• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fiqh dalam Perspektif Politik Hukum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Fiqh dalam Perspektif Politik Hukum"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

FIQH DALAM PERSPEKTIF POLITIK HUKUM Menimbang Gagasan Marzuki Wahid dalam Bukunya, Fiqh Indonesia

Oleh: Dr. Nurrohman Syarif, MA

Dosen Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung dan Pascasarjana UNINUS Bandung

Umat Islam dalam mendefinisikan fiqh pada umumnya menyebutkan sebagai berikut: “fiqh adalah pengetahuan tentang hukum-hukum syara yang terkait dengan amal perbuatan manusia yang diambil dari dalil-dalilnya yang terperinci.” Sementara yang dimaksud dengan hukum syara adalah “firman Tuhan yang terkait dengan perbuatan mukallaf (orang dewasa dan berakal sehat), baik firman itu berupa perintah, larangan, kebolehan, atau hubungan sebab akibat.”

Sebagai hukum yang bersumber dari firman Tuhan, fiqh setidaknya memiliki tiga karakter: bersifat private, yakni hanya mengikat mereka yang beriman kepada Kitab Suci, dilaksanakan atas dasar kesadaran etik dan moral; dan karenanya memiliki sifat sakral. Karakter inilah yang menjadikan fiqh tidak bisa dipisahkan dari seorang Muslim. Karakter inilah yang menjadikan fiqh sebagai way of life seorang Muslim; dan karenanya tidak mungkin memahami umat Islam tanpa memahami fiqhnya.

Dengan tiga karakter yang dimiliki oleh fiqh ini, pertanyaannya adalah apakah fiqh kemudian menjadi rigid (kaku), tidak bisa berubah atau tidak bisa disesuaikan dengan perkembangan peradaban umat manusia atau perbedaan budaya yang terdapat di berbagai tempat pada pelbagai belahan dunia? Jawabannya, ternyata fiqh itu tidak rigid, bisa berubah, bisa disesuaikan dengan perbedaan budaya dan perkembangan peradaban umat manusia.

Sebab meskipun fiqh ditandai dengan tiga karakter sebagaimana disebutkan di atas, ia ternyata berkembang atau bisa dikembangkan dengan metode yang amat rasional. Bukan hanya satu metode, tetapi beberapa metode. Banyaknya metode yang digunakan dalam menggali fiqh telah melahirkan munculnya banyak madzhab dalam sejarah perkembangan hukum Islam. Dengan kata lain, kesakralan fiqh ternyata tidak menghalangi para pakar atau para imam mujtahid untuk terus mengembangkannya melalui upaya individu atau kelompok. Bagi umat Islam, keimanan mereka pada Kitab Suci tidak menghalangi mereka untuk berpikir. Mungkin al-Qur’an adalah satu-satunya Kitab Suci yang paling banyak mendorong manusia untuk berpikir.

Betul, sebagai Kitab Suci, teks–teks yang terdapat dalam al-Qur’an diyakini oleh sebagian besar umat Islam sebagai teks yang sacral, karena lafadz dan maknanya berasal dari Tuhan. Akan tetapi, norma-norma yang tertuang di dalamnya bukan berarti norma yang kaku yang tidak mengandung hikmah, maslahat, dan tujuan yang bisa dipahami oleh nalar manusia. Melalui pendalaman terhadap hikmah dan tujuan yang tekandung dalam teks, seorang mujtahid boleh jadi lebih memilih makna majazi ketimbang makna lafdzi bila dengan mengambil makna majazinya hukum Islam yang digalinya lebih sejalan dengan hikmah, keadilan, dan kemaslahatan umat manusia. Betapa pentingnya hikmah disinergikan dengan al-Kitab tergambar dari banyaknya ayat al-Qur’an menyebutkan kedua kata ini secara bergandengan.

(2)

Kebenaran teologis mestinya sejalan dengan kebenaran logis, kebenaran empiris, dan bahkan kebenaran pragmatis. Kebenaran agama mestinya juga sejalan dengan kebenaran sains.

Oleh karena itu, bisa dimengerti apabila Wahbah az-Zuhaily dalam kitabnya Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, menyebut 11 petunjuk (dalil) yang bisa digunakan untuk menggali kebenaran fiqh atau hukum syara. Selain al-Qur’an dan as-Sunnah, petunjuk-petunjuk syara (al-adillah asy-syar’iyyah) yang bisa digunakan untuk menggali kebenaran fiqh di antaranya konsensus (ijma), analogi (qiyas), mashlahat mursalah, ‘urf, istihsan, dan syaddu adz-dzari’ah.

