• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Landasan Teori. Penelitian yang dilakukan oleh Hartata (2008) berjudul Mantra Pengasihan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "A. Landasan Teori. Penelitian yang dilakukan oleh Hartata (2008) berjudul Mantra Pengasihan"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

A. Landasan Teori

Penelitian tentang mantra sebelumnya pernah dilakukan, diantaranya Hartata (2008) dan Maulani (2014).

Penelitian yang dilakukan oleh Hartata (2008) berjudul Mantra Pengasihan Jawa dalam Kehidupan Masyarakat Jawa Modern di Wilayah Kabupaten Klaten (Suatu Tinjauan Sosiologi Sastra). Permasalahan dalam penelitian, yaitu mempermasalahkan stuktur, prosesi pengamalan, respon masyarakat dan fungsi mantra pengasihan menggunakan teori struktural dan teori sosiologi sastra. Namun dalam penelitian yang dilakukan oleh Hartata (2008) tersebut lebih fokus kepada hubungan antara sastra dalam hal ini adalah mantra dengan masyarakat.

Penelitian oleh Puput Maulani (2014) berjudul Mantra Pengobatan Penyakit di Dukuh Singolangu Kelurahan Sarangan Kecamatan Plaosan Kabupaten Magetan (Suatu Tinjauan Antropologi Sastra). Permasalahan yang dianalisis berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Hartata (2008), penelitian yang dilakukan oleh Maulani (2014) ini lebih luas karena menyangkut masyarakat sebagai pengguna mantra. Permasalahan dalam penelitian ini, yaitu (1) Bagaimana keberadaan Mantra Pengobatan Penyakit di Dukuh Singolangu Kelurahan Sarangan Kecamatan Plaosan Kabupaten Magetan, (2) Bagaimana struktur Mantra Pengobatan Penyakit di Dukuh Singolangu Kelurahan Sarangan Kecamatan Plaosan Kabupaten Magetan, (3) Bagaimana fungsi Mantra Pengobatan Penyakit bagi masyarakat Dukuh Singolangu Kelurahan Sarangan Kecamatan Plaosan Kabupaten Magetan. Penelitian ini menelaah hubungan antara sastra dan budaya terutama untuk mengamati bagaimana sastra dalam hal ini mantra digunakan sehari-hari sebagai alat dalam tindakan bermasyarakat.

(2)

Perbedaan kedua penelitian di atas dengan penelitian yang penulis teliti terletak pada pembaitan atau rimanya. Penggunaan rima sangatlah mempunyai pengaruh besar dalam penggunaan mantra selain sebagai pemerindah. Unsur rima juga berperan sebagai unsur pensugesti agar yang termantra atau pemantra terpengaruh terhadap mantra itu sendiri. Penekanan rima yang terdapat dalam sebuah mantra dapat memperkuat fungsi mantra. Pengulangan kata dapat menjadi afirmasi dan sugesti agar termantra ataupun pemantra masuk ke dalam keadaan rileks atau trance (bawah sadar).

Hasil penelitian adalah agar kita mengetahui struktur, diksi, rima dan makna dalam mantra pengobatan di Desa Gantang. Semua unsur tersebut tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya, karena mempunyai kesatuan yang utuh dan bersifat arbiter.

Penelitian-penelitian sebelumnya membahas secara luas struktur mantra. Semoga dengan penelitian yang membahas struktur, diksi, rima dan makna dalam mantra pengobatan di Desa Gantang dapat mengetahui bahwa struktur, pilihan kata, dan rima menjadi faktor penting dalam mantra. Penelitian dilanjutkan dengan analisis keberadaan dan fungsi dari mantra pengobatan di Desa Gantang. Semoga penelitian ini bisa saling melengkapi hasil penelitian sebelumnya.

Ketiga penelitian ini tidak terlepas dari teori strukturalisme dan semiotik untuk meneliti makna yang ada dalam mantra. Tidak berbeda dari penelitian yang penulis lakukan yang juga menggunakan teori strukturalisme. Perbedaanya penelitian ini selain membahas struktur dalam mantra juga membahas diksi dan pembaitan yang digunakan dalam mantra.

(3)

Mantra termasuk dalam genre sastra lisan yang populer di masyarakat. Sebagaimana pantun dan syair. Hanya saja, penggunaannya lebih eksklusif, karena hanya dituturkan oleh orang tertentu saja, seperti pawang dan dhukun. Menurut orang Jawa, mantra biasanya diucapkan dengan cara dihafal dan pembacaan mantra diyakini dapat menimbulkan kekuatan gaib untuk membantu meraih tujuan-tujuan tertentu.

Sejalan dengan pembagian jenis mantra, Rusyana (1978: 34) membagi mantra berdasarkan tujuannya menjadi tujuh bagian, yaitu jampe (jampi), asihan (pekasih), singlar (pengusir), jangjawokan (jampi), rajah (kata-kata pembuka jampi), ajian ajian/jampi (ajian kekuatan), dan pelet (guna-guna). Diketahui bahwa ketujuh bagian tersebut dapat dikelompokkan ke dalam mantra putih (white magic) dan mantra hitam (black magic). Pembagian tersebut berdasarkan kepada tujuan mantra itu sendiri, yakni mantra putih digunakan untuk kebaikan sedangkan mantra hitam digunakan untuk kejahatan.

Berdasarkan segi bahasa, mantra biasanya menggunakan bahasa khusus yang sukar dipahami. Mantra yang ada biasanya menggunakan bahasa Jawa, bahasa Sansekerta, bahasa Arab dan bahasa campuran antara ketiganya, tergantung dimana tempat mantra itu berkembang. Dhukun atau pawang adakalanya sendiri tidak memahami arti sebenarnya dari mantra yang mereka baca, sebagian dhukun hanya memahami kapan mantra tersebut dibaca dan apa tujuannya.

Mantra dianggap sebagai kalimat permohonan dan pemujaan kepada Tuhan, serta ada juga yang ditujukan kepada makhluk halus atau roh-roh tertentu guna meminta bantuan atas kekuatan yang dimiliki. Dengan mantra, alam pikiran manusia berhubungan dengan hal-hal supranatural, sehingga dengan membaca

(4)

mantra, sesuatu yang tidak mungkin terjadi dapat menjadi kenyataan. Hal tersebut menjadi patokan bahwa suatu mantra pasti terdapat sesuatu yang dapat memberikan sugesti terhadap orang yang akan dikenai mantra. Dalam mantra terkandung banyak simbol, unsur-unsur kepercayaan, mantra identik dengan sugesti untuk mempengaruhi orang yang dikenai mantra dengan maksud menambah kepercayaan diri.

Padmoesoekotjo dalam Ngengrengan Kasusastran Jawa jilid II (1960: 122) mengatakan bahwa “japa, mantra, donga, sidikara, aji-aji mempunyai arti hampir sama yaitu bunyi-bunyian atau kata-kata yang dianggap memiliki daya kekuatan gaib”.

