• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi Ulat Sutera Bombyx mori L.

Ulat sutera (Bombyx mori L.) merupakan serangga yang memiliki keuntungan yang ekonomis bagi manusia karena mampu menghasilkan benang sutera. Menurut Boror et al., (1996), klasifikasi Bombyx mori L. adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Sub Filum : Mandibulata Klass : Insecta Sub Klass : Pterygota Ordo : Lepidoptera Family : Bombycidae Genus : Bombyx

Spesies : Bombyx mori L.

Gambar 2.1 Ulat sutera Bombyx mori L. instar V; A. Thorax (dada)

B. Abdominal segment (segmen perut) C. Crescent D. Eye spots (mata) E. Head (kepala) F. Caudal horn (ekor) G. Thorax legs H. Spiracles I. Stars spots J. Abdominal legs K. Caudal legs

(2)

Larva ulat sutera mempunyai tanduk anal yang pendek dan memakan daun murbei. Larva ulat sutera ini tumbuh dan memintal kokon dalam waktu kira-kira enam minggu. Apabila digunakan dalam kepentingan perdagangan, pupa dibunuh sebelum berubah menjadi ngengat, karena pemunculan ngengat akan merusak serat-serat di dalam kokon. Tiap-tiap kokon terdiri dari satu benang tunggal yang panjangnya kira-kira 914 meter. Kira-kira-kira diperlukan 3000 kokon untuk membuat satu pon sutera (Boror et al., 1992).

Selain Bombyx mori, ada juga jenis ngengat lain yang mampu menghasilkan sutera, yakni Antheraea pernyii yang hidup di China, Antheraea yamami yang hidup di Jepang, dan Antheraea paphia yang hidup di India. Ketiga ngengat tersebut merupakan anggota keluarga Saturniidae yang juga berasal dari bangsa Lepidoptera. Meskipun ulat dari ngengat-ngengat tersebut mampu menghasilkan sutera, tetapi hasilnya tidak terlalu baik jika dibanding dengan sutera dari ngengat Bombyx mori (Tim Penulis, 1992).

Gambar 2.2 Ngengat sutera Bombyx mori L. (a). Ngengat Jantan, (b). Ngengat Betina

2.1.1 Siklus Hidup Ulat Sutera

Menurut Jumar (2000), siklus hidup adalah serangkaian berbagai stadia yang terjadi pada seekor serangga dalam pertumbuhannya, sejak dari telur sampai menjadi imago (dewasa). Perkembangan pasca-embrionik atau perkembangan insecta setelah menetas

(3)

dari telur akan mengalami serangkaian perubahan bentuk dan ukuran mancapai serangga dewasa.

Perubahan bentuk dan ukuran yang bertahap ini disebut dengan metamorfosis. Ulat sutera sendiri adalah salah satu serangga yang mengalami metamorfosis sempurna. Sepanjang hidupnya, ulat sutera telah mengalami empat fase, yaitu fase telur, fase larva, pupa dan imago. Pada fase larva terdapat beberapa tahap, yaitu instar I, instar II, instar III, instar IV, dan instar V (Katsumata dalam Ekastusi, 1992).

Gambar 2.3 Siklus Hidup Ulat Sutera Bombyx mori L. (Sumber. http://img11 .images hack .us/i/silkworm.jpg/)

(4)

Seperti halnya kupu-kupu, ngengat juga mengalami beberapa tahapan dalam hidupnya sampai menjadi dewasa. Berawal dari telur, menetas menjadi larva (ulat), kemudian berubah menjadi pupa yang terbungkus kokon dari sutera, dan akhirnya menjadi bentuk dewasa berupa ngengat. Rangkaian peristiwa ini dikenal dengan istilah metamorfosis sempurna dan terjadi dalam waktu kurang lebih dari satu bulan. Dalam tahap ini mengalami perubahan yaitu telur berubah menjadi ulat dan kemudian menjadi dewasa atau ngengat. Dalam peristiwa ini ada dua perubahan yang terjadi. Pertama, perubahan pada setiap telur menjadi bentuk ulat. Kedua, perubahan ulat menjadi ngengat. Telur sutera menetas secara tidak langsung berubah jadi ngengat, tetapi terlebih dahulu menjadi ulat. Dalam pertumbuhannya ulat mengalami beberapa kali pergantian kulit, karena kulitnya seakan-akan hanya mampu membungkus tubuh sampai pada tahap pertumbuhan tertentu. Untuk mencapai pertumbuhan berikutnya diperlukan kulit baru untuk membungkus tubuh yang lebih besar (Tim penulis, 1992).

