• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ringkasan Serat Centini

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Ringkasan Serat Centini"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

SERAT CENTHINI JILID 01 1. Badad Giri (1487 1636)

Seh Wali Lanang dari Jeddah tiba di pelabuhan Gresik pada masa kerajaan Majapahi t, menikahdengan Putri dari kerajaan Belambangan yang berhasil disembuhkan ketik a menderita sakit.

Karena Raja Belambangan tidak mau masuk Islam, Seh Wali Lanang meninggalkan Bela mbangan pergi ke Malaka. Istrinya sudah mengandung kemudian melahirkan bayi laki -laki. Bayi dimasukkan ke-kendaga dibuang ke laut, ditemukan Nyi Semboja yang se dang berlayar, diangkat anak diberi nama Santri Giri.

Santri Giri belajar agama Islam kepada Sunan Ngampel, berteman baik dengan Bonan g, anak Sunan Ngampel. Setelah dewasa Santri Giri dan Santri Bonang mau pergi na ik haji, mampir di Malaka ketemu Seh Wali Lanang, disuruh pulang lagi. Santri Gi ri diberi nama Prabu Setmata dan Santri Bonang diberi nama Prabu Anyakrawati. Ke mudian Prabu Setmata menjadi raja di Giri.

Ketika Sunan Giri jadi raja di Giri, Majapahit menyerang Giri karena tidak senan g adanya kerajaan Islam. Sunan Giri sedang menulis dengan kalam, kalam tersebut dilempar berubah jadi tombak yang mengamuk ke barisan tentara Majapahit yang lar i kocar-kacir. Tombak diberi nama Kalam Munyeng.

Sunan Giri meninggal digantikan anaknya Sunan Giri Kedaton, kemudian digantikan cucunya Sunan Giri Parapen. Pada masa Sunan Giri Parapen, Majapahit menyerang la gi dan berhasil menduduki istana tapi saat mau merusak makam Sunan Giri, dari da lam kubur muncul beribu-ribu kumbang yang menyerang tentara Majapahit yang lari kocar-kacir.

Giri ditaklukkan Sultan Agung dari Mataram tahun 1636 karena Sultan Agung tidak mau ada dua raja di tanah Jawa. Sunan Giri Parapen ditawan dan dibawa ke Mataram . Sedangkan anaknya: Jayengresmi, Jayengrana dan Niken Rangcangkapti melarikan d iri.

2. Perjalanan Jayengresmi diikuti santri Gathak dan Gathuk.

Rute perjalanan: bekas istana Majapahit, candi Brawu, candi Bajangratu, candi Pa nataran di Blitar, arca Ki Gaprang di Gaprang, gong Kyai Pradah di hutan Lodhaya , ketemu Ki Carita di Pakel, mata air Sumberbekti di Tuban, sendang Sugihwaras d i hutan Bago Bojonegara, tulang-tulag besar di gunung Phandan, gunung Gambiralay a, ketemu Ki Pandang di Phandangan, sumber api alam di Dhander, sumber minyaktan ah di Dandhangngilo, ketemu Ki Jatipitutur di Kesanga, sumber air asin di Kuwu, ketemu Kyai Pariwara di Sela, lihat gunung Merapi di Gubug ketemu Dathuk Bhani, bekas istana Prawata ketemu Ki Darmajati, Mesjid Agung Demak, Jepara, gunung Mur ia ziarah ke makam Sunan Muria ketemu Buyut Sidhasedya, ketemu Wasi Kawiswara di Panegaran Pekalongan, gunung Slamet ketemu Seh Sekardelima, gunung Siwal ketemu Wasi Narwita, gunung Cereme ketemu Resi Singunkara, gunung Tampomas ketemu Seh Trenggana, gunung Mandhalawangi ketemu Ajar Suganda, Bogor ketemu Ki Wargapati, membangun pertapaan di gunung Salak. Diangkat anak dan dibawa ke Gunung Karang, Pandeglang, Banten oleh Ki Ageng Karang yang bernama Seh Ibrahim.

3. Perjalanan Jayengrana dan Niken Rangcangkapti diikuti santri Buras.

Rute perjalanan: pesantren Ki Amat Sungeb di Sidacerma, sendang Pasuruan, telaga Gati, Banyubiru, air terjun Baung di gunung Tengger, candi Singasari, sumber Sa nggariti di Sisir, candi Tumpang, candi Kidal, Tosari ketemu Buyut Sudarga lihat kawah Bromo dan lautan pasir, ketemu Resi Satmaka di Ngadisari, Klakah ketemu U mbul Sadyana malam hari ke telaga Dago lihat api gunung Lamongan, Kandhangan Lum ajang ketemu Seh Amongbudi, Argapura ketemu Seh Wadat, gunung Rawun ketemu Retna Tan Timbangsih, Nglicin Banyuwangi lihat candi Selacendhani ketemu Ki Menak Luh ung, ketemu Ki Hartati saudagar dari Pekalongan, diangkat anak oleh Ki Hartati d ibawa naik perahu ke Pekalongan, diterima dengan senang hati oleh Nyi Hartati, N yi Hartati meninggal dunia, seribu harinya disusul Ki Hartati juga meninggal, me ninggalkan Pekalongan pergi ke gunung Prahu ketemu Ki Gunawan diajak ke pegunung an Dieng melihat sumur Jalathunda, kawah Candradimuka, candi-candi di Dieng, Sok ayasa Banyumas dikaki gunung Bisma, perjalanan diantar oleh Ki Gunawan ketemu Se h Akhadiyat lalu keduanya diangkat anak.

(2)

Serat Centhini Jilid-2 berisi 87 pupuh dari pupuh 88 s/d 174, berisi perjalanan Mas Cebolang (diikuti santri: Palakarti, Kartipala, Saloka, Nurwiti) anak Seh Ak adiyat dari Sokayasa, Banyumas. Seh Ahkadiyat pada akhir Jilid-1 diceritakan men gangkat anak Jayengrana dan Niken Rangcangkapti.

Rute perjalanan: meninggalkan Sokayasa, sampai di makam Dhukuh ketemu Ki Demang Srana lalu diantar ke makam Seh Jambukarang di gunung Lawet, pancuran Surawana y ang bermata air di Muncar ketemu Ki Dati, bendungan Pancasan di Banyumas, naik r akit sungai Serayu, berhenti di Arjabinangun ketemu Ajar Naraddhi, lihat gua Lim usbuntu, lihat gua Selaphetak yang berbentuk pendapa rumah, sampai di Segara Ana kan, naik perahu menuju Karangbolong, di Ujung Alang gunung Ciwiring bisa keliha tan pulau Bandhung tempat bunga Wijayakusuma yang dijaga burung Bayan, di Jumpri t lihat mata air sungai Praga di gunung Sindara ketemu Ki Gupita,

