• Tidak ada hasil yang ditemukan

Adhitya Riefka Sari Putri, Ibu Surini Mangundihardjo, Ibu Endah Hartati. Abstrak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Adhitya Riefka Sari Putri, Ibu Surini Mangundihardjo, Ibu Endah Hartati. Abstrak"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI WARISAN YANG DIKUASAI OLEH

PIHAK LAIN YANG BUKAN MERUPAKAN AHLI WARIS BESERTA

AKIBAT HUKUMNYA DITINJAU DARI KITAB UNDANG-UNDANG

HUKUM PERDATA

(STUDI KASUS PUTUSAN NO. 24/PDT.G/2011/PN.LMJ)

Adhitya Riefka Sari Putri, Ibu Surini Mangundihardjo, Ibu Endah Hartati

Program Kekhususan Hukum Tentang Hubungan Antara Sesama Masyarakat, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 16424

E-mail : adhityarsp@gmail.com  

Abstrak

Setelah Pewaris meninggal dunia, harta yang dimilikinya beralih secara otomatis kepada ahli warisnya. Ahli waris yang berhak untuk mewaris adalah keluarga sedarah. Meskipun telah dinyatakan pada undang-undang bahwa ahli waris yang sah dari pewarislah yang dapat mewaris, nyatanya masih terdapat juga kasus mengenai penguasaan atas harta warisan oleh pihak lain yang bukan ahli waris. Atas dasar tersebut ahli waris pada kasus Putusan No. 24/Pdt.G/2011/Pn.Lmj, mengajukan gugatan mengenai penguasaan harta warisan yang berupa tanah. Pokok permasalahan yang diangkat adalah mengenai pengaturan hukum waris secara umum, dan penerapan pasal 833 dan 834 KUHPerdata pada kasus diatas, serta apakah sudah tepat putusan yang diberikan majelis hakim. Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif berupa penelitian bahan pustaka, dan data yang dipergunakan adalah data sekunder. Kesimpulan yang didapat adalah bahwa hanyalah ahli waris dari pewaris yang sah yang berhak untuk menguasai dari harta warisan yang diturunkan oleh pewaris, serta atas penguasaan harta warisan oleh pihak ketiga dan segala peralihan hak yang dilakukan olehnya adalah batal demi hukum. Maka agar tidak terjadi kasus yang demikian, dapat dicapai salah satunya dengan memberikan penyuluhan hukum agar masyarakat lebih mengerti mengenai hukum waris, dan juga kerjasama antara para ahli waris untuk melindungi hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dimilikinya yang dimiliknya.

Kata Kunci: Ahli Waris; Harta Warisan; Hukum Waris; Mewaris; Pewaris; Pewarisan; Tanah.

Abstract

After the death of the Inheritor, his property left will be automatically transferred to his legal heir. The heirs entitled to the property of inheritance include immediate family members of the inheritors. Even though the law defines that only the legal heirs are entitled to the property, there are cases as to the controll of inheritance property by other parties who are not heirs. On account to this, the heirs to the Decision No. 24/Pdt.G/2011/Pn.Lmj may file claim for the object, which is land, against inheritance to other persons. The subject matter raised is the administration of inheritance law general and the enforcement of Article 833 and 834 Civil Code on the above case and whether the decision passed by the panel of judges correct. This study applied normative method which include literature study where secondary data were employed. The study concluded that only the legal heirs to the legal inheritor are entitled to acquire the property of the inheritor and all control, possession and transfer of inhertitance property by any third party shall be null and void. In order to prevent such a case, legal counseling will be one of effective approaches to provide better understanding of inheritance law and cooperation among the heirs to protect their rights and to fulfill their obligations.

(2)

Key words: Inheritance Law, Heirs, Inheritor, Inherit, Inheriting, Inheritance Property, Land.

Pendahuluan

Hukum waris merupakan sekumpulan peraturan, yang mana mengatur hukum mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang; yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka dengan mereka, maupun dalam hubungannya antara mereka dengan pihak ketiga.1 Telah disebutkan sebelumnya bahwa pewarisan hanya dapat berlangsung apabila telah terjadinya peristiwa kematian, hal ini merujuk pada Pasal 830 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam hal ini menandakan bahwa dalam pewarisan haruslah ada harta yang ditinggalkan, juga adanya pihak yang meninggal dunia dan pihak yang menjadi ahli waris yang masih hidup. Pihak yang menjadi subjek dalam hukum waris adalah yang pertama pewaris, yaitu orang yang telah meninggal dunia dengan meninggalkan kekayaan. Selanjutnya adalah ahli waris atau waris adalah orang yang menggantikan pewaris dalam kedudukan hukum mengenai kekayaannya, baik untuk seluruhnya maupun untuk bagian yang sebanding.2

Harta warisan atau warisan ialah segala harta kekayaan yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal atau disini pewaris, yang berupa semua harta kekayaan dari yang meninggal dunia setelah dikurangi dengan utang-utangnya.3 Pada skripsi ini akan membahas mengenai tinjauan yuridis mengenai akibat yang terjadi atas harta warisan yang dikuasai oleh pihak yang tidak mempunyai hak atas warisan yang ditinggalkan oleh Penggugat karena ia bukan merupakan ahli waris yang sah, ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atas Putusan Pengadilan Negeri Kota Lumajang No. 24/Pdt.G/2011/PN.Lmj. Pada putusan ini Tergugat I telah melakukan hal-hal yang tidak seharusnya dilakukan dengan harta warisan yang objek

                                                                                                                         

1 A. Pitlo dan J. E. Kasdorp, Hukum Waris Menurut Undang-Undang Hukum Perdata Belanda, cet. 3, (Jakarta: PT. Intermasa, 1990), hlm.1.