Ngengat dalam hidupnya mengalami metamorfosis sempurna dengan bentuk yang berbeda antara satu fase dengan fase yang lain. Perubahan tersebut adalah dari telur berubah menjadi larva, kemudian menjadi kepompong dan akhirnya menjadi imago (bentuk dewasa), yakni berupa ngengat (Guntoro, 1995).

Serangga mempunyai kelenjar yang mengeluarkan hormon yang disebut ekdison, yang merupakan suatu steroid. Ekdison selalu dianggap sebagai hormon yang bertanggung jawab terhadap pergantian kulit serangga. Dapat ditunjukkan bahwa ekdison bekerja langsung pada kromosom. Hal ini dapat dilihat oleh adanya gejala pembengkakan (puffing) pada kromosom setelah dikenai ekdison. Gejala ini adalah akibat pembuatan DNA dan RNA ditempat itu, yang berhubungan langsung dengan sintesis proteinnya (Sastrodihardjo, 1984).

Telur ulat sutera berbentuk agak gepeng dan kecil, ukurannya kira-kira 1,3 mm, lebar 1 m dan tebal 0,5 mm beratnya hanya ± 0,5 mg. Warna telur hari pertama setelah telur keluar dari induk kupu adalah kuning sampai kuning susu. Pada telur ulat sutera polyvoltin warna tersebut hampir tidak berubah sampai kurang lebih 7-8 hari, tetapi dalam 1-2 hari menjelang akan menetas akan berubah lagi menjadi abu-abu kebiruan (KPSA, 1990).

(5)

2.1.2 Ciri-ciri Morfologi pada Mutan Ulat Sutera (Bombx mori L.)

Ulat sutera dewasa berwarna putih krem dengan beberapa garis kecoklat-coklatan pucat melintang pada sayap-sayap depan, dan mempunyai bentangan sayap kira-kira 50 mm, tubuhnya besar dan berbulu. Ulat sutera dewasa tidak makan, jarang terbang, dan kadang-kadang hanya hidup beberapa hari saja. Masing-masing betina bertelur sekitar 300-400 telur (Boror et al., 1992).

Mutasi gen dapat menyebabkan berbagai perubahan dalam penampakan morfologi ulat sutera. Menurut Tazima (1978), ada beberapa karakteristik morfologi ulat sutera (Bombyx mori L.) yaitu:

a. Warna Tubuh − Lemon (lem)

Larva berwarna kuning terang karena memiliki 7,8-dehydropteridine (sepiapterin) dalam sel hypodermal mereka.

− Inhibitor-f Lemon (i-lem)

Larva pada i-lem ini lebih gelap dibandingkan dengan larva lem. − Dilute Black (bd)

Larva berwarna hitam keabu-abuan. Ngengat betina benar-benar steril memproduksi telur mikropilar struktur yang tidak normal. Ngengat jantan subur tetapi tidak dapat melakukan pembuahan tanpa bantuan.

− Sooty (so)

Warna kepala hitam gelap, dada dan perut yang berbulu dalam larva maupun di ngengat. Pupa so adalah berwarna hitam pekat dan coklat kekuningan pada normal.

b. Karakteristik Kepompong dan dewasa

Kepompong sutera memiliki bentuk elip dan berwarna coklat kekuningan. Bentuk yang terlihat adalah sayap menonjol dari dada, meluas ke segmen ke-2 bagian perut di sisi vetral. Ngengat ditutupi dengan warna yang coklat gelap.

