• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sosial Volume 12 Nomor 2 September 2011 PENGELOLAAN HUTAN... 94

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Sosial Volume 12 Nomor 2 September 2011 PENGELOLAAN HUTAN... 94"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (PHBM) MELALUI

PENGUATAN LEMBAGA MASYARAKAT DESA HUTAN (LMDH)

(Kajian Hukum Penguatan Kapasitas LMDH dan

Peningkatan Efektivitas PHBM di Desa Dampit,

Kecamatan Bringin, Kabupaten Ngawi)

Sigit Sapto Nugroho

1)

1

adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Merdeka Madiun

Abstract

Research of this law cope to know role PHBM, study and analyse the factors influence

the effectiveness PHBM, study and analyse the factors influence

reinforcement institute

capacities LMDH in improvement of effectiveness PHBM in Countryside Dampit District

Bringin Sub-Province Ngawi.

Keywoords : Reinforcement LMDH and effectiveness PHBM

PENDAHULUAN

Sebagaimana diketahui bahwa sistem

pemerintahan Negara Kesatuan Republik

Indonesia melalui Undang-Undang Nomor

32 Tahun 2004 memberikan keleluasaan

kepada daerah untuk menyelenggarakan

otonomi

daerah.

Penyelenggaraan

otonomi daerah tersebut dipandang perlu

untuk lebih menekankan pada

prinsip-prinsip

demokratis,

peran

serta

masyarakat, pemerataan dan keadilan,

serta

memperbaiki

potensi

dan

keanekaragaman daerah.

Perlu diingat bahwa otonomi tidak

dapat dilaksanakan secara efektif tanpa

otonomi

dalam

basis

perekonomian

komunitas. Selama perekonomian suatu

komunitas

bergantung

kepada

perekonomian

nasional

dan/

atau

internasional dan warga komunitas tidak

mempunyai

wewenang

untuk

mengaturnya, maka tentu akan terjadi

pembatasan otonomi dalam pengambilan

keputusan. Konsekuensi dari adanya

otonomi adalah desentralisasi dalam

struktur kekuasaan dan pengambilan

keputuan. Hal ini konsisten dengan

prinsip-prinsip

pemberdayaan

(

empowerment

),

didalam

keputusan-keputusan

suatu

sistem

yang

terdesentralisasi,

maka

struktur/

organisasi dan proses/ kegiatan akan

lebih terbuka (

accessible

) bagi warga,

dan kapasitas warga untuk berpartisipasi

serta mempengaruhi struktur dan proses

tersebut akan meningkat dengan nyata.

Hubungan

antara

otonomi

dengan

desentralisasi juga konsisten dengan

prinsip keberlanjutan atau kelestarian,

karena struktur-struktur sosial yang kecil

cenderung lebih tahan hidup dan mudah

berintegrasi

dengan

lingkungannya.

Otonomi dan desentralisasi mempunyai

kaitan erat dengan kemandirian (

self-reliance

).

Kemandirian

komunitas

diartikan

bahwa

komunitas

mengutamakan nilai-nilai sosial untuk

dapat hidup terus bersandar pada

sumberdaya yang dimilikinya.

Otonomi yang dimiliki desa merupakan

kesempatan bagi masyarakat desa untuk

mengembangkan prakarsa, inisiatif, dan

partisipasi

aktif

dalam

proses

pembangunan

dan

pemenuhan

kebutuhan mereka sesuai dengan potensi

lokal yang tersedia di desa. Berbagai

potensi sumberdaya yang tersedia dapat

dikelola,

dimanfaatkan,

dan

dikembangkan secara berkelanjutan guna

meningkatkan taraf hidup masyarakat.

Partisipasi masyarakat desa dapat

dikembangkan dengan lebih luas, tidak

terbatas sebagai pelaksana dan penerima

manfaat dari program pengembangan

masyarakat, tetapi diharapkan secara

aktif dapat terlibat langsung dalam proses

(2)

pelaksanaan

program-program

dan

kegiatan yang dilaksanakan di desa.

Untuk

merealisasikan

hal

tersebut

diperlukan peran aktif dari berbagai

kelembagaan yang ada di desa, terutama

yang

dapat

mewadahi

aspirasi

masyarakat serta melakukan evaluasi dan

kontrol

atas

pelaksanaan

berbagai

kebijakan

yang

ditetapkan

oleh

pemerintahan desa. Untuk menunjang

peran partisipasi aktif dari masyarakat

desa, diperlukan adanya kelembagaan

yang dibentuk oleh masyarakat sendiri

(

bottom up

), bukan lagi bentukan dari

pemerintah (

top down

). Sehubungan

dengan itu, diperlukan langkah-langkah

baik oleh pemerintah maupun masyarakat

(

stakeholders

) sebagai

upaya

untuk

meningkatkan pendapatan masyarakat

dalam

mengembangkan

potensi

sumberdaya alam yang tersedia pada

tingkat lokal, dengan tetap menjaga dan

memelihara

kelestarian

potensi

sumberdaya alam tersebut. Hal ini dapat

dijadikan

model

bagi

terciptanya

pembangunan

berbasis

kompetensi

masyarakat

lokal

dan

model

pembangunan berkelanjutan.

Fenomena

yang

terjadi

pada

masyarakat Desa Dampit Kecamatan

Bringin Kabupaten Ngawi dengan tipologi

desa

sekitar

hutan,

kerusakan

sumberdaya alam hutan, keluarga miskin

dan pengangguran merupakan masalah

sosial desa ini yang perlu mendapatkan

perhatian

dan

penanganan

dari

pemerintah,

swasta

dan

LSM

(

stakeholders

).

Berbagai

program

pengembangan

masyarakat

telah

dilakukan

oleh

pemerintah,

yang

bertujuan meningkatkan kemampuan dan

kemandirian masyarakat melalui berbagai

pendekatan.

Langkah-langkah

untuk

memperbaiki kondisi ini telah dilakukan

diantaranya

munculnya

beberapa

program

pengembangan

masyarakat

diantaranya Jaringan Pengaman Sosial

(JPS),

RASKIN

(Beras

Masyarakat

Miskin), BLT (Bantuan Langsung Tunai),

dan

Pengelolaan

Hutan

Bersama

Masyarakat (PHBM).

Dalam konteks otonomi daerah setelah

diundangkan Undang-Undang Nomor 22

Tahun

1999

tentang

Pemerintahan

Daerah

yang

diperbaharui

dengan

Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004.

Untuk merespon dan mengakomodasikan

dinamika

pengelolaan

sumber

daya

hutan, pada tanggal 29 Maret 2001

Perum Perhutani menetapkan kebijakan

Pengelolaan

Sumber

Daya

Hutan

Bersama

Masyarakat

(PHBM)

berdasarkan Surat Keputusan Ketua

Dewan

Pengawas

Perum Perhutani

(Selaku Pengurus Perusahaan) Nomor

136/KPts/Dir/2001 tentang Pengelolaan

Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat.

Kebijakan yang dilaksanakan dalam

Pengelolaan

Sumberdaya

Hutan

Bersama Masyarakat (PHBM) melalui

Lembaga

Masyarakat

Desa

Hutan

(LMDH)

yang

dalam

pelaksanaan

program-programnya didasarkan pada

inisiatif dan prakarsa dari masyarakat, jadi

bersifat

bottom up

.

