• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan Fakultas Theologi Menjadi Sekolah Tinggi Theologi HKBP 1954-1978

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perkembangan Fakultas Theologi Menjadi Sekolah Tinggi Theologi HKBP 1954-1978"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PENDIDIKAN THEOLOGI SEBELUM TAHUN 1954

2.1 ZENDING DAN KRISTENISASI

Badan penyebaran Agama Kristen yang pertama sekali memasuki wilayah

Sumatera dilakukan oleh Zending-zending ke Tanah Batak (Tapanuli) yaitu dimulai

dari usaha zending yang dilakukan oleh BMS (Baptist Missionary Society) dari

Inggris pada tahun 1824, dengan mengutus misionaris yang bernama Ricahrd Burton

dan Nathaniel Ward ke daerah Silindung. Kehadiran kedua missionaris ini disambut

baik oleh sebagian penduduk Silindung. Burton dan Ward menyebarkan agama

Kristen dimulai dengan cerita tentang Kesepuluh Dasa Titah15. Penduduk Silindung

memahami bahwa isi Dasa Titah itu tidak jauh berbeda dengan tuntutan falsafah

hidup Batak dalam patik dan uhum16

Setelah mundurnya Burton dan Ward misionaris yang datang dari Inggris,

pada tahun 1834 Zending American Board Commision for Foreign Ministry

(ABCFM) dari Amerika mengutus misionaris yang bernama Henry Lyman dan

Samuel Munson. Lyman dan Munson tiba pada 17 Juni 1834 di Pulo Pamarenta . Namun kedua missionaris itu tidak didukung

oleh sarana dan tenaga yang cukup sehingga kristenisasi di Silindung tidak

berkelanjutan.

17

15

Hukum Taurat, berisi 10 perintah Tuhan Allah.

16

Patik dan uhum (janji dan hukum)

17

PuloPamarenta, sebutan popular dari Pulau Pocan Kete, Pusat Pemerintahan Inggris.

,

(2)

minggu Lyman dan Munson mempersiapkan perjalanan memasuki pedalaman Tanah

Batak untuk menyebarkan agama Kristen. Perjalanan mereka cukup panjang untuk

bisa memasuki Tanah Batak namun belum sampai di tempat tujuan mereka yaitu

daerah Silindung kedua missionaris ini tewas terbunuh di Lobupining18

Badan penyebaran agama Kristen yang paling berpengaruh di Sumatera,

terkhusus di wilayah Toba adalah badan perkabaran injil Jerman yang bernama

Rheinische Mission Gesselschaft (RMG). RMG menjadi perintis munculnya gereja

dengan jemaat yang terbanyak di Asia Tenggara yakni Huria Kristen Batak Protestan

(HKBP)

.

Berikutnya adalah Zending Ermelo dari Belanda. Zending ini mengutus

seorang missionarisnya yaitu Gerrit van Asselt. Dia diutus Ds. Wetteven dari kota

Ermello, Belanda, tiba di Sumatera Mei 1856 dan berpos di Sipirok, tahun 1857.

Dalam menyebarkan agama Kristen, Van Asselt berhasil membaptis dua orang Batak

pada 31 Maret 1861 yaitu Pagar Siregar dengan nama baptis Simon Petrus dan Main

Tampubolon yang diberi nama baptis Jakobus Simon Petrus. Simon Petrus adalah

putra raja Pamusuk (Kampung) Raja Sutan Doli, dari Bungabondar. Jakobus adalah

anak rantau asal Barus. Namun perkembangannya sangat lambat karena kekurangan

biaya dan tenaga misionaris, maka zending Ermelo ini kemudian mengirimkan

kembali misionarisnya.

19

18

J.R Hutauruk, op.cit., hlm 31

, yang bemula dari komunitas-komunitas penyebaran agama Kristen yang

19

(3)

dibentuk RMG di tanah Batak pada masa penjajahanBelanda. RMG pula yang

memperkenalkan agama Kristen kepada penduduk Simalungun, Dairi, Nias dan

berbagai wilayah di sekitarnya.

RMG mulai didirikan pada tahun 1828. RMG berpusat di Barmen, Jerman.

Daerah misi RMG terutama berada di wilayah Afrika (mulai 1829), Cina (mulai

1846), Kalimantan (1836-1859) dan Sumatera (mulai 1861). RMG dipimpin oleh

seorang presiden (Prases) yang bertugas menjalin hubungan dengan

perusahaan-perusahaan penyumbang dana bagi operasional RMG, dan seorang direktur

(Inspektor) yang berlatar theologi dan bertanggung jawab atas misi kristenisasi. Para

misionarisdipimpin secara komando oleh direktur.20

Hutauruk, ibid., hlm. 24.

20

Uli Kozok, Utusan Damai di Kemelut Perang, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010, hlm. 55.

Pada masa pengutusan

misionaris ke Toba, yang menjabat sebagai direktur RMG pada saat itu adalah

Friederich Fabri (masa jabatan dari 1857- 1884).