gunung Margawati di Kedu ketemu Ki Lehdaswaninda, gunung Sumbing di sendang Bedh aya ketemu dhanyang Ki Candhikyuda dan istrinya Nyi Ratamsari, lihat mata air Pi katan, sampai di Ambarawa di gunung Jambu siarah makam Prabu Brawijaya dari Maja pahit, suasana jadi gelap karena hujan abu dari letusan gunung Merapi, berjalan dalam gelap sampai di gunung Tidhar ketemu Seh Wakidiyat, lihat candi Borobudur, lihat candi Mendut, sampai di Mataram pada masa Sultan Agung, tinggal di Kauman tempatnya modin istana Ki Amat Tengara, siarah makam Panembahan Senapati di bel akang Mesjid Agung, ketemu dengan banyak orang dengan berbagai keahlian: Ki Amon gtrustho ahli ulah asmara, Empu Ki Anom ahli pembuatan keris, Ki Bawaraga ahli g ending dan gamelan, Ki Madiaswa ahli tentang hal-ihwal kuda, Ki Pujangkara ahli perhitungan hari dan berbagai pertanda alam, jagal Nyai Cundhamundhing ahli hal-ihwal nama daging bagian-bagian dari kerbau, Nyai Padmasastra ahli batik tulis, Nyai Sriyatna ahli sajen untuk pengantin, Nyai Lurah Kraton ahli ha-ihwal pengan tin, modin Ki Goniyah juga ahli hal-ihwal pengantin, Kyai Amat Kategan memberi p enjelasan beberapa hal tentang agama Islam, Ki Rasiku jurukunci makam Glagaharum di Demak menjelaskan cerita Sunan Kalijaga ketemu Puntadewa, Ki Harjana santri dari Jatisari ahli perhitungan hari, Ki Amat Setama cerita tentang Raja Istambul , Ki Wirengsuwigna ahli berbagai tarian, Ki Demang Basman ahli perhitungan pembu atan rumah, Kyai Sumbaga ahli pembuatan wayang kulit, Ki Toha menjelaskan tentan g mandi Rebo-an, Ki Sopana ahli huruf-huruf kuno, Nyai Atikah bercerita tentang Ni Kasanah yang berbakti sama suami , Ki Narataka jurukunci meriam pusaka kraton , Ki Candhilaras juru dongeng dan tembang..

Pada Jilid 2 ini Serat Centhini lebih banyak mencerikan Mas Cebolang ketemu bany ak orang di sekitar istana Mataram bercerita tentang legenda, adat istiadat dan ilmu yang mereka punyai sesuai keahlian mereka masing-masing.

SERAT CENTHINI JILID 03

Serat Centhini Jilid-3 berisi 82 pupuh dari pupuh 175 s/d 256, masih meneruskan perjalanan Mas Cebolang yang diikuti empat santri: Palakarti, Kartipala, Saloka, Nurwiti. Mas Cebolang adalah anak Seh Akadiyat dari Sokayasa, Banyumas. Seh Aka diyat pada akhir Jilid-1 diceritakan mengangkat anak Jayengrana dan Niken Rangca ngkapti.

Rute perjalanan: masih di ibukota Mataram ketemu: Ki Cendhanilaras berbicara soa l pasugihan (ilmu hitam menjadi kaya), Tumenggung Sujanapura diberi wejangan Sas tra Jendra Hayuningrat, Ki Ajar Sutikna berbicara hari baik untuk beberapa keper luan, bersama-sama Ki Ajar Kepurun meninggalkan ibukota Mataram bermalam di desa Kepurun berbicara tentang hal-ihwal wanita, ketemu Lurah Harsana lihat candi Pr ambanan, Candi Sewu, Candi Roro Jonggrang dan bercerita legenda berkenaan dengan candi tersebut, sampai di desa Kajoran ketemu Ki Ngabdulmartaka bercerita tenta ng Serat Suluk Hartati, diajak oleh Ki Ngabdulmartaka ketemu Panembahan Rama ber cerita tentang ilmu kasunyatan tentang asal usul kehidupan, liwat hutan nginep d i planggrongan (rumah diatas pohon kayu) kepunyaan Ki Wreksadikara berbicara soa l kayu dan rumah, desa Tembayat ketemu Modin Ki Sahabodin bercerita tentang Suna n Gede Pandhanaran dan Seh Domba, Panaraga ketemu Ki Wanakara berbicara tentang jamu untuk berbagai penyakit dan ura-ura (lagu) sifat-sifat manusia yang kurang baik, Pajang ketemu Ki Mastuti bercerita silsilah raja Pajang s/d Sultan Agung d

(3)

i Mataram, diantar oleh Ki Mastuti ke makam Laweyan, di mesjid Laweyan ketemu Ki Ngabdul Antyanta dan Ki Sali bercerita tentang ramalan Jayabaya..

SERAT CENTHINI JILID 04

Serat Centhini Jilid-4 berisi 65 pupuh dari pupuh 257 s/d 321, meneruskan perjal anan Mas Cebolang dari Laweyan, Surakarta menuju ke tenggara dan berakhir di Wir asaba Jawatimur.

Rute perjalanan: masih di Mesjid Laweyan Surakarta Ki Sali melanjutkan bicara te ntang ramalan Jayabaya, Ki Atyanta berbicara tentang 40 macam tanda-tanda kiamat yang berasal dari Hadits dan cerita tentang Seh Markaban dari Mesir, desa Majas ta ketemu Ki Jayamilasa jurukunci makam Jaka Bodho putra raja Majapahit, ditepi sungai Dengkeng diceritakan tentang riwayat Jaka Tingkir,

ziarah di makam Banyubiru diceritakan tentang Ki Buyut Banyubiru murid Sunan Kal ijaga, desa Taruwangsa ziarah ke makam Ki Ageng Banjarsari, melihat sendang Sela kapa, sendang Purusa, sendang Banyubiru, desa Teleng lihat sendang Tirtamaya, me nuju ke Pacitan di Girimarta ketemu Endrasmara anaknya Ketib Winong dari Mataram , ketemu mertua Endrasmara bernama Kyai Haji Nurgirindra bercerita tentang Asma ul husna, diajak kerumahnya Nyai Wulanjar di Paricara Wonogiri, maksudnya mau ke Pa naraga kesasar samapi ke laut selatan, tiba di desa Karang ketemu Ki Darmayu, ke temu rombongan Brahmana Sidhi dari Hindustan berbicara tentang agama Budha, samp ai di desa Salaung ketemu Ki Nursubadya berbicara tentang warok dan gemblakan, s ampai di asrama Majenang di gunung Wilis ketemu Seh Matyasa, sampai di Wirasaba ketemu ki Jamal, lalu jadi pemain kentrung dan berakhir ditanggap di kediaman bu pati Wirasaba.

SERAT CENTHINI JILID 05

Serat Centhini Jilid-5 berisi 86 pupuh dari pupuh 321 (mulai tembang 40) s/d 356 , perjalanan pulang Mas Cebolang dari Wirasaba ke Sokayasa, Banyumas, perjalanan Mas Cebolang, Jayengsari, Rangcangkapti meninggalkan Sokayasa menuju Wanataka d an perjalanan Jayengresmi meninggalkan Gunung Karang, Pandeglang, Banten untuk m encari adik-adiknya sampai ke Wanamarta diselatan Gunung Giri, Jawa Timur.

Rute perjalanan pulang Mas Cebolang: sebagai sinden kentrung bermain dikediaman adipati Wirasaba; lari dari kadipaten Wirasaba karena ketahuan Mas Cebolang seli ngkuh dengan para selir adipati Wirasaba; naik ke gunung Semeru ingin ketemu buy ut Danardana tapi tidak ketemu; pergi ke gua Sigala setelah bertapa selama 7 har i baru bisa ketemu buyut Danardana disuruh pulang ke Sokayasa.

Rute perjalanan Mas Cebolang, Jayengsari dan Rangcangkapti: Jayengsari dan Rangc angkapti sudah diambil anak oleh Seh Akadiyat di Sokayasa; Mas Cebolang sampai d i Sokayasa; setelah beberapa lama Mas Cebolang dinikahkan dengan Rangcangkapti; tidak beberapa lama kemudian Seh Akadiyat dan istrinya meninggal dunia; pada sua tu hari ada tamu dua santri dari Surabaya disangka utusan dari Pangeran Pekik (a dik ipar Sultan Agung) yang juga Bupati Surabaya untuk mencari mereka; karena kh awatir Mas Cebolang, Rangcangkapti dan Jayengsari meninggakan Sokayasa; menyusur i hutan Gunung Kidul menuju ke barat; sampai di gunung Lima ketemu pendita Herca rana diminta tinggal di dhukuh Wanataka dan berganti nama Jayengsari jadi Seh Ma ngunrasa, Mas Cebolang jadi Seh Anggungrimang, santri Buras jadi Monthel, sedang kan Rangcangkapti tidak dirubah.

