• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelacuran Pada Wilayah Perkebunan Di Deli Tahun 1870-1930

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pelacuran Pada Wilayah Perkebunan Di Deli Tahun 1870-1930"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LATAR BELAKANG MUNCULNYA PELACURAN DI WILAYAH

PERKEBUNAN DELI

2.1 Pekerjaan dan Penghasilan Kuli

Pembukaan lahan perkebunan secara besar-besaran di Sumatera Timur oleh

perusahaan-perusahaan swasta Barat, selain membutuhkan penyediaan lahan juga

membutuhkan banyak kuli (tenaga kerja). Kuli adalah faktor utama yang mendukung

keberhasilan suatu perkebunan yang diperlukan sebagai penggarap tanah, penanam

tembakau, pengolah daun tembakau, dan sebagai kuli angkut. Tembakau yang sudah

dipanen diangkut ke bangsal-bangsal pengolahan, sesudah selesai diolah, dikemas, dan

selanjutnya diangkut ke tempat-tempat pengiriman untuk diekspor ke pasaran dunia.

Kebutuhan kuli di perkebunan Deli pada mulanya dapat dipenuhi dari kuli

penduduk setempat. Akan tetapi,, penduduk setempat (Melayu) banyak yang kurang

tertarik bekerja di perkebunan, dan mereka juga kurang terampil dalam penanaman

tembakau. Kemudian, kebutuhan kuli di Sumatera Timur dipenuhi dengan

mendatangkan kuli dari luar daerah, karena tidak mudah memperoleh kuli dari

desa-desa di sekitar perkebunan, Akhirnya pihak perkebunan di Sumatera Timur

mendatangkan kuli dari Semenanjung Malaya, pulau Jawa, dan India sebagai kuli

kontrak.

Perekrutan kuli tersebut sering dilakukan dengan cara penipuan yaitu dengan

(2)

tujuan. Pada kenyataannya, mereka diseberangkan ke Deli secara diam-diam. Para

agen pencari kuli membujuk calon kuli dengan memberikan janji akan memperoleh

gaji yang besar. 20 Ada juga yang dibawa paksa, misalnya pada saat sedang berjalan

langsung ditangkap dan dimasukkan ke dalam kapal. Pada waktu itu Deli sudah

mempunyai reputasi buruk di kalangan pekerja yang berada di Semenanjung Malaka

dan pulau Jawa sehingga para calon kuli tersebut enggan dibawa ke Deli.21

Pengerahan kuli ditangani oleh beberapa biro pencari dan penyalur kuli. Salah

satu biro imigrasi kuli adalah ESAS yang berkedudukan di Surabaya. Biro ini

memasang iklan di surat kabar dan menawarkan kuli seperti menawarkan barang

dagangan.22 Biro ini juga menyalurkan kuli, baik orang Madura, Jawa, Sunda maupun

orang Cina untuk dipekerjakan di daerah pertanian, perkebunan, dan pertambangan.

Sebelum diberangkatkan ke tempat tujuan, Para calon kuli harus

menandatangani kontrak untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun. Mereka juga akan

menerima uang voorschot (uang muka upah). Voorschot yang diberikan akan dibayar

kembali kepada pengusaha perkebunan dengan cara memotong upah setelah mereka

bekerja. Setelah menandatangani kontrak itu, pihak pengusaha perkebunan menuntut

kepatuhan para pekerja dalam bekerja. 23

20Brieven Gouvernement Secretaris/BGS, No. 418/A2, ANRI. . 21 Ibid.

22 T. Keizerina Devi, op. cit., hlm. 32.

(3)

Kuli Cina yang datang ke perkebunan, sejak awal berada di bawah pimpinan

kepala sukunya.24 Demikian juga dalam melaksanakan pekerjaan, langsung diperintah

oleh kepala suku tersebut. Para pengusaha perkebunan hanya berhubungan dengan

kepala suku orang-orang Cina. Kedudukan kepala suku adalah sebagai mandor yang

disebut dengan tandil.25 Tugas tandil sebagai pengawas kuli Cina, bertanggung jawab

atas keamanan dan ketertiban untuk seluruh kelompoknya. Selain itu juga menjadi

penghubung antara kuli dan pengusaha, sehingga dapat mencegah timbulnya

konfrontasi langsung antara asisten dan kuli.