Sebelum memasuki Toba, misionaris RMG sudah terlebih dahulu melakukan

kristenisasi di Kalimantan. Pada masa itu, terjadi Perang Banjar, perang antara pihak

kolonial Belanda dengan kerajaan setempat. Pada 1859, ketika perang di Kalimantan

meletus, 9 orang misionaris RMG terbunuh. Beberapa misionaris yang masih selamat

diamankan ke pulau Jawa. Akibat peristiwa tersebut, Fabri selaku direktur RMG

memutuskan untuk pergi ke Amsterdam, Belanda. Fabri hendak mencari

(4)

RMG kemudian menghubungi pastor Witteven, seorang tokoh dari Zending

Ermelo. Zending Ermelo adalah badan penginjilan yang sudah terlebih dahulu

memasuki tanah Batak, yaitu di daerah Angkola dan Sipirok mulai 1857. Kristenisasi

di tanah Batak, tepatnya di Tapanuli Selatan tersebut, dipimpin oleh Van Asselt,

beserta misionaris lainnya yaitu Dammerboer yang menetap di Hutarimbau

(Angkola), Van Dalen di Pargarutan (Angkola) dan Betz di Bungabondar (Sipirok).21

Setelah beberapa kali perundingan, diputuskanlah bahwa misionaris Zending

Ermello yang sedang berada di Sumatera akan dipekerjakan untuk RMG. Mereka

akan dibantu oleh misionaris RMG yang sebelumnya berada di Kalimantan, yaitu

Karl Klammer, Carl Wilhelm Heine dan Ernst Ludwig Denninger.

Ermello adalah nama sebuah wilayah pertanian di Belanda, tempat badan

penginjilanZending Ermello berasal. Kristenisasi di Tapanuli Selatan tidak begitu

memuaskan bagi misionaris, hal ini disebabkan oleh sebagian besar orang Batak di

Tapanuli ini sudah beragama Islam.

22

Pada 7 Oktober 1861, empat dari misionaris-misionaris yang telah disatukan

yakni Van Asselt, Betz, Heine dan Klammer (Deningger masih berada di Padang,

sedangkan Dammerboer dan Dalen sudah mengundurkan diri

Perundingan di

Belanda tersebut menjadi pintu masuk bagi RMG ke Sumatera.

23

21

Paul Bodholt Pedersen, Darah Batak dan Jiwa Protestan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1975. hlm. 52

22

Uli Kozok, op.cit., hlm. 32.

23

Kedua misionaris Belanda ini tidak mau bekerja dibawah pimpinan orang Jerman. Mereka memilih bekerja sebagai guru dibawah pemerintahan Belanda. Paul Bodholt Pedersen, op.cit., hal. 53.

), mengadakan rapat

(5)

Batakmission.24Bergerak di bawah komando direktur RMG, untuk kristenisasi tanah

Batak. Keempat misionaris ini menentukan tempat pelayanan masing-masing sebagai

berikut: Klammer yang disertai istrinya melayani di Sipirok, Betz di Bungabondar,

sedangkan Van Asselt beserta Heine bertekad untuk merintis dan membuka misi baru

di wilayahutara, yakni di Toba.25

Dalam kristenisasi di Tapanuli Selatan, tercatat hampir 700 orang sudah

dikristenkan sampai tahun 1871. Jumlah yang tergolong pesat. Namun setelah itu, tak

ada lagi kemajuan jumlah yang signifikan. Sebab, sebagian besar penduduk Tapanuli

Selatan sudah memeluk agama Islam.26

Di bagian utara, di tanah Toba, Van Asselt dan Heine mulai mendirikan setasi

atau jemaat sending27 di Aek Sarulla, Pangaloan dan Sigompulon (1863). Mereka

juga menjajaki daerah Silindung. Di sana Van Asselt dan Heine disambut baik oleh

Raja Pontas Lumbantobing28. Tetapi, Van Asselt dan Heine belum berani membuka

pos penginjilan di Silindung karena dianggap belum kondusif. Asselt dan Heine

mendapat kesan bahwa raja-raja desa di wilayah itu masih suka melakukan perang

antar desa.29

Keadaan di tanah Toba berubah secara signifikan semenjak kedatangan

misionaris RMG bernama Ludwig Ingwer Nommensen. Dewasa ini, Nomensen

24

Gereja HKBP memperingati 7 Oktober 1861, hari terbentuknya Batakmission, sebagai hari kelahiran HKBP. 25

Jubil Raplan Hutauruk, op.cit., hlm. 42.

26

Uli Kozok, loc.cit.

27

Kelompok orang-orang yang dikristenkan.

28

Kemudian Raja Pontas Lumbantobing dibaptis dengan nama baptis Obaja.

29

(6)

dikenal di kalangan HKBP sebagai orang yang sangat berjasa bagi kemajuan orang

Batak Toba.30 Nommensen lahir pada 6 Februari 1834 di Nordstrand, perbatasan

Jerman. Ia diterima di seminari RMG di Barmen pada 1857-1861. Setelah tamat, pada

Oktober 1861, ia pergi ke Belanda dan belajar bahasa Batak pada Van Der Tuuk.31

Nommensen melakukan perjalanan pertamanya ke Toba pada 25 Oktober

1862 lewat Padang, Sumatera Barat. Nommensen memulai misinya menyebarkan

agama Kristen lewat pelabuhan Sibolga dan Barus hingga ke daerah Tapanuli bagian

Utara (Toba). Disana Nommensen disambut baik oleh keresidenan Sibolga,

Nommensen diberikan tempat tinggal sementara sebelum melanjutkan perjalanannya

ke Tapanuli bagian Utara. Namun, pemerintah Belanda (keresidenan Sibolga)

melarangnya untuk menetap di Toba. Daerah tersebut di luar batas daerah hukum

Belanda, sebab belum dianeksasi (ditaklukkan).