Rute perjalanan Jayengresmi: Jayengresmi yang diangkat anak oleh Ki Ageng Karang di gunung Karang, Pandeglang, Banten sudah berganti nama jadi Seh Amongraga sed angkan santri Gathak & Gathuk ganti nama jadi Jamal dan Jamil; Jayengresmi pamit an Ki Ageng Karang untuk mencari adik-adiknya; disuruh pergi ke Wanamarta ketemu Ki Bayi Panurta; mampir di Maledari gunung Gora ketemu Buyut Wasi Bagena; sampa i di dhukuh Andong Tinunu sebelah timur laut gunung Sindoro ketemu Seh Sukmasidi k; sampai di dhukuh Wanamarta (sekitar Mojokerto, Jawa Timur), ketemu Ki Bayi Pa nurta yang punya anak tiga yaitu: Niken Tambangraras, Jayengwesthi dan Jayengrag a; setelah beberapa lama Seh Amongraga dinikahkan dengan Niken Tambangraras, per ayaan pernikahan Seh Amongraga dengan Niken Tambangraras yang diramaikan dengan nanggap sinden ronggeng.

(4)

SERAT CENTHINI JILID 06

Serat Centhini Jilid-6 berisi 15 pupuh dari pupuh 357 s/d 372, berlainan dengan jilid-jilid sebelumnya pada jilid ini bukan berisi cerita perjalanan tapi lebih fokus pada cerita pernikahan antara Jayengresmi yang sudah berganti nama Seh Amo ngraga dengan Niken Tambangraras anak dari Ki Bayi Panurta dari Wanamarta, Mojok erta.

Pada jilid ini untuk pertama kali disebut nama Centhini yang adalah rewang (pemb antu) Niken Tambangraras. Serat Centhini ini pada awalnya bernama Suluk Tambangr aras yang kemudian diganti dengan nama Serat Centhini, sebagai penghargaan terha dap kesetiaan Centhini yang selalu mendampingi Niken Tambangraras.

1. Upacara Akad Nikah: Seh Amongraga minta agar perayaan tidak dengan cara yang mengandung maksiat seperti nanggap sinden ronggeng; Diceritakan juga pakaian yan g dikenakan baik oleh pengantin laki-laki dan wanita maupun ayah bunda pengantin wanita yang memakai pakaian tradisional di daerah pesantren. Dilaksanakan di me sjid oleh Ki Pengulu yang menikahkan pengantin disaksikan wali ayah pengantin wa nita Ki Bayi Panurta serta para saksi lainnya.

Note: pada umumnya dikalangan yang pengaruh pesantrennya masih kuat akad nikah d ilakukan tanpa kehadiran pengantin wanita, hal ini masih berlaku sampai saat ini . Berlainan dengan upacara pengantin dikalangan keraton (istana) yang diadaptasi rakyat secara umum.

2. Upacara Pertemuan Pengantin: Pertemuan pengantin dilakukan didepan pintu pend apa dengan kedua pengantin lempar-lemparan daun sirih, pengantin laki-laki memec ah telur dan pengantin wanita membasuh kaki pengantin laki-laki yang kotor karen a pecahan telur. Semuanya ini mengandung perlambang. Kemudian pengantin disandin gkan di pelaminan didepan krobongan.

Note: Upacara temu pengantin berlaku umum, hampir tidak ada perbedaan diseluruh pulau Jawa sampai dengan saat ini.

3. Setelah acara temu pengantin: Acara ngabekti yaitu pengantin laki-laki ngabek ti (mencium suku) bapak dan ibu pengantin wanita; Pengantin wanita ngabekti ke p engantin laki-laki; Seh Amongraga minta agar ibu pengantin wanita Ni Mintarsih a gar membuang semua sesaji karena hal tersebut termasuk kepercayaan menyembah ber hala. Ini berkenaan transisi tradisi Jawa kuno maupun Hindu yang penuh dengan sa ji-sajian menuju tradisi Islam yang tidak memerlukan sesaji.

4. Seh Amongraga mengajari pengantin wanita perihal ilmu agama: Tentang sejatiny a sahadat, rukun solat, tempatnya rasa sejati, kewajiban istri; Esok harinya ked atangan tamu dari Gresik, Surabaya, Sidayu, Tuban dan Rembang yang mengantarkan sumbangan hal ini berkenaan dengan kedudukan Ki Bayi Panurta sebagai guru spriri tuil para Bupati bang wetan (Jawa Timur); Ki Bayi Panurta meminta Seh Amongraga memberi penjelasan kepada yang hadir tentang kitab Ibnu Hajar yaitu: kedudukan R asul, solat sunah dan solat wajib.

5. Perayaan pengantin di tempat para keluarga: Ini berkenaan dengan tradisi ngun duh mantu (ikut merayakan) yang dilakukan oleh keluarga dekat. Pengantin diarak menuju ketempat Jayengwesthi (kakak Niken Tambanraras) diadakan kenduri disana; Pengantin diunduh (dirayakan) ditempat Jayengrana (kakak yang satu lagi dari Nik en Tambanraras) dengan gamelan yang mengumandangkan berbagai tembang. Jamal-Jami l mempertunjukan kebolehan olah kanuragan (seperti debus di Banten).

SERAT CENTHINI JILID 07

Pada Serat Centhini jilid-7, awalnya masih melanjutkan sedikit tentang tradisi b udaya pesantren, sedangkan sisanya perihal pola pendalaman ilmu agama atau spiri tual yang umum berlaku pada saat itu.

Ada beberapa kontradiksi pada Serat Centini jilid-7 ini, dikarenakan sejak abad ke-16 ketika cerita ini berlangsung telah terjadi pengaruh budaya luar lainnya, yaitu:

1. Pola penyiaran agama Islam yang datang kemudian lebih menekankan kepada syari at atau syarat-syarat menjalankan kewajiban agama dimana tidak terhindarkan adan ya pengaruh berbagai mazab-mazab dalam Islam. Sedangkan pola yang diajarkan oleh

(5)

para walisanga adalah pengetahuan spiritual yang menekankan ilmu tasauf yaitu h akekat dan makrifat yang tidak jauh berbeda dengan pola pendalaman sprirituil ma syarakat Jawa pada saat itu yang sudah dijalani berabad-abad lamanya dengan satu dan lain cara. Oleh karena itu masyarakat Jawa bisa menerima agama Islam pada s aat itu karena pendekatan yang tepat dari wali sanga.

2. Pengaruh budaya Barat telah merubah paradigma pengertian tentang ilmu yang sa ma sekali berbeda dengan pengertian ilmu yang ada di budaya Jawa pada abad ke-16 . Ilmu dalam budaya Jawa adalah pendalaman kehidupan spiritual, sedangkan di bud aya Barat ilmu adalah pengetahuan alam dalam rangka explorasi alam untuk kepenti ngan duniawi. Bahkan kita bisa pertanyakan apakah ada pendalaman spiritual dalam budaya Barat?

Apakah pengaruh yang terjadi adalah suatu kemunduran atau suatu kemajuan? Kita s erahkan saja penilaian pada diri kita masing-masing dengan melihat kecenderungan saat ini bahwa syariat agama hanya dijalankan sebagai rutinitas ritual tanpa pe ndalaman spiritual yang menyebabkan kemunduran etika dan moral dalam masyarakat. Kontradiksi yang terdapat dalam Serat Centhini jilid-7 ini adalah:

1. Seh Amongraga meninggalkan Niken Tambangraras setelah menikah selama 40 hari. Adalah perlambang bahwa pendalaman sprituil lebih penting dari segalanya termas uk dalam membina keluarga. Sangat kontradiktif dengan nilai-nilai yang berlaku s aat ini.