Kalau terdapat perbedaan antara satu fiqh dengan fiqh yang lain, padahal mereka berangkat dari niat dan tujuan yang sama, maka hal itu bisa terjadi karena perbedaan metode, cara pandang, keterbatasan kapasitas seseorang dalam memahami fiqh secara komprehensif, atau lingkungan budaya yang mempengaruhinya. Jadi, terlepas dari sejumlah karakternya yang sama, fiqh--termasuk fiqh yang ada di Indonesia--kemudian berkembang dalam bentuknya yang plural. Ada yang cenderung tekstualis, ada yang cenderung substansialis, ada kelompok yang cenderung konservatif, ada yang cenderung progresif, dan ada pula yang kombinasi: konservatif dalam hal tertentu dan progresif dalam hal yang lain.

Sebagai disiplin ilmu yang tumbuh dan berkembang secara “independent,” perkembangan fiqh dalam sejarahnya sebenarnya tidak terkait langsung dengan politik hukum yang dianut oleh penguasa. Fiqh berkembang atau dikembangkan oleh para imam madzhab atau para mujtahid. Apapun politik hukum yang dianut oleh negara atau penguasa, fiqh sebagai disiplin ilmu akan terus berkembang sepanjang umat Islam terus memberi ruang bagi tumbuhnya ijtihad atau individual reasoning dengan metodenya yang berbeda-beda. Sebaliknya, fiqh tidak akan berkembang bila umat Islam sendiri menutup pintu ijtihad.

Lalu, apa hubungan fiqh dengan politik hukum? Politik hukum adalah kebijakan politik yang ditetapkan oleh negara atau penguasa dalam menentukan norma atau sistem hukum yang berlaku di negara yang bersangkutan. Politik hukum Indonesia adalah kebijakan politik yang ditetapkan oleh Negara Republik Indonesia dalam menentukan norma atau sistem hukum yang berlaku di Indonesia.

Bellfroid mendefinisikan politik hukum atau rechtpolitiek sebagai proses pembentukan ius constitutum (hukum positif) dari ius contituendum (hukum yang akan dan harus ditetapkan) untuk memenuhi kebutuhan perubahan dalam kehidupan masyarakat. Menurut Mahfud MD, politik hukum juga mencakup pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum. Juga mempertimbangkan etik hukum, baik buruknya, adil tidaknya, atau cocok tidaknya ketentuan-ketentuan hukum itu bagi masyarakat yang bersangkutan, karena hal itu ada hubungannya dengan ditaati atau tidaknya hukum itu dalam suatu masyarakat. Itulah sebabnya dalam pendapat Daniel S. Lev, politik hukum itu merupakan produk interaksi di kalangan elit politik yang berbasis kepada berbagai kelompok dan budaya. Ketika elit politik Islam memiliki daya tawar yang kuat dalam interaksi politik, pengembangan hukum Islam dalam suprastruktur politik pun memiliki peluang yang sangat besar dan sebaliknya.

(3)

Bila dihubungan dengan fiqh, politik hukum bisa diartikan sebagai proses politik pembentukan hukum positif dari sejumlah pilihan interpretasi atau madzhab fiqh yang ada dengan maksud untuk memenuhi kebutuhan perubahan dalam kehidupan masyarakat Indonesia dan sekaligus juga memenuhi tuntutan Konstitusi Indonesia. Mengingat beragamnya fiqh yang ada di Indonesia, maka pertanyaannya adalah fiqh manakah yang lebih cocok untuk disertakan dalam proses politik pembentukan hukum positif agar memenuhi kebutuhan perubahan dalam kehidupan masyarakat di Indonesia sekaligus juga sejalan dengan tuntutan Konstitusi serta perundang-undangan yang berlaku di Indonesia?