Mantra sebagaimana dikemukakan Poerwadarminta (1988: 558) adalah: 1) perkataan atau ucapan yang mendatangkan daya gaib (misal dapat menyembuhkan, mendatangkan celaka, dan sebagainya); 2) susunan kata berunsur puisi (seperti rima, irama) yang dianggap mengandung kekuatan gaib, biasanya diucapkan oleh dhukun atau pawang untuk menandingi kekuatan gaib yang lain. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahwa mantra adalah kalimat yang diucapkan dengan diulang-ulang atau dilafalkan secara khusus untuk mendatangkan daya gaib, susunan kata yang berunsur puisi yang dianggap mengandung kekuatan gaib (KBBI, 2002:713).

Menurut Waluyo (1995: 87) bahwa dalam mantra tercermin hakikat sesungguhnya dari puisi, yakni bahwa pengkonsentrasian kekuatan bahasa itu dimaksudkan oleh penciptanya untuk menimbulkan daya magis atau kekuatan gaib. Mantra merupakan ragam puisi lisan yang berbentuk bebas. Secara tekstual, mantra mirip dengan geguritan. Perbedaannya mantra hidup dalam tradisi lisan sedangkan

(5)

geguritan hidup dalam tradisi tulis. Mantra memiliki struktur batin, yaitu pada awalnya mantra merupakan bentuk doa, sedangkan geguritan merupakan kesaksian penyair terhadap pengalaman kehidupan.

Mantra menurut Shadily (1983: 24) adalah rumusan kata-kata atau bunyi yang berkekuatan gaib, diucapkan berirama seperi senandung, digunakan sebagai doa bagi pengucap atau pendengar, yang wajib dihafal tepat kata-katanya untuk menghindari bencana jika terjadi kekeliruan dalam mengucapkannya. Pada umumnya, mantra diucapkan dengan menyeru atau menyebut nama Allah, nabi-nabi, aulia, arwah cikal bakal atau bunyi kata yang tidak bermakna, seperti hong wilaheng dan lain-lain. Fungsi mantra dapat digunakan untuk menyembuhkan penyakit, mendatangkan kebaikan dan celaka, mengusir harimau, mengusir hantu dan lain sebagainya.

Mantra dalam lingkungan tradisi Jawa, dikenal pula dengan sebutan: Japa; Japa-Mantra; Kemad; Peled; Aji-Aji; Rajah; Donga; Sidikara. Bentuk dan jumlahnya beragam sangat banyak serta semua dianggap memiliki kekuatan gaibnya sendiri-sendiri (Prayitno, 1986: 16). Ada mantra yang dilafalkan (dibaca dengan bersuara atau di-mel-kan), adapula mantra yang dibaca dalam hati disebut mateg mantra atau mateg aji. Keduanya bergantung dari kebutuhan, keadaan, target sasaran, dan tuntunan sang dhukun, kyai, pawang, sesepuh, atau guru yang memberi mantra.

Mantra pengobatan adalah mantra yang digunakan untuk menyembuhkan penyakit, bilamana seseorang pergi ke dhukun tidak hanya tumbuhan obat yang didapatnya melainkan mantra juga akan didapat. Hal itu dikarenakan tumbuhan obat yang telah dimantrai mendapat tenaga batin dari sang dhukun. Selain

(6)

tumbuhan obat, media lain yang digunakan adalah air putih. Cara pengobatan dengan menggunakan mantra itu adalah dengan meludahi atau mengoleskan pada bagian yang sakit. Demikian dapat disimpulkan bahwa, ada tiga elemen dalam proses pengobatan yaitu obat itu sendiri, mantra, dan kondisi pemberian obat. Dalam hal ini sang dhukun memusatkan pikirannya agar mantra itu sampai ke Tuhan dan pasien (Maulani, 2014: 20).

Pernyataan di atas sama halnya yang dijelaskan oleh Geertz (1989: 126) mengenai pengobatan penyakit dengan mantra dan tumbuhan obat, Salah satu cara yang digunakan untuk menyembuhkan seorang anak yang berpenyakit cacingan yaitu dengan cara meludahinya atau meniupnya.

2. Laku dalam Mantra

Pembacaan mantra terkadang diiringi dengan laku yang harus dilaksanakan oleh sang dhukun. Laku merupakan suatu syarat meskipun bukan syarat yang utama. Untuk mendalami berbagai laku yang berasal dari tradisi yang berkembang pada masyarakat Jawa. Ajaran Islam mengenal puasa seperti puasa senin dan kamis, puasa bulan Ramadhan, puasa Daud yang semuanya bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT (Endraswara, 2006: 151). Macam-macam puasa dan tapa berdasarkan tradisi Jawa adalah sebagai berikut.

a. Mutih

Dalam puasa mutih ini seseorang tidak boleh makan apa-apa kecuali hanya nasi putih dan air putih saja. Nasi putihnya pun tidak boleh ditambah apa-apa (seperti gula, garam, dan lain-lain). Jadi betul-betul hanya nasi putih dan air putih saja.

(7)

Puasa ngeruh ini seseorang hanya boleh memakan sayuran atau buah-buahan saja, tidak diperbolehkan makan daging, ikan, telur, dan lain-lain. c. Ngebleng

Puasa ngebleng adalah menghentikan segala aktifitas normal sehari-hari. Seseorang yang melakoni puasa ngebleng tidak boleh makan, minum, keluar dari rumah atau kamar dan melakukan aktifitas seksual. Biasanya seseorang yang melakukan puasa ngebleng tidak boleh keluar dari kamarnya selama sehari semalam. Pada saat menjelang malam hari tidak boleh ada satu lampu atau cahaya pun yang menerangi kamar tersebut. Kamar harus gelap gulita tanpa ada cahaya sedikitpun. Laku puasa ini diperbolehkan keluar kamar hanya untuk buang air saja.

d. Pati geni

Puasa pati geni hampir sama dengan puasa ngebleng. Perbedaannya adalah tidak boleh keluar kamar dengan alasan apapun, tidak boleh tidur sama sekali. Biasanya puasa ini dilakukan sehari semalam, ada juga yang melakukannya 3 hari, 7 hari, dan seterusnya. Jika seseorang yang melakukan puasa pati geni ingin buang air maka, harus dilakukan di dalam kamar (dengan memakai pispot atau yang lainnya).

e. Ngelowong

Puasa ini lebih mudah dibanding puasa-puasa di atas. Seseorang yang menjalani puasa ngelowong dilarang makan dan minum dalam kurun waktu tertentu. Hanya diperbolehkan tidur 3 jam saja (dalam 24 jam) tetapi tetap diperbolehkan keluar rumah.

