• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jurnal Sipatokkong BPSDM Sulawesi Selatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Jurnal Sipatokkong BPSDM Sulawesi Selatan"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

307

Jurnal Sipatokkong BPSDM Sulawesi Selatan

https://ojs.bpsdmsulsel.id/

Rambu Tuka’ Sebagai Pemersatu Empat Kasta di Toraja

Ignes Sarto

Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Makassar

ignessarto3@gmail.com

ABSTRACT

Customs that are applicable in an area reflect a culture that local communities continue to preserve as an ancestral heritage. Toraja society also have traditional customs, such as rambu tuka’, rambu solo’, and manene. A rambu tuka’ ceremony is a traditional ritual of the Toraja community which is celebrated for its success. A typical success is the making of the traditional house of tongkonan and the making of alang construction. Rambu Tuka’s traditional ceremony is the address of the customary house of Toraja, tongkonan (mangarara banua) and is grateful for the completion of the granary (ma’ kurre sumangai’). In performing rambu tuka’ ceremonial customs, usually the Toraja societies measure against the caste system in order to ensure a successful ceremonial custom. As for the common caste of Toraja, namely, tana’ bulaan (levels of gold), tana’ bassi (levels of iron), tana’ karurung (levels of palm fiber/enau), and tana’ kua-kua (levels of grass)

Keywords: Culture, Customs, Toraja, Caste, Rambu Tuka’, Mutual Cooperation ABSTRAK

Adat istiadat yang berlaku dalam suatu daerah mencerminkan kebudayaan yang tetap dilestarikan oleh masyarakat daerah setempat sebagai warisan dari nenek moyang. Mayarakat Toraja juga memiliki adat istiadat, seperti rambu tuka’, rambu solo’, dan manene. Upacara adat rambu tuka adalah upacara adat masyarakat Toraja yang dilakukan untuk mensyukuri suatu keberhasilan. Keberhasilan yang biasanya disyukuri yaitu pembuatan rumah adat tongkonan dan pembuatan alang. Upacara adat rambu tuka’ adalah pensyukuran rumah adat Toraja, yaitu tongkonan (mangrara banua) dan mensyukuri selesainya pembuatan lumbung (ma’ kurre sumangai’ alang). Dalam melaksanakan upacara adat rambu tuka’, biasanya masyarakat Toraja berpatokan terhadap sistem kasta yang berlaku untuk menyukseskan upacara adat ini. Adapun kasta yang yang berlaku dalam masyarakat Toraja, yaitu tana’ bulaan (tingkatan emas), tana’ bassi (tingkatan besi), tana’ karurung (tingkatan ijuk/enau), dan tana’ kua-kua (tingkatan rumput).

Kata Kunci: Kebudayaan, Adat istiadat, Toraja, Kasta, Rambu Tuka’, Gotong-Royong

© 2020 Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Provinsi Sulawesi Selatan

PENDAHULUAN

Kebudayaan adalah cara hidup sekelompok orang, yang ada, berkembang dan dimiliki oleh suatu kelompok tertentu. Kebudayaan tersebut kemudian diturunkan kepada generasi berikutnya. Hal ini menunjukkan suatu kebudayaan selalu bersifat konservatif dengan mempertahankan kebiasaan dari para generasi sebelumnya. Suatu kebudayaan terbentuk dan dipengaruhi oleh beberapa unsur, yaitu seperti adat-istiadat, agama yang dianut, bahasa, cara berpakaian, sistem politik, ekonomi dan keadaan sosial yang ada di dalam suatu kelompok masyarakat.

Adat-istiadat adalah gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilai-nilai budaya, norma, kebiasaan yang dilakukan di daerah tertentu. Adat-istiadat ini dijadikan kebiasaan dalam kehidupan bermasyarakat dan selalu dipertahankan ciri khasnya berdasarkan kebiasaan

(2)

308

para leluhur atau nenek moyang (Salim, 2016). Kebiasaan yang diwariskan ini, tentunya

akan berkembang seiring perkembangan zaman, bahkan mungkin tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Oleh karena itu, dalam melaksanakan adat-istiadat di zaman modern ini, diperlukannya proses asimilasi, sehingga adat-istiadat di suatu daerah tidak tergerus dan tidak terlupakan seiring dengan perkembangan zaman.