Ia

kemudian melanjutkan perjalanannya ke Sumatera pada Desember 1861. Pada 14 Mei

1862, Nommensen tiba di kota Padang.

32

30

Raplan Hutauruk (pemimpin tertinggi/Ephorus HKBP periode 1998-2004) mengakui hal ini dengan menuliskan “… bukan Nommensen yang sesungguhnya yang ditampilkan tetapi Nommensen seperti yang terukir dalam pikiran dan kemauan sang sutradara.” J.R Hutauruk, op.cit., hlm. 43. Namun upaya menetralkan kembali (demistifikasi) pandangan terhadap Nommensen sudah dilakukan Uli Kozok dalam bukunya Utusan Damai di Kemelut Perang. Uli Kozok menggunakan surat-surat asli Nommensen dengan RMG sebagai sumbernya.

31

Orang Toba memanggil Van Der Tuuk dengan julukan “Pandortuk” yang artinya “Si Hidung Besar”. Van Der Tuuk diketahui sebagai orang Eropa pertama yang memandang keindahan Danau Toba. Lihat Paul Bodholt Pedersen, Darah Batak dan Jiwa Protestan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1975, hal. 61-62. Van Der Tuuk sendiri adalah seorang ateis, yang dipekerjakan oleh NBG karena kecakapannya sebagai ahli bahasa. Lihat Uli Kozok, op.cit., hal. 28.

32

(7)

Pada Mei 1864, Nommensen resmi tinggal di Silindung,33

Nommensen menjadi dikenal di berbagai huta di seantero Toba karena

pelayanan sosialnya, seperti: pengobatan-pengobatan (khususnya cacar yang

mewabah), pemerdekaan anak para budak, penebusan budak, peminjaman uang

bunga rendah, dsb.

dengan bantuan

Raja Pontas Lumbantobing. Nommensen mendirikan sebuah Huta bernama Huta

Dame (Kampung Perdamaian). Di huta tersebut Nommensen dan masyarakat yang

bersimpati padanya mendirikan rumah-rumah, sekolah, gereja dan rumah sakit. Huta

Dame dihuni oleh orang-orang yang berhasil dikristenkan, yang karena

kekristenannya dikucilkan dari kampungnya sendiri. Nommensen, menurut aturan

adat, menjadi raja kampung.

34

Pada awal 1878, Nommensen berulang kali meminta agar pemerintah kolonial

Belanda melakukan aneksasi terhadap tanah Toba. Pemerintah kolonial Belanda

mengabulkannya, sehingga meletuslah perang Toba.

Seiring dengan itu, kristenisasi terus berkembang. Kepopuleran

Nommensen, Huta Dame dan kristenisasinya menjadi ancaman bagi kekuasaan

politik-spiritual dinasti Sisingamangaraja. Sebab, ajaran Kristen bertentangan dengan

ketentuan politik dan religi Sisingamangaraja.

35

33

Ada ketakutan di kalangan RMG bahwa agama Islam akan lebih berkembang apabila menunggu aneksasi Belanda terhadap Toba. Sebab, pribumi yang menjadi pegawai administrasi Belanda biasanya orang Melayu berpendidikan, yang beragama Islam. Karenanya, kristenisasi harus dilakukan sebelum Belanda melakukan aneksasi.

34

Ibid., hlm. 61.

35

Penginjil berani meminta Toba dianeksasi oleh pemerintah kolonial Belanda setelah basis umat Kristen di Toba sudah mulai kokoh.

Dalam perang ini, penginjil

(8)

pengaruh Eropa dan tunduk pada kekuasaan Eropa.36

Ketika Nommensen meninggal pada 23 Mei 1918, sudah terdapat lebih dari

180.000 orang yang dibaptis, 510 buah sekolah dengan 32.700 murid, 788 guru injil

dan 2.200 penatua. Gereja-gereja yang dibangun, dipimpin oleh pendeta Batak yang

telah ditahbiskan.

Dalam kerjasamanya, pemerintah kolonial mengandalkan senjata, sedangkan

para penginjil mengandalkan pengetahuan adat-istiadat dan bahasa. Para penginjil

berperan sebagai penunjuk arah dan negosiator. Selama aneksasi, ada kampung yang

dihancurkan, ada pula yang mencapai kesepakatan damai karena bernegosiasi dengan

para penginjil. Aneksasi berakhir dengan tewasnya Sisingamangaraja XII dalam

pertempuran di wilayah Dairi pada 1907.

Pada 1881, Nommensen diberi gelar Ephorus (overseer, pengawas) oleh

RMG. Sebuah gelar tertinggi dalam manajemen RMG di daerah koloni. Selama

aneksasi, Toba mengalami transformasi. Dari kekuasaan politik - spiritual dinasti

Sisingamangaraja, menjadi kekuasaan politik-spiritual Belanda-Kristen. Politik dan

spiritual menjadi satu paket dalam diri masyarakat Toba pada masa itu, mengingat

Toba sudah begitu lama menganut teokrasi Sisingamangaraja, sehingga sulit bagi

masyarakat Toba untuk memisahkan keeratan hubungan dunia politik dengan dunia

spiritual.

37

36

Uli Kozok, op.cit., hlm. 92.

37

Paul Bodholt Pedersen, op.cit., hlm. 64.

(9)

menjadi transformator bagi peradaban manusia di Toba. Orang-orang Toba tumbuh

menjadi orang-orang yang beragama dan terdidik.

