A. Konferensi Tingkat Tinggi Bumi dan Lingkungan Tahun 2007-2014
1. KTT Bumi ke 13 (UNFCCC-COP-13), 2007, Bali, Indonesia1
KTT ini dilaksanakan di Bali, Indonesia sebagai tuan rumah, berlangsung
dari 3-14 Desember tahun 2007. Hasil kesepakatan dalam KTT ini dikenal
dengan istilah “Bali Road Map” (peta menuju Bali). Beberapa butir hasil
kesepakatan KTT ini adalah sebagai berikut:
a) Adaptasi
Kesepakatan untuk membiayai proyek adaptasi di Negara-negara
berkembang yang ditanggung melalui “Clean Development
Mechanism (CDM), yang ditetapkan protocol Kyoto. Kegiatan ini
dilaksanakan oleh Global Environment Facility (GEF).
b) Teknologi
Kesepakatan untuk memulai program strategis untuk alih teknologi
mitigasi dan adaptasi yang dibutuhkan negara berkembang. Tujuan
program ini adalah memberikan contoh nyata proyek untuk
menciptakan lingkungan yang menarik. Kegiatan ini termasuk insentif
sector swasta untuk melakukan alih teknologi. GEF akan menyusun
program bersama dengan lembaga keuangan internasional dan
perwakilan sector keuangan swasta.
c) Reducing Emissions from Deforestation in Development Countries
(REDD)
Menyepakati adopsi metode untuk menghindari penggundulan hutan.
Perkiraan jumlah pengurangan emisi dari penggundulan hutan.
d) Intergoverment Panel on Climate Change (IPCC)
Kesepakatan bahwa hasil laporan IPCC merupakan laporan yang
kompeherensif untuk digunakan sebagai acuan bersama.
e) Clean Development Mechanism (CDM)
Kesepakatan untuk menggandakan batas ukuran kegiatan penghutanan
kembali menjadi 16 kiloton CO2 per tahun. Peningkatan ini akan
mengembangkan angka dan jangkauan wilayah Negara CDM ke
negara yang sebelumnya tidak bias ikut dalam mekanisme ini.
Kesepakatan memperpanjang mandate Group Ahli Negara Miskin atau
Least Developed Countries (LDCs). Grup ini menyediakan saran kritis
untuk negara miskin dalam menentukan kebutuhan adaptasi. UNFCCC
(United Nation Framework Conference for Climate Change) sepakat
Negara miskin harus didukung karena kapasitas adaptasinya rendah.
2. KTT Bumi ke 14 (UNFCCC-COP-14), Poznan, Polandia1
KTT ini berlangsung pada 1-12 Desember 2008, kegiatan ini merupakan
langkah-langkah untuk mematangkan konferensi yang akan dilaksanakan
di Kopenhagen. Beberapa hasil dari kegiatan KTT ini adalah sebagai
berikut:
a) Pembentukkan kelompok kerja untuk pelaksanaan protocol Kyoto
b) Pembentukkan kelompok kerja untuk Kerangka Acuan Langkah
Kerjasama
c) Review Protocol Kyoto
d) Pendanaan untuk adaptasi
e) Tanggal dan pelaksanaan meeting lanjutan di Kopenhagen
3. KTT Perubahan Iklim di Kopenhagen (UNFCCC-COP-15),
Denmark1
KTT ini dilaksanakan pada tahun 2009 bertempat di Kopenhagen,
Denmark, dihadiri oleh 110 negara. Conference of Parties (COP) terdiri
beberapa negara di dunia yang merupakan bentuk kompromi antara negara
maju dan negara berkembang. Rumusan Copenhagen Accord dihasilkan
dalam KTT ini. Rumusan tersebut terdapat lima butir utama yang
merupakan usulan dari Indonesia melalui pidato presiden Indonesia, yaitu:
a) Usaha seluruh dunia untuk menahan agar dampak perubahan iklim
tidak sampai menaikkan suhu global hingga 2o Celcius sampai tahun
2050.
b) Perlunya Negara maju menyebut target penurunan emisi gas rumah
c) Perlu adanya pembiayaan dari negara maju untuk penanggulangan
perubahan iklim bagi Negara berkembang.
d) Perlunya penerapan pola pembangunan ramah lingkungan.
e) MRV (Measurement, Reporting, Verifuing) pelaksanaan komitmen
penanganan perubahan iklim dan masalah kehutanan
Selengkapnya hasil dari Copenhagen Accord adalah sebagai berikut: “Under the Accord, blobal leaders decided for the first time under the UNFCCC to: 1) Hold any increase in global temperature to below 2
degrees Celsius; 2) Specify, side by side emissions targets for developed
countries and action to reduce by developing countries; 3) A framework
for national and international monitoring of what developed and
developing countries will do; 4) Considerable financing to support
emissions reductions and adaptation in developing countries. The Accord
includes developed country commitment to collectively provide new and additional”.
