yaitu Aku yang diarah oleh segala sesuatu].

Dengan demikian tubuh bukan sekadar memiliki ciri instrumental yang hanya disadari sewaktu diperlukan. Ketubuhan memang bisa kita sadari sebagai alat yang kita miliki, akan tetapi juga sebagai sesuatu yang sekaligus mengukuhkan kehadiran kita sebagai eksistensi.

Tubuh merupakan bagian yang tak terpisahkan dari eksistensi diri diperlakukan sama dengan konsep eksistensi mendahului esensi. Bukan esensi mendahului eksistensi. Tubuh terlebih dahulu disadari keberadaannya barulah muncul definisi atau fungsi tentang tubuh. Diri kita sendiri yang menyadari akan keberadaan tentang tubuh yang akan memberikan esensi terhadap tubuh. Manusia dengan tubuhnya bereksistensi dengan menyadari keberadaan tubuhnya yang ada pada dirinya, menyatu dengan dirinya untuk kemudian memberi definisi terhadap

(25)

tubuhnya sesuai dengan apa yang ia inginkan. Esensi akan tubuh “lahir” setelah keberadaan tubuh itu hadir. Jika esensi tubuh hadir sebelum keberadaan tubuh maka tubuh tersebut tidaklah eksis, termasuk individu sebagai pemilik tubuh tersebut juga tidak bereksistensi.

Tubuh sebagai wujud eksistensi perempuan menolak definisi tentang tubuh yang berasal dari luar dirinya. Definisi tentang tubuh itu sendiri hadir dari pemilik tubuh, manusia, yang menyadari bahwa dialah yang mendefinisikan sendiri tubuhnya. Ia dengan bebas memperlakukan tubuhnya. Tubuhnya yang merupakan bagian dari dirinya sendiri yang eksis, yang bebas dan tidak terikat oleh aturan dan definisi yang sudah ada sebelum ia lahir. Kalaupun perempuan memperlakukan dan atau mendefinisikan tubuhnya sama dengan apa yang didefinisikan oleh masyarakat sosialnya, selama itu merupakan pilihan dan keputusan yang datang dari dirinya dan bukanlah suatu tindakan melepaskan tanggung jawab dirinya sebagai manusia yang bebas, hal tersebut tidaklah menggeser kedudukannya sebagai yang bereksistensi. Hal ini dikarenakan keputusan untuk memilih mendefinisikan atau memberi esensi kepada tubuhnya dilakukan atas dasar kesadaran dirinya yang sudah ada terlebih dahulu, bukan menerima esensi dari “luar” dirinya begitu saja.

Begitu pula halnya dalam cinta. Cinta tak bisa dipisahkan dari konflik untuk berkuasa atas tubuh seseorang. Sartre (Nugroho, 2013:81) melihat cinta sebagai bentuk lain pengobjekkan terhadap orang lain maupun diri sendiri secara “pasrah”. Ia mendaulat cinta sebagai tanda “kegagalan” seseorang untuk mempertahankan dirinya sebagai “subyek”. Orang yang mencintai pada

(26)

hakekatnya hendak memiliki dunia orang yang dicintai, mengobyekkan serta meminta menyerahkan dunia segenap dirinya secara “bulat-bulat”. Hasrat seksual merupakan upaya “mereduksi” orang lain sebagai “tubuh” atau “daging” semata. Cinta sebagai media penguasaan atas seseorang secara halus (Nugroho, 2013: 82-83). Sartre (dalam Nugroho, 2013:85) menegaskan dua kemungkinan: “diobjekkan” atau “mengobjekkan”. Pemenang adalah mereka yang mampu mengobjekkan individu di sekelilingnya terlebih dahulu. Konsep dan eksistensialisme Sarte berpijak pada sengketa dan konflik yang “selalu” terjadi antarmanusia di mana “kebebasan mutlak” melingkupinya (Nugroho, 2013:86).