Kebudayaan dalam unsur adat-istiadat suatu daerah biasanya tercermin dalam upacara adat, tata krama, kasta, norma, etiket dan etika yang berlaku di dalam masyarakat di daerah tersebut. Hal ini juga berlaku pada adat-istiadat di daerah Toraja. Ada banyak upacara adat yang berkaku di Toraja, seperti rambu solo (upacara adat pemakaman), rambu tuka’ (upacara adat syukuran rumah), dan upacara adat manene (upacara adat menggantikan baju jenazah). Dalam menyelenggarakan upacara adat rambu tuka’, masyarakat daerah Toraja melaksanakannya dengan semangat gotong royong. Kegiatan gotong royong sendiri seharusnya dilaksanakan dengan hati yang ikhlas, penuh dengan kerelaan hati, kebersamaan, serta toleransi dalam membantu sesama (Effendi, 2013).

Toraja memiliki 4 kasta yang melambangkan status sosial seseorang dalam masyarakat. Status sosial dalam tataran statifikasi sosial yang tercermin dalam empat kasta yang ada di Toraja memiliki peran dan fungsinya masing-masing di masyarakat. Dengan adanya sistem kasta ini, maka ada patokan bagi seseorang dalam mendapatkan perlakuan di masyarakat setempat. Walaupun di Toraja ada sistem kasta yang berlaku dalam masyarakat, namun hal ini tidak terlalu kentara seperti kasta yang ada di Bali.

Kasta atau status sosial yang ada di Toraja tidak menghalangi masyakarat yang berbeda kasta untuk ikut dalam upacara adat tertentu. Hal ini tercermin dalam status sosial di setiap kasta di Toraja yang juga turut hadir dan membantu dalam pelaksanaan upacara adat rambu tuka’. Kelompok masyarakat Toraja tidak semuanya bisa melaksanakan upacara adat secara lengkap atau sama. Hal ini tercermin dalam perbedaan pelaksanaan upacara adat Toraja yang dilakukan oleh kaum bangsawan dan upacara adat Toraja yang dilakukan oleh kaum hamba (Panggara, 2014).

PEMBAHASAN

Adat-istiadat yang berlaku dalam suatu daerah mencerminkan kebudayaan yang tetap dilestarikan oleh masyarakat daerah setempat sebagai warisan dari nenek moyang mereka. Cerminan ini dapat kita artikan bahwa masyarakat di daerah tersebut tidak ingin kehilangan ciri khas dari adat-istiadat mereka (Brata, 2016). Begitupun yang terjadi dalam masyarakat Toraja yang tetap mempertahankan adat-istiadat mereka dalam menyelenggarakan upacara adat yang menjadi warisan dari para leluhur. Suku Toraja yang tinggal di daerah pegunungan masih terus mempertahankan kebudayaannya yang khas secara turun-temurun (Embon & Saputra, 2018).

Rambu tuka’ adalah upacara adat masyarakat Toraja yang dilakukan untuk mensyukuri suatu keberhasilan. Keberhasilan yang biasanya disyukuri dengan menggunakan upacara adat rambu tuka’ adalah pensyukuran rumah adat Toraja, yaitu tongkonan (mangrara banua) dan mensyukuri selesainya pembuatan lumbung (ma’ kurre sumangai’ alang). Upacara adat ini dilakukan dengan serangkaian prosesi.

Masyarakat Toraja saat melaksanakan kegiatan upacara adat sering dikaitkan dengan pemotongan hewan dalam jumlah yang banyak. Hal ini juga memandakan kemampuan ekonomi dari keluarga yang mengadakan upacara adat. Dalam kegiatan upacara adat syukuran rumah, biasanya pihak keluarga menyembelih hewan kerbau ataupun babi (Sadidan, Sulaeman, & Homzah, 2015).