2. Seh Amongraga sudah berguru di padepokan (pesantren) tiga kali, dengan ayahny a Sunan Giri, dengan Kyai Ageng Karang di Banten, dengan Ki Bayi Panurta di Wana marta. Tapi ilmu yang didapat dianggap tidak cukup untuk memahami keagungan Alla h SWT oleh karena itu diperlukan laku (tarekat atau tirakat) dengan cara lelanab rata ketempat-tempat sepi dan angker dalam rangka pemahaman segi-segi yang ajaib (gaib) tentang kehidupan termasuk keberadaan mahluk halus. Ini adalah pola pema haman sprirituil di budaya Jawa yang berumur sangat tua. Bisa diartikan sebagai bentuk sinkretisasi agama Islam, tapi juga bisa diartikan bahwa pada tataran hak ekat dan makrifat agama apapun punya tujuan yang sama yaitu mengagungkan keberad aan Tuhan Yang Maha Esa (Ini yang dijadikan dasar adanya sila Ketuhanan Yang Mah a Esa di ideologi Pancasila).

3. Pola tersebut diatas kontradiktif dengan pola yang berlaku saat ini dimana pe lajaran di pesantren adalah besifat final. Kalau sudah tamat, yang harus dilakuk an adalah berdakwah dengan apa yang telah dipelajari di pesantren tersebut baik dengan cara dakwah berkeliling ataupun dengan cara mendirikan pesantrennya sendi ri. Sudah sangat jarang santri yang melakukan lelanabrata untuk pemahaman spritu il yang lebih mendalam dalam menyelami keagungan Allah SWT. Kalau dilakukan mala han dianggap menyimpang dari ajaran agama yang sudah baku. Sebagai hasilnya adal ah masyarakat Indonesia saat ini yang mayoritas beragama Islam, tanpa disertai p erilaku etika dan moral yang terpuji. Bukan agamanya yang salah tapi pola pemaha mannya yang mengalami banyak distorsi.

SERAT CENTHINI JILID 08

Serat Centhini Jilid-8 berisi 103 pupuh dari pupuh 404 s/d 506, isinya lanjutan perjalanan Seh Amongraga dan perjalanan kakak-kakak serta paman Niken Tambangrar as yaitu Jayengwesthi, Jayengraga, Kalawiryo diiringi santri Nuripin mencari Seh Amongraga.

Rute perjalanan Seh Amongraga: Di gua Sraboja 4 hari; Gunung Sakethi, Bungkak, B au, Lerek, Kunci, Patak, Tekong; gua Kalak ketemu Ki Lokasraya 21 hari; Turun ke lembah masuk ke gua Songputri yang indah seperti keputren; Menuju barat laut le wat gunung Salumbat, Curak, Purak, Belah, menyebrangi sungai Bendha; Naik gunung Senggami lihat telaga Madirdo tempat minum kuda sembrani; Pertapaan Andhongdhad hapan di gunung Retawu 4 malam; Gunung Wiratha wilayah Wonogiri;

Gunung Delapih lewat hutan Tireban; Sampai di puncak gunung Delapih yang dikelil ingi gunung-gunung kecil terlihat banyak binatang-binatang besar, setelah berdoa hilang yang kedengaran kemudian suaranya pimpinan mahluk halus; Setelah berseme di Seh Amongraga bisa melihat bunga yang indah di tengah telaga Celereng yang ai rnya sangat bening didalamnya ada batu-batu kecil warna-warni; Gua Selamunggul k elihatan seperti mulut raksasa besar dan didalamnya ada batu seperti tempat tidu

(6)

r, diselanya mengalir air jernih, terlihat gua Jatharatu Kenyapuri; Di Delepih i ni ada legenda tentang Penembahan Senapati (pendiri kerajaan Mataram) yang menik ahi Nyi Loro Kidul dan anak perempuannya bernama Ratu Widanangga; Menuju ke timu r laut sampai di gunung Lawu; Melewati akar batu sampai di Pangaribaya; Naik sam pai Marcukundha; Berhenti di Pekelengan kemudian tiba-tiba keadaan jadi gelap da n hawa menjadi dingin dan terdengar banyak suara orang ramai teriak-teriak seper ti sedang berperang; Menuju ke Arga Dalem, Melewati Prepat Kepanasan sampai di g unung Diyeng; Berhenti di Arga Dalem 4 hari; Ke Arga Dumilah; Ada burung jalak-g adhing memberi petunjuk jalan; Mengikuti burung jalak-gadhing sampai di kawah Ca ndradimuka, duduk di batu Mandragini, karang Widadaren, terus ke Sanggar-gung da n gunung Petha-pralaya, ke tenggara sampai di Tejomaya, Cemarasewu, turun ke Tel agapasir, Telagasandi; Naik lagi ke desa Gandasuli; Sampai di Sela-bantheng, Cem ara-lawang, gua Padhas; Kembali ke Arga-Dalem; Sampai di Jati Jempina di puncak gunung Tiling; melewati gunung-gunung: Arga Pawenang, Arga Bayu, Arga Candhireng ga, Arga Rimbi, Arga Kathili, Arga Aji, Arga Bintulu, Arga Sukuh, Arga Tambak ya ng banyak terdapat arca-arca; ketemu Ajar Wregasana yang menceritakan tentang pu cak gunung Lawu yang semua ada 15, 7 disebelah selatan dan 8 disebelah utara; Aj ar Wregasana menjelaskan tentang agama Budha; Berdebat tentang kesempurnaan hidu p; Ajar Wregasana merasa kalah sehingga masuk agama Islam dan diganti namanya ja di Ki Wregajati kemudian ikut serta Seh Amongraga lelanabrata; Menyebrang Sungai Sara, kebarat sampai di gunung Adeg; Tirakat di gunung Bangun 15 hari; Jamal da n Jamil mengajarkan ilmu karang (debus) dan ilmu sulap, orang-orang desa sangat kagum dan dianggap guru; Ketemu Lurah desa Lemahbang bernama Sutagati; Jamal dan Jamil menjemput Seh Amongraga dengan banyak santrinya lalu disuruhnya mendirika n mesjid; Memasuki daerah Mataram lewat Jatisaba, gunung Sarembat (Sapikul), Kab aseng, menyebrang Sungai Oya, keselatan sampai ke hutan Jaketra; Tiba di gunung Pagutan; Gunung Sakethi; Keselatan sampai di gunung Jimbaran, berhenti di gunung Sambirata bersama para santrinya yang berjumlah 760 orang; Gunung Gora diwilaya h hutan jati Giring dibagian pinggir laut selatan yang ada tiga gua yang menyera mkan, gua Manganti, gua Celor, gua Songpati; Di wilayah Giring terdapat banyak b ekas pertapaan, memilih dusun Kanigara sebagai tempat persinggahan dan membuat m esjid disini; Ke gunung Jakatuwa diikuti 1800 santri; Tirakat di gua Celor, masu k gua Manganti di tepi kali Oya tempat Sultan Agung bersemedi; Sampai Meladan ke temu jurukuncinya bernama Ki Batulata; terus ke Drekaki; berhenti di gunung Bung as, masuk ke gua Song-pati tempat Sultan Agung jadi pertapa bernama Seh Bangkung ; terus kembali ke Kanigara yang kepala desanya bernama Ki Wanamennggala; jumlah santrinya sudah menjadi 3000 orang.

