• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH PERTENTANGAN TEORI SOCIAL .

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MAKALAH PERTENTANGAN TEORI SOCIAL ."

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

1

MAKALAH

Disusun sebagai sayarat kelulusan matakuliah

“Teori Social Makro Mikro”

yang di ampu oleh Prof. H. Budi Siswanto, M. Si

Oleh :

M. Yahya, SE., M.AP NIM. 16077000002

PERTENTANGAN TEORI SOCIAL: PENERAPAN ADAT PADA

MASYARAKAT MUSLIM INDONESIA

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS MERDEKA MALANG

PRODI DOKTOR ILMU SOCIAL

(2)

2

PERTENTANGAN TEORI SOSIAL: PENERAPAN ADAT PADA

MASYARAKAT MUSLIM INDONESIA

Oleh:

M. Yahya, SE., M.AP (16077000002)

Program Studi Doktor Ilmu Social Universitas Merdeka Malang

Konflik perdata di Indonesia mengalami peningkatan setiap tahunnya.

Berdasarkan data Mahkamah Agung tahun 2011, sengketa perkawinan mencapai

504 atau 75,22 persen, waris 20 persen, hibah 1, 79 persen, wakaf 0,30 persen,

dan istbat nikah 0,30 persen. Dari data tersebut sengketa perkawinan menduduki

jumlah terbanyak, hal ini didukung oleh hasil penelitian bahwa konflik terbanyak

terjadi dalam perkawinan. Oleh karena itu, manajemen konflik yang tepat diperlukan

dalam menjawab permasalahan ini. Resolusi konflik yang tepat mengantarkan pada

hubungan sukses sebaliknya resolusi konflik yang gagal berakibat putusanya

hubungan.1 Secara teoritis, penyelesaian konflik atau sengketa dapat diperoleh dari

dua proses, pertama proses litigasi dalam pengadilan, kedua proses non-litigasi

yang dilaksanakan di luar pengadilan. Pada tataran praktik, non-litigasi dewasa ini

diperankan oleh lembaga-lembaga adat dengan hukum adatnya.

Terdapat dua pandangan teoritis pihak yang bersengketa memilih

menyelesaikan sengketa melalui negosiasi adat.2 Pertama, pandangan yang

merujuk pada kebudayaan sebagai faktor dominan, cara penyelesaian melalui

konsensus atau mufakat dapat diterima dan digunakan oleh masyarakat, karena

pendekatan itu cocok dengan cara pandang kehidupan masyarakat. Masyarakat

mewarisi tradisi kebudayaan yang menekankan nilai keharmonisan dan

kebersamaan dalam kehidupan. Kedua, peradilan adat lebih mudah untuk diakses,

cepat, murah dan fleksibel. Selaras dengan itu, fokus peradilan adat berusaha

melakukan rekonsiliasi dalam menyelesaikan konflik atau sengketa (R.Udphzrun

dan Kehinde A Bolaji).3 Karena pentingnya nilai adat ini, sehingga Simon Fisher

mengaskan bahwa untuk menangani konflik secara efektif perlu memahami

nilai-nilai sosial, norma-norma, praktik-praktik yang dapat diterima oleh pihak yang

terlibat dalam situasi dan lembaga tertentu.

1

. Ter, Haar, 1999. Asas–asas dan susunan Hukum Adat, Jakarta :Pradnya Paramita. Hlm 28

2

. Sigler, Jay A. & Beede, Benjamin R., 1977, The Legal Sources of Public Policy, Lexington Books D.C. Heath and Company, Lexington Massachusetts Toronto. Hlm. 75

3

(3)

3

Eksistensi lembaga adat sebagai media resolusi konflik telah dipraktikkan di

belahan dunia, termasuk di negara Islam. G.H Bousqet menemukan bahwa Tunisia

mengadopsi hukum adat dalam menyelesaikan kasus hak atas tanah dan

pengelolaan wakaf.4 Begitu juga di Libya melegalkan hukum adat sebagai media

rekonsiliasi dalam kasus pembunuhan suku Tibawi untuk mendamaikan pihak-pihak

yang bersengketa, hal ini juga di praktikkan di Afganistan, hukum adat digunakan

dalam menyelesaikan kasus pada daerah-daerah tertentu. Sedangkan di Indonesia

menggunakan lembaga adat sebagai media resolusi atas konflik pidana maupun

perdata. Hal ini terlihat pada masyarakat etnis dalam menyelesaikan kasus-kasus

sengketa pada wilayah masing-masing daerah. Penyelesaian konflik di

daerah-daerah masih disandarkan pada hukum adat. Hukum adat lahir sebagai warisan