Rumah tongkonan sendiri dapat melambangkan keadaan leluhur dari si pemilik rumah dan menjadi penanda status sosial dalam masyarakat (Imanuella, 2017). Tidak

(3)

309

semua orang Toraja dapat membuat rumah Tongkonan ataupun lumbung. Hal ini dikarenakan biaya yang diperlukan sangat fantastis. Kisaran dalam membuat rumah Tongkonan yaitu sekitar 400-600 juta rupiah. Sedangkan untuk membuat lumbung (alang), biaya yang diperlukan berkisar antara 75-90 juta rupiah. Untuk meringankan biaya pembuatan rumah adat tongkonan, biasanya para keluarga berkumpul dan mencari silsilah keluarga dari kedua belah pihak ayah dan ibu untuk membangun rumah adat tongkonan ini. Silsilah keluarga inilah yang akan menamakan rumah adat tongkonan tersebut. Nama yang digunakan biasanya menggunakan nama leluhur keluarga tersebut.

Biasanya pada depan rumah tongkonan ada tiang utama (tulak somba) yang digunakan sebagai penyangga, dan biasanya digunakan untuk menaruh tanduk kerbau yang disusun secara berjajar dari atas ke bawah. Banyaknya jumlah tanduk kerbau ini juga dapat melambangkan kekayaan pemilik rumah dan leluhur mereka yang telah meninggal. Keberadaan alang di depan rumah toraja, digunakan sebagai pelengkap rumah tongkonan dan memberi kesan akan tingkat kemampuan dan status sosial pemiliknya.

Rumah tongkonan dapat dijadikan sebagai patokan dalam mendapatkan kebahagiaan (Pasande, 2013). Tongkonan sebagai rumah adat Toraja yang berperan dalam tingkatan sosial di masyarakat, membuat orang Toraja berlomba-lomba untuk membagun rumah adat ini. Hal ini juga dapat diartikan sebagai bentuk penghargaan bagi leluhur atau nenek moyang.

Kasta atau status sosial merupakan salah satu unsur yang ada di dalam adat-istiadat. Kasta melambangkan tingkat, derajat dan golongan masyarakat dalam suatu daerah. Kasta sebagai bentuk dari startifikasi sosial yang tercermin dalam kehidupan bermasyarakat, tentunya menjadi suatu patokan dalam memperlakukan seseorang dalam setiap tingkah lakunya. Sistem kasta pada orang Bali merupakan sebuah sistem yang dikaitkan dengan ajaran agama Hindu.

Orang Bali pun menganggap bahwa sistem kasta merupakan anugerah yang diberikan oleh Tuhan sebagai sesuatu yang mengikat bagi penganut agama Hindu (Anwar, 2016). Kehidupan sosial yang ada dalam masyarakat di Bali, baik itu kebudayaan dan adat-istiadat yang ada tetap mempertahankan pada golongan Tri wangsa atau kasta untuk menilai derajat kemanusiaan dalam masyarakat Bali. Pada masyarakat Bali yang menganut agama Hindu, mereka memiliki tiga golongan dalam strata sosial atau kasta yang berlaku dalam masyarakat setempat, yaitu Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra (Amritashanti & Suprapti, 2017).

Sistem kasta tenyata tidak hanya berlaku pada masyarakat Bali, tetapi di masyarakat Toraja pun memakai sistem kasta ini dalam kehidupan sehari-hari. Bagi masyarakat Toraja sendiri, kasta dalam tataran startifikasi sosial dalam masyarakat sangatlah penting. Hal ini dikarenakan, sistem kasta yang ada dalam masyarakat Toraja dipergunakan dan selalu dihubungkan dengan pelaksanaan kebudyaan dan adat-istiadat Toraja yang tetap dipertahanakan serta dilaksanakan dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari. Ada 4 kasta yang berlaku dalam masyarakat Toraja. Kasta tersebut ialah tana’ bulaan (tingkatan emas), tana’ bassi (tingkatan besi), tana’ karurung (tingkatan ijuk/enau), dan tana’ kua-kua (tingkatan rumput). Walaupun ada sistem kasta di Toraja, namun hal ini tidak menjadi batasan bagi masyarakat dalam menjalankan upacara adat khususnya upacara adat rambu tuka’.

Sistem kasta yang ada di Toraja lahir saat masyarakat Toraja memeluk keyakinan Aluk Todolo. Setiap kasta yang ada, memiliki peranan, fungsi dan tugasnya masing-masing. Dengan adanya sistem kasta ini, ada acuan yang digunakan bagi masyarakat Toraja, tentang bagaimana seseorang melakukan sesuatu, hal yang pantas atau tidak pantas dilakukannya sesuai dengan kedudukannya dalam startifikasi sosial menurut kasta

(4)

310

yang dia miliki. Sehingga keempat kasta ini tidak akan lengkap apabila salah satu kasta tidak turut campur tangan dalam menyelenggarakan upacara adat rambu tuka’.