2Ibid.

3 Ali Afandi, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian Menurut Kitab Undang-Undang Perdata (BW), cet.1, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1983), hlm. 7.

(3)

sengketa yang merupakan tanah peninggalan pewaris. Pada kasus diatas yang terjadi adalah pihak ketiga yaitu Tergugat I yang bukan merupakan ahli waris yang sah dan juga bukan merupakan legataris telah menguasai warisan dan menyalah gunakan tanah sengketa tersebut dengan cara menyewakannya kepada pihak lain dan juga menjaminkan tanah yang bukan merupakan haknya. Maka dari itu Para Penggugat merupakan ahli waris yang sah dari pewaris, menuntut Para Tergugat karena mereka merupakan anak dan cucu yang memang berhak untuk menerima warisan. Dan karena itulah para ahli waris merasa perlu untuk mengajukan gugatan demi melindungi hak-hak yang patut diterima oleh mereka selaku ahli waris dari pewaris yang sah.

Dalam kasus diatas yang menjadi patokannya adalah Hukum Waris Perdata Barat, maka yang dilihat dalam mewarisnya, sesuai asas yang terkandung dalam Pasal 832 KUHPerdata, bahwa menurut undang-undang untuk dapat mewaris, seseorang haruslah mempunyai hubungan darah dengan si pewaris.4 Maka dari Para Penggugat yang merupakan anak dan cucu-cucu dari pewaris berhak untuk muncul menjadi ahli waris. Kemudian dalam kasus diatas dapat diketahui bahwa Tergugat I yang merupakan kerabat jauh yang tidak memiliki hubungan darah secara langsung dengan pewaris, akan tetapi ia menguasai dan berbuat sekehendaknya dengan warisan yang oleh para ahli waris belum sempat untuk dibagi. Tergugat I hanyalah keponakan dari ibu tiri Penggugat II dan Penggugat III. Dan kedudukannya yang seperti itulah yang membuat bahwa Tergugat I bukan merupakan ahli waris yang berhak atas tanah warisan dari pewaris. Dari pembahasan tersebut dapat diketahui bagaimana konsep mengenai peristiwa pewarisan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan juga untuk mengetahui penerapan Pasal 833 KUHPerdata dan Pasal 834 KUHPerdata pada kasus dalam Putusan Pengadilan Negeri Kota Lumajang No. 24/Pdt.G/2011/PN.Lmj. Dan yang terakhir adalah untuk mengetahui apakah putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Lumajang apakah sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku ataukah tidak.

Metode Penelitian

                                                                                                                         

(4)

Di dalam penelitian ini digunakan bentuk penelitian yuridis-normatif karena berdasarkan perumusan masalah, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui penerapan dari undang-undang pada kasus yang terdapat pada putusan.5 Dipandang dari sudut bentuknya, penelitian ini termasuk ke dalam penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data seteliti mungkin tentang manusia keadaan atau gejala-gejala lainnya.

Pada penelitian dengan bentuk yuridis-normatif ini yang diteliti pada awalnya adalah data sekunder, untuk kemudian dilanjutkan dengan dikaitkan pada kasus. Data sekunder dengan menggunakan studi dokumen antara lain, mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, dan seterusnya. Data sekunder yang digunakan pada penelitan ini adalah yang berupa bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan yaitu dengan KUHPerdata, bahan hukum sekunder yang berupa buku-buku hukum, artikel hukum, dan bahan hukum tertier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, misalnya artikel dari internet.

Data primer diperoleh dari sumber pertama, yakni putusan pengadilan, yang dalam hal ini merupakan putusan dari Pengadilan Negeri Kota Lumajang. Pada penelitian ini dipergunakan metode analisis data secara kuantitatif karena yang dilakukan merupakan peyorotan terhadap masalah dan yang dicari adalah pemecahannya yang ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Pembahasan

Prof. Mr. A. Pitlo yang mengatakan bahwa Hukum Waris adalah kumpulan peraturan, yang mengatur hukum mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang: yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan tersebut bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka dengan mereka, maupun dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga.6 Disini dapat disimpulkan bahwa menurut Prof. Pitlo Hukum Waris merupakan peraturan yang berlaku karena adanya seseorang yang meninggal, dimana yang meninggal tersebut meninggalkan harta kekayaan                                                                                                                          

5  Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 2010), hlm. 50.  