interaksi masyarakat terdahulu (leluhur) yang berfungsi sebagi pranata sosial dan

masih dipraktikkan oleh masyarakat. Baik masyarakat yang belum menerima Islam

maupun masyarakat yang telah menerima Islam sebagai kepercayaan dan

penuntun dalam melaksanakan ibadah ritual masyarakat.

Masyarakat adat Aceh menggunakan lembaga adat gampong dalam

menyelesaikan konflik perkawinan, masyarakat adat angkola di Medan mengenal

istilah dalihannatolu yang memiliki wewenang masing-masing, terdiri dari mora

(legislatif), anakboru (eksekutif) dan k-ahanggi (yudikatif). Ketiga institusi tersebut

berpadu dalam menyelesaikan konflik-konflik termasuk konflik perkawinan, hal ini

juga terjadi pada masyarakat (bugis) yang berpegang pada konsep pangangderreng

(undang-undang sosial) terdiri unsur adeq (adat-istiadat) dan saraq (syariat Islam).

Pampawaadeq dipangku raja sekaligus mengatur roda pemerintahan, sementara

pampawasaraq dipangku kadi, imam, khatib, bilal dan doja (penjaga masjid)

menangani persoalan yang berhubungan dengan fiqih Islam (Ismail Suardi Wekke).

Perpaduan keduanya terlihat dalam penyelesaian kasus kesusilaan (malaweng) di

Sulawesi Selatan. Pada situasi yang sama, masyarakat adat Tolaki di Sulawesi

Tenggara mengunakan adat Tolaki dalam menyelesaikan sengketa.

Peran adat tersebut jika dikaji lebih jauh sesungguhnya memberi gambaran

posisi adat (kultur) dalam menyelesaikan masalah (konflik), mendapat porsi besar di

masyarakat. Hal ini merupakan konsekuensi dari pandangan bahwa peradilan adat

4

(4)

4

memiliki falsafah yang dianggap lebih cocok dengan masyarakat adat atau

komunitas lokal. Norma-norma adat memiliki kekuatan dalam membentuk pola

prilaku masyarakat.

Perdamaian Persfektif Islam

Teori perdamaian menurut Islam bermakna keadilan. Keadilan didasarkan

atas persamaan hak dan kesempatan bagi manusia untuk mencapai pemenuhan

dan mengatasi penindasan. Peneliti perdamaian Islam seperti Qamarul Huda

mengartikan perdamaian tidak hanya berhentinya perang, namun lebih bermakna

harmoni sosial dan keseimbangan dalam kehidupan, di mana manusia

mempertahankan hubungan yang sehat antara dirinya dengan Tuhannya.

Perbedaan dan pertentangan dalam hubungan manusia merupakan natural law

(hukum alam), karena Allah menciptakan manusia dengan keragaman warna kulit,

ras, bahasa, budaya, pola pikir dan perbedaan kepentingan.5 Namun demikian,

dinamika masyarakat Islam dapat dipersatukan setidaknya dengan lima prinsip

dasar.

Pertama, kesatuan (unity), memadukan keseluruhan aspek-aspek manusia,

horizontal maupun vertikal. Kedua, keseimbangan (equilibrum), menggambarkan

dimensi horisontal ajaran Islam yang berhubungan pada keseluruhan harmoni pada

alam semesta. Ketiga, Kehendak bebas (ikhtiyar), manusia diberikan kebebasan

dalam melakukan transaksi atau perjanjian. Keempat, pertanggungjawaban, untuk

memenuhi keadilan dan kesatuan diperlukan sikap tanggung jawab pada jiwa dan

raga, person dan keluarga, individu dan sosial, antara suatu mayarakat dengan

masyarakat lain. Kelima kebenaran (kebajikan dan kejujuran). Kebajikan merupakan

tindakan yang dapat memberikan keuntungan bagi orang lain.

