• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Banyak ilmuwan politik sepakat bahwa kondisi penting untuk. menyukseskan transisi menuju demokrasi adalah pemilu.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Banyak ilmuwan politik sepakat bahwa kondisi penting untuk. menyukseskan transisi menuju demokrasi adalah pemilu."

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar belakang Masalah

Banyak ilmuwan politik sepakat bahwa kondisi penting untuk menyukseskan transisi menuju demokrasi adalah pemilu. Pemilu memang penting, tetapi belumlah cukup. Karena itu, Robert Dahl, mensyaratkan delapan jaminan institusional yang diperlukan untuk demokrasi.1

Pemilu mengkondisikan terselenggaranya mekanisme pemerintahan secara tertib, teratur, berkesinambungan, dan berjalan damai yang kesemuanya itu akan mengembangkan terbinanya masyarakat yang dapat menghormati pendapat orang lain.

Delapan jaminan institusional itu adalah (1) kebebasan untuk membentuk dan mengikuti organisasi; (2) kebebasan berekspresi; (3) hak memberikan suara; (4) eligibilitas untuk menduduki jabatan publik; (5) hak para pemimpin politik untuk berkompetisi secara sehat merebut dukungan dan suara; (6) tersedianya sumber-sumber informasi alternatif; (7) pemilu yang bebas dan adil; dan (8) institusi-institusi untuk menjadikan kebijakan pemerintah tergantung pada suara-suara rakyat.

2

1

Robert Dahl, Perihal Demokrasi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2001, hal. 128. 2

Ipong S. Azhar, Benarkah DPR Mandul, Bigraf Publising: Yogyakarta, 1997, hal. 5.

Bicara soal pemilu mestilah menyinggung sistem pemilu, sistem pemilu adalah seperangkat metode yang mengatur warga negara memilih para wakilnya. Dalam suatu lembaga perwakilan rakyat, seperti lembaga legislatif atau DPR/DPRD, sistem pemilihan ini bisa berupa seperangkat metode untuk menstransfer suara pemilih ke dalam suatu kursi di lembaga legislatif atau

(2)

parlemen. Sistem pemilu pula yang membantu kita untuk dapat membayangkan bagaimana kinerja dari anggota legislatif yang dihasilkannya di lembaga legislatif. Kajian mengenai hubungan wakil dengan yang diwakili lahir dari asumsi bahwa faktor-faktor hubungan wakil dengan yang diwakili mempengaruhi proses demokratisasi suatu Negara. Hal ini disebabkan terjadinya hubungan yang tidak ideal antara dua variabel tersebut. Apa yang dimaksud tidak ideal disini adalah bahwa anggota legislatif sering tidak berperan sebagai wakil dari rakyat yang diwakilinya (konstituen).

Pada tahun 1999, dengan runtuhnya rezim Orde Baru sejak gerakan reformasi dicanangkan oleh para reformis memberikan kejutan dalam pelaksanaan pemilu 1999 yaitu munculnya kembali fenomena multipartai yang selama ini dianggap telah terkubur di bawah reruntuhan Orde Lama. Reformasi politik di akhir abad ke-20 ternyata benar-benar mengubah sama sekali iklim politik masyarakat Indonesia setelah tiga dasawarsa tertekan secara sistematis oleh kebijakan represif Soeharto. Iklim politik baru ini dengan cepat mengubah rasa frustasi dan dendam terhadap rezim Soeharto dalam bentuk ledakan partisipasi di segala bidang.

Partai politik adalah salah satu bidang yang menjadi sarana penyaluran rasa kekecewaan yang nyaris tak tertahankan tersebut. Kebijakan partai politik Presiden Habibie mengubah sama sekali format politik Indonesia dari sistem partai dominan ke sistem multipartai. Munculnya partai-partai politik baru dalam jumlah yang sulit dinalar dengan akal sehat adalah wujud protes keras dari masyarakat politik yang tertekan selama puluhan tahun.

Satu hal yang sangat membedakan pemilu 1999 dengan pemilu yang sebelumnya sejak 1971 adalah pemilu 1999 ini diikuti oleh banyak sekali peserta. Peserta

(3)

pemilu 1999 adalah 48 partai politik ini sudah jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah partai yang ada dan terdaftar di Departemen Kehakiman dan HAM, yakni 141 partai.3

No

Berikut disampaikan tabel daftar partai politik peserta pemilu 1999.

Tabel 1

Partai Politik Peserta Pemilu 1999

Nama Partai Politik No Nama Partai Politik

1. Partai Indonesia Baru 25. Partai Nahdatul Ummat

2. Partai Kristen Nasional Indonesia 26. Partai Nasional Indonesia - Front Marhaenis 3. Partai Nasional Indonesia - Supeni 27. Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia 4. Partai Aliansi Demokrat Indonesia 28. Partai Republik

5. Partai Kebangkitan Muslim Indonesia 29. Partai Islam Demokrat

6. Partai Ummat Islam 30. Partai Nasional Indonesia - Massa Marhaen 7. Partai Kebangkitan Ummat 31. Partai Musyawarah Rakyat Banyak

8. Partai Masyumi Baru 32. Partai Demokrasi Indonesia 9. Partai Persatuan Pembangunan 33. Partai Golongan Karya 10. Partai Syarikat Islam Indonesia 34. Partai Persatuan

11. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 35. Partai Kebangkitan Bangsa 12. Partai Abul Yatama 36. Partai Uni Demokrasi Indonesia 13. Partai Kebangsaan Merdeka 37. Partai Buruh Nasional

14. Partai Demokrasi Kasih Bangsa 38. Partai Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong 15. Partai Amanat Nasional 39. Partai Daulat Rakyat

16. Partai Rakyat Demokratik 40. Partai Cinta Damai

17. Partai Syarikat Islam Indonesia 1905 41. Partai Keadilan dan Persatuan

3

(4)

18. Partai Katolik Demokrat 42. Partai Solidaritas Pekerja Seluruh Indonesia 19. Partai Pilihan Rakyat 43. Partai Nasional Bangsa Indonesia

20. Partai Rakyat Indonesia 44. Partai Bhinneka Tunggal Ika Indonesia 21. Partai Politik Islam Indonesia Masyumi 45. Partai Solidaritas Uni Nasional Indonesia 22. Partai Bulan Bintang 46. Partai Nasional Demokrat

23. Partai Solidaritas Pekerja 47. Partai Ummat Muslimin Indonesia

24. Partai Keadilan 48. Partai Pekerja Indonesia

Sumber: Diolah dari Komisi Pemilihan Umum Sumatera Utara

Dengan bergulirnya era reformasi sekaligus memberikan harapan pada perubahan pola hubungan wakil dengan yang diwakili yang lebih seimbang atau ideal yang selama ini telah terjadi pola yang kurang seimbang atau bahkan terjadi hegemoni partai politik terhadap anggota legislatif selama masa pemerintahan Orde Baru dengan mesin politiknya Golkar, sehingga anggota legislatif tidak menjalankan fungsinya sebagai pemegang mandat rakyat.

Pada pemilu 1999 sistem pemilu yang dipakai adalah proporsional dengan stelsel daftar atau yang sering disebut dengan sistem proporsional daftar calon tertutup, dan penentuan calon terpilih berdasarkan perolehan suara terbesar/terbanyak pada setiap daerah pemilihan yaitu kabupaten/kota. Pemilu 1999 di Sumatera Utara menempatkan PDIP sebagai pemenang pertama dan partai Golkar sebagai pemenang kedua. ini terlihat dari perolehan kursi partai politik hasil pemilu 1999 di DPRD Sumatera Utara. Berikut disampaikan tabel perolehan kursi partai politik hasil pemilu 1999 di DPRD Sumatera Utara.

(5)

Tabel 2

Perolehan Kursi Partai Politik hasil Pemilu 1999 di DPRD Sumatera Utara

No Nama Partai Jumlah Kursi

1. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 28

2. Partai Golongan Karya 17

3. Partai Persatuan Pembangunan 8

4. Partai Amanat Nasional 7

5. Partai Demokrasi Kasih Bangsa 2

6. Partai Keadilan dan Persatuan 1

7. Partai Bulan Bintang 1

8. Partai Keadilan 1

9. Partai Kebangkitan Bangsa 1

10. Partai Buruh Nasional 1

11. Partai Katolik Demokrat 1

12. Partai Kristen Nasional 1

13. Partai Cinta Damai 1

14. Partai Nasional Indonesia - Front Marhaenis 1

15. ABRI 9

JLH 80

Sumber: Diolah dari Komisi Pemilihan Umum Sumatera Utara

Namun, pemilu 1999 membawa kekecewaan yang besar kepada rakyat Karena tidak mampu memenuhi harapan rakyat, karena ternyata arah kebijakan DPRD Sumatera Utara hasil pemilu 1999, lebih berorientasi pada kekuasaan ketimbang rakyat. Hal itu dapat dilihat dari kebijakan yang dihasilkan oleh

(6)

institusi tersebut. Secara umum dapat disimpulkan bahwa mayoritas produk kebijakan DPRD Sumatera Utara selama periode 1999-2004 kurang berorientasi pada kepentingan rakyat. Hal itu dapat dibuktikan dari 59 Perda yang dihasilkan selama lima tahun oleh DPRD. Berikut disampaikan tabel rekapitulasi Perda Sumatera Utara Tahun 2000-2004.