2.2 Hambatan yang Dihadapi Zending

Salah satu bukti yang menunjukkan bahwa kristenisasi berhasil di Tanah

Batak yaitu dengan mulai bertambahnya masyarakat yang mulai mengikut ajaran

agama Kristen. Namun kristenisasi yang dilakukan oleh misionaris tidak selalu

berjalan mulus, tetap saja ada hambatan yang dihadapi para misionaris. Hambatan

yang dihadapi para misionaris yaitu:

Pertama, awal masuknya misionaris ke Tanah Batak, misionaris ini

mengalami hambatan dari Gubernur Belanda untuk wilayah Sumatera yang

menentang usaha para misionaris untuk menyebarkan agama Kristen. Sikap Gubernur

Belanda P. Arriens yang melakukan berbagai usaha seperti, mengatakan bahwa

kegiatan penginjilan dapat menimbulkan masalah bagi kepentingan kolonial Belanda,

selain itu P. Arriens berdalih terhadap misionaris bahwa kawasan Tanah Batak penuh

bahaya karena belum dianeksasi atau dikuasai secara administratif oleh Belanda.38

Kedua, Orang Batak pada masa itu masih menganut kepercayaan animisme.

Mereka tidak mau meninggalkan kepercayaan yang sudah mereka anut sejak lama.

38

(10)

Salah satu misionaris.Warneck ketika berdiaolog dengan orang Batak, Warneck kerap

mendengar respon:

“Apa yang kalian ucapkan itu boleh saja baik, karena itulah agama kalian, yang baik untuk kalian. Namun yang baik untuk kami adalah agama kami. Tetapi jika anda mau membawa kami kepada kekayaan dan kejayaan, kami siap menerima anda dan mendengarkan anda”39

Dalam kurun waktu yang tidak lama setelah batakmission oleh keempat

missonaris dari zending RMG dan zending Ermello di Tanah Batak (1861), semakin

dirasakan meluasnya pekerjaan penyebaran agama Kristen sedangkan jumlah para

penginjil masih tergolong sedikit. Keadaan ini disebabkan karena masyarakat di

Tanah Batak semakin terbuka menerima agama Kristen dan kurangnya tenaga

missonaris dari kalangan zending Eropa, maka mereka memutuskan untuk

mendirikan seminari

Kalimat itu, bagi Warneck, mencerminkan bentuk penolakan halus orang Batak

terhadap agama Kristen.

Ketiga, rasa curiga orang Batak terhadap misionaris yang menyebarkan agama

Kristen. Orang Batak menganggap kalau misionaris yang datang ke Tanah Batak

merupakan mata-mata dari pihak Belanda.

2.3 Pendidikan Theologi Sebagai Sarana Penyebaran Agama Kristen

40

39

Paul Bodholt Pedersen, op.cit., hlm. 46.

40

Sebutan untuk sekolah teologi.

(11)

missionaris dari kalangan pribumi yang mampu membantu misionaris dari zending

Eropa.41

Seminari Parausorat ini dikenal sebagai “perguruan theologia” yang pertama

dalam sejarah pendidikan teologi HKBP berdiri pada April 1868. Lama belajar dalam

seminari ini ditetapkan selama 2 tahun dan diasuh oleh August Schreiber. Angkatan

pertama dari seminari Parausorat berjumlah 5 orang siswa.

Tujuan didirikan seminari di Tanah Batak oleh misonaris yaitu; pertama,

melayani orang Batak yang belum menganut agama Kristen agar menjadi Kristen,

tujuan pertama ini mula-mula dicapai melalui strategi pendekatan dan pertobatan

perorangan; kedua, mengajar orang Batak membaca dan menulis, karena membina

secara kerohanian saja tidak mungkin membentuk manusia yang seutuhnya jika

manusia itu buta aksara; ketiga, mengajar dalam bidang pengetahuan umum.

Missionaris umumnya membuka seminari sejak awal kegiatan mereka karena sarana

pendidikan dipandang sangat efektif untuk menyebarkan agama Kristen.

Dibawah ini akan dijelaskan seminari-seminari yang didirikan oleh

misionaris.

2.3.1 Seminari Parausorat (1868 – 1876)

42

Tentang pendidikan di seminari ini, Schreiber menulis demikian:

41

Jubil Raplan Hutauruk, Menjadi Manusia Mandiri : Johannes Warneck di Pansurnapitu dan Sipoholon, 1896 – 1906, Medan: LAPiK, 2013, hlm. 15.

42

(12)

“Yang menjadi mata pelajaran pokok dalam pendidikan ini adalah pengetahuan Alkitab dan Katekismus. Sebagai tambahan, kepada mereka diberi pejaran tantang ilmu bumi, sejarah, berhitung, ilmu alam dan

bernyanyi. Buku-buku untuk pelajaran itu sama sekali tidak ada, sebab itu saya bersama siswa-siswa menerjemahkan buku sejarah Alkitab yang ditulis Zhan, tokoh pendidikan yang terkenal di Moers. Kerajinan dan kesungguhan para siswa sangat menggembirakan hati saya. Kalau mereka sudah mengikuti pendidikan sealama dua tahun, mereka dapat diangkat sebagai pembantu dalam pekerjaan zending.”43

Pengetahuan Umum, meliputi pelajaran:

Selain Schreiber pada tahun 1871, dia memiliki seorang rekan kerja misionaris

Leipoldt. Angkatan kedua dari seminari ini berjumlah 12 orang. Angkatan ketiga dari

seminari ini berjumlah 10 orang. Dengan jumlah 27 siswa selama tiga angkatan,

penilaian Schreiber dan Leipoldt sangat positif terhadap siswa-siswanya dan menaruh

harapan besar bahwa kelak siswa lulusan seminari ini menjadi pendeta dari kalangan

pribumi yang membantu misionaris dalam mengajarkan Agama Kristen. Namun tidak

semua lulusan seminari ini menjadi pendeta, ada 2 orang yang meninggalkan tugas

mereka dan mencari pekerjaan lain.