Di Desa Dampit Kecamatan Bringin

Kabupaten

Ngawi,

terdapat

sebuah

sistem pengelolaan sumberdaya hutan

bersama masyarakat melalui Lembaga

Masyarakat Desa Hutan (LMDH) yang

dibentuk

pada

tahun

2001.

Ide

pembentukan LMDH berasal dari aspirasi

warga Desa sendiri secara

bottom up

,

dengan difasilitasi oleh pemerintah Desa.

Tujuan

didirikannya

LMDH

adalah

pengelolaan sumber daya hutan bersama

masyarakat yang mengarah kepada

peningkatan ekonomi masyarakat dan

keseimbangan ekologi. Potensi lokal dan

partisipasi masyarakat akan dapat digali

dan diberdayakan secara optimal sebagai

kekuatan

pembangunan.

Walau

bagaimanapun dengan adanya program

PHBM melalui LMDH, paling tidak akan

menjadi pembelajaran bagi pesanggem

(penggarap) dalam melaksanakan proses

perencanaan program pengembangan

masyarakat. Berdasarkan pengalaman

dalam

melaksanakan

proses

perencanaan di dalam LMDH tersebut

diharapkan

nantinya

pesanggem

(penggarap) dapat berpartisipasi aktif

(3)

dalam proses pembangunan di desanya.

Peran

aktif

LMDH

sebagai

suatu

kelembagaan di Desa Dampit, merupakan

aspek yang strategis dalam meningkatkan

peran serta masyarakat dan mewujudkan

peningkatan

taraf

hidup

dan

kesejahteraan masyarakat.

Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, maka

dapat dirumuskan permasalahan sebagai

berikut:

1. Bagaimana

peran

PHBM

melalui

kelembagaan

LMDH

terhadap

perubahan taraf hidup pesanggem

(penggarap) di Desa Dampit ?

2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi

efektivitas kebijakan PHBM dan yang

mempengaruhi

kapasitas

kelembagaan LMDH di Desa Dampit?

3. Faktor-Faktor apa yang mempengaruhi

dalam

penguatan

kapasitas

kelembagaan

LMDH

dalam

peningkatkan efektivitas PHBM di

Desa Dampit ?

Tujuan Penelitian

Dalam penelitian ini ada beberapa hal

yang ingin dicapai antara lain :

a. Mengetahui peran PHBM melalui

kelembagaan

LMDH

terhadap

perubahan taraf hidup pesanggem

(penggarap) di desa Dampit.

b. Mengkaji dan menganalisis

faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas

kebijakan

PHBM

dan

yang

mempengaruhi

kapasitas

kelembagaan LMDH di Desa Dampit.

c. Mengkaji dan menganalisis

faktor-faktor yang mempengaruhi penguatan

kapasitas kelembagaan LMDH dan

meningkatkan efektivitas PHBM di

desa Dampit.

Manfaat Penelitian

a. Secara

Teoritis,

memberikan

sumbangsih pemikiran, baik berupa

perbendaharaan

konsep,

metode,

preposisi,

ataupun

pengembangan

teori dalam kasanah studi ilmu hukum

dan masyarakat, Dalam hal ini adalah

bagaimanakah

pelaksanaan

Pengelolaan

Sumberdaya

Hutan

Bersama Masyarakat (PHBM).

b. Kegunaan Praktis, diharapkan dapat

menjadi masukan model kebijakan

yang partisipatif, bertumpu pada warga

masyarakat, khususnya Departemen

Kehutanan, Perum Perhutani, dan

Pemda dalam membuat kebijakan agar

lebih aplikatif dan aspiratif.

METODE PENELITIAN

Jenis Penelitian

Melihat dari latar belakang dan

pokok permasalahan yang dijelaskan

dimuka

maka

dalam

penelitian

ini

menggunakan jenis penelitian kualitatif

(

naturalistik

). Dengan demikian tahapan

yang digunakan dalam penelitian ini

adalah penelitian kualitatif dengan dasar

pertimbangan :

1. Penelitian

ini

menganalisa

pelaksanaan

Pengelolaan

Sumberdaya

Hutan

Bersama

Masyarakat

melalui

lembaga

Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Desa

Dampit Kecamatan Bringin kabupaten

Ngawi sesuai situasi yang wajar

(natural setting

)

2. Peneliti bertindak sebagai instrumen

penelitian.

3. penelitian

mendeskripsikan

dan

memberikan interprestasi atas data

yang ditemukan dilapangan.

4. Penelitian

menganalisis

fenomena

yang ditemukan dari data dilapangan.

5. Data yang didapat diuraikan dalam

bentuk kalimat, untuk memperoleh

gambaran secara detail, lengkap dan

jelas

mengenai

masalah

dalam

penelitian. (Nasution, 1996:11)

Penelitian

deskriptif

yaitu

menggambarkan

dan

menjelaskan

fenomena yang berhubungan dengan

Pengelolaan

Sumberdaya

Hutan

Bersama

Masyarakat

(PHBM).

Selanjutnya mengungkap proses faktual

dari peristiwa hukum kongkrit.

(4)

Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa

Dampit Kecamatan Bringin Kabupaten

Ngawi.

Peneliti menetapkan lokasi

penelitian dengan alasan antara lain:

1. Lokasi ini merupakan lokasi bekas

penjarahan

secara

besar-besaran

mulai tahun 1998 sampai pertengahan

Januari 2001 yang kurang lebih ada

931,8 ha hutan jati terjarah.

2. Lokasi penelitian juga merupakan

kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS)

waduk Pondok sebagai kawasan

penyangga

kebutuhan

air

untuk

pertanian di wilayah Kabupaten Ngawi

sebelah timur (kecamatan Padas dan

sekitarnya)

Untuk

mengurangi

adanya

aksi

penjarahan dan perusakan kawasan

hutan dilakukan perencanaan yang

holistik dan partisipatif yang melibatkan

masyarakat sekitar hutan dengan pola

Pengelolaan

Sumberdaya

Hutan

Bersama Masyarakat (PHBM) di

desa-desa sekitar hutan wilayah BKPH Bringin.

Sumber Data

Data penelitian ini terdiri dari :

1. Data Primer yaitu data-data yang

diperoleh dari studi di lapangan di

mana

hukum

dan

peraturan

perundang-undangan

dilaksanakan

Untuk

dapat

mengetahui

apakah

peraturan

atau

kebijakan

yang

diterapkan dilapangan tersebut efektif

atau

tidak

harus

melakukan

pengamatan langsung dimasyarakat

dimana kebijakan atau program PHBM

itu

dilaksanakan.

Baru

setelah

menemukan

gambaran

dilapangan

akan dihubungkan dengan

literatur-literatur

yang

berkaitan

dengan

masalah yang sedang dihadapi.

2. Data Sekunder, yaitu data-data yang

diperoleh dari studi dari berbagai

peraturan perundang-undangan, baik

yang

berhubungan

dengan

pengelolaan sumber daya hutan. Tidak

pula dilupakan peraturan-peratuiran

yang

bersifat

operasinal

dalam

pelaksanaan PHBM melalui LMDH.