(6)

i. Bentuk sayap

Untuk melihat bentuk sayap ngengat pada yang mutan dapat dilihat pada tahap pupa yaitu sebagai berikut:

− Wingless (Flugellos) (fl)

Kedua sayap anterior posterior tidak ada pada pupa maupun ngengat, sering mati, pendarahan pada wilayah perbatasan antara dada dan perut. Kaki ke 2 dan ke 3 ngengat mempunyai perkembangan yang buruk, pembuahan sulit bagi jantan. − Vestigial (vg)

Kedua sayap depan dan sayap belakang kurang berkembang. − Micropterous (mp)

Bagian Sayap hanya terdapat pada segmen dada pada pupa, ukuran sayap yang muncul sekitar 80% dari normal.

− Minute Wing (mw)

Mirip dengan mp tapi sayap lebih pendek. − Wrinkled Wing (wri)

Sayap kurang berkembang, tidak diperpanjang sepenuhnya. − Crayfish (cf)

Sayap pada anterior maupun posterior bengkak dan menonjol kearah luar dari tubuh, sehingga menghasilkan tampilan seperti udang karang. Sayap bengkak, rapuh dan cenderung berdarah.

− Crayfish of-Eguchi (cf-e) Sangat mirip dengan cf.

ii. Karakteristik mata

Warna mata berhubungan erat dengan warna pada telurnya. Gen warna pada telur normal membuat mata berwarna hitam, gen merah pada telur membuat mata berwarna merah gelap, dan gen putih pada telur membuat mata berwarna putih tetapi kadang-kadang tidak memberikan pengaruh yang sama.

(7)

2.2 Pakan Ulat Sutera

Menurut Keng (1969), klasifikasi tanaman murbei adalah sebagi berikut: Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta Sub Divisi : Angiospermae Klass : Dicotyledoneae Ordo : Urticales Family : Moraceae Genus : Morus Spesies : Morus sp.

Gambar 2.4 Pakan Ulat Sutera Daun Murbei (Morus sp.)

Secara umum murbei merupakan pohon semak. Tinggi maksimalnya mencapai 15 m dengan diameter tajuk 60 cm, memiliki daun tunggal dan spatula. Menurut Wyman (1974), murbei dapat tumbuh atau hidup pada berbagai jenis tanah, serta pada ketinggian antara 0-3000 m dpl. Karenanya, dibeberapa tempat di Indonesia banyak ditemukan murbei tumbuh dengan liar. Ulat sutera lebih cocok berkembangbiak di tempat beriklim sejuk, sehingga murbei lebih ideal ditanam pada ketinggian 400-800 m dpl. Daerah yang mempunyai temperatur rata-rata 21-23 0C sangat cocok untuk murbei. Tanah sebaiknya memiliki pH diatas 6, teksturnya gembur, ketebalan lapisan paling tidak 50 cm. Tanah yang subur akan memberikan dukungan pertumbuhan yang baik. Walaupun begitu, tanah yang kurang subur bisa dibantu dengan dosis pemupukan yang tepat (Tim penulis, 1992).

(8)

Tanaman Murbei memiliki banyak jenis untuk pakan ulat sutera, antara lain jenis Morus alba, Morus cathayana dan Morus multicaulis. Tanaman murbei jenis Morus alba ujung rantingnya yang muda sedikit merah, produksi daunnya cukup tinggi. Morus cathayana ujung rantingnya masih muda dan tangkainya sedikit merah, ukuran daun besar produksi daunnya cukup tinggi. Sedangkan pada murbei jenis Morus multicaulis ujung ranting muda kehijauan. Ukuran daun lebar, produksi daun tinggi dan tidak cepat layu (Guntoro, 1994).

2.3 Kromosom dan Kariotipe 2.3.1 Kromosom

Menurut Yatim, (1983), kromosom berasal dari kata (Chromo= warna dan soma= badan). Suryo (1995) menyatakan, kromosom adalah benda-benda halus berbentuk lurus seperti batang atau bengkok yang terdiri dari zat yang mudah menyerap zat warna. Menurut Pai (1987), kromosom-kromosom mengandung gen-gen yang merupakan wahana bagi pemindahan dari satu generasi ke generasi lain pada semua organisme.