(5)

kepunyaannya kepada orang-orang yang memang berhak untuk memperolehnya maupun kepada pihak lain.

Yang dapat diwariskan oleh si meninggal kepada ahli warisnya pada dasarnya adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dalam lingkup hukum kekayaan atau harta benda saja yang dapat diberikannya.7 Kekayaan tersebut merupakan gabungan antara aktiva dan pasiva. Dan juga terdapat suatu keadaan, yaitu hak dari seorang bapak untuk menyangkal sahnya seorang anak dan hak seorang anak untuk menuntut supaya dinyatakan sebagai anak yang sah dari bapak atau ibunya, kedua hal tersebut dinyatakan dalam undang-undang dapat untuk diwariskan kepada ahli warisnya.

Dalam Hukum Waris, yang menjadi syarat umum agar suatu kejadian dapat dinyatakan bahwa terjadinya pewarisan telah timbul apabila telah terpenuhi syarat-syarat umum dari pewarisan. Terdapat pada Titel ke-11 Buku Kedua KUHPerdata, syarat umum dari pewarisan yaitu:

a. Ada orang yang meninggal dunia. Kematian disini adalah kematian yang wajar.

b. Untuk memperoleh harta peninggalan, ahli waris haruslah hidup pada saat pewaris meninggal dunia. 8

c. Adanya harta kekayaan yang ditinggalkan oleh pewaris, dan yang akan beralih kepada ahli waris.9

Sesuai yang disebutkan pada Pasal 830 KUHPerdata, bahwa pewarisan hanya berlangsung karena kematian. Tanpa adanya kematian maka tidak akan ada perpindahan harta kekayaan dari pewaris kepada ahli warisnya secara otomatis.

Pewarisan yang baru dapat terjadi apabila telah ada seseorang yang meninggal dunia, hal ini sesuai dengan pasal 830 KUHPerdata. Dalam kasus diatas, dengan meninggalnya Pak Ninggar dan Bok Ninggar maka harta kekayaan yang mereka miliki akan jatuh ketangan ahli warisnya yaitu Ninggar Pak Ninggar dan Bok Ninggar adalah pasangan suami istri yang sah, dan maka dari itu setelah mereka meninggal dunia maka yang berhak untuk menerima harta kekayaan mereka adalah keturunan yang didapat dalam perkawinan mereka.

                                                                                                                         

7 Effendi Perangin, Hukum Waris,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013), hlm.3

8 Surini Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyah, Hukum Kewarisan Perdata Barat; Pewarisan Menurut

Undang-Undang, (Jakarta: Renada Media Group, 2005), hlm. 14

(6)

Dalam putusan disebutkan bahwa dari perkawinan mereka, Pak Ninggar dan Bok Ninggar memiliki anak satu-satunya yaitu Ninggar Als. P. Muraya. Dan maka dari itu harta kekayaan mereka akan didapatkan olehnya secara keseluruhan dikarenakan tidak ada lagi ahli waris yang ikut mewaris dengannya. Ninggar Als. Murnaya yang sekarang telah meninggal dunia, dahulu memiliki istri yaitu B. Hani, yang dalam perkawinan mereka dikaruniai dengan tiga orang anak yaitu Murnaya, Mat Murnawi dan Murtiha. Murnaya juga telah meninggal dunia tanpa dikaruniai anak, dan Mat Murnawi masih hidup dan dalam kasus ini ia menjadi Penggugat I, sedangkan Murtiha yang kini telah meninggal dunia sebelumnya juga telah menikah. Dari pernikahan Murtiha dengan P. Musinar, dikaruniai tiga orang anak, yaitu Tinarsum, telah meninggal dunia, Ereng yang menjadi Penggugat II dan juga Tinarsim yaitu Penggugat III.

Disini syarat umum dari pewarisan sudah terpenuhi, yang pertama adalah dengan meninggal dunianya pewaris yaitu Ninggar. Kemudian untuk dapat memperoleh harta warisan maka ahli waris haruslah hidup pada saat pewaris meninggal dunia, disini Penggugat I, II dan III masih hidup pada saat meninggal dunianya pewaris. Yang terakhir adalah adanya harta kekayaan yang ditinggalkan oleh pewaris. Pewaris yaitu Ninggar semasa hidupnya menerima warisan berupa tanah dari Pak Ninggar dan Bok Ninggar yang kemudian juga diwariskan olehnya kepada para ahli warisnya.

Asas mewaris dalam Hukum Waris ini terdapat pada Pasal 832 KUHPerdata yang mana menurut undang-undang, untuk dapat mewaris, seseorang harus mempunyai hubungan darah dengan si pewaris. Pada pasal diatas menyebutkan bahwa dengan adanya hubungan darah, maka pewaris dan ahli waris secara otomatis terdapat perpindahan dari hak dan kewajiban atas harta kekayaan, dari pewaris kepada ahli warisnya. Hubungan darah tersebut dapat secara sah ataupun luar kawin, baik melalui garis ibu maupun garis bapak.10 Hubungan darah yang sah adalah hubungan darah yang timbul dari perkawinan yang sah antara pria dan wanita, sedangkan hubungan yang tidak sah timbul sebagai akibat dari hubungan antara pria dan wanita diluar perkawinan.