Rute perjalanan Jajengwesthi, Jayengraga, Kulawirya, Nuripin: sampai di desa Kep leng di rumah Suradigdaya yang punya anak bernama Matiyah dan keponakannya janda muda; Kulawirya mengajak tetabuhan sambil tayuban. Sindennya bernama Gendra; Ja yengwhesti tidak mau ikut-ikutan; Jayengraga menggoda Matiyah tapi ditolak, yang didapat si janda muda. Kulawirya kesampaian mendapatkan sinden Gendra; Paginya keluar desa masuk hutan Selambur, hutan Bagendhul, desa Palemahan, desa Mamenang , ke kedung Bayangan, gunung Klothok; Di desa Pakuncen ketemu Ki Wanatawa bertan ya apakah pernah ketemu Seh Amongraga dijawab tidak pernah; Malamnya nginep di g ua Selamangleng dulu padepokannya Dewi Kilisuci pendita wanita; ke Pakareman ket emu Seh Ragayuni dari padepokan di gunung Kalengleng, menanyakan keberadaan Seh Amongraga yang dijawab berada di daerah barat daya tapi dianjurkan tidak usah di susul, nantinya Seh Amongraga akan bertempat tinggal di Wanataka dan semuanya ak an bisa ketemu disana; Esok paginya setelah pamitan, Ki Ragyuni menghilang, semu anya keheran-heran; Sampai di desa Pulung menuju rumahnya penghulu Jabalodin; di ceritakan petualangan maksiat antara Kulawirya dengan Randha Sembaga yang gemar laki-laki maupun Jayengraga dengan sinden Kecer; Jayengwesthi sebetulnya kurang begitu berkenan tapi tidak bisa apa-apa.

SERAT CENTHINI JILID 09

Serat Centhini Jilid-9 berisi 93 pupuh dari pupuh 507 s/d 599, isinya lanjutan p erjalanan Jayengwesthi (Jayengresmi), Jayengraga, Kulawiryo diiringi santri Nuri pin mencari Seh Amongraga karena merasa kasihan melihat keadaan Niken Tambangrar

(7)

as.

Rute perjalanan Jajengwesthi, Jayengraga, Kulawirya, Nuripin: Masih di desa Pulu ng, tayuban dirumah Randha Sembada yang hyperseks, diceritakan bisa melayani sia ng tiga laki-laki dan malamnya tiga laki-laki; Cerita sekitar tajuban, sinden da n ronggeng maupun perilaku maksiat dari Randha Sembada, Jayengrana dan Kulawirya ;

Paginya melanjutkan perjalanan sampai di gua Padhali yang sangat luas menginap 1 malem; Kedatangan Ki Sinduraga diajak mampir kerumahnya bercerita tentang desa Wengker atau Pura Katongan yang dulunya istana Batara Katong; Sholat di mesjid T ajug yang dibuat oleh Kyai Tajug dari Giri; Menuju gunung Padhangeyan diiringi p etunjuk jalan Ki Wanalela, lewat desa Seladhakon sampai di Astana Pakuncen tempa t makam Batara Katong leluhur Panaraga; Sampai di Jenangan ketemu petingginya Na rakosa bercerita tentang Watu Towok (Batu Towok) yang dikaitkan dengan cerita Pa nji Asmarabangun; Sampai di padhepokan Ki Seh Sidalangu teman akrab Ki Bayi Panu rta di gunung Padhangeyan; Ke gua Sentor tinggal selama 10 hari (yang bisa tembu s ke gua Pedhali) tempat pertapaan Dewi Kilisuci; Diiringi Ki Pakuwaja menuju gu nang Bajangkaki yang angker; Ketemu Ki Dathuk diajak mampir kerumahnya di desa P ranten; Sampai di gua Sangsangan terus naik ke puncak gunung Bajangkaki; Sampai di desa Tegaren menginap di rumah Cangrageni yang sebetulnya adalah kepala begal (perampok); Malamnya barang-barangnya mau di ambil, dilawan oleh Kulawirya, sem ua perampok kalah dan lari; Sampai di desa Longsor ketemu petingginya Ragamengga la dan modinnya Nurbayin; Malemnya Jayengraga melayani tiga anaknya modin Nurban in yang perawan tua karena kurang cantik bernama Banem, Banikem, Baniyah; Lewat desa Padakan yang sedang tawuran dengan desa Mungur rebutan tempat menggembalaka n hewan piaraan (dua desa ini dari dulu selalu bermusuhan); Sampai di kedhung Ba gong banyak ikannya tapi angker tinggal 1 malam; Sampai didesa Trenggalek Lembhu asta di kediaman Ki Demang Ngabei Kidang Wiracapa temen akrab Ki Bayi Panurta, d iterima oleh istri Ni Widaryati dan adik-adinya Wirabancana, Wirangkara, dan Wir abraja, punya anak satu namanya Retna Ginubah senangnya menjelajahi hutan, hanya sekali-kali saja pulang.

SERAT CENTHINI JILID 10

Serat Centhini Jilid-10 berisi 38 pupuh dari pupuh 600 s/d 637, isinya: setelah tidak menemukan Seh Amongraga, Jayengwesthi (Jayengresmi), Jayengraga, Kulawiryo diiringi santri Nuripin memutuskan untuk kembali ke Wanamarta serta ditangkapny a Seh Amongraga kemudian dilarung (dibuang) di laut selatan karena Jamal dan Jam il dianggap bikin rusuh diwilayah kekuasaan Sultan Agung di Mataram..

Rute perjalanan Jajengwesthi, Jayengraga, Kulawirya, Nuripin: Masih dikediaman K i Kidang Waracapa di Trenggalek Lembhuasta; Jayengrana menikah dengan Rara Widur i yang sering bikin onar karena obsesif (cemburuan) adalah anak dari Ki Demang P rawirancana dari Trenggalek Wulan;

Ki Kulawirya terkena penyakit rajasinga, mimpi ketemu Jamal dan Jamil yang menga takan bisa sembuh asal memenuhi salah satu dari tiga sarat yaitu bersetubuh deng an gadis yang masih perawan atau dengan wanita yang sedang menstruasi, atau bers etubuh dengan kuda; Karena sulit mendapatkan gadis yang masih perawan, takut dos a kalau bersetubuh dengan wanita yang sedang menstruasi, akhirnya terlaksana dan bisa sembuh setelah bersetubuh dengan kuda; Diadakan perayaan ngunduh mantu ole h Ki Demang Prawirancana dengan mengundang ronggeng; Setelah tujuh hari, Jayenwe sthi, Jayengraga, Kulawiryo dan Nurupin berpamitan mau meninggalkan Trenggalek L embhuasta; Rara Widuri yang ditinggal di Trenggalek Lembhuasta menjadi linglung kemudian disembuhkan oleh Retna Ginubah dan dibawa pulang oleh orang tuanya ke T renggalekwulan; Menuju gunung Rajegwesi, lewat gunung Purwa sampai di desa Gubug ketemu Seh Ekawerdi teman akrabnya Ki Bayi Panurta; Sampai di desa Saren, gunun g Bajak, gunung Bundhel, gunung Tengeng, desa Wajak Watu-urip, nyebrang hutan Ra wa, lihat Sendang Patimbulan, masuk gua Menak satu malam; Paginya sampai di desa Bopong, desa Wunut, hutan Wratsari, desa Sarengat, gunung Pegat, gunung kecil B agendhul di hutan Salembut; Sehari kemudian sampai Wirasaba yang sudah dekat Wan amarta; Sesampainya di Wanamarta langsung menghadap Ki Bayi Panurta dan mencerit akan bahwa belum bisa ketemu dengan Seh Amongraga yang makin menambah kesedihan

(8)

Niken Tambangraras maupun kedua orang tuanya.