KTT Copenhagen memiliki sisi lemah yaitu belum adanya Legally
Binding (kesepakatan mengikat), sehingga merupakan catatan hasil dan
belum mengikat negara-negara di dunia
4. KTT Perubahan Iklim di Cancun (COP-16), 2010, Mexico1
KTT ini berlangsung mulai 29 November 2010 di Cancun, Mexico.
Delegasi Indonesia terdiri dari Menteri Lingkunga Hidup, Gusti
Muhammad Hatta dan ketua Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI)
Rahmad Witular. KTT Cancun ini mengahasilkan sebuah kesepakatan
yang dinamakan Cancun Agreement.
Beberapa kesepakatan dalam Cancun Agreement adalah masuknya
target negara industry dalam negosiasi internasional serta kewajiban
Negara maju mengembangkan strategi pembangunan rendah karbon. Aksi
Negara berkembang dalam menangani perubahan iklim juga masuk dalam
negosiasi multilateral. Selanjutnya akan dibentuk registrasi sebagai
pendanaan dan dukungan teknologi Negara maju. Laporan kemajuan
dipublikasikan per dua tahun.
Suatu kerangka kerja adaptasi juga akan dibentuk guna perencanaan
dan pelaksanaan proyek-proyek adaptasi yang lebih baik di Negara
berkembang melalui peningkatan dukungan teknis dan keuangan serta
proses yang jelas untuk mengukur kerusakan dan kerugian akibat
perubahan iklim.
Para peserta yang hadir dalam KTT ini juga telah menetapkan
mekanisme twknologi melalui Komite Eksekutif Teknologi serta Jejaring
Kerja dan Pusat Teknologi Iklim untuk meningkatkan kerjasama teknologi
dalam rangka menyusun aksi adaptasi dan mitigasi
Satu hal yang disayangkan dalam pertemuan KTT tersebut adalah
belum tercapai kesepakatan baru untuk memastikan komitmen pasca
berakhirnya Protokol Kyoto. Negara-negara yang telah meratifikasi
Protokol Kyoto sepakat melanjutkan negosiasi untuk keberlanjutan
perjanjian tersebut pasca berakhir pada tahun 2012 pada pertemuan
selanjutnya.
Upaya transfer teknologi untuk menangani masalah perubahan iklim
sudah tidak menjadi masalah. Pembicaraan mengenai protocol Kyoto akan
dilanjutkan di Afrika Selatan.
5. KTT Perubahan Iklim di Durban (UNFCCC-COP-17), 2011, Afrika
Selatan1
KTT ini menghasilkan “Durban Platform”. Selengkapnya hasil
kesepakatan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Komite Periode Kedua Protokol Kyoto (KP), yang telah disepakati
oleh pihak KP, kecuali Kanada, Rusia, dan Jepang
2. Tercapainya kesepakatan Operasionalisasi Green Climate Fund,
kesepakatan berbagai aspek teknis REDD+, Komite Adaptasi, Komite
Alih Teknologi, yang kesemuanya dicapai melalui proses negosiasi.
Selain negoisiasi internasional, di Durban diselenggarakan Side Events
peningkatan kapasitas, diskusi kebijakan, dan legitimasi tata pemerintahan
global. Di luar UN Compound terdapat ratusan kegiatan lainnya yang
diselenggarakan sebagai parallel events, seperti misalnya Climate Change
Response Expo yyang diselenggarakan untuk menampilkan inisiatif dan
solusi perubahan iklim pemerintah Afrika Selatan.
3. KTT Perubahan Iklim di Doha (UNFCCC-COP-18), 2012, Qatar1
Konferensi ini menghasilkan diantaranya mengenai kelanjutan
Protokol Kyoto periode komitmen kedua, pengurangan emisi dengan
ambisi yang lebih besar, serta pelaksanaan komitmen penyediaan
pendanaan jangka panjang oleh Negara maju untuk membantu Negara
berkembang melaksanakan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Keputusan dalam konferensi ini dinamakan “Doha Climate Gateway”
(DCG).
Mengenai keberlanjutan Protokol Kyoto, sebanyak 37 negara maju dan
Uni Eropa telah menyepakati pelaksanaan periode komitmen kedua
(Second Commitment Period) selama 8 tahun terhitung sejak tanggal 1
Januari 2013. Negara-negara tersebut merepresentasikan kurang dari 20
persen emisi gas rumah kaca dunia. Sedangkan tiga Negara maju yaitu
Rusia, Jepang, dan Selandia Baru memutuskan untuk tetap menjado
anggota (Negara pihak) Protokol Kyoto, namun tidak memiliki komitmen
penurunan emisi. Sementara itu Kanada bergabung dengan Amerika
Serikat memutuskan keluar dari Protokol Kyoto.