Melalui keempat tingkatan kasta ini, kita dapat melihat persatuan orang Toraja dalam implementasi upacara adat rambu tuka’ (Idrus, 2016). Karena peran, fungsi dan tanggung jawab dari setiap kasta yang berbeda inilah, tentunya akan mendorong semangat masyarakat Toraja untuk bekerja sama dalam menyelenggaran upacara adat rambu tuka’. Sehingga melalui upacara adat rambu tuka’ ini, empat kasta yang ada di Toraja dapat dipersatukan. Melalui upacara adat rambu tuka ini, dapat mencerminkan semangat bahu-membahu antara pihak keluarga pelaksana upacara adat, setiap tingkatan kasta dan masyarakat setempat dalam menyusun dan menyelenggarakan acara ini, sehingga upacara adat ini akan terlaksana dengan baik sesuai dengan adat-istiadat yang telah turun-temurun diwariskan oleh nenek moyang.

Adapun tugas dan fungsi dari setiap 4 kasta yang ada di Toraja dalam pelaksanaan upacara adat rambu tuka’, yaitu:

1. Tana’ Bulaan atau To Parenge’ (Tingkatan Emas)

Golongan masyarakat yang termasuk dalam kasta ini, yaitu para pemangku adat. Kasta tana’ bulaan merupakan kasta yang paling tinggi atau biasa juga disebut sebagai kasta para bangsawan. Biasanya kaum tana’ bulaan adalah orang yang terpandang, bijaksana, dan dapat menjadi teladan bagi masyarakat Toraja.

Pada umumunya, golongan kasta tana’ bulaan ini menguasai banyak tanah persawaahn di Toraja. Peranan mereka dalam masyarakat yaitu menciptakan aturan-aturan adat. Tugas dan fungsi golongan ini adalah mengatur tatanan upacara adat, baik itu hari dan waktu pelaksanaannya, dan siapa-siapa saja yang harus diundang dalam upacara adat rambu tuka’. Sebagai bentuk rasa terima kasih dari keluarga yang melaksanakan upacara adat rambu tuka’, maka golongan kasta tana’ bulaan, dan para pejabat pemerintah dari tingkat tertinggi yang ada di wilayah tersebut seperti kepala kecamatan, kepala kelurahan, dan kepala desa, mendapatkan bagian daging berupa kaki babi.

Adapun tahapan upacara adat rambu tuka’ yang dirancangkan oleh kasta tana’ bulaan bersama keluarga yang melaksanakan rambu tuka’, yaitu:

a. Rembug keluarga. Dalam tahapan ini, golongan kasta tana’ bulaan dilibatkan didalamnya. Mereka berperan untuk menentukan hari, waktu dan prosesi-prosesi adat yang akan dilaksanakan dalam upacara adat rambu tuka’. Dalam tahapan ini juga dilakukan acara usuloi’ toktok rinding, dimana para pemangku adat dan rumpun keluarga mencari tahu adakah ketidakrukunan, perselihan, atau tidak sepahaman yang terjadi di dalam keluarga. Jika ditemukan ada masalah seperti ini, maka para pemangku adat akan mendamaikan rumpun keluarga dari ketidakrukunan ini.

b. Ma’ tomatua. Tahapan ini dilaksanakan dengan cara mengingat leluhur. Kegiatan yang dilakukan keluarga yaitu memotong ayam dan menyajikan ayam tersebut disamping sebelah selatan rumah tongkonan.

c. Ma pasorok to manarang. Tahapan ini dilakukan untuk memberhentikan para tukang setelah tongkonan atau lumbung telah dibangun. Dalam tahapan ini, segenap rumpun keluarga memotong ayam dan menyajikannya untuk dimakan bersama para tukang dan pemangku adat.

d. Ma’ tarampak. Tahapan ini dilaksanakan sebagai bentuk ibadah pertam. Dalam tahapan ini, pihak keluarga menyembelih minimal 4 ekor babi. Orang-orang yang diundang dalam tahapan ini yaitu masyaraakt sekitar, pemangku adat, dan orang-orang yang dituakan.