Rute perjalanan Seh Amongraga: sudah beberapa lama berada di desa Semanu, Gunung Kidul, Mataram dan senantiasa manekung (kosentrasi memuji kepada Allah SWT) di grobogan dalam mesjid; Jamal dan Jamil setiap hari membuat pertunjukan ilmu kara ng dan ilmu sihir yang menghadirkan ribuan penonton, lama-lama kedengaran oleh S ultan Agung karena dianggap membuat onar, sehingga mengutus Tumenggung Wiraguna untuk menangkap Seh Amongraga; Seh Amongraga tidak melawan ketika ditangkap, kem udian dimasukkan dalam keadaan hidup kedalam bronjongan (kurungan) dilarung (dib uang) di laut selatan, bronjongan kembali kedaratan dalam kedaaan kosong dan ter dengar suara dari Seh Amongraga: Kyai Wiraguna, katakan pada Sultan Agung telah t erlaksana kehendaknya saya sudah terlepas dari keduniawian ; Jamal dan Jamil melar ikan diri kembali ke Wanamarta menceritakan apa yang terjadi yang makin menambah kesedihan Niken Tambangraras dan semua keluarganya; Tumenggung Wiraguna menceri takan apa yang terjadi kepada Sultan Agung dan dijawab bahwa apa yang terjadi bu kan hukuman hanya sarana untuk mengantarkan Seh Amongraga ke alam kesempurnaan m elalui wibawa raja; Sunan Giri Parapen yang setelah kalah perang, disandera dala m lingkungan istana di Mataram mendengar cerita bahwa anaknya Seh Amongraga meni nggal dilarung dilaut selatan, menjadi sangat sedih yang mengakibatkan wafatnya. SERAT CENTHINI JILID 11

Serat Centhini Jilid-11 berisi 52 pupuh dari pupuh 638 s/d 690, isinya: perjalan an menuju pertemuan seluruh keluarga yang saling berpisahan di Jurang Jangkung ( Wanataka).

Perjalanan Niken Tambangraras: Niken Tambangraras menolak banyak lamaran, ada ya ng sakit hati mengirim penjahat tapi tidak berhasil menyakitinya; Niken Tambangr aras memutuskan pergi dari Wanamarta diiringi Ni Centhini; Ganti nama Ni Selabra ngti, keluar masuk hutan akhirnya sampai di Wanataka padepokannya Seh Mangunarsa dan Seh Agungrimang; Setelah beberapa lama mereka saling tahu bahwa Ni Selabran gti adalah Niken Tambangraras istri Seh Amongraga dan Seh Mangunarsa adalah adik dari Seh Amongraga;

Niken Rancangkapti (istri Seh Agungrimang) sangat sedih mendengar kakaknya Seh A mongraga telah meninggal dunia dilarung di laut selatan, sehingga mendadak menin ggal dunia; Pagi harinya sebelum mayat Niken Rangcangkapti dimandikan ada keajai ban dengan kedatangan Seh Amongraga; Semua terkejut dan berbakti ke Seh Amongrag a yang mengatakan bahwa dia sudah hidup di alam kesempurnaan; Niken Rancangkapti dibangunkan oleh Seh Amongraga, hidup kembali seperti baru bangun tidur; Seh Am ongraga memerintahkan Seh Mangunarsa untuk menikahkan Ni Centhini dengan Ki Mont hel dan membuat padepokan tempat menyepi Seh Amongraga dan istrinya di Jurang Ja ngkung; Sewaktu-waktu mereka bisa ketemu setelah menjalankan iktikap (i tikat berd iam diri bertafakur memuji kebesaran Allah SWT) di Sendhang Kalampeyan.

Perjalanan Jayengresmi dan Jayengrana: Ki Bayi Panurto menyuruh Jayengresmi dan Jayengrana menyusul kakaknya Niken Tambangraras; Menginap di tempat Nyi Randa Ti larsa di desa Sindureja; Meneruskan perjalanan lewat gunung Ujungan, desa Simpar , di desa Sidapaksa ketemu orang tua bernama Kaki Tuwa; di Ngardipala ketemu Seh Malangkarsa yang mendengar bahwa Niken Tambangraras berada di Wanataka; Ki Mont hel datang dari Wanataka membawa surat dari Seh Amongraga untuk Ki Bayi Panurta; Ki Monthel meneruskan perjalanan menuju Wanamarta, sedangkan Jayengresmi dan Ja yengraga tinggal di Ngardisalah mendalami ilmu agama.

Perjalanan istri Jayengraesmi (Ni Turida) dan istri Jayengrana (Ni Rarasati): Ni Turada dan Ni Rarasati meninggalkan Wanamarta menyusul suaminya, mengalami bany ak halangan dijalan akhirnya bisa ketemu Jayengresmi dan Jayengrana di Ngardisal ah dan ikut mendalami ilmu agama bersama suaminya.

Perjalanan Ki Bayi Panurta dan istrinya: Ni Malarsih mengajak suaminya Ki Bayi P anurta menyusul anak-mantunya yang pergi semua; Ki Monthel datang membawa surat dari Seh Amongraga dari Wanataka; Ki Bayi Panurto dan istrinya menuju Wanataka g anti nama jadi Ki Arundaya dan Ni Malaresmi; Ketemu banyak teman-temannya di sep anjang perjalanan di Ngardimuncar, di gunung Bustam, lewat hutan Jembul kesasar malahan ketemu Ki Cariksutra dan Ki Carikmudha, keduanya mengantarkan ke Ngardip ala lewat sendang Balara; di Ngardipala ketemu Seh Malangkarsa yang kemudian men

(9)

yuruh santrinya pergi ke Ngardisalah untuk memanggil Jayengresmi dan Jayengrana; Seh Raras (Jayengresmi) dan Seh Resmi (Jayengraga) tidak mau ketemu kedua orang tuanya, nanti saja akan bertemu di Jurang Jangkung; Diiringi oleh Seh Malangkars a, Ki Cariksutra dan Ki Carikmuda menuju Wanataka; Melewati sendhang Kalampeyan sampai di Wanataka ketemu Seh Mangunarsa, Seh Agungrimang dan istrinya Niken Ran cangkapti; Seh Mangunarsa memberithu bahwa anak dan mantunya akan menemui di Jur ang Jangkung; Setelah tirakat selama tiga hari, Seh Amongraga, Jayengrana, Jayen graga beserta istri-istrinya yang berada di alam kesempurnaan memperlihatkan dir i dan berbakti kepada Ki Bayi Panurta dan istri; Pertemuan berikutnya di Sendang Kalampeyan mengajak juga Seh Malangkarsa dkk.; Diadakan perjamuan tapi Seh Amon graga dan istrinya tidak makan agar tetap berada di alam badan halus sedangkan J ayengresmi dan Jayengraga dan istri-istrinya-nya disuruh makan oleh Seh Amongrag a agar kembali ke alam badan kasar seperti layaknya manusia biasa; Ki Bayi Panur ta mengajak Jayengresmi dan Jayengraga dan istri-istrinya pulang ke Wanamerta ta pi tidak mau, masih mau melanjutkan menyepi di Wanataka, berjanji pada saatnya a kan pulang; Ki Malangkarsa dkk. pulang ke Ngardipala; Setelah 10 hari Ki Bayi Pa nurta dan istrinya pulang ke Wanamarta.

Perjalanan Seh Amongraga di alam alimut: Jayengresmi dan Jayengraga membuat pade pokan di dekat Jurang Jangkung di Wanatawang dan Wanasonya; Seh Amongraga dan is trinya berkelana kemudian mencipta Kota Baja; Pulau tersebut seperti sebuah ista na dihias sangat indah dan banyak terdapat emas rajabrana, sutera, maupun barang beraneka warna; Orang-orang banyak yang datang, boleh mengambil apa saja semaun ya; Berita ini terdengar Ki Dathuk Ragarunting dari Bengkulu yang datang naik pe rahu beserta empat puluh muridnya; Setelah ketemu selain mengambil barang semaun ya juga minta Niken Tambangraras juga diberikan; Setelah ditinggal istrinya, Seh Amongraga memusatkan ciptanya menghancurkan Kota Baja dan mengambil kembali Nik en Tambangraras; Ki Dathuk keheranan tiba-tiba Niken Tambangraras menghilang dan perahu diterjang badai, semua santri terdampar dipantai dalam keadaan telanjang dan semua barang-barangnya hilang; Kemudian Seh Amongraga dan istrinya kembali berkelana, sampai di gua Langse di Laut Selatan, kedatangan Ki Darmengbudi; Ki D armengbudi diminta terjun ke lautan dan merasa ketemu Seh Amongraga dan diajari ilmu kesejatian, terpental jatuh di sebuah mesjid di Palembang yang daerahnya se dang ada wabah penyakit, seketika wabah penyakit menyurut; Ada ulama bernama Ki Ragaresmi mencari kesempurnaan kematian, diajari oleh Niken Tambangraras bab kes ejatian Allah SWT yang kasih dan kekuasaan tidak ada batasnya sampai pada ilmu k esempurnaan, kemudian jadi muridnya dan diajak ikut ke Wanataka.