Irawan (2008) menyatakan, kromosom adalah suatu struktur yang tersusun dari asam nukleat dan protein. Pada stadium interfase bahan kromosom ini tampak sebagai benang halus dan disebut kromatin. Pada eukariot kromatin terdapat pada inti sel, sedangkan prokariot terdapat pada sitoplasma. Ketika sel memasuki stadium metafase kromatin menggulung dan melipat sehingga tampak tebal dan mudah terlihat dengan mikroskop cahaya. Kromatin menggulung dan melipat ini disebut kromosom.

Kromosom yang terlihat dengan mikroskop elektron tampak terdiri dari serabut-serabut yang tebalnya dapat berkisar antara 100 angstrom (1 Å = 0,0001 mikron = 0,0000001 mm) sampai kira-kira 500 Å. Kebanyakan unsur serabut itu mempunyai diameter kira-kira 250 Å. Menurut Du Praw (1970) dalam Suryo (1995), kromatid dari sebuah kromosom terdiri dari seutas serabut tunggal berbentuk spiral yang terbentuk banyak sosok dan lipatan selama pembelahan sel.

(9)

Yatim (1983), menyatakan, satu kromosom terdiri dari 2 bagian, yaitu sentromer dan lengan. Sentromer adalah bagian kepala kromosom. Ketika sel membelah kromosom menggantung pada serat gelendong lewat sentromer. Sentromer tidak mengandung kromonema dan gen. Dalam preparat mikroskopis, bagian ini tampak sebagai lekukan kearah dalam dan warnanya lebih tipis bila dibandingkan dengan lengan kromosom (Suryo, 1995). Mengandung kromonema dengan lengan ialah badan kromosom sendiri (Yatim, 1983).

Menurut Suryo (1995), kromosom dapat dibedakan berdasarkan letak sentromernya yaitu:

a. Kromosom metasentris, ialah kromosom yang memiliki sentromer di tengah, sehingga kromosom terbagi atas dua lengan sama panjang. Biasanya kromosom membengkok di tempat sentromer sehingga kromosom berbentuk huruf V.

b. Kromosom submetasentris, ialah kromosom yang memiliki sentromer tidak ditengah, sehingga kedua lengan kromosom tidak sama panjang. Bila kromosom ini membengkok di tempat sentromer, maka kromosom berbentuk huruf J. Lengan yang pendek biasanya diberi simbol p sedangkan lengan panjang q.

c. Kromosom akrosentris, ialah kromosom yang memiliki sentromer di salah satu ujungnya, sehingga kedua lengan tidak sama panjang. Biasanya kromosom ini lurus, tidak bengkok.

d. Kromosom telosentris, ialah kromosom yang memiliki sentromer disalah satu ujungnnya, sehingga kromosom tetap lurus dan tidak terbagi atas dua lengan. Kromosom telosentrik tidak dijumpai pada manusia, dan sangat langka pada tumbuh-tumbuhan. Pada hewan ada kalanya ditemukan kromosom telosentris.

Struktur kromosom dapat dilihat sangat jelas pada fase-fase tertentu waktu pembelahan nukleus pada saat mereka bergulung. Pada setiap kromosom dalam genom biasanya dapat dibedakan satu dengan yang lain oleh beberapa kriteria, termasuk panjang relatif kromosom, posisi suatu kromosom yang disebut sentromer yang membagi kromosom menjadi dua tangan yang panjangnya beda-beda, kehadiran dua posisi bidang (area) yang membesar yang disebut tombol (knob) atau kromomer, adanya panjangnya halus pada terminal dari material kromatin yang disebut satelit dan sebagainya. Suatu kromosom dengan sentromer median (metasentris) akan

(10)

mempunyai tangan-tangan dengan ukuran yang kira-kira sama. Kromosom yang submetasentris atau akrosentris mempunyai tangan-tangan yang jelas ukurannya tidak sama. Jika sentromer suatu kromosom berada di atau dekat sekali dengan salah satu ujung kromosom, disebut telosentris. Tiap kromosom dari genom (dengan pengecualian kromosom-kromosom seks) diberi nomor secara berurutan menurut panjangnya, dimulai pertama kali dengan kromosom dari yang paling panjang sampai yang paling pendek (Stansfield & Erlod, 1991).