Menanggapi hasil keputusan Doha tersebut, Ketua Delegasi RI,
Rachmat Witoelar, mengatakan Indonesia meminta Negara maju
menunjukkan kepemimpinannya dalam upaya pengurangan emisi. Terkait
pendanaan, negara maju hanya dapat menyutujui keputusan yang sifatnya “qualitative reassurance”, yaitu meyakinkan kembali bahwa mereka akan melaksanakan komitmen penyediaan pendanaan jangka panjang yang
dibuat di Copenhagen (COP15). Negara berkembang meminta agar
penyaluran pendanaan jangka panjang tersebut dimulai dengan kerangka
4. KTT Perubahan Iklim di Warsawa (UNFCCC-COP-19), 2013,
Polandia1
KTT ke-19 ini banyak kekhawatiran munculnya kebuntuhan akibat
perbedaan kepentingan antara negara maju (G7) dan kelompok negara
berkembang (G77). Isu perubahan iklim yang merupakan turunan dari isu
energi memunculkan egoism setiap negara karena kepentingan
masing-masing.
Dengan kata lain, terdapat empat permasalahan mendasar dalam
mempersiapkan dan memberlakukan CP2 (Second Commitment Period),
Protokol Kyoto-2 dalam durasi delapan tahun ke depan. Pertama, terkait
target ambisi bahwa negara-negara berkembang menginginkan
perundingan Doha menghasilkan target ambisi yang jelas mengenai
peningkatan pengurangan. Sementara itu, tidak adanya kemauan yang kuat
dari negara-negara maju untuk meningkatkan ambisi mereka terkait
dengan janji pengurangan emisi yang rendah. Kedua terkait kekuatan
hukum yang mengikat (legally binding), negara-negara berkembang
bersikeras untuk menetapkan CP2 dengan amandemen agar mengikat
secara hukum.
Ketiga tekait penetapan Quantified Emission Limitation or Reduction
Objectives (QELROs), belum disepakatinya secara jelas mengenai
ketentuan QELROs dalam CP2 ini juga semakin menipisnya harapan
Negara-negara berkembang akan komitmen negara-negara maju.
Pembatasan jumlah emisi atau tujuan pengurangan QELROs dari
masing-masing pihak Negara maju belum mengikat secara hukum bagi Negara
tersebut. Keempat adalah terkait dengan format atau kerangka hukum CP2.
Sebanyak 37 negara Uni Eropa (UE) memang telah menyepakati
pelaksanaan CP2 tersebut selama 8 tahun terhitung sejak tanggal 1 januari
2013, namun UE harus meredam ambisinya mengingat para pemimpinnya
sangat disibukkan dengan upaya menyelamatkan ekonomi Eropa yang
Aljazair atas nama kelompok 77 dan Cina menekankan pentingnya
pilihan hukum untuk menghindari kesenjangan anatara komitmen periode
pertama dan kedua. CP2 di bawah Protokol Kyoto adalah penting dan
harus dapat menetapkan target yang ambisius sejak Januari 2013, tidak
dapat ditunda.
Konferensi ini memunculkan kesepakatan bahwa semua negara akan
mulai memotong emisi sesegera mungkin, tetapi sebaiknya pada kuartal
pertama 2015. Warsawa Mekanisme juga diusulkan yang akan
menyediakan keahlian dan membantu negara-negara berkembang untuk
mengatasi kehilangan dan kerusakan dari ekstremitas alam seperti
gelombang panas, kekeringan dan banjir dan ancaman seperti naiknya
permukaan air laut dan penggurunan.
5. KTT Perubahan Iklim di Lima (UNFCCC-COP-20), Peru2
KTT ini diselenggarakan di Lima, Peru, dari 01-12 Desember 2014 dan mengahasilkan kesepakatan yang dinamai “Lima Call for Climate Action”. Konferensi ini (COP21) dilanjutkan di Paris tahun 2015.
B. IPCC3
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) adalah sebuah badan
internasional yang mengkaji aspek ilmiah terkait dengan perubahan iklim.
IPCC dibentuk pada tahun 1988 oleh World Meteorological Organization
(Badan Meteorogi International/WMO) dan United Nations Environment
Program (Badan Lingkungan PBB/UNEP) untuk memberikan kajian yang
berkala mengenai aspek ilmiah dari perubahan iklim, dampak dan risiko-risiko
di masa mendatang, serta pilihan-pilihan kegiatan mitigasi dan adaptasi atas
perubahan iklim.
Anggota IPCC terbuka untuk semua negara yang menjadi anggota WMO
dan PBB. Saat ini terdapat 195 negara yang menjadi anggota IPCC. Panel
IPCC terdiri dari wakil-wakil negara anggota yang bertemu pada suatu
IPCC menerima penghargaan Nobel untuk Perdamaian pada tahun 2007,
setelah mengeluarkan Laporan Kajian ke-4 (Assessment Report 4/AR4).
Referensi:
1Raharjo, Mursid. 2014. Memahami AMDAL Edisi 2. Yogyakarta: Graha Ilmu.
2 Lyster, Rosemary. 2016.
Climate Justice and Disaster Law. United Kingdom:
Cambridge University Press
3 IESR (Institute for Essential Services Reform). 2013. Tanya-Jawab Laporan
AR- 5 Working Group Intergovernmental Panel On Climatechange (IPCC).