Keturunan dari pewaris yang sah adalah yang dilahirkan dalam suatu hubungan pernikahan yang sah antara pria dan wanita. Anak-anak yang lahir menjadi ahli waris yang sah dan juga berhak untuk mewaris harta kekayaan dari pewaris. Sedangkan untuk anak luar kawin yang lahir diluar dari perkawinan yang sah, hanya dapat mewaris setelah dilakukannya                                                                                                                          

(7)

pengakuan dari pewaris tersebut terhadapnya. Pengakuan tersebut menjadi dasar dari hubungan hukum antara si anak luar kawin tersebut dengan orang yang mengakuinya. Dan untuk itulah maka anak luar kawin dapat mewaris harta kekayaan dari orang yang mengakuinya.

Pasal 832 KUHPerdata menyebutkan bahwa untuk dapat mewaris, seseorang harus mempunyai hubungan darah dengan pewaris. Pada kasus, ahli waris yang berhak untuk mewaris adalah Mat Murnawi, Ereng dan Tinarsim yang merupakan keturunan dari Ninggar. Mat Murnawi merupakan anak kandung, sedangkan Ereng dan Tinarsim adalah cucu dari pewaris. Maka dari itu secara otomatis seharusnya terjadi perpindahan hak dan kewajiban atas harta kekayaan yang dimiliki oleh pewaris. Pada pasal 852 a KUHPerdata menyebutkan pula bahwa istri merupakan pengecualian untuk asas pada pasal 832. Jadi suami atau istri yang ditinggalkan terlebih dahulu oleh pewaris ikut juga dapat ikut mewaris bersama dengan keturunan. Jadi dalam hal ini B. Hani dan P. Musinar sebagai istri dan suami yang sah dari Ninggar dan Murtiha dapat ikut mewaris beserta dengan anak-anaknya.

Majelis hakim menyatakan bahwa atas dasar bukti tertulis P-13 vide P-15 yang dikuatkan dengan keterangan saksi Ribut Bin Mudar, saksi Surap bin Ramin dan saksi Midi, yang saling berkesesuaian dan menyatakan kedudukan dari para Penggugat adalah merupakan ahli waris yang sah atas Bok Ninggar. Atas dasar diatas dan juga alasan yang telah disebutkan sebelumnya, maka penulis setuju dengan pertimbangan hakim yang menyatakan bahwa adalah benar para Penggugat merupakan ahli waris dari Ninggar karena para Penggugat adalah merupakan keturunan dalam garis lurus kebawah.

Golongan I pada mewaris telah ditetapkan oleh KUHPerdata, pada golongan ini yang menjadi ahli waris adalah suami atau istri yang hidup terlama beserta anak-anak atau keturunannya. Pasal 852 KUHPerdata menyatakan bahwa:

“Anak-anak atau keturunan-keturunan, sekalipun dilahirkan dan berbagai perkawinan, mewarisi harta peninggalan para orangtua mereka, kakek dan nenek mereka, atau keluarga-keluarga sedarah mereka selanjutnya dalam garis lurus ke atas, tanpa membedakan jenis kelamin atau kelahiran yang lebih dulu.

Mereka mewarisi bagian-bagian yang sama besarnya kepala demi kepala, bila dengan yang meninggal mereka semua bertalian keluarga dalam derajat pertama dan masing-masing berhak karena dirinya sendiri; mereka mewarisi pancang demi pancang, bila mereka semua atas sebagian mewarisi sebagai pengganti.”

(8)

Anak atau keturunannya menjadi ahli waris yang mana sesuai dalam pasal diatas bahwa anak-anak maupun cucu dapat mewaris tanpa adanya perbedaan perolehan besarnya harta warisan antara pria dan wanita. Selanjutnya pada Ayat (2) disebutkan juga bahwa anak-anak atau keturunannya mereka mewarisi bagian perkepala, maksudnya adalah mereka semua masing-masing berhak untuk bagian yang sama besarnya dengan satu sama lainnya. Kemudian dijelaskan juga bahwa mewaris pancang demi pancang, disini diartikan bahwa keturunan yang menjadi ahli waris yang sudah meninggal dibagi dahulu bersama dengan Ahli Waris yang lainnya, kamudian bagian dari ahli waris yang meninggal tersebut dibagi rata kepada keturunannya yang masih hidup, dan begitu seterusnya. Jadi jika keturunannya menggantikan dari ahli waris yang meninggal, maka keturunannya yang menggantikan tempat tersebut mewaris pancang demi pancang yang tiap-tiapnya mendapat hak waris yang sama dengan hak bagian orang yang digantikan olehnya dan dalam tiap-tiap pancang mereka yang bertalian keluarga dengan pewaris dalam derajat yang sama, berbagai kepala demi kepala.11

Dikarenakan pada waktu kematian dari pewaris tidak disebutkan adanya wasiat yang sebelumnya telah dibuat, maka pada kasus ini tata cara mewaris secara ab-intestanto atau ahli waris secara undang-undang yang terdapat pada Pasal 832 KUHPerdata. Mewaris secara ab-intestato atau mewaris berdasarkan undang-undang menentukan mengenai golongan ahli waris. Ahli waris yang ada pada kasus diatas adalah anak dan cucu dari pewaris beserta suami dan istri yang hidup terlama. Ahli waris yang demikian termasuk kedalam ahli waris Golongan I yang mana berdasarkan Pasal 852 KUHPerdata menyebutkan bahwa anak atau keturunannya mewarisi harta peninggalan dari orang tuanya.