Kuli Cina yang didatangkan ke perkebunan di Deli Sumatera Timur pada tahun

1884 berjumlah 40.257 orang, tahun 1885 bertambah 3.839 orang sehingga menjadi

44.096 orang. Begitu juga tahun 1886 terjadi peningkatan yang cukup tinggi bila

dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, jumlah kuli bertambah 13.090 orang

sehingga jumlahnya menjadi 57.186 orang. Peningkatan jumlah kuli yang begitu besar

disebabkan pada tahun-tahun tersebut dibuka perkebunan tembakau secara

besar-besaran, sehingga dibutuhkan tenaga kerja yang banyak.26

Para kuli Cina ini dipekerjakan sebagai penanam, pemanen, penyortir, dan

penjemur tembakau. Pengolahan tanaman dilakukan di bawah pengawasan seorang

administratur (Eropa) dengan bantuan empat atau enam orang asisten (mandor) yang

juga berasal dari orang Eropa. Pekerjaan ini mereka lakukan sebelum datangnya kuli

24 Pada saat awal perekrutan dari Semenanjung Malaya, mereka telah dibagi atas beberapa

kelompok yang dipimpin oleh salah seorang yang disebut dengan kepala suku.

25 Mohammad Said, op. cit., hlm. 80

(4)

Jawa ke wilayah Deli pada tahun 1873. Lahan yang diolah adalah 400 petak tembakau,

setiap petak berukuran 1 bau27 yang akan di tanami 16.000 batang pohon tembakau.28

Setelah dipanen daun-daun tembakau tersebut diserahkan kepada pihak perusahaan.

Daun-daun tembakau akan dipilah, dihitung dan dinilai oleh asisten kebun. Daun

tembakau yang diolah sebagai pembungkus cerutu hanya daun tembakau yang

benar-benar berkualitas baik.

Tembakau yang sudah diragi kemudian disortir, diklasifikasikan menurut

mutunya, dan disimpan pada gudang-gudang khusus dengan menggunakan

penerangan. Sekitar 600 sampai 800 pekerja dipersiapkan untuk pekerjaan penyortiran

yang memerlukan keterampilan tinggi, karena harus mampu membedakan 21 jenis

mutu yang berbeda berdasarkan warna daun, permukaan daun, dan menurut panjang

daun.29 Setelah disortir dan diklasifikasikan, daun-daun tembakau akan diperiksa

secara teliti oleh seorang asisten penerima, kemudian dikemas, dan diangkut ke

tempat-tempat pengiriman untuk diekspor ke pasaran dunia di Eropa.

Tabel 1.

Jumlah Produksi Tembakau Deli dan Rata-rata Nilai Jual di Sumatera Timur Tahun 1864-1900

27Bau adalah ukuran luas tanah, 1 bau sama dengan 0,7 hektar.

Lihat Karl J. Pelzer, op.cit.,

hlm. 66.

28Ibid.

29 Jan Breman, Menjinakkan Sang Kuli, Politik, Kolonial pada Awal Abad ke-20, Jakarta:

(5)

1869 1.381 1,29 f 250.000

1874 12.895 1,50 f. 2.850.000

1879 57.596 1,19 f. 10.350.000

1884 115.496 1,44 f. 27.550.000

1889 184.322 1,46 f. 40.600.000

1890 236.323 0,72 f. 26.000.000

1892 144.682 1,26 f. 26.700.000

1894 193.334 1,19 f. 35.000.000

1899 264.100 0,82 f.33.300.000

1900 223.731 1,11 f. 38.000.000

Sumber : W.H.M. Schadee, Geschiedenis van Sumatra’s Oostkust I Amsterdam: Oostkust van Sumatra-Instituut, 1919, hlm. 186.

Penghasilan yang didapat juga tidak seperti yang diharapkan. Penghasilan yang

diperoleh rata-rata hanya sebesar ƒ5, (belum termasuk pemotongan-pemotongan biaya,

seperti pemotongan untuk penyediaan papan pengumuman di barak, dan buku kecil

catatan upah ditanggung oleh kuli itu sendiri.30 Demikian juga, untuk biaya alat bekerja

mereka seperti cangkul, arit, ataupun golok, serta pergantian alat jika alat rusak juga

ditanggung oleh kuli itu sendiri.

Upah pekerja Cina yang berhasil menanam sampai 16.000 batang pohon

tembakau adalah ƒ62 pertahun. Pendapatan tersebut dipotong ƒ1,8 untuk pakaian dan

(6)

sepatu, ƒ 2,5 untuk perkakas kerja, ƒ4 untuk pekerja pembantunya, dan ƒ30 pertahun

untuk panjar, sehingga mereka menerima upah bersih sebesar ƒ17 pertahun.31 Adapun

upah tandil yang berfungsi sebagai koordinator dan mengurus kebutuhan sehari-hari

para pekerja Cina adalah ƒ159,5 pertahun tanpa mendapat pemotongan.

Untuk mengatasi kekurangan kuli, pengusaha-pengusaha perkebunan semakin

giat mencari kuli. Selain mendatangkan kuli langsung dari Cina melalui biro imigrasi,

mereka juga mendatangkan kuli dari Jawa.32 Pekerja dari Jawa sudah dikenal sebagai

pekerja yang memiliki keterampilan dalam bidang pertanian, sehingga mereka dengan

mudah dapat menyesuaikan diri dengan pekerjaan di perkebunan. Alasan mengapa

pada awalnya lebih banyak pekerja Cina yang didatangkan dan bukan dari Jawa, karena

bangsa Cina sudah sangat terkenal sebagai pekerja keras yang efisien dan hidup hemat.