Teknik Pengumpulan Data

.

Dalam penelitian ini digunakan teknik

gabungan, yaitu:

1. Wawancara

mendalam

(

depth

interview

).

Sumber

data

dapat

diperoleh dari informan kunci dimana

lewat teknik wawancara digali data

selengkap-lengkapnya, tidak saja apa

yang

diketahuinya,

apa

yang

dialaminya, tetapi juga ada apa dibalik

pandangan atau pendapatnya.

2. Pengamatan

(observation

) lapangan

yaitu untuk mendapatkan data yang

tidak dapat digali melalui wawancara

peneliti akan melakukan pengamatan

baik langsung maupun tidak langsung

pelaksanaan PHBM di Desa Dampit

3. Studi Dokumen, yaitu mengambil data

tentang

peraturan-peraturan

yang

berhubungan dengan pelaksanaan

PHBM dan peraturan operasional

lainnya

Dalam teknik pengumpulan data yang

dilakukan dengan observasi sedapat

mungkin

meminimalisir

keterasingan

peneliti dengan para responden dan

sekaligus dapat bekerja sama dengan

baik dengan responden. Hal ini adalah

penting karena pada strata tertentu

dipastikan

tidak

dapat

memberikan

informasi yang lugas, apa adanya, karena

dengan alasan tertentu data yang bersifat

sensitif

untuk

dikonsumsi

keluar

(Sanapiah, 1990:54-55). Untuk observasi

ini harus dilakukan dari hal yang paling

umum sampai pada hal yang paling

khusus (Nasution, S, 1992:99-100)

Analisa Data

Data-data yang telah terkumpul akan

dianalisa secara analisis interaktif yang

terdiri dari tiga kegiatan pokok yaitu :

reduksi

data,

penyajian

data

dan

penarikan kesimpulan

dan

verifikasi

(Sanapiah, 1996:6). Proses analisa data

dikonstruksikan

lewat

strategi

atau

pendekatan yang bertumpu pada logika

pikir induksi konseptual satu pihak, dan

logika emik dipihak lain. Disini peneliti

akan mengkonstruksikan semua fakta

(5)

empiris untuk kemudian membangun

hipotisa dan diikuti dengan merumuskan

konklusi (Moleong, 1996:53-54).

Kalau melihat dari dua pendapat

tersebut, saya mengambil jalan tengah

bahwa setelah data-data (data primer,

data sekunder) terkumpul, maka akan

dilakukan analisa. Data sekunder yang

diperoleh dari berbagai peraturan yang

terkait dengan PHBM dicocokan dengan

pelaksanaan dilapangan (data primer).

Adakah kendala atau hambatan yang ada

untuk itu dibahas dengan menggunakan

teori yang cocok/relevan. Dengan kata

lain sudah menghubungkan langsung

antara data primer, sekunder dan inilah

rangkaian

analisis

secara

deskriptif

kualitatif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Peran PHBM melalui LMDH terhadap

Perubahan Taraf Hidup Pesanggem

(penggarap)

Kegiatan

pengelolaan

hutan

bersama

masyarakat

dilakukan

dengan jiwa berbagi yang meliputi

berbagi dalam pemanfaatan lahan dan

atau

ruang,

berbagai

dalam

pemanfaatan waktu, berbagi dalam

pemanfaatan hasil dalam pengelolaan

sumberdaya hutan dengan prinsip

saling

menguntungkan,

saling

memperkuat dan saling mendukung.

Dalam mewujudkan visi dan misi

Perum

Perhutani

sebagai

pihak

pengelola sumberdaya hutan maka

dalam

rangka

meningkatkan

keberhasilan pengelolaan hutan pihak

Perhutani membutuhkan partisipasi

aktif

berbagai

pihak,

khususnya

masyarakat yang tinggal di sekitar

hutan

(pesanggem/

penggarap)

melalui program PHBM. Keterlibatan

pesanggem

(penggarap)

dalam

program PHBM diwujudkan dalam

wadah Lembaga Masyarakat Desa

Hutan (LMDH) “Bumi Lestari” yang

dibentuk

oleh

masyarakat

Desa

Dampit

dengan

difasilitasi

oleh

pemerintah

desa

dan

Perum

Perhutani.

Dalam

upaya

untuk

memberdayakan dan merubah taraf

hidup pesanggem (penggarap) di Desa

Dampit, wadah LMDH sangat berperan

dalam :

a. Memfasilitasi

pesanggem

(penggarap)

dan

pihak

yang

berkepentingan

dalam

proses

penyusunan rencana, pelaksanaan,

pemantauan dan evaluasi kegiatan

PHBM.

b. Menselaraskan

kegiatan

pengelolaan

sumberdaya

hutan

sesuai

dengan

kegiatan

pembangunan wilayah dan kondisi

serta

karakteristik

sosial

pesanggem (penggarap) sebagai

tujuan

mensejahterakan

dan

merubah taraf hidup pesanggem

(penggarap).

c. Meningkatkan tanggung jawab dan

peranserta

pesanggem

(penggarap)

dan

pihak

yang

berkepentingan

terhadap

pengelolaan dan keberlangsungan

fungsi dan manfaat sumberdaya

hutan.

d. Meningkatkan pendapatan negara,

desa, pesanggem (penggarap) dan

pihak yang berkepentingan secara

simultan.

PHBM melalui LMDH merupakan

model pengelolaan hutan yang relatif bisa

diterima baik oleh berbagai kalangan.

Sebagai sebuah model pengelolaan,

PHBM tentu mempunyai akar filosofi yang

melandasinya.

Dengan

demikian,

pelaksanaan PHBM melalui LMDH bukan

sekedar program yang sepele, tidak

mengakar, dan uji coba. Di dalamnya

terdapat landasan filosofi yang apabila

ditelaah akan menghasilkan sebuah

semangat pengelolaan yang proporsional,

berimbang, lebih membawa maslahat,

mengutamakan kepentingan masyarakat,

dan memberdayakan masyarakat sekitar.

Jelasnya

PHBM

adalah

model

pengelolaan ideal yang dapat dijadikan

alternatif-solutif permasalahan hutan.

PHBM melalui LMDH dirancang untuk

menampung segala perubahan yang

diinginkan oleh lingkungan eksternal

(6)

disekeliling Perum Perhutani. Kelahiran

PHBM melalui LMDH itu sendiri memang

didorong

oleh

beragam

tekanan

persoalan sosio-kultural yang mengelilingi

Perum Perhutani. Agaknya memang

sudah menjadi tradisi kita, bahwa akibat

dari beragam tekanan persoalan kmudian

dapat memaksa diri untuk memunculkan

ide-ide solutif. Demikian pula dengan latar

belakang munculnya gagasan PHBM,

setelah

permasalahan

gangguan

keamanan hutan kian semarak dan

diantaranya diwarnai tindakan penjarahan

hutan.