1.6.3 Neraka adalah orang lain

Salah satu kekhususan dalam filsafat Sartre ialah betapa besarnya ia mencurahkan perhatian pada orang lain sebagai kenyataan. Sartre menyebut orang lain adalah neraka. Sartre (Hassan, 1978:113) berkata:

“So this is hell. I’d never have believed it. You remember all we were told about torture chambers the fire and brimstone, the burning marl. Old wives’ tales! There’s no need for redhot pokers. Hell is other people!” [Jadi inilah Neraka. Aku tak pernah akan percaya. Kau ingat apa yang diceritakan kepada kita tentang kamar-kamar siksaan, api dan belerang, tanah napal yang menyala. Dongengan nenek-nenek tua belaka! Kita tidak memerlukan besi yang panas membara. Neraka adalah orang lain!].

Selain kedua bentuk ke-Ada-an, yaitu Ada dalam dirinya sendiri dan Ada untuk dirinya sendiri, Sartre juga menambahkan Ada yang ketiga, yaitu Ada untuk yang lain. Sartre menggambarkan modus keadaan ini dalam dua bentuk. Pertama, secara positif atau sebagai Mit-Sein; sebagai ada yang komunal. Kedua, secara negatif, yaitu Ada dengan melibatkan konflik personal. Karena setiap Ada untuk dirinya sendiri dengan secara langsung atau pun tidak langsung menjadikan yang

(27)

lain sebagai objek. Karena setiap Ada untuk dirinya sendiri membangun dirinya sendiri sebagai subjek, sebagai Diri, tepat dengan mendefinisikan Ada Liyan sebagai objek, sebagai Liyan. Tindak kesadaran membentuk sistem yang secara fundamental merupakan relasi sosial yang konfliktual. Dengan demikian, proses definisi diri adalah proses untuk menguasai Ada Liyan. Dalam menempatkan dirinya sebagai Diri, setiap Diri menggambarkan dan mengatur peran bagi Liyan. Lebih dari itu, setiap subjek membangun dirinya sendiri sebagai transenden dan bebas serta memandang Liyan sebagai imanen dan diperbudak (Tong, 2010: 255-256).

Menurut Sartre (Tong, 2010: 259) hubungan antar manusia adalah variasi dari dua bentuk dasar tema konflik; konflik antara kesadaran yang saling bersaing, yaitu antara Diri dan Liyan. Pertama, ada cinta, yang pada dasarnya bersifat masokistik. Kedua, ketidakpedulian, hasrat, dan kebencian, yang pada dasarnya bersifat sadistik.

Kehadiran orang lain merupakan sumber malapetaka bagi seorang subyek. Kehadiran orang lain dengan tatapannya sungguh membuat seseorang yang ditatapnya tidak bebas, cemas, khawatir, terutama atas penilaian dan pandangannya atas dirinya. Orang lain selalu dipandang sebagai obyek pengamatan kita. Orang lain tampil di hadapan kita seolah-olah dia bukanlah subyek tapi obyek. Padahal, orang lain itu adalah subjek dan memasuki dunia pribadi kita. Munculnya orang lain dalam dunia yang kita diami sekaligus juga bahwa monopoli saya atas dunia yang saya diami itu diterjang orang lain.

(28)

“Dunia” yang saya diami sendiri tiba-tiba rusak oleh kehadiran orang lain. Sebagai mana saya yang menjadi subyek pada dunia saya menjadi terganggu ketika orang lain hadir dengan dirinya yang juga menjadi subyek atas dunia yang tadinya “milik” saya. Pertemuan dengan orang lain akan berpotensi membentuk “penilaian” atau pun “menstruktur” eksistensi saya.

Saat kita berhadapan dengan orang lain, dunia ini bukanlah “milik” kita sendiri karena kita dihadapkan pada orang lain dengan “dunianya” yang juga merupakan bagian dari dunia kita. Orang lain itu seolah-olah “merusak” dunia saya dengan menyusun dunianya sendiri yang sebenarnya juga dunia saya. Tidak hanya itu, pandangannya yang diarahkan kepada saya menjadikan saya menjadi objek bagi dirinya.

