BAB II
LATAR BELAKANG MUNCULNYA PELACURAN DI WILAYAH
PERKEBUNAN DELI
2.1 Pekerjaan dan Penghasilan Kuli
Pembukaan lahan perkebunan secara besar-besaran di Sumatera Timur oleh
perusahaan-perusahaan swasta Barat, selain membutuhkan penyediaan lahan juga
membutuhkan banyak kuli (tenaga kerja). Kuli adalah faktor utama yang mendukung
keberhasilan suatu perkebunan yang diperlukan sebagai penggarap tanah, penanam
tembakau, pengolah daun tembakau, dan sebagai kuli angkut. Tembakau yang sudah
dipanen diangkut ke bangsal-bangsal pengolahan, sesudah selesai diolah, dikemas, dan
selanjutnya diangkut ke tempat-tempat pengiriman untuk diekspor ke pasaran dunia.
Kebutuhan kuli di perkebunan Deli pada mulanya dapat dipenuhi dari kuli
penduduk setempat. Akan tetapi,, penduduk setempat (Melayu) banyak yang kurang
tertarik bekerja di perkebunan, dan mereka juga kurang terampil dalam penanaman
tembakau. Kemudian, kebutuhan kuli di Sumatera Timur dipenuhi dengan
mendatangkan kuli dari luar daerah, karena tidak mudah memperoleh kuli dari
desa-desa di sekitar perkebunan, Akhirnya pihak perkebunan di Sumatera Timur
mendatangkan kuli dari Semenanjung Malaya, pulau Jawa, dan India sebagai kuli
kontrak.
Perekrutan kuli tersebut sering dilakukan dengan cara penipuan yaitu dengan
tujuan. Pada kenyataannya, mereka diseberangkan ke Deli secara diam-diam. Para
agen pencari kuli membujuk calon kuli dengan memberikan janji akan memperoleh
gaji yang besar. 20 Ada juga yang dibawa paksa, misalnya pada saat sedang berjalan
langsung ditangkap dan dimasukkan ke dalam kapal. Pada waktu itu Deli sudah
mempunyai reputasi buruk di kalangan pekerja yang berada di Semenanjung Malaka
dan pulau Jawa sehingga para calon kuli tersebut enggan dibawa ke Deli.21
Pengerahan kuli ditangani oleh beberapa biro pencari dan penyalur kuli. Salah
satu biro imigrasi kuli adalah ESAS yang berkedudukan di Surabaya. Biro ini
memasang iklan di surat kabar dan menawarkan kuli seperti menawarkan barang
dagangan.22 Biro ini juga menyalurkan kuli, baik orang Madura, Jawa, Sunda maupun
orang Cina untuk dipekerjakan di daerah pertanian, perkebunan, dan pertambangan.
Sebelum diberangkatkan ke tempat tujuan, Para calon kuli harus
menandatangani kontrak untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun. Mereka juga akan
menerima uang voorschot (uang muka upah). Voorschot yang diberikan akan dibayar
kembali kepada pengusaha perkebunan dengan cara memotong upah setelah mereka
bekerja. Setelah menandatangani kontrak itu, pihak pengusaha perkebunan menuntut
kepatuhan para pekerja dalam bekerja. 23
20Brieven Gouvernement Secretaris/BGS, No. 418/A2, ANRI. . 21 Ibid.
22 T. Keizerina Devi, op. cit., hlm. 32.
Kuli Cina yang datang ke perkebunan, sejak awal berada di bawah pimpinan
kepala sukunya.24 Demikian juga dalam melaksanakan pekerjaan, langsung diperintah
oleh kepala suku tersebut. Para pengusaha perkebunan hanya berhubungan dengan
kepala suku orang-orang Cina. Kedudukan kepala suku adalah sebagai mandor yang
disebut dengan tandil.25 Tugas tandil sebagai pengawas kuli Cina, bertanggung jawab
atas keamanan dan ketertiban untuk seluruh kelompoknya. Selain itu juga menjadi
penghubung antara kuli dan pengusaha, sehingga dapat mencegah timbulnya
konfrontasi langsung antara asisten dan kuli.