Mat Murnawi yang merupakan satu-satunya anak dari pewaris yang masih hidup mewaris demi dirinya sendiri, sedangkan untuk Ereng dan Tinarsim mereka mewaris dari pancang Murtiha yang merupakan saudara dari Mat Murnawi yang telah meninggal dunia. Dan juga B. Hani dan P. Musinar juga ikut mewaris karena merupakan suami dan istri yang hidup terlama. Hani ikut mewaris bersama dengan perolehan akan harta warisannya sama dengan anak kandunganya, sedangkan untuk P. Musinar ia mewaris dengan pancang dari Murtiha bersama dengan Ereng dan Tinarsim yang bagiannya dibagi rata oleh mereka. Maka untuk itu dapat diketahui bahwa Ereng dan Tinarsim merupakan ahli waris yang dapat mewaris karena penggantian. Hal ini dikarenakan mereka dapat muncul menjadi ahli waris                                                                                                                          

(9)

akibat dari ibu mereka yang mewaris karena diri sendiri meninggal dunia. Jadi untuk menggantikannya mereka berdua tampil menggantikan Murtiha menjadi ahli waris yang sah. Penggantian yang seperti ini temasuk peristiwa penggantian tempat dalam garis lurus kebawah tanpa batas yang diatur dalam pasal 842 KUHPerdata,yang berarti penggantian tempat dapat dilakukan oleh anak dan cicit secara bersama walaupun berbeda derajat.

Suyanto Als. Yanto yang merupakan Tergugat I merupakan saudara jauh dari para ahli waris Ereng dan Tinarsim, bukan merupakan ahli waris dari Ninggar. Kedudukan Suyanto disini adalah anak dari saudara kandung ibu tiri Penggugat II dan Penggugat III. Disini Suyanto tidak memiliki hubungan darah dengan ahli waris yang mewaris demi dirinya sendiri ataupun juga ahli waris berdasaarkan peristiwa penggantian. Maka dari itu Suyanto yang merupakan Tergugat I tidak seharusnya untuk memperoleh hak dari harta warisan yang dimiliki oleh para Penggugat. Karena sesuai dengan asas mewaris, jika tidak memiliki hubungan darah maka seseorang tidak dapat menerima warisan.

Selain itu pewaris yaitu Ninggar juga diketahui tidak membuat adanya surat wasiat atau testamen, Murtiha yang juga telah meninggal dunia tidak diketahui untuk membuat testamen. Maka dari itu tidak mungkin juga Tergugat I merupakan legaataris yang berhak untuk menerima warisan. Dan berdasarkan pasal 833 dan pasal 834 KUHPerdata dapat kita simpulkan bahwa sudah benar tindakan dari para ahli waris untuk menggugat dari pihak Tergugat I, yang dilakukan oleh Penggugat I, II dan III, untuk mengambil kembali apa yang telah menjadi haknya. Bahwa ahli waris dari pewaris dapat memperoleh seluruh harta kekayaan dari pewaris, baik yang bersifat aktiva maupun pasiva. Dalam kasus ini yang menjadi obyek sengketa adalah 4 bidang tanah yang terletak di Lumajang.

Atas sikap yang diambil oleh para ahli warisnya, dapat terlihat adalah mereka menerima warisan yang ditinggalkan oleh pewaris secara diam-diam. Para ahli waris yaitu Penggugat I, Penggugat II, Penggugat III, B. Hani dan Musinar memang tidak membuat akta yang menyatakan dengan tegas bahwa mereka menerima warisan, akan tetapi dengan dilayangkannya gugatan oleh para Penggugat telah bisa dinilai bahwa secara diam-diam mereka menerima harta warisan yang berikan kepadanya.

Pasal 584 KUHPerdata menyebutkan bahwa mewaris merupakan salah satu cara untuk mendapatkan hak kebendaan, hal ini dikarenakan dengan mewaris, ahli waris dapat menerima secara otomatis harta kekayaan orang yang meninggal. Pada kasus ini pewaris yaitu Ninggar memiliki harta kekayaan yaitu beberapa bidang tanah yang ia warisi dari orang

(10)

tuanya. Dan setelah pewaris meninggal dunia, harta kekayaannya kemudian jatuh ketangan para ahli warisnya. Maka dari itu para ahli waris dari Ninggar secara bersama-sama mewarisi tanah yang menjadi obyek sengketa I, II, III, dan IV. Maka dari itu Tergugat I yang sehari-harinya tinggal satu rumah dengan Penggugat II pada waktu itu dikarenakan Penggugat II belum dewasa maka ia diberikan kesempatan untuk mengerjakan tanah sengketa I, II, III, dan IV yang malah disalahgunakan olehnya. Tergugat I yang tidak memiliki hak atas tanah warisan tersebut malah menyewakan tanah tersebut dan juga ia melakukan hal-hal yang tidak seharusnya ia lakukan tanpa seizin dan sepengetahuan dari para ahli waris. Disini ia tidak memiliki hak apapun atas tanah tersebut karena hak milik atas tanah sengketa I, II, III dan IV bukan berada ditangannya.

