• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dalam penyusunan buku pengembangan pembelajaran pendidikan Agama ini, kami terbantu dan banyak belajar dari modul eksposure yang dibuat oleh Saudara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Dalam penyusunan buku pengembangan pembelajaran pendidikan Agama ini, kami terbantu dan banyak belajar dari modul eksposure yang dibuat oleh Saudara"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

1

KATA PENGANTAR

Buku ini merupakan usaha pengembangan program pembelajaran Pendidikan Agama Katolik.Tentunya, masih terus berproses dan akan berkembang dalam perjalanannya.

Semangat dasar pengembangan pendidikan ini adalah pendidikan dengan belajar dari pengalaman. Mahasiswa diajak untuk berpartisipasi dalam proses refleksi tentang hidup beriman dalam pengalaman bersama orang lain. Perlu ditegaskan bahwa buku ini bukanlah buku teoritis apalagi teologis dogmatis. Buku ini adalah pegangan praktis tentang bagaimana membantu orang lain untuk mengalami iman dalam konteks. Maka, (seperti telah diungkapkan) buku ini bersifat ‘sementara’. Artinya, dari pengalaman proses pengalaman pembelajaran, banyak hal akan muncul dan akan mempengaruhi pembaharuan buku ini: ungkapan, variasi pengalaman, kesulitan assesmen atau analisa dan refleksi, rumusan iman dan pilihan iman (opsi).

(2)

2

Dalam penyusunan buku pengembangan pembelajaran pendidikan Agama ini, kami terbantu dan banyak belajar dari modul eksposure yang dibuat oleh Saudara Cosmas Lili Alika, S. Pd., M. Hum., Lic. Th dan berbagai perjumpaan dengan rekan-rekan dosen Agama Katolik di lingkungan Unpar, terkhusus Lembaga Kajian Humaniora. Untuk semua itu dan kepada semua pihak, kami ucapkan terima kasih.

Akhirnya, kami menyadari banyak hal yang masih harus diperhatikan. Oleh karena itu, buku Pengembangan ini terbuka untuk kritik dan saran konstruktif demi pengembangan pendidikan Agama Katolik di pendidikan tinggi.

(3)

3 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI PENDAHULUAN

BAGIAN I: DASAR-DASAR PEMAHAMAN

BAB I.Wahyu-Iman: Geraj Dialogis Allah-Manusia Bab II.Iman dan Agama

Bab III.Kitab Suci dan Tradisi Suci

BAGIAN II. DASAR-DASAR EKSPOSURE Bab IV. Mengenal Lingkaran Pastoral Bab V. Metode Observasi,

(4)

4 PENDAHULUAN

a. Pengantar: Buku ini adalah buku kerja atau buku

pegangan.

Sebagaimana dimaksudkan, bagian ini berisi tentang petunjuk praktis dan hal-hal penting yang harus dipahami sebelum menjalankan kegiatan eksposure sebagai media pembelajaran. Karena sifat praktis ini, maka paparan berikut lebih banyak menjawab pertanyaan: apa yang harus saya lakukan, dan bukan mengapa saya melakukan ini atau itu. Karena kepraktisannya, semua peserta didik diharapkan mencermatinya dan memahami.

b. Metode Pendidikan bottom-up dan

pengalaman-teori.

Pemahaman pertama yang harus dipunyai semua peserta didik adalah metode pendidikan. Supaya memudahkan pemahaman, kita sebut saja ‘metode lama’ dan metode baru.

Pertama, metode lama. Sangat umum dan sudah

(5)

5

dapat disebut sebagai ‘pendidikan’) adalah bahwa pendamping (entah guru atau dosen) dan peserta didik (siswa atau mahasiswa) bertemu di suatu tempat (biasanya, kelas); pendamping memberikan bahan atau materi, dan peserta didik mendengarkan-memahami-mengerti; jika dianggap perlu, sessi tanya-jawab akan dibuka. Dalam proses ini, peran aktif sepenuhnya ada di pihak pendamping. Lebih dari itu, pendamping menjadi faktor penentu apakah proses pendidikan bisa berjalan atau tidak. Hal ini tampak saat pendamping tidak bisa datang dan peserta didik ‘berkreativitas sendiri tanpa arah’.

Dari sisi lain, peserta didik menjadi pihak pasif. Dalam kepasifan itu, tersirat pesan bahwa ‘proses pendidikan bukanlah urusanku’. Karena pola lama ini juga, peserta didik hanya menunggu ‘kapan masuk, kapan keluar kelas, kapan ujian, dan kapan lulus’. Materi pun dilihat hanya sebagai paparan teori yang dalam kenyataannya pasti berbeda (kalau tidak bisa dikatakan tidak berlaku). Sementara itu, tentang tanggungjawab, kita bisa lihat bahwa walaupun tidak bisa dikatakan nol, hanya sedikit sekali peserta didik

(6)

6

yang sadar bahwa pendidikan (pinter atau tidaknya si aku) pertama-tama adalah urusanku dan tanggungjawabku.

Kedua, metode baru. Supaya jernih, kata ‘baru’

dan ‘lama’ hanyalah sebuah penamaan sebagaimana urutannya saja. Tidak ada makna yang menyangkut isi metode. ‘Metode baru’ dan ‘metode lama’ di sini sama dengan ‘metode satu’ dan ‘metode ‘dua’. Dengan penjernihan ini, kita bisa melihat bahwa metode baru ini adalah metode lama. Supaya jelas, mari kita lihat perjalanan pendidikan.

Sebelum didirikannya sekolah dengan sistem kelas (versi Indonesia), pendidikan dimulai di alam terbuka. Mereka (peserta didik) adalah para pencari kebenaran yang ingin memenuhi rasa ingin tahu-nya. Mereka mencari guru (orang yang bijaksana) dan menjadikannya sang guru. Aktivitas terbesarnya adalah diskusi dan berdialog. Topik diskusi dan dialog pun relevan dengan kehidupan zamannya. Mereka melihat, berpikir kritis, mempertanyakan, dan mencari jawab. Guru menjadi teman pencarian, moderator diskusi, bidan yang melahirkan

(7)

gagasan-7

gagasan (menurut Sokrates). Misalnya, Sokrates

melakukan pendidikannya dengan berdiskusi dan berdialog sampai para muridnya melahirkan sendiri

kebenaran yang dicarinya.

Model a la Sokrates inilah yang dikatakan sebagai metode baru. Peserta didik aktif, mencari, kritis, mempertanyakan, dan menemukan jawabannya. Peserta didik menjadi pusat aktivitas dan perhatian. Sementara itu, pendamping tetap memainkan peran sebagai moderator dalam segala aktivitas. Dalam beberapa kesempatan, materi tetap diberikan sebagai bahan diskusi, dan arah pendampingan tetap ditentukan secara tegas dan jelas. Pendidikan agama selayaknya ditempatkan dalam wilayah pencarian nilai dan metodologi ini.

Dalam konteks ini, eksposure harus dipahami. Sebagai metode pendidikan, eksposure mengangkat dua hal sekaligus: 1) aktivitas peserta didik sebagai pusat proses (buttom-up), dan 2) pengalaman sebagai

sarana pembelajaran.Yang perlu dan penting untuk

(8)

8

dipenuhi atau dicapai oleh mahasiswa sebagai individu dan kelompok.

c. Eksposure: Metode Pendidikan.

Buku ini dibagi dalam dua skema besar, yaitu Dasar-dasar Pemahaman dan dasar-dasar Eksposure. Dalam dasar-dasar pemahaman, kita akan melihat berbagai telaah teologis, yang kiranya harus dipahami sebagai bekal konseptual dalam (nantinya) melaksanakan eksposure. Sementara, dalam dasar-dasar eksposure, kita akan melihat observasi partisipatif sebagai metode eksposure, lingkaran pastoral, dan teknis eksposure.

(9)
(10)

10

BAGIAN I DASAR-DASAR PEMAHAMAN

(11)
(12)

12 BAB I.

WAHYU-IMAN: Gerak Dialogis Allah-Manusia (tematik eksposure 1)

1. Wahyu, Allah menyapa

WAHYU adalah sapaan Allah dalam hidup

manusia. “Allah mewahyukan diri kepada manusia

sebagai ‘Keputusannya yang berbelas kasih”. DV 2 (Dei Verbum no. 2) menyatakan “Dalam kebaikan dan

kebijaksanaan-Nya, Allah berkenan mewahyukan diri-Nya dan memaklumkan rahasia kehendak-diri-Nya....”.