Kuli Cina yang didatangkan ke perkebunan di Deli Sumatera Timur pada tahun
1884 berjumlah 40.257 orang, tahun 1885 bertambah 3.839 orang sehingga menjadi
44.096 orang. Begitu juga tahun 1886 terjadi peningkatan yang cukup tinggi bila
dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, jumlah kuli bertambah 13.090 orang
sehingga jumlahnya menjadi 57.186 orang. Peningkatan jumlah kuli yang begitu besar
disebabkan pada tahun-tahun tersebut dibuka perkebunan tembakau secara
besar-besaran, sehingga dibutuhkan tenaga kerja yang banyak.26
Para kuli Cina ini dipekerjakan sebagai penanam, pemanen, penyortir, dan
penjemur tembakau. Pengolahan tanaman dilakukan di bawah pengawasan seorang
administratur (Eropa) dengan bantuan empat atau enam orang asisten (mandor) yang
juga berasal dari orang Eropa. Pekerjaan ini mereka lakukan sebelum datangnya kuli
24 Pada saat awal perekrutan dari Semenanjung Malaya, mereka telah dibagi atas beberapa
kelompok yang dipimpin oleh salah seorang yang disebut dengan kepala suku.
25 Mohammad Said, op. cit., hlm. 80
Jawa ke wilayah Deli pada tahun 1873. Lahan yang diolah adalah 400 petak tembakau,
setiap petak berukuran 1 bau27 yang akan di tanami 16.000 batang pohon tembakau.28
Setelah dipanen daun-daun tembakau tersebut diserahkan kepada pihak perusahaan.
Daun-daun tembakau akan dipilah, dihitung dan dinilai oleh asisten kebun. Daun
tembakau yang diolah sebagai pembungkus cerutu hanya daun tembakau yang
benar-benar berkualitas baik.
Tembakau yang sudah diragi kemudian disortir, diklasifikasikan menurut
mutunya, dan disimpan pada gudang-gudang khusus dengan menggunakan
penerangan. Sekitar 600 sampai 800 pekerja dipersiapkan untuk pekerjaan penyortiran
yang memerlukan keterampilan tinggi, karena harus mampu membedakan 21 jenis
mutu yang berbeda berdasarkan warna daun, permukaan daun, dan menurut panjang
daun.29 Setelah disortir dan diklasifikasikan, daun-daun tembakau akan diperiksa
secara teliti oleh seorang asisten penerima, kemudian dikemas, dan diangkut ke
tempat-tempat pengiriman untuk diekspor ke pasaran dunia di Eropa.
Tabel 1.
Jumlah Produksi Tembakau Deli dan Rata-rata Nilai Jual di Sumatera Timur Tahun 1864-1900
27Bau adalah ukuran luas tanah, 1 bau sama dengan 0,7 hektar.
Lihat Karl J. Pelzer, op.cit.,
hlm. 66.
28Ibid.
29 Jan Breman, Menjinakkan Sang Kuli, Politik, Kolonial pada Awal Abad ke-20, Jakarta:
1869 1.381 1,29 f 250.000
1874 12.895 1,50 f. 2.850.000
1879 57.596 1,19 f. 10.350.000
1884 115.496 1,44 f. 27.550.000
1889 184.322 1,46 f. 40.600.000
1890 236.323 0,72 f. 26.000.000
1892 144.682 1,26 f. 26.700.000
1894 193.334 1,19 f. 35.000.000
1899 264.100 0,82 f.33.300.000
1900 223.731 1,11 f. 38.000.000
Sumber : W.H.M. Schadee, Geschiedenis van Sumatra’s Oostkust I Amsterdam: Oostkust van Sumatra-Instituut, 1919, hlm. 186.
Penghasilan yang didapat juga tidak seperti yang diharapkan. Penghasilan yang
diperoleh rata-rata hanya sebesar ƒ5, (belum termasuk pemotongan-pemotongan biaya,
seperti pemotongan untuk penyediaan papan pengumuman di barak, dan buku kecil
catatan upah ditanggung oleh kuli itu sendiri.30 Demikian juga, untuk biaya alat bekerja
mereka seperti cangkul, arit, ataupun golok, serta pergantian alat jika alat rusak juga
ditanggung oleh kuli itu sendiri.