Perjalanan Jayengresmi dan Jayengraga: Seh Amongraga menyuruh Jayengresmi, Jayen grana dan istri-istrinya pulang ke Wanamerta menemui bapak ibunya yang sedang sa kit, diikuti oleh Seh Mangunarsa, Ki Agungrimang dan Niken Rangcangkapti sampai di sendang Balara ketemu Basriman pengulu di Ngardipala dan diantarkan ketemu Se h Malangkarsa yang sangat senang bisa ketemu mereka lagi.

SERAT CENTHINI JILID 12

Serat Centhini Jilid-12 berisi 31 pupuh dari pupuh 691 s/d 722, isinya: perjalan an Jayengresmi dan Jayengraga pulang ke Wanamerta, meninggalnya Ki Bayi Panurto dan istrinya, reinkarnasi Seh Amongraga beserta istrinya agar bisa menurunkan ra ja.

Perjalanan Jayengresmi dan Jayengraga: Seh Mangunarsa, Ki Agungrimang dan Niken Rangcangkapti ikut serta; Menginap di Ngardipala di tempat Seh Malangkarsa, diad akan acara terbangan, Nyi Pelangi istri Seh Modang jatuh hati kepada Jayengrana hal ini diperhatikan oleh istri Jayengraga Ni Rarasati, Seh Amongraga beserta is trinya dan Seh Ragaresmi juga hadir dari alam gaib dalam acara terbangan; Seh Ma langkarsa, Seh Modang dan Nyi Pelangi ikut dalam rombongan dan Ki Basariman sela ku penunjuk jalan; Bermalam di desa Gunungsari ditempat Ki Cariksutra dan Ki Car ikmuda, Ki Cariksutra dan istrinya Nyi Wilapa ikut serta dengan rombongan; Lewat hutan Jembul yang angker, banyak melihat keberadaan machluk halus selama di hut an Jembul; Ni Pelangi masih mencoba menarik perhatian Jayengrana, tiba-tiba mend engar banteng menarik rumput, terkejut lalu menubruk dan merangkul Jayengraga, N

(10)

yi Pelangi jatuh kerasukan, dari kemaluannya mengeluarkan darah, ditolong oleh S eh Mangunarsa, setelah siuman bercerita bahwa dirinya diperkosa oleh orang yang tinggi besar, dinasehati agar tidak berangan-angan yang kurang baik;

Bermalam di desa Bustam ditempat Ki Arsengbudi yang kemudian juga ikut serta den gan rombongan; Rombongan sudah berjumlah 20 orang, menyebrang sungai Lumut, meng inap di desa Ardimuncar tempat Seh Adimuncar dan istrinya Nyi Purnaningsih, adik nya Seh Arundarsa yang bergabung juga ikut serta dengan rombongan; Menginap di t engah hutan Kakas, ada 20 orang yang datang memaksa ikut menginap dengan rombong an membawa buah-buahan dan ubi-ubian yang belakangan ketahuan ternyata harimau s iluman; Keluar hutan lewat desa Kepleng, masuk hutan Taruman, bukit Manik dan hu tan Jenggalamanik, siang hari sampai hutan Saba wilayah Wirasaba; paginya sudah sampai wilayah Wanamerta ketemu Ki Nuripin di Pagutan menginap semalam.

Di Wanamarta: Ki Bayi Panurta baru saja sembuh dari sakitya selama 4,5 bulan; Ke datangan Ki Nuripin dan Ki Monthel yang memberitahukan bahwa putra-putranya dan rombongan sebentar lagi akan sampai; Karena gembiranya menjadikan sakitnya sembu h sama sekali; Ki Bayi Panurto dan istri sangat senang melihat anaknya Jayengrre smi dan Jayengraga beserta masing-masing istrinya diiringi banyak teman-teman da ri Ki Bayi Panurta datang; Pada hari ketiga, Seh Amongraga, istrinya dan Seh Rag aresmi datang dari alam kasampurnaan ikut membicarakan berbagai ilmu kasampurnaa n; Pada hari keempat para tamu pulang yang tinggal hanya Jayengresmi dan Jayengr aga beserta masing-masing istrinya.

Serat Centhini Jilid XII selesai sampai disini, ada tambahan berupa penutup yait u yang dinamakan Serat Centhini Jalalen, kematian Ki Bayi Panurta dan keinginan Seh Amongraga dan istrinya untuk menurunkan raja.

Serat Centhini Jalalen: Ada seorang ahli tapa dari negara Campa (note: mungkin K erajaan Campa yang ada di daerah Vietnam/Kamboja) namanya Ki Jatiswara menjelaja h tanah Jawa mencari adiknya bernama Ki Sejati; Ia mendapat wangsit agar bertemu dengan Seh Amongraga; Bertemu dan beradu ilmu dengan Seh Amongraga tapi kalah; Pergi ke Wanacandra ketemu Seh Ragamana berbicara ilmu; Anak perempuan Seh Ragam ana bernama Ken Sakati jatuh hati kepada Ki Jatiswara yang menolak secara halus; Pergi ketemu Seh Baka disuruh bertapa ditepi samudra, disuruh mengambil permata di dalam gua, setelah melalui sembilan pintu gua baru didapat permatanya; Pulan g ke negeri Campa, dijalan ketemu Ki Sejati adiknya yang tidak lain adalah Seh R agaresmi murid Seh Amomgraga; Adiknya diajak pulang ke Campa untuk merebut kemba li kerajaannnya yang dikuasai raja Prakolah; Akhirnya Jatiswara jadi raja dan Ki Sejati jadi patihnya di negara Campa.

Meninggalnya Ki Bayi Panurta dan istri: Tidak berapa lama kemudian Ki Bayi Panur ta jatuh sakit lagi; Seh Amograga dan istrinya sudah mengetahui bahwa saat wafat nya ayah bundanya sudah tidak lama lagi; Mereka berdua datang dan menyaksikan ke dua orang tuanya Ki Bayi Panurta dan Nji Makarsih meninggal dunia pada saat hamp ir bersamaan; Sepeninggal Ki Bayi Panirta, Jayengrresmi dan Jayengraga mengganti kan kedudukan ayahnya mengelola padepokan Wanamarta, Jayengresmi sebagai guru, J ayengraga mengatur tata-tertib desa.

Reinkranasinya Seh Amongraga dan istri: Seh Amograga dan istri berkeinginan menu runkan raja; Mereka bertemu Sultan Agung dalam pertapaannya di bukit Telamaya; S etelah berdebat demi hasratnya agar bisa menurunkan raja, Seh Amongraga dan istr

i diminta menjelma menjadi gendhon (lundi semacam ulat) dua ekor, lalu dibawa ke i stana Mataram; Sultan Agung memanggil Permaisurinya, Kanjeng Ratu Pandhansari (a

dik Sultan Agung) dan suaminya Pangeran Pekik (Bupati Surabaya), minta bumbung ( tabung bambu), bumbu dan anglo (alat memasak dengan arang). Lundi dikeluarkan da ri bumbung, diberi bumbu dan dimasak kemudian dimakan oleh mereka berempat; Perm aisuri kemudian hamil dan melahirkan seorang putra, Kanjeng Ratu Pandhansari mel ahirkan seorang putri, pada saat dewasa keduanya dinikahkan, putra Sultan Agung setelah dewasa menjadi Sultan Amangkurat I yang kurang bijaksana yang dikalahkan oleh pemberontakan Trunojoyo yang berakhir dengan kematiannya di Tegalarum jauh dari para leluhurnya, anaknya Adipati Anom lebih bijaksana yang pada akhirnya m enjadi raja dengan gelar Sunan Amangkurat II; Melalui proses reinkarnasi, Seh Am ograga dan istri ikut andil menurunkan raja-raja di Mataram (Wallahu Alam).