Bila mengacu pada tujuan politik hukum Islam (siyasah syar’iyyah) yang dikemukakan oleh Ibn al-Qayyim, maka semua fiqh dari madzhab manapun sebenarnya memiliki peluang yang sama untuk diproses sebagai hukum positip sepanjang ia bisa memenuhi tuntutan keadilan, kemaslahatan, membawa rahmat, dan mengandung hikmah. Ibn al-Qayyim dalam kitabnya I’lam al-Muwaqqi’in menyatakan, fa inna al-syari’ata mabnaha wa asasuha ‘ala hikamin wa mashalihi al-‘ibad fi al-ma’asy wa al-ma’ad wa hiya ‘adlun kulluha wa rahmatun kulluha wa mashalihun kulluha wa hikmatun kulluha.

Para ulama ahli fiqh tampaknya sepakat bahwa hukum Islam dibuat dalam rangka mewujudkan keadilan dan kemashlahatan umat manusia. Izuddin bin Abd as-Salam, ahli fiqh madzhab Syafi’i, sebagaimana dikutip oleh KH Husein Muhammad, menegaskan: “Setiap tindakan hukum dimaksudkan untuk kemaslahatan manusia, bukan untuk kepentingan Tuhan, karena Tuhan tidak membutuhkan manusia. Kebaikan manusia tidak menambah kebesaran Tuhan dan kedurhakaan manusia tidak mengurangi kebesaran-Nya. Oleh karena itu, tindakan/keputusan hukum yang tidak memenuhi tujuan tersebut adalah batil.”

Persoalannya adalah bagaimana cara mengukur atau menentukan ketentuan hukum yang adil dan membawa kemaslahatan dan rahmat serta mengandung hikmah sebagaimana disarankan oleh Ibn al-Qayyim, tetapi sekaligus juga sejalan dengan tuntutan Konstitusi Indonesia.

Dalam konteks inilah, kiranya kita perlu mempertimbangkan gagasan Marzuki Wahid yang ditulis dalam buku “Fiqh Indonesia”. Dengan asumsi bahwa fiqh “Madzhab Negara” sebagaimana dihimpun dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) sudah banyak yang tidak sejalan atau tidak bisa lagi memenuhi kebutuhan perubahan dalam kehidupan masyarakat. Marzuki Wahid menawarkan fiqh Indonesia (fiqh madzhab negara) lagi yang lebih progresif yang menurutnya lebih bisa memenuhi kebutuhan perubahan dalam kehidupan masyarakat dan juga sejalan dengan perkembangan politik hukum Indonesia kontemporer.

KHI sebagai produk politik hukum pemerintah Indonesia pada masa Orde Baru yang ditetapkan melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 sebenarnya sudah mengandung aspek-aspek cukup progresif untuk ukuran waktu itu. Hal-hal yang dipandang progresif sebagaimana dikatakan oleh Said Aqil Siradj dalam Kata Pengantar antara lain pengetatan izin poligami, kesahan talak hanya di hadapan sidang pengadilan, adanya harta gono gini, adanya perjanjian perkawinan, dan pembatasan usia minimal perkawinan.

(4)