(5)

311 2. Tana’ Bassi atau To Makaka (Tingkatan Besi)

Golongan masyarakat yang termasuk dalam kasta ini, yaitu orang yang membantu orang-orang kasta tana’ bulaan. Kasta tana’ bassi merupakan kasta kedua atau biasa juga disebut kasta bagi para bangsawan menengah. Biasanya mereka juga terdiri dari orang-orang yang memiliki kedudukan dalam pemerintahan seperti kepala dusun, orang-orang-orang-orang terpelajar, kepala lingkungan, dan lain-lain.

Orang-orang kasta tana’ bassi ini biasanya memiliki tanah persawahan tetapi tidak sebanayak yang dimiliki oleh tana’ bulaan (kaum bangsawan). Tugas mereka dalam upacara adat rambu tuka’ yaitu memilih bagian-bagian dari potongan hewan babi dan kerbau untuk dibagian kepada setiap kasta dan orang-orang yang hadir sebagai tamu dalam upacara rambu tuka’. Sebagai bentuk rasa terima kasih dari keluarga yang melaksanakan upacara adat rambu tuka’, maka golongan kasta tana’ bassi ini mendapatkan bagian daging berupa kaki babi sama dengan golongan kasta tana’ bulaan tetapi yang agak kecil berbeda dengan yang dibagikan kepada kasta tana’bulaan.

3. Tana’ Karurung atau To Pa’tondokan(Tingkatan Ijuk atau Enau)

Golongan masyarakat yang termasuk dalam kasta ini, yaitu mereka yang menjadi buruh tani pada keluarga bangsawan karena mereka tidak mempunyai lahan pertanian. Kasta tana’ karurung merupakan kasta ketiga yang biasa juga disebut sebagai kasta rakyat merdeka. Orang-orang kasta ini tidak mempunyai kuasa apa-apa, namun menjadi tulang punggung bagi masyarakat Toraja.

Orang-orang kasta ini biasanya merupakan rakyat kebanyakan atau biasa juga disebut pa’tondokan. Tugas tana’ karurung dalam upacara adat rambu tuka’, yaitu menyembelih hewan-hewan yang digunakan dalam upacara rambu tuka’ dan membuat panggung atau dekorasi tempat upacara rambu tuka’ dilaksanakan. Sebagai bentuk rasa terima kasih dari keluarga yang melaksanakan upacara adat rambu tuka’, maka golongan kasta tana’ karurung mendapatkan bagian daging berupa rusuk babi.

4. Tana’ Kua-Kua (Tingkatan Rumput)

Kasta tana’ kua-kua merupakan kasta keempat dan biasa disebut juga sebagai kasta hamba. Orang-orang kasta tana’ kua-kua tidak boleh menikah dengan kasta yang lebih tinggi dari kastanya, seperti kasta tana’ bulaan dan kasta tana’ bassi. Golongan masyarakat yang termasuk dalam kasta ini tugasnya dapat dilihat saat ada kegiatan dalam masyarakat Toraja, khususnya saat upacara adat Toraja dilaksanakan. Tugas mereka adalah memasak dan menghidangkan santapan kepada para tamu. Sebagai bentuk rasa terima kasih dari keluarga yang melaksanakan upacara adat rambu tuka’, maka golongan kasta tana’ kua-kua ini mendapatkan bagian daging diluar bagian daging babi yang diberikan oleh 3 golongan kasta yang ada diatasnya.

Pembagian kasta yang ada di masyarakat Toraja ini, peranannya sangat berfungsi dalam tataran strata sosial di lingkungan masyarakat. Secara khusus saat upacara adat ataupun acara kebudayaan yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat. Hal ini nampak dalam peranan setiap kasta yang dijalankan, membuat keharmonisan antara kasta yang satu dengan kasta yang lain.