Tujuan seminari ini adalah dwi-fungsi, yaitu mendidik para siswa menjadi

pendeta dalam gereja, yang membantu misionaris dan untuk menjadi guru di

sekolah-sekolah yang sudah berdiri. Sesuai dengan tujuan itu maka kurikulum yang

dijalankan di seminari itu, selain pengetahuan teologia, juga meliputi pengetahuan

umum. Pengetahuan teologia yang diajarkan, meliputi: (1) Pengetahuan, Tafsiran dan

Sejarah Alkitab, (2) Katekismus, (3) Sejarah Gereja.

43

(13)

1. Berhitung.

2. Ilmu Bumi (Sumatera, Hindia Belanda dan Dunia).

3. Ilmu Pengetahuan Alam.

4. Sejarah Dunia, yang mencakup Sejarah Kuno bangsa-bangsa dan Sejarah

Modern yang menggambarkan “perkembangan posisi bangsa-bangsa

Eropa yang menguasai dunia”.

5. Bernyanyi.

6. Bahasa, yakni Bahasa Melayu dan Bahasa Jerman.

7. Tulisan Batak (Aksara).44

Proses belajar-mengajar di seminari Parausorat berbahasa Angkola. Siswa

yang bukan dari latar belakang bahasa (budaya) Angkola, tetap menggunakan bahasa

Batak Angkola. SeminariParausorat ini mengalami kesulitan dalam hal buku

pelajaran. Kurangnya buku pendukung untuk seminari ini mengharuskan Schreiber

dan Leipoldt bekerja keras menerjemahkan isi buku terbitan Eropa dan

melengkapinya dengan pengetahuan yang sesuai dengan kebutuhan siswa di seminari

ini.45

Sebelum memasuki angkatan ketiga penerimaan siswa di seminari ini,

Schreiber harus kembali ke Eropa pada tahun 1873 karena alasan kesehatannya.

Setelah kembali ke Eropa, Schreiber tidak pernah lagi kembali ke seminari

44

Panitia Expo, Bangkitlah Hai Bangsaku I – Diperlengkapi untuk Melayani, Pematang Siantar : Panitia Expo STT-HKBP, 1995, hlm. 21.

45

(14)

Parausorat. Selama masa pendidikan angkatan ketiga, seluruh proses pendidikan

ditangani oleh Leipoldt. Namun diakhir masa pengajaran angkatan ketiga, Leipoldt

juga harus kembali ke Eropa karena kondisi kesehatannya sangat menurun dan tak

mengijinkan lagi untuk tinggal lebih lama di Parausorat.

Daerah Tapanuli Selatan yang telah lebih dulu dimasuki Islam,

mengakibatkan kurang berminatnya masyarakat menerima pendidikan dari

misionaris. Masyarakat lebih memilih memasukkan anak-anaknya ke sekolah-sekolah

milik pemerintah kolonial Belanda. Sekolah ini tidak mengajarkan ajaran agama

secara khusus, diluar jam sekolah anak-anak mereka tetap dapat memperoleh

pendidikan agama Islam. Tidak seperti di seminari yang isi pelajarannya sebagian

besar tentang agama Kristen dan setiap siswa diwajibkan untuk mengikuti ajaran

agama Kristen. Alasan lain ditutupnya seminari ini karena tidak ada tenaga pengajar

yang menggantikan mereka, serta kristenisasi di daerah Sipirok, Tapanuli Selatan

yang lambat perkembangannya maka seminari ini ditutup.46

Setelah Seminari Parausorat ditutup akibat tidak adalagi tenaga pengajar serta

dikarenakan di daerah Tanah Batak bagian Selatan telah memeluk agama Islam maka

para misionaris di Silindung merasakan perlunya dibuka kembali seminari. Pada

Januari 1874, diadakanlah sekolah secara bergerak, yang disebut “Sikola

2.3.2 Seminari Pansurnapitu

46

(15)

Mardalan”47

1. Disposisi Alkitab, Mengarang dan Dikte, Homiletik, Ilmu Agama, Ilmu

Hayati/ Kesehatan dan Bahasa Jerman, diberikan setiap hari Senin oleh I.L

Nommensen di Pearaja.

maksud dari sekolah bergerak ini para murid harus berpindah-pindah

belajar menemui para guru mereka untuk menerima pelajaran. Selama satu atau dua

hari menerima pelajaran dari I.L Nommensen di Pearaja, kemudian ke Sipoholon

untuk menemui A.Mohri lalu ke Pansurnapitu untuk menerima pelajaran dari P.H

Johannsen. Demikan seterusnya yang dilakukan para murid menjalani proses belajar.

Mata pelajaran yang diajarkan ketiga misionaris terdiri dari pengetahuan theologi dan

pengetahuan umum. Pembagian mata pelajarannya yang diajarkan masing-masing

misionaris yaitu sebagai berikut:

2. Pengetahuan Alkitab, Ilmu Bumi, Sejarah Dunia, Sejarah Gereja, Berhitung

dan Katekismus, diberikan setiap hari Rabu oleh P.H Johansen di

Pansurnapitu.