PHBM melalui LMDH sendiri menurut

pengkaji secara konseptual merupakan

pilah langkah yang tepat. Hanya saja,

pada tahapan implementasinya masih

diperlukan

serangkaian

langkah

penyempurnaan. PHBM melalui LMDH

merupakan instrumen yang dirancang

untuk mengantisipasi perubahan tuntutan

ekternal. Problemanya adalah di tingkat

emplementasinya. Benarkah warga desa

sekitar hutan memang menuntut lahan,

bukannya hal lain, karena di jaman kini

rasanya orang desa pun mulai enggan

bertani.

Menurut pengkaji secara kuantitatif

memang tidak bisa diukur. Tapi minimal

untuk tingkat kebutuhan mendasar hidup

pesanggem (penggarap) dapat tercukupi,

dengan PHBM. Implementasi PHBM

melalui LMDH di Desa Dampit dimulai

tahun 2001 masih tergolongan baru,

sehingga belum banyak memberikan

perubahan terhadap taraf hidup para

pesanggem (penggarap) di Desa Dampit

secara signifikan.

Namun demikian berdasarkan evaluasi

terhadap program PHBM, pelaksanaan

PHBM di Desa Dampit telah menunjukkan

adanya

pengaruh

positif

terhadap

pengembangan ekonomi lokal, yaitu

meningkatkan pendapatan pesanggem

(penggarap) pada khususnya, hal ini

seperti yang disampaikan Bapak Diyo

(Wawancara tanggal 6 Januari 2010) : “

...bahwa ada salah seorang pesanggem

(penggarap),

dari

hasil

pertanian/

perkebunan jagung yang dipanen dari

petak hutan Desa Dampit dapat untuk

membeli perabot rumah “

PHBM memberikan peluang kerja

ekonomi warga miskin, para pesanggem

(penggarap) yang sebagian besar berasal

dari keluarga miskin dapat bekerja

menggarap petak hutan dibawah tanah

tegakkan dengan sistem tumpangsari,

dimana

hasilnya

seluruhnya

untuk

pesanggem (penggarap)/ petani hutan.

Adapun jenis tananman yang ditanam

dalam sistem tumpangsari diantaranya

adalah jagung, pisang, ketela pohon/

singkong, ubi rambat, kacang tanah, padi,

dan lain sebagainya. Pemasaran hasil

pertanian/

perkebunan

melalui

tumpangsari dilakukan melalui pengepul.

Dengan demikian melalui PHBM dapat

memberikan pendapatan tambahan bagi

pesanggem (penggarap)/ petani hutan.

Disamping itu meningkatnya kegiatan

ekonomi

alternatif,

yaitu

munculnya

industri rumah tangga dari pengolahan

hasil hutan, seperti kayu bakar. Hal ini

seperti yang disampaikan oleh Bpk.

Sutrisno (wawancara 6 Januari 2010) : “

....dengan

ikut

sebagai

pesanggem

disamping kita bisa menggarap petak

hutan untuk berkebun, kita juga bisa

mendapatkan kayu bakar dan daun jati

yang bisa dijual ”

Dengan PHBM di Desa Dampit adanya

penyerapan

tenaga

kerja

sebanyak

kurang lebih 300 orang, dengan perincian

150 orang sudah terdaftar dalam buku

anggota LMDH, sedangkan 150 orang

belum terdaftar dalam buku anggota

sebagai anggota resmi. Dengan PHBM

telah memotivasi penggalian potensi

swadaya

masyarakat,

dengan

pembentukan kelembagan LMDH.

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi

Efektivitas PHBM

Di dalam program Pengelolaan Hutan

Bersama Masyarakat (PHBM) terdapat

beberapa pihak yang terlibat di dalamnya,

yaitu Perum Perhutani, LMDH dan pihak

terkait. Berdasarkan hasil

penelitian

program PHBM di Desa Dampit dapat

dilihat dari beberapa aspek dalam struktur

(7)

akses dan kontrol sumberdaya hutan

dalam PHBM, yaitu :

1. Program Kerja.

Program

kerja

disusun

dengan

melibatkan

berbagai

unsur

yang

terlibat dalam program PHBM yang

tentunya didasarkan pada kondisi dan

potensi

pangkuan

hutan

dan

karakteristik

masyarakat

setempat.

Program kerja disusun dalam upaya

untuk mengelola secara menyeluruh

setiap tahapan kegiatan pengelolaan

hutan selama 1 (satu) daur tanam jati

dari tahap penanaman, penjarangan

dan tebang habis tegakan pohon

hutan. Akan tetapi dikarenakan kondisi

hutan di Desa Dampi merupakan

tanaman muda, maka dari ketiga

tahapan

tersebut

baru

tahap

penjarangan

tanaman

yang

bisa

dilaksanakan. Keterlibatan berbagai

unsur

terkait

dalam

penyusunan

program kerja disampaikan Bapak

Subiyanto (Ketua LMDH Desa Dampit)

:

“Proses penyusunan program kerja

dilakukan bersama-sama antara LMDH

dengan Perum Perhutani. Pada saat

itu beberapa program kerja banyak

ditawarkan oleh pengurus akan tetapi

harus

juga

disesuaikan

dengan

kepentingan

Perum

Perhutani.

Sehingga

diharapkan

kepentingan

kedua belah pihak dapat terwakili.

Program kerja yang disepakati meliputi

kegiatan

pelestarian

fungsi

dan

manfaat hutan mulai dari perencanaan,

penanaman,

pemeliharaan,

pengamanan dan pemanenan”

Walaupun

program

kerja

telah

tersusun dalam renstra dan disusun

dengan

melibatkan

pihak

Perum

Perhutani, LMDH dan pihak terkait,

namun pada pelaksanaannya belum

dapat terlaksana dengan baik sesuai

dengan

rencana.

Hal

tersebut

disebabkan berbagai kendala yaitu

tidak

mengakarnya

kepengurusan

LMDH Desa Dampit dan potensi

tanaman hutan wilayah BKBH Bringin

yang masih relatif muda sehingga

belum dapat menghasilkan sesuai

yang diharapkan.

2. Peranserta LMDH dan Pesanggem

(penggarap)

Salah satu peranan LMDH adalah

meningkatkan peranserta (partisipasi)

LMDH

dan

warga

pesanggem

(penggarap)

serta

pihak

yang

berkepentingan

terhadap

pengelolaan sumber daya hutan.

Peranserta

(partisipasi)

pengurus

LMDH dan pesanggem (penggarap)

dapat

diwujudkan

dalam

setiap

kegiatan

(tahap

perencanaan,

pembiayaan,

pengorganisasian,

pelaksanaan,

pemantauan

dan

evaluasi, serta pelaporan). Bentuk

partisipasinya

dapat

diwujudkan

dengan kehadiran dalam setiap

kegiatan,

ide,

gagasan,

usulan

pendapat

dalam

perencanaan

program,

kesediaan

menjadi

pengurus, dan partisipasi secara

tidak langsung yang dilakukan oleh

pesanggem

(penggarap)

dalam

mengolah lahan sekitar hutan dan

ikut menjaga keamanan hutan.

a. Peranserta

Pengurus

LMDH

Berdasarkan kenyataan dilapangan

dapat dijelaskan peranserta pengurus

LMDH

diwujudkan

hanya

baru

sebatas pada tahapan perencanaan

(dengan menghadiri dan memberikan

pendapat

pada

pertemuan

perumusan rencana program kerja),

pengorganisasian (dengan kesediaan

untuk menjadi pengurus LMDH).