Pihak keluarga yang melaksanakan upacara adat rambu tuka’ khususnya, sangat terbantu dengan peranan setiap kasta yang ada. Kasta tana’ bassi yang berfungsi sebagai koordinator keamanan wilayah acara biasanya memiliki peran dalam menjaga keamanan upacara adat rambu tuka’. Kasta tana’ karurung yang biasanya tercermin dalam masayarakat pada umumnya memiliki peran sebagai sumber daya manusia untuk membantu pihak keluarga dalam menyelenggarakan upacara adat rambu tuka’. Sedangkan kasta tana’ kua-kua memiliki fungsi sebagai pekerja atau pelayan bagi kaum

(6)

312

bangsawan. Hal ini menunjukkan bahwa setiap sistem kasta bersifat konservatif dan konvensional dengan mempertahankan kasta yang telah lama ada dari para generasi sebelumnya.

Keempat kasta di Toraja memiliki hubungan yang harmonis dan dinamis dalam upacara adat rambu tuka’. Walaupun ada tingkatan yang berbeda dalam kelas atau strata sosial di dalam lingkungan masyarakat, hal ini tidak menjadi batu sandungan dalam melaksanakan kegiatan upacara adat rambu tuka’. Setiap keluarga yang melaksanakan upacara adat rambu tuka’ ataupun upacara adat lainnya di Toraja, sangat memerlukan peran dan fungsi keempat kasta ini.

Kasta atau tana’ ini dapat dijadikan sebagai salah satu bentuk pembentukan dan pertumbuhan dalam kebudayaan dan adat-istidat masyarakat Toraja. Dengan adanya sistem kasta ini, tatanan kehidupan masyaraakt Toraja dapat berjalan dengan baik. Sistem kasta ini juga biasanya digunakan dalam upacara perkawinan, upacara pemakaman (rambu solo’) dan pengangkatan jabatan adat atau menjadi pemerintah adat. Keempat sistem kasta ini secara turun-temurun diwariskan kepada anggota keluarga.

Setiap kasta memiliki peran dan fungsinya masing-masing, sehingga setiap tingkatan kasta ini dapat menjadi penyokong upacara adat rambu tuka’ agar dapat terlaksana dengan baik. Hal ini dikarenakan, pihak keluarga yang melaksanakan acara akan sangat membutuhkan pertolongan dan bantuan dari setiap kasta dan masyarakat setempat untuk mendukung keberlangsungan acara ini dengan baik. Sistem kasta di Toraja, tentunya memberikan gambaran dan menjadi patokan bagi seseorang dalam mendapatkan perlakuan di masyarakat setempat. Tetapi, melalui upacara adat rambu tuka ini, keempat kasta yang ada di Toraja, yaitu kasta tana’ bulaan, kasta tana bassi, kasta tana’ karurung, dan kasta tana’ kua-kua, keemat sistem kasta ini dapat dipersatukan dalam semanagat gotong-royong membantu pihak penyelenggara acara atau pihak keluarga yang melaksanakan upacara adat rambu tuka’.

PENUTUP

Adat istiadat merupakan gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilai-nilai budaya, norma, kebiasaan dan hukum adat yang lazim dilakukan di suatu daerah. Adat istiadat dapat tercermin dalam upacara adat yang dilaksanakan oleh suatu masyarakat secara turun-temurun. Orang Toraja memiliki adat-istiadat yang tercermin dalam adat yang berkaku di Toraja, seperti rambu solo (upacara adat pemakaman), rambu tuka’ (upacara adat syukuran rumah), dan upacara adat manene (upacara adat menggantikan baju jenazah). Dalam menyelenggarakan suatu upacara adat, masyarakat Toraja biasanya berpatokan pada kasta yang ada.

Kasta melambangkan tingkat, derajat dan golongan masyarakat dalam suatu daerah. Toraja memiliki empat kasta dalam pranata sosialnya. Kasta tersebut ialah tana’ bulaan (tingkatan emas), tana’ bassi (tingkatan besi), tana’ karurung (tingkatan ijuk/enau), dan tana’ kua-kua (tingkatan rumput). Setiap kasta ini memiliki peranan fungsi dan tugasnya masing-masing, secara khusus dalam upacara adat rambu tuka’.

Saran

Adat istiadat dalam masyarakat Toraja harus dilestarikan sehingga tidak hilang seiring dengan perkembangan zaman. Perbedaan dalam sistem kasta yang ada dalam masyarakat Toraja hendaknya tidak menjadi penghalang dalam masyaarakat untuk melaksanakan adat istiadat yang sudah diwariskan oleh nenek moyang. Sistem kasta yang sudah terbentuk sejak. Tetapi sistem kasta ini sebaiknya menjadi penyemangat bagi setiap masyarakat Toraja untuk saling membantu dalam semangat gotong-royong dalam melaksanakan adat istiadat yang tercermin dalam pelaksanaan upacara adat rambu tuka’.