3. Musik/Harmonium, Al-Quran/ Agama Islam, Dogma dan Bahasa Melayu

diberikan setiap hari Jumat oleh A.Mohri di Sipoholon.

Hari Selasa dan Kamis digunakan siswa untuk mengulangi pelajaran dan kesempatan

untuk menemui dari guru satu ke guru lain. Sabtu dan Minggu sebagai hari istirahat

dan kembali ke kampung masing-masing. Sikola Mardalan ini hanya berjalan selama

empat tahun saja karena sistem sekolah yang kurang efektif dengan kondisi belajar

47

(16)

seperti itu membuat para siswa terlalu lelah dan pengajar juga kurang merasa puas

dalam memberikan pelajaran, termasuk juga transportasi yang menghubungkan antar

daerah di Tanah Batak masih sangat minim.

Pada Juni 1877 atas persetujuan dari RMG secara resmi didirikanlah Seminari

Pansurnapitu sebagai tempat pendidikan teologi.48

Pada awal dibukanya pelajaran di seminari berlangsung di rumah P.H

Johansen karenabelum ada gedung sekolah dan asrama untuk siswa. Lama belajar di

seminari ini awalnya hanya dua tahun saja, Johansen merasa dua tahun masa belajar

terlalu singkat sehingga dinaikkan menjadi empat tahun. Kurikulum baru yang

disusun oleh Johansen di seminari Pansurnapitu ini didasarkan atas ketentuan dalam

Tata Gereja 1881. Kurikulum dan tahun ajaran di seminari yang berlangsung selama

4 tahun, disahkan pada Konferensi Sinodal 1882; tetapi baru dijalankan sepenuhnya

sejak penerimaan siswa baru tahun 1885.

Proses belajar-mengajar di

seminari ini dibawah bimbingan P.H Johansen dan J.H Meerwaldt. Ini bukan pertama

sekalinya zending mendirikan seminari di Tanah Batak. Sebelumnya telah didirikan

Seminari Parausorat di Tapanuli Selatan. Seminari Pansurnapitu dibuka dengan 15

orang angkatan pertama. Kurikulum yang diajarkan di seminari ini juga tidak berbeda

dengan yang diajarkan di Sikola Mardalan. Demi peningkatan mutu dari seminari ini

maka pendidikan diperbaharui oleh P.H Johansen. Tidak berbeda dengan Schreiber,

Johannsen juga menyisihkan waktu dan tenanganya untuk menterjemahkan

buku-buku pelajaran terbitan Eropa ke dalam bahasa Batak.

48

(17)

Isi kurikulum baru 4 tahun di Seminari Pansurnapitu adalah sebagai berikut:49

Bernyanyi : 2 jam

Jumlah : 28 jam/minggu

Tahun II Sejarah Alkitab/Perjanjian Lama : 3 jam

Pengetahuan Alkitab : 3 jam

Injil Sinoptik : 2 jam

Latihan Mengajar Membaca : 2 jam

Menulis Indah : 2 jam

Ilmu Bumi : 2 jam

Sejarah Umum : 4 jam

Berhitung : 4 jam

Ilmu Alam : 2 jam

Tahun I Katekismus : 3 jam

Sejarah Alkitab/Perjanjian Baru : 3 jam

Membaca dan Latihan Mengajar Membaca : 6 jam

Ilmu Bumi dan Sejarah : 4 jam

Berhitung : 4 jam

Ilmu Alam dan Ilmu Hewan : 2 jam

Menulis Indah (Aksara Latin dan Batak) : 4 jam

Bernyanyi : 2 jam

49

(18)

Jumlah : 26 jam/minggu

Tahun III Pengetahuan Alkitab/Perjanjian Baru : 3 jam

Pengantar Perjanjian Baru : 3 jam

Injil Yohanes : 2 jam

Teologi Praktika : 2 jam

Ilmu Bumi Umum : 2 jam

Sejarah Umum dan Sejarah Tanah Air : 4 jam

Berhitung : 4 jam

Bahasa Melayu : 4 jam

Medisin : 1 jam

Ilmu Pendidikan : 1 jam

Pengetahuan Alam : 2 jam

Bernyanyi dan bermain Biola : 2 jam

Jumlah : 30 jam/minggu

Tahun IV Teologi Biblika : 3 jam

Surat-surat Perjanjian Baru : 3 jam

Apologetik/Polemik : 1 jam

Teologi Praktika : 1 jam

Sejarah Gereja dan Dunia : 4 jam

Ilmu Alam : 2 jam

Matematika : 4 jam

Bahasa Melayu : 4 jam

(19)

Sejarah Alam Semesta : 2 jam

Bernyanyi dan bermain Biola : 2 jam

Jumlah : 28 jam/minggu

Selain pelajaran kurikuler, siswa juga diberikan tambahan ekstra kurikuler

antara lain: berkebun, beternak, bertukang, paduan suara dan musik. Dengan adanya

kegiatan ekstra kurikuler ini diharapkan setiap siswa yang nantinya akan menjadi

pendeta dapat menjadi motivator dalam memanfaatkan pekarangan-pekarangan

rumah dan terampil dalam membina kelompok-kelompok paduan suara pada jemaat

yang dilayani. Masyarakat Tapanuli Utara berlomba-lomba untuk memperoleh

pendidikan dan menjadi pendeta yang dianggap sebagai jalan untuk memperoleh

hasangapon ( kehormatan atau kemuliaan) yang begitu didambakan oleh orang-orang

Batak.