(11)

SERAT CENTHINI CATATAN PENUTUP

Serat Centhini secara keseluruhan terdiri dari 722 pupuh, 31.837 tembang (bait), 3.467 halaman pada 12 jilid buku ukuran 15cm X 21cm. Tembang yang dipergunakan adalah: Asmaradana 64 kali 3.117 tembang, Balabak 16 kali 676 tembang, Dhandhang gula (Sarkara) 73 kali 5.207 tembang, Dudukwuluh (Megatruh) 52 kali 1.929 temban g, Durma 17 kali 483 tembang, Gambuh 55 kali 975 tembang, Girisa 30 kali 897 tem bang, Jurudemung 42 kali 1.168 tembang, Kinanthi 65 kali 3.505 tembang, Lonthang 9 kali 470 tembang, Maskumambang 42 kali 1.704 tembang, Mijil 46 kali 2.563 tem bang, Pangkur 40 kali 1.469 tembang, Pucung 58 kali 2.388 tembang, Salasir 12 ka li 522 tembang, Sinom 64 kali 2.675 tembang, Wirangrong 37 kali 1.089 tembang. S erat Centhini mungkin karya sastra terpanjang yang pernah ditulis oleh umat manu

sia diseluruh dunia.

Secara keseluruhan, tidak ada kata lain bahwa memang Serat Centhini adalah suatu karya sastra Jawa yang luarbiasa, baik dari segi tatabahasa tembang Jawa yang i ndah maupun dari segi isinya yang terdiri dari rangkuman Budaya Jawa yang hidup pada abad ke-18, ilmu agama Islam maupun pengetahuan spirituil khas Jawa lainnya . Bisa merupakan sumber bahasan dari berbagai disiplin ilmu yang tidak akan ada habisnya.

Serat Centhini dibuka pada Jilid-1, Pupuh 1, Tembang 1 (Sinom): Sri narpadmaja s udigbya, talatahing tanah Jawi, Surakarta Adiningrat, agnya ring kang wadu carik , Sutrasna kang kinanthi, mangun reh cariteng dangu, sanggyaning kawruh Jawa, in gimpun tinrap kakawin, mrih kemba karaya dhangan kang miyarsa.

Artinya: Sang puTra mahkota, berwilayah tanah Jawa, Surakarta Adiningrat, memeri ntahkan jurutulis, Sutrasna yang dipercaya, mengumpulkan cerita lama, keseluruha n pengetahuan Jawa, digubah dalam bentuk tembang, agar mengenakkan dan menyenang kan yang mendengar.

Sedangkan penutupannya pada Jilid-12, Pupuh 708, Tembang ke 672 (Dandanggula): K adarpaning panggalih sang aji, kang jinumput wijanganing kata, tinaliti saturute , tetelane tinutur, titi tatas tataning gati, sakwehnung kang tinata, wus samya ingimpun, ala ayuning pakaryan, kawruh miwah ngelmuning kang lair bathin, winedh ar mring para muda.

Artinya: Didorong oleh keinginan Sang Raja, yang diambil makna kata-katanya, dit eliti urutannya, nasehat yang disampaikan, teliti tuntas teratur maksud tujuanny a, semua sudah diceritakan, semua sudah dikumpulkan, baik buruknya perbuatan, pe ngetahuan maupun ilmu lahir bathin, diuraikan buat para kawula muda.

Pupuh 722, Tembang ke 55 (Asmaradana): Titi tamat ingkang tulis, telas ingkang c inarita, Seh Mongraga lalakone, kongsi amadeg narendra, kendhang tekeng pralaya, kran Sunan Tegalarum, pisah sumarenira.

Artinya: Sudah tamat tulisannya, selesai ceritanya, riwayat Seh Amongraga, sampa i menjadi raja, terusir meninggalnya, diberi nama Sunan Tegalarum, terpisah maka mnya.

Dari tembang pembukaan dan penutup, maksud dan tujuan penulisan Serat Centhini a dalah untuk melestarikan Budaya atau Pengetahuan Jawa agar bisa jadi pelajaran b uat generasi muda. Tapi sungguh disayangkan generasi muda saat ini tidak banyak yang tertarik untuk membaca karya sastra adiluhung ini, justru para peneliti asi ng yang tertarik mempelajari Serat Centhini.

Serat Centhini juga mengandung hal-hal yang kontroversi dibandingkan nilai-nilai Budaya Jawa (Indonesia) yang berlaku saat ini, yaitu:

1. Kandungan cerita tentang seksualitas: Walaupun Serat Centhini bercerita tenta ng perjalanan para santri, dalam mengungkap masalah seksualitas (bisa dikatakan beraliran naturalis ) secara detil dan blak-blakan. Termasuk perilaku seks yang men yimpang yang memang hidup dalam masyarakat pada saat itu maupun ilmu yang berkai tan dengan seksualitas.

2. Persaingan antara Budaya Kraton dan Budaya Pesantren: Setelah Sunan Giri dija tuhkan oleh Sultan Agung, budaya kraton dan budaya pesantren mengalami perkemban gan yang terpisah.

Ulama Islam saat itu ada yang bersikap akomodatif terhadap kerajaan dengan menja di ulama dikalangan kraton. Ada juga yang mengambil sikap independen atau tidak mau tunduk dengan aturan kerajaan dengan mengembangkan budaya pesantren yang ter

(12)

tutup pada kalangan mereka sendiri tapi tidak menunjukkan perlawanan terhadap ke rajaan.

Serat Centini adalah cerita tentang para santri dari sudut pandang kerajaan (kra ton). Seh Amongraga dan istri, setelah susah payah menimba ilmu agama Islam dan mencapai kesempurnaannya, pada akhir cerita tertarik untuk menjadi raja.

Seolah-olah ingin mengatakan bahwa kekuasaan sebagai raja lebih bernilai dibandi ngkan dengan kesempurnaan ilmu agama. Kalau cerita ini hanya karangan maka makna sebenarnya dari penulisan Serat Centhin adalah ingin menegaskan dominasi keraja an terhadap para ulama agama Islam. Akhirnya para ulamapun pada titik kesempurna an agama masih tertarik pada kekuasaan untuk menjadi raja.

Refleksi ini masih tergambar pada masyarakat Indonesia saat ini yaitu sikap kete rtarikan para ulama (atau partai berhaluan Islam) untuk ikut partisipasi dalam k ekuasaan negara.

3. Penekanan pada ilmu tasauf: Penekanan ajaran agama Islam di Serat Centhini ad alah limu tasauf yaitu suatu sikap berserah diri secara total kepada kehendak Al lah SWT melalui tahapan pendalaman ilmu syariat, tarekat, hakekat, makrifat. Ini adalah ajaran agama Islam di Jawa berdasarkan warisan ajaran walisanga. Pengeta huan spriritual Jawa seperti Sastra Jendra Hadiningrat, sudah ada sejak sebelum kedatangan agama Islam. Ilmu tasauf dalam agama Islam menemukan kemiripan dengan pengetahuan sprituil Jawa yang sudah ada, oleh karena itu keduanya bertemu dala m sinkretisasi agama Islam di Jawa.

Hal ini adalah kontroversi dengan apa yang umumnya diajarkan oleh ulama agama Is lam di Indonesia saat ini yang sangat fokus pada ajaran syariat (bisa terhenti p ada rutinitas ceremonial) yang malahan berakibat merosotnya nilai-nilai moral ma syarakat pada umumnya.

Referensi

Dokumen terkait