(7)

313

DAFTAR PUSTAKA

Amritashanti, I. G., & Suprapti, V. (2017). Penyesuaian Diri Wanita Hindu yang Menjalani Perkawinan Beda Kasta di Bali. Jurnal Psikologi Pendidikan dan Perkembangan, 6, 56-67.

Anwar. (2016). 'Ini Kan Bukan Bali': Interaksi Antar-Kasta Masyarakat Transmigran di Desa Kertoraharjo, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Jurnal Etnosia, 01(02), 1-12.

Brata, I. B. (2016). Kearifan Budaya Lokal Perekat Identitas Bangsa. Jurnal Bakti Saraswati, 5(01), 9-16.

Effendi, T. N. (2013). Budaya Gotong-Royong Masyarakat dalam Perubahan Sosial Saat Ini. Jurnal Pemikiran Sosiologi, 2(1), 1-18.

Embon, D., & Saputra, I. G. (2018). Sistem Simbol dalam Upacara Adat Rambu Solo: Kajian Semiotik. Jurnal Bahasa dan Sastra, 3(7), 1-10.

Idrus, N. I. (2016). Mana' dan Eanan: Tongkonan, Harta Tongkonan, Harta Warisan, dan Kontribusi Ritual di Masyarakat Toraja. Jurnal Etnosia, 01(02), 12-26.

Imanuella, S. K. (2017). Mangrara Banua Merawat Memori Orang Toraja (Upacara Penahbisan Tongkonan di Toraja, Sulawesi Selatan. Jurnal Ilmu Budaya, 5(1), 22-34.

Panggara, R. (2014). Konflik Kebudayaan Menurut Teori Lewis Alfred Coser dan Relevansinya dalam Upacara Pemakaman (Rambu Solo') di Tana Toraja. Jurnal Jaffray, 12(2), 291-316.

Pasande, D. S. (2013). Budaya Longko' Toraja dalam Perspektif Etika Lawrence Kohlberg.

Jurnal Filsafat, 23(2), 1-17.

Sadidan, I., Sulaeman, M., & Homzah, S. (2015). Faktor Sosial dan Budaya Kaitannya dengan Nilai Jual Kerbau (Kasus di Pasar Bolu, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan). Students e-journal, 5(1), 1-9.

Salim, M. (2016). Adat Sebagai Budaya Kearifan Lokal untuk Memperkuat Eksistensi Adat ke Depan. Jurnal Hukum Pidana & Ketatanegaraan, 5(2), 244-255.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan maka perlu dilakukan perancangan ulang tata letak fasilitas produksi menggunakan metode SLP dengan bantuan

Kita sebagai pengguna dari kayu yang setiap jenisnya mempunyai sifat-sifat yang berbeda, perlu mengenal sifat-sifat kayu setiap tersebut sehingga dalam pemilihan atau

Hasil penelitian menggunakan regresi data panel dengan model terpilih metode REM menunjukkan bahwa inflasi, pertumbuhan ekonomi, pendidikan, pengangguran, laju

Faktor yang mempengaruhi tidak adanya perbedaan status gizi Anak Usia 6- 24 Bulan antara yang Diberi ASI Eksklusif dengan MP ASI Dini di Desa Benerwetan Ambal Kebumentahun 2010

Tabel 9 menunjukan bahwa dari sikap ibu hamil terhadap frekuensi kunjungan ANC yaitu sikap sangat baik dengan frekuensi kunjungan ANC lengkap sebanyak 28 (70%) responden,

Lampiran : Media selektif untuk pertumbuhan mikroba untuk perhitungan TPC ( Total Plate Count ). Jenis Mikroba Nama dan

Berdasarkan hasil penelitain dan pembahasan terhadap modul yang dikembangkan, maka dapat diambil beberapa simpulan bahwa pengembangan modul pada materi bangun ruang

Implementasi, melakukan pengkajian nyeri secara komprehensif, mengajarkan teknik nonfarmakologi (kompres es), memonitoring TTV, memberikan analgetik sesuai resep