(8)

Puasa ini adalah puasa yang lengkap dilakukan dari subuh sampai maghrib. Saat sahur, seseorang yang melakukan puasa ngrowot ini hanya boleh makan buah-buahan. Diperbolehkan makan buah lebih dari satu tetapi hanya boleh makan satu jenis buah saja, misalnya 3 buah pisang saja. Dalam puasa ini diperbolehkan untuk tidur.

g. Nganyep

Puasa ini adalah puasa yang hanya memperbolehkan makan yang tidak ada rasanya. Hampir sama dengan mutih, perbedaannya makanannya lebih beragam asal dengan ketentuan tidak mempunyai rasa.

h. Ngidang

Puasa ngidang diperbolehkan memakan dedaunan dan air putih saja, tidak diperbolehkan makan yang lainnya.

i. Ngépél

Puasa ngépél berarti satu kepalan tangan penuh. Puasa ini mengharuskan seseorang untuk memakan hanya satu kepal nasi saja dalam sehari. Terkadang diperbolehkan sampai dua atau tiga kepal nasi sehari.

j. Nganyep

Hanya diperbolehkan makan dan minum yang tidak ada rasanya, minumnya hanya diperbolehkan (tiga) 3 kali dalam sehari.

k. Senin-Kamis

Puasa ini dilakukan hanya pada hari Senin dan Kamis saja, identik dengan agama Islam, karena memang Rasulullah SAW menganjurkannya seperti yang termuat dalam beberapa Hadits.

(9)

Ratna (2013: 88-96) menjelaskan secara etimologis struktur berasal dari kata structura, bahasa latin, yang berarti bentuk atau bangunan. Secara definitif strukturalisme berarti paham mengenai unsur-unsur, yaitu struktur itu sendiri, dengan mekanisme antarhubungannya, di satu pihak antarhubungan unsur yang satu dengan yang lain, di pihak yang lain hubungan antara unsur dengan totalitasnya.

Menurut Hawkes teori struktural memandang karya sastra sebagai sebuah struktur yang unsur-unsurnya atau bagian-bagiannya saling berjalin erat, saling menentukan keseluruhan. Unsur-unsur atau bagian-bagian lainnya dengan keseluruhannya (dalam Pradopo 1995: 108).

Analisis struktural menurut Pradopo (2003: 120) menyatakan bahwa analisis struktural sajak adalah analisis sajak ke dalam unsur-unsurnya dan fungsinya dalam struktur sajak dan penguraian bahwa tiap unsur itu mempunyai makna dalam kaitannya dengan unsur-unsur lainnya, bahkan juga berdasarkan tempatnya dalam struktur.

Analisis struktural ini merupakan prioritas pertama sebelum yang lain-lain (Teeuw, 1983:61), tanpa itu kebulatan makna intrinsik yang hanya dapat digali dari karya itu sendiri, tidak akan tertangkap. Maka unsur-unsur karya sastra hanya dapat dipahami dan dinilai sepenuhya atas dasar pemahaman tempat dan fungsi unsur itu dalam keseluruhan karya sastra.

Bagi setiap penelitian sastra, analisis struktural karya sastra yang akan diteliti merupakan suatu prioritas atau pekerjaan pendahuluan. Berarti analisis struktur adalah suatu tahap dalam penelitian sastra yang sukar dihindari, sebab setelah analisis semacam ini memungkinkan diungkap pengertian yang lebih mendalam.

(10)

Teeuw (1988: 135) bahwa pada prinsipnya analisis struktural adalah bertujuan untuk membongkar dan memaparkan apa yang dianalisis dengan cermat, teliti dan semendetail mungkin dan mendalam, mungkin keterkaitan dan keterjalinan dari semua analisis dan aspek karya sastra yang bersama menghasilkan makna menyeluruh. Bahwa tugas dan tujuan dari analisis struktur justru mengupas semendalam mungkin dari keseluruhan makna yang telah terpadu.

Penelitian struktural dipandang lebih objektif karena hanya berdasarkan sastra itu sendiri. Dengan ataupun tanpa campur tangan unsur lain, karya sastra tersebut akan dilihat sebagaimana cipta estetis. Strukturalis biasanya mengandalkan pendekatan egosentrik yaitu pendekatan penelitian yang berpusat pada teks sastra itu sendiri (Endraswara, 2003: 51).

Strukturalisme adalah sebuah paham, sebuah keyakinan, bahwa segala sesuatu yang ada dalam dunia ini mempunyai struktur dan bekerja secara struktural. Sesuai dengan apa yang didefinisikan oleh Piaget, struktur adalah entitas-entitas yang secara mendasar mewujudkan tiga gagasan yang fundamental, yaitu (a) gagasan mengenai keseluruhan, (b) gagasan mengenai transformasi, dan (c) gagasan mengenai regulasi diri (dalam Faruk, 2012: 173).

Menurut Endraswara (2003: 49-54) strukturalis sebenarnya merupakan paham filsafat yang memandang dunia sebagai realitas struktur. Pada penelitian struktural, penekanan pada relasi antarunsur pembangun teks sastra. Penekanan strukturalis adalah memandang karya sastra sebagai teks mandiri.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa struktural tersebut adalah unsur pembangun sebuah karya sastra yang berpusat pada karya sastra itu sendiri. Penelitian ini menggunakan pendekatan struktural karena mantra

(11)

mempunyai pola-pola struktur yang berbeda dengan struktur puisi atau drama. Struktur yang digunakan untuk penelitian mantra ini hampir sama seperti struktur yang digunakan Saputra (2003) pada penelitian “Mantra Sabuk Mangir dan Jaran Goyang dalam Budaya Using di Banyuwangi” yang terdapat dalam buku “Adilihung: Kajian Budaya Jawa” yang disusun oleh Partana (2011), yaitu menitikberatkan pada enam unsur di antaranya sebagai berikut:

a. Unsur judul mantra merupakan salah satu unsur pokok yang terdapat pada mantra. Unsur judul mantra terdiri atas kelompok kata yang dapat mencerminkan tujuan mantra yang bersangkutan.

b. Unsur pembuka merupakan perkataan awal pada mantra, dalam mantra pengobatan ini unsur pembuka yang sering digunakan adalah Bissmillah hirrohmanirrohim, Assallamuallaiykum, dan Sir-Allah Rasulullah.

c. Unsur niat dinyatakan dengan kata kunci niat. Dalam konteks pemanfaatan mantra harus disesuaikan niat atau keinginan yang dicapai.

d. Unsur sugesti adalah unsur yang berisi metafora-metafora atau analogi-analogi yang dianggap memiliki daya atau kekuatan tertentu dalam rangka membantu membangkitkan kekuatan magis atau kekuatan gaib pada mantra.

e. Unsur tujuan merupakan muara atau maksud yang ingin dicapai oleh pemantra dalam penggunaan mantra. Unsur tujuan ini semacam kesimpulan atau intisari dari rangkaian unsur-unsur yang membentuk struktur mantra. Unsur tujuan juga berfungsi membedakan mantra tertentu dengan mantra lainnya.