Tabel 3

Rekapitulasi Peraturan Daerah Sumatera Utara Tahun 2000-2004

NO. NOMOR PERDA NAMA PERDA KET

1 1 Tahun 2000 Perubahan Ketiga Peraturan Daerah Sumatera Utara No 1 Tahun 1985 Tentang Pembinaan Pemboran dan Pemakaian Air Bawah Tanah

2 2 Tahun 2000 Wajib Latih Tenaga Kerja dan Iuran Wajib Latih Tenaga Kerja Bagi Perusahaan di Sumatera Utara

3 3 Tahun 2000 Pengupayaan Pemberian Keja Kepada Pengangguran dan Setengah Pengangguran 4 4 Tahun 2000 Penerimaan Sumbangan Pihak ke tiga

Kepada Pemerintah Propinsi Sumatera Utara

5 5 Tahun 2000 Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kantor Arsip Daerah Sumatera Utara 6 6 Tahun 2000 Penetapan Perubahan APBD Sumatera

Utara Tahun Anggaran 2000/2001 7 1 Tahun 2001 Bank Pembangunan Daerah Sumatera

Utara

8 2 Tahun 2001 Penetapan APBD Sumatera Utara Tahun Anggaran 2001/2002

9 3 Tahun 2001 Penetapan Sisa Perhitungan APBD Sumatera Utara Tahun Anggaran 2000/2001

10 4 Tahun 2001 Rencana Tata Ruang Wilayah Sumatera Utara

11 5 Tahun 2001 Pemakaian Mess Milik Pemerintah Propinsi Sumatera Utara di Jalan Jambu No.29 Jakarta

12 6 Tahun 2001 Rapenda Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Daerah dan

Sekretariat DPRD Sumatera Utara

13 7 Tahun 2001 Ranperda Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pendidikan dan Latihan

Sumatera Utara

14 8 Tahun 2001 Ranperda Tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Kantor

(7)

Penghubung Pemerintah Propinsi Sumatera Utara

15 9 Tahun 2001 Ranperda Tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintah Propinsi Sumatera Utara dalam Bidang Perkebunan Kepada Pemerintah Kabupaten/Kota

16 10 Tahun 2001 Pola Dasar Pembangunan Daerah Propinsi Sumatera Utara

17 11 Tahun 2001 Penetapan Perubahan APBD Sumatera Utara Tahun Anggaran 2001/2002

18 1 Tahun 2002 Perubahan Kedua Perda No.13 Tahun 1991 Tentang Pajak Kendaraan Bermotor 19 2 Tahun 2002 Penetapan APBD Sumatera Utara Tahun

Anggaran 2002/2003

20 3 Tahun 2002 Kedudukan Protokoler Ketua, Wakil Ketua dan Anggota DPRD Sumatera Utara 21 4 Tahun 2002 Penunjukan Penyidik Pegawai Negeri Sipil

yang Melakukan Pelanggaran Perda Sumatera Utara yang Memuat Ketentuan Pidana

22 5 Tahun 2002 Penggunaan Bahasa Indonesia pada Papan Nama, Papan Petunjuk, Kain Rentang dan Reklame di Sumatera Utara

23 6 Tahun 2002 Retribusi Prakualifikasi dan Retribusi Dokumen Pemborongan

24 7 Tahun 2002 Izin Trayek Mobil Bus Umum dan Anggkutan Mobil Penumpang Umum untuk Jaringan Trayek antar Daerah Kabupaten/Kota di Sumatera Utara 25 8 Tahun 2002 Usaha Pertambangan Bahan Galian

Golongan C di Sumatera Utara 26 9 Tahun 2002 Pelaksanaan Iuran Pelayanan Irigasi di

Sumatera Utara

27 10 Tahun 2002 Penetapan Sisa Perhitungan APBD Sumatera Utara Tahun Anggaran 2001/2002

28 11 Tahun 2002 Perubahan Kedua Perda No.4 Tahun 1990 tentang Tarif Pelayanan Rumah Sakit Pemerintah Propinsi Sumatera Utara 29 12 Tahun 2002 Organisasi dan Tata Kerja Kantor

Pembangunan Masyarakat Desa Sumatera Utara

30 13 Tahun 2002 Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit Pemerintah Sumatera Utara Bagi Peserta PT (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia dan Anggota Keluarganya

31 14 Tahun 2002 Pengendalian dan Penertiban Peredaran Minuman Keras di Sumatera Utara 32 15 Tahun 2002 Retribusi Jasa Pemberian Pekerjaan di

Sumatera Utara

33 16 Tahun 2002 Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kantor Bina Sosial Politik Propinsi Sumatera

(8)

Utara

34 17 Tahun 2002 Pembubaran Perusahaan Daerah Sandang Propinsi Sumatera Utara

35 18 Tahun 2002 Penetapan Perubahan APBD Propinsi Sumatera Utara

36 1 Tahun 2003 Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan dari Pemerintah Propinsi Sumatera Utara dalam Bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Pekerjaan Umum Bina Marga, Pekerjaan Umum Cipta Karya,

Pertambangan Bahan Galian Golongan C, Sosial, Tenaga Kerja, Perumahan, dan Kehutanan Kepada Kabupaten Simalungun 37 2 Tahun 2003 Penetapan APBD Sumatera Utara Tahun

Anggaran 2003/2004

38 3 Tahun 2003 Penetapan Sisa Perhitungan APBD Tahun Anggaran 2002/2003

39 4 Tahun 2003 Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Kantor Pengolahan Data Elektronik Propinsi Sumatera Utara

40 5 Tahun 2003 Garis Sempadan Sungai, Daerah Manfaat Sungai, Daerah Pengusaan, dan Bekas Sungai di Sumatera Utara

41 6 Tahun 2003 Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan Propinsi Sumatera Utara di Bidang

Perumahan kepada Pemerintak Kabupaten/Kota

42 7 Tahun 2003 Perubahan Kedua Perda No.5 Tahun 1985 Tentang Pengaturan Pengusahaan Usaha Rekreasi dan Hiburan Umum di Sumatera Utara

43 8 Tahun 2003 Perubahan Kedua Perda No.17 Tahun 1989 Tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintah Propinsi Sumatera Utara dalam Bidang Kepariwisataan Kepada Pemerintah Daerah Medan, Karo, Simalungun,

Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, dan Nias 44 9 Tahun 2003 Pemakaian Tanah Jalan Yang Dikuasai

Pemerintah Propinsi Sumatera Utara 45 10 Tahun 2003 Pemakaian Tanah-tanah Pengairan di

Sumatera Utara

46 11 Tahun 2003 Penetapan Perubahan APBD Tahun Anggaran 2003/2004

47 1 Tahun 2004 Penetapan APBD Propinsi Sumatera Utara 48 2 Tahun 2004 Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan

dari Pemerintah Propinsi Sumatera Utara dalam Bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Pekerjaan Umum Pengairan, Pekerjaan umum Bina Marga, Pekerjaan Umum Cipta Karya, Pertambangan Bahan Galian Golongan C, Sosial, Tenaga Kerja

(9)

dan Kehutanan Kepada Kotamadya Medan, Kabupaten Asahan, Langkat, Deli Serdang, dan Labuhan Batu

49 3 Tahun 2004 Insentif/Uang Perangsang Pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor

50 4 Tahun 2004 Perubahan Kedua Perda No.12 Tahun 1987 Tentang Pemanfaatan dan Penyaluran Benih Ikan dari Benih Ikan Milik Pemerintah Propinsi Sumatera Utara 51 5 Tahun 2004 Perubahan Ketiga Perda No. 26 Tahun

1980 Tentang Pemeriksaan dan Pengujian Mutu hasil Perikanan di Sumatera Utara 52 6 Tahun 2004 Perubahan Kedua Perda No.12 Tahun 1987

tentang Pemanfaatan dan Penyaluran Benih Ikan dari Balai Benih Ikan Milik

Pemerintah Propinsi Sumatera Utara 53 7 Tahun 2004 Kedudukan Keuangan Ketua, Wakil Ketua,

dan Anggota DPRD Sumatera Utara 54 8 Tahun 2004 Pembuatan dan Penguasaan Tambak di

Sumatera Utara

55 9 Tahun 2004 Penetapan Nota Perhitungan APBD Tahun Anggaran 2003/2004

56 10 Tahun 2004 Perubahan Kedua Perda No.3 Tahun 1989 tentang Izin Penimbunan dan Penyimpanan Bahan Bakar Minyak

57 11 Tahun 2004 Perubahan Ketiga Perda No.2 Tahun 1983 tentang Pemberian Izin dan Pemungutan Retribusi Pemakaian Alat Berat dan Kendaraan Milik atau di Bawah

Penguasaan Pemerintah Propinsi Sumatera Utara

58 12 Tahun 2004 Pemakaian Balai Pendidikan dan Latihan Dinas Lalu Lintas dan Angutan Jalan Raya Propinsi Sumatera Utara

59 13 Tahun 2004 Pelestarian Tanaman Tembakau Deli pada Sebagian Areal HGU PTPN II di Propinsi Sumatera Utara

Sumber : Diolah dari Sekwan DPRD Sumatera Utara

Pemilu 2004 adalah pemilu yang kesembilan yang telah dilaksanakan di republik ini, pemilu 2004 seperti halnya pada pemilu 1955, juga dilaksanakan dalam beberapa kali pemungutan suara, yaitu pada 5 April 2004 untuk memilih anggota legislatif nasional maupun lokal, 5 Juli 2004 untuk memilih secara langsung presiden dan wakil presiden pada putaran pertama, dan 20 September 2004 untuk pemilihan presiden dan wakil presiden pada putaran kedua. Pemilu

(10)

legislatif 2004 tidak jauh berbeda dengan pemilu 1999, ini tampak pada banyaknya jumlah partai politik yang menjadi peserta pada pemilu tersebut, berikut disampaikan tabel daftar partai politik peserta pemilu legislatif 2004.