2.3.2 Kariotipe

Kariotipe adalah gambaran kromosom yang ada dalam suatu sel atau individu, biasanya yang digunakan adalah kromosom pada stadium metafase. Dalam kariotipe disusun berdasarkan panjangnya dan posisi sentromer. Dalam stadium metafase setiap kromosom telah menggandakan diri menjadi dua kromatid yang bersatu pada bagian sentromer. Dalam proses pembelahan selanjutnya kromatid akan tertarik oleh benang. Pada tingkat metafase dalam proses pembelahan sel dapat di foto kromosom suatu organisme. Pada fase ini kromosom berada pada bidang ekuator, dan jika sayatan tepat melewati bidang ekuator, maka dapat dilihat sediaan yang mengandung kromosom yang terdapat dalam sel. Kromosom disusun dan dikelompokkan berdasarkan panjang dan bentuknya (Yatim, 1983 & Irawan, 2008).

Tjong dan Roesma (1998), melaporkan bahwa suatu kromosom memperlihatkan kromosom berbentuk metasentrik kecuali kromosom yang tidak dapat ditentukan letak sentromernya dan terdapat perbedaan kariotipe antara Ephilachna vigintioctopuntata strain Leguminoceae dan Solanaceae dalam hasil panjang kromosom relatif terutama untuk kromosom X.

Prosedur pembuatan kromosom yang terbaru dapat menghasilkan pewarnaan yang tidak merata, menghasilkan jalur-jalur (garis-garis) yang terang dan gelap. Pola bergaris-garis dari kromosom-kromosom individual yang ditemukan adalah unik dan konsisten, dan digunakan untuk mengenali (identifikasi) pasangan-pasangan homolog. Selain itu, kromosom berada dalam ukuran besarnya dan dalam posisi dan

(11)

sentromernya, sekalipun kedua anggota dari setiap pasang homolog adalah identik dalam strukturnya. Ukuran besar kromosom dan sentromer dapat membantu untuk membedakan satu kromosom dari yang lain (Pai, 1987).

2.4 Radiasi Sinar Ultraviolet dan Mutasi 2.4.1 Radiasi Sinar Ultraviolet

Ultraviolet digunakan untuk penelitian genetika, keperluan medis dan juga untuk sterilisari karena dapat membunuh bakteri. Ultraviolet banyak dijumpai pada sinar matahari, tetapi sinar ultraviolet ini dipancarkan keluar oleh ozon di atmosfer (Snustad & Gardner, 1984). Radiasi sinar ultraviolet tidak cukup energi untuk menginduksi ionisasi seperti sinar X, walaupun demikian sinar ultraviolet dapat menyerap substansi tertentu seperti basa purin dengan deviratnya guanin dan sitosin, dan pirimidin dengan deviratnya adenin dan timin. Karena energi ultraviolet rendah. Maka hanya dapat menembus bagian permukaan sel pada organisme multiselular. Namun ultraviolet mempunyai kemampuan sebagai mutagen pada dosis yang tinggi dapat membunuh sel (Lewis, 1997).

Kelainan DNA yang disebabkan oleh radiasi dapat menyebabkan kelainan somatik atau genetik, tergantung pada jenis sel yang bersangkutan (Ackerman et al., 1988). DNA juga dirusak oleh ultraviolet pada panjang gelombang 245-260 nm, sehingga ultraviolet dapat menginduksi secara langsung akibat penyerapan purin dan pirimidin. Pirimidin pada umumnya sangat kuat menyerap ultraviolet 254 nm dan menjadi sangat aktif (Lewis, 1997).

2.4.2 Mutasi

Mutasi adalah proses perubahan pasangan basa DNA atau perubahan kromosom. Mutasi dapat terjadi pada sel somatik dan sel gamet. Jika mutan hanya terjadi pada sel somatik, maka mutan tersebut tidak menurunkan sifat-sifat yang dimilikinya pada

(12)

generasi berikutnya. Mutasi demikian disebut sebagai mutasi somatik. Jika mutasi pada sel gamet, maka mutan tersebut menurunkan sifat-sifat pada keturunannya. Mutasi ini disebut mutasi gamet (Russel, 1992).