(12)

4. Komponen sugesti 5. Komponen tujuan f. Unsur penutup merupakan larik akhir yang biasanya menggunakan

kata-kata atau ungkapan penutup seperti: la ilaha illallah Muhammadar Rasulullah Salalahu Salam.

Maulani (2014: 79) menggambarkan struktur mantra seperti organ tubuh manusia yang terdiri dari kepala (head) terdiri dari wajah, telinga, otak, dan sebagainya, tubuh (body) terdiri dari tangan, hati, paru-paru, jantung, dan sebagainya, dan kaki (foot). Karena mantra memiliki energi kemudian diaktifkan untuk berjalan menuju fikiran penggunanya, maka mantra tersebut dapat digambarkan seperti organ manusia. Berikut bagan struktur, unsur dan komponen yang menyerupai organ tubuh manusia.

Kepala Komponen

--- 1. Komponen nama mantra --- 2. Komponen salam pembuka --- 3. Komponen niat Tubuh --- --- --- ---

(13)

6. Komponen penutup Kaki

---

---

Gambar 1

Pola Struktur Pembangun Mantra

Struktur mantra dapat diketahui melalui panjang atau pendek mantra. Maulani (2014: 65) mengkategorikan bentuk mantra berdasarkan panjang pendeknya. Yaitu 1) mantra bentuk panjang dengan jumlah kalimat sembilan ke atas, 2) mantra bentuk sedang memiliki jumlah enam sampai delapan kalimat, 3) mantra bentuk pendek adalah mantra yang memiliki jumlah lima kalimat ke bawah. Hal tersebut dapat diketahui berdasarkan pemenggalan kalimat dalam mantra.

Mantra merupakan sebuah kebulatan makna yang menggunakan bahasa sebagai media, maka perlu dideskripsiksan struktur intrinsik mantra secara otonom (mandiri), artinya melepas karya sastra dari konteks sosial, sejarah, dan biografi (Semi, 1989: 44).

4. Unsur Pembangun Bahasa Mantra

Dapat kita pahami bahwa pada prinsipnya mantra bukanlah penggunaan bahasa sehari-hari, bukanlah sekedar penggunaan bahasa biasa (lumrah) karena menyangkut kehidupan rohaniah masyarakat Jawa. Kehidupan rohaniah yang suci dan agung, yang harus dihormati dan diusahakan secara khas dapat disebutkan bahwa mantra menggunakan lima alat bahasa indah, yaitu tembung saroja, tembung entar, dasanama, pralambang, dan kata khusus (Anggoro, 2011: 27).

a. Tembung Saroja.

Tembung saroja dalam Bausastra Jawa, artinya rangkep, jadi tembung saroja dapat diartikan sebagai kata rangkap yang sama artinya atau hampir sama

(14)

artinya digunakan untuk memperkuat maknanya. Kata saroja berarti dua buah kata yang maknanya sama atau hampir sama dan digunakan secara bersamaan (Padmosukotjo, 1960: 30).

b. Tembung entar.

Tembung entar adalah kata pinjaman, kata yang tidak dapat diberi makna secara lugas. Dalam Bahasa Indonesia kata entar dapat diartikan kata kiasan (Padmosoekotjo, 1958: 46).

c. Dasanama.

Dasanama adalah nama kata-kata yang jumlahnya sepuluh (kurang atau lebih) yang memiliki makna sama.

d. Pralambang.

Pralambang atau lambang adalah bahasa atau kata-kata barang, gambar, atau warna yang memiliki makna yang tersembunyi, arti atau makna harus ditafsirkan dan dikaitkan dengan konteks. Lambang bisa berupa barang, gambar, warna, dan kata-kata atau bahasa.

e. Kata Khusus

Kata khusus adalah ungkapan atau kata yang dapat diidentifikasi sebagai berikut, yaitu (1) memiliki efek magis, (2) mengalami perubahan bunyi berupa singkatan, (3) kata-kata yang tidak dijelaskan asalnya atau sukar dicari asalnya. 5. Diksi

Diksi adalah pemilihan kata yang dilakukan oleh penyair untuk mengekspresikan gagasan dan pikiran yang bergejolak dan menggejala dalam dirinya (Sayuti, 2002: 143). Menurut kamus istilah sastra, kata diksi berarti pemilihan kata untuk mengungkapkan gagasan. Diksi yang baik berhubungan

(15)

dengan pemilihan kata yang bermakna tepat dan selaras, yang penggunaannya cocok dengan pokok pembicaraan, peristiwa, dan khalayak pembaca atau pendengar. Dengan kata lain, diksi adalah ketepatan pemilihan kata dan penggunaan kata.

Ketepatan memilih dan menggunakan kata meliputi ketepatan makna, ketepatan bentuk, ketepatan bunyi, dan ketepatan penempatan dalam urutan (Suroto, 1993: 112). Semuanya itu harus merupakan suatu paduan yang pas dan harmonis. Sekalipun dari segi makna sudah tepat, akan tetapi jika secara musikal kurang tepat maka kadar puitisnya akan berkurang.

Menurut Endraswara (2003: 71) bahwa gaya bahasa adalah segala sesuatu yang “menyimpang” dari pemakaian biasa. Penyimpangan tersebut bertujuan untuk keindahan. Keindahan ini banyak muncul dalam sastra, karena sastra memang sarat dengan unsur estetik. Segala unsur estetik ini menimbulkan manipulasi bahasa, dan kado bahasa sehingga mampu membungkus rapi gagasan penulis.

Ketepatan pemilihan kata atau diksi untuk mengungkapkan suatu gagasan diharapkan fungsi yang diperoleh akan sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. Keraf (2000: 24) mengemukakan tiga kesimpulannya tentang diksi, yaitu (1) pilihan kata atau diksi mencakup pengertian kata-kata mana yang dipakai untuk menyampaikan suatu gagasan, bagaimana membentuk pengelompokan kata-kata yang tepat untuk menggunakan ungkapan-ungkapan yang tepat, dan gaya mana yang paling baik digunakan dalam situasi, (2) pilihan kata atau diksi adalah kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna dari gagasan yang ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai (cocok) dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar, (3)

(16)

pilihan kata yang tepat dan sesuai hanya dimungkinkan oleh penguasaan sejumlah besar kosa kata atau perbendaharaan kata atau kosa kata bahasa itu. Sedangkan yang dimaksud dengan perbendaharaan kata atau kosa kata suatu bahasa adalah keseluruhan kata yang dimiliki oleh sebuah bahasa.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat diselaraskan bahwa diksi adalah pemilihan kata yang tepat yang sengaja dilakukan oleh pengarang untuk mengungkapkan gagasan, perasaan, dan pengalamannya agar tercipta suatu keestetisan atau keindahan serta efek magis dalam karya sastranya. Karena pentingnya kata-kata dalam puisi, maka bunyi kata juga dipertimbangkan secara cermat dalam pemilihannya (Waluyo, 1987: 72).