Penerapan disiplin yang ketat tidak mengurangi minat masyarakat

menyekolahkan anak-anak mereka, orang tua tetap antusias menyekolahkan anaknya

ke seminari yang semakin hari semakin bertambah hingga memenuhi seluruh ruangan

yang dipersiapkan. Alasan masyarakat begitu antusias menyekolahkan anaknya ke

seminari yaitu :

Pertama, minat dan penghargaan masyarakat akan pendidikan meningkat pesat.

Mereka tidak puas kalau anak-anak mereka hanya tamat sekolah dasar, sedangkan

(20)

Kedua, masyarakat melihat bahwa pendidikan di seminari ini membuka kesempatan

bagi anak-anak mereka untuk menjadi guru ataupun pegawai pemerintah, kedudukan

yang menurut mereka jauh lebih terhormat dari sekedar pekerja kasar.

Ketiga, masyarakat senang bila anak-anak mereka dididik sepenuhnya oleh zending,

karena kepercayaan mereka – terutama yang sudah Kristen – terhadap misionaris

sangat besar.50

Mengingat minimnya fasilitas, seminari ini tidak sanggup lagi menampung

masyarakat yang berminat. Sementara daya tampung seminari ini hanya 46 orang,

tetapi jumlah siswa mencapai 70 orang. Mengatasi masalah ini, missionaris

mengusahakan membangun seminari yang lebih besar. Mereka mencari lokasi yang

lebih luas. Setelah ditelusuri ke daerah-daerah yang telah dikenal oleh misionaris,

akhirnya mereka menemukan lokasi yang paling cocok, yaitu di Sipoholon. Dengan

persetujuan yang dicapai oleh raja-raja huta dengan misionaris, Seminari Sipoholon

dibangun dan diresmikan pada tahun 1901. Segala kegiatan di Seminari Pansurnapitu

dipindahkan ke Sipoholon dan bangungan ini dijadikan sebagai tempat sekolah

minggu bagi anak-anak Kristen. Di Seminari Sipoholon penerimaan murid baru

dimulai sejak tahun 1902. Siswa Seminari Pansurnapitu yang belum tamat juga ikut

dipindahkan ke seminari yang baru ini.51

50

Jan S Aritonang, op.cit., hlm 185-186

51

(21)

2.3.3 Seminari Sipoholon

Dibukanya Seminari Sipoholon telah membantu masyarakat di Sipoholon dan

sekitarnya memperoleh pengetahuan baru. Sebagai lembaga pendidikan, seminari

memiliki fasilitas-fasilitas yang mendukung sehingga menarik perhatian masyarakat

untuk menuntut ilmu di sini. Seminari yang dipersiapkan untuk menyebarkan ajaran

agama Kristen ini tetap mengutamakan pelajaran dengan nuansa religius. Tujuannya

untuk menguatkan keyakinan siswa terhadap ajaran agama Kristen.

Seminari Sipoholon dibuka untuk menampung minat masyarakat Batak yang

ingin memperoleh pendidikan dari misionaris. Seluruh kegiatan yang berlangsung di

seminari ini merupakan tanggung jawab RMG dan para misionaris utusannya.

Setelah Seminari Sipoholon dibuka, para misionaris yang bekerja di Tanah Batak

secara keseluruhan dipusatkan ke Sipoholon untuk memberikan pendidikan sesuai

dengan keahliannya masing-masing.

Sejak semula berdirinya seminari para misionaris harus menyediakan sendiri

buku pelajaran bagi bagi siswa-siswanya. Di dalamnya digabungkan pengetahuan

yang dari Barat dengan pengetahuan yang sudah dimiliki oleh orang Batak

sebelumnya. Pembanguan Seminari Sipoholon ini diarsiteki oleh seorang misionaris,

(22)

sebelumnya. Fasilitas yang ada di seminari ini antara lain yaitu, asrama, ruang kelas,

ruang musik, lapangan olahraga, perpustakaan, capel dan aula.52

Kurukulum Seminari Sipoholon 1902 adalah sebagai berikut:

Seminari ini benar-benar dipersiapkan untuk mendidik masyarakat Batak guna

mendalami, memahami, dan menerima injil. Para siswa sekaligus akan dipersiapkan

sebagai pendeta dan guru sekolah, maka kurikulum seminari ini juga diperkaya,

terutama dalam bidang pengetahuan umum, karena mutu guru tamatan dari seminari

ini diharapkan mendapat pengakuan yang baik dari pemerintah Belanda.

53

- Luar Kepala : 2 jam

Kelas Terendah (Tahun I dan II)

Perjanjian Lama : 2 jam

Perjanjian Baru : 4 jam

Sejarah Gereja : 3 jam

Sejarah Umum : 1 jam

Latihan Khotbah : 2 jam

Berhitung : - Tertulis : 2 jam

Ilmu Ukur : 2 jam

Membaca : - Latin : 2 jam

- Batak : 1 jam

- Melayu : 2 jam

Menulis : - Menulis Indah : 2 jam

52

Panitia Expo, op.cit., hlm. 30.