Upah pekerja Cina yang berhasil menanam sampai 16.000 batang pohon
tembakau adalah ƒ62 pertahun. Pendapatan tersebut dipotong ƒ1,8 untuk pakaian dan
sepatu, ƒ 2,5 untuk perkakas kerja, ƒ4 untuk pekerja pembantunya, dan ƒ30 pertahun
untuk panjar, sehingga mereka menerima upah bersih sebesar ƒ17 pertahun.31 Adapun
upah tandil yang berfungsi sebagai koordinator dan mengurus kebutuhan sehari-hari
para pekerja Cina adalah ƒ159,5 pertahun tanpa mendapat pemotongan.
Untuk mengatasi kekurangan kuli, pengusaha-pengusaha perkebunan semakin
giat mencari kuli. Selain mendatangkan kuli langsung dari Cina melalui biro imigrasi,
mereka juga mendatangkan kuli dari Jawa.32 Pekerja dari Jawa sudah dikenal sebagai
pekerja yang memiliki keterampilan dalam bidang pertanian, sehingga mereka dengan
mudah dapat menyesuaikan diri dengan pekerjaan di perkebunan. Alasan mengapa
pada awalnya lebih banyak pekerja Cina yang didatangkan dan bukan dari Jawa, karena
bangsa Cina sudah sangat terkenal sebagai pekerja keras yang efisien dan hidup hemat.
Selain itu hubungan kapal ke luar negeri langsung atau melalui Singapura lebih lancar
daripada ke Jawa. Pungutan pajak atas impor kuli asing juga menjadi satu faktor
terhentinya pengiriman tenaga dari Cina. Para pengusaha perkebunan mulai berpaling
untuk mendatangkan kuli dari Jawa dengan menyebarkan agen pencari kerja ke seluruh
Pulau Jawa.
Agen pencari kerja dikenal dengan sebutan werver (werek). Calon kuli Jawa
dibujuk dengan segala janji sehingga mereka bersedia menandatangani formulir kerja.
Formulir tersebut disebar di setiap tempat agar setiap orang mudah memperoleh serta
mempelajari isinya. Formulir kerja tersebut berisi hak dan kewajiban antara buruh dan
majikan. Para agen pencari kuli selain menyebarkan formulir, juga mencari langsung
calon kuli ke desa-desa. Mereka membujuk calon kuli dengan menyebut Deli sebagai
tanah baru yang menyimpan banyak emas. Agen pencari kerja mengiming-imingi
bahwa di Deli banyak emas, banyak perempuan cantik, dan boleh berjudi. Setiap orang
yang pergi ke Deli, setelah beberapa tahun pulang kembali ke daerahnya sudah menjadi
kaya. 33
Tabel 2.
Jumlah kuli Cina dan Jawa di Sumatra Timur Tahun 1883-1930
Tahun Cina Jawa Jumlah
1883 21.136 1.711 22.874
1893 41.700 18.000 59.700
1898 50.846 22.256 73.102
1906 53.105 33.802 86.907
1913 53.617 118.517 172.134
1920 27.715 209.459 237.174
1930 26.037 234.554 260.591
Sumber: Thee Kian Wie, Plantation Agricultural and Export Growth an economic history qf East Sumatra, 1863-1942, Jakarta: LEKNAS-LIPI, 1977, hlm. 39.
Pada tahun 1875 Deli Maatschappij sudah mendatangkan pekerja Jawa dari
Bagelen. Percobaan tersebut tidak meningkatkan pasokan kuli dari Jawa. Para
pengusaha perkebunan masih belum menaruh perhatian besar terhadap Jawa sebagai
pemasok kuli. Pemerintah kolonial pun tidak mendorong para pekerja untuk berangkat
ke Sumatera Timur karena terlalu rendahnya upah yang berlaku di sana. Pada tahun
1887 Gubernur Jenderal mengeluarkan surat edaran kepada semua residen di Jawa agar
melarang menyetujui kontrak untuk Deli, selama upah bulanan pekerja belum
dinaikan.