Prinsip-prinsip tersebut menurut Alwi Syhab dapat dilaksanakan dengan sikap

toleransi dan pluralisme.6 Toleransi merupakan upaya menahan diri agar potensi

konflik dapat ditekan, sedangkan pluralisme dimaksud adalah keterlibatan aktif

terhadap kemajemukan, tidak menonjolkan keunggulan-keunggulan dan merasa

paling benar kepada pihak lain. Jika ajaran agama diletakan dalam peta

kebudayaan, krisis dan konflik yang bermula dari masalah sosial, ekonomi politik

5

. Nata Abudin, 2005, Tokoh-tokoh Pembauran Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet. 3. Hlm. 311

6

(5)

5

maupun keagamaan dapat diuraikan jalan penyelesaiannya. Hal ini senada dengan

makna jihad dalam tubuh spiritual Islam, yakni pertempuran batin, melawan

kejahatan fikiran dan keinginan terhadap konflik. Dengan demikian, dalam teori

perdamaian Islam, konflik dapat diselesaikan jika difokuskan pada moralitas,

pluralisme budaya, solidaritas komunal, keadilan sosial dan iman.7

Islam bersifat universal dan mengakomodasi praktik-praktik empiris di

masyarakat. Prakatik empiris masyarakat terdiri dari prilaku (model for) menjadi

refleksi (model of) dari sistem kepercayaan (system of beliefe), maka ketika terjadi

konflik harus kembali pada nilai-nilai primordialistik yang menjadi sistem

kepercayaan (system of beliefe). Contohnya, masyarakat Madura mengenal istilah

carok dalam membela kehormatan, masyarakat berpegang pada falsafah (ango’a

poteya tolang atembang poteya mata) dari pada hidup menanggung malu lebih baik

mati membela kehormatan. Jika terjadi konflik terkait kehormatan, maka resolusi

konflik yang tepat harus kembali pada nilai-nilai primordialistik masyarakat madura.8

Bagi masyarakat adat, penyelesaian konflik secara kekeluargaan merupakan

pilahan yang tepat, penyelesaian konflik atau sengketa melalui adat dilaksanakan

dengan tujuan mendamaikan kedua bela pihak, masyarakat lebih patuh dan

memahami arti dan makna-makna adat dalam kehidupannya. Adat memiliki

sinkronisasi dengan agama Islam, Islam secara terminologis bermakna penyerahan

diri, perdamaian dan keselamatan. Oleh karena itu, Islam tidak hanya sebuah

agama tetapi ia juga terwujud sebagai sebuah peradaban (civilicatioan).

Perdebatan Teoritik; Peran Adat dan Agama sebagai Pranata Sosial

Peran dan keberhasilan lembaga adat dalam menyelesaikan sengketa di

masyarakat menunjukkan efektifitas dari mekanisme-mekansime pengaturan

masyarakat (self regulation) yang berfungsi sebagai sarana pengendalian sosial

(legal order). Kendati demikian, mengkaji penerapan adat di Indonesia seiring

berkembangnya Islam menghasilkan pemikiran yang beragam. Teori receptie yang

dicetuskan oleh Cornelis Van Vallenhoven menganggap bahwa hukum adat berlaku

7

. Bisri Mustafa, 2000, Beyond The Simbolic, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, Cet. 1. Hlm. 58

8

(6)

6

setelah diresepsi atau diterima oleh hukum adat.9 Sedangkan Sayyed Husein Nasr

mengatakan bahwa pada tataran teori, syariah (divine law) datang untuk mengatur

dan menuntun masyarakat bukan sebaliknya.10 Manusia tidak berubah secara

hakiki, meskipun terdapat perbedaan dari masa Muhammad, naik turunya tetap

sama karena itu formulasi syariah tidak membutuhkan pengembangan.

Sayyed Hossein Naser hendak menegaskan kembali bahwa agama berfungsi

sebagai sistem nilai yang memuat norma tertentu.11 Norma tersebut menjadi

kerangka acuan dalam bersikap dan bertingkah laku agar sejalan dengan keyakinan

agama yang dianutnya. Pranata sosial masyarakat bagaimana pun bentuknya harus

kembali kepada hasil ijtihad ulama-ulama terdahulu.