6. Rima

Rima adalah pengulangan bunyi dalam puisi untuk membentuk musikalitas atau orkestrasi, sehingga puisi menjadi merdu ketika dibaca. Untuk mengulang bunyi, penyair mempertimbangkan lambang bunyi, sehingga pemilihan bunyi mendukung perasaan dan suasana puisi (Waluyo 1987: 90).

Suharianto (2005: 45) berpendapat bahwa rima adalah istilah lain untuk persajakan atau persamaan bunyi. Selanjutnya, Suharianto (2005: 47-49) berpendapat bahwa menurut jenisnya, rima dapat dibedakan berdasarkan bunyinya, rima terdiri atas dua jenis yaitu:

(17)

Asonansi adalah rima yang disebabkan oleh adanya unsur vokal yang sama (Suharianto 2005: 47). Menurut Keraf (2002: 130), asonansi adalah semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan bunyi vokal yang sama.

b. Aliterasi

Aliterasi adalah rima yang disebabkan oleh adanya unsur konsonan yang sama. Menurut Keraf (2002: 130), aliterasi adalah semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan konsonan yang sama.

Bentuk intern pola bunyi ini meliputi: aliterasi, asonansi, persamaan akhir, persamaan awal, sajak berselang, sajak berparuh, sajak penuh, dan repetisi bunyi (kata). Aliterasi merupakan persamaan bunyi pada suku kata pertama, dalam bahasa Jawa dapat dikategorikan purwakanthi guru sastra, sedangkan asonansi merupakan ulangan bunyi vokal pada kata-kata tanpa selingan. Persamaan bunyi konsonan dalam bahasa Jawa dapat dikategorikan purwakanthi guru swara (Waluyo, 1995: 92). Asonansi merupakan ulangan bunyi vokal pada kata-kata tanpa selingan persamaan bunyi konsonan (Suharianto 2005: 47). Sejalan dengan pemikiran tersebut, Boulton (dalam Waluyo, 1991: 92). Berpendapat bahwa asonansi merupakan ulangan bunyi vokal pada kata-kata tanpa selingan persamaan bunyi konsonan.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa rima merupakan pengulangan bunyi yang dapat dilihat antara baris satu dengan baris yang lain. Biasanya rima ini terletak di awal, di tengah dan di akhir baris. Adapun pengulangan bunyi dalam satu baris yaitu berupa pengulangan bunyi vokal yang disebut asonansi dan pengulangan bunyi konsonan yang disebut aliterasi.

(18)

Gaya bahasa menurut Keraf dikenal dalam retorika dengan istilah style. Kata style diturunkan dari kata latin yaitu stilus yaitu semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin. Tetapi dalam perkembangannya yang sangat pesat style atau gaya bahasa menjadi masalah atau bagian dari diksi atau pilihan kata yang mempersoalkan cocok tidaknya pemakaian kata, frasa atau klausa tertentu untuk menghadapi situasi tertentu (1981: 99).

Menurut Keraf gaya bahasa atau majas merupakan bagian dari diksi yang mempersoalkan cocok tidaknya pemakaian kata, frasa, atau klausa tertentu, untuk menghadapi situasi tertentu. Adapun syarat gaya bahasa menurut Keraf harus mengandung tiga dasar, yaitu (1) kejujuran, (2) sopan santun, dan (3) menarik. Secara sederhana gaya bahasa dibagi menjadi empat jenis, yaitu: (1) gaya bahasa berdasarkan pilihan kata, (2) gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat, (3) gaya bahasa berdasarkan nada yang terkandung di dalamnya, dan (4) gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna yang terkandung di dalamnya (1981: 99-101).

Gaya bahasa kiasan yang digunakan untuk menganalisis data penelitian ini adalah:

a. Persamaan atau simile: menyatakan atau membandingkan sesuatu sama dengan hal lain. Biasanya dengan menggunakan kata penghubung; seperti, sama bagaikan, laksana.

b. Metafora: menghilangkan kata penghubung seperti dalam simile, sehingga pokok pertama langsung dihubungkan dengan pokok yang kedua.

(19)

tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat kemanusiaan.

d. Hiperbola: gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang berlebihan, dengan membesar-besarkan sesuatu.

e. Paradoks: gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada.

f. Eponim: gaya bahasa di mana seseorang yang namanya sering dihubungkan dengan sifat tertentu.

g. Repetisi: Berdasarkan struktur kalimat teks mantra, digunakan gaya bahasa repetisi yaitu perulangan kata-kata yang penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks tertentu.

8. Macam-macam Makna a. Makna Denotasi

Kata yang bermakna denotasi adalah kata yang mempunyai makna sebenarnya, tanpa ada perubahan makna dan tidak ada kata yang ditafsirkan. Bahasa denotatif adalah bahasa yang menuju kepada korespondensi satu lawan satu antara tanda (kata itu) dengan (hal) yang ditunjuk (Wellek dalam Pradopo 2000: 58).

b. Makna konotasi

Kata yang bermakna konotasi adalah kata yang mempunyai makna tambahan, kata tersebut masih dapat ditafsirkan. Konotasi adalah kumpulan asosiasi-asosiasi perasaan yang terkumpul dalam sebuah kata dari setting yang dilukiskan. Konotasi menambah denotasi dengan menunjukkan sikap-sikap dan nilai-nilai dengan memberi daging (menyempurnakan) tulang-tulang arti yang telanjang dengan perasaan atau akal (Altenbernd dalam Pradopo 2000: 59). Arti konotatif ialah arti yang tersirat, arti yang ditambahkan atau disarankan pada arti yang tersurat itu.

(20)

9. Fungsi Mantra

Bidang sastra lisan, sebagai bagian folklor, Sudikan (2001: 109-112) menyatakan bahwa teori fungsi itu dipelopori oleh para ahli folklor, diantaranya William R. Bascom, Alan Dundes, dan Ruth Finnegan. Menurut Bascom (1965: 3-20; Dundes, 1965: 290-294), sastra lisan mempunyai empat fungsi, yaitu: (a) sebagai sebuah bentuk hiburan (b) sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan (c) sebagai alat pendidikan anak-anak (d) sebagai alat pemaksa dan pengawas norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya.

Dundes (dalam Sudikan, 2001:109-144) menyatakan bahwa fungsi sastra lisan meliputi (1) membantu pendidikan anak muda, (2) meningkatkan perasaan solidaritas suatu kelompok, (3) memberi sanksi sosial agar orang berperilaku baik atau memberi hukuman, (4) sebagai sarana kritik sosial, (5) memberi suatu pelarian yang menyenangkan dari kenyataan, (6) mengubah pekerjaan yang membosankan menjadi permainan.