53

(23)

: - Imla (Dikte) : 2 jam

Mengarang : 1 jam

Menggambar : 1 jam

Bernyanyi : 2 jam

Ilmu Bumi : 2 jam

Ilmu Alam : 2 jam

Musik (Harmonium, Teromper, Biola) : 4 jam

Senam : 1 jam

Jumlah : 39 jam/minggu

Kelas Tertinggi (Tahun III dan IV)

Perjanjian Lama : 2 jam

Perjanjian Baru : 4 jam

Sejarah Gereja : 3 jam

Sejarah Umum : 1 jam

Katehetika : 2 jam

Latihan dan Persiapan Khotbah : 3 jam

Pedagogik : 2 jam

Berhitung : - Tertulis : 3 jam

- Luar Kepala : 1 jam

Ilmu Ukur : 2 jam

Ilmu Bumi : 2 jam

Ilmu Alam : 1 jam

Membaca : - Latin : 1 jam

- Batak : 2 jam

(24)

Menulis : - Menulis Indah : 1 jam

- Imla (Dikte) : 1 jam

Bernyanyi : 2 jam

Menggambar : 1 jam

Musik : 4 jam

Senam : 1 jam

Jumlah : 40 jam/minggu

Seminari Sipoholon merupakan sarana pendalaman kekristenan. Jadi

pendidikan yang diutamakan adalah pengetahuan dan penghayatan religius. Siswa di

seminari ini juuga dibina untuk mandiri, agar pada gilirannya menjadi guru, ia dapat

menanamkan kemandirian dalam murid-muridnya. Lebih khususnya lagi didirikan

dengan tujuan untuk memperoleh tenaga bantu yang melayani jemaat-jemaat gereja.54

Dampak usaha Batakmission, terutama melalui bidang pendidikan, atas

beberapa aspek kehidupan sosial – ekonomi masyarakat Batak, terutama yang sudah

beragama Kristen.55

1. Peningkatan status sosial

Walaupun pada hakekatnya masyarakat Batak tidak mengenal stratifikasi sosial yang

mapan dan melembaga, karena adatnya menandaskan bahwa setiap orang Batak

adalah “keturunan raja”, namun terdapat juga tiga golongan dalam masyarakat, yaitu

raja-raja (pemuka masyarakat), rakyat biasa dan hatoban (budak). Di sinilah para

misionaris membuka peluang yang sama bagi setiap golongan untuk memasuki

54

Jan S Aritonang, op.cit., hlm. 183.

55

(25)

sekolah-sekolah yang ada sehingga pendidikan telah memberi status sosial yang baru,

dan mereka disebut sebagai kelas menengah. Orang-orang berpendidikan ini pun

telah disejajarkan dengan kelompok raja-raja atau “aristokrat tradisional” yang

terdapat dalam lembaga-lembaga sosial maupun dalam gereja. Kalau selama ini

kelompok aristokrat dipandang memiliki sahala (pengetahuan) yang utama, kini

sahala itu juga dimiliki oleh kelompok berpendidikan itu. Jadi misi pendidikan telah

menyiapkan jalan bagi banyak orang Batak Kristen untuk meraih status sosial yang

tinggi melalui jalur pendidikan, sebab mereka yang melanjutkan sekolah di luar

Tanah Batak pada umumnya adalah produk pendidikan yang dijalankan para

misionaris.

2. Peningkatan kesejahteraan ekonomi

Sekolah-sekolah yang dikelola oleh badan misionaris di Tanah Batak telah membuat

masyarakat Batak menjadi salah satu suku bangsa yang paling melek huruf (literate)

di seluruh Hindia Belanda (Indonesia) dan pada gilirannya membuka peluang bagi

mereka untuk memperoleh pekerjaan di luar bidang-bidang pekerjaan tradisional.

Jenis pekerjaan baru ternyata memberi penghasilan yang lebih memadai dan

kemudian dapat menduduki posisi penting karena telah bermodalkan pengetahuan

dan keterampilan yang mereka peroleh. Berkat pendidikan inilah yang membuat

masyarakat secara berangsur-angsur bergeser dari masyarakat agraris ke masyarakat

birokratis, pedagang dan pengrajin. Dengan demikian misi pendidikan di Tanah

Batak telah berhasil membangkitkan kesadaran masyarakat Batak akan pentingnya

Referensi

Dokumen terkait

Selain daripada menyediakan pakej rawatan dan pemulihan, fungsi CCSC juga adalah untuk menggerakkan aktiviti-aktiviti pencegahan, pemulihan dalam komuniti dan merupakan outreach

Sekilas Info.. kesepahaman kerja sama dan perjanjian kerja sama antara Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang

Ide penelitian ini bersumber dari pengalaman peneliti yang telah melewati fase remaja dan minimnya pengetahuan mengenai pengelolaan stres yang dialami remaja

Judul Skripsi : Analisis Pendapatan dan Evisiensi Usahatani Jeruk Siam di Kabupaten Karo yang Terkena dan Tidak Terkena Letusan

Judul Skripsi : Analisis Pendapatan Usaha Perikanan Tangkap dan Pengembangan Perekonomian Masyarakat Pulau- pulau Kecil (Studi Kasus: Kelurahan Pecung Kecamatan Belakang

Ho : b1 = b2 = 0, artinya variabel yaitu Peningkatan Volume Produksi dan Peningkatan Biaya Pemeliharaan secara bersama-sama tidak mempunyai pengaruh yang

Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh

Dalam eksperimen komputer, model masih tetap menggunakan hasil dari pakar kimia teoritis, tetapi perhitungan dilakukan dengan komputer berdasar atas suatu "resep"