Dalam Being and Nothingness, Sartre mendeskripsikan hal tersebut dengan peristiwa yang dialaminya di sebuah taman. Suatu kali, Sartre tengah duduk seorang diri di bangku taman sembari menikmati pemandangan di sekitarnya. Kesendiriannya di taman membuatnya merasa sebagai pemilik taman tersebut. Akan tetapi, tiba-tiba saja ada orang lain yang datang memasuki taman tersebut. Taman yang tadinya dirasa milik Sartre sendiri, kini berubah karena kedatangan orang lain. Taman itu kini “terasa” bukan lagi miliknya karena harus berbagi dengan orang lain. Tidak hanya itu, dengan tatapan orang lain itu kepada Sartre membuatnya yang tadinya menjadi subyek, kini menjadi objek bagi orang lain yang menatapnya.

Mengingat entitas manusia, orang lain, sebagai être pour-soi yang berkesadaran, maka orang lain bukanlah sebuah benda yang diam dan pasrah. Ia

(29)

akan dengan bebas dapat “mengobjekkan” dan memberikan “penilaian” pada kita pada saat dia memandang kita. Di sisi lain, tak dapat dipungkiri kita yang juga sebagai être pour-soi menjadikan orang lain tersebut sebagai objek. Pertemuan kita dengan orang lain akan menghadirkan konflik di mana antara “saya” atau “dia” akan saling mengobjekkan hingga diakhiri dengan ada yang menjadi “subjek” dan ada yang menjadi “objek”. Dengan demikian hal tersebut mengancam eksistensi diri.

Penilaian orang lain juga berpengaruh terhadap penilaian kita tentang diri kita sendiri dan mampu “mengganggu” eksistensi kita. “Ketika kita berpikir mengenai diri kita sendiri, ketika kita mencoba mengenal diri kita, pada dasarnya kita menggunakan pengetahuan mengenai diri kita yang sudah dimiliki oleh orang lain. Kita menilai diri kita dengan cara yang dipakai dan diberikan oleh orang lain untuk melihat diri kita. Apa pun yang saya katakan mengenai diri saya, penilaian orang lain pasti sudah masuk di dalamnya. Apa pun yang saya rasakan mengenai diri saya, penilaian orang lain pasti sudah masuk di dalamnya. Ini berarti bahwa kalau relasi saya dengan orang lain buruk, saya menempatkan diri saya dalam ketergantungan total pada orang lain. Kalau demikian saya sungguh-sungguh dalam neraka (Wibowo, 2011: 177-178).

1.7 METODE PENELITIAN

Metode umum yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Bagdan dan taylor (via maleong, 2007: 4) menyatakan bahwa penelitian

(30)

kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati.

Metode khusus didasari pada pemaknaan sartre dalam sastra, yakni sastra yang baik adalah sastra yang mengandung keterlibatan pengarang. Sastra, bagi Sartre, harus membimbing pembaca pada kebebasan yang lebih purna karena dunia semakin ternyatakan (revealed). Pembacaan tidak lain daripada proses dialogis antara kebebasan pengarang-pembaca yang kreatif untuk mencipta dunia. Sastra harus melibatkan masalah-masalah sosial; sastra memikul tanggung jawab etis. Sastra adalah alat pembawa kesadaran akan dunia. Penulisnya memiliki panggilan sosial yang harus dilaksanakan dengan media tulisan.

Jadi, teks dipahami sebagai manifestasi dari dunia manusia yang telah terkondisi oleh bahasa yang mengandung gambaran mengenai ideologi si penulis dan dunia yang ditinggalinya. Teks merupakan discourse aktif yang bertujuan untuk menyampaikan pesan, isu, gagasan, mengenai situasi sosial pada periode tertentu. Teks akan mengantarkan kita kepada objek, sehingga melihat secara rinci ke mana atau terhadap apa kata-kata tersebut merujuk untuk mengetahui hal-hal yang dikomunikasikan pengarang dan pernyataan apa yang muncul dari hal-hal yang dikomunikasikannya. Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji isu eksistensi perempuan yang diangkat Ayu Utami sebagai pengarang yang dilatarbelakangi oleh kondisi perempuan yang selama ini sebagian besar perempuan hanya menjadi objek bagi laki-laki sehingga membuat perempuan kehilangan dirinya sebagai subjek, sebagai manusia yang bebas di tengah

(31)

lingkungan sosial dan agama yang membatasi kebebasan perempuan sebagai manusia.