Selain itu hubungan kapal ke luar negeri langsung atau melalui Singapura lebih lancar

daripada ke Jawa. Pungutan pajak atas impor kuli asing juga menjadi satu faktor

terhentinya pengiriman tenaga dari Cina. Para pengusaha perkebunan mulai berpaling

untuk mendatangkan kuli dari Jawa dengan menyebarkan agen pencari kerja ke seluruh

Pulau Jawa.

Agen pencari kerja dikenal dengan sebutan werver (werek). Calon kuli Jawa

dibujuk dengan segala janji sehingga mereka bersedia menandatangani formulir kerja.

Formulir tersebut disebar di setiap tempat agar setiap orang mudah memperoleh serta

mempelajari isinya. Formulir kerja tersebut berisi hak dan kewajiban antara buruh dan

(7)

majikan. Para agen pencari kuli selain menyebarkan formulir, juga mencari langsung

calon kuli ke desa-desa. Mereka membujuk calon kuli dengan menyebut Deli sebagai

tanah baru yang menyimpan banyak emas. Agen pencari kerja mengiming-imingi

bahwa di Deli banyak emas, banyak perempuan cantik, dan boleh berjudi. Setiap orang

yang pergi ke Deli, setelah beberapa tahun pulang kembali ke daerahnya sudah menjadi

kaya. 33

Tabel 2.

Jumlah kuli Cina dan Jawa di Sumatra Timur Tahun 1883-1930

Tahun Cina Jawa Jumlah

1883 21.136 1.711 22.874

1893 41.700 18.000 59.700

1898 50.846 22.256 73.102

1906 53.105 33.802 86.907

1913 53.617 118.517 172.134

1920 27.715 209.459 237.174

1930 26.037 234.554 260.591

Sumber: Thee Kian Wie, Plantation Agricultural and Export Growth an economic history qf East Sumatra, 1863-1942, Jakarta: LEKNAS-LIPI, 1977, hlm. 39.

Pada tahun 1875 Deli Maatschappij sudah mendatangkan pekerja Jawa dari

Bagelen. Percobaan tersebut tidak meningkatkan pasokan kuli dari Jawa. Para

pengusaha perkebunan masih belum menaruh perhatian besar terhadap Jawa sebagai

(8)

pemasok kuli. Pemerintah kolonial pun tidak mendorong para pekerja untuk berangkat

ke Sumatera Timur karena terlalu rendahnya upah yang berlaku di sana. Pada tahun

1887 Gubernur Jenderal mengeluarkan surat edaran kepada semua residen di Jawa agar

melarang menyetujui kontrak untuk Deli, selama upah bulanan pekerja belum

dinaikan.

Akan tetapi adanya penyempitan lahan pertanian di Jawa akibat penguasaan

oleh perusahaan-perusahaan perkebunan gula di pulau Jawa, maka kuli dari Jawa

didatangkan ke perkebunan Sumatera Timur. Selain itu, penghapusan pajak bumi pada

tahun 1870, diganti dengan pajak kepala yang dikenakan kepada seluruh penduduk

Jawa tanpa kecuali sangat memberatkan penduduk Jawa, sehingga mereka bersedia

bekerja di perkebunan wilaya Sumatera Timur agar dapat melepaskan diri dari pajak.34

Berkurangnya jumlah kuli kontrak Cina dalam perkebunan sangat menguntungkan

pengusaha perkebunan karena pekerja Jawa yang menggantikannya mau dibayar

dengan upah murah, serta kontrak kerja mereka dapat diperpanjang karena mereka

terlibat hutang35.

Dalam pekerjaannya, kuli-kuli Jawa tersebut dikelompokkan ke dalam

regu-regu (ploeg) yang masing-masing diawasi oleh seorang mandor yang juga berasal dari

suku Jawa. 36 Empat sampai enam orang mandor ada di bawah mandor kepala dan

34 Jan Breman, op.cit., hlm. 177.

35 Yasmis, “Kuli Kontrak di Perkebunan Tembakau Deli 1880-1915”, Tesis S-2, belum

diterbitkan, Jakarta :FIB UI, 2007, hlm 74-75

36 Peranan inti organisasi kerja di perkebunan adalah regu (ploeg) yang berada di bawah

(9)

mereka semua diawasi oleh para asisten dan pengawas (bangsa Eropa) atau disebut

dengan opzichter. Pekerjaan yang dilakukan oleh kuli Jawa membuka lahan,

pembibitan, sampai kepada proses penanaman.37.

Pada tahun pertama