Pengertian benda terdapat pada pasal 499 KUHPerdata yang berarti segala sesuatu yang dapat dihaki dan dijadikan objek hak milik. Sebelumnya juga telah disebutkan bawa salah satu cara untuk memperoleh hak kebendaan adalah dengan mewaris. Diatur pada pasal 506 KUHPerdata, tanah adalah termasuk kepada jenis benda. Maka dari itu tanah yang menjadi objek sengketa I, II, III, dan IV termasuk kedalam jenis benda yang tidak bergerak karena sifatnya. Dan sesuai dengan pasal 584 KUHPerdata menyebutkan bahwa terdapat 5 cara untuk memperoleh hak milik atas benda, yaitu dengan pendakuan, perlekatan, daluwarsa, pewarisan dan penyerahan berdasarkan suatu peristiwa perdata untuk menyerahkan hak milik, yang dilakukan oleh orang yang berhak untuk berbuat bebas terhadap kebendaan yang akan diserahkan hak miliknya tersebut.

Dalam pertimbangan hakim sebelumnya telah disebutkan bahwa atas tanah yang menjadi obyek sengketa tersebut adalah benar milik dari Bok Ninggar yang kemudian menjadi harta warisan yang diturunkan kepada Para Penggugat . Hal ini menurut dari majelis hakim didasarkan kepada bukti kepemilikan dari tanda pendaftaran sementara hak milik tanah yang tercatat atas nama B. Ninggar (bukti P-I, P-II) dan dikuatkan dari keterangan para saksi. Untuk para ahli waris dari pewaris atau Ninggar, dengan adanya hak saisine ini maka secara otomatis harta kekayaan yang dimiliki oleh pewaris akan jatuh kepada ahli waris. Didalamnya termasuk juga hak-hak kebendaan.

Maka dari itu para ahli waris dari Ninggar berhak untuk memperoleh tanah yang menjadi obyek sengketa, bukannya Tergugat I. Jika Tergugat I ingin memiliki hak dari tanah warisan tersebut seharusnya ia menggunakan penyerahan dengan cara adanya peristiwa perdata. Dan penyerahan tersebut haruslah dari orang yang berhak melakukannya yaitu para

(11)

ahli warisnya yang berhak, karena berdasarkan pasal 584 KUHPerdata menjelaskan bahwa hanya seorang pemilik atas suatu benda sajalah yang dapat mengalihkan hak miliknya atas suatu benda.

Dan karena tanah obyek sengketa tersebut merupakan hak dari para ahli waris yaitu para Penggugat , maka Tergugat I tidak berhak untuk menikmati tanah harta warisan tersebut karena ia bukanlah merupakan ahli waris yang sah dari pewaris. Maka dari itu adalah sudah benar pertimbangan dari majelis hakim bahwa terhadap segala peralihan hak yang dilakukan oleh Tergugat I terhadap tanah obyek sengketa I, II, III, IV yang olehnya sebagian telah dijual dan dijadikan jaminan hutang, serta dipindahtangankan haruslah dikesampingkan. Hal ini dikarenakan Tergugat I tidaklah memiliki hak alas sebagai pemilik yang menguasai atas tanah sengketa tersebut. Dan karena kedudukannya yang seperti itulah maka tidak memenuhi syarat materil dari pihak yang mengalihkan dari suatu benda. Maka dari itu atas peralihan yang telah dilakukan olehnya dapat dijadikan suatu bentuk kebatalan (null en void). Dengan batalnya peralihan tersebut, maka peralihan tersebut dianggap tidak pernah ada dan oleh karena itu hak milik atas tanah sengketa I, II, III dan IV masih berada di tangan ahli waris dan atas peralihan tersebut batal demi hukum. Dapat dikatakan peralihan tersebut batal demi hukum adalah karena kedudukan dari Tergugat I itu sendiri . Juga mengenai fakta bahwa tanah tersebut merupakan harta warisan yang hanya dapat dikuasai oleh para ahli warisnya. Dan sudah jelas bahwa Tergugat I bukan merupakan ahli waris yang sah dari pewaris.