Tabel 4

Partai Politik Peserta Pemilu Legislatif 2004

No Nama Partai Politik

1. PNI Marhaenisme

2. Partai Buruh Sosial Demokrat 3. Partai Bulan Bintang

4. Partai Merdeka

5. Partai Persatuan Pembangunan

6. Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan 7. Partai Perhimpunan Indonesia Baru 8. Partai Nasional Banteng Kemerdekaan 9. Partai Demokrat

10. Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia 11. Partai Penegak Demokrasi Indonesia

12. Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia 13. Partai Amanat Nasional

14. Partai Karya Peduli Bangsa 15. Partai Kebangkitan Bangsa 16. Partai Keadilan Sejahtera 17. Partai Bintang Reformasi

18. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 19. Partai Damai Sejahtera

20. Partai Golongan Karya 21. Partai Patriot Pancasila

(11)

22. Partai Sarikat Indonesia 23. Partai Persatuan Daerah 24. Partai Pelopor

Sumber: Diolah dari Komisi Pemilihan Umum Sumatera Utara

Pada pemilu 2004, rakyat kembali diyakinkan bahwa dengan sistem proporsional daftar calon terbuka dalam pemilu legislatif (DPR dan DPRD), rakyat memiliki peluang untuk memilih orang yang dikenal dan dipercaya.4 Demikian juga pemilihan presiden, pertama kali dalam sejarah Indonesia, rakyat diberi kepercayaan untuk menentukan Presiden yang mereka kehendaki secara langsung. Hal ini melahirkan harapan baru dan optimisme bahwa pemilu 2004 berbeda dengan pemilu sebelumnya.5

4

UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD. 5

UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Partai politik yang berhak menjadi peserta pada pemilu 2004 adalah yang memenuhi electoral threshold yaitu sekurang-kurangnya 2 % kursi di DPR atau 3 % kursi di DPRD.

Kemenangan PDIP pada pemilu 1999 di Sumatera Utara ternyata tidak dapat dipertahankan pada pemilu 2004. secara umum faktor yang diduga menyebabkan kekalahan PDIP, adalah kinerja anggota dewan dari PDIP yang sangat mengecewakan kurang berpihak pada wong cilik. Sehingga, pemilu kedua setelah reformasi ini justru mengembalikan lagi dominasi Golkar di Sumatera Utara baik di propinsi maupun di beberapa kabupaten/kota. Dalam konteks kemenangan Golkar di Sumatera Utara, kemungkinan ada beberapa faktor, yaitu: 1. Akibat kegagalan partai-partai yang mengklaim reformis untuk tampil lebih baik dalam memperjuangkan aspirasi dan kepentingan rakyat.

(12)

2. kondisi ekonomi yang masih corat marut, membuat sebagian rakyat merindukan masa lalu yang dianggapnya lebih baik, sehingga kemudian mereka memberikan dukungannya kepada Golkar.

3. konsolidasi Golkar yang dilakukan secara intens dengan mendatangi masyarakat melalui koordinator-koordinator wilayahnya.

Berikut disampaikan tabel hasil pemilu legislatif di Propinsi Sumatera Utara.

Tabel 5

Persentase Jumlah Suara dan Kursi Partai Politik Pada Pemilu Legislatif 2004 Sumatera Utara.

No Nama Partai Politik Jumlah

Kursi Jumlah Suara % Kursi % Suara 1

Partai Golongan Karya 19 1.089.810 22,35 20,76

2

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 13 779.455 15,29 14,85 3

Partai Demokrat 10 379.860 11,76 7,23

4

Partai Keadilan Sejahtera 8 376.834 9,41 7,18

5

Partai Amanat Nasional 8 313.555 9,41 5,97

6

Partai Persatuan Pembangunan 8 377.476 9,41 7,19

7

Partai Damai Sejahtera 6 315.795 7,06 6,02

8

Partai Bintang Reformasi 5 221.492 5,88 4,22

9

(13)

10

Partai Perhimpunan Indonesia Baru 1 146.846 1,18 2,80

11

Partai Nasional Banteng Kemerdekaan 1 116.232 1,18 2,21

12

Partai Patriot Pancasila 1 122.455 1,18 2,33

13

Partai Pelopor 1 94.732 1,18 1,80

14

Partai Buruh Sosial Demokrat 1 101.235 1,18 1,93

JLH 85 4.574.083 98,82 87,13

Sumber: Diolah dari Komisi Pemilihan Umum Sumut

Secara ideal, anggota DPRD (legislatif) yang mewakili kelompok masyarakat dari suatu daerah pemilihan, tugas pokoknya adalah menyerap, menampung dan memperjuangkan aspirasi dan kepentingan konstituennya untuk menjadi suatu kebijakan (baik Perda maupun APBD) atau dalam bentuk lainnya.

Anggota DPRD merupakan corong bagi konstituennya agar berbagai masalah serta kepentingan mereka terpenuhi. Aspirasi dan permasalahan konstituen secara maksimal direspon yang kemudian tercermin dalam pelaksanaan tiga fungsi para anggota dewan, yaitu membuat legislasi, melakukan kontrol terhadap pemerintah, dan menyusun anggaran (APBN bagi DPR) dan (APBD bagi DPRD).6

Di Indonesia, yang menjadi masalah hubungan wakil dengan yang diwakili adalah belum adanya pola yang jelas antara wakil dengan yang diwakili

Sebaliknya,melalui para wakilnya, konstituen dapat mempelajari dan memahami permasalahan-permasalahan yang dihadapi bangsa secara nasional baik yang terjadi di pusat maupun daerah.

6

(14)

diakibatkan tidak adanya aturan yang mengatur hubungan tersebut. Masalah hubungan wakil dengan yang diwakili dalam parlemen menjadi isu dan sekaligus menjadi persoalan yang baik untuk dikaji dalam kehidupan politik Indonesia khususnya di Sumatera Utara. Permasalahan hubungan wakil dengan yang diwakili dalam kehidupan politik Indonesia merupakan isu keadilan politik yang perlu perhatian oleh pemerintah, legislatif, dan partai politik maupun masyarakat. Rendahnya hubungan wakil dengan yang diwakili dalam parlemen merupakan penghambat terjadinya demokrasi perwakilan secara substansial. Karena keadaan seperti itu maka kebijakan-kebijakan yang dihasilkan menjadi kurang berpihak kepada kepentingan rakyat pemilih atau konstituen.

Dalam konteks yang demikian, pemilu 2004 yang memilih langsung orang-orang yang akan duduk di legislatif akan menjadi penting maknanya khususnya tentang hubungan wakil dengan yang diwakili dalam proses demokratisasi di Indonesia khususnya di Sumatera Utara. Sehingga penulis merasa tertarik untuk meneliti masalah bagaimana kondisi hubungan wakil dengan yang diwakili di DPRD Sumatera Utara dengan mengangkat judul “Hubungan Wakil dengan Yang Diwakili (Studi Perbandingan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi Sumatera Utara Periode 2004-2009 dengan Periode 1999-2004)”.

2. Perumusan Masalah

Bertitik tolak pada latar belakang masalah yang menjelaskan mengenai kondisi hubungan wakil dengan yang diwakili di Indonesia khususnya di DPRD Sumatera Utara, maka penelitian ini menekankan pada permasalahan hubungan

(15)

wakil dengan yang diwakili dengan perumusan masalah yaitu: “Bagaimanakah hubungan wakil dengan yang diwakili di DPRD Sumatera Utara dan Faktor apa sajakah yang mempengaruhi hubungan wakil dengan yang diwakili di DPRD Sumatera Utara”?

3. Pembatasan Masalah

Suatu penelitian membutuhkan pembatasan masalah dengan tujuan untuk dapat menghasilkan uraian yang sistematis dan tidak melebar. Maka batasan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Penelitian ini hanya dilakukan di DPRD Sumatera Utara dan hanya melibatkan anggota DPRD Sumatera Utara yang pernah terpilih pada periode 1999-2004 dan periode 2004-2009.

2. Permasalahan yang dibahas yaitu kondisi hubungan wakil dengan yang diwakili di DPRD Sumatera Utara perode 2004-2009 dengan membandingkannya pada periode 1999-2004.

4. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian:

1. Untuk mengetahui kondisi hubungan wakil dengan yang diwakili di DPRD Sumatera Utara periode 2004-2009 dan membandingkannya pada periode 1999-2004.

2. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi hubungan wakil dengan yang diwakili di DPRD Sumatera Utara.

(16)

1. Bagi penulis, sebagai hasil penelitian di bidang ilmu politik, khususnya mengenai hubungan wakil dengan yang diwakili dan sebagai tugas akhir pra wisuda.

2. Bagi FISIP USU sebagai referensi bagi mahasiswa Departemen Ilmu Politik khususnya yang tertarik dengan studi partai politik, pemilu dan perwakilan politik.

2. Bagi DPRD Sumatera Utara sebagai bahan masukan dan memberikan informasi yang digunakan sebagai pertimbangan dalam menyuarakan aspirasi dan

kepentingan masyarakat pemilih di Sumatera Utara.

5. Kerangka Teori

5.1. Sistem Pemilihan Umum 5.1.1. Pengertian Pemilu

Memilih sebagian rakyat untuk menjadi pemerintah adalah suatu proses dan kegiatan yang seyogyanya merupakan hak semua rakyat yang kelak diperintah oleh orang-orang yang terpilih itu.

Proses dan kegiatan memilih itu disederhanakan penyebutannya menjadi pemilihan. Dalam hal pemilihan itu semua rakyat harus ikut tanpa dibeda-bedakan, maka dipakailah sebutan pemilihan umum disingkat pemilu.7

Pemilihan umum adalah pranata terpenting dalam tiap Negara demokrasi, pranata ini berfungsi untuk memenuhi tiga prinsip pokok demokrasi, yaitu kedaulatan rakyat, keabsahan pemerintahan, dan pergantian pemerintahan secara teratur.8

7

Donald Parulian, Menggugat Pemilu, PT. Penebar Swadaya, Jakarta, 1997, hal. 4. 8

Tim Peneliti Sistem Pemilu, Sistem Pemilu di Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1998, hal. 2.

(17)

Ketiga prinsip ini bertujuan untuk menjamin terjaganya dan terlaksananya cita-cita kemerdekaan, mencegah bercokolnya kepentingan tertentu di dalam tubuh pemerintah atau digantikannya kedaulatan rakyat menjadi kedaulatan penguasa. Jika sebagian besar atau seluruh kelompok sosial-politik yang ada dalam masyarakat terwakili dalam lembaga legislatif di pusat dan daerah, terpenuhilah prinsip kedaulatan rakyat itu. Selanjutnya, jika mekanisme pemilihan wakil rakyat pada lembaga legislatif berjalan sebagaimana mestinya, terpenuhi pulalah sebagian besar prinsip keabsahan pemerintah. Jika keabsahan pemerintah mensyaratkan diselenggarakannya pemilu sebagaimana mestinya. Mensyaratkan adanya pergantian pemerintah secara teratur.

Pemilu mengkondisikan terselenggaranya mekanisme pemerintahan secara tertib, teratur, berkesinambungan dan berjalan damai yang kesemuannya itu akan mengembangkan terbinanya masyarakat yang dapat menghormati pendapat orang lain.9

9

Ipong S. Azhar, Loc.Cit.

Pemilu berhubungan erat dengan demokrasi karena sebenarnya pemilu merupakan salah satu cara pelaksanaan demokrasi. Seperti diketahui bahwa pada zaman modern ini dapat dikatakan tidak ada satu Negara pun yang dapat melaksanakan demokrasinya secara langsung dalam arti dilakukan oleh seluruh rakyatnya. Karena terlalu luasnya wilayah dan begitu besarnya jumlah penduduk, demokrasi yang dipergunakan oleh Negara-negara modern adalah demokrasi tak langsung atau demokrasi perwakilan.

(18)

Di dalam demokrasi perwakilan ini hak-hak rakyat untuk menentukan haluan Negara dilakukan oleh sebagian kecil dari seluruh rakyat yang menempati lembaga legislatif yang disebut parlemen, yang dipilih melalui proses pemilu.10

IDEA (International Democratic Electoral Assistance) membagi menjadi tiga keluarga besar sistem pemilihan, yaitu plurality-majority, semi proportional, dan proportional. Dari ketiganya terdapat sembilan turunan, yaitu First Past The Post (FPTP), Block Vote (BV), Alternative Vote (AV), Two-Round System (TRS) yang masuk ke dalam keluarga plurality-majority: Parallel System, dan Single Non-Transferable Vote (SNTV), yang masuk ke dalam keluarga sistem semi proporsional: List Proportional, Mixed Member Proportional (MMP), dan Single Transferable Vote (STV) yang masuk ke dalam keluarga sistem proporsional.

5.1.2. Pengertian Sistem Pemilu

Bicara soal pemilu mestilah menyinggung sistem pemilu, sistem pemilu adalah seperangkat metode yang mengatur warga negara memilih para wakilnya. Dalam suatu lembaga perwakilan rakyat, seperti lembaga legislatif atau DPR/DPRD, sistem pemilihan ini bisa berupa seperangkat metode untuk menstransfer suara pemilih ke dalam suatu kursi di lembaga legislatif atau parlemen. Sistem pemilu pula yang membantu kita untuk dapat membayangkan bagaimana kinerja dari anggota legislatif yang dihasilkannya di lembaga legislatif.

5.1.3. Jenis-jenis Sistem Pemilu

11

10

Moh. Mahfud MD, Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, Gama Media, Yogyakarta, 1999, hal. 220.

11

Sugeng Sarjadi dan Sukardi Rinakit, Membaca Indonesia, SSS, Jakarta, 2005. hal. 146-151. Berikut disampaikan skema keluarga sistem pemilu.

(19)

Skema 1

Keluarga Sistem Pemilihan Umum

Keterangan:

FPTP  First Past The Post; BV  Block Vote; AV  Alternative Vote; TRS Two-Round System; PS  Parallel System ; SNTV  Single Non-Transferable Vote; List PR  List Proportional Representation; MMP  Mixed Member Proportional; STV Single Transferable Vote

Sumber: Sugeng Sarjadi dan Sukardi Rinakit, Membaca Indonesia, Jakarta SSS, 2005.

A. Sistem Plurality-Majority

Dalam sistem pluralitiy-majority, untuk dapat terpilih dalam suatu daerah pemilihan (distrik), sesorang kandidat atau beberapa orang kandidat harus memenangkan jumlah tertinggi (terbanyak) dari suara yang ada (yang sah) atau dalam beberapa varian, mayoritas dari suara sah dalam wilayah pemilihan (distrik). Varian sistem plurality-majority meliputi:

a. First Past The Post (FPTP)

b. Block Vote atau Party Block Vote c. Alternative Vote (AV)

d. Two Round System. TRS Plurality-Majority List PR Semi PR Proportional Representation (PR) SNTV PS AV BV FPTP STV MMP

(20)

Sistem plurality-majority merupakan penyebutan lain atas majoritarian

formula. Formula majoritarian di Indonesia dikenal dengan sistem distrik.

Formula majoritarian pada dasarnya terdiri dari dua bentuk. Pertama, formula pluralitas yaitu formula paling sederhana dari dari formula majoritarian. Beberapa formula yang biasa dipakai untuk menujukan formula pluralitas adalah the first

Past the Post (relative majority atau simple plurality). Formula pluralitas ini biasa

dipakai dalam pemilihan wakil tunggal (seperti pemilihan presiden, gubernur, walikota, dsb) atau pemilihan badan perwakilan rakyat. Pemenang pemilihan adalah seorang kandidat yang mendapatkan suara paling banyak tanpa memperhatikan hasil mayoritas.

Jika formula the first past the post digunakan dalam single-member district

system, maka formula Block Vote digunakan untuk multi-member district. Pemilih

memiliki suara sebanyak kursi yang akan diisi dan bebas mempergunakan/memanfaatkan hak suara, apakah sejumlah kursi yang diperebutkan ataupun tidak. Pemilih biasanya bebas memilih kandidat tanpa menghiraukan afiliasi partai politik kandidat tersebut. Kandidat-kandidat yang memiliki suara paling banyak akan secara otomatis berhak mengisi kursi tersebut tanpa memperhatikan persentase suara yang mereka dapat. Masalahnya adalah pemenang tidak berarti pemilik suara mayoritas, padahal demokrasi mengutamakan suara mayoritas.

Kedua, formula mayoritas. Dalam formula mayoritas kandidat dinyatakan

menang jika berhasil mengumpulkan suara pemilih mayoritas atau 50% + 1. Siapapun kandidat yang telah berhasil mengumpulkan suara 50% + 1 maka dialah pemenangnya. Prinsip demikian merupakan refleksi ideal dari demokrasi. Namun,

(21)

persoalannya adalah jika dalam sebuah pemilihan tidak ada satupun kandidat yang berhasil mengumpulkan suara mayoritas akibat besarnya jumlah kandidat/partai politik, distribusi suara merata kesemua kandidat, dan tidak tercapainya koalisi antarkandidat/partai politik.

Untuk keluar dari persoalan yang muncul pada formula pluralitas dan majoritas ada solusi yang ditawarkan yaitu model Two Round System. Yang mengajukan dua cara, yaitu pertama, formula campuran pluralitas dan mayoritas. Formula campuran mensyaratkan adanya suatu mayoritas suara untuk pemilihan atau pemberian suara pertama. Namun, jika tidak ada kandidat yang berhasil mengumpulkan suara mayoritas, maka digelar pemilihan suara kedua. Pada pemberian suara kedua ini diterapkan prinsip formula pluralitas, Artinya, penentuan pemenang pada pemberian suara kedua didasarkan pada kandidat yang berhasil memperoleh suara terbanyak (tidak harus 50% + 1).