Dengan demikian, sangat jelas bahwa dalam Gereja Katolik, Wahyu dipahami sebagai gerakan atau tindakan aktif dari Allah yang mendahului manusia dengan sapaan yang berbelas kasih. Allah-lah yang pertama mendatangi manusia dan me-Wahyu-kan diri-Nya sendiri.

Sementara itu, IMAN adalah tanggapan manusia

atas sapaan Allah dalam wahyunya.Inilah gerak

dialogis. Wahyu sebagai inisiatif pribadi Allah kepada manusia dilanjutkan dengan Iman sebagai tanggapan

(13)

13

pribadi manusia kepada Allah. Dalam gerak dialogis relasi Allah dan manusia ini, yang harus kita ingat adalah bahwa inisiatif dan aktornya adalah Allah. Artinya, Allah yang menyapa terlebih dahulu dan Allah pulalah yang memampukan manusia untuk menanggapi sapaan-Nya. Allah ‘yang bersemayam dalam terang yang tak terhampiri’ (1 Tim 6: 1-6) hendak menyampaikan kepada manusia, yang Ia ciptakan dalam kebebasan, kehidupan ilahi-Nya sendiri, supaya melalui Putra-Nya yang tunggal Ia

mengangkat mereka menjadi anak-anak-Nya (Bdk.

Konsili Vat: DS 3015, Ef 1: -45). Dengan demikian,

‘....berkat rahasia itu, manusia dapat menghadap Bapa melalui Kristus, Sabda yang menjadi daging, dalam Roh Kudus, dan ikut serta dalam kodrat ilahi’ (DV. 2).

Pewahyuan Allah terjadi dalam tahapan. 1) Allah membiarkan diri dikenal sejak awal mula. Silahkan dilihat dalam Rm 1: 19-20. Allah, yang menciptakan

segala sesuatu melalui Sabda-Nya serta melestarikannya dalam makhluk-makhluk, senantiasa memberikan kesaksian tentang diriNya kepada manusia. DV 3 menegaskan: karena Ia bermaksud

(14)

14

membuka jalan menuju keselamatan di surga, Ia sejak awal mula telah menampakkan Diri kepada manusia pertama.

2) Allah mengadakan perjanjian dengan Nuh. Dalam perjanjian dengan Nuh sesudah air bah, kehendak keselamatan ilahi dinyatakan kepada ‘bangsa-bangsa”; artinya, kepada manusia, yang tinggal di ‘negerinya masing-masing dan mempunyai bahasa serta suku-sukunya sendiri’ (Kej 10: 5).

3) Allah memilih Abraham. Supaya mengumpulkan kembali umatnya, Allah menunjuk Abraham sebagai bapa para bangsa.

4) Allah membentuk bangsa Israel Bagi Dirinya. Tuhan menjadikan bangsa Israel, membebaskan dari perbudakan Mesir, mengadakan perjanjian Sinai, memberi hukum-Nya lewat Musa, supaya teguh iman bahwa Allah adalah satu dan penyelamat.

5) Yesus sebagai perantara dan pemenuhan seluruh Wahyu Allah. Dalam diri Yesus, Allah secara utuh dan penuh mewahyukan diri-Nya dengan senyatanya. Dalam diri Yesus pula, manusia

(15)

15

dimampukan untuk menjawab pewahyuan Allah sebagai jawaban Ya atas tawaran keselamatan Allah bagi manusia.

(16)

16 BAB II. IMAN dan AGAMA

1. Relasi Allah dan Manusia secara personal

Kita akan melihat arti agama dan iman. Selenjutnya, kita akan mendudukan agama dan iman dalam relasional. Semoga penjelasan ini memberi bekal pemahaman yang jelas.

Agama adalah institusi atau sistem sosial yang meng-organisasi-kan orang-orang atau pribadi-pribadi yang mempunyai kepercayaan tertentu. Agama sebagai institusi atau sistem sosial memuat berbagai unsur atau bagian, antara lain: sistem kepercayaan, sistem organisasional, sistem keanggotaan dan struktur, sistem kegiatan. Bagi anggota-anggotanya, agama menjadi sisi outside (sisi luaran) diri. Artinya, agama sangat berkaitan erat dengan ‘aku berhubungan dengan orang lain’.

Pendirian atas kelembagaan agama mempunyai tujuan ‘pemeliharaan nilai-nilai religius’. Artinya,

(17)

17

agama ada dan didirikan, bertahan dan berkembang demi tujuan pengembangan iman umatnya. Sebaliknya, iman atau kepercayaan atau nilai-nilai hidup dipelihara dan dikembang-tumbuhkan dalam lembaga atau institusi atau sistem sosial yang bernama Agama.

Sementara itu, iman adalah nilai-nilai hidup yang dipercayaai berguna dan baik sehingga pantas diperjuangkan atau dihidupi oleh pribadi yang mempercayainya. Iman mengajarkan nilai, tujuan, hakekat dari hidup. Boleh dibilang, iman adalah sisi

inside (sisi dalam) diri. Artinya, iman sangat berkaitan

erat dengan ‘aku berhubungan dengan diriku dan

tuhan’. Adanya iman memungkinkan orang untuk

melihat dan membangun nilai pribadi yang dihayati secara pribadi dan kelompok.

Bagaimana keduanya dihubungkan? Di atas, sudah dijelaskan bahwa agama ada untuk pengembangan iman atau bahwa iman berkembang dalam agama. Secara ekstrim-positif, seharusnya agama mengembangkan iman seseorang. Atau, iman

(18)

18

seseorang bertumbuh dalam lembaga keagamaan. Akan tetapi, kita tidak bisa menutup mata sisi ekstrim-negatif dari keduanya. Sisi ekstrim-ekstrim-negatif itu adalah bahwa orang bisa mempunyai iman ‘A’ tetapi mempunyai agama ‘B’. Ada banyak faktor penyebab atau pendukung dari ‘situasi-pecah’ tersebut. Salah satunya adalah pemaksaan dalam konteks perkawinan. Tetapi, lepas dari sisi-negatif, kita pantas menengok agama sebagai salah satu pengembangan iman.

2. Dua Dimensi Agama: Sosial dan Ilahi.

Telah dibahas bahwa agama merupakan institusi sosial, dimana anggota masyarakat berkumpul sesuai dengan keyakinan religiusnya. Di dalam agama, satu anggota berhubungan dengan anggota lain. Iman yang diyakini dan dirayakan pun merupakan iman seluruh umat beragama. Tata cara perayaan dan kegiatan agama pun semata-mata demi para anggota. Singkatnya, agama mempunyai (1) dimensi sosial.

(19)

19

Sejalan dengan dimensi sosial-internal, agama bersentuhan dengan dunia. Yang dimaksud dengan dunia di sini adalah kenyataan seluruh umat manusia beserta alam semesta.1 Jika dunia diartikan sebagai keseluruhan kenyataan alam semesta, maka agama mempunyai dimensi sosial-eksternal, yaitu kenyataan manusiawi dan duniawi. Konsekuensi dari dimensi sosial-eksternal ini sangat jelas dan tegas, yaitu bahwa agama tidak bisa diam dalam dan sebagai wilayah mandiri yang lepas dari kenyataan hidup di dunia.

Dimensi kedua adalah dimensi internal. Agama didirikan untuk menjaga kelestarian ajaran dan demi pemeliharaan anggota dan pengikut. Agama menghantar anggotanya kepada pengalaman akan Allah. Atau, agama menghantar umatnya kepada Allah yang adikodrati.

Dari ulasan di atas, kita bisa menempatkan agama sebagai institusi dengan dua dimensi. Agama bersifat ilahi tetapi juga tidak bisa terasing dari kenyataan hidup. Urusan agama yang religious pun tidak bisa dilepaskan dari kenyataan sosial.

(20)

20

3. Dua Dimensi Iman: Imanen dan Transenden Jikalau agama mempunyai dimensi iman, kita juga bias melihat dan memahami iman dalam dua dimensi. Banawiratma menempatkan iman sebagai istilah teologis yang berkaitan dengan apa yang oleh orang beriman disebut juga pengalaman iman. Pengalaman iman ini merupakan tanggapan manusia atas sapaan atau panggilan Allah Yang Maha Kuasa.

Dalam teologi, dinyatakan bahwa karena belas kasih dan cinta-Nya, Allah terlebih dahulu telah menyapa manusia. Demikian pula, manusia diharapkan membalas sapaan Allah (Iman). Jelas, iman bukan masalah tindakan manusia lepas dari yang lain. Sebaliknya, iman adalah urusan relasional dan komunikasi, yaitu antara Allah dan manusia. Inilah dimensi transenden dari iman.Manusia beriman berarti manusia menanggapi, menjawab, meng’iya’kan sapaan Allah, dan menyerahkan hidupnya kepada-Nya. Sikap iman berarti sikap ‘iya’

(21)

21

dan ‘setuju’ atas pewahyuan Allah dalam diri Yesus Kristus.

Allah yang mewahyukan diri adalah Allah yang hadir dalam diri Yesus Kristus, rela hidup sebagai manusia, tinggal, menderita, dan wafat sebagai penjahat. Pewahyuan dan histori ini menjelaskan dan menegaskan bahwa Allah adalah pribadi yang dekat, Allah yang beserta kita. Beriman kepada Allah berarti sikap penyerahan diri kepada Dia yang begitu dekat dan ada di sekitar kita. Dimensi vertical (transcendental) bersatu dengan dimensi horizontal (imanen). Demikian pula, iman-personal bersinggungan dengan iman-sosial. Doa berkorelasi dengan tindakan.

Dengan tegas dan jelas, Yesus menyatakan isyarat tersebut: barang siapa melakukan kebaikan kepada sesama, hal itu dilakukan juga untuk Yesus. Sabda senada juga diungkapkan: memberi makan kepada kaum miskin, menjenguk tawanan di penjara, dan sebagainya.

(22)

22 BAB III.

KITAB SUCI & TRADISI SUCI (tematik eksposure 2)

Gereja Katolik Roma menghargai warisan iman rasuli dalam dua bentuknya, yaitu Kitab Suci yang sekian abad lalu telah ditetapkan oleh Gereja dan Tradisi Suci yang juga dilestarikan dan dihidupi dalam Gereja. Bagaimana hal ini bisa terjadi?

Kehidupan Yesus Kristus hanya berlangsung kurang lebih 33 tahun. Dalam waktu itu, banyak peristiwa terjadi dan saksi atas peristiwa itu adalah para rasul. Dalam 1 Tim 2: 4, jelas dinyatakan bahwa Allah ‘menghendaki supaya semua orang idselamatkan dan memperoleh pengetahuan akankebenaran. Artinya supaya semua orang mengenal Yesus Kristus. Karena itu Kristus harus diwartakan kepada semua bangsa dan manusia dan wahyu mesti sampai ke batas-batas dunia (Katekismus. P. 30). Dei Verbum 7 menjelaskan bahwa ‘Dalam kebaikan-Nya, Allah telah menetapkan, bahwa

(23)

23

apa yang diwahyukan-Nya demi keselamatan semua bangsa, harus tetap utuh untuk selamanya dan diteruskan kepada segala keterunan’.

Nah, sesuai dengan amanat tersebut, Terjadilah pengalihan injil dengan dua cara. Yang pertama,

secara lisan ‘oleh para Rasul, yang dalam perwartaan

lisan, dengan teladan serta penetapan-penetapan meneruskan entah apa yang mereka terima dari mulut, pergaulan, dan karya Kristus sendiri, entah apa yang atas dorongan Roh Kudus telah mereka pelajari’; dan, secara tertulis ‘ oleh para Rasul dan tokoh-tokoh rasuli, yang atas ilham Roh Kudus itu juga telah membukukan amanat keselamatan (DV. 7).

Penulisan amanat keselamatan disebut Kitab Suci. Dan, penerusan amanat dalam bentuk menghidupi dan menghayati dalam hidup keseharian dinamakan dengan Tradisi, yang walaupun berbeda

dengan Kitab Suci, namun sangat erat berhubungan dengannya(DV. 7). Demikianlah,dalam ajaran, hidup

serta ibadatnya,Gereja melestarikan serta meneruskan kepada semuaketurunan dirinya

(24)

24

seluruhnya, imannya seutuhnya. Ungkapan-ungkapan para BapaSuci memberi kesaksian akan kehadiran tradisi itu yang menghidupkan dan yang kekayaannya meresapi praktik serta kehidupan Gereja yang beriman dan berdoa(DV8).

Bagaimana hubungan TRADISI dan KITAB SUCI? ‘Tradisi Suci dan Kitab suci berhubugnan erat sekali dan terpadu. Sebab, keduanya mengalir dari sumber ilahi yang sama, dan dengan cara tertetenut bergabung menjadi satu dan menjurus ke arah tujuan yang sama’. Kedua-duanya menghadirkan dan mendayagunakan misteri Kristus di dalam Gereja,yang menjanjikan akan tinggal bersama orang-orang-Nya sampai akhir Zaman.

Dua Cara yang berbeda dalam mengalihkannya. Kitab Suci adalah pembicaraaan Allah sejauh itu

termaktub dengan ilham Roh ilahi. Oleh Tradisi Suci, Sabda Allah yang oleh Kristus Tuhan dan Roh Kudus dipercayakan kepada para Rasul, disalurkan seutuhnya kepada para pengganti mereka supaya mereka ini dalam terang Roh kebenaran dengan

(25)

25

pewartaan mereka memelihara, menjelaskan dan menyearkannya dengan setia (DV.9).

Dengan Demikian, maka Gereja, yang dipercayakan untuk meneruskan dan menjelaskan Wahyu, menimba kepastiannya tentang segala sesuatu yang diwahyukan bukan hanya melalui Kitab Suci, tetapi juga Tradisi Suci. Maka, keduanya (Tradisi Suci dan Kitab Suci) harus diterima dan dihormati dengan caita rasa kesalehan dan hormat yang sama.

Catatan:

1. Tradisi yang kita bicarakan di sini, berasal dari para rasul, yang meneruskan apa yang mereka ambil dari ajaran dan contoh Yesus dan yang mereka dengar dari Roh Kudus. Generasi Kristen yang pertama ini belum mempunyai perjanjian Baru yang tertulis, dan perjanjian baru ini pun sebenarnya memeberi kesaksian tentang proses tradisi yang hidup itu.

2. Tradisi-tradisi teologis, disipliner, liturgis, atau religius yang dalam perjalanan waktu terjadi di gereja setempat, bersifat lain. (Jadi, tidak termasuk dalam tradisi yang kita bicarakan). Tradisi lokal ini

(26)

26

merupakan ungkapan Tradisi Suci yang disesuaikan dengan tempat dan zaman yang berbeda-beda. Dalam terang Tradisi Suci (utama) dan di bawah bimbingan Wewenang Mengajar Gereja, tradisi lokal itu dapat dipertahankan, diubah, atau dihapus.

(27)

27

BAGIAN II DASAR-DASAR EKSPOSURE

(28)
(29)

29 BAB IV.

MENGENAL METODE SOSIAL

a. Pengantar: Buku ini adalah buku kerja atau buku

pegangan.

Sebagaimana dimaksudkan, bagian ini berisi tentang petunjuk praktis dan hal-hal penting yang harus dipahami sebelum menjalankan kegiatan eksposure sebagai media pembelajaran. Karena sifat praktis ini, maka paparan berikut lebih banyak menjawab pertanyaan: apa yang harus saya lakukan, dan bukan mengapa saya melakukan ini atau itu. Karena kepraktisannya, semua peserta didik diharapkan mencermatinya dan memahami.

b. Metode Pendidikan bottom-up dan

pengalaman-teori.

Pemahaman pertama yang harus dipunyai semua peserta didik adalah metode pendidikan. Supaya memudahkan pemahaman, kita sebut saja ‘metode lama’ dan metode baru.

(30)

30

Pertama, metode lama. Sangat umum dan sudah

biasa (bahkan menjadi kewajiban supaya suatu proses dapat disebut sebagai ‘pendidikan’) adalah bahwa pendamping (entah guru atau dosen) dan peserta didik (siswa atau mahasiswa) bertemu di suatu tempat (biasanya, kelas); pendamping memberikan bahan atau materi, dan peserta didik mendengarkan-memahami-mengerti; jika dianggap perlu, sessi tanya-jawab akan dibuka. Dalam proses ini, peran aktif sepenuhnya ada di pihak pendamping. Lebih dari itu, pendamping menjadi faktor penentu apakah proses pendidikan bisa berjalan atau tidak. Hal ini tampak saat pendamping tidak bisa datang dan peserta didik ‘berkreativitas sendiri tanpa arah’.

Dari sisi lain, peserta didik menjadi pihak pasif. Dalam kepasifan itu, tersirat pesan bahwa ‘proses pendidikan bukanlah urusanku’. Karena pola lama ini juga, peserta didik hanya menunggu ‘kapan masuk, kapan keluar kelas, kapan ujian, dan kapan lulus’. Materi pun dilihat hanya sebagai paparan teori yang dalam kenyataannya pasti berbeda (kalau tidak bisa dikatakan tidak berlaku). Sementara itu, tentang

(31)

31

tanggungjawab, kita bisa lihat bahwa walaupun tidak bisa dikatakan nol, hanya sedikit sekali peserta didik yang sadar bahwa pendidikan (pinter atau tidaknya si aku) pertama-tama adalah urusanku dan tanggungjawabku.

Kedua, metode baru. Supaya jernih, kata ‘baru’

dan ‘lama’ hanyalah sebuah penamaan sebagaimana urutannya saja. Tidak ada makna yang menyangkut isi metode. ‘Metode baru’ dan ‘metode lama’ di sini sama dengan ‘metode satu’ dan ‘metode ‘dua’. Dengan penjernihan ini, kita bisa melihat bahwa metode baru ini adalah metode lama. Supaya jelas, mari kita lihat perjalanan pendidikan.

Sebelum didirikannya sekolah dengan sistem kelas (versi Indonesia), pendidikan dimulai di alam terbuka. Mereka (peserta didik) adalah para pencari kebenaran yang ingin memenuhi rasa ingin tahu-nya. Mereka mencari guru (orang yang bijaksana) dan menjadikannya sang guru. Aktivitas terbesarnya adalah diskusidan berdialog. Topik diskusi dan dialog pun relevan dengan kehidupan zamannya. Mereka melihat, berpikir kritis, mempertanyakan, dan

(32)

32

mencari jawab. Guru menjadi teman pencarian, moderator diskusi, bidan yang melahirkan

gagasan-gagasan (menurut Sokrates). Misalnya, Sokrates

melakukan pendidikannya dengan berdiskusi dan berdialog sampai para muridnya melahirkan sendiri

kebenaran yang dicarinya.

Model a la Sokratesinilah yang dikatakan sebagai metode baru. Peserta didik aktif, mencari, kritis, mempertanyakan, dan menemukan jawabannya. Peserta didik menjadi pusat aktivitas dan perhatian. Sementara itu, pendamping tetap memainkan peran sebagai moderator dalam segala aktivitas. Dalam beberapa kesempatan, materi tetap diberikan sebagai bahan diskusi, dan arah pendampingan tetap ditentukan secara tegas dan jelas. Pendidikan agama selayaknya ditempatkan dalam wilayah pencarian nilai dan metodologi ini.

Dalam konteks ini, eksposure harus dipahami. Sebagai metode pendidikan, eksposure mengangkat dua hal sekaligus: 1) aktivitas peserta didik sebagai pusat proses (buttom-up), dan 2) pengalaman sebagai

(33)

33

ditetapkan di awal adalah apa saja yang harus

dipenuhi atau dicapai oleh mahasiswa sebagai individu dan kelompok.

c. Lingkaran Dinamika Eksposure

Eksposure memulaikan aktivitasnya dengan memakai berawal dari pengalaman (yaitu: apa yang sedang terjadi atau dialami).

1. OBSERVASI 2. ANALISA 3. REFLEKSI 4. PERUMUSAN DAN AKSI

(34)

34

Langkah pertama, Observasi.

Refleksi dan penghayatan iman tidak berada di menara gading. Ia tidak stiril terhadap pahit getirnya kehidupan. Oleh karena itu, tindakan ‘turun gunung’ harus dilakukan supaya iman menjadi nyata. Dalam kerangka inilah, eksposure diawali dengan observasi. Observasi di sini adalah tindakan “keluar”, mengalami dan merasakan pengalaman atau situasi tertentu. Dalam kerangka gerak ‘keluar’ ini, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dan dipersiapkan sebelumnya.

1. Metode Partisipative observation (Observasi Partisipatif).

Dalam eksposure, kita akan menggunakan metode sosial observasi partisipatif. Secara sederhana, observasi partisipatif adalah metode penelitian ilmiah dengan cara hadir dan merasakan konteks yang diteliti. Di dalamnya, terjadi wawancara informal (wawancara ‘ngobrol warung kopi’), pengumpulan data statistic, dan

(35)

35

pengamatan langsung oleh peneliti. Sebagai gambaran, observasi partisipatif dapat dilakukan dengan cara: Tinggal bersama, Wawancara, Kunjungan, Pengamatan langsung, Informasi Instansi.

Dalam metode ini, seluruh panca indra digunakan secara optimal (mata untuk mengamati, telinga untuk mendengar, rasa untuk merasakan panas atau penat, dsb). Setelah dirasa menemukan data-data (sesederhana atau sekecil apapun), peneliti harus mengingat dengan cara menulisnya dalam catatan-pribadi atau catatan harian. Selain catatan, peneliti bisa memanfaatkan alat modern (smartphone, misalnya) untuk menghasilkan data berupa: audio, visual, atau audio-visual. Dengan data-data tersebut, peneliti akan melakukan analisa.

2. Analisa Fakta dan Penilian

Dalam pengalaman observasi, peserta sering kali melihat pengalaman dengan cara umum atau sekilas pandang. Dalam eksposure kali ini, peserta

(36)

36

hendaknya membedakan fakta dan penilaian, atau fakta dan asumsi. Hal ini penting untuk membedakan manakah kenyataan dan manakah penafsiran. Untuk itu, diperlukan latihan atau pembiasaan untuk membedakan fakta dan asumsi.

3. Mental Block

Bicara tentang orang lain atau kelompok sosial tertentu, kita sudah mempunyai aneka pengetahuan, cara berpikir, atau paradigm tertentu tentangnya. Contoh pertama adalah pandangan terhadap kemiskinan para pemulung. Dalam kepala kita, sudah terpatri bahwa pemulung mempunyai hidup sengsara, melarat, dan miskin. Mereka mempunyai penghasilan kecil dari sumber penghasilan yang kotor dan dihindari oleh anggota masyarakat. Contoh lainnya adalah pandangan kita tentang pengemis. Seorang pengemis terpaksa mengemis karena tidak mempunyai kesempatan kerja. Mereka miskin dan berkekurangan, rentan terhadap kekerasan, dan berpendapatan kecil.

(37)

37

Dua contoh di atas adalah pikiran dan pengetahuan kita. Dalam pengalaman observasi, bisa jadi, peserta menemukan bahwa seorang pengemis bisa mendapatkan 100 ribu sehari. Dalam 2-3 jam, seorang pemulung di TPA (Tempat Pembuangan Akhir) mampu mendapatkan hasil 30-50 ribu.

Langkah kedua, Analisa Sosial.

Langkah analisa sosial ini mengandalkan kemampuan yang merupakan andil dari ilmu-sosial. Eksposure (pelaku eksposure) mengkaji, menelaah, dan mengadakan analisa atas kenyataan. Demikianlah, refleksi iman membutuhkan kerja sama dengan ilmu-ilmu profan (ilmu sosial). Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana refleksi iman bekerja sama dengan ilmu profan?

Pokok pemikiran yang harus disadari bersama adalah (1) dalam ber-refleksi iman, kita membutuhkan pemahaman komprehensif atas pengalaman hidup (kenyataan sosial) dan hal itu

(38)

38

dibantu oleh ilmu sosial. Ilmu sosial diharapkan mampu membuat gambaran dan analisa se-objektif mungkin. (2) Situasi sosial-objektif haruslah didekati olehlintas disiplin ilmu. Situasi yang semakin komplek pun membutuhkan kerjasama-intensif dengan ilmu-ilmu sosial. Dan, (3) refleksi iman membutuhkan standart pelayanan. Untuk melakukan refleksi iman, kita mengandalkan ilmu sosial supaya mendapat lukisan situasi seobjektif mungkin. (4) Bagi pelayanan sosial, dimensi refleksi iman menjadikan tindakan tersebut sebagai ungkapan iman. (5) Telaah atau analisa sosial menyajikan premis-premis nilai (entah disadari atau tidak). Premis nilai itu perlulah diungkapkan untuk bias didiskusikan sehingga kajian yang dihasilkan bisa dipertanggung-jawabkan dengan baik.

Langkah ketiga, Refleksi Iman.

Tentunya, analisa sosial menghasilkan hipotesa-hipotesa. Hipotesa sosial tersebut tidak boleh berhenti pada tataran humanis semata. Sebaliknya,

(39)

39

hipotesa sosial didalami dalam refleksi iman sehingga kenyataan hidup tidak sekedar pengalaman manusiawi semata-mata. Kenyataan hidup dihayati menjadi medan pergulatan iman kristiani. Dalam kenyataan hidup, iman kristiani ditantang untuk bersuara dan bertindak.

Secara konkret, hipotesa sosial dan nilai sosial tersebut dibenturkan dengan nilai-nilai iman yang dihayati dan diperjuangkan oleh kaum beriman, yaitu Injil Yesus Kristus, Magisterium (Ajaran resmi Gereja), serta Tradisi Suci. Hanya dengan itu, sebagai kaum beriman, kita berusaha menjawab dan mewujud-nyatakan iman kita dalam dinamika hidup manusia. Dengan begitu, injil bukanlah sebuah tumpukan kertas dalam sebuah buku. Injil merupakan seruan sekaligus tuntutan bagi kaum beriman untuk mewujudkan imannya, yaitu hadirnya Kerajan Allah.

Langkah keempat, Perumusan Aksi.

Analisa sosial dan Refleksi iman bermuara pada perumusan aksi. Perumusan aksi di sini harus

(40)

40

diperjelas supaya tidak terkesan gerakan sosial. Peserta eksposure diminta untuk membuat kesimpulan, merumuskan opsi atau pilihan penilaian atas situasi, analisa, dan refleksi imannya. Sangat dimungkinkan bahwa saat perumusan opsi, peserta eksposure membuat niat dan rencana aksi sebagai tindak lanjut dari penilaian dan pilihan yang dilakukan.

(41)
(42)

42 BAB V

METODE OBSERVASI2

BEBERAPA CATATAN PENDASARAN EKSPOSURE

1. Pengantar

Dalam ulasan berikut ini, eksposure akan disejajarkan dengan kegiatan penelitian sosial dan pelaku eksposure dianggap sebagai peneliti. Dalam kontes ini, beberapa hal yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut:

1. Peranan Peneliti dalam membentuk pengetahuan. Dalam proses pembentukan pengetahuan, peneliti merupakan figur utama yang mempengaruhi dan membentuk pengetahuan. Peran ini dilakukan melalui proses pengumpulan, pemilihan dan interpretasi data. Jadi, sangatlah tidak mungkin untuk melakukan penelitian, jika penelitian tidak terjun langsung pada obyek yang diteliti.

(43)

43

Konsekuensinya, peneliti harus terlibat secara langsung dalam setiap tahap kegiatan penelitian dan harus berada langsung dalam setting penelitian yang dipilih.

2. Arti penting hubungan peneliti dengan pihak lain. Penelitian kualitatif merupakan proses yang

melibatkan peserta (yang diteliti), peneliti dan pembaca serta relationship yang mereka bangun. Jadi, peneliti dipengaruhi oleh lingkungan sosial, historis dan kultural dimana riset dilakukan.

Konsekuensinya, ketika melakukan penelitian, peneliti harus mampu membangun hubungan yang baik dengan obyek penelitian dan mampu menyajikan hasil penelitian sehingga pembaca dapat mengikuti dengan jelas alur pemikiran peneliti dalam membangun suatu pengetahuan.

3. Penelitian bersifat inductive, exploratory dan Hypothesis‐Generatin. Penelitian kualitatif selalu

didasarkan pada fenomena yang menarik dan dimulai dengan pertanyaan terbuka (open question); bukan dimulai dengan hipotesis yang akan diuji

(44)

44

kebenarannya. Jadi, penelitian bertujuan menginvestigasi dan memahami social world bukannya memprediksi perilaku. Penelitian dilakukan secara induktif dan exploratif dengan melihat apa yang terjadi, mengapa terjadi, dan bagaimana terjadinya sehingga diharapkan dapat menghasilkan hipotesis baru.

4. Peranan Makna (Meaning) dan Interpretasi.

Penelitian kualitatif difokuskan pada bagaimana individu memahami dunianya dan bagaimana mereka mengalami peristiwa tertentu. Jadi, penelitian ini berusaha menginterpretasikan fenomena dari kacamata pelaku berdasarkan pada interpretasi mereka terhadap fenomena tersebut.

5. Temuan sangat kompleks, rinci, dan komprehensif. Penelitian kualitatif didasarkan pada

deskripsi yang jelas dan detail, karena mejawab pertanyaan apa, mengapa dan bagaimana. Oleh karena itu, penyajian atas temuan sangatlah kompleks, rinci dan komprehensif sesuai dangan fenomena yang terjadi pada setting penelitian.

(45)

45 2. Pengertian Observasi

Observasi adalah metode pengumpulan data

melalui pengamatan langsung terhadap suatu subjek (lokasi, situasi, masyarakat, kelompok, dll), dalam suatu periode tertentu (catt: waktu harus ditentukan dengan jelas supaya ada batasan waktunya) dan mengadakan pencatatan secara sistematis tentang hal-hal tertentu yang diamati.

Catt: Seberapa banyak (seberapa sering) observasi yang perlu dilakukan dan seberapa panjangnya waktu pada setiap periode observasi sangat tergantung kepada tujuan penelitian dan jenis data yang dikumpulkan.

Supaya efektif, observer (peneliti dengan metode observasi) sebaiknya melakukan setting plan atas proses observasinya. Harus ditentukan dulu: tujuan observasi, objek/subjek observasi, berapa lama dan tempatnya dimana saja, langkah-langkah (rencana tindakan) yang harus dilakukan, pihak-pihak yang bisa ditemui dan membantu (perantara), pihak-pihak kunci dalam penelitian (ketua suku, ketua

(46)

46

RW/RT, sesepuh setempat, dll), sarana-sarana yang ada dan bisa dimanfaatkan (contoh: peristiwa posyandu, poskamling, rapat dusun, doa/ritual).

Dalam waktu pra-observasi, peneliti sebaiknya mengumpulkan segala informasi yang diperlukan untuk mengenal objek penelitian sebagai pengetahuan awal. Hal ini penting sehubungan dengan dimungkinkannya adanya ‘larangan’, ‘hal tabu’, atau hal-hal yang tidak boleh dilakukan selama observasi, di daerah atau kelompok tersebut.

Sebelum observasi itu dilaksnanakan, pengobservasi (observer) hendaknya telah menetapkan terlebih dahulu aspek-aspek apayang akan diobservasi dari tingkah laku seseorang. Aspek-aspek tersebut hendaknya telah dirumuskan secara operasional, sehingga tingkah laku yang akan dicatat nanti dalam observasi hanyalah apa-apa yang telah dirumuskan tersebut.

(47)

47 3. Jenis-jenis Observasi

Klasifikasi tentang jenis-jenis observasi dapat dilihat dari beberapa sudut pandangan antara lain:

a. Berdasarkan situasi yang diobservasi

Observasi terhadap situasi bebas (free situation). Jenis observasi ini dilakukan

terhadap situasi yang terjadi secara wajar. Peneliti tidak melakukan campur tangan. Misalnya adalah observasi yang dilakukan terhadap perilaku tawar menawar pedagang dan pembeli di pasar Bringharjo.

 Observasi terhadap situasi yang dimanipulasikan (manipulated situation). Jenis observasi manipulated situation ini mengharuskan observer melakukan intervensi terhadap situasi yang ingin diobservasi. Situasitelah dirancang oleh pengobservasi dengan cara memodifikasi beberapa elemen situasi. Misalnya adalah observasi terhadap gaya kepemimpinan yang efektif bagi anak SD.

(48)

48

 Observasi terhadap situasi yang setengah terkontrol (partially controlled). Jenis observasi ini adalah kombinasi dari kedua jenis observasi situasi bebas dan situasi yang dimanipulasikan. Contohnya adalah observasi terhadap sikap pembeli bensin di POM X.

b. Berdasarkan keterlibatan observer.

Observasi partisipasi, yaitu apabila pengobservasi ikut terlibat dalam kegiatan subyek yang sedang diobservasi. Misalnya adalah seorang peneliti yang meneliti efek gempa kepada kehidupan warga masyarakat di desa Bulak di Kecamatan Gantiwarno, Kab. Klaten.

Observasi non partisipasi, yaitu apabila

observer tidak ikut terlibat dalam kegiatan yang diobservasi. Misalnya adalah observasi terhadap kebiasaan mandi (kebersihan diri)

(49)

49

warga masyarakat di daerah Dagan, kab. Indramayu.

Observasi quasi partisipasi, yaitu apabila dalam

jenis ini sebagian waktu dalam satu periode observasi, observer ikut melibatkan diri dalam kegiatan yang diobservasi, dan sebagian waktu lainnya ia terlepas dari kegiatan tersebut. Misalnya adalah penelitian tentang efek bimbingan terhadap prestasi siswa. Di sini, dalam waktu linier (bersambung), peneliti terlibat langsung dalam proses belajar anak sebagai pembimbing. Di waktu lain, peneliti tidak terlibat dalam proses belajar.

c. Berdasarkan pencatatan hasil-hasil observasi

Observasi berstruktur.

Observasi berstruktur adalah observasi dimana aspek-aspek tingkah laku yang akan diobservasi sudah disusun secara sistematik dalam daftar.

Bentuk catatan sistematis ada 2 jenis, yaitu: 1) chek list(suatu daftar yang memuat

(50)

50

sejumlah tingkah laku yang akan diobservasi). 2) rating scale(skala bertingkat yang berisi tingkatan-tingkatan gejalayang akan diobservasi.

Kelemahan dari observasi berstruktur ini adalah bahwa pengobservasi sangat terikat dengan daftar yang telah tersusun sehingga ia tidak mungkin mengembangkan observasinya dengan aspek-aspek lain yang kebetulan terjadi selama observasi berlangsung.

Untuk mengatasi kelemahan ini, dapat ditempuh dengan cara kombinasi, yaitu menggunakan suatu daftar yang terperinci tentang tingkah laku yang diobservasi, yang dilengkapi dengan blanko untuk mencatat tingkah laku tertentu yang muncul, yang belum terekam dalam daftar.

Observasi tak berstruktur.

Dalam melaksanakan observasi ini, observer tidak menentukan daftar aspek-aspek yang akan diobservasi. Dalam observasi, peneliti

(51)

51

mencatat semua tingkah laku yang dianggap penting dalam suatu periode observasi.

Hasil-hasil observasi ini dicatat dalam bentuk catatan yang bersifat anekdot (anecdotal record), yaitu suatu catatan (record) tentang tingkah laku siswa dalam suatu situasi tertentu. Catatan yang bersifat anekdot tersebut harus ditulis apa adanya, tanpa interpretasi. Setelah selesai, peneliti melakukan tindakan post-observation, yaitu: rangkuman, pemetaan hasil, evaluasi-refleksi atas proses yang berlangsung. Sangat ditekankan pula post-observation dilakukan segera setelah satu hari melakukan observasi, atau segera saat waktu kosong dimungkinkan. Ada beberapa kelemahan dalam penggunaan observasi dan anecdotal record, yaitu sebagai berikut:

a. Karena tidak terstruktur, peneliti bisa tidak fokus terhadap aspek-aspek penelitiannya. Kemungkinan lain, peneliti terlalu fokus

(52)

52

(=asyik) sehingga terlena dan melewati aspek penting lainnya.

b. Karena tidak terstruktur, peneliti harus mengandalkan catatan atau dokumentasi, serta proses rekapitulasi data yang diperoleh di lapangan.

c. Metode observasi tak berstruktur ini kiranya membutuhkan keahlian atau pengalaman penelitian karena membutuhkan kepekaan dalam menentukan aspek penting yang perlu diamati dan diperhatikan.

4. Keuntungan dan Keterbatasan Observasi a. Kelebihan observasi

Kelebihan dari observasi, antara lain:

1. Pengamat langsung melihat atau mencatat objek (perilaku pertumbuhan, dan sebagainya) saat kejadian atau perilaku tersebut masih berlaku. Keuntungannya adalah bahwa pengamat tidak menggantungkan data-data dari ingatan seseorang.

(53)

53

2. Pengamat dapat memperoleh data dan subjek melalui pengamatan-langsung. Hal ini menguntungkan karena sering kali subjek tidak mau berkomunikasi secara verbal dengan peneliti karena berbagai alasan (takut, tidak punya waktu, atau enggan). Maka, kendala ini dapat diatasi dengan adanya pengamatan (observasi) langsung.

b. Kelemahan Observasi

Kelemahan dari observasi, antara lain:

1. Waktu Lama. Penelitian membutuhkan waktu yang relatif lama. Lamanya waktu ini terjadi karena proses mengalami situasi objek dan proses pengamatan membutuhkan waktu yang relative panjang. Observasi tidak bisa dilakukan sehari dua hari dan kemudian dinyatakan cukup. Kemungkinan lainnya adalah kita harus menunggu moment yang akan diteliti dan observasi bisa dilakukan. Misalnya adalah penguburan suku Toraja dalam

(54)

54

peristiwa ritual kematian, maka seorang peneliti harus menunggu adanya upacara adat tersebut.

2. Pengamat biasanya tidak dapat melakukan pengamatan terhadap suatu fenomena yang berlangsung lama. Contohnya, kita ingin mengamati fenomena perubahan suatu masyarakat tradisional menjadimasyarakat modern akan sulit atau tidak mungkin dilakukan.

3. Adanya kegiatan-kegiatan yang tidak mungkin diamati. Misalnya adalah kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan hal-hal yang sifatnya pribadi, seperti kita ingin mengetahui perilaku anak saat orang tua sedang bertengkar. Kitatidak mungkin melakukan pengamatan langsung terhadap konflik keluarga tersebut karena kurang jelas.

(55)

55

Beberapa hal penting diringkas dalam paparan berikut:

a. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam melakukan observasi, yaitu checklist, rating

scale, anecdotal record, catatan berkala, dan mechanical device.

1. Check list, merupakan suatu daftar yang berisikan nama-nama responden dan faktor- faktor yang akan diamati.

2. Rating scale, merupakan instrumen untuk mencatat gejala menurut tingkatan- tingkatannya.

3. Anecdotal record, merupakan catatan yang dibuat oleh peneliti mengenai kelakuan-kelakuan luar biasa yang ditampilkan oleh responden.

4. Mechanical device, merupakan alat mekanik yang digunakan untuk memotret peristiwa- peristiwa tertentu yang ditampilkan oleh responden.

(56)

56 b. Objek Pengamatan

Hal-hal yang biasanya menjadi pengamatan seorang peneliti yang menggunakan metode pengamatan adalah sebagai berikut.

1. Pelaku atau partisipan, menyangkut siapa saja yang terlibat dalam kegiatan yang diamati, apa status mereka, bagaimana hubungan mereka dengan kegiatan tersebut, bagaimana kedudukan mereka dalam masyarakat atau budaya tempat kegiatan tersebut, kegiatan menyangkut apa yang dilakukan oleh partisipan, apa yang mendorong mereka melakukannya, bagaimana bentuk kegiatan tersebut, serta akibat dari kegiatan tersebut.

2. Tujuan, menyangkut apa yang diharapkan partisipan dari kegiatan atau peristiwa yang diamati.

3. Perasaan, menyangkut ungkapan-ungkapan emosi partisipan, baik itu dalam

(57)

57

bentuk tindakan, ucapan, ekspresi muka, atau gerak tubuh.

4. Ruang atau tempat, menyangkut lokasi dari peristiwa yang diamati serta pandangan para partisipan tentang waktu.

5. Waktu, menyangkut jangka waktu kegiatan atau peristiwa yang diamati serta pandangan para partisipan tentang waktu. 6. Benda atau alat, menyangkut jenis, bentuk,

bahan, dan kegunaan benda atau alat yang dipakai pada saat kegiatan berlangsung. 7. Peristiwa, menyangkut kejadian-kejadian

lain yang terjadi bersamaan atau seiring dengan kegiatan yang diamati

c. Persiapan Observasi

Langkah-langkah dalam melakukan observasi adalah sebagai berikut.

1. Harus diketahui di mana observasi itu dapat dilakukan.

(58)

58

2. Harus ditentukan dengan pasti siapa saja yang akan diobservasi.

3. Harus diketahui dengan jelas data-data apa saja yang diperlukan.

4. Harus diketahui bagaimana cara mengumpulkan data agar berjalan mudah dan lancar.

5. Harus diketahui tentang cara mencatat hasil observasi, seperti telah menyediakan buku catatan, kamera, tape recorder, dan alat-alat tulis lainnya.

d. Persiapan Observasi

Untuk memperoleh hasil yang baik, seseorang yang hendak melakukan pengamatan sebaiknya memperhatikan prinsippengamatan sebagai berikut.

1. Pengamatan sebagai suatu cara pengumpulan data harus terfokus pada objek yang diteliti dan dilakukan secara cermat, jujur, dan objektif.

(59)

59

2. Dalam menentukan objek yang hendak diamati, seorang pengamat harus mengingat bahwa makin banyak objek yang diamati, makin sulit pengamatan dilakukan dan makin tidak teliti hasilnya. 3. Sebelum pengamatan dilaksanakan,

pengamat sebaiknya menentukan cara dan prosedur pengamatan.

4. Agar pengamatan lancar, pengamat perlu memahami apa yang hendak dicatat serta bagaimana membuat catatan atas hasil pengamatan yang terkumpul.

5. Pencatatan harus dilakukan secepat atau sesegera hasil bisa dicatat.

(60)

60 BAB VI.

PENJELASAN METODE EKSPOSURE

1. Sekilas Exposure dalam Pendidikan Agama

Exposure merupakan salah satu sarana atau

metode pendidikan, yang memadukan unsur perencanaan, keterlibatan, studi pustaka, dan refleksi mahasiswa dalam rangka pengembangan iman.

2. Tema Exposure

Tema Exposure semester ini adalah “Keterlibatan

dalam hidup sesama sebaga wujud cintakepada Allah”.

3. Tujuan

Melatih kepekaan, kepedulian, dan keberanian untuk terlibat dalam hidup sesama sebagai wujud imannya dalam hidup nyata.

(61)

61

Siapa yang dimaksud dengan ‘sesama’? Dalam eksposure kali ini, ‘sesama’ itu adalah mereka yang

dipinggirkan, ‘tidak dianggap’, menderita, miskin, cacat, terlantar dan terabaikan, menjadi korban.

Secara rinci, ‘sesama’ itu bisa meliputi: a) Anak jalanan b) Yatim piatu c) Pemulung d) Gelandangan e) Pengamen f) Pedagangan asongan g) Tukang becak h) Tukang semir i) Buruh galian j) Buruh pabrik k) Kurban penggusuran l) Kurban perkosaan m) Kurban kekerasan n) ...dsb

(62)

62

NB: Mereka tidak tinggal dalam atau di sekitar

kompleks unpar.

5. Mekanisme Exposure

a) Mahasiswa membuat kelompok sekitar 5 orang. Kelompok menentukan ‘subjek terlibatan’ (pemulung, anak jalan, dll).

b) Masing-masing mahasiswa mencari satu (1)

orang terlibatan dalam kelompok subjek

tersebut. Mahasiswa akan terlibat dengan satu orang ini selama proses exposure.

c) Masing-masing mahasiswa membuat program keterlibatan (lih. F)

d) Mahasiswa terlibat dalam hidup dan membuat laporan keterlibatan (lih. F)

e) Secara periodik, kelompok berkumpul dan men-sharing-kan pengalaman keterlibatan di antara anggotanya.

f) Masing-masing mahasiswa membuat laporan akhir dan kelompok membuat laporan akhir

(63)

63

kelompok. Menyerahkan hasil akhir sesuai jadwal (lih. Jadwal Exposure) dalam bentuk

hard copy dan soft copy.

g) Secara kelompok, laporan dipresentasikan sebagai nilai UAS (lih. Kriteria Penilaian). 6. Jadwal Exposure

Dalam melaksanakan eksposure, mahasiswa hendaknya (diharuskan) membuat jadwal kegiatan eksposure. Bentuk rencana eksposure dapat dibuat dalam bentuk tabel seperti berikut:

Waktu Kegiatan Hasil

.. .. …. ….

7. Kriteria Penilaian

Penilaian akan dilihat dari: a) laporan pribadi (nilai dosen), b) laporan kelompok (nilai dosen), c) keaktifan (nilai dari anggota kel), d) keterlibatan diri (nilai diri sendiri), d) presentasi (nilai dosen).

(64)

64

Mahasiswa akan mendapat penilaian dari a) Mahasiswa itu sendiri, b) anggota satu kelompok, c) dosen pendamping.

Nilai yang akan diperoleh masing-masing mahasiswa adalah: a) nilai laporan pribadi, b) nilai laporan kelompok, c) nilai anggota kel, d) nilai pribadi, dan e) nilai presentasi. Nilai tersebut akan diproses dan menghasilkan nilai UAS. Perhitungan nilai UAS: (A+B+C+D+E)/5.iii

8. Hal-hal penting selama eksposure

a) Ada tiga tahap besar selama eksposure: Perkenalan, Keterlibatan, Study, Laporan. Silahkan mengikuti tahapan ini dengan menyesuaikan keadaan dan situasi.

b) Saat eksposure, sebaiknya anda sopan dalam berbicara dan pakaian. Silahkan memperkenalkan diri terlebih dahulu. Jangan sampai orang tersinggung perasaan atau menjaga jarak dengan anda. Buatlah orang lain

(65)

65

mau terbuka dengan Anda sebagai bagian dari sahabat mereka.

c) Silahkan amati keadaan dengan seksama: rumah, tetangga, lingkungan sekitar, gang, jalan becek, panas, jalan bising, mimik, cara bicara orang, dll. Catatlah semua itu sebagai bagian dari laporan.

d) Pasang mata dan telinga untuk menangkap, tetapi buka hati untuk merasakan jerih payah, kesusahan, perjuangan. Catatlah semua perasaan pribadi sebagai bagian dari pengalaman.

e) Posisikan diri Anda sebagai sahabat atau bagian keluarga mereka. Ngobrol dengan santai. Nongkronglah bersama mereka di trotoar atau kios. Ngobrolah dengan santai jangan menjadi orang asing yang menginterogasi.

f) Hindari ngobrol sambil mencatat atau merekam. Sebaiknya, Anda merekam

(66)

66

percakapan secara tersembunyi (merekam dengan HP, misalnya). Salinlah percakapan Anda di rumah dalam tulisan (verbatim). Salinan percakapan akan menjadi data bagi laporan. Menyalin atau membuat laporan, sebaiknya, dilakukan setelah selesai eksposure (sesegera mungkin dan jangan ditunda). g) Jangan mengganggu jam kerja atau pekerjaan

mereka. Anda harus bisa mencari waktu yang tepat untuk bicara atau melakukan pendekatan.

h) JANGAN PERNAH MENGUMBAR JANJI. Anda sebaiknya tidak menejanjikan ini atau memberikan itu. Kalau Anda tergerak untuk membantu, simpan keinginan Anda dan datanglah di lain waktu untuk mewujudkan keinginan dan gerakan hati itu tanpa

menjanjikan hal itu sebelumnya.

i) Sebaiknya, Anda membuat dokumentasi foto. Tetapi, HARUS DIINGAT: mengambilan

(67)

67

dokumen harus alami. Carilah alasan yang baik untuk berphoto. Misalnya: berfoto buat kenang-kenangan. Mengambil foto tetapi tidak tepat waktu, akan membuat benteng dalam diri mereka.

j) Jangan lupa berpamitan dan berterima kasih.

9. Tahap-Tahap a) Tahap Persiapan

Mahasiswa membuat kelompok, mencari subjek eksposure, dan membuat rencana kegiatan, baik pribadi atau kelompok.

b) Tahap I: Pengenalan & Identifikasi

Tahap pengenalan ini adalah tahap paling awal dan penentu dari seluruh proses keterlibatan. Jika mahasiswa berhasil di tahap ini maka akan dimudahkan dalam tahap selanjutnya. Dalam tahap ini, mahasiswa harus berfokus pada subjek terlibatan:

(68)

68

1. identitas orang-nya: nama, usia, tanggal lahir, alamat rumah, nama anggota keluarga, dll;

2. sejarah: mengapa keadaannya seperti ini, asli penduduk Bandung atau pendatang, kapan tinggal bandung, bagaimana sejarah pekerjaannya, mengapa memilih pekerjaan tersebut;

3. lingkungan sekitar: keadaan rumah, kontrakan atau hak milik, denah rumah, peta daerah sekitar rumah, kategori rumah: (rumah kardus, rumah permanen, rumah

kayu), kategori sosial rumah: rumah

kumuh, rumah elit, kampung/desa, dll.

4. persoalan: apa yang dihadapi oleh dan

menurut subjek. Untuk tahu hal ini, mahasiswa tidak bisa langsung menanyakannya kepada subjek. Persoalan subjek merupakan hasil analisa mahasiswa dari hasil wawancara, survei, dan

(69)

69

pengamatan. Sebaiknya, analisa ini dikonfrontasikan dengan situasi subjek. Jangan sampai: “Menurut mahasiswa, suatu keadaan adalah persoalan, tetapi menurut subjek keadaan itu bukanlah persoalan.” Oleh karena itu, butuh second opinion dari anggota kelompok dalam diskusi kelompok.

5. Dalam tahap ini, mahasiswa menjadi pengamat yang baik.

(Hasil: Mahasiswa membuat Profil subjek)

c) Tahap II: Keterlibatan

Mahasiswa melibatkan diri dalam kehidupan subjek: melakukan apa yang dilakukan subjek. Mahasiswa diharapkan secara total merasakan hidup subjek.