Akan tetapi adanya penyempitan lahan pertanian di Jawa akibat penguasaan
oleh perusahaan-perusahaan perkebunan gula di pulau Jawa, maka kuli dari Jawa
didatangkan ke perkebunan Sumatera Timur. Selain itu, penghapusan pajak bumi pada
tahun 1870, diganti dengan pajak kepala yang dikenakan kepada seluruh penduduk
Jawa tanpa kecuali sangat memberatkan penduduk Jawa, sehingga mereka bersedia
bekerja di perkebunan wilaya Sumatera Timur agar dapat melepaskan diri dari pajak.34
Berkurangnya jumlah kuli kontrak Cina dalam perkebunan sangat menguntungkan
pengusaha perkebunan karena pekerja Jawa yang menggantikannya mau dibayar
dengan upah murah, serta kontrak kerja mereka dapat diperpanjang karena mereka
terlibat hutang35.
Dalam pekerjaannya, kuli-kuli Jawa tersebut dikelompokkan ke dalam
regu-regu (ploeg) yang masing-masing diawasi oleh seorang mandor yang juga berasal dari
suku Jawa. 36 Empat sampai enam orang mandor ada di bawah mandor kepala dan
34 Jan Breman, op.cit., hlm. 177.
35 Yasmis, “Kuli Kontrak di Perkebunan Tembakau Deli 1880-1915”, Tesis S-2, belum
diterbitkan, Jakarta :FIB UI, 2007, hlm 74-75
36 Peranan inti organisasi kerja di perkebunan adalah regu (ploeg) yang berada di bawah
mereka semua diawasi oleh para asisten dan pengawas (bangsa Eropa) atau disebut
dengan opzichter. Pekerjaan yang dilakukan oleh kuli Jawa membuka lahan,
pembibitan, sampai kepada proses penanaman.37.
Pada tahun pertama penanaman bagi suatu perkebunan dimulai dengan
pembukaan hutan belukar yang dilakukan dengan sistem kerja borongan oleh suku
Karo dan suku Jawa. Pohon-pohon ditebangi, kecuali pohon buah-buahan, pohon
asam, dan gelugur.38 Setelah penebangan pohon, persiapan dimulai dengan cara
mencangkul lahan yang akan ditanami tembakau39. Sementara persiapan lahan masih
berjalan, dipersiapkan pula tempat tempat pembibitan. Masa tanam bibit memerlukan
waktu dua bulan, sedangkan untuk pemindahan bibit dari tempat persemaian ke lahan
perkebunan diperlukan waktu selama 40 sampai 50 hari.40
Perawatan pada masa tanam diperlukan untuk menghindarkan tambakau dari
penyakit pes tumbuhan dan pes binatang. Tembakau yang terserang hama akan
menimbulkan daun yang berbintik atau berlubang, sehingga daun tembakau yang
demikian akan diapkir sebagai pembungkus cerutu.41 Oleh sebab itu untuk menjaga
37 Ibid., 112-113
38 Pohon-pohon tersebut dilarang untuk ditebang, sesuai dengan rumusan kontrak yang
melarang melakukan penebangan terhadap pohon-pohon yang ditanam oleh masyarakat setempat. Ketentuan tersebut dijelaskan pada contoh kontrak tahun 1887 berupa Keputusan No.1 tanggal 19 Oktober 1887 yang menjelaskan bahwa para pengusaha perkebunan tidak mengusik tanah yang benar-benar sedang digunakan oleh penduduk setempat untuk berladang.
39 Semenjak masa pencangkulan tanah, pekerjaan ini sudah tidak diikuti oleh suku Karo lagi.
Dan setelahnya akan dikerjakan oleh kuli-kuli Jawa, sesuai dengan kesepakatan pemerintah kolonial dengan suku Karo pada tahun 1887 yang menjelaskan bahwa suku Karo hanya membantu dalam proses pembukaan lahan agar dapat mengetahui lahan yang dipakai penduduk setempat dalam berladang atau pun pohon-pohon tertentu yang tidak boleh ditebang.