Walaupun jumlah kromosom pada suatu jenis organisme biasanya tetap, tetapi telah diketahui adanya variasi dalam sejumlah dan jenis pola garis kromosomnya. Perubahan jumlah dapat bertambah atau berkurang. Perubahan pola garisnya dapat menunjukkan adanya perulangan yaitu bila didapati pola yang sama dua kali atau lebih, atau pemendekan segmen yaitu bila pola tertentu yang dalam keadaan normal ada menjadi tidak ada atau hilang. Perubahan yang terjadi pada kromosom ini disebut mutasi kromosom atau aberasi kromosom. Berdasarkan keterangan atas mutasi kromosom dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu mutasi jumlah kromosom (perubahan jumlah kromosom) dan mutasi struktur kromosom (Irawan, 2008).

Peristiwa ini dinamakan aberasi kromosom. Jika variasi pada gen-gen individual memungkinkan kita untuk mengetahui banyak tentang sifat gen, maka aberasi kromosom mempunyai nilai tinggi pula guna memperkenalkan sifat kromosom beserta gen-gen yang dibawanya (Suryo, 1995).

Menurut Irawan (2008), bahwa beberapa jenis aberasi atau mutasi yang disebabkan putusnya kromosom:

a. Delesi adalah hilangnya sebagian segmen kromosom. Bila hanya salah satu dari sepasang kromosom yang mengalami delesi yaitu heterozigot delesi, maka ketika akan pembelahan meiosis pasang ini akan membentuk semacam loop atau ansa, yaitu suatu struktur lengkung.

a. Duplikasi, yaitu penyimpangan ini terjadi pengulangan segmen tertentu dari suatu kromosom. Pengulangan ini dengan sendirinya berarti pengulanggan gen. Sebagaimana delesi, karana panjang kromosom juga tidak sama waktu meiosis juga berbentuk loop.

b. Translokasi, terjadi karena sebagaian atau segmen kromosom terputus dan bersambung lagi tetapi bukan pada kromosom awal melainkan tersambung pada kromosom lain. Dengan kata lain kromosom yang mengalami delesi, pada saat bersama kromosom tersebut mendapatkan tambahan segmen dari kromosom lain.

(13)

c. Inversi, pada aberasi jenis ini suatu segmen kromosom memliki susunan terbalik.

2.5 Metode pembuatan Sediaan

Menurut Suntoro (1983), metode-metode pembuatan sediaan adalah sebagai berikut: a. Metode oles, adalah suatu metode pembuatan sediaan dengan jalan menggores

atau membuat selaput film dari substansi yang berupa cairan diatas gelas benda yang bersih dan bebas lemak, dan kemudian difiksasi, diwarnai dan ditutup dengan gelas benda.

b. Metede rentang, adalah metode pembuatan sediaan dengan cara merentangkan suatu jaringan pada permukaan gelas benda sedemikian, sehingga dapat diamati dibawah mikroskop.

c. Metode pencet, adalah suatu metode untuk mendapatkan suatu sediaan dengan cara memencet suatu potongan jaringan atau suatu organisme secara keseluruhan, sehingga didapat suatu sediaan yang tipis yang dapat diamati dibawah mikroskop.

d. Metode supravital, adalah suatu metode untuk mempertahankan sediaan dari sel atau jaringan hidup.

e. Metode iris, adalah metode pembuatan preparat sediaan dengan jalan membuat suatu irisan dengan tebal tertentu,sehingga dapat diamati dibawah mikroskop.

Selain metode pembuatan sediaan diatas diketahui suatu metode pengamatan kromosom yaitu metode kering udara (air drying) yang dikembangkan oleh Tsurusaki (1986). Dan telah digunakan oleh peneliti sebelumnya yaitu Tjong dan Roesma (1998) untuk menganalisis kariotipe Bajing (Callosciurus natatus) dan menganalisis perdandingan kariotipe Ephilachna vigintloctupunctata antara forma A dan B.