1.7.1 Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini teknik pengambilan data dilakukan secara kualitatif yaitu data yang dihasilkan bersifat mendeskripsikan secara detail segala sesuatu yang dianggap relevan dengan sumber kajian. Sumber data primer penelitian ini adalah novel PEPL karya Ayu Utami karya Ayu Utami yang juga merupakan objek material penelitian ini. Novel ini merupakan cetakan kedua yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia pada bulan Mei tahun 2013 dengan tebal 307 halaman. Novel ini diasumsikan mampu menyuguhkan fenomena sosial mengenai eksistensi perempuan dan cara perempuan bereksistensi dalam lingkungan keluarga, sosial kemasyarakatan, dan agama serta mampu menunjukkan pesan pengarangnya.

Data dalam penelitian ini adalah semua hal yang berupa satuan-satuan linguistik dalam novel yang berhubungan dan menunjukkan proses eksistensi perempuan. Pengambilan data akan dilakukan dengan metode penganalisisan langsung kepada objek kajian. Semua hal yang berupa satuan-satuan linguistik dalam novel yang berhubungan dan menunjukkan proses eksistensi perempuan yang dikumpullkan melalui pembacaan, pengkategorian, dan penganalisisan unsur-unsur formal seperti tokoh, plot, setting, simbol diksi, dan lain-lain dengan mengaplikasikan konsep-konsep teori eksistensialisme yang dikemukakan oleh Sartre.

(32)

Selain itu, penulis juga menggunakan sumber data sekunder berupa referensi tertulis berupa buku, majalah, laporan penelitian, jurnal, serta artikel-artikel yang berhubungan dengan penelitian. Data sekunder ini berfungsi sebagai pendukung dalam menjelaskan eksistensi perempuan dan pesan pengarang dalam novel tersebut.

1.7.2 Metode Analisis Data

Metode analisis data dilakukan dengan beberapa tahap. Pertama, menentukan konsep-konsep yang dianggap sebagai titik konsentrasi untuk dianalisis. Konsep-konsep tersebut berasal dari gagasan-gagasan eksistensialisme Sartre, yakni kebebasan manusia, tubuh sebagai wujud eksistensi, dan neraka adalah orang lain. Kedua, pemilihan data dari novel dan dikelompokkan berdasarkan konsep-konsep yang telah dikemukakan. Selanjutnya, dianalisis berdasarkan konsep-konsep tersebut. Analisis difokuskan untuk melihat bagaimana eksistensi perempuan dalam lingkungaan sosial dan lingkup agama serta melihat cara perempuan sebagai manusia yang bebas memberikan esensi terhadap dirinya dan menentang esensi yang disematkan kepada dirinya oleh sesuatu di luar dirinya. Kemudian, dengan menghubungkan hasil analisis dari teks-teks dalam novel dan ditambah dengan data sekunder yang berhubungan dengan pengarang, maka akan dapat diketahui pesan pengarang dalam novel ini.

Secara rinci, deskripsi langkah kerja dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. Pertama, membaca novel PEPL karya Ayu Utami untuk mengetahui gambaran umum cerita dan membaca teori eksistensialisme Sarte yang nantinya digunakan sebagai cara berpikir untuk mencari dan mengelompokkan data yang

(33)