Mantra sebagai salah satu bentuk folklor mempunyai empat fungsi, salah satunya adalah sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan. Pranata dalam konteks ini dimaknai sebagai sistem tingkah laku sosial yang bersifat resmi beserta adat istiadat dan sistem norma yang mengaturnya, serta seluruh perlengkapannya. guna memenuhi berbagai kompleks kebutuhan manusia dalam kehidupan. Setiap tradisi memiliki pranata sosial sendiri sesuai konteks dinamika budaya yang bersangkutan.

Tujuan pemanfaatan mantra merupakan bentuk kompensasi dari ketidakberdayaan orang memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari dengan

(21)

menggunakan pranata formal. Oleh karena pranata formal tidak mampu menampung konflik-konflik dalam masyarakat, kompensasinya muncul pranata-pranata sosial tradisional yang mampu menyelesaikan konflik-konflik tersebut dengan karakternya masing-masing (positif-negatif). Hal tersebut akhirnya membudaya dan bahkan diwariskan kepada generasi penerus.

Arif Hartata (2008: 258-161) dalam skripsinya yang berjudul “Mantra Pengasihan Jawa dalam Kehidupan Masyarakat Jawa Modern di Wilayah Kabupaten Klaten suatu Tinjauan Sosiologi Sastra”, menjelaskan tentang fungsi mantra secara psikologis yaitu fungsi mantra adalah sarana untuk menambah kekuatan mental. Artinya, mantra sanggup memberikan kekuatan bagi seseorang yang kehilangan rasa percaya diri dengan satu catatan ‘percaya penuh’. Mantra mengandung sugesti yang mampu membangkitkan etos, semangat, dan rasa percaya diri terhadap pemiliknya. Jenis mantra berdasarkan fungsi atau gunanya sebagai berikut:

a. Mantra pengobatan: mantra pengobatan lebih dikenal dengan istilah halus, yaitu “Doa”. Para pelaku/ Kyai selalu melakukan prosesi doa ini sebelum melakukan penyembuhan. Kyai dalam praktik pengobatannya biasanya menggunakan bawang, garam, kunyit, cengkeh, dan air putih. Kyai ada juga yang menggunakan susuk sebagai sarana penyembuhan penyakit. Jenis mantra pengobatan sangat banyak antara lain: Pengobatan Sakit Gigi, Pengobatan Sakit Panas, Pengobatan Kesurupan, Pengobatan Terkena Gigitan Ular, dan lain sebagainya.

b. Mantra pengasihan: mantra pengasihan memiliki dua jenis, yaitu mantra pengasihan khusus, artinya mantra yang hanya dapat ditujukan kepada satu

(22)

objek/sasaran, dan mantra pengasihan umum yaitu mantra yang memiliki kekuatan untuk memikat perhatian khalayak.

c. Mantra kanuragan: mantra ini bersifat membuat kebal terhadap senjata api, senjata tajam, dan pukulan. Mantra kanuragan sering disebut dengan “aji-aji”. Jenis mantra kanuragan sangat banyak seperti: Aji Welut Putih, Aji Gumbala Geni, Aji Lembu Sekilan, Aji Panglemunan, dan lain sebagainya. d. Mantra pertanian: mantra pertanian digunakan oleh kaum petani dan

nelayan. Mantra ini sangat erat hubungannya dengan tokoh-tokoh dewa, yaitu Hyang Sri dan Hyang Sadana.

e. Mantra panulakan: mantra panulakan merupakan mantra yang berkaitan dengan keselamatan diri, artinya mantra ini memiliki kekuatan untuk menangkis serangan-serangan dari luar baik secara fisik maupun gangguan dari mahluk halus ataupun dari orang yang tidak suka dengan seseorang. Dalam praktiknya, mantra panulakan lebih mengarah pada istilah “sedia payung sebelum hujan”, berjaga-jaga sebelum sesuatu yang tidak diinginkan terjadi.

f. Mantra sirep/panglereman: mantra ini mempunyai kekuatan untuk menghipnotis seseorang sampai batas waktu yang ditentukan. Para pencuri yang biasanya menggunakan mantra ini atau sering kita kenal dengan sebutan “Gendam”.

g. Mantra perdagangan/ penglarisan: mantra ini digunakan untuk menarik rejeki. Mantra perdagangan sebenarnya memiliki hubungan erat dengan mantra penghasilan agar tertarik dengan pedagang yang menggunakan mantra perdagangan ini.

(23)

h. Mantra pangracutan: mantra pangracutan diamalkan apabila ada seseorang yang sakti dalam keadaan sekarat. Kondisi itu dipercaya bahwa roh seseorang tersebut tersiksa dalam wadhag-nya karena digondeli oleh ilmu kesaktian yang diperoleh semasa hidupnya. Pengobatan dilakukan dengan mateg mantra pangracutan, roh seseorang tersebut akan segera terbebas dari raganya.

i. Mantra panglarutan: mantra ini dipercaya mampu meredakan amarah seseorang. Biasanya digunakan pada waktu terjadi kasus-kasus hukum. j. Mantra trawangan/ sorog: kekuatan mantra ini adalah untuk menembus

lapis alam lain, melihat, dan masuk. Penggunaan mantra sorog dalam praktiknya sering dipakai untuk nayuh pusaka. Salah satu mantra trawangan yang terkenal adalah Aji Suket Kalanjana.

k. Mantra dhanyangan: mantra ini digunakan sebagai alat untuk berhubungan dengan roh-roh tertentu. Mantra dhanyangan bersifat fleksibel, artinya bisa dikategorikan dalam ilmu putih, bisa ilmu hitam, dan dapat pula abu-abu (mengandung unsur hitam dan putih). Apabila digunakan dalam upaya mencari ketentraman dapat dinyatakan bersifat putih, tetapi sebaliknya penggunaan mantra digunakan untuk santet, teluh, dan guna-guna jelas sifatnya hitam. Hakikatnya semua mantra beserta kekuatannya akan berada dalam posisinya masing-masing tergantung pada praktik pengalamannya. l. Mantra kasuksman: mantra ini adalah mantra-mantra yang terdapat dalam

olah batin, yaitu yang berhubungan dengan “kealusan”. Isi mantra ini adalah pengetahuan-pengetauan rohani yang dinyatakan dalam teks mantra.

(24)

m. Mantra panyuwunan: mantra panyuwunan ini adalah mantra yang apabila diuraikan menurut fungsinya yaitu untuk mendirikan rumah, menggali sumur, menggali kubur, menebang pohon, dan lain sebagainya.