Kedua, formula majoritas pada pemilihan kedua. Sementara formula runoff adalah pemilihan yang diikuti oleh hanya dua kandidat yang memperoleh

suara terbesar pada putaran pertama. Artinya, jika pada putaran pertama tidak ada seorangpun yang mendapatkan suara mayoritas maka digelar pemilihan putaran kedua dengan hanya mengikuti dua kandidat yang pada putaran pertama memperoleh suara terbanyak. Formula ini akan menjamin terpilihnya pemenang bersuara mayoritas.

Di samping kedua formula tersebut, cara lain yang dapat digunakan untuk mengatasi persoalan yang muncul akibat tidak terpenuhinya suara mayoritas dalam pemilihan putaran pertama adalah dengan formula alternatif (Alternative

(22)

yang berhak sebagai pemenang pemilihan. Singkatnya, jika pada putaran pertama tidak ada seorangpun kandidat yang berhasil mengumpulkan suara mayoritas, jalan keluar yang ditawarkan melakukan pemilihan putaran kedua dengan menggunakan prinsip preferential ballot. Pada pemilihan putaran kedua ini, para pemilih diminta meranking kandidat sesuai dengan preferensinya. Misalnya, peringkat pertama diberikan kepada kandidat A, kemudian berikutnya secara berurutan kepada B, C, D, dst. Prinsip formula ini adalah mentransfer suara minoritas kemudian diberikan kepada kandidat suara yang memperoleh suara yang lebih kuat sampai tercapai satu pemenang.

Dari ketiga solusi di atas, sebenarnya masih ada cara lain yang dapat dilakukan untuk mengatasi persoalan tidak terpilihnya kandidat yang didukung suara mayoritas tanpa dua kali pemilihan. Caranya, jika dalam suatu distrik misalnya ada lima kandidat, maka pemilih diberi kesempatan untuk memilih kandidat lebih dari satu (sebanyak kandidat yang ada) sesuai dengan preferensinya. Dengan begitu pemilih bisa merangking calonnya. Misalnya, kandidat A diberik peringkat 1, kandidat B diberi peringkat 3, kandidat C diberi peringkat 2, dst. Jika ada kandidat yang memperoleh suara mayoritas (50% + 1) maka otomatis kandidat tersebut memenangkan kursi. Namun, jika tidak ada yang memperoleh suara mayoritas, maka kandidat yang memperoleh suara terkecil disingkirkan, kemudian pilihan keduanya didistribusikan kepada para kandidat lainnya, sampai diperoleh mayoritas. Berikut disampaikan tabel kelebihan dan kelemahan sistem Plurality-Majority.

(23)

Tabel 6

Kelebihan dan Kelemahan Plurality-Majority

Kelebihan Kelemahan

 Dapat membatasi jumlah partai biasanya dua partai sehingga para pemilih punya pilihan yang jelas. Dapat membatasi munculnya partai-partai ekstrim.

 Kurang cocok dalam untuk masyarakat heterogen, karena dalam diri sistem ini akan meniadakan partai kecil yang menjadi saluran masyarakat majemuk dalam suatu konstituen.

 Hubungan antara pemilih dengan wakilnya dekat.

 Proses pemenangan dengan perolehan semua mengakibatkan sebagian suara yang ada akan terbuang.

 Memiliki kecenderungan pemerintah yang kuat dan stabil yang bersal dari satu partai.

 Calon terpilih terlalu mengingatkan diri dengan daerah pemilihannya, sehingga cenderung mengabaikan persoalan lain yang besar.

 Ada dorongan munculnya partai oposisi untuk membuat pemerintah

bertnggungjawab.

 Pemilih sering tidak terwakili dan partai kecil yang tidak terikutsertakan dalam perwakilan yang adil atau tidak memberikan insentif untuk kandidat-kandidat minoritas.

 Jumlah penduduk dalam distrik pemilihan bisanya tidak terlalu besar sehingga hubungan antara pemilih dan wakilnya dapat mengenal lebih baik.

 Tidak sensitif atau terlalu sensistif terhadap isu atau opini public.

(24)

 Sistem ini mendorong terwujudnya sistem kepartaian yang lebih stabil karena partai-partai kecil kalah biasanya bergabung dengan partai lain yang menang.

 Dapat menciptakan dominasi partai lokal dan mendorong adanya partai-partai yang berhaluan etnis.

 Merupakan sistem pemilihan yang sederhana dan mudah dimengerti serta digunakan para pemilih, mudah pelaksanaannya

Sumber: Sugeng Sarjadi dan Sukardi Rinakit, Membaca Indonesia, Jakarta SSS, 2005.

B. Sistem Perwakilan Proporsional

Sistem Representasi Proporsional atau populer disebut proporsional atau perwakilan berimbang adalah metode transfer suara pemilih ke kursi di parlemen sesuai dengan proporsi perolehan suara pemilih. Dibanding dengan sistem distrik, sistem proporsional lebih banyak digunakan oleh negara-negara di dunia. Pertimbangan utama negara-negara yang mempergunakan sistem ini biasanya berangkat dari keberatan terhadap sistem distrik yang tingkat disproporsionalitasnya sangat tinggi.

Cara kerja sistem PR adalah pertama, menentukan alokasi jumlah kursi pada satu distrik atau daerah pemilihan. Dalam sistem PR, daerah pemilihan ini lazimnya menggunakan dasar wilayah administrasi. Di Indonesia pada pemilihan parlemen nasional, daerah pemilihan didasarkan pada wilayah propinsi. Misalnya berapa jumlah kursi yang disediakan untuk daerah pemilihan Jawa Timur, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, dst. Jumlah kursi di masing-masing

(25)

daerah biasanya tidak sama karena didasarkan pada jumlah penduduk di wilayah masing-masing. Kedua, menentukan besarnya kuota untuk menentukan berapa suara yang dibutuhkan partai politik agar mendapatkan satu kursi di parlemen. Besarnya kuota pada suatu daerah pemilihan tergantung pada besarnya jumlah penduduk yang menggunakan hak suaranya dan jumlah kursi yang diperebutkan oleh partai-partai politik. Umumnya penentuan kuota didasarkan pada rumus:

m v q=

dimana:

q = kuota

v = jumlah penduduk yang menggunakan suaranya m = jumlah kursi yang tersedia

Aspek penting dari sistem ini adalah adanya hak politik yang disebut

universal suffrage. Universal suffrage diartikan bahwa setiap warga negara yang

telah memenuhi syarat menurut UU, memiliki hak yang sama tanpa dibedakan suku, agama, ras, golongan dan latar belakang sosial lainnya, kecuali bagi mereka yang cabut hak-hak politiknya. Di samping itu juga bisa membangkitkan partisipasi politik warganya. Varian dari sistem proporsional representatif ini meliputi:

a. List Proportional Representation (List PR); b. Mixed Member Proportional (MMP); dan c. Single Transferable Vote (STV).

Sistem List Proportional Representative (List PR) pada dasarnya ada dua bentuk, yaitu sistem daftar tertutup (closed list system) dan sistem daftar terbuka (open list system). Dalam sistem daftar tertutup, para pemilih harus memilih partai

(26)

politik peserta pemilu, dan tidak bisa memilih calon legislatif. Dalam sistem ini, para calon legislatif biasanya telah ditentukan dan diurutkan secara sepihak oleh partai politik yang mencalonkannya.

Sementara pada sistem daftar terbuka (open list system), para pemilih bukan hanya dapat memilih partai politik yang diminati, namun juga berkesempatan menentukan sendiri calon legislatif yang disukainya. Dengan demikian, pemilih di samping memilih tanda gambar partai juga memilih gambar kandidat legislatif. Oleh sebab itu, partai politik tidak dapat menentukan secara sepihak calon-calon dan daftar urutan calon, karena hal itu sangat bergantung pada pemilih.

Bagaimana mekanisme menstransfer suara pemilih ke dalam kursi di parlemen? Dalam sistem List PR, transfer bisa dilakukan melalui dua cara, yaitu: a) berdasarkan rata-rata tertinggi atau biasa disebut dengan pembagi (devisor) dan b) suara sisa terbesar (largest remainder) atau lazim disebut dengan kuota12

12

Asfar dkk, Materi Workshop Model-Model Sistem Pemilihan di Indonesia, Pusat Studi Demokrasi dan HAM, Surabaya, 2002

(27)

Metode-Metode Penghitungan List PR Devisor

Metode devisor ada dua jenis yaitu: formula d’Hondt dan formula Sainte-Laque. Prosedur utama kedua formula tersebut adalah bahwa kursi-kursi yang tersedia pertama-tama akan diberikan kepada partai politik yang mempunyai jumlah suara rata-rata tertinggi, kemudian rata-rata tersebut akan terus menurun

berdasarkan bilangan pembagi. Prosedur ini terus berlaku sampai semua kursi terbagi habis. Rata-rata yang dimaksud berbeda dengan istilah dalam statistik (mean), melainkan seperangkat bilangan pembagi.

d’Hondt, bilangan pembaginya merupakan urutan bilangan utuh  1, 2, 3, 4, 5, dst. Penggunaan formula d’Hondt lebih menguntungkan partai besar.