40 Karl J. Pelzer, Toean Keboen dan Petani, Politik Kolonial dan Perjuangan Agrariadi
Sumatera Timur, 1863-1947, Jakarta: Sinar Harapan, 1985, hlm. 68
mutu daun tembakau, setiap pekerja diberi tanggungjawab mengolah sebidang tanah
yang dikerjakan sendiri. Setiap 1 (satu) hektar lahan diperlukan 4 (empat) orang
pekerja. Mereka bertanggung jawab penuh untuk mengelola 16.000 pohon tanaman.
Daun-daun tembakau yang telah kering diangkut dari bangsal pengeringan ke
gudang-gudang peragian. Setiap lima atau enam lahan perkebunan disediakan satu
bangsal pengeringan. Suhu dalam gudang peragian diawasi dengan sangat hati-hati,
dicatat dengan termometer yang diletakkan pada tabung-tabung bambu. Suhu harus
diturunkan setelah mencapai 600C , dan daun-daun tembakau yang sudah mengalami
peragian akan dipisahkan tempat penyimpanannya. 42
Penghasilan yang diterima oleh kuli Jawa sama dengan yang diterima oleh kuli
Cina yaitu, rata-rata sebesar ƒ5 dan mendapat potongan sebesar ƒ1,8 setiap bulannya.
Pemotongan upah yang dilakukan sama seperti yang dilakukan terhadap kuli Cina.
Untuk upah mandor besar orang Jawa berjumlah ƒ129 pertahun, mandor biasa
mendapat ƒ67,5 pertahun, dan pekerja biasa hanya mendapat ƒ42,5.43
Pada awal pembukaan perkebunan, tenaga kerja perempuan belum mendapat
perhatian para pengusaha perkebunan sehingga dirasa belum perlu untuk didatangkan.
Pekerjaan pada waktu itu adalah membuka hutan secara besar-besaran, yang menuntut
persyaratan khusus dalam hal kekuatan dan ketahanan fisik. Seiring dengan kegiatan
perawatan tanaman dan produksi perkebunan yang bertambah, seperti mencari ulat
tembakau, menggaru tanah, menyortir, memilah, menggantungkan dan mengikat
42Ibid., hlm. 69.
daun tembakau maka mulai dibutuhkan kuli perempuan. Sebagian kecil perempuan
yang berada di perkebunan adalah istri tandil atau istri dari pekerja-pekerja Cina yang
sudah menetap lama (laukheh). Para perempuan Cina yang datang ke perkebunan
selain untuk menemani para suami juga untuk berdagang atau meminjamkan uang
dengan bunga yang tinggi.44
Pada tahun 1875, para pekerja perempuan didatangkan dari Pulau Jawa
bersamaan dengan kedatangan para pekerja laki-laki.45 Pada awal kedatangannya
jumlah pekerja perempuan hanya sedikit dibandingkan dengan jumlah pekerja laki-laki
yaitu empat berbanding satu dari total jumlah pekerja laki-laki yang didatangkan. Akan
tetapi, kedatangan mereka bertambah banyak pada awal abad ke-20 yaitu hampir 30%
dari total jumlah kuli perempuan yang telah ada di wilayah perkebunan Deli
sebelumnya. Di antara jumlah ribuan kuli laki-laki, hanya terdapat sekitar 15 – 40