Suntoro (1983), menyatakan fiksatif umumnya mempunyai kemampuan untuk mengubah indeks bias bagian-bagian sel, sehingga bagian-bagian dalam sel tersebut mudah terlihat dibawah mikroskop dan memiliki kemampuan membuat jaringan mudah menyerap zat warna.

(14)

Kromosom lebih mudah dilihat apabila dilakukan teknik pewarnaan khusus selama nukleus membelah. Ini disebabkan karna pada saat itu kromosom mengadakan konteksi sehingga menjadi lebih tebal, lagi pula dapat menghisap zat warna lebih baik dari pada kromosom yang telah terdapat pada inti yang telah istirahat (Suryo, 2003).

Dalam teknik-teknik pengecatan khusus (apakah pengecatan flueresence yang terlihat dengan mikroskop diiluminisasi UV dengan Giemsa setelah pra-perlakuan) semua pasang kromosom manusia sekarang dapat dikenali satu-persatu lewat pola pemisaahannya. Ini bernilai tinggi dalam mengidentifikasi abnormalitas dan dalam kejadian keterangkaian di mana sebelumnya mungkin terdapat kesulitan dalam mengidentifikasi kromosom tertentu. Giemsa adalah zat terkenal dan normalnya akan pengecatan kromosom biru secara seragam, tetapi dengan perlakuan tripsin tiap kromosom menunjukkan pola pemitaan khas (Clarke, 1996)

Pewarnaan dengan giemsa 2% menunjukkan gambar kromosom yang lebih baik pada metafase baik untuk digunakan di laboratorium (Maro et al., 2000). Menurut Suntoro (1983), fiksasi adalah suatu usaha manusia mempertahankan elemen-elemen sel/ jaringan agar tetap pada tempatnya dan tidak mengalami perubahan bentuk maupun ukuran. Hasil dari fiksasi ini adalah bahwa setiap molekul dari jaringan tetap berada pada tempatnya.

Gambar

Gambar 2.1  Ulat sutera Bombyx mori L. instar V; A. Thorax (dada)
Gambar 2.2 Ngengat sutera Bombyx mori L. (a).  Ngengat Jantan, (b). Ngengat               Betina
Gambar 2.3 Siklus Hidup Ulat Sutera Bombyx mori L. (Sumber.   http://img11 .images  hack .us/i/silkworm.jpg/)

Referensi

Dokumen terkait

estetis, yang memanfaatkan sarana bahasa secara khas puisi itu lebih mengutamakan hal-hal yang intuitif, imajinatif, dan sintetis (Keraf, 2011, hlm. 142) mengatakan bahwa

Teori pilihan rasional tidak menghiraukan apa yang menjadi pilihan atau apa yang menjadi sumber pilihan aktor, yang penting adalah kenyataan bahwa tindakan dilakukan untuk

Pemberian terapi empirik antibiotik awal untuk pneumonia nosokomial yang tidak disertai faktor resiko untuk patogen resisten jamak, dengan onset dini pada semua tingkat

Intisari— Studi kontingensi pada sistem transmisi 500 kV Jawa Bali membantu dalam mempelajari karakteristik sistem terhadap lepasnya sejumlah generator dengan

Karna akhir bulan keuangan sudah kritis , mau tidak mau banyak mahasiswa perantauan yang mengonsumsi Mie instan secara ‘Maniak’.. Jangan terlalu sering mengonsumsi

Sebagai bahan referensi dan informasi bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian lebih lanjut terutama yang berhubungan dengan pengaruh kepercayaan

Lampiran 1: Skala Kecerdasan Emosional Lampiran 2 : Skala Konsep Diri Lampiran 3 : Uji Validitas dan Reliabilitas Skala Kecerdasan Emosional Lampiran 4 : Uji Validitas dan

Bentuk perilaku agresi yang dilakukan oleh suporter bonek salah satunya dipicu oleh konformitas, namun pada saat peneliti ikut menyaksikan pertandingan bersama