Namun

peranserta

(partisipasi)

mereka

saat

ini

perlu

adanya

dorongan agar lebih aktif dalam

kepengurusan LMDH.

Kondisi di atas didasarkan penyataan

informan Suhino selaku ketua BPD

Desa Dampit (Wawancara 8 Januari

2010) :

“Pada saat sosialisasi memang

terlihat respon dan harapan yan

besar dari masyarakat pada program

PHBM. Kesediaan beberapa orang

untuk menjadi pengurus jugas sangat

dihargai.

Apalagi

pada

saat

(8)

penyususnan program kerja bersama

(Perum Perhutani dan LMDH. Terlihat

semangat yang besar dari beberapa

pengurus dalam mengajukan usulan

program

kerja.

Namun

pada

pelaksanaannya,

setelah

ada

kendala/ hambatan semangat mereka

sepertinya mulai mengendur dan

menjadikan LMDH Desa Dampit

kurang aktif”.

b. Pesanggem (penggarap)

Berdasarkan kenyataan di lapangan

menunjukkan tingkat partisipasi yang

masih terbatas pada pesanggem

(penggarap) yang sudah menggarap

sebelum LMDH terbentuk. Di luar

penggarap

tersebut

pesanggem

masih bersifat pasif dan cenderung

kurang

responsif

terhadap

keberadaan

LMDH.

Partisipasi

pesanggem

tersebut

diwujudkan

secara

tidak

langsung

dalam

mengelola dan mengolah lahan

kosong disekitar dengan tanaman

palawija. Disamping itu, mereka juga

ikut merawat dan menjaga keamanan

tanaman

tegakkan

kayu

hutan.

Partisipasi ini diwujudkan secara

sadar dan sukarela karena mereka

juga merasa mendapat manfaat dari

hutan di sekitarnya. Kondisi di atas

didasarkan

pernyataan

informan

Mbah Karyo (wawancara 8 Januari

2010) selaku penasehat LMDH yang

menyatakan :

“Dalam

program

PHBM

Perum

Perhutani

mengharapkan

kepada

pesanggem (penggarap) agar ikut

menjaga dan merawat hutan. Karena

pesanggem

merasakan

telah

mendapat manfaat dari hutan di

sekitarnya maka mereka secara

bertanggung jawab dan sukarela ikut

menjaga dan merawat hutan. Saya

berharap agar hal ini bisa terus

berlangsung

karena

ini

sangat

bermanfaat baik bagi pesanggem

(penggarap)

karena

mendapat

penghasilan dari tanaman mereka

maupun

bagi

Perum

Perhutani

karena tanaman kayu jatinya jadi

terawat dan aman dari kerusakan dan

pencurian”.

Pernyataan di atas juga didukung

oleh pernyataan informan Bapak

subiyanto selaku Ketua LMDH yang

menyatakan :

“Justru

saat

ini

pesanggem

(penggarap)

yang

lebih

banyak

berperan dalam memelihara dan

menjaga kelestarian hutan. Hal itu

mereka lakukan karena mereka juga

melakukan aktifitas mengolah lahan

sekitar hutan dengan tanaman yang

menghasilkan. Dan mudah-mudahan

kondisi ini bisa tetap berlangsung

karena

memberikan

keuntungan

bersama

baik

bagi

pesanggem

(penggarap)

maupun

Perum

Perhutani”

c. Jaringan Kerjasama

Adanya jaringan kerjasama dengan

pihak-pihak lain sangat bermanfaat

dalam

rangka

pengembangan

program

dan

kegiatan

PHBM.

Kerjasama

yang

bisa

dilakukan

antara

lain

dengan

pihak-pihak

pemerintah daerah dan pihak ketiga

yang akan menanamkan modalnya di

LMDH. Dalam kenyataan kondisi di

lapangan

menunjukkan

sudah

terbinanya kerjasama yang intensif

yang dilakukan LMDH Desa Dampit

dengan pihak ketiga.

Program

PHBM

yang

implementasinya

dilaksanakan

melalui LMDH memberikan harapan

besar terhadap peningkatan taraf

hidup masyarakat sekitar hutan,

namun

berdasarkan

evaluasi

program yang peneliti lakukan masih

dijumpai

adanya

kelemahan-kelemahannya

dibidang

struktur

akses dan kontrol sumberdaya hutan,

yaitu : rendahnya kwalitas pengurus,

keanggotaan

pesanggem

(penggarap) tidak mengutamakan

dari desa yang setempat, rendahnya

pengawasan

di

lapangan,

tidak

adanya ketegasan sanksi bagi LMDH

yang lalai dalam kewajiban. Belum

adanya pemerataan ekonomi dalam

(9)

pengelolaan

petak

hutan

bagi

masyarakat

lokal,

dan

belum

mengarah

pada

penanganan

keluarga miskin secara optimal.

Kenyataan diatas mengindikasikan

bahwa struktur akses dan kontrol

sumberdaya

alam

hutan

belum

memberikan arah akses kepada

pesanggem (penggarap) di sekitar

hutan Desa Dampit sesuai dengan

peran dan fungsinya untuk mengelola

hutan

secara

partisipatif,

atas

kemitraan,

keterpaduan,

ketersediaan, dan sistem sharing.

Program

PHBM

dalam

proses

pengembangan masyarakat untuk

mewujudkan kelembagaan LMDH

sebagai wadah perjuangan LMDH

belum

dijadikan

instrumen

membangun

kebersamaan,

kepedulian, dan tanggung jawab

bersama serta menggali nilai-nilai

luhur

kemanusiaan

dan

kemasyarakatan, namun sebaliknya

pesan-pesan moral terlupakan oleh

kepentingan-kepentingan

pribadi

yang bertentangan dengan nilai-nilai

yang diusung oleh LMDH sehingga

upaya pemberdayaan masyarakat

sekitar hutan dari golongan bawah

dapat terabaikan.

Dalam

upaya

meningkatkan

efektivitas PHBM

dalam

proses

pelaksanaan

program

pengembangan masyarakat, strategi

yang

dapat

dilakukan

adalah

perbaikan struktur akses dan kontrol

sumber daya alam hutan, yang

meliputi beberapa aspek di bawah ini.

Melihat situasi dan kondisi demikian

perlu dilakukan penataan struktur

akses dan kontrol sumberdaya hutan

yang ada dalam pangkuan Desa

Dampit. Sehingga akan terjadi

keseimbangan,

keberlanjutan,

kesesuaian dan keselarasan antara

Perum Perhutani, masyarakat desa

hutan dan pihak yang berkepentingan

sesuai dengan jiwa dan prinsip dasar

PHBM.

Dalam

struktur

Kelembagaan, meningkatkan kwalitas

pengurus, pelatihan dan pergantian

pengurus/

resufel

pengurus.

Keanggotaan/ peserta diutamakan

dari

desa

yang

bersangkutan.

Perlunya terobosan mandiri dari

LMDH, modal berasal dari hasil

sharing/ kredit Perum Perhutani.