Keduapuluh tiga pembaruan hukum keluarga Islam dan wakaf meliputi: 1) Perkawinan yang dulu dianggap ibadah, kemudian dimasukkan dalam kategori muamalah; 2) Wali nikah yang pada mulanya merupakan rukun perkawinan, kemudian diusulkan untuk tidak menjadi rukun perkawinan; 3) Pencatatan nikah yang mulanya tidak termasuk rukun perkawinan, kemudian diusulkan menjadi rukun perkawinan; 4) Kesaksian perempuan yang pada mulanya tidak boleh menjadi saksi, diusulkan agar boleh menjadi saksi; 5) Batas minimal usia perkawinan yang pada mulanya 16 tahun bagi calon isteri dan 19 tahun bagi calon suami, diusulkan menjadi 19 tahun tanpa membedakan antara calon suami dan calon isteri; 6) Keharusan gadis dikawinkan oleh walinya, diusulkan gadis pada usia 19 tahun dapat mengawinkan dirinya sendiri; 7) Mahar yang pada mulanya diberikan oleh calon suami, diubah menjadi bisa diberikan oleh calon isteri kepada calon suami atau sebaliknya; 8) Suami berkedudukan sebagai kepala keluarga dan isteri sebagai ibu rumah tangga, diusulkan menjadi kedudukan, hak, dan kewajiban suami dan isteri adalah setara; 9) Pencarian nafkah kewajiban suami diusulkan menjadi pencarian nafkah kewajiban bersama suami dan isteri; 10) Perjanjian masa perkawinan yang mulanya tidak diatur, kemudian diusulkan untuk diatur sehingga perkawinan dinyatakan putus bersamaan dengan berakhirnya masa perkawinan yang telah disepakati; 11) Kawin beda agama yang mulanya tidak boleh diusulkan menjadi boleh, selama dalam batas untuk mencapai tujuan perkawinan; 12) Poligami yang pada mulanya boleh dengan sejumlah persyaratan, dusulkan untuk dilarang, haram lighairihi; 13) ‘Iddah (masa tunggu) yang pada mulanya hanya untuk isteri, diusulkan agar berlaku bagi suami dan isteri; 14 ) Iddah akibat perceraian, pada mulanya didasarkan pada terjadinya dukhul, diusulkan pada terjadinya akad, bukan dukhul; 15) Ihdad (berkabung) pada mulanya hanya untuk isteri, diusulkan juga dikenakan buat suami; 16) Nusyuz (membangkang dari kewajiban) pada mulanya hanya dimungkinan oleh isteri, diusulkan juga bisa dilakukan oleh suami; 17) Khulu’ (perceraian atas inisiatif isteri), mulanya dinyatakan sebagai thalaq ba’in sughra, sehingga tidak boleh rujuk melainkan harus dengan akad nikah baru, diusulkan khulu’ dan thalaq adalah sama, sehingga boleh rujuk; 18) Hak rujuk (bersatu kembali dalam perkawinan) pada mulanya hanya dimiliki suami, diusulkan suami dan istri memiliki hak untuk rujuk. Inilah pembaruan yang diusulkan dalam bidang perkawinan.

Dalam hukum kewarisan, meliputi 19) waris beda agama yang pada mulanya beda agama menjadi penghalang proses waris mewarisi, diusulkan beda agama bukan penghalang (mani’) proses waris mewarisi; 20) Anak di luar perkawinan yang pada mulanya hanya memiliki hubungan waris dari ibunya, sekalipun ayah biologisnya sudah diketahui, diusulkan menjadi jika diketahui ayah biologisnya, anak tetap memiliki hak waris dari ayah biologisnya; 21) “Awl dan radd yang mulanya digunakan, kemudian diusulkan untuk dihapus; 22) Pembagian waris bagi anak laki-laki dan perempuan yang pada mulanya bagian anak laki-laki dan perempuan 2:1, diusulkan menjadi 1:1 atau 2:2. Dalam hukum perwakafan, pembaruan yang diusulkan, yakni: 23) hak kekayaan intelektual sebagai barang wakaf yang mulanya tidak diatur, kemudian diatur.

Dilihat dari sudut pandang politik hukum, usulan pembaruan hukum keluarga dan wakaf yang ditawarkan oleh Marzudi Wahid, dkk memang sangat progresif. Jadi, inilah rancangan Fiqh Madzhab Negara (CLD-KHI) yang dikonstruksikan oleh Marzuki Wahid, dkk untuk menggantikan atau menyempurnakan Fiqh Madzhab Negara sebelumnya (KHI) yang dinilainya sudah tidak bisa lagi memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia yang telah berubah.

(5)

Persoalannya adalah apakah pembaruan yang tercantum dalam CLD KHI sudah betul-betul memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia yang telah banyak mengalami perubahan, terutama setelah masuk era Reformasi? Kalau yang dimaksud dengan perubahan adalah perubahan pada level supra struktur yang dimulai dari amandemen UUD 1945 dan munculnya sejumlah peraturan perundang-undangan lainnya, maka jawabannya iya. Tapi kalau yang dimaksud dengan perubahan adalah perubahan budaya atau cara pandang masyarakat terhadap fiqh atau agamanya, maka jawabannya bisa iya, bisa tidak. Sebab rasa keadilan dan kemashlahatan bisa dimaknai berbeda antara satu orang dengan orang lain, antara satu komunitas muslim dengan komunitas muslim lainnya.

Sepengetahuan saya, belum ada tolok ukur yang disepakati untuk mengukur secara obyektif empat indikator yang ditawarkan oleh Ibn al-Qayyim yakni: keadilan, kemaslahatan, mengandung hikmah, dan membawa rahmat. Contoh populernya adalah poligami. Pertanyaannya adalah adilkah bila poligami menjadi sesuatu yang terlarang atau diharamkan di seluruh Indonesia? Apakah tidak ada maslahat sama sekali dalam poligami? Apakah tidak ada hikmah yang terkandung dalam poligami? Apakah dalam poligami tidak ada unsur rahmat atau kasih sayang?