Penelitian ini menggunakan teori fungsi mantra karena setiap mantra memiliki fungsi dan tujuan masing-masing serta penelitian ini mengkhususkan pada mantra pengobatan yang digunakan untuk kesehatan ibu dan anak.

10. Teori Folklore

Danandjaja (1986: 34) dalam bukunya yang berjudul “Folklor Indonesia (Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain)”, menjelaskan bahwa Folklor sebagai suatu kebudayaan yang kolektif, tersebar, dan diwariskan turun-temurun secara tradisional baik dalam bentuk lisan maupun dengan gerak isyarat atau alat bantu pengingat (mnemonic device).

Danandjaja (1984: 21-22) menjelaskan lebih lanjut mengenai perbedaan bentuk sastra lisan (sebagai bagian dari folklore) menjadi tiga yaitu:

a. Sastra Lisan

Folklore yang bentuknya memang murni lisan. Bentuk-bentuknya (genre) folklore yang termasuk ke dalam kelompok besar ini antara lain : a) bahasa rakyat (speech) seperti logat, julukan, pangkat tradisional dan titel kebangsawanan b) ungkapan tradisional seperti peribahasa, pepatah, dan pameo, c) pertanyaan tradisional, seperti teka-teki, d) puisi rakyat seperti pantun, gurindam dan syair, e) cerita prosa rakyat, seperti mite, legenda, dongeng, f) nyayian rakyat.

b. Sastra Sebagian Lisan

Folklore yang sebagian bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan bukan lisan. Bentuk-bentuk folklore yang termasuk kelompok besar selain

(25)

kepercayaan rakyat adalah permainan rakyat, tarian rakyat, adat istiadat, upacara, pesta rakyat dan lain-lain.

c. Sastra Bukan Lisan

Folklore yang bentuknya bukan lisan walaupun cara pembuatannya disampaikan secara lisan. Kelompok ini dibagi menjadi yang material dan bukan material. Bentuk yang material antara lain: arsitektur rakyat (bentuk rumah asli daerah, bentuk lumbung padi, dan sebagainya), kerajinan tangan rakyat, pakaian dan hiasan tubuh adat, makanan dan minuman rakyat serta obat-obatan tradisional. Adapun folklore yang termasuk bukan material adalah: gerak isyarat tradisional, bunyi isyarat tradisional untuk komunikasi rakyat (kentongan tanda bahaya di Jawa atau bunyi gendang untuk mengirim berita seperti yang dilakukan masyarakat afrika) dan musik rakyat.

Menurut Bascom fungsi cerita rakyat sebagai sastra lisan (dalam Danandjadja, 1984: 19), adalah sebagai berikut:

a) Sebagai sistem proyeksi (projective system), yakni sebaga pencermin angan- angan kolektif.

b) Sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga kebudayaan. c) Sebagai alat pendidikan anak (pedagogical device).

d) Sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma dalam masyarakat akan selalu dipatuhi oleh anggota kolektifnya.

Fungsi folklore tidak dapat dilepaskan begitu saja dengan kebudayaan secara luas. Folklore milik seseorang dapat dipahami secara baik dan benar hanya dari pengetahuan orang yang memiliki. Teori ini sangat relevan diterapkan pada penelitian mantra sebagai sosok sastra lisan Jawa yang bersifat anonym.

(26)

Penulis mengambil mantra pengobatan untuk kesehatan ibu dan anak di Desa Gantang Kecamatan Sawangan Kabupaten Magelang sebagai bahan kajian karena masyarakat Desa Gantang masih banyak yang mempercayai dan meyakini khasiat dari mantra sebagai alternatif pengobatan.

G. Sumber Data dan Data

Sumber data adalah segala sesuatu yang secara langsung mampu menghasilkan atau memberikan data. Sumber data merupakan asal data dapat diperoleh untuk kepentingan penelitian. Penulis melakukan observasi langsung ke lapangan untuk melihat objek dan kondisi yang ada di Desa Gantang, sehingga dapat menggali lebih dalam mengenai sastra lisan khususnya mantra dari beberapa informan yang ada di Desa Gantang.

Sutopo (2006: 280) menjelaskan bahwa sumber data dipilih berdasarkan jenis informasi yang diperlukan berdasarkan arahan yang terdapat dalam rumusan masalah. Sumber data dirumuskan secara rinci yang berkaitan dengan apa dan siapa yang secara langsung berkaitan dengan jenis informasi atau data yang diteliti. Apabila sumber datanya informan (narasumber) maka disebutkan kelompoknya misalnya, tokoh masyarakat, pegawai kantor, dokter, petani.

Data adalah sesuatu yang dihasilkan dari sumber data. Data pada penelitian ini terbagi menjadi dua yaitu data primer dan data sekunder. Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari subyek penelitian dengan mengenakan alat pengukuran atau alat pengambilan data langsung pada subjek sebagai sumber informasi yang dicari.

Berdasarkan hal tersebut dapat ditentukan bahwa sumber data penelitian ini adalah sebagai berikut.

(27)

a. Winaryo Jumadi (dhukun) b. Kardinal (Sesepuh desa) c. Sri Ngayomi (Warga Gantang) d. Eni Sumarmi (Warga Gantang) e. Susi Utami (Warga Gantang)

f. Anto Irfan Nur Effendi (Warga Gantang)

Data dalam penelitian ini adalah informasi yaitu berupa teks mantra pengobatan yang diperoleh dari hasil wawancara dengan narasumber yaitu mantra sakit perut, sakit panas, sakit sawan, dan sakit cacar.

H. Metode dan Teknik

Bentuk penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian Kualitatif untuk mendeskripsikan objek kajian yaitu mantra. Penelitian ini berupaya untuk menggambarkan, melukiskan, menulis, melaporkan, objek penelitian pada saat ini berdasarkan data yang ditemukan. Hal ini mengigat bahwa data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa kata-kata dan kalimat (teks mantra). Menurut Sutopo (2006: 179) bahwa bentuk dan strategi penelitian terarah pada penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif adalah mengarah pada pendeskripsian secara rinci dan mendalam baik kondisi maupun proses, dan juga hubungan mengenai hal-hal pokok yang ditemukan pada sasaran penelitiannya.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian sastra lisan ini adalah penelitian lapangan (field research). Penelitian lapangan (field research) juga dianggap sebagai metode untuk mengumpulkan data kualitatif. digunakan untuk menggali informasi dari lapangan, Penelitian lapangan (field research) melakukan wawancara secara langsung dengan observasi. Penelitian ini bertujuan untuk

(28)

mengumpulkan data-data, informasi dengan bantuan wawancara kepada informan antara lain dhukun, sesepuh desa dan warga masyarakat. Ide pentingnya adalah bahwa pergi ke ‘lapangan’ untuk mengadakan pengamatan tentang suatu fenomena dalam suatu keadaan ilmiah (Moleong, 2010: 26).