Dibentuknya satuan pengawas intern

di LMDH.

Dalam struktur Perum Perhutani,

membuka peluang kegiatan lainnya

untuk mengikut sertakan LMDH

dalam pengelolaan hutan (seperti :

pemberdayan,

pembuatan

persemaiann,

jasa

penebangan,

angkutan dan survey). Peningkatan

pengawasan di lapangan. Ketegasan

sanksi bagi LMDH yang lalai dalam

kewajiban.

Dalam

struktur

Pemerintah Daerah/ Dinas Terkait,

peningkatan keterpaduan

masing-masing

dinas

terkait

dalam

pemberdayaan LMDH. Memberikan

pelatihan usaha-usaha produktif bagi

LMDH. Baik faktor pendorong

maupun

penghambat

bagi

peningkatan efektivitas PHBM dalam

melaksanakan

program-program

pengembangan masyarakat dapat

berasal dari dalam diri Perum

Perhutani (internal) maupun dari luar

Perum Perhutani (eksternal).

Faktor pendorong PHBM yang

paling kuat adalah adanya pelibatan

aspirasi dan prakarsa masyarakat,

pemberdayaan yang tidak hanya

berorientasi dibidang ekonomi saja,

tapi dibidang sosial dan sumberdaya

alam

hutan,

adanya

perpaduan

antara

pengorganisasian

dan

pengembangan

masyarakat,

meningkatkan pendapatan keluarga

pesanggem, memberi peluang kerja

ekonomi

warga

miskin,

adanya

penyerapan

tenaga

kerja,

dan

memotivasi

penggalian

potensi

swadaya masyarakat.

Faktor penghambat PHBM adalah,

rendahnya pemahaman pesanggem

tentang PHBM, rendahnya kinerja

LMDH, dan lemahnya pengawasan

(10)

LMDH.

Berdasarkan

kajian

pengembangan

masyarakat

yang

telah dilakukan dapat diidentifikasikan

faktor

lain

pendorong

bagi

peningkatan efektivitas PHBM dalam

pelaksanaan

program-programnya.

Hal ini terungkap melalui serangkaian

wawancara

mendalam,

diskusi

kelompok,

dan

Focused

Group

Discussion (FGD) dengan informan

yang

menginginkan

PHBM

berkemampuan

untuk

memenuhi

aspirasi dan kebutuhan kelompok

masyarakat, khususnya yang belum

terlibat dalam kegiatan PHBM.

Faktor

penghambat

terhadap

kelancaran pelaksanaan

program-program PHBM yang muncul dari

pesanggem (pengarap) dapat dilihat

dari

rendahnya

pemahaman

pesanggem

(penggarap)

dalam

pengelolaan hutan karena kurangnya

sosialisasi hukum kebijakan PHBM

kepaa masyarakat dan rendahnya

partisipasi pesanggem (penggarap)

dalam pengelolaan hutan, rendahnya

nilainilai (agama, budaya, hukum)

yang dianut pesanggem (penggarap),

belum adanya lembaga sosial yang

mendorong kesadaran pesanggem

(penggarap)

dalam

pengelolaan

hutan,

serta

belum

tumbuhnya

kearifan lokal dalam pengelolaan

hutan.

Harapan PHBM untuk memberikan

arah pengelolaan sumberdaya hutan

dengan

memadukan

aspek-aspek

ekonomi, ekologi dan sosial secara

proporsional guna mencapai visi dan misi

Perum Perhutani, yaitu pengelolaan

sumberdaya hutan sebagai ekosistem di

pulau Jawa secara adil, demokratis,

efesien

dan

profesional

guna

mewujudkan keberlanjutan fungsi dan

manfaatnya

untuk

kesejahteraan

masyarakat mendapat berbagai kendala,

seperti

adanya

kesenjangan

antara

konsep

dan

implementasinya

juga

dipengaruhi oleh faktor kinerja LMDH

yang mandiri.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi

Penguatan Kapasitas LMDH dalam

Efektivitas PHBM

Dalam kaitan penguatan kapasitas

bagi LMDH sangat perlu dalam rangka

memberdayakan pengurus LMDH. Bila

kualitas kinerja pengurus LMDH sudah

memadai, diharapkan mereka dapat

lebih

aktif

dan

konsisten

mensosialisasikan

program

LMDH

kepada

pesanggem

(penggarap).

Melalui

kerjasama

dengan

tokoh

masyarakat,

tokoh

agama,

dan

kelembagaan yang ada, sosialisasi

program LMDH diharapkan dapat

membangkitkan antusias pesanggem

(penggarap) dalam program LMDH.

Pelaksanaan program LMDH di Desa

Dampit menunjukkan bahwa upaya

LMDH dalam merubah taraf hidup

pesanggem

(penggarap)

dan

mengembangkan

kapasitas

kelembagaan

setempat,

ternyata

belum diimbangi dengan pengakaran

kelembagaan masyarakat setempat.

Prakarsa

dan

dukungan

yang

memadai

dari

pelaku-pelaku

pembangunan lokal lainnya, seperti

pemerintah desa, pengusaha, dan

LSM sudah terlihat namun belum

optimal, sehingga kerjasama dan

gerakan sinergis yang optimal antara

pelaku-pelaku

pembangunan

lokal

tersebut dalam meningkatkan taraf

hidup pesanggem belum terwujud.

Seperti yang dikatakan salah seorang

tokoh masyarakat Desa Dampit, Bapak

Suwito (wawancara tanggal 8 Januari

2010):

“LMDH yang ada di Desa Dampit

walaupun sudah berbadan hukum dan

memiliki anggaran dasar organisasi

masih perlu di tingkatkan kinerja

pengurusnya dan menjalin kerjasama

dengan pemerintah desa, sehingga

diperlukan

kegiatan-kegiatan

penguatan

kelembagaan

yang

ditujukan untuk meningkatkan kinerja

dan SDM pengurus LMDH “

Berdasarkan

data

hasil

kajian

evaluasi yang dilakukan sebenarnya

(11)

LMDH

sebagai

kelembagaan

masyarakat yang mengakar sudah

berpihak kepada masyarakat golongan

bawah,

menyuarakan

aspirasi

masyarakat

dan

menjadi

motor

penggerak

penanggulangan

kemiskinan berdasarkan prinsip-prinsip

pengembangan

masyarakat.

Keberhasilan yang selama ini telah

dicapai LMDH dalam pelaksanaan

program-programnya

berdasarkan

asas-asas

pengembangan

masyarakat, bisa menjadi peluang

untuk

menciptakan

keberlanjutan

dalam

upaya-upaya

kepada

peningkatan

kesejahteraan

pesanggem

(penggarap)

dan

keseimbangan

ekologi

yang

dilaksanakan secara mandiri oleh

pesanggem (penggarap). Beberapa

persoalan kinerja LMDH yang dijumpai

dalam implementasi programnya saat

ini diidentifikasi sebagai berikut : a.