Putusan yang diberikan Majelis Hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Kota Lumajang No. 24/Pdt.G/2011/PN.Lmj sudah tepat, namun pada bagian pertimbangan hukum seharusnya diberikan juga landasan hukum yang konkrit, baik mengenai pewarisan secara umum maupun mengenai hak kebendaan yang diturunkan melalui waris. Yang dikemukakan oleh Majelis Hakim pada kasus ini hanya mengenai persesuaian antara barang bukti dengan keterangan yang diberikan oleh para saksi. Seharusnya ketiga hal tersebut dinyatakan oleh Majelis Hakim pada pertimbangan hukumnya. Majelis Hakim seharusnya juga menyebutkan pada dasar pertimbangan mengenai hukum waris secara umum, dan dari sanalah dapat diketahui bahwa hanyalah ahli waris yang sah yang dapat mewaris. Hal ini dikarenakan jika dalam suatu putusan yang kurang cukup pertimbangan hukumnya maka dapat dijadikan alasan untuk dimajukan ke tingkat kasasi.

(12)

Kesimpulan

1. Hukum waris adalah sekumpulan peraturan yang mengatur mengenai apa yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia (pewaris) kepada orang-orang yang berhak atas harta kekayaan yang dimilikinya (ahli warisnya), maupun kepada pihak ketiga. Harta kekayaan disini gabungan antara aktiva dan pasiva, karena yang dapat diwariskan kepada ahli warisnya adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang termasuk kedalam lingkup hukum kekayaan. Pada prinsipnya pewarisan hanya daat terjadi karena adanya hubungan darah dan hibah wasiat. 2. Pewarisan adalah salah satu cara untuk memperoleh hak milik atas suatu benda.

Dan diketahui juga bahwa hak waris adalah hak kebendaan. Maka dari itu pewaris atau Ninggar setelah ia meninggal dunia kemudian terdapat peralihan hak dan kewajiban atas aktiva dan pasiva yang dimiliki olehnya kepada para ahli warisnya. Peralihan yang demikian terjadi dengan sendirinya secara hukum kepada para ahli warisnya yang sah, sesuai dengan pasal 833 KUHPerdata. Dan didalamnya terdapat harta kekayaan berupa kepemilikan atas empat bidang tanah yang saat ini belum terbagi oleh para ahli warisnya. Maka dapat diketahui bahwa tanah obyek sengketa merupakan hak yang seharusnya dikuasai oleh para ahli waris, yaitu Mat Murnawi, Ereng dan juga Tinarsim. Maka dari itu Suyanto atau Yanto yang merupakan Tergugat I, adalah pihak yang bukan merupakan ahli waris dari Ninggar dan ia tidak memiliki hak untuk menguasai tanah warisan, karena ia tidak memiliki hubungan darah dengan pewaris. Dalam hal ini Tergugat I hanyalah kerabat jauh dari ibu tiri Ereng dan Tinarsim. Maka dari itu ia tidaklah berhak untuk menguasai tanah sengketa I, II, III dan IV dan juga melakukan perbuatan hukum atas tanah tersebut. Para ahli waris sesuai dengan pasal 834 KUHPerdata, mereka berhak untuk mengajukan gugatan untuk mengambil alih harta warisan yang seharusnya diterima oleh mereka Akan tetapi dalam kasus kedua pasal diatas tidak diterapkan oleh Para Penggugat. Padahal Pasal 833 dan Pasal 834 KUHPerdata dapat dijadikan sebagai dasar hukum dari Para Penggugat untuk mendapatkan hak-haknya sebagai ahli waris dari Ninggar, karena kedua pasal diatas merupakan hak-hak yang diterima oleh mereka sebagai ahli waris.

3. Putusan yang diberikan Majelis Hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Kota Lumajang No. 24/Pdt.G/2011/PN.Lmj sudah sesuai dengan peraturan

(13)

perundang-undangan yang berlaku. Ditinjau dari segi Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Majelis Hakim menyatakan bahwa Para Penggugat adalah ahli waris dari pewaris, hal ini sesuai dengan Pasal 832 yang menyatakan bahwa untuk dapat mewaris seseorang harus mempunyai hubungan darah dengan pewaris. Juga bahwa Para Penggugat telah membuktikan bahwa mereka adalah ahli waris dari pewaris maka sesuai dengan Pasal 852 KUHPerdata, mereka yang merupakan keturunan dari pewaris berhak untuk mewarisi harta darinya. Kemudian Pasal 584 KUHPerdata menyatakan bahwa dengan suatu peristiwa pewarisan merupakan salah satu cara untuk mendapatkan hak milik. Maka dari itu pewaris atau Ninggar setelah ia meninggal dunia kemudian terdapat peralihan hak dan kewajiban atas aktiva dan pasiva dari harta kekayaan yang dimiliki olehnya kepada para ahli warisnya, yaitu Para Penggugat. Dilihat dari dasar hukum yang digunakan oleh Majelis Hakim adalah Pasal 163 HIR yaitu pihak yang mendalilkan maka ia lah yang wajib untuk membuktikan kebenarannya. Para Penggugat dapat membuktikan bahwa mereka adalah ahli waris dari pewaris, sedangkan Tergugat I, II, IV dan VI dalam bantahannya tidak disertai dengan alasan dan tidak juga dikuatkan dengan alat bukti. Pertimbangan hukum yang diajukan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Lumajang pada Putusan No. 24/Pdt.G/2011/Pn.Lmj adalah dengan persesuian antara barang bukti dengan pernyataan yang diberikan oleh para saksi. Dan Tergugat I bukan merupakan ahli waris karena ia hanyalah saudara jauh dari Penggugat I dan Penggugat III yang tidak memiliki hubungan darah dari pewaris. Dan dari itu Tergugat I tidaklah berhak untuk menguasai harta warisan dari pewaris. Maka putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim mengenai Tergugat I bukanlah ahli waris dari pewaris adalah benar. Akan tetapi pada bagian pertimbangan hukum masih terdapat kekurangan. Seharusnya diberikan landasan hukum yang konkrit, baik mengenai pewarisan secara umum maupun mengenai hak kebendaan yang diturunkan melalui waris.