Sainte-Laque, bilangan pembaginya dimulai dengan pecahan 1,4 dan diikuti secara berurut bilangan ganjil  1.4, 3, 5, 7, 9, dst. Penggunaan formula Sainte-Laque lebih menguntungkan partai kecil.

Kuota

Metode kuota yang sering digunakan yaitu: kuota Hare dan kuota Droop. Langkah-langkahnya adalah menentukan kuota suara. Setelah itu menentukan besarnya kursi yang diperoleh masing-masing partai berdasarkan jumlah suara yang diperoleh. Sementara sisa suara yang belum terbagi akan diberikan kepada parpol yang mempunyai jumlah sisa suara terbesar.

Kuota Hare (HQ) dihitung berdasarkan jumlah total suara yang sah (v) dibagi dengan jumlah kursi yang disediakan dalam suatu distrik (s). Penggunaan kuota Hare lebih menguntungkan partai-partai kecil

s v HQ=

Kuota Droop (DQ) dihitung dari jumlah total suara (v) dibagi dengan jumlah kursi yang disediakan dalam suatu distrik (s) ditambah 1. Penggunaan kuota Droop lebih menguntungkan partai-partai besar.

1 + = s v DQ

Sumber: Asfar dkk, Materi Workshop Model-Model Sistem Pemilihan di Indonesia, Pusat Studi Demokrasi dan HAM, Surabaya, 2002

Dibandingkan formula list PR, perhitungan proporsionalitas Single

Transferable Vote (STV) sedikit lebih rumit. Hal ini disebabkan para pemilih

memberikan suaranya berdasarkan preferensinya berdasarkan daftar partai. Dengan begitu, para pemilih dalam sistem STV memilih para kandidat yang disukainya bahkan kemudian merankingnya. Oleh karena itu, transfer suara pemilih ke kursi di parlemen juga harus memperhitungkan peringkat suara yang diberikan oleh para pemilih. Prosedur dan penghitungan berdasarkan peringkat kandidat inilah yang tidak dijumpai pada sistem prosedur dan perhitungan list PR.

Prosedur pertama yang harus dilakukan dalam menghitung STV setelah daftar preferensi pilihan pemilih tersusun adalah menentukan besarnya kuota. Pada prinsipnya, penentuan kuota STV hampir selalu menggunakan formula kuota

(28)

Droop, yaitu DQ = v/(s + 1). Bedanya, pada kuota Droop hasil pembangian dibulatkan, sedangkan dalam STV hasil pembangian ditambah 1, jadi rumusnya:

(

)

1 1 +     + = s v DQ

Prosedur selanjutnya adalah menentukan jatah kursi untuk masing-masing kandidat berdasarkan preferensi pilihan kandidat. Caranya, kandidat yang mempunyai atau berhasil mengumpulkan preferensi pilihan pertama sebanyak (atau lebih) dari jumlah kuota pada perhitungan pertama dapat otomatis terpilih dan berhak mewakili distriknya duduk di parlemen. Pada perhitungan kedua, sisa kelebihan suara kandidat yang telah terpilih dibagi rata ke kandidat urutan 2 dan 3, dengan catatan suara hasil pembagian ini diberikan hanya kepada suara yang kandidat yang sekelompok preferensi.

Jika pada perhitungan ketiga tidak ada kelebihan suara yang dapat didistribusikan kepada kandidat-kandidat yang suaranya tidak mencapai kuota, maka penyelesaiaanya adalah dengan mengeliminasi atau mengeluarkan partai yang suaranya terkecil untuk ditransfer ke partai yang suaranya lebih besar. Namun pembagian suara ini diberikan juga kepada kandidat sekelompok preferensi.

Mixed Member Proprotional (MMP) merupakan formula yang

memberikan kompensasi kursi dari suara yang hilang akibat penerapan sistem distrik. Misalnya, jika sebuah partai memperoleh suara 10 % secara nasional, namun ia tidak memperoleh kursi dalam suatu distrik, maka partai tersebut akan memperoleh kompensasi kira-kira sampai 10 % kursi di parlemen. Dari tujuh negara yang menerapkan sistem ini, kecuali Hungaria yang menggunakan

(29)

Italia misalnya, seperempat dari kursi parlemen disediakan untuk suara yang hilang akibat penerapan sistem distrik. Sementara itu, di Venezuela, terdapat 102 kursi (50%) yang dipilih berdasarkan sistem distrik, 87 kursi dipilih berdasarkan sistem proporsional, dan sisanya 15 kursi proportional yang disediakan sebagai kompensasi. Berikut disampaikan tabel kelemahan dan kelebihan sistem proporsional.

Tabel 7

Kelemahan dan Kelebihan Sistem Proporsional

Kelebihan Kelemahan

 Sistem ini lebih cocok diterapkan dalam masyarakat majemuk dan merupakan sistem yang inklusif, memungkin badan legislatif terdiri dari wakil rakyat yang bersal dari berbagai macam kekutan politik dalam suatu negara.

 Hubungan antara wakil rakyat dengan pemilih kurang akrab, khususnya dalam daftar tertutup, para pemilih tidak mempunyai pengaruh dalam menentukan wakilnya sehingga akuntabilitas para wakil terhadap para pemilihnya kurang..

 Suara dari partai-partai kecil dapat digabung sehingga partai kecil punya peluang untuk memiliki wakilnya di lembaga legislatif.

 Kandidat lebih memiliki hubungan kuat dengan partai daripada pemilih. Sehingga mendorong munculnya nepotisme dalam partai.

 Sistem ini dianggap lebih

representatif, karena dimugkinkan

 Sistem ini akan mendorong munculnya multipartai.

(30)

partai-partai kecil memiliki wakil di lembaga perwakilan.

 Sistem ini cenderung menghalangi adanya dominasi regional partai besar.

 Sistem ini mendorong timbulnya konflik/perpecahan dalam diri partai politik

 Beberapa bukti di negara Eropa, sistem ini ternyata juga

menghasilkan pemerintahan yang efektif.

 Mendorong bertahannya partai-partai ekstrim dan tidak mengakomodasi kandidat yang independen.

 Menciptakan sharing kekuatan dan kerjasama konkrit antara partai dan pemerintah dan cukup akurat dalam menterjemahkan proporsi suara yang dimenangkan menjadi presentase wakil yang dipilih.

 Pemerintah yang terpilih kurang bertanggungjwab dengan karena lebih sulit untuk menjatuhkan sebuah partai dari kekuasaan. Bahkan partai yang tidak populer dapat bertahan dalam koalisi pemerintah setelah pemilu.

Sumber: Sugeng Sarjadi dan Sukardi Rinakit, Membaca Indonesia, Jakarta SSS, 2005.

C. Sistem Semi Proporsional

Sistem Semi Proporsional merupakan formula yang mencoba menjembatani antara sistem plurality-majority dengan proportional representative dengan cara mengkombinasikan kelebihan sistem PR dengan sistem

(31)

ini pada dasarnya memberikan representasi bagi kelompok-kelompok minoritas dengan prinsip utamanya adalah adanya suara kumulatif, pembatasan suara, dan

single nontransferable vote.

Suara kumulatif pada dasarnya mirip dengan prinsip pluaralitas di dalam suatu distrik dengan banyak kursi atau wakil (multimember constituency), dimana masing-masing pemilih mempunyai suara sebanyak kursi yang tersedia kecuali para para pemilih itu dilarang untuk mengakumulasikan suara mereka. Pembatasan suara pada dasarnya sama dengan multimember plurality, yakni para pemilih diberi suara lebih kecil dari jumlah kursi yang tersedia di distrik tersebut. Penggunaan sistem campuran ini terutama tampak pada negara-negara yang oleh Huntington digolongkan dalam negara gelombang demokrasi ketiga. Sistem ini umumnya meliputi:

a. Paralel

b. Single Non Transferable Votes (SNTV)

Sistem Paralel adalah sistem pemilihan campuran antara sistem daftar

proporsional (List PR) dengan sistem distrik. Sebagian kursi parlemen dipilih berdasrkan sistem proporsional, dan sisanya dipilih berdasarkan sistem distrik. Caranya, pemilih mempunyai dua kertas suara, satu untuk memilih kandidat berdasarkan sistem distrik, dan satu kertas suara lagi untuk memilih partai berdasarkan sistem list PR.

Single NonTransferable Vote (SNTV) adalah bentuk khusus pembatasan

suara dimana masing-masing pemilih hanya mempunyai satu suara dalam suatu distrik yang umumnya tersedia tiga sampai lima wakil. Keuntungan sistem ini adalah partai-partai kecil lebih mungkin atau mudah untuk terpilih. Berdasarkan

(32)

pengalaman Jepang yang menggunakan sistem ini dari 1947-1993, salah satu kelemahan dari sistem ini adalah adanya tingkat proposionalitas yang tidak sama antara distrik pedesaan dengan distrik perkotaan atau biasa disebut unusual

eletoral system. Di distrik pedesaan umumnya sangat tinggi tingkat

proporsionalitasnya (overrepresented), sebaliknya di distrik perkotaan umumnya rendah tingkat proporsionalitasnya (underrepresented).