Kinerja LMDH yang terbentuk selama

ini masih belum cukup berkemampuan

(mandiri)

dalam

menumbuh

kembangkan

kapasitasnya

sendiri

untuk melayani tuntutan kebutuhan

nyata dari dinamika pembangunan di

masyarakat. Hal ini dipengaruhi oleh

faktor

internal,

yang

meliputi

keanggotaan,

kepengurusan,

alat

kelengkapan

organisasi,

dan

dipengaruhi faktor eksternal, kebijakan

pemerintah dan kelembagaan lain. b.

Tujuan utama LMDH yang semula,

yakni

pemberdayaan

kepada

pesanggem

(penggarap)

melalui

berbagai program-program di sektor

pengelolaan sumber daya hutan dan

peningkatan taraf hidup pesanggem

(penggarap),

belum

sepenuhnya

terlaksana. LMDH belum sepenuhnya

berorientasi

kepada

pesanggem

(penggarap)

miskin

serta

belum

mampu mengakses berbagai sumber

daya yang ada maupun sumber daya

luar bagi kepentingan peningkatan

taraf hidup pesanggem (penggarap). c.

Kepengurusan LMDH sebagian besar

tidak cukup mengakar, walaupun

sudah melalui mekanisme pemilihan

langsung oleh seluruh warga Desa

Dampit.

Pengurus

LMDH

masih

mempuyai

hubungan

kekerabatan

dengan

kepala

desa,

yang

berpengaruh terhadap keanggotaan

pengurus didominasi oleh orang-orang

yang dekat dengan kelompok tertentu.

Berbijak pada persoalan strategis di

atas, maka beberapa hal yang menjadi

landasan pemikiran bahwa kegiatan

penguatan kapasitas

kelembagaan

LMDH

sesungguhnya

diperlukan

sebagai sebuah upaya menyiapkan

dan

mengantarkan

LMDH

untuk

memasuki

tantangan

tugas

dan

fungsinya

sesuai

dengan

LMDH

paradigma baru, yaitu :

a. LMDH yang mandiri marupakan “Kunci

Strategis” bagi upaya keberlansungan

penanggulangan

kemiskinan

dan

pembangunan.

b. Diperlukan reorientasi pemahaman

LMDH paradigma baru yang berbasis

nilai-nilai kemanusiaan dan

prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan di

LMDH

dan

masyarakat

serta

stakeholders tingkat desa.

c. Perlunya pelembagaan proses-proses

pembangunan

partisipatif

melalui

pelaksanaan siklus kegiatan LMDH

dengan pendekatan baru.

d. Diperlukan

restrukturisasi

kelembagaan

dan

perbaikan

manajemen LMDH serta agar lebih

berpihak

pada

pesanggem

(penggarap)

golongan

bawah,

mengakar dan mampu menjadi motor

penggerak di bidang pengelolaan

sumber daya hutan dan peningkatan

kesejahteraan secara mandiri dan

berkelanjutan.

Disadari

bahwa

untuk

menumbuhkembangkan

kapasitasnya,

perlu diberikan bantuan teknis sehingga

mampu

mengakses

berbagai

sumberdaya internal dan eksternal yang

diperlukan .Keberadaan LMDH yang

belum

sepenuhnya

mencerminkan

sebagai lembaga masyarakat seperti

yang diharapkan,

(12)

Berdasarkan kajian pengembangan

masyarakat yang telah dilakukan dapat

diidentifikasikan faktor lain pendorong

bagi penguatan kelembagaan LMDH

dalam pelaksanaan program-programnya.

Hal ini terungkap melalui serangkaian

wawancara mendalam, diskusi kelompok,

dan Focused Group Discussion (FGD)

dengan informan yang menginginkan

kelembagaan

LMDH

berkemampuan

untuk memenuhi aspirasi dan kebutuhan

kelompok

pesanggem

(penggarap),

khususnya

yang

belum

pernah

berpartisipasi dalam kegiatan LMDH.

Harapan LMDH untuk menjadikan

LMDH mandiri sebagai salah satu syarat

bagi proses pembangunan berkelanjutan

di sektor pengelolaan sumber daya hutan

dan peningkatan taraf hidup masyarakat

mendapat berbagai kendala, seperti

adanya kesenjangan antara konsep dan

implementasinya juga dipengaruhi oleh

faktor-faktor pendorong dan penghambat

terwujudnya LMDH yang mandiri.

Dalam

pelaksanaan

kegiatan

penguatan kelembagaan LMDH,

prinsip-prinsip LMDH harus sesuai dengan

prinsip-prinsip

pengembangan

masyarakat

yang

menjadi

acuan,

landasan dan penerapan dalam seluruh

proses kegiatan yang meliputi pelayanan,

pengelolaan,

kepemimpinan

dan

manajemen.

Prinsip-prinsip

tersebut

harus

dijunjung

tinggi,

ditumbuhkembangkan serta dilestarikan

oleh semua pelaku dan stakeholder yang

berkaitan

dengan

kegiatan

LMDH.

Prinsip-prinsip yang diperlukan LMDH

adalah sebagai berikut : a. Demokrasi,

b.Partisipasi,

c.

Transparansi

dan

Akuntabilitas, d. Prinsip kebersamaan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

a. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

program PHBM di Desa Dampit telah

memberikan pengaruh positif terhadap

perubahan taraf hidup pesanggem

(penggarap). Namun demikian dalam

implementasinya PHBM belum efektif,

hal ini dipengaruhi faktor belum

diimplementasikannya program kerja

PHBM dengan baik, rendahnya peran

serta

LMDH

dan

pesanggem

(penggarap), serta belum luasnya

jaringan kerjasama. Kapasitas LMDH

masih rendah, hal ini dipengaruhi oleh

faktor rendahnya SDM pengurus,

rendahnya

kapasitas

anggota,

rendahnya

ketaatan

pesanggem

terhadap norma/ aturan yang ada,

serta rendahnya kinerja LMDH.

b. Kinerja

LMDH

belum

mampu

menumbuhkembangkan kapasitasnya

untuk melayani tuntutan kebutuhan

nyata dari pesanggem (penggarap).

Hal ini ditunjukkan oleh rendahnya

kwalitas pelayanan LMDH, pengurus

LMDH

belum

mampu

mengelola

organisasi

LMDH

dengan

baik,

kepemimpinan

LMDH

belum

mencerminkan keterwakilan seluruh

unsur

yang

ada

dalam

LMDH,

manajemen LMDH belum menerapkan

prinsip-prinsip

manajemen

dengan

baik. Berdasarkan identifikasi masalah

bersama

disimpulkan

bahwa

permasalahan

yang

pokok

yang

dihadapi adalah rendahnya kapasitas

LMDH dan belum efektifnya program

PHBM.

Melalui

Focus

Group

Discussion

(FGD)

dilakukan

penyusunan

program

secara

partisipatif yang melibatkan unsur

pesanggem

(penggarap),

LMDH,

perangkat desa, dan Perum Perhutani.

c. Upaya penguatan kapasitas LMDH

dapat diakukan melalui restrukturisasi

kelembagaan LMDH dan pelatihan

manajemen

bagi

pengurus

dan

anggota

LMDH.

Sedangkan

peningkatan efektivitas PHBM dapat

dilakukan melalui penataan struktur

akses dan kontrol SDA hutan, serta

pengawasan

manajemen

LMDH.