Menurut hemat saya, memang sulit membuat tolok ukur yang secara obyektif bisa digunakan untuk melihat ada atau tidak adanya keempat indikator itu. Akan tetapi meskipun sulit, ukuran-ukuran itu bisa diwujudkan sepanjang umat Islam terbuka dalam menerima berbagai jenis kebenaran, mulai dari kebenaran teologis, logis, empiris maupun kebenaran pragmatis atau adanya keterbukaan umat Islam dalam menerima kebenaran yang digali dari ayat Qur’aniyyah maupun ayat Kauniyyah. Kebenaran teologis yang didukung secara empiris tentu lebih kuat dibanding ketentuan teologis yang tidak mendapat dukungan sains atau kebenaran empiris.

Reformulasi atau rekonstruksi fiqh sebagai bentuk ijtihad pribadi atau kelompok patut diapresiasi sebatas hal itu menjadi pandangan pribadi atau pandangan kelompok yang bersangkutan. Adanya ijtihad baru sebenarnya bisa membawa rahmat, karena menjadikan umat memiliki lebih banyak pilihan dalam mengamalkan agamanya. Akan tetapi, bila proses reformulasi atau transformasi fiqh dilakukan dengan menggunakan instrumen negara/kekuasaan, padahal rumusannya tidak atau belum sejalan dengan kesadaran yang tumbuh dan berkembang di masyarakat, maka yang akan lahir adalah dualisme, dikhotomi atau pembangkangan massal yang diindikasikan melalui sebutan sah menurut agama, meskipun tidak sah menurut negara. Fiqh yang tidak didasari oleh kesadaran etik dan moral dari orang yang mengamalkannya akan kehilangan sifat sakralnya.

Ditinjau dari politik hukum, fiqh Indonesia tetap memiliki peluang untuk ditransformasikan menjadi hukum positip atau qanun, setelah melalui proses seleksi, negosiasi, dan konvergensi guna mencapai titik temu antara kepentingan negara dalam melindungi warga negaranya dan kebebasan warga menjalankan agama dan keyakinannya, titik temu antara kepentingan memenuhi tuntutan Konstitusi dan kepentingan memenuhi aspirasi umat Islam. Saya sendiri berpendapat bahwa politik hukum di Indonesia sebaiknya tetap memberi ruang bagi penganut fiqh konservatif maupun fiqh progresif untuk bisa mengamalkannya sepanjang hal itu dilakukan dengan tanpa paksaan, tanpa kekerasan, dan tanpa melanggar ketentuan pidana yang sudah ditetapkan oleh undang-undang di Indonesia.

(6)

apakah tawaran Fiqh Progresif-nya Marzuki Wahid, dkk semakin mendapat tempat di masyarakat muslim Indonesia atau tetap sebagai gagasan yang mengawang di langit.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil indek seritrosit sebanyak 1 orang (4%) berjenis kelamin laki-laki mengalami anemia mikrositikhipokrom yang bias disebabkan oleh defisiensi besi, dan 1 orang

Pengukuran diameter rambut dilakukan dengan menggantungkan beban pada salah satu ujung rambut secara vertikal dan ditempatkan di depan laser seperti pada Gambar 1, kemudian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi akademisi dalam mengembangkan pengetahuan di bidang Akuntansi Pemerintahan khususnya mengenai pengaruh

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis seberapa besar anteseden sebagai faktor penentu tingkat employee engagement , untuk mengetahui faktor-faktor

Menurut ulama fiqh, pematokan harga oleh pihak pemerintah harus memenuhi persyaratan syariah, yaitu (a) komoditas atau jasa itu sangat dibutuhkan masyrakat luas,

Kultivasi mikroalga dalam kondisi yang sesuai dengan jenisnya dilakukan agar dapat menghasilkan biomassa yang melimpah.Menurut Bold and Wynne (1985), perkembangbiakan

Metode wawancara adalah pengumpulan data dengan jalan sepihak yang dikerjakan dengan sistematis dan juga mencoba mendapatkan keterangan masyarakat yang bersangkutan dengan

[r]