5.2. Perwakilan Politik

Dalam tulisannya mengenai teori perwakilan politik, Alfred De Grazia mengemukakan bahwa perwakilan diartikan sebagai hubungan diantara dua pihak, yaitu wakil dengan yang diwakili dimana wakil memegang kewenangan untuk melakukan berbagai tindakan yang berkenaan dengan kesepakatan yang dibuatnya dengan yang diwakili.13 Perwakilan dalam pengertian bahwa seseorang ataupun sekelompok orang berwenang menyatakan sikap atau melakukan suatu tindakan baik yang diperuntukkan bagi, maupun yang mengatasnamakan pihak lain.14

Dalam sistem perwakilan politik, seorang warga Negara mewakilkan dirinya sebagai yang berdaulat kepada seseorang calon wakil rakyat atau partai politik yang dipercayai melalui pemilihan umum. Suatu keputusan dalam demokrasi ialah bagaimana menyelenggarakan pemilihan. Kajian akademis Perwakilan politik diartikan sebagai terwakilnya kepentingan anggota masyarakat oleh wakil-wakil mereka di dalam lembaga legislatif.

13

Arbi Sanit, Perwakilan Politik Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 1985, hal. 1. 14

(33)

mengenai demokrasi mengenal dua kategorisasi pemaknaan besar, yaitu konsepsi minimalis dan maksimalis.15

Partai politik juga turut ambil bagian di dalam proses perwakilan, dalam merekrut, mencalonkan dan berkampanye untuk memilih pejabat pemerintah, menyusun program kebijakan untuk pemerintah jika mereka menjadi mayoritas; menawarkan kritik dan kebijakan alternatif jika mereka menjadi oposisi; menggalang dukungan Demokrasi minimalis atau dalam wacana Indonesia lebih dikenal dengan demokrasi prosedural dikenakan kepada sistem-sistem politik yang melaksanakan perubahan kepemimpinan secara regular melalui suatu mekanisme pemilihan yang berlangsung bebas, terbuka, dan melibatkan masa pemilih yang universal. Bagi konsepsi maksimalis pelaksanaan pemilihan umum saja tidaklah cukup bagi suatu sistem politik untuk mendapatkan gelar demokrasi, karena konsepsi ini yang di Indonesia lebih dikenal dengan demokrasi substantif mensyaratkan penghormatan terhadap hak-hak sipil yang lebih luas dan penghargaan terhadap kaidah-kaidah pluralisme yang mendasar.

Secara konsepsional, perwakilan politik berawal dari pemilihan umum. Artinya, pemilihan umum yang diadakan merupakan proses seleksi pemimpin akan menumbuhkan rasa keterwakilan politik dikalangan masyarakat luas. Dan untuk menyalurkan aspirasi dan kepentingan warga Negara maka dibentuk badan perwakilan rakyat yang berfungsi; membuat undang-undang, menyusun anggaran penerimaan dan belanja Negara, mengawasi pelaksanaan undang-undang dan penerimaan serta penggunaan anggaran Negara.

15

Muladi, dkk. (edt.) “Pemilu dan Demokrasi”, dalam Jurnal Demokrasi dan Ham, Pemilu 2004:

(34)

bagi kebijakan umum diantara berbagai kelompok kepentingan; menyediakan struktur dan aturan debat politik masyarakat.

Pemilihan umum merupakan suatu kegiatan yang tak terpisahkan dari lembaga perwakilan dan partai politik. Pemilu sebagai salah satu cara pelaksanaan demokrasi, sebagaimana pada zaman modern ini dapat dikatakan bahwa tidak ada satu Negara pun yang melaksanakan demokrasinya secara langsung. Hal ini disebabkan karena terlalu luasnya wilayah dan begitu besarnya jumlah penduduk. Oleh karena itu, adapun demokrasi yang digunakan adalah demokrasi perwakilan, dimana hak-hak rakyat untuk dapat ikut dalam menentukan haluan Negara dilakukan oleh sebagian kecil dari seluruh rakyat menempati lembaga perwakilan yang disebut parlemen, yang dipilih melalui proses pemilihan umum.

5.3. Hubungan Wakil dengan Yang Diwakili

Duduknya seseorang di lembaga Perwakilan, baik itu karena pengangkatan maupun melalui pemilihan umum, senantiasa berakibat timbulnya hubungan si wakil dengan yang diwakili, hubungan tersebut dapat dilihat melalui teori yang dikemukakan oleh Prof. Hoogerwerf dan Gilbert Abcarian, Menurutnya ada 4 tipe mengenai hubungan antara si wakil dengan yang diwakili yaitu:16

1. Si Wakil bertindak sebagai wali (Trustee). Disini si wakil bebas bertindak atau mengambil keputusan menurut pertimbangannya sendiri tanpa perlu berkonsultasi dengan yang diwakilinya.

2. Si Wakil bertindak sebagai utusan (Delegate). Disini si wakilbertindak sebagai utusan atau duta dari yang diwakilinya, si wakil selalu mengikuti 16

Bintan R. Saragih, Lembaga Perwakilan dan Pemilu di Indonesia, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1987, hal. 85.

(35)

instruksi dan petunjuk dari yang diwakilinya dalam melaksanakan tugasnya.

3. Si Wakil bertindak sebagai Politico. Disini si wakil kadang-kadang bertindak sebagai wali (Trustee) dan ada kalanya bertindak sebagai utusan (Delegate). Tindakannya tergantung dari issue (materi) yang dibahas. 4. Si Wakil bertindak sebagai Partisan. Disini si wakil bertindak sesuai

dengan keinginan atau program dari partai (organisasi) si wakil. Setelah si wakil dipilih oleh pemilihnya (yang diwakilinya) maka lepaslah hubungannya dengan pemilihnya tersebut, dan mulailah hubungannya dengan partai (organisasi) yang mencalonkannya dalam pemilu tersebut.

5.4. Korelasi Sistem Pemilu dengan Hubungan Wakil dengan Yang diwakili.

Dalam teori politik ada beberapa macam sistem pemilu. Tetapi umumnya berkisar pada prinsip pokok antara sistem distrik dan sistem proporsional17

Dalam sistem distrik, wakil yang terpilih berasal dari daerahnya sehingga ada kedekatan secara emosional dengan rakyat pemilih. Pemilih juga langsung memilih wakil, bukan tanda gambar partai. Hal itu merupakan dasar berlangsungnya komunikasi politik secara lebih intensif. Namun sistem ini bukan

. Sistem distrik memilih satu wakil dalam satu daerah pemilihan. Sedangkan sistem proporsional memilih beberapa wakil dalam satu daerah pemilihan. Menentukan sistem pemilu ini berkaitan dengan bagaimana mencari model hubungan wakil dengan yang diwakili sehingga hubungan tersebut dapat berjalan lebih baik.

17

(36)

tidak mengandung kelemahan. Justru para ahli banyak mengkritik sistem ini karena menghasilkan banyaknya suara yang terbuang dari suara pendukung yang kalah, meski kemenangan calon yang unggul persentase suaranya tidak lebih dari 50 persen. Kelemahan ini dapat dihindari dalam sistem proporsional karena proporsi jumlah perolehan suara secara nasional sama dengan jumlah kursi yang diperoleh dalam lembaga perwakilan. Dengan sistem ini pula heterogenitas masyarakat dapat lebih dihargai. Sistem proporsional ini juga memiliki banyak macam dalam cara pencoblosannya. Ada sistem proporsional daftar mengikat dimana pemilih hanya memilih tanda gambar parpol, bukan nama atau gambar wakil. Sistem ini digunakan dalam pemilu di Indonesia pasca pemilu 1955 hingga pemilu 1997. Sistem lainnya adalah proporsional daftar bebas dimana pemilih memilih tanda gambar calon. Ini telah dilakukan pada pemilu di Indonesia tahun 1955. Pemilihan anggota dewan tahun 2004 lalu juga menggunakan model ini meski masih setengah terbuka.

Dalam kaitannya dengan hubungan antara rakyat dengan wakil dalam sistem proporsional seringkali dianggap lemah karena tidak mewakili daerah pemilihan. Sistem proporsional daftar bebas sebenarnya telah memungkinkan rakyat melakukan pemilihan langsung pada calon. Hal ini sudah merupakan modal awal kedekatan emosional pemilih dengan wakil. Setidaknya dapat dipertanggung jawabkan bahwa wakil yang terpilih benar-benar hasil pilihan rakyat, bukan hasil lobi-lobi politik dalam partai atau antar partai politik.

Beberapa model sistem pemilu itu telah memberikan gambaran bagaimana hubungan rakyat dengan wakilnya. Sungguhpun demikian, membangun hubungan yang intens antara rakyat dengan wakil tidak hanya berlangsung saat pemilu atau

(37)

masa kampanye. Komunikasi adalah proses politik yang terus berlangsung selama sebuah Negara masih tetap ada. Maka, lebih mudahnya melihat bagaimana proses komunikasi itu berlangsung adalah dari hasil kerja yang telah dilakukan oleh para wakil rakyat. Hubungan rakyat dengan parpol sebatas dalam kerangka kepentingan partai sesuai dengan program yang diajukannya. Tetapi hubungan antara rakyat dengan wakil di lembaga legislatif merupakan hubungan kepentingan yang lebih luas menyangkut kepentingan seluruh masyarakat.

6. Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban sementara dari suatu penelitian yang harus diberikan kebenarannya dengan jalan diuji melalui penelitian di lapangan.18

18

Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, UGM Press, Yogyakarta, 1991, hal. 2. Yang menjadi hipotesis bagi penulis dalam penelitian ini adalah: kondisi hubungan wakil dengan yang diwakili di DPRD Sumatera Utara pada Periode 2004-2009 tidak lebih baik dibandingkan dengan periode 1999-2004.

7. Definisi Konsep

Konsep adalah unsur penelitian yang penting dan merupakan definisi yang dipakai untuk menggambarkan suatu fenomena yang diteliti. Agar tidak menimbulkan kekaburan atau kesalahan di dalam pengertian konsep yang dipergunakan maka perlu ditegaskan batasan-batasan yang dipergunakan dalam tulisan ini. Adapun definisi konsep yang dikemukakan disini adalah:

(38)

Akuntabilitas dapat diartikan sebagai kewajiban-kewajiban dari individu-individu atau penguasa yang dipercayakan untuk mengelola sumber-sumber daya publik dan yang bersangkutan dengannya untuk dapat menjawab hal-hal yang menyangkut pertanggungjawabannya. Akuntabilitas terkait erat dengan instrumen untuk kegiatan kontrol terutama dalam hal pencapaian hasil pada pelayanan publik dan menyampaikannya secara transparan kepada masyarakat.19

Prof Miriam Budiardjo mendefinisikan akuntabilitas sebagai “pertanggungjawaban pihak yang diberi mandat untuk memerintah kepada mereka yang memberi mandat itu.”20

Secara sederhana, komunikasi politik adalah komunikasi yang melibatkan pesan-pesan politik dan aktor-aktor politik, atau berkaitan dengan kekuasaan,

Akuntabilitas bermakna pertanggungjawaban dengan menciptakan pengawasan melalui distribusi kekuasaan pada berbagai lembaga pemerintah sehingga mengurangi penumpukkan kekuasaan sekaligus menciptakan kondisi saling mengawasi (checks and balances sistem). Lembaga pemerintahan yang dimaksud adalah legislatif yaitu DPRD.

2. Komunikasi Politik

Komunikasi adalah proses bertukar informasi di antara pihak-pihak, biasanya lewat sistem simbol biasa. Komunikasi secara ilmiah dapat juga berarti proses penyampaian pesan atau informasi dari pengirim (komunikator/Sender) kepada penerima (komunikan/receiver) dengan menggunakan simbol atau lambang tertentu baik secara langsung maupun tidak langsung (menggunakan media) untuk mendapatkan umpan balik (feedback)

19

Teguh Arifiyadi, Konsep tentang Akuntabilitas dan Implementasinya di Indonesia, http://www.depkominfo.go.id, Sabtu, 12 Januari 2008.

20

(39)

pemerintahan, dan kebijakan pemerintah. Komunikasi politik juga bisa dipahami sebagai komunikasi antara “yang memerintah” dan “yang diperintah”, dalam hal ini komunikasi antara wakil dengan yang diwakili.

8. Definisi Operasional

Defenisi operasional adalah Suatu penjelasan tentang bagaimana suatu variabel akan diukur, defenisi operasional merupakan rincian dari indikator-indikator pengukuran suatu variabel. Variabel yang akan diteliti adalah Hubungan wakil dengan yang diwakili studi perbandingan DPRD Sumatera Utara periode 1999-2004 dengan periode 2004-2009, Adapun definisi operasional yang digunakan adalah:

1. Akuntabilitas dengan indikator kebijakan yang dihasilkan berupa Peraturan Daerah (Perda) dan Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD).

2. Komunikasi Politik dengan indikator kunjungan ke konstituen baik dalam masa reses maupun mekanisme partai.

9. Metodologi Penelitian 9.1. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian deskriptif. Metode penelitian ini dimaksudkan untuk mengeksplorasi mengenai suatu fenomena atau kenyataan sosial, dengan mendeskripsikan atau menggambarkan sejumlah variabel yang berkenaaan dengan masalah yang diteliti.

(40)

Adapun ciri-ciri pokok metode analisis deskriptif:21

a. Memusatkan perhatian pada masalah-masalah yang pada saat penelitian dilakukan atau masalah-masalah yang aktual.

b. Menggambarkan fakta-fakta tentang masalah yang diselidiki sebagaimana adanya.

9.2. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan pada Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi Sumatera Utara Jl. Imam Bonjol No. 5 Medan.

9.3. Populasi dan Sampel

Di dalam penelitian ini penerikan sampel adalah dengan menggunakan rancangan-rancangan sampel non-probalitas secara purposive sampling yang artinya sampel ditetapkan adalah secara sengaja ditetapkan oleh penulis atas populasi yang ada. Pengambilan sampel dengan purposive sampling dilakukan dengan mengambil orang-orang yang berkompeten dengan penelitian ini yang di dasarkan pada kriteria dan pertimbangan tertentu.

Maka yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah anggota DPRD Sumatera Utara yang sudah terpilih dalam dua periode yaitu periode 1999-2004 dan periode 2004-2009 yaitu sebanyak 17 orang. Sedangkan sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 7 orang yang terdiri dari 2 orang dari Partai Golkar, 2 orang dari PDIP, 2 orang dari PPP dan 1 orang dari PAN.

9.4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam upaya mengumpulkan data yang dibutuhkan dilakukan teknik pengumpulan data berupa studi lapangan dengan metode wawancara dengan para

21

(41)

anggota DPRD yang dianggap sebagai key informan, dan studi kepustakaan dengan melakukan pengumpulan data dari berbagai sumber yang diambil baik dari perpustakaan ataupun tempat lain. Adapun sumber yang digunakan tidak hanya terbatas pada buku-buku, tetapi juga dapat berupa bahan-bahan dokumentasi, majalah, Koran, dan sebagainya yang berupa bahan tulisan yang berhubungan dengan masalah penelitian ini.22

Adapun analisa data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan jenis data kualitatif, yaitu suatu metode yang lebih didasarkan kepada filsafat yang mengutamakan penghayatan dan berusaha memahami sesuatu peristiwa dalam situasi tertentu menurut pandangan peneliti. 9.5. Teknik Analisa Data

23

Yaitu dengan cara data yang telah dikumpulkan dari hasil wawancara tersebut dianalisis lalu menarik kesimpulan sehingga tujuan penelitian tercapai. Dimana jenis analisa data seperti ini banyak dipergunakan dalam jenis penelitian deskriptif dan penelitian historis dimana data dalam jenis penelitian ini dinyatakan dalam bentuk kalimat ataupun uraian.24

Bab II. Deskripsi Objek Penelitian 10. Sistematika Penulisan

Bab I. Pendahuluan

Bab ini berisi latar belakang masalah, perumusan masalah, pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori, hipotesis, definisi konsep, definisi operasional, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.

22

Hadari Nawawi, Ibid., hal, 40. 23

Husaini Usman, Metodologi Penelitian Sosial, Gramedia, Jakarta, 1998, hal. 23. 24

(42)

Bab ini akan memberikan gambaran secara umum mengenai DPRD Propinsi Sumatera Utara berupa sejarah singkat, kedudukan, tugas, dan fungsi kewenangan serta struktur organisasi.

Bab III. Penyajian dan Analisa Data

Bab ini berisikan penyajian data yang diperoleh selama berlangsungnya penelitian dan analisa terhadap data yang telah didapatkan dalam penelitian melalui wawancara yang berkaitan dengan permasalahan penelitian.

Bab IV. Penutup

Bab ini berisi kesimpulan dan Rekomendasi yang diperoleh dari hasil penelitian.

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini disebabkan karena simulasi aliran fluida pada saat running data untuk porositas kecil menyebabkan tumbukan aliran fluida model LGA semakin sering terjadi,

Sebuah fungsi dikatakan not invertible (tidak dapat dibalikkan) jika ia bukan fungsi yang berkoresponden satu-ke-satu, karena fungsi balikannya tidak

Kelulushidupan tertinggi terjadi pada frekuensi pemberian pakan empat kali, tanpa adanya ikan yang mati, hal ini diduga karena dengan tercukupinya pakan yang

Formula untuk menentukan biaya total persediaan optimal model persediaan probabilistik dengan mempertimbangkan faktor diskon adalah hasil penjumlahan dari ordering

Tujuan dibuatnya laporan kerja magang ini adalah sebagai hasil laporan selama penulis melakukan praktik kerja magang serta untuk memenuhi syarat kelulusan.. Selama dua

Dalam kajian investasi, perkiraan biaya dan manfaat yang akan diperoleh dari suatu investasi dianalisa dan hasilnya digunakan untuk menentukan apakah investasi tersebut

Pada penelitian ini, seseorang yang mengalami gangguan bipolar menjadi salah satu kelompok yang rentan terhadap efek stres yang ditimbulkan karena kondisi mood