Abdurrahman Wahid mempunyai pandangan yang berbeda, bahwa

adat-istiadat adalah seni hidup (the art of living), mengandung tatanan masyarakat yang

patut dipertahankan, masuknya Islam di Indonesia melalui adat dan budaya bukan

melalui ekspansi sebagaimana di dunia Arab.12 Adat istiadat adalah unsur utama

sebuah pergaulan sosial, sebuah masyarakat betapa pun sederhananya memiliki

nilai-nilai dan norma-norma, norma tersebut terwujud dalam praktik sosial

masyarakat. Melihat pergulatan pemikiran-peikiran tersebut, kiranya perlu mengulas

kembali, bahwa sejak awal perkembangan Islam sebagai konspesi realitas telah

menerima akomodasi sosio-kultural. Meski pada sisi teoritis doktrin Islam seolah

berbeda dengan realitas, namun dalam aplikasinya Islam mengakomodasi

kenyataan sosial budaya, sebagaimana ahli fiqih mempertibangkan faktor-faktor

sosial dalam penetapan hukum pada periode awal Islam.

Kondisi sosial yang diperhadapkan dengan Islam akhirnya menghasilkan apa

yang disebut oleh Azyumradi Azra sebagai “varian Islam”, maksudnya Islam dengan

berbagai corak dan jenisnya. Terkait dengan itu, asumsi mengenai dogma dan

realitas masyarakat yang dipandang sebagai konflik harus diarahkan pada sikap

9

. Vollenhoven, Cornelis Van, 2013, Orang Indonesia Dan Tanahnya, Bogor : Sajogya Institute. Hlm. 109

10

. Seyyed Hossein Nasr, 1978, Intelektual Islam Teologi, Filsafat, dan Gnosis, diterjemahkan dari Theologhi, Philosophy and Sprituality World Sprituality, oleh Suharsono dan Djamaluddin MZ, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Hal: 172

11

. Ibid. Hlm. 211

12

(7)

7

moderat dan toleransi terhadap kondisi dan realitas masyarakat yang terus

berkembang.

Masyarakat sebagai pelaku budaya tidak hanya mempertahankan aspek

budaya yang pernah dicapai dengan segala dimensinya, namun harus berusaha

menghidupkan Islam dengan nilai-nilai ajarannya ke dalam budaya tersebut. Islam

universal dan dinamis, tetap memberikan ruang yang cukup pada perkembangan

ilmu pengetahuan, teknologi dan penemuan-penemuan baru lainnya. Inilah yang dimaksud “moderenizing society”, yakni masyarakat yang mulai mengatur masa depannya, tetapi belum meninggalkan masa lalunya.

Pemikiran ini juga terpancar pada pemahaman terhadap agama, ada yang

memandang bahwa agama adalah alat konservatis dan mempertahankan tradisi

ada pula yang berpandangan secara aplogetik bahwa agama adalah pendorong

kemajuan. Hooker menjelaskan bahwa Islam mempunyai nilai akomodatif terhadap

pranata sosial seperti hukum adat tidak saling menyisihkan dan berlaku sejajar

pada masyarakat adat Indonesia. Bahkan Syaukani menjelaskan dalam teori

interdependensi bahwa semua sistem hukum tidak berdiri sendiri, pembentukannya

selalu berinteraksi dengan sistem hukum lainnya.13

Lebih jauh, Jalal al-Din ‘Abd Al-Rahman menjelaskan bahwa adat (‘urf)

mempunyai tempat dalam hukum Islam sebagai sumber pengambilan hukum

selama tidak bertentangan Al-Qur’an dan Hadits. ‘urf atau ‘adah dapat dihubungkan

dengan term hadits dan sunah (tradisi nabi), para ahli hukum Islam memegang

prinsip umum bahwa suatu yang dikatakan, diperbuat atau ditetapkan oleh nabi

akan membentuk apa yang dikenal dengan sunah, sumber kedua setelah Al-Qur’an.

Jadi ‘adah pada masa nabi dapat dipandang sebagai suatu sumber untuk

menformulasikan hukum-hukum.14 Hakikatnya norma-norma agama itu tidak

mempunyai korelasi dengan modornisasi maupun tradisionalisme sebab agama

mempunyai dimensi yang tidak selalu dapat diukur dengan dimensi modernisasi

maupun tradisionalisme.