orang kuli perempuan yang didatangkan ke perkebunan.46
Mengalirnya kuli perempuan menjadi fenomena yang menarik di wilayah
perkebunan. Selain dipekerjakan di perkebunan, mereka juga sengaja didatangkan
untuk memikat para pekerja laki-laki agar betah atau tetap tinggal di perkebunan
setelah masa kontrak selesai.47 Beberapa faktor yang menjadi pendorong masuknya
44 Yasmis, op. cit., hlm 73 45 Jan Breman, op.cit., hlm. 59
46 Szekely-Lulofs, Madelon. H., Koeli, Holland: Bureau B.V, 1931, hlm. 32.
47 Mubiyarto, Tanah dan Kuli Perkebunan, Kajian Sosial Ekonomi, Yogyakarta: Aditya
kuli perempuan ke dalam wilayah perkebunan, yaitu adanya komersialisasi tanah,
introduksi ekonomi uang, dan tingginya tingkat pengangguran di pulau Jawa.48
Para pencari pekerja perempuan, selain menyebarkan formulir dalam mencari
calon kuli juga dilakukan dengan keliling desa, mereka membujuk calon pekerja
perempuan dengan cara akan menikahinya.49 Pada kenyataannya, mereka di jual
kepada agen pencari kerja. Para pekerja wanita yang berangkat ke Deli tanpa membawa
uang voorschot sehingga penderitaan mereka dimulai pada saat mereka
diberangkatkan. Mereka diangkut ke Sumatera seperti layaknya hewan ternak,
ditumpuk seperti daun enau dalam sebuah kapal barang yang muatannya melebihi
kapasitas.50 Kepergian mereka tanpa pamit kepada keluarganya karena dibohongi,
sehingga banyak keluarga yang kehilangan anak-anaknya, isteri atau suaminya.
Seorang pekerja perempuan menjadi gila karena meninggalkan anak-anaknya di
Jawa.51
Keberadaan para perempuan Eropa juga sangat sedikit di perkebunan Deli.
Tahun 1884 jumlah orang Eropa di perkebunan sebanyak 688 orang, terdiri dari
laki-laki 540 orang dan jumlah perempuan 148 orang, berarti hampir empat berbanding
satu. Pada tahun 1900 jumlah perempuan Eropa meningkat menjadi 540 orang dari
2.079 orang Eropa, sementara laki-laki berjumlah 1.578 orang.
48Ibid. 49,hlm. 19.
50 Kapal tersebut seharusnya untuk kapasitas 40 orang, namun diisi oleh 102 orang pekerja.
Lihat Jan Breman, op.cit., hlm. 125.
Diawal tahun 1900 dari seluruh pekerja di perkebunan Deli Maatschappij yang
berjumlah 62.000 orang, pekerja perempuan hanya berjumlah 5.000 orang dan
semuanya orang Jawa. Pada dasawarsa berikutnya jumlah mereka meningkat 20% dari
seluruh pekerja kontrak.52 Peningkatan jumlah pekerja perempuan disebabkan karena
adanya izin pemerintah kolonial kepada pihak perkebunan mendatangkan pekerja
perempuan. Masuknya kuli perempuan ke dalam proses kerja di pekebunan dibatasi
oleh persyaratan yang tertera dalam ordonansi kuli53. Mereka hanya boleh mengerjakan
pekerjaan ringan, seperti memilah dan mengikat daun tembakau di dalam lumbung,
menyiangi pesemaian di ladang, menyapu jalan, dan pekerjaan lain yang memerlukan
kesabaran tetapi tidak menguras tenaga.
Upah kerja yang mereka terima tidak memadai untuk memenuhi keperluan
hidup yang paling dasar sekalipun. Apabila tidak ada pekerjaan, mereka tidak
mendapat bayaran apapun karena pihak perkebunan tidak bersedia membayarnya. Kuli
perempuan diposisikan sebagai kuli paling murah untuk perkebunan. Apabila pekerja
laki-laki menerima upah ƒ3 –ƒ5 per bulan, maka pekerja perempuan hanya menerima
ƒ1,5. Mereka hanya menerima ƒ1,20 per bulan untuk semua kebutuhan hidupnya,
setelah dipotong uang panjar ƒ0,25, dan harga cangkul ƒ0,15.54
52 Ibid., hlm. 63.
53 Ordonansi kuli merupakan suatu peraturan yang dikeluarkan pemerintah Hindia-Belanda
terhadap para kuli yang memberikan jaminan kepada majikan jika sewaktu-waktu terjadi masalah dalam pekerjaannya. Lihat lampiran I
Berbagai bentuk kesewenangan dan penyelewengan seringkali menyertai
keberadaan pekerja di perkebunan-perkebunan khususnya terhadap pekerja
perempuan. Sebagai lapisan terbawah dalam hirarki perkebunan, para kuli seakan
menjadi kelompok yang paling mudah diperdaya. Meskipun berbagai bentuk derita
diterima, para pekerja perkebunan terpaksa tetap bertahan karena kebutuhan hidup dan
kemiskinan yang sudah mereka bawa dari daerah tempat asal mereka.