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik survei, wawancara, dan content analysis (analisis isi).

1. Survei

Penelitian ini mengumpulkan data dengan cara survei yaitu berangkat ke lapangan atau ke tempat kejadian yang dipilih sebagai tempat penelitian mantra. Tempat penelitian tersebut yaitu Desa Gantang, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

2. Wawancara

Wawancara sebagai teknik pengumpulan data melalui informan-informan yang memiliki kaitan dengan objek penelitian sastra lisan. Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan yang dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara mengajukan pertanyaan dan terwawancara yang memberi jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh pewawancara (Moleong, 2010: 186). Wawancara dalam penelitian ini diajukan kepada dhukun, sesepuh desa, dan warga masyarakat.

3. Content Analysis

Content Analysis (analisis isi) adalah teknik yang digunakan untuk menganalisis data yang bersumber dari buku-buku, catatan-catatan, dan teks-teks mantra yang beredar dalam masyarakat. Sehingga data tersebut akan menghasilkan data penelitian yang cermat. Menurut Moleong (2010: 172) teknik content analysis

(29)

merupakan metodologi penelitian yang mamanfaatkan prosedur untuk menarik kesimpulan yang shahih dari sebuah buku atau dokumen. Content Analysis (analisis isi) dalam penelitian ini merupakan teknik pengumpulan data yang menunjang data-data yang diperoleh dari wawancara dan survey (pengamatan).

4. Teknik Analisis Data

Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data (Moleong, 2010: 280). Dalam mendukung teknik analisis data ini, digunakan teknik analisis interaktif yaitu interaksi tiga komponen utama yang meliputi reduksi data, sajian data, penarikan kesimpulan serta verifikasinya (Miles dan Huberman dalam Sutopo, 2006: 113). Peneliti menggunakan teknik penelitian kualitatif melalui proses analisis data sebagai berikut.

a. Reduksi Data

Reduksi data adalah komponen pertama dalam analisis yang merupakan proses seleksi, pemfokusan, penyederhanaan, dan abstraksi dari semua jenis informasi yang tertulis lengkap dengan catatan lapangan (Sutopo, 2006: 114). Selanjutnya dalam penelitian ini, data di analisis dengan menggunakan pendekatan struktural sebagai pembahasan inti.

b. Sajian Data

Sajian data merupakan suatu rakitan organisasi informasi, deskripsi dalam bentuk narasi lengkap dan dilanjutkan menyimpulkan data (Sutopo, 2006: 115). Sajian data disusun berdasarkan pokok-pokok yang terdapat dalam reduksi data,

(30)

dan disajikan dengan menggunakan kalimat dan bahasa peneliti yang merupakan rakitan kalimat yang disusun logis sehingga bila dibaca mudah dipahami.

c. Verifikasi / Penarikan Kesimpulan

Setelah pengumpulan data, penulis mulai melakukan usaha untuk menarik kesimpulan dan verifikasinya berdasarkan semua hal yang terdapat pada reduksi maupun sajian datanya. Menurut Sutopo, proses ini disebut model analisis interaktif (2006: 120). Penarikan kesimpulan merumuskan apa yang sudah didapatkan dari reduksi ataupun kegiatan pengumpulan data.

Gambar 2

Skema Analisis Interkatif (Sutopo, 2006: 120)

d. Validitas Data

Dalam suatu penelitian, data yang telah dikumpulkan wajib diusahakan kemantapannya, artinya peneliti harus berupaya meningkatkan validitas data yang diperoleh. Dalam penelitian ini digunakan triangulasi data. Teknik triangulasi data

Reduksi data Sajian data

Penarikan kesimpulan/verifikasi Pengumpulan data

(31)

adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data untuk pengecekan sebagai pembanding data (Moleong, 1990: 178)

Menurut Patton dalam Moleong (1990: 178) menjelaskan bahwa teknik triangulasi dalam penelitian ini adalah teknik triangulasi dengan sumber yaitu informan dan data peristiwa, langkah kerja teknik ini adalah membandingkan balik tingkat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat berbeda dalam metode kualitatif. Hal ini dapat dicapai dengan jalan:

1) Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara. 2) Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dan apa yang

dikatakan pribadi.

3) Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu.

I. Sistematika Penulisan

Penulisan dalam bentuk laporan ini, penulis menyusun urutan-urutan dari bab pertama sampai terakhir sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN. Merupakan sebuah pengantar yang menguraikan tentang latar belakang masalah, manfaat penelitian, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian. Mencakup beberapa aspek yang digunakan untuk menganalisis mantra, yaitu pengertian mantra, pendekatan struktural, fungsi mantra, dan teori folklore. Meliputi bentuk dan jenis penelitian, sumber data dan data, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, dan validitas data serta sistematika penulisan.

(32)

BAB II ANALISIS DATA. Merupakan bagian yang memaparkan hasil analisis dari permasalahan yang dibahas dalam penelitian. Yaitu mengenai keberadaan mantra, struktur mantra, dan fungsi mantra.

BAB III PENUTUP. Berisi kesimpulan dan saran, sekaligus merupakan pembicaraan akhir dalam penelitian terhadap mantra, khususnya mantra pengobatan. Pada bagian akhir disertakan daftar pustaka dan lampiran.

Referensi

Dokumen terkait

Pilihan kata atau diksi mencakup pengertian kata-kata mana yang akan dipakai untuk menyampaikan suatu gagasan, akan tetapi pilihan kata tidak hanya mempersoalkan ketepatan

Diksi merupakan pilihan kata mencakup pengertian kata-kata yang dipakai untuk menyampaikan suatu gagasan, pengelompokan kata-kata yang tepatatau menggunakan

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa (1) pilihan kata atau diksi mencakup kata-kata mana yang dipakai untuk menyampaikan suatu gagasan, bagaimana membentuk

Diksi atau pemilihan kata mencakup pengertian kata-kata mana yang dipakai untuk menyampaikan suatu gagasan, bagaimana membentuk pengelompokan kata-kata yang tepat atau

Diksi atau pilihan kata mencakup pengertian kata-kata mana yang dipakai untuk menyampaikan suatu gagasan, bagaimana membentuk pengelompokkan kata-kata yag tepat atau

Kesimpulan yang pertama adalah pilihan kata atau diksi mencakup pengertian kata–kata mana yang dipakai untuk memyampaikan suatu gagasan bagaimana mmbentuk, mengelompokkan

Kesimpulan yang pertama adalah pilihan kata atau diksi mencakup pengertian kata–kata mana yang dipakai untuk memyampaikan suatu gagasan bagaimana mmbentuk, mengelompokkan

Pilihan kata (diksi) mencakup pengertian kata yang akan dipakai untuk menyampaikan suatu gagasan, bagaimana mengelompokkan kata-kata yang tepat atau menggunakan