13

. Syaukani, Imam & Thohari, Ahsin, 2007, Dasar-Dasar Politik Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta. Hlm. 182

14

(8)

8

Sebuah Refleksi

Berdasarkan teori-teori yang telah di paparkan, penulis berasumsi bahwa

tedapat relevansi antara hukum adat sebagai media resolusi konflik dengan hukum

Islam. Nilai-nilai Islam dan hukum adat mengajarkan manusia untuk hidup rukun,

menjunjung tinggi nilai persaudaraan, persatuan dan kesatuan. Konflik dalam skala

yang besar atau dalam skala yang kecil diselesaikan melalui rekonsiliasi (islah).

Konflik tidak terpisahkan dari kehidupan manusia yang dipengaruhi oleh

faktor-faktor sosial. Masyarakat adat berpegang kepada hukum adat sebagai alat

pemersatu untuk pertentangan konseptual dan sosial. Meski ilmuwan mazhab

struktural beranggapan bahwa adat (culture) berperan sebatas pemicu konflik,

sebab masyarakat dengan tingkat heterogenitas yang tinggi bisa hidup

berdampingan sepanjang diikat oleh manajemen konflik yang baik. Oleh karenanya

penyelesaian konflik harus diarahkan pada perbaikan struktur sosial bukan pada

adat.

Praktik masyarakat adat dalam menyelesaikan konflik mempunyai relevansi

dengan nilai-nilai Islam ketika bersentuhan dengan hukum adat, khusunya

mengenai penyelesaian konflik. Lebih jauh, gambaran yang kongkrit keterkaitan

antara pranata sosial masyarakat dengan agama dipahami dari tulisan Clifford

Geertz mengenai kelompok masyarakat abangan, santri dan priyayi. Meski

kemudian Mark Woodward mengkritisi Clifford Geertz bahwa ada kesalahpahaman

serius dalam melihat Islam Jawa, namun perbedaan pandangan tidak menjadi soal

dalam tulisan ini, kedua penelitian tersebut jelas menunjukkan bahwa agama dan

masyarakat mempunyai kaitan yang erat dalam praktik sosial.15

Peradaban Islam telah menyumbangkan aset berharga bagi pengembangan

tradisi ilmiah. Banyak buku ditulis, disadur dan diterjemahkan melalui kreativitas

ilmuan Muslim. Namun dalam beberapa abad terakhir Islam secara teriotik sangat

komprehensip namun dianggap lemah ketika dihadapkan dengan realitas

masyarakat. Hal ini tidak lain disebabkan oleh pemahaman dalam

menginterpretasikan wujud Islam. Islam lahir dengan sifatanya yang dinamis dan

mengakomodir praktik sosial masyarakat yang mengandung norma dan pranata.

15

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul, “Peng aruh Likuiditas, Leverage , Profitabilitas, dan Ukuran Perusahaan Terhadap

Berdasarkan II hasil penelitian dari uji II t bahwa II variabel kualitas II pelayanan berpengaruh II terhadap II variabel II terikat yaitu kepuasan II konsumen II dengan

Jika untuk setiap pasangan titik pada suatu graf terdapat lintasan yang menghubungkannya, maka graf tersebut disebut graf terhubung.. Graf terhubung yang setiap titiknya

untuk berkembang tanpa rasa takut dijauhi masyarakat akibat penyakit yang dideritanya, khususnya pada penderita penyakit kronis. Penderita penyakit kronis tidak hanya

You’ll look at the various options on the TypeScript compiler, learn how to create declaration files for third-party JavaScript libraries, and see how to include TypeScript in

Berdasarkan hasil implementasi dari semua siklus, diketahui bahwa pada siklus ketiga (terakhir) data telah menunjukkan adanya perubahan kearah lebih optimal sebagai bentuk

Kita tidak perlu membaca ulang bacaan itu secara keseluruhan, tetapi hanya memeriksa bagian-bagian yang dianggap penting yang memberikan gambaran keseluruhan dari

Tidak seperti model tutorial yang memberikan pendahuluan berupa materi kemudian berlanjut ke tahap akhir dimana pengguna dihadapkan pada soal – soal layaknya ujian, pada