Berbagai langkah pembaharuan di

atas diharapkan mampu membawa

program PHBM dan LMDH Desa

dampit

dalam

pengelolaan

hutan

menjadi mandiri dan dapat digunakan

sebesar-besarnya untuk perubahan

taraf hidup pesanggem (penggarap)

(13)

Saran

a. Melihat adanya kesadaran masyarakat

yang ingin membangun kembali

hutannya

yang

rusak

akibat

penjarahan , merupakan tahab awal

yang

baik

untuk

memantabkan

kesepahaman PHBM karena itu

seyogyanya pihak Perhutani secara

terus menerus mengadakan sosialisasi

kepada masyarakat sekitar hutan

dengan

mengadakan

kerjasama

dengan pihak-pihak terkait.

b. Untuk

memantabkan

pelaksanaan

program PHBM perlu adanya jaminan

dan kepastian hukum, hal ini untuk

menghindari

hal-hal

yang

tidak

diinginkan

termasuk

kesalahan

persepsi antara kedua belah pihak

yang bekerjasama, untuk itu perlu

adanya proses jaminan hukum berupa

: kesepakatan kerjasama (MoU) atau

perjanjian

kerjasama

antara

Administratur dengan Bupati setempat

atau antara Perhutani dengan pihak

lain. Nota Kesepakatan Bersama

(NKB)

yaitu

Kesepakatan

antara

Perhutani dengan desa yang memuat

wilayah hutan yang dikelola bersama

di desa tersebut, yang memuat secara

rinci hak dan kewajiban, berbagi peran,

bagi hasil dan sebagainya antara

Perhutani dengan Kelompok yang

dilakukan dihadapan notaris sehingga

lebih menjamin kepastian hukum.

DAFTAR PUSTAKA

Aji,

Bambang

Soetjahjo,

(2002),

(Editor),

Selaras dengan Arus

Bawah, belajar dari Pengalaman

Hutan di India dan Tahiland

,

Perhutani, Jakarta

Arifin, Bustanul, (2001),

Pengelolaan

Sumber daya Alam Indonesia,

Perspektif

Ekonomi, Etika dan

Praksis

Kebijakan

,

Erlangga,

Jakarta.

Awang,

San

Afri,

(2000),

Studi

Kolaboratif FKMM Kelembagaan

Kehutanan

Masyarakat Belajar

dari Pengalaman

, Aditya media,

Yogyakarta.

Bakhtiar, Irfan, Sandi Ari CN, (2001)

,Hutan Jawa Menjemput Ajal,

Akankah

Otonomi

Menjadi

Solusi

, BP Arupa, Yogyakarta.

Fauzi, Noer (penyunting), (1997),

Argumentasi Konversi Tanah dan

pembangunan

, dalam Pengantar

Mochtar Mas’oed,

Tanah dan

Pembangunan,

Pustaka Sinar

Harapan, Jakarta.

Faisal, Sanapiah, (1990),

Penelitian

Kualitatif

(Dasar-Dasar

dan

Aplikasinya),

Yayasan Asih Asah

Asuh, Malang

Harsono,

Boedi,

(1997

),

Hukum

Agraria

di

Indonesia-Sejarah

pembentukan

Undang

Pokok

Agraria, Isi dan Pelaksanaanya

,

Jilid I Hukum Tanah Nasional,

Djambatan, Jakarta.

Moleong, Lexy J, (1997

), Metodologi

Penelitian

Kualitatif

,

Remaja

Rosdikarya, Bandung.

Nasution, S, (1992

), Metode Penelitian

Naturalistik

Kualitatif

,

Tarsito,

Bandung.

Nugroho,

Sigit

Sapto,

(2003),

Pengelolaan Sumberdaya Hutan

Bersama Masyarakat (PHBM)

Perspektif

Hukum

,

Tesis,

Unibraw Malang.

Nurjaya, I Nyoman, (editor),(1993),

Politik Hukum Penguasahaan

Hutan di Indonesia

, WALHI,

Jakarta.

..., (1999),

Menuju

Pengelolaan Sumberdaya Hutan

yang Berorientasi pada Pola

Kooperatif:

Perspektif

Legal

Formal dalam

Awang, san Afri &

Bambang

Adi

S,

(editor),

Perubahan Arah dan

Alternatif

Pengelolaan Sumber daya Hutan

perhutani

di Jawa

, Perhutani &

Fakultas

Kehutanan

UGM,

Jogjakarta, Hal. 105-117).

..., (2001), “

Magersari:

Studi Kasus Pola Hubungan

Kerja penduduk setempat Dalam

(14)

Program

Pasca

Sarjana

Universitas Indonesia,

Pamulardi, Bambang, (1996

), Hukum

Kehutanan dan Pembangunan

Bidang

Kehutanan

,

Rajawali

Press, Jakarta.

Raharjo, SatjiPto, (1986),

Hukum dan

Masyarakat

, Angkasa, bandung.

..., (1993

), Hukum dan

Perubahan

Sosial

,

Angkasa

Bandung.

Santosa,

Mas

Ahmad,

(1999

),

Reformasi

Hukum

dan

Kebijaksanaan

di

Bidang

Pengelolaan Sumber Daya Alam,

Dalam

Demokratisasi

Pengelolaan Sumber daya Alam,

Mas santosa Ahmad, pengantar,

ICEL, Jakarta.

Simon, Hasanu, (

19990 Pengelolaan

Hutan

Bersama

Rakyat

(Cooperatif Forest

Management)

Teori dan Aplikasi Pada Hutan

Jati di Jawa

, Biagraf Publising,

yogyakarta.

Info PHBM Seri I, Perhutani, Maret

2009.

Referensi

Dokumen terkait

Elkoga Radio adalah suatu perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa, maka Elkoga Radio dituntut untuk memberikan pelayanan yang dianggap paling memuaskan bagi

belaka. Gereja lebih daripada itu. Gereja sesungguhnya ialah diri kita sendiri. Jiwa dan raga kita ialah tempat Kristus yang penuh kasih berdiam diri. Dengan

Penggunaan bahan tambahan pangan tidak boleh sembarangan hanya dibenarkan untuk tujuan tertentu saja, misalnya untuk mempertahankan gizi makanan. Pengguanan bahan

Perlakuan BAP dengan dua taraf konsentrasi (1 mg/l dan 2 mg/l) dan media (MS dan KC) dengan empat taraf konsentrasi hara makro dan mikro (1, ¾, ½, dan ¼ konsentrasi hara makro

Data yang diperoleh dianalisis secara diskriptif kualitatif adapun data yang di- analisis adalah terkait dengan strategi yang dilakukan untuk membangun desa wisata

Inti sel merupakan pusat pengendali segala macam proses yang terjadi di dalam sel, dibungkus oleh membran ganda yang tersusun dari senyawa lipoprotein dengan

Terdorong dan distimulasi oleh perkumpulan ini , maka timbul perkumpulan dan persatuan se profesi di Ambon dan Lease seperti diuraikan dalam BAB II. Kegiatan

Model Sirkuler di atas, jika dihubungkan dengan penelitian yang penulis teliti yaitu Customer Service Representative di Plasa Telkom Sudirman Pekanbaru pada waktu