(14)

1. Pengaturan mengenai hukum waris di Indonesia bersifat pluralistis, karena dikenal tiga sistem hukum yang mengatur hal tersebut. Selain Hukum Waris Perdata, dikenal juga hukum waris Islam dan juga Hukum Waris Adat. Pemahaman mengenai hukum waris tersebut hingga saat ini tidak secara utuh dikuasai oleh masyarakat. Padahal visi dari hukum sendiri adalah hukum haruslah diketahui oleh warga negaranya. Jadi alangkah lebih baik jika masyarakat diberi pengetahuan dengan cara diadakannya sosialisasi dan penyuluhan hukum yang konkrit oleh universitas atau lembaga hukum yang kompeten dengan bekerja sama dengan pemerintah mengenai hukum waris ini.

2. Di Indonesia sendiri masih terdapat banyak kasus yang dapat dijumpai dimana harta warisan tidak dimiliki oleh para ahli warisnya yang berhak, akan tetapi dikuasai oleh pihak-pihak diluar ahli warisnya. Dan mereka yang seperti itu tidak sedikit yang pada akhirnya melepaskan apa yang telah menjadi haknya. Hal tersebut dapat diselesaikan dengan cara kekeluargaan antara para pihaknya. Atau juga hal tersebut dapat dihindari seperti yang terdapat pada kasus diatas, dengan cara harta warisan yang berupa aktiva dan pasiva tersebut secepatnya dapat langsung dibagi diantara ahliwarisnya yang berhak. Kemudian dengan cara para ahli waris bekerja sama dengan memposisikan hak-hak dan kewajiban-kewajiban mereka. Para ahli waris juga haruslah sependapat bahwa penguasaan atas harta warisan oleh pihak lain dapat dihindarkan, dan mencari solusi bagaimana caranya. Dan mencara cara bagaimana agar penguasaan tanah hak yang mereka miliki agar tidak dikuasai oleh pihak lainnya. Dan mereka harus menjaga harta yang telah beralih dari pewaris, dengan sedemikian rupa agar hak-hak para ahli waris tersebut dapat terlindungi.

Daftar Referensi

Buku:

A. Pitlo. Hukum Waris; Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda. Diterjemahkan Oleh M. Isa Arief. Jakarta: Pt. Intermasa, 1990.

(15)

Afandi, Ali. Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian; Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Bw), Cet. 1. Jakarta: Bina Aksara, 1983.

J. Satrio. Hukum Waris, Cet. 1. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990.

Perangin, Effendi. Hukum Waris, Cet. 11. Jakarta: Pt. Grafindo Persada, 2013.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-Press, 2010.

Sjarif, Surini Ahlan Dan Nurul Elmiyah. Hukum Kewarisan Perdata Barat; Pewarisan Menurut Undang-Undang, Cet.2. Jakarta: Kencana, 2006.

Undang-Undang:

Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Burgerlijk Wetboek), diterjemahkan oleh Prof. R. Subekti, S.H dan R. Tjitrosudibio, cet. 28 (Jakarta Praditya Paramita, 1996).

Referensi

Dokumen terkait

Pemberian hibah ini juga tidak boleh melebihi 1/3 dari jumlah seluruh harta peninggalan pewaris.Serta menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hak waris Anak Angkat sama

Idris, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dengan Kewarisan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), Sinar Grafika, Jakarta, 2000.. , Perbandingan Hukum

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia , Prenada Media Grup, Jakarta, 2006.. Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian , Rineka Cipta,

judul “ ASPEK HUKUM MEWARIS DIDASARKAN HIBAH WASIAT MENURUT HUKUM WARIS ISLAM ( FAROIDH ) DAN KITAB UNDANG-. UNDANG

Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian Menurut KUH Perdata √ √ - Tugas kedua membuat makalah tentang pewarisan para keluarga sedarah dan

41 Kitap Undang-Undang Hukum Perdata (Bw)., Pasal 875.. menandatangani keterangan itu dihadapan notaris dan saksi-saksi. Setelah itu pewaris harus membuat akta penyimpanan

Kesimpulan dari akibat hukum pemberian warisan saat pewaris masih hidup berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah batal demi hukum karena bertentangan

Hal itu mendorong para pembuat Undang-undang khususnya Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) membuat suatu lembaga pengakuan, sehingga menimbulkan akibat hukum terhadap