2.2 Kondisi Pemukiman Kuli
Tempat tinggal yang disediakan oleh pengusaha perkebunan untuk para kuli,
hanya berbentuk bangsal panjang yang dibangun tanpa sekat dan dihuni oleh ratusan
pekerja.55 Dalam satu barak yang luasnya hanya 20 x 6 meter, dihuni oleh ratusan kuli,
mengakibatkan setiap orang tidak mempunyai privasi. Begitu pula dengan kuli
perempuan dari Jawa. Mereka tidak mendapat tempat tersendiri, dan tinggal bersama
satu barak dengan kuli laki-laki, walaupun nantinya jumlah kuli perempuan yang
berasal dari Jawa semakin bertambah banyak sejak 1875. 56
Bangunan yang disebut barak tersebut berdiri berjajar atau berbentuk
bujursangkar mengelilingi lapangan. Dindingnya terbuat dari bambu dengan atapnya
ilalang atau daun rumbia. Sebuah lapangan yang berada ditengah-tengah digunakan
55 Lihat lampiran III
56 Hal ini disebabkan para kuli perempuan Jawa yang baru datang akan dialokasikan sesuai
untuk membangun dapur umum. Selain untuk hunian para kuli, barak- barak tersebut
juga digunakan sebagai tempat menyimpan dan memproses daun tembakau.57
Barak yang satu dan barak yang lain dibangun saling berjauhan, namun tetap
berada di sekitar perkebunan. Hal ini sengaja dibangun agar para pekerja dapat segera
sampai ketempat kerja masing-masing. Barak kuli Jawa dan kuli Cina juga dipisahkan.
Pemisahan barak pekerja Jawa dan Cina menunjukkan bahwa pekerja Jawa dan pekerja
Cina di perkebunan tidak diperbolehkan untuk berbaur. Pemisahan tersebut bertujuan
untuk mempermudah pengontrolan apabila ada kerusuhan, agar cepat dapat diketahui
dan ditindak. Adanya pemisahan tempat tinggal, muncul nama-nama perkampungan
seperti kampung Jawa, Melayu, Bantam, Batak, dan Cina sesuai dengan nama suku
bangsa yang terdapat di daerah tersebut.58
Kebersihan selalu menjadi masalah di manapun para kuli ditempatkan. Sisa
sampah dan air yang tergenang menambah bau dan kotornya lingkungan tempat
tinggal, sehingga menjadi sumber penyakit yang berbahaya. Barak-barak yang sangat
kotor dan pengap, sering menjadi daerah epidemi penyakit seperti malaria, beri-beri,
tipus, cacingan, bahkan disentri. 59
Barak-barak yang tidak dilengkapi dengan sirkulasi udara menyebabkan udara
sangat pengap. Jamban tidak tersedia dan mereka membuang kotorannya ke dalam
57 Jan Bremnan, op. cit., hlm. 125. 58Ibid., hlm. 127
tong-tong tinja. Situasi ini menyebabkan datangnya penyakit dan kematian bagi para
kuli.
Perawatan yang tersedia terutama penyediaan rumah sakit di perkebunan juga
tidak layak, sehingga mempercepat kematian kuli-kuli yang sakit tersebut.
Mayat-mayat para kuli yang meninggal tidak dikebumikan secara layak dan dilemparkan ke
perkebunan untuk dijadikan pupuk. Hal ini membuat assisten residen mengeluarkan
Surat Edaran tanggal 5 Juli 1899 yang ditujukan kepada administratur perkebunan agar
menguburkan para kuli yang meninggal sesuai dengan adat kebiasaan bangsa
tersebut.60 Ordonansi kuli sebenarnya sudah mengatur bahwa perusahaan wajib
memberi perawatan kesehatan, namun dalam kenyataannya para kuli tidak
mendapatkan apa yang menjadi haknya.