akan dianalisis. Kedua, membaca kembali novel tersebut secara cermat dan teliti untuk menemukan satuan-satuan linguistik yang berhubungan dengan keadaan dan kondisi perempuan yang dihubungkan dengan eksistensi dirinya sebagai manusia, termasuk mitos-mitos yang dapat membuat perempuan tidak mampu bereksistensi baik di lingkungan keluarga, masyarakat maupun yang terdapat dalam ajaran agama. Ketiga, membagi data-data primer tersebut dan mengelompokkannya. Keempat, menganalisis data yang telah dibagi dan dikelompokkan antara lain dengan cara: a) menghadirkan mitos-mitos yang membuat perempuan kehilangan eksistensinya disertai dengan contoh-contoh dalam novel yang menghadirkan perempuan yang terpengaruh dan percaya dengan mitos tersebut disertai dengan penjelasan dan analisis yang menyebabkan perempuan-perempuan tersebut mempercayai dan terpengaruh mitos-mitos tersebut. b) menghadirkan perempuan yang berani menentang mitos-mitos tersebut sebagai bentuk perlawanannya sebagai manusia yang bereksistensi. c) memaparkan cara perempuan untuk dapat bereksistensi dan menunjukkan kebebasannya yaitu dengan cara menyadari keberadaannya yang bebas dan penciptaan nilai atas dirinya sendiri, sebagai subjek di dunia ini dan dihubungkan dengan keberadaan orang lain. d) dari hasil analisis di atas dan ditambah dengan data sekunder yang berhubungan dengan pengarang novel, penulis akan mencari tahu pesan pengarang dalam novel ini. Setelah semua langkah-langkah di atas dilaksanakan, penulis pada akhir penelitian ini akan menyimpulkan hasil penelitian ini.

(34)

Berikut adalah bagan langkah kerja penelitian pembacaan Karya sastra Novel Pengakuan Eks Parasit Lajang karya Ayu Utami Kebebasan manusia Tubuh sebagai wujud eksistensi Neraka adalah orang lain

Eksistensi Perempuan dalam novel Pengakuan Eks Parasit Lajang karya Ayu Utami

Tubuh perempuan sebagai wujud eksistensi Pesan pengarang Menciptakan Nilai Mitos Perawan Tua Cara perempuan menemukan dan mempertahankan eksistensi Kesadaran seksualitas Teori Eksistensialisme Neraka adalah orang lain Kontingensi meninggalkan agama agama

(35)

1.8 SISTEMATIKA LAPORAN PENELITIAN

Penelitian ini terdiri dari empat bab. Bab I merupakan pendahuluan yang berisi Latar belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Tinjauan Pustaka, Landasan Teori, Metode Penelitian, Dan Sistematika Laporan Penelitian. Bab II berisi uraian tentang cara perempuan bereksistensi melalui penguasaan tubuhnya dalam lingkup masyarakat dan agama disertai pesan pengarangnya. Bab III berisi uraian mengenai cara perempuan membuat esensinya sebagai perempuan dan disertai pesan pengarangnya. Dan yang terakhir adalah Bab IV Penutup yang berisi Simpulan dan Saran.

Referensi

Dokumen terkait

dalam bagian ini adalah rnasalah-masalah yang berhubungan dengan tujuan penelitian, populaei dan aampel penelitian,.. metode penelitian, teknik pengumpulan data dan instrumen,

Warga sekitar dibawah naungan pemerintahan desa Jambangan telah membuat strategi agar obyek wisata air sumber bantal dapat dikenal, sebagai tempat tujuan wisata

13 Saya tidak suka dengan Bahasa Arab karena kaidahnya yang rumit. 14 Guru saya memotivasi saya agar belajar Bahasa Arab

jika dibandingkan dengan anak-anak dari ibu yang tidak depresi. Mereka akan mengalami kesulitan dalam belajar di sekolah. 3) Sulit bersosialisasi. Anak-anak dari ibu

Stoga, kreatori politika nisu imali kao racionalnu mogućnost zabranu upotrebe, kao što je to bio slučaj sa nekim drugim adiktivnim supstancama, već se mere kontrole

Masyarakat berharap sistem penjaminan mutu pada produk hasil perairan ini tidak hanya dilakukan sosialisasi, tetapi dilakukan pelatihan dan pendampingan pada unit pengolahan

Hasil pengamatan menujukkan bahwa semua sampel yang diambil dari pengolah pindang tongkol daerah Pelabuhan Ratu, Sukabumi, mengandung mikroba ( Table 1 ).. Prinsip pengawetan

Sebelum adanya kegiatan pelatihan ini masyarakat Desa Sumberjaya belum mengetahui macam olahan bahan baku terutama dari hasil perikanan, namun setelah dilakukan