Tinggalkan keagungan diri dan kemewahan yang Anda alami saat ini. Walaupun Anda tidak

akan 100% mengalami kehidupan mereka, Anda tetap bisa mencicipi kehidupan mereka.

(70)

70

Berikan waktu dan diri Anda dalam hidup mereka (bukan uang dan materi).

Tahap ini, mahasiswa mengalami menjadi sahabat bagi ‘sesama’.Mahasiswa berfokus pada pengalaman: bagaimana perasaan Anda dan pikiran Anda dipengaruhi oleh kehidupan orang lain ini.

(Hasil: Mahasiswa mengalami dan terlibat).

d) Tahap III: Studi Pustaka

Mahasiswa berfokus pada bahan pengenalan dan keteribatan, mencari bahan referensi yang bisa memperkaya bahan sebelumnya. Dari semua bahan, mahasiswa membangun sebuah kerangka pemikiran konseptual dan paradigma sesuai dengan tema pilihan.

(Hasil: Mahasiswa mempunyai referensi tulisan sesuai dengan subjek eksposurenya)

(71)

71

e) Tahap IV: Pelaporan Eksposure.

Di tahap ini, mahasiswa melakukan dua hal sekaligus, yaitu review kegiatan dan refleksi, serta pembuatan laporan akhir sebagai bahan penilaian UAS. Mahasiswa membuat laporan dengan tema sentralnya adalah rumusan refleksi iman. Akhirnya, dengan latar belakang agama apapun, Mahasiswa diminta untuk belajar merefleksikan pengalaman orang lain dengan kacamata agama Katolik: Jika Tuhan

Yesus berada di dekat orang itu, ia akan bersabda apa….? Jawabannya akan menjadi

refleksi mahasiswa.

Di sini, Anda (mahasiswa) akan dinilai

sejauh mana Anda bisa menarik nilai kehidupan dari subjek eksposure dengan iman Katolik yang Anda ketahui atau yang Anda yakini!

(Hasil: Laporan Akhir Kelompok, Bahan Presentasi Akhir)

(72)

72 CATT:

Seluruh tahapan ini bisa dilakukan secara fleksibel. Artinya, mahasiswa bisa melakukan pengenalan-identifikasi bersamaan dengan keterlibatan. Tetapi, fokus utamanya adalah pengenalan dan identifikasi.

(73)

73 10. Alokasi waktu

Program eksposure sebagai metode pembelajaran Pendidikan Agama Katolik dirancang untuk 7 pertemuan. Tidak disangkal bahwa bisa jadi pertemuan kurang dari tujuh kali. Hal ini bisa disesuaikan dengan jumlah pertemuan perkuliahan (tatap-muka).

11. Format Laporan Akhir.

Semua mahasiswa peserta eksposure harus melewati semua pelaporan berikut. Format ini tidak baku dan bisa dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan. Kertas A4, Cambria, ukuran 12.

(74)

74 Format Laporan Kelompok

Laporan Kelompok merupakan kesimpulan kelompok dari pengalaman eksposure masing-masing anggota.

LAPORAN

PROSES EXPOSURE

Nama : NPM : Kelas : Kelompok :

Universitas Katolik Parahyangan 2014

(75)

75

LAPORAN KELOMPOK EXPOSURE

1. Bentuk Laporan: a) Ukuran kertas A4

b) Huruf: Cambria, huruf 12, spasi 1,5 c) Margn kanan-kiri-atas-bawah: 3 cm 2. Susunan Laporan:

1. COVER: berisi judul yang mencerminkan isi laporan, Logo, nama, NPM, Kelas, Kelompok. No. NPM ditulis secara berurutan dr kecil. 2. PENGANTAR

3. DAFTAR ISI

4. BAB I. PENDAHULUAN

Latar belakang, alas an memilih subjek, hasil yang diharapkan. Profil Subjek dijelaskan dgn lengkap.

5. BAB II. PENGALAMAN KETERLIBATAN

Apa yang dilakukan oleh semua anggota kelompok dalam eksposure? Persoalan apa yang dihadapi oleh subjek? Mengapa muncul persoalan itu? Bagaimana subjek menanggapi persoalan? Bagaimana Anda menyikapi situasi tersebut? Apa yang dilakukan? Foto atau dokumen lain dimasukkan di bagian ini sebagai ilustrasi.

6. BAB III. STUDI PUSTAKA

Silahkan menganalisa subjek dan pengalaman Anda dengan referensi sehingga pembicaraan tidak hanya sekitar pengalaman pribadimu, tetapi menjadi wacana/pemikiran ilmiah.

7. BAB IV. REFLEKSI IMAN & RUMUSAN IMAN

Jika Tuhan ada dalam konteks di atas, menurut Anda, apa yang akan dilakukan-Nya? Mengapa? (CATT: Argumentasimu menentukan nilaimu.)

8. BAB IV. KESIMPULAN

Sampaikanlah kritik dan saran. Sertakan Daftar hadir anggota saat kerja kelompok. Anggota yang tidak hadir sebaiknya tetap ditulis tidak hadir.

(76)

76 NILAI

SKALA NILAI adalah “40-90” dengan ketentuan:

a) 40-60 = jika ketahuan copy-paste tulisan atau artikel. b) 60-70 = tidak copy-paste, tetapi keseluruhan data dan

laporan minim informasi.

c) 70-80 = Semuanya ok, presentasi ok, tetapi refleksi iman dan studi pustaka kurang bisa dipertanggungjawabkan saat ujian.

(77)

77

DAFTAR BACAAN Buku

1. Somantri, Gumilar Rusliwa, “Memahami Metode Kualitatif”, MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 9,

NO. 2, DESEMBER 2005, hlm. 57-65

2. JB. Banawiratma& J. Muller, 1993,Berteologi Sosial Lintas Ilmu, Yogyakarta: Kanisius

3. Siswantara, Yusuf, 2013, Gereja Dialogis,

Yogyakarta: Kanisius

4. Embuiru, P. Herman (penterjemah), 1995,

Katekismus Gereja Katolik, Ende: Ledalero

Website

5. http://www.bloggerlombok.com/2011/11/meto

de- observasi.html

6.

http://klikbelajar.com/umum/observasi-pengamatan-langsung-di-lapangan

(78)

78

7. Pengantar Eksposure untuk Pendidikan Agama

Katolik Unpar, disusun olehCosmas Lili Alika, S. Pd., M. Hum., Lic. Th.

1 JB. Banawiratma & J. Muller, 1993, Berteologi Sosial

Lintas Ilmu, Yogyakarta: Kanisius. Hal. 90-91

2 Diambil dari web, dengan beberapa perubahan

http://www.bloggerlombok.com/2011/11/metode-observasi.html

http://klikbelajar.com/umum/observasi-pengamatan-langsung-di-lapangan/

iii Catatan: Pemberian semua unsur nilai bersifat rahasia

dan langsung diberikan kepada dosen. Jika terjadi indikasi kerjasama dalam pemberian nilai, maka nilai UAS tidak akan dikeluarkan.

Referensi

Dokumen terkait

Amerika Serikat melalui USAID memberikan grant, yaitu bantuan dana yang diberikan oleh badan donor tanpa komitmen dari negara penerima untuk membayar kembali, kepada

Selisih pendapatan Mitra Binaan per bulan sebelum dan sesudah menerima bantuan dana pinjaman No.. Persentase jumlah pengembalian bantuan dana pinjaman Mitra Binaan ke bagian

Mulailah dengan bisnis dropship karena relatif tidak membutuhkan modal (Anda hanya butuh smartphone dan kuota internet). Tentukan produk apa yang ingin Anda jual tapi harus

Bandar udara pengumpul dengan skala pelayanan sekunder yaitu bandar udara sebagai salah satu prasarana penunjang pelayanan Pusat Kegiatan Nasional (PKN) yang melayani penumpang

Ini akan menghasilkan perubahan tegangan yang merupakan masukan analog bagi mikrokontroler Arduino yang selanjutnya diolah untuk ditampilkan berupa ketinggian air

Any person having any lawful claim to native customary rights over the said land or any part thereof and whose rights are affected by this Direction shall within sixty (60) days

Perencanaan kinerja tahunan ini merupakan bagian dari manajemen kinerja yang merupakan penyelarasan usulan rencana kinerja dengan rencana strategi bidang kearsipan

serta memiliki jaringan rumah sakit yang luas, menguasai sistem lelang elektronik karena pengadaan barang/jasa milik pe- merintah harus di lelang melalui sistem