• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKTOR – FAKTOR RISIKO YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN TB PARU BALITA DI BKPM WILAYAH SEMARANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "FAKTOR – FAKTOR RISIKO YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN TB PARU BALITA DI BKPM WILAYAH SEMARANG"

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

FAKTOR

FAKTOR RISIKO YANG BERHUBUNGAN

DENGAN KEJADIAN TB PARU BALITA

DI BKPM WILAYAH SEMARANG

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

Kesehatan Masyarakat

Oleh

Nana Marlina Ekasari

NIM. 6411412045

JURUSAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN

(2)

ii

Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang Oktober 2016

ABSTRAK

Nana Marlina Ekasari

Faktor – Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian TB Paru Balita di BKPM Wilayah Semarang

xiv+ 130 halaman+ 36 tabel+ 3 gambar+ 16 lampiran

TB merupakan penyebab penting morbiditas dan mortalitas pada anak-anak, namun kejadian TB Paru pada anak kurang mendapat perhatian dalam epidemiologi TB. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian TB Paru Balita di BKPM Wilayah Semarang.

Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik observasional dengan desain penelitian case control. Jumlah sampel 33 kasus dan 33 kontrol. Analisis data dilakukan secara univariat dan bivariat.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara usia pemberian imunisasi BCG (p = 0,0048, OR = 5,812), pendidikan ibu (p = 0,038, OR = 0,218 dan 0,595), kepadatan hunian kamar (p = 0,03, OR = 4,126), pencahayaan kamar (p = 0,043, OR = 2,864 dan 4,136), riwayat merokok orangtua (p = 0,042, OR = 3,32), dan riwayat kontak dengan keluarga (p = 0,013, OR = 7,75). Sedangkan tidak ada hubungan antara jenis kelamin, riwayat BBLR, status gizi, keberadaan scar BCG, riwayat pemberian ASI eksklusif, pekerjaan ibu, status ekonomi, ventilasi kamar, dan riwayat kontak dengan tetangga.

Saran yang diajukan adalah perlu adanya penyuluhan secara intensif dan penemuan pasien TB Paru dewasa dengan BTA (+) sebagai penularan kejadian TB Paru pada balita dengan melakukan screening baik secara aktif maupun pasif.

(3)

iii

Departement of Public Health Science Faculty of Sport Sciens Semarang State University October 2016

ABSTRACT

Nana Marlina Ekasari

Risk Factors Related to the Incidence of Pulmonary Tuberculosis among Children under-five in BKPM Semarang

xiv+ 130 pages+ 36 tables+ 3 images+ 16 attachments

Pulmonary Tuberculosis is one of major causes of childhood mordity and mortality, however it is relatively a neglected disease in the epidemiologi of TB. The purpose of this study was to determine the risk factors related to the incidence of Pulmonary Tuberculosis among children under-five in BKPM Semarang.

This was an analytic observational research with case control design. Number of sampel was 33 cases and 33 controls. Data were analyzed univariate analysis and bivariate analysis.

The result showed that there were relationship between the age at BCG (p =

0,0048, OR = 5,812), mother’s education (p = 0,038, OR = 0,218 and 0,595), density of

room (p = 0,03, OR = 4,126), lighting of room (p = 0,043, OR = 2,864 and 4,136), history of smoke parent (p = 0,042, OR = 3,32), and the history of household contact (p = 0,013, OR = 7,75). Whereas weren’t relationship between gender, history of low birth weight, the nutritional status, presence of BCG scar, history of exclusive breastfeeding,

mother’s occupation, economic status, ventilation of room, and the history of contact with neighbors.

This research recommended that it is necessary to elucidation intensively and invention of adult patient having Pulmonary Tuberculosis with BTA (+) as spread of incidence of Pulmonary Tuberculosis among children under-five by screening either trough active and also passive.

(4)
(5)
(6)

vi

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Motto:

“Yang penting bukan bagaimana caramu hidup, tapi hidup siapa yang kamu ubah dengan hidupmu (Patricia Neal)”

“Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila engkau telah

selesai dari sesuatu urusan, tetaplah bekerja keras untuk urusan yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap (QS. Al-Insyirah:6-8)”

There is scarcely any passion without struggle(Albert Camus)”

Persembahan:

Skripsi ini saya persembahkan kepada:

1. Orangtuaku tercinta, Ibu Ninik S dan Bapak Suroso 2. Kedua adikku tersayang, Frananda dan Tya

3. Saudara-saudaraku

4. Sahabat dan teman-temanku yang selalu membantu, memotivasi dan menyemangatiku

(7)

vii

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur peneliti ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga skripsi yang berjudul “Faktor – Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian TB Paru Balita di BKPM

Wilayah Semarang” dapat terselesaikan dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai

salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat di Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat pada Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang.

Skripsi ini dapat diselesaikan atas bantuan dan kerjasama dari berbagai pihak, oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati disampaikan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Dekan Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang, Prof. Dr. Tandiyo Rahayu, M.Pd., atas pemberian ijin penelitian.

2. Ketua Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang, Irwan Budiono, S.KM., M.Kes (Epid), atas persetujuan penelitian.

3. Pembimbing I, dr. Mahalul Azam, M.Kes., atas bimbingan, arahan, serta masukan dalam penyusunan skripsi ini.

4. Penguji I ujian skripsi, dr. Arulita Ika Fibriana, M.Kes (Epid), atas arahannya. 5. Penguji II ujian skripsi, dr. Fitri Indrawati, M.P.H., atas arahannya.

(8)

viii

7. Keluarga besar BKPM Wilayah Semarang atas ijin penelitian yang diberikan dan bantuan dalam pelaksanaan penelitian.

8. Kedua orangtuaku, Ibu Ninik dan Bapak Suroso atas pengorbanannya, doa, motivasi dan semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Kedua adikku, Frananda dan Tya atas perhatian, kasih sayang, serta motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini.

10. Saudara-saudaraku, terutama Teguh Santoso yang telah memberikan dukungan serta bantuannya selama di bangku kuliah.

11. Sahabat-sahabatku yang selalu memberikan bantuan, dukungan, serta motivasinya dalam menyelesaikan skripsi ini.

12. Teman-teman Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Angkatan 2012 atas bantuan serta motivasinya dalam menyelesaikan skripsi ini.

13. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, yang telah membantu kelancaran penelitian dan penyusunan skripsi ini.

Semoga amal baik dari semua pihak mendapatkan pahala yang berlipat ganda dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, sehingga masukan dan kritikan yang membangun sangat diharapkan demi sempurnanya skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan.

Semarang, Oktober 2016

(9)

ix

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

1.2.2 Rumusan masalah Khusus ... 7

1.3 Tujuan Penelitian ... 8

1.3.1 Tujuan Umum ... 8

1.3.2 Tujuan Khusus ... 9

1.4 Manfaat ... 10

1.4.1 Bagi Peneliti Lain ... 10

1.4.2 Bagi Institusi Pendidikan ... 10

1.4.3 Bagi Masyarakat ... 10

1.4.4 Bagi Pelayanan Kesehatan ... 10

1.5 Keaslian Penelitian ... 11

1.6 Ruang Lingkup Penelitian ... 14

1.6.1 Ruang Lingkup Tempat ... 14

1.6.2 Ruang Lingkup Waktu ... 14

1.6.3 Ruang Lingkup Keilmuan ... 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 15

2.1 Landasan Teori ... 15

2.1.1 Tuberkulosis (TB) ... 15

2.1.2 Faktor Risiko Penyebab TB Paru Balita ... 29

2.2 Kerangka Teori ... 55

BAB III METODE PENELITIAN ... 53

3.1 Kerangka Konsep... 53

3.2 Variabel Penelitian... 54

3.2.1 Variabel Bebas ... 54

3.2.2 Variabel Terikat ... 54

(10)

x

3.4 Definisi Operasional dan Skala Pengukuran Variabel... 56

3.5 Jenis dan Rancangan Penelitian ... 59

3.6 Populasi dan Sampel Penelitian ... 61

3.6.1 Populasi Penelitian ... 61

3.6.2 Sampel Penelitian... 61

3.7 Sumber Data ... 64

3.7.1 Data Primer ... 64

3.7.2 Data Sekunder ... 65

3.8 Instrumen Penelitian dan Teknik Pengambilan Data... 65

3.8.1 Instrumen Penelitian ... 65

3.8.2 Teknik Pengambilan Data ... 67

3.9 Prosedur Penelitian ... 68

3.10 Pengolahan dan Analisis Data ... 69

3.10.1 Pengolahan Data ... 69

3.10.2 Analisis Data ... 70

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 71

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 71

4.2 Hasil Penelitian ... 72

4.2.1 Analisis Univariat ... 72

4.2.2 Analisis Bivariat... 81

BAB V PEMBAHASAN ... 97

5.1 Pembahasan Hasil Penelitian ... 97

5.2 Hambatan dan Kelemahan Penelitian ... 119

5.2.1 Hambatan Penelitian ... 119

5.2.2 Kelemahan Penelitian ... 120

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 121

6.1 Simpulan ... 121

6.2 Saran ... 122

6.2.1 Bagi Masyarakat ... 122

6.2.2 Bagi Instansi Kesehatan Terkait ... 123

6.2.3 Bagi Peneliti Lain ... 123

DAFTAR PUSTAKA ... 125

(11)

xi

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1.1 Sebaran Kasus TB Paru Anak Berdasarkan Usia di BKPM

Wilayah Semarang ... 5

Tabel 1.2 Keaslian Penelitian ... 11

Tabel 2.1 Sistem Skoring (Scoring System) Gejala dan Pemeriksaan Penunjang TB di Fasyankes ... 24

Tabel 3.1 Definisi Operasional dan Skala Pengukuran Variabel ... 56

Tabel 4.1 Distribusi Kasus dan Kontrol Berdasarkan Jenis Kelamin ... 72

Tabel 4.2 Distribusi Kasus dan Kontrol Berdasarkan Riwayat BBLR ... 73

Tabel 4.3 Distribusi Kasus dan Kontrol Berdasarkan Status Gizi ... 73

Tabel 4.4 Distribusi Kasus dan Kontrol Berdasarkan Keberadaan Scar BCG ... 74

Tabel 4.5 Distribusi Kasus dan Kontrol Berdasarkan Usia Pemberian Imunisasi BCG ... 74

Tabel 4.6 Distribusi Kasus dan Kontrol Berdasarkan Riwayat Pemberian ASI Eksklusif ... 75

Tabel 4.7 Distribusi Kasus dan Kontrol Berdasarkan Tingkat Pendidikan Ibu ... 75

Tabel 4.8 Distribusi Kasus dan Kontrol Berdasarkan Pekerjaan Ibu ... 76

Tabel 4.9 Distribusi Kasus dan Kontrol Berdasarkan Status Ekonomi ... 76

Tabel 4.10 Distribusi Kasus dan Kontrol Berdasarkan Riwayat Merokok Orangtua ... 77

Tabel 4.11 Distribusi Kasus dan Kontrol Berdasarkan Kepadatan Hunian Kamar ... 77

Tabel 4.12 Distribusi Kasus dan Kontrol Berdasarkan Ventilasi Kamar ... 78

Tabel 4.13 Distribusi Kasus dan Kontrol Berdasarkan Pencahayaan Kamar .. 79

Tabel 4.14 Distribusi Kasus dan Kontrol Berdasarkan Riwayat Kontak dengan Keluarga Penderita TB ... 79

Tabel 4.15 Distribusi Kasus dan Kontrol Berdasarkan Riwayat Kontak dengan Tetangga Penderita TB ... 80

Tabel 4.16 Hubungan Antara Jenis Kelamin dengan Kejadian TB Paru Balita ... 81

Tabel 4.17 Hubungan Antara Riwayat BBLR dengan Kejadian TB Paru Balita ... 82

Tabel 4.18 Hubungan Antara Status Gizi dengan Kejadian TB Paru Balita ... 82

Tabel 4.19 Hubungan Antara Keberadaan Scar BCG dengan Kejadian TB Paru Balita ... 83

Tabel 4.20 Hubungan Antara Usia Pemberian Imunisasi BCG dengan Kejadian TB Paru Balita ... 84

(12)

xii

Tabel 4.22 Hubungan Antara Pendidikan Ibu dengan Kejadian TB Paru

Balita ... 86 Tabel 4.23 Hasil Analisis Chi Square Terhadap Pendidikan Ibu ... 87 Tabel 4.24 Hubungan Antara Pekerjaan Ibu dengan Kejadian TB Paru

Balita ... 88 Tabel 4.25 Hubungan Antara Status Ekonomi dengan Kejadian TB Paru

Balita ... 88 Tabel 4.26 Hubungan Antara Riwayat Merokok Orangtua dengan

Kejadian TB Paru Balita ... 89 Tabel 4.27 Hubungan Antara Kepadatan Hunian Kamar dengan Kejadian

TB Paru Balita ... 90 Tabel 4.28 Hubungan Antara Ventilasi Kamar dengan Kejadian TB Paru

Balita ... 91 Tabel 4.29 Hubungan Antara Pencahaan Kamar dengan Kejadian TB

Paru Balita ... 92 Tabel 4.30 Hasil Analisis Chi Square Terhadap Pencahayaan Kamar ... 93 Tabel 4.31 Hubungan Antara Kontak dengan Keluarga Penderita TB

Dewasa dengan Kejadian TB Paru Balita ... 94 Tabel 4.32 Hubungan Antara Kontak dengan Tetangga Penderita TB

(13)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 2.1 Kerangka Teori Faktor – Faktor Risiko yang Berhubungan

dengan Kejadian TB Paru Balita ... 52 Gambar 3.1 Kerangka Konsep Faktor – Faktor Risiko yang Berhubungan

(14)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Surat Penetapan Dosen Pembimbing... 132

Lampiran 2. Ethical Clearance ... 133

Lampiran 3. Surat Ijin Penelitian dari Fakultas kepada Kesbangpol ... 134

Lampiran 4. Surat Ijin Penelitian dari Fakultas kepada BKPM Semarang ... 135

Lampiran 5. Surat Rekomendasi Survey/ Riset dari Kesbangpol ... 136

Lampiran 6. Lembar Penjelasan kepada Calon Subjek ... 138

Lampiran 7. Persetujuan Keikutsertaan dalam Penelitian ... 140

Lampiran 8. Kuesioner Penelitian ... 141

Lampiran 9. Lembar Observasi ... 144

Lampiran 10. Lembar Dokumentasi ... 145

Lampiran 11. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas ... 146

Lampiran 12. Rekapitulasi Data Kasus dan Kontrol... 148

Lampiran 13. Rekapitulasi Data Hasil Penelitian ... 150

Lampiran 14. Hasil Analisis Univariat ... 162

Lampiran 15. Hasil Analisis Bivariat ... 165

(15)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Masa anak-anak merupakan masa dimana pertumbuhan dan perkembangan berlangsung dengan pesat, sehingga perlu diperhatikan upaya pemeliharaan kesehatan anak yang ditujukan untuk membentuk generasi mendatang yang sehat, cerdas, dan berkualitas serta untuk menurunkan angka kematian anak. Upaya pemeliharaan kesehatan anak dilakukan sejak janin masih dalam kandungan hingga berusia 18 tahun. Sementara itu, anak pada usia 5 tahun pertama kehidupan masih memiliki sistem imun yang rendah sehingga rentan terhadap suatu penyakit termasuk penyakit TB Paru (Kemenkes RI, 2015; Rakhmawati dkk, 2009).

Penyakit TB Paru merupakan masalah kesehatan masyarakat yang menjadi salah satu komitmen global dalam MDGs yang harus dikendalikan (Depkes RI, 2010). TB Paru merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis dan telah menyerang hampir sepertiga penduduk dunia. Penyakit ini mudah ditularkan melalui droplet orang yang terinfeksi basil TB (Kemenkes RI, 2015). TB Paru anak adalah penyakit TB yang biasanya menyerang anak usia 0 – 14 tahun dengan kelompok umur 0 – 4 tahun dan 5 – 14 tahun (Kemenkes RI, 2013).

(16)

epidemiologi TB dikarenakan > 95% anak-anak dengan TB Paru memiliki sputum BTA (-), sehingga tidak berkontribusi secara langsung dalam menularkan kejadian TB Paru (Karim et al, 2012; Nguyen et al, 2009; Rie et al, 1999; Seddon dan Shingadia, 2014). Dari 9 juta kasus baru TB yang terjadi di seluruh dunia setiap tahun, diperkirakan 1 juta (11%) diantaranya terjadi pada anak-anak dibawah 15 tahun (Rammohan dan Awofeso, 2015). Dari seluruh kasus anak dengan TB Paru, 75% terjadi di 22 negara dengan beban TB Paru tinggi (high burden countries). Dilaporkan dari berbagai negara, persentase kasus TB Paru pada anak berkisar antara 3% hingga >25% (Kartasasmita, 2009).

Sebagai negara berkembang, Indonesia memiliki proporsi kasus TB Paru anak cukup tinggi. Proporsi kasus TB Paru di Indonesia tahun 2015 pada kelompok umur 0 – 14 tahun mencapai 8,59% dan mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2014 yaitu sebesar 7,10% dan tahun 2013 yaitu sebesar 7,92% (Kemenkes RI, 2016). Jumlah kasus TB tertinggi dilaporkan terdapat di provinsi dengan jumlah penduduk yang padat yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Kasus TB di tiga provinsi tersebut sebesar 38% dengan kasus baru BTA (+) mencapai 40% dari jumlah seluruh kasus baru di Indonesia (Kemenkes RI, 2015; 2016).

(17)

(+) dari penderita dewasa yang berhasil ditemukan dan diobati (Dinkes Provinsi Jawa Tengah, 2015).

Berdasarkan data penemuan pasien TB yang tercatat di Jawa Tengah pada tahun 2014, diketahui bahwa Kota Semarang menempati urutan tertinggi dalam penemuan kasus TB Paru anak diantara Kabupaten/Kota lainnya di Jawa Tengah yaitu terdapat 194 kasus pada usia 0 – 4 tahun dan 92 kasus pada usia 5 – 14 tahun (Dinkes Provinsi Jawa Tengah, 2014). Sementara itu, pada tahun 2015 penemuan kasus TB Paru anak mengalami peningkatan yaitu sebesar 244 kasus pada usia 0 – 4 tahun dan 153 kasus pada usia 5 – 14 tahun (Dinkes Provinsi Jawa Tengah, 2015).

Salah satu upaya mencegah sang anak terhindar dari penyakit TB Paru adalah dengan memberikan imunisasi BCG tepat waktu yaitu sebelum anak berusia 3 bulan. Jika diberikan setelah usia 3 bulan, maka disarankan untuk melakukan tes tuberkulin (mantoux) terlebih dahulu untuk mengetahui apakah anak sudah membawa kuman Mycrobacterium tuberculosis dalam tubuhnya. Imunisasi diberikan apabila tes menunjukkan hasil negatif (IDAI, 2008: 98).

(18)

Berdasarkan penelitian Wiharsini (2013), faktor risiko yang mempengaruhi kejadian TB Paru pada balita antara lain kontak dengan penderita TB dewasa, karakteristik balita (jenis kelamin, status gizi, berat badan lahir (BBL), riwayat ASI eksklusif, status imunisasi BCG, usia saat imunisasi BCG), karakteristik orangtua (pendidikan, pekerjaan, penghasilan, pengetahuan) dan kebiasaaan merokok orangtua (keberadaan perokok, tempat merokok). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kontak dengan penderita TB dewasa, status gizi balita, status imunisasi BCG dan pekerjaan ibu dengan kejadian TB Paru balita (Wiharsini, 2013).

Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengendalikan kejadian TB Paru. Di tingkat global, telah dibentuk suatu kemitraan global yang bertujuan untuk meningkatkan upaya pemberantasan TB, mempercepat penurunan angka kematian dan kesakitan akibat TB serta penyebaran TB di seluruh dunia yaitu dalam bentuk

Stop TB Partnership. Stop TB Partnership telah merencanakan pengendalian TB global untuk tahun 2011 – 2015 yang kemudian menetapkan target dalam pencapaian tujuan pembangunan milenium untuk TB. Tujuan tersebut dapat dicapai melalui strategi akselerasi pengembangan dan penggunaan metode yang lebih baik dalam pengaplikasian rekomendasi Stop TB yang baru berdasarkan strategi DOTS dengan standar pelayanan mengacu pada International Standard for TB Care (ISTC) (Kemenkes RI, 2011).

(19)

pelayanan kesehatan yang telah melaksanakan srategi DOTS, pengendalian dan penatalaksanaan TB anak dilakukan dengan meningkatkan diagnosis, mutu pencatatan dan pelaporan kasus TB anak yang berkualitas dan sesuai standar ISTC. Selain itu juga dapat dilakukan dengan meningkatkan standarisasi sistem skoring TB anak, pelatihan bagi tenaga kesehatan serta pengadaan monitoring dan validasi sistem skoring TB anak (Kemenkes RI, 2011).

Data dari Dinkes Kota Semarang tahun 2015, menunjukkan bahwa BKPM Wilayah Semarang menempati urutan tertinggi kasus TB Paru anak diantara pelayanan kesehatan lain di Kota Semarang yang tersebar luas di 16 Kecamatan. Kasus TB Paru anak di BKPM Wilayah Semarang menurut data pada penemuan pasien TB di Kota Semarang tahun 2015 menunjukkan angka sebesar 152 kasus yang dikategorikan menjadi 99 kasus pada usia 0 – 4 tahun dan 53 kasus pada usia 5 – 14 tahun (Dinkes Kota Semarang, 2015). Sedangkan menurut hasil pencatatan dan pelaporan pasien TB Paru anak yang diobati di BKPM Wilayah Semarang didapatkan sebaran kasus TB Paru anak berdasarkan usia dalam tabel sebagai berikut:

Tabel 1.1. Sebaran Kasus TB Paru Anak Berdasarkan Usia di BKPM Wilayah Semarang

No. Tahun Kasus TB Paru Anak

0 – 4 Tahun 5 – 14 Tahun

1. 2012 30 11

2. 2013 45 28

3. 2014 49 33

4. 2015 99 53

5. 2016 48 (s.d bulan Mei 2016) 23 (s.d bulan Mei 2016)

(20)

kelamin laki-laki (67%), 3 balita memiliki riwayat BBLR (25%), 5 balita memiliki status gizi kurang (42%), 5 balita tidak memiliki scar BCG (42%), 8 balita diberikan imunisasi >7 hari (67%), 10 balita memiliki riwayat tidak diberikan ASI eksklusif (83%), 9 ibu memiliki tingkat pendidikan sedang (75%) dan 3 ibu memiliki tingkat pendidikan rendah (25%), 7 ibu memiliki aktivitas bekerja (58%), 8 keluarga memiliki status ekonomi yang rendah (67%), 10 balita tinggal dalam rumah dengan ventilasi yang buruk/tidak memenuhi syarat (83%), 3 balita tinggal dalam rumah dengan pencahayaan yang tidak terang (25%) dan 6 balita tinggal dalam rumah dengan pencahayaan yang kurang terang (50%), 10 balita memiliki orangtua dengan riwayat merokok (83%), 7 balita memiliki riwayat kontak dengan keluarga penderita TB (58%), dan 2 balita memiliki riwayat kontak dengan tetangga penderita TB atau sebesar 17%.

Dari hasil studi pendahuluan yang dilakukan, dapat diketahui bahwa proporsi terbanyak balita yang menderita TB Paru diakibatkan karena faktor riwayat pemberian ASI eksklusif, riwayat merokok orangtua, dan ventilasi yang buruk/tidak memenuhi syarat. Selain itu, hasil pengamatan juga menunjukkan bahwa sebagian besar sampel bertempat tinggal di rumah dengan minimnya cahaya matahari yang masuk dalam rumah, diakibatkan karena lingkungan tempat tinggal yang saling berdekatan satu sama lain. Keadaan seperti ini mengakibatkan rumah menjadi gelap dan lembab, sehingga mempermudah berkembangnya mikroorganisme termasuk kuman TB (Fatimah, 2008).

(21)

kasus TB Paru anak dan cenderung mengalami peningkatan yang tajam pada usia balita. Untuk mengetahui hubungan faktor-faktor risiko lain terkait kejadian TB Paru pada balita, maka perlu dilakukan studi mengenai faktor-faktor risiko apa saja yang berhubungan dengan kejadian TB Paru balita,sehingga dapat dilakukan upaya pencegahan yang tepat.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1.2.1 Rumusan Masalah Umum

Rumusan masalah umum dari penelitian ini adalah apakah faktor-faktor risiko yang terdiri dari karakteristik balita, karakteristik orangtua, lingkungan fisik rumah, dan riwayat kontak dengan penderita TB dewasa berhubungan dengan kejadian TB Paru balita?

1.2.2 Rumusan Masalah Khusus

Rumusan masalah khusus dari penelitian ini adalah: 1. Apakah karakteristik balita yang terdiri dari:

1) Jenis kelamin berhubungan dengan kejadian TB Paru balita?

2) Riwayat Bayi Berat Lahir Rendah berhubungan dengan kejadian TB Paru balita?

3) Status gizi berhubungan dengan kejadian TB Paru balita?

4) Keberadaan scar BCG berhubungan dengan kejadian TB Paru balita? 5) Usia pemberian imunisasi BCG berhubungan dengan kejadian TB

(22)

6) Riwayat pemberian ASI eksklusif berhubungan dengan kejadian TB Paru balita?

2. Apakah karakteristik orangtua yang terdiri dari:

1) Pendidikan ibu berhubungan dengan kejadian TB Paru balita? 2) Pekerjaan ibu berhubungan dengan kejadian TB Paru balita? 3) Status ekonomi berhubungan dengan kejadian TB Paru balita?

4) Riwayat merokok orangtua berhubungan dengan kejadian TB Paru balita?

3. Apakah lingkungan fisik rumah yang terdiri dari:

1) Kepadatan hunian berhubungan dengan kejadian TB Paru balita? 2) Ventilasi berhubungan dengan kejadian TB Paru balita?

3) Pencahayaan berhubungan dengan kejadian TB Paru balita? 4. Apakah riwayat kontak dengan penderita TB dewasa yang terdiri dari:

1) Riwayat kontak dengan keluarga penderita TB berhubungan dengan kejadian TB Paru balita?

2) Riwayat kontak dengan tetangga penderita TB berhubungan dengan kejadian TB Paru balita?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.3.1 Tujuan Umum

(23)

rumah, dan riwayat kontak dengan penderita TB dewasa berhubungan dengan kejadian TB Paru balita.

1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui karakteristik balita yang terdiri dari:

1) Jenis kelamin berhubungan dengan kejadian TB Paru balita.

2) Riwayat Bayi Berat Lahir Rendah berhubungan dengan kejadian TB Paru balita.

3) Status gizi berhubungan dengan kejadian TB Paru balita.

4) Keberadaan scar BCG berhubungan dengan kejadian TB Paru balita. 5) Usia pemberian imunisasi BCG berhubungan dengan kejadian TB Paru

balita.

6) Riwayat pemberian ASI eksklusif berhubungan dengan kejadian TB Paru balita.

2. Untuk mengetahui karakteristik orangtua yang terdiri dari: 1) Pendidikan ibu berhubungan dengan kejadian TB Paru balita. 2) Pekerjaan ibu berhubungan dengan kejadian TB Paru balita. 3) Status ekonomi berhubungan dengan kejadian TB Paru balita.

4) Riwayat merokok orangtua berhubungan dengan kejadian TB Paru balita.

3. Untuk mengetahui lingkungan fisik rumah yang terdiri dari:

(24)

3) Pencahayaan berhubungan dengan kejadian TB Paru balita.

4. Untuk mengetahui riwayat kontak dengan penderita TB dewasa yang terdiri dari:

1) Riwayat kontak dengan keluarga penderita TB berhubungan dengan kejadian TB Paru balita.

2) Riwayat kontak dengan tetangga penderita TB berhubungan dengan kejadian TB Paru balita.

1.4 Manfaat

Berdasarkan tujuan di atas, maka penelitian ini bermanfaat bagi: 1.4.1 Bagi Peneliti Lain

Sebagai sumber informasi untuk mengembangkan penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan TB Paru balita.

1.4.2 Bagi Institusi Pendidikan

Sebagai sumber informasi ilmiah yang dapat bermanfaat dalam materi pembelajaran dan sebagai sumber pustaka yang berhubungan dengan TB Paru pada balita.

1.4.3 Bagi Masyarakat

Memberikan informasi kepada masyarakat tentang faktor-faktor risiko apa saja yang dapat menyebabkan terjadinya TB Paru pada balita, sehingga dapat dilakukan upaya pencegahan dengan tepat.

1.4.4 Bagi Pelayanan Kesehatan

(25)

penyuluhan pada pusat pelayanan kesehatan untuk lebih meningkatkan penyuluhan kepada masyarakat.

1.5 Keaslian Penelitian

Berikut ini beberapa penelitian yang telah dilakukan terkait dengan kejadian TB Paru balita:

Tabel 1.2. Keaslian Penelitian No. Judul Penelitian Nama

Peneliti

yang signifikan antara umur < 14 tahun (AOR:

kejadian TB pada anak BTA (+).

Umur, jarak kelahiran anak < 1 tahun, kepadatan hunian dan tingkat pendidikan ibu

merupakan faktor

risiko yang terkait dengan kejadian infeksi

(26)

saudara, pendidikan signifikan antara status imunisasi BCG, kontak dengan penderita TB dewasa dan pendidkan

orangtua dengan signifikan antara status gizi (p value = 0,026), riwayat kontak (p value

= 0,000), status

ekonomi (p value = 0,001) dengan kejadian TB pada anak, sedang-riwayat kontak dengan

(27)

7 Faktor Risiko

antara riwayat kontak dengan penderita TB Paru dewasa, ventilasi

rumah, pencahayaan 2,38), status imunisasi (OR = 5,57), pekerjaan

yang bermakna antara faktor kebiasaan mero-kok dalam rumah (OR

= 2,436), adanya

riwayat kontak dengan penderita BTA positif (OR = 2,629) dan status sosial ekonomi (OR = 2,458) dengan kejadian

Tuberkulosis pada

balita.

Beberapa hal yang membedakan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah:

1. Tahun dan tempat penelitian

(28)

2. Variabel penelitian

Variabel bebas yang diduga berhubungan kejadian TB Paru balita dalam penelitian ini lebih banyak. Penelitian ini hampir sama dengan penelitian Wiharsini (2013), perbedaannya adalah penelitian ini meneliti lingkungan fisik rumah dan mengkategorikan adanya riwayat kontak dengan penderita TB dewasa yang tidak diteliti dalam penelitian Wiharsini.

3. Rancangan penelitian

Penelitian ini hampir sama dengan penelitian Nguyen et al (2009), Haq et al (2010) dan Soborg et al (2011), yang membedakan adalah dalam penelitian ini akan menggunakan desain penelitian case control untuk mengetahui faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian TB Paru balita, sedangkan pada penelitian Nguyen et al (2009), Haq et al (2010) dan Soborg et al (2011) menggunakan desain penelitian cross sectional.

1.6 Ruang Lingkup Penelitian

1.6.1 Ruang Lingkup Tempat

Lokasi dan ruang lingkup penelitian ini dilakukan di BKPM Wilayah Semarang.

1.6.2 Ruang Lingkup Waktu

Penelitian ini dilakukan pada tahun 2016. 1.6.3 Ruang Lingkup Keilmuan

(29)

15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasar Teori

2.1.1 Tuberkulosis (TB)

2.1.1.1 Definisi

Tuberkulosis (TB) Paru adalah penyakit infeksi pada jaringan paru yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis (Sibuea dkk, 2009: 46). Seseorang yang terinfeksi kuman TB tidak selalu menjadi sakit. Beberapa minggu (2 – 12 minggu) setelah terinfeksi kuman akan menimbulkan respons imunitas selular yang dapat ditunjukkan dengan uji tuberkulin (IDAI, 2008: 131). Menurut Brunner dan Sudart (2002), TB juga dapat ditularkan kebagian tubuh lainnya, termasuk meninges, ginjal, tulang dan nodus limfe (Efendi, 2012).

TB Paru anak adalah penyakit TB Paru yang mengenai anak berusia 0 – 14 tahun yang digolongkan dalam kelompok umur 0 – 4 tahun dan 5 – 14 tahun (Kemenkes RI, 2013). Menurut WHO, terdapat lebih dari 8 juta kasus TB baru dengan jumlah kematian sebesar 3 juta setiap tahun. Dari jumlah kematian tersebut terdapat sekitar 1,4 juta kasus dengan 450.000 kematian yang terdiri dari anak-anak (Widagdo, 2011: 167).

2.1.1.2 Epidemiologi

(30)

tuberculosis) yang hampir sebagian besar menyerang paru, namun dapat ditemukan juga di organ tubuh selain paru (Mandal dkk, 2008: 220).

Penyakit TB harus diwaspadai, tidak hanya pada orang dewasa tetapi juga anak-anak, terutama pada balita yang masih memiliki sistem imun rendah. TB anak merupakan faktor penting di negara-negara berkembang karena jumlah anak berusia kurang dari 15 tahun adalah 40 − 50% dari jumlah seluruh populasi

(Seddon dan Shingadia, 2014). Sekitar 500.000 anak menderita TB setiap tahun, sementara 200 anak di dunia meninggal setiap hari akibat TB, 70.000 anak meninggal setiap tahun akibat TB. Beban kasus TB anak di dunia tidak diketahui secara pasti karena kurangnya alat diagnostik “child-friendly” dan tidak

adekuatnya sistem pencatatan dan pelaporan kasus TB anak (Kemenkes RI, 2013). Anak yang pernah terinfeksi TB mempunyai risiko menderita penyakit ini sepanjang hidupnya sebesar 10% (Widoyono, 2008: 14).

(31)

2.1.1.3 Etiologi

Mycobacterium tuberculosis adalah bakteri penyebab terjadinya penyakit TB yang termasuk dalam famili Mycobacteriaceae. Bakteri ini pertama kali digambarkan pada tanggal 24 Maret 1882 oleh Robert Koch. Bakteri ini juga sering disebut Abasilus koch. Bakteri TB berbentuk basil dengan ukuran 0,5 – 4

mikron x 0,3 – 0,6 mikron. Dinding sel mengandung banyak lemak yang bermanfaat sebagai penghambat bahaya bakterisida dari antibodi dan komplemen. Basil TB mempunyai sifat tidak membentuk spora, non motil, pleomorf, gram positif, termasuk dalam bakteri tahan asam dan tidak tahan terhadap panas (Naga, 2012; Widagdo, 2011: 167).

Dalam dahak bakteri ini dapat bertahan selama 20 – 30 jam, sedangkan basil dalam percikan air ludah dapat bertahan hidup selama 8 – 10 hari. Sementara itu, bakteri ini dapat mati pada pemanasan 100ºC selama 5 – 10 menit atau pada pemanasan 60ºC selama 30 menit, dan mengunakan alkohol 70 – 95% selama 15 – 30 detik (Naga, 2012; Widagdo, 2011: 167; Widoyono, 2008: 15).

2.1.1.4 Patogenesis

(32)

Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuk kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Pada saat terbentuknya kompleks primer, maka TB primer dinyatakan telah terjadi. Setelah terjadi kompleks primer, imunitas selular tubuh terhadap TB terbentuk, yang dapat diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu uji tuberkulin positif (Kemenkes RI, 2013). Namun, pada 95% kasus, kompleks primer dapat sembuh secara spontan dalam 1 – 2 bulan melalui pembentukan jaringan fibrotik atau perkapuran (Mandal dkk, 2008: 222; Widagdo, 2011: 168).

Setelah imunitas selular terbentuk, fokus primer di jaringan paru akan mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah terjadi nekrosis perkijuan dan enkapsulasi (Kemenkes RI, 2013; Mandal dkk, 2008: 222). Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer di jaringan paru (Kemenkes RI, 2013).

Kompleks primer dapat mengalami komplikasi akibat fokus di paru yaitu akan terjadi pneumonitis yang mengalir ke bronkus dengan meninggalkan suatu kaverna (Widagdo, 2011: 168). Setelah itu akan terjadi hiperinflasi didalam lobus medialis akibat pembesaran kelenjar di hilus dan pratakea (sindrom Brock), dapat pula menimbulkan TB endobronkial akibat erosi dinding bronkus. Lesi dari pneumonitis dan hiperinflasi dikatakan sebagai lesi segmental atau konsolidasi kolap (Kemenkes RI, 2013; Widagdo, 2011: 169).

(33)

kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer, atau berlanjut menyebar secara limfohematogen. Selain itu, dapat terjadi penyebaran hematogen secara langsung, yaitu kuman masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh, sehingga menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik (Kemenkes RI, 2013).

Kuman TB dapat mencapai berbagai organ di seluruh tubuh dalam bentuk penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread) yang kemudian akan bersarang di organ yang mempunyai vaskularisasi baik, yaitu paling sering di apeks paru, limpa, dan kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga bersarang di organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal, dan lain-lain. TB luar paru dapat terjadi sekitar 25 – 35% dari kasus TB Paru anak (Kemenkes RI, 2013; Widagdo, 2011: 169).

Bentuk penyebaran hematogen lain yaitu penyebaran hematogenik generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada penyebaran ini, kuman TB masuk dan beredar di dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut untuk menyebabkan lesi diseminata (Kemenkes RI, 2013; Mandal dkk, 2008: 222).

2.1.1.5 Tanda dan Gejala

Seseorang dapat dikatakan menderita penyakit TB Paru apabila ditemukan gejala klinis utama (cardinal symptom) pada dirinya. Gejala utama pada seseorang yang terkena TB Paru, diantaranya yaitu:

1. Batuk berdahak lebih dari tiga minggu.

(34)

3. Dada terasa sesak pada waktu bernapas.

4. Dada terasa sakit atau nyeri (Naga, 2012; Widoyono, 2008: 16).

Selain gejala utama, terdapat gejala lain seperti keringat pada malam hari, demam tidak tinggi/meriang, dan penurunan berat badan. Namun, berdasarkan strategi yang baru (DOTS), gejala utama seseorang terkena TB Paru adalah batuk berdahak dan/atau terus menerus selama 3 minggu atau lebih. Berdasarkan keluhan tersebut, maka seseorang sudah dapat ditetapkan sebagai penderita TB, sedangkan gejala lainnya merupakan gejala tambahan (Widoyono, 2008; 16)

Menurut Kemenkes RI (2013), gejala sistemik/umum TB anak adalah sebagai berikut:

1. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan tidak mengalami kenaikan dalam kurun waktu satu bulan setelah melalui upaya perbaikan gizi yang baik.

2. Demam selama lebih dari 2 minggu dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas. Keringat malam saja bukan merupakan gejala spesifik TB pada anak apabila tidak disertai dengan gejala-gejala sistemik lainnya.

3. Batuk lebih dari 3 minggu, batuk bersifat non-remitting.

4. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, diikuti kegagalan dalam pertumbuhan, perasaan lesu atau malaise, sehingga mengakibatkan anak kurang aktif bermain.

(35)

Menurut Widagdo (2011: 169), TB pada sebagian anak tidak menunjukkan gejala apapun. Sementara sebagian lainnya menunjukkan gejala pada penyakit umumnya seperti demam ringan, batuk ringan, malaise, dan gejala flu yang biasanya akan hilang selama seminggu. Lebih dari 50% bayi dan anak-anak yang menderita TB primer akan menunjukkan adanya kelainan pada foto toraks, namun tidak terlihat pada pemeriksaan fisik. Gejala yang sering ditemukan adalah batuk, sesak nafas ringan, demam, keringat malam, anoreksia, berat badan turun, dan anak kurang aktif saat bermain. Secara fisik dapat ditemukan adanya

takipnea, suara nafas melemah, mengi, dan disstres nafas.

2.1.1.6 Klasifikasi

Menurut Naga (2012), TB dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu TB paru dan TB ekstra paru.

1. TB Paru

Penyakit ini merupakan bentuk yang paling sering dijumpai, yaitu sekitar 80% dari semua penderita. TB yang menyerang jaringan paru-paru ini merupakan satu-satunya bentuk dari TB yang mudah tertular kepada manusia yang kontak dengan bakteri Mycobacterium tuberculosis dari penderita.

2. TB Ekstra Paru

(36)

bulu, karena dapat menyerang seluruh organ dalam tubuh manusia secara bertahap. Penyakit ini sering menimbulkan kematian bagi penderita.

2.1.1.7 Penemuan Pasien TB Paru

Menurut Kemenkes RI (2013), penemuan pasien TB Paru anak dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu:

1. Anak yang kontak serumah dengan penderita TB menular

Anak yang menderita TB umumnya tinggal serumah atau sering bertemu dengan penderita TB dewasa yang menular, ditandai dengan hasil pemeriksaan sputum BTA (+).

2. Anak dengan tanda dan gejala klinis sesuai dengan TB anak

Anak dengan TB Paru biasanya menunjukkan gejala klinis yang tidak khas, karena pada beberapa penyakit menunjukkan gejala yang serupa dengan TB. Gejala sistemik TB anak meliputi berat badan turun tanpa sebab yang jelas, demam lebih dari 2 minggu tanpa sebab yang jelas, batuk lebih dari 3 minggu,

anoreksia, malaise, diare persisten, dan keringat malam tanpa melakukan aktivitas.

2.1.1.8 Diagnosis TB Paru

Menurut Widagdo (2011: 175), dalam menegakkan diagnosis TB Paru, diperlukan beberapa hal diantaranya:

(37)

2) Hasil pemeriksaan fisik yang tergantung pada jenis dan tingkat dari penyakit yang diderita.

3) Pemeriksaan penunjang.

Berdasarkan Kemenkes RI (2013), penegakan diagnosis TB anak dapat dilakukan dengan melihat gejala klinis dan melakukan pemeriksaan penunjang yang tepat. Sumber penularan utama TB Paru anak dapat dilihat dari riwayat kontak erat dengan penderita TB menular. Selanjutnya, untuk membuktikan anak telah tertular oleh kuman TB dengan melakukan beberapa tindakan, yaitu:

1. Uji tuberkulin/ mantoux test

Uji tuberkulin positif menunjukkan adanya reaksi hipersensitifitas terhadap antigen yang diberikan. Hal ini secara tidak langsung menandakan bahwa pernah ada kuman yang masuk ke dalam tubuh anak atau anak sudah tertular. Anak dengan uji tuberkulin positif tidak selamanya menderita TB karena sistem imun yang masih cukup baik. Anak dengan sistem imun yang baik secara klinis tampak sehat dan keadaan ini disebut sebagai infeksi TB laten. Namun anak dengan sistem imun yang lemah tidak mampu mengendalikan kuman, sehingga menimbulkan gejala TB anak.

2. Foto toraks

Penegakan diagnosis melalui gambaran foto toraks pada TB memiliki kelemahan, yaitu tidak khas karena juga dapat dijumpai pada penyakit lain.

3. Sistem skoring

(38)

mengurangi terjadinya underdiagnosis maupun overdiagnosis TB. Penilaian/pembobotan pada sistem skoring dengan ketentuan sebagai berikut:

1) Parameter uji tuberkulin dan kontak erat dengan pasien TB menular mempunyai nilai tertinggi yaitu 3.

2) Uji tuberkulin bukan merupakan uji penentu utama untuk menegakkan diagnosis TB pada anak dengan menggunakan sistem skoring.

(39)

Pembesaran parameter sistem skoring pada anak terdiri dari:

1. Kontak dengan pasien TB BTA (+) diberi skor 3 bila ada bukti tertulis hasil laboratorium BTA dari sumber penularan.

2. Penentuan status gizi dilakukan dengan parameter BB/TB atau BB/U, dengan merujuk pada buku KIA Kemenkes. Apabila BB kurang, diberikan upaya perbaikan gizi dan dievaluasi selama 1 bulan.

3. Demam (≥2 minggu) dan batuk (≥3 minggu) yang tidak sembuh setelah diberikan pengobatan.

4. Gambaran foto toraks menunjukkan gambaran mendukung kejadian TB Paru anak.

Sementara pada catatan penegakan diagnosis terdiri dari:

1. Penegakan diagnosis dengan sistem skoring dilakukan oleh dokter atau petugas kesehatan terlatih.

(40)

3. Anak dengan skor 6 yang kontak dengan pasien BTA (+), hasil uji tuberkulin positif, dan tanpa gejala klinis harus diberi INH profilaksis. 4. Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dengan gejala klinis yang

meragukan harus segera dirujuk ke rumah sakit.

5. Semua bayi dengan reaksi cepat saat imunisasi BCG dicurigai terinfeksi TB dan harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak

6. Jika dijumpai skrofuloderma pasien dapat langsung didiagnosis TB

2.1.1.9 Pencegahan Penyakit TB Paru

Menurut Kemenkes RI (2013), beberapa hal yang perlu dilakukan untuk mencegah kejadian TB Paru anak antara lain:

1. Imunisasi BCG pada Anak

BCG digunakan pada beberapa negara sebagai tindakan perlindungan untuk infeksi mycobakterium. Berdasarkan pada Program Pengembangan Imunisasi (PPI), imunisasi BCG diberikan pada bayi berumur ≤ 2 bulan dengan

hasil uji tuberkulin negatif. Efek proteksi timbul 8 – 12 minggu setelah penyuntikan. Imunisasi BCG hanya diberikan sekali dan tidak dianjurkan untuk imunisasi ulang karena tidak terbukti memberikan perlindungan. Secara umum perlindungan vaksin BCG efektif untuk mencegah terjadinya TB berat seperti TB milier dan TB meningitis yang sering terjadi pada anak-anak (IDAI, 2008: 132).

2. Skrining dan Manajemen Kontak

(41)

penularan bagi anak yang didiagnosis TB. Tujuan utama skrining dan manajemen kontak adalah:

1) Meningkatkan penemuan kasus melalui deteksi dini dan melakukan pengobatan.

2) Mengidentifikasi kontak pada semua kelompok umur yang berisiko untuk mengembangkan penyakit TB.

3) Memberikan terapi pencegahan untuk anak yang terinfeksi TB. 3. Pencegahan dengan Isoniazid

Anak yang kontak serumah dengan pasien TB Paru dewasa dengan BTA (+) akan berisiko tertular TB. Infeksi TB Paru pada anak dapat mengakibatkan kejadian TB berat, sehingga diperlukan pemberian kemoprofilaksis sebagai upaya pencegahan TB Paru pada anak.

Menurut Naga (2012), banyak hal yang bisa dilakukan untuk mencegah penyakit TB Paru. Pencegahan-pencegahan berikut dapat dikerjakan oleh masyarakat khususnya ibu, maupun petugas kesehatan, yaitu:

1. Bagi masyarakat pencegahan penularan dapat dilakukan dengan meningkatkan ketahanan terhadap bayi, yaitu dengan memberikan imunisasi BCG.

2. Bagi petugas kesehatan pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan penyuluhan tentang penyakit TB dan bahayanya terhadap anak.

(42)

penyakit ini (piring, tempat tidur, pakaian) dan menyediakan ventilasi rumah dan sinar matahari yang cukup.

4. Melakukan penyelidikan terhadap orang-orang yang kontak, dan melakukan pengobatan khusus bagi penderita TB aktif selama 6 – 12 bulan.

2.1.1.10 Pengobatan TB Paru

Prinsip pengobatan TB anak adalah menggunakan gabungan dari beberapa obat dengan tujuan agar memiliki efek penyembuhan dan mencegah timbulnya resistensi selama pengobatan. Pengobatan TB anak diberikan selama 6 – 12 bulan yang terdiri dari tahap intensif selama 2 bulan pertama dengan 3 jenis

obat dan tahap lanjutan selama 4 – 10 bulan selanjutnya. Paduan OAT Kategori Anak diberikan dalam bentuk paket berupa obat Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 3 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien (Kemenkes RI, 2013).

(43)

sekunder yang biasanya terjadi pada kasus orang dewasa (Widagdo, 2011: 178-179).

2.1.2 Faktor Risiko Penyebab TB Paru Balita

Konsep “trial epidemiologi” dari John Gordon mengemukakan bahwa

terjadinya suatu penyakit disebabkan karena tidak seimbangnya ketiga faktor yaitu agent (penyebab penyakit), host (pejamu), dan environment (lingkungan) (Budioro, 2001: 38).

2.1.2.1 Agent

Agent (penyebab penyakit) merupakan semua unsur baik hidup atau mati yang dapat mengakibatkan terjadinya suatu penyakit (Muaz, 2014; Widoyono, 2008: 3; Budioro, 2001: 38). Agent penyebab penyakit terdiri dari bahan kimia,

nutrient, mekanik, alamiah, kejiwaan, dan biologis (Budioro, 2001: 38). Penyakit menular biasanya disebabkan oleh agent biologis, seperti infeksi bakteri, virus, parasit, atau jamur (Widoyono, 2008: 6). Agent yang menjadi penularan penyakit TB adalah bakteri Mycobacterium tuberculosis (Widoyono, 2008: 15).

Salah satu faktor yang mempengaruhi agent yaitu virulensi. Virulensi merupakan kemampuan atau keganasan suatu agent penyebab penyakit dalam menimbulkan kerusakan pada sasaran (Widoyono, 2008: 6). Berdasarkan sumber yang sama virulensi kuman TB termasuk dalam tingkat tinggi (Fatimah, 2008).

2.1.2.2 Host

Faktor pejamu adalah manusia atau hewan hidup yang mempunyai kemungkinan terpapar oleh agent penyakit (Fatimah, 2008; Muaz, 2014). Host

(44)

penelitian ini, host yang dimaksud adalah manusia. Beberapa faktor host yang berhubungan dengan kejadian TB Paru pada balita terdiri dari:

2.1.2.2.1 Karakteristik Balita

1. Usia

Penyakit TB Paru paling sering ditemukan pada usia muda atau usia produktif, yaitu 15-50 tahun. Dewasa ini dengan terjadinya transisi demografi, menyebabkan usia harapan hidup lansia menjadi lebih tinggi. Pada usia lanjut >55 tahun sistem imunologis seseorang menurun, sehingga sangat rentan terhadap berbagai penyakit, termasuk penyakit TB Paru (Naga, 2012).

Usia memainkan salah satu peran yang paling penting dalam menentukan berkembangnya penyakit pada masa anak-anak. Bayi yang terinfeksi memiliki risiko sebesar 50% terkena perkembangan penyakit. Sementara itu anak usia 1 – 2 tahun memiliki risiko 20% – 30%, untuk anak berusia 3 – 5 tahun memiliki risiko 5%, anak berusia 5 – 10 tahun berisiko 2% dan risiko terhadap orang dewasa adalah 5%. Usia anak-anak juga lebih mungkin untuk mengembangkan bentuk parah dari TB, seperti TB meningitis atau TB milier (Seddon dan Shingadia, 2014).

2. Jenis Kelamin

(45)

lebih tinggi karena rokok dan minuman alkohol karena dapat menurunkan sistem pertahanan tubuh (Naga, 2012).

Menurut WHO pada tahun 2007, terdapat sebanyak 5,5 juta kasus TB dilaporkan dari 196 negara dengan kasus TB BTA (+) lebih tinggi terjadi pada laki-laki daripada perempuan. Perbedaan jenis kelamin di dunia bervariasi pada setiap usia. Di negara-negara industri, tidak terdapat perbedaan kasus TB di antara anak-anak, remaja pria dan wanita, namun kasus yang tinggi terjadi pada perempuan yang berusia 15 – 34 tahun. Sementara itu di negara berkembang, tidak terdapat perbedaan kasus TB untuk jenis kelamin laki-laki dan perempuan (Sabawoon dan Sato, 2012).

Meskipun secara fisik laki-laki cenderung lebih kuat dibandingkan perempuan, namun sejak bayi hingga dewasa perempuan memiliki daya tahan tubuh lebih kuat dibandingkan laki-laki, baik daya tahan akan rasa sakit maupun daya tahan terhadap penyakit. Anak laki-laki lebih rentan terhadap berbagai jenis penyakit dan cacat dibandingkan anak perempuan. Selain itu, secara neurologis anak perempuan lebih matang dibandingkan anak laki-laki sejak lahir hingga masa remaja, begitu juga dengan pertumbuhan fisik anak perempuan lebih cepat daripada laki-laki (Friedman dkk, 2006 dalam Domili dkk, 2014).

(46)

(2002), anak balita dengan jenis kelamin laki-laki berisiko 1,26 kali lebih besar terkena TB Paru primer dibandingkan anak balita dengan jenis kelamin perempuan.

3. Riwayat Bayi Berat Lahir Rendah

Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) ialah suatu keadaan dimana berat badan bayi saat lahir kurang dari 2500 gram tanpa memandang masa kehamilan (Kemenkes RI, 2015; Proverawati dan Sulistyorini, 2010: 1). Prevalensi BBLR diperkirakan mencapai 15% dari seluruh kelahiran di dunia dengan kisaran 3,3% –

38% dan lebih sering terjadi di negara-negara berkembang dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah. Secara statistik, di negara berkembang bayi dengan BBLR berisiko 35 kali lebih tinggi mengalami kematian dibandingkan bayi dengan berat lahir lebih dari 2500 gram (Pantiawati, 2010: 3).

BBLR tidak hanya terjadi pada bayi yang lahir prematur, namun juga pada bayi cukup bulan yang mengalami hambatan pertumbuhan selama kehamilan (Kemenkes RI, 2015; Pantiawati, 2010: 4; Proverawati dan Sulistyorini, 2010: 1). Penyebab terjadinya bayi BBLR secara umum bersifat multifaktoral, sehingga sulit untuk menentukan upaya pencegahan yang tepat (Proverawati dan Sulistyorini, 2010: 5).

(47)

sering terjadi adalah susunan saraf pusat, kardiovaskular, hematologi, gastro intestinal, ginjal, termoregulasi, dan gangguan pada sistem pernafasan seperti TB Paru (Kemenkes RI, 2015). Berdasarkan penelitian Wiharsini (2013), menunjukkan bahwa balita dengan riwayat BBLR berisiko 0,88 kali lebih besar menderita TB Paru daripada balita dengan riwayat berat lahir normal.

4. Status Gizi

Kekurangan karbohidrat, protein, vitamin, mineral dan zat gizi lainnya akan mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang, sehingga rentan terhadap berbagai penyakit, termasuk TB Paru. Keadaan ini merupakan faktor penting yang berpengaruh di negara berkembang, baik pada orang dewasa maupun anak-anak (Naga, 2012).

Status gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi yang digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja, dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin (Almatsier, 2009: 9). Sementara itu, balita dengan keadaan gizi buruk biasanya memiliki tubuh lemah sehingga mudah terinfeksi dan diserang penyakit terutama kuman TB. Malnutrisi sering tejadi pada penderita TB Paru yang lama sekitar 70% (Efendi, 2012).

Salah satu penentuan status gizi balita adalah melalui klasifikasi menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 920/Menkes/SK/VIII/2002 untuk keperluan Pemantauan Status Gizi (PSG) anak balita dengan mengukur berat badan terhadap umur. Status gizi diklasifikasikan menjadi 4, yaitu:

(48)

2) Gizi baik : bila Z_Skor terletak diantara ≥ -2 SD s/d +2 SD 3) Gizi kurang : bila Z_Skor terletak pada < -2 SD s/d ≥ - 3 SD 4) Gizi buruk : bila Z_Skor terletak < -3 SD.

Hasil penelitian Rakhmawati dkk (2008), menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara status gizi dengan kejadian TB Paru anak. Anak dengan status gizi kurang mempunyai peluang untuk terkena TB 7,11 kali lebih besar dibandingkan anak dengan status gizi baik. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Wiharsini (2013), yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara status gizi dengan kejadian TB Paru balita (p value = 0,03).

5. Keberadaan Scar BCG

BCG adalah vaksin hidup berasal dari Mycobacterium bovis yang telah dilemahkan, namun masih mempunyai imunogenitas (IDAI, 2008: 132). Pemberian imunisasi bertujuan untuk mencegah atau bahkan menghilangkan terjadinya suatu penyakit tertentu pada kelompok masyarakat (IDAI, 2008: 10). Pemberian imunisasi BCG akan menghasilkan kekebalan aktif terhadap penyakit TB. Imunisasi ini hanya diberikan sekali seumur hidup yaitu sebelum anak berumur dua bulan dan tidak dianjurkan untuk pemberian imunisasi ulang (Lisnawati, 2011: 56). Vaksin BCG memberikan efek perlindungan sebesar 80% selama 10 – 15 tahun dan merupakan upaya pencegahan penyakit diseminata pada anak yang paling baik (Mandal dkk, 2008: 227).

(49)

bulat berdiameter 4 – 8 mm (IDAI, 2008: 133; Lisnawati, 2011: 57). Berdasarkan penelitian Wiharsini (2013), menunjukkan bahwa balita yang tidak memiliki scar BCG berisiko 5,57 kali lebih besar menderita TB Paru dibandingkan balita yang memiliki scar BCG (CI 95% 2,48 – 12,54). Dalam penelitian Wiharsini (2013), menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara imunisasi BCG dengan kejadian TB Paru balita. Hasil ini berbeda dengan penelitian Rakhmawati dkk (2009), yang menunjukkan hubungan yang tidak bermakna antara imunisasi BCG dengan kejadian TB Paru anak (p value = 0,240).

6. Usia Pemberian Imunisasi BCG

(50)

Usia pemberian imunisasi BCG banyak mengalami perdebatan. Beberapa ahli mengemukakan bahwa imunisasi BCG sebaiknya diberikan pada usia 0 bulan (3 hari pertama setelah kelahiran). Namun pendapat lain menyatakan bahwa imunisasi BCG dapat diberikan pada usia 2 – 3 bulan, dikarenakan jika diberikan pada usia 0 bulan tubuh anak belum dapat membentuk antibodi dengan baik. Menurut hasil penelitian Suardi (2002), menunjukkan bahwa respon terhadap uji tuberkulin dan scar BCG yang timbul lebih baik pada vaksinasi yang diberikan pada 3 bulan pertama dibandingkan imunisasi yang diberikan 3 hari pertama setelah lahir (Rakhmawati dkk, 2009).

Menurut Pizzo dan Wilfert (1994) mengemukakan bahwa sel-sel imunokompeten tubuh telah terbentuk sempurna pada waktu bayi lahir, oleh karena itu dengan memberikan imunisasi BCG lebih dini akan menimbulkan respon imun yang lebih dini pula, terutama respon imun seluler dibandingkan respon imun humoral. Hal ini dikarenakan respon imun berkaitan erat dengan kemampuan tubuh dalam melawan penyakit, sehingga pemberian imunisasi BCG sejak lahir akan menumbuhkan daya tahan tubuh terhadap penyakit TB, dengan demikian dapat mencegah TB Paru lebih awal (Murniasih dan Livana, 2007).

Berdasarkan hasil penelitian Wiharsini (2013), menyatakan bahwa balita yang tidak diimunisasi BCG tepat waktu berisiko 1,08 kali lebih besar menderita TB Paru dibandingkan dengan balita yang diimunisasi tepat waktu. Hasil berbeda ditunjukkan oleh penelitian Setyowati (2007) yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara waktu pemberian imunisasi ≤ 1 minggu dengan

(51)

7. Riwayat Penyakit Penyerta

Penyakit penyerta merupakan suatu penyakit yang menyertai penyakit lain atau sebagai komplikasi dari penyakit yang diderita. Seseorang akan lebih mudah untuk menderita TB apabila disertai dengan adanya suatu penyakit yang mengakibatkan rendahnya sistem imun dalam tubuh, seperti adanya penyakit infeksi HIV/AIDS, malnutrisi, infeksi campak, pertusis, Diabetes Mellitus, gagal ginjal, keganasan, dan penggunaan kortikosteroid jangka lama (Kemenkes RI, 2013; Ketut, 2013).

TB merupakan infeksi oportunistik yang paling sering ditemukan pada anak yang terinfeksi HIV dan menyebabkan peningkatan angka kesakitan dan kematian. Meningkatnya jumlah kasus TB pada anak dengan infeksi HIV disebabkan tingginya transmisi Mycobacterium tuberculosis dan kerentanan anak. Sementara itu, meningkatnya kasus HIV pada orang dewasa telah berdampak terhadap peningkatan jumlah anak yang terinfeksi HIV pada umur yang rentan sehingga anak tersebut sangat mudah terkena TB terutama TB berat, seperti TB milier dan meningitis (Kemenkes RI, 2013).

(52)

8. Riwayat Pemberian ASI Eksklusif

Air Susu Ibu (ASI) eksklusif berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012 adalah ASI yang diberikan kepada bayi sejak dilahirkan selama enam bulan lamanya, tanpa diberikan makanan atau minuman tambahan lain (kecuali obat, vitamin dan mineral) (Kemenkes RI, 2015). ASI mengandung kolostrum yang kaya akan zat antibodi karena mengandung protein yang dapat membentuk daya tahan tubuh dan sebagai pembunuh kuman dalam jumlah tinggi sehingga pemberian ASI eksklusif dapat mengurangi risiko kematian pada bayi. ASI mengandung zat-zat makanan dan zat penyerap berupa enzim tersendiri yang tidak akan mengganggu enzim di usus. Kelebihan ASI dibandingkan susu formula yaitu dalam susu formula tidak terkandung enzim sehingga mengganggu penyerapan makanan pada enzim yang terdapat di usus bayi (Kemenkes RI, 2015; Arisman, 2009: 50).

(53)

2.1.2.2.2 Karakteristik Orangtua

1. Pendidikan Ibu

Pendidikan akan menggambarkan perilaku seseorang dalam bidang kesehatan. Selain itu juga, pendidikan berkaitan erat dengan pengetahuan. Semakin rendah pendidikan maka pengetahuan dibidang kesehatan semakin berkurang yang secara langsung maupun tidak langsung dapat merugikan kesehatan yang pada akhirnya dapat mempengaruhi terjadinya penyakit TB (Muaz, 2014).

Menurut Soetjiningsih (1995), pendidikan ibu merupakan salah satu faktor yang penting dalam tumbuh kembang anak karena dengan pendidikan yang baik, maka mudah bagi ibu untuk menerima segala informasi dari luar terutama tentang cara pengasuhan anak yang baik dan benar, bagaimana menjaga kesehatan anak, menentukan pendidikan anak, dan sebagainya (Hamidi, 2011). Di negara berkembang hampir 50% penderita TB adalah masyarakat yang berpendidikan rendah dan tingkat kemiskinan yang tinggi (Crofton dalam Efendi 2012).

(54)

TB Paru daripada ibu dengan pendidikan yang tinggi. Berbeda dengan penelitian Karim et al (2012), yang menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara pendidikan ibu dengan kejadian TB Paru anak dengan p value = 0,001.

2. Pekerjaan Ibu

Status pekerjaan merupakan faktor risiko yang mempengaruhi kejadian TB Paru anak. Hal ini dikarenakan pada umumnya ibu yang bekerja memiliki waktu yang lebih sedikit untuk bersama dengan anak-anaknya sehingga kurang memperhatikan kesehatan anaknya (Nugroho, 2012)

Berdasarkan hasil penelitian Wiharsini (2013), menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pekerjaan ibu dengan kejadian TB Paru balita (p value = 0,020) dengan nilai OR = 0,28 yang berarti balita dengan ibu yang bekerja memiliki risiko 0,28 kali lebih besar menderita TB Paru dibandingkan balita dengan ibu yang tidak bekerja. Pada penelitian ini, ibu yang bekerja dihubungkan dengan adanya riwayat kontak dalam mempengaruhi kejadian TB Paru balita. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa ibu yang bekerja tidak menyadari bahwa keluarga yang membantu mengasuh balita mereka menderita TB Paru. Sedangkan pada ibu yang tidak bekerja, balita tertular TB dari interaksi dengan kakek/nenek dan orangtua baik ibu maupun ayah.

3. Status Ekonomi

(55)

dapat mempengaruhi kemampuan orangtua dalam mencukupi kebutuhan gizi sang anak serta upaya untuk memberikan imunisasi BCG guna mencegah terjadinya penyakit TB Paru (Pernanda, 2013).

Masyarakat dengan status ekonomi yang rendah cenderung kurang memperhatikan kualitas hidup mereka, dan lebih sering mengalami kesulitan dalam mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak. Hal ini disebabkan karena kesibukan mereka yang lebih fokus untuk mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya (Priyadi, 2003). Berdasarkan hasil penelitian Rakhmawati dkk (2009) menunjukkan bahwa anak dengan latar belakang status ekonomi keluarga yang rendah berisiko 7,65 kali lebih besar terkena TB Paru dibandingkan anak dengan latar belakang status ekonomi keluarga yang tinggi, dengan nilai p = 0,001 yang berarti terdapat hubungan yang bermakna antara status ekonomi keluarga dengan kejadian TB Paru anak. Hal ini dikarenakan status ekonomi yang rendah dapat mempengaruhi kemampuan orangtua untuk memenuhi kebutuhan gizi sang anak yang berisiko mempengaruhi terjadinya TB Paru.

4. Perilaku

(56)

penderita yang tidak benar. Alasan inilah yang menyebabkan penularan penyakit TB Paru dalam keluarga (Agus S. dan Arum P. dalam Hamidi, 2011).

Seseorang dapat menerima perilaku baru dalam kehidupannya melalui 3 tahap yang terdiri atas: pengetahuan, sikap, dan tindakan.

1) Pengetahuan

Tingkat pengetahuan merupakan proses awal mula terbentuknya perilaku. Pengetahuan ibu dari penderita TB yang kurang tentang cara penularan, bahaya, dan cara pencegahan akan mempengaruhi sang anak untuk tertular TB Paru dari orang disekelilingnya (Astuti, 2013). Berdasarkan hasil penelitian Kuswantoro (2002), menyatakan bahwa anak balita yang memiliki ibu dengan tingkat pengetahuan rendah berisiko 2,70 kali lebih besar terkena TB Paru primer dibandingkan anak balita yang memiliki ibu dengan tingkat pengetahuan tinggi.

2) Sikap

Menurut Notoadmojo (2002), sikap merupakan respon seseorang yang dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu pengalaman, sosial budaya, agama dan emosi dalam diri seorang individu dalam membentuk sikap (Putra, 2011). Hasil penelitain Hamidi (2011) dalam skripsinya menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara sikap mengenai pencegahan TB Paru dengan kejadina TB Paru anak usia 0 – 14 tahun.

3) Tindakan

(57)

menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara tindakan pencegahan dengan kejadian TB Paru di Kota Solok.

Perilaku buruk dari penderita TB dewasa dengan BTA (+) sangat mempengaruhi terjadinya penularan kuman TB kepada balita. Kebiasaan batuk tanpa menutup mulut dan meludah sembarangan akan menyebabkan kuman TB mudah menyebar, sehingga kontak fisik harus dihindarkan dari balita. Berdasarkan penelitian Madanijah dan Triana (2007), menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara perilaku sumber penularan dengan kejadian TB Paru anak.

Salah satu perilaku yang berperan penting dalam menyumbangkan penyakit TB Paru balita adalah kebiasaan merokok orangtua. Prevalensi merokok di semua negara berkembang mencapai lebih dari 50% yang terjadi pada laki-laki dewasa, sedangkan pada wanita perokok kurang dari 5%. Dengan adanya kebiasaan merokok pada orangtua, maka semakin mempermudah terjadinya infeksi penyakit pada balita yang memiliki sistem imun lemah (Astuti, 2013). Sebuah data di Amerika menunjukkan bahwa terdapat 34,4% anak tinggal serumah bersama dengan minimal satu perokok, sehingga paparan asap rokok yang ditimbulkan menyebabkan tingginya prevalensi TB Paru anak (Halim dkk, 2015).

(58)

(Sidhi, 2010). Sementara itu menurut Suradi (1996), partikulat yang terdapat dalam asap rokok akan menimbulkan dampak yang besar terhadap pembersihan oleh sistem mukosilier, dimana sebagian partikulat tersebut mengendap pada lapisan mukus yang melapisi mukosa bronkus, sehingga menghambat aktivitas silia. Selain itu juga, berkurangnya pergerakan cairan yang melapisi mukosa bronkus mengakibatkan meningkatnya iritasi pada epitel mukosa bronkus. Dengan adanya gangguan refleks pada saluran napas, fungsi silier dan produksi mukus tersebut akan mengakibatkan penurunan sistem imun dalam tubuh, sehingga tubuh rentan terkena suatu penyakit (Purnamasari, 2010).

Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Sunani dan Ratifah (2014), menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara kebiasaan merokok orangtua dengan kejadian TB Paru pada balita (p = 0,001). Balita yang tinggal serumah dengan anggota keluarga yang memiliki kebiasaan merokok berisiko 5,09 kali lebih besar terkena TB Paru dibandingkan balita yang tinggal serumah dengan anggota keluarga tanpa kebiasaan merokok.

2.1.2.3 Environment

(59)

1. Lingkungan Fisik Rumah

Rumah merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang berfungsi sebagai tempat tinggal untuk melindungi diri dari gangguan iklim dan makhluk hidup lainnya. Sementara itu rumah sehat adalah rumah yang dapat menjadi tempat yang baik untuk tumbuh dan berkembang, baik secara jasmani, rohani dan sosial. Kondisi rumah sehat sangat penting untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Rumah dikatakan sehat apabila telah memenuhi empat syarat pokok berikut ini:

1) Memenuhi kebutuhan fisiologis, seperti: suhu, cahaya, udara, kebisingan, dan kepadatan.

2) Memenuhi kebutuhan psikologis, seperti: terdapat pembagian ruang yang baik serta aman untuk ditempati.

3) Terhindar dari penularan atau terjadinya penyakit, seperti: terdapat sarana air bersih, tempat pembuangan tinja dan air limbah, bebas dari vektor penyakit, dll.

4) Melindungi/mencegah terjadinya bahaya kecelakaan baik dari dalam maupun luar rumah, seperti: kuat, tidak mudah terbakar, safety

(Kepmenkes RI, 1999).

(60)

antara lain ventilasi, pencahayaan, kepadatan hunian, kelembaban ruangan, binatang penular penyakit, penyediaan air bersih, limbah rumah tangga, hingga penghuni dalam rumah (Fahreza dkk, 2012).

Dari beberapa penelitian yang dilakukan, terdapat beberapa parameter fisik rumah yang mengakibatkan terjadinya penularan penyakit TB Paru, yaitu:

1) Kepadatan Hunian

Semakin padat suatu hunian, maka penularan penyakit melalui udara akan semakin cepat dan mudah. Keadaan ini semakin diperparah apabila terdapat anggota keluarga yang menderita TB dengan BTA (+). Kepadatan hunian tempat tinggal pada penderita TB Paru anak biasanya berada pada tingkat yang rendah (Halim dkk, 2015; Sidhi, 2010). Kepadatan penghuni akan berpengaruh terhadap kadar oksigen, kadar uap air, dan suhu udara dalam ruang tersebut (Kuswantoro, 2002).

Persyaratan kepadatan hunian dapat dinyatakan dengan satuan m2/orang dengan luas minimum per orang tergantung dari kualitas bangunan dan fasilitas yang tersedia (Putra, 2011). Berdasarkan pada Kepmenkes RI (1999), kepadatan hunian rumah dapat diketahui dengan membandingkan luas lantai rumah dengan jumlah penghuni rumah yaitu minimal 10 m2/orang. Sementara untuk luas kamar tidur minimal 8m2 dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari dua orang tidur dalam satu kamar tidur, kecuali anak dibawah umur 5 tahun.

Gambar

Gambar 3.2 Skema Desain Penelitian Case Control ........................................
Tabel 1.1. Sebaran Kasus TB Paru Anak Berdasarkan Usia di BKPM Wilayah
Tabel 1.2. Keaslian Penelitian
Tabel 2.1 Sistem Skoring (Scoring System) Gejala dan Pemeriksaan Penunjang
+2

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Pengaruh Return ON Invesment, Debt To Equity, Current Ratio dan Firm Size terhadap Dividen Payout pada Perusahaan Property and Estate yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

Penelitian ini bertujuan untuk memprediksi besarnya bangkitan/tarikan pergerakan atau perjalanan yang terjadi akibat kawasan perkantoran yang telah

POOL 1 BIDWIN (GALANT) ,JL.MT HARYONO NO.13 ( GALANT ), SETELAH PERUMAHAN WIKA

[r]

Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Bulaksumur Yogyakarta, mengumumkan Rencana Umum Pengadaan Barang/Jasa tahap I untuk pelaksanaan kegiatan tahun anggaran 2012,

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh signifikan yang positif dan signifikan antara skill

Pada hari ini senin tanggal Dua Puluh Dua Bulan April Tahun Dua Ribu Tiga Belas, dimulai pukul 08.00 WIB, yang bertanda tangan dibawah ini Panitia Pengadaan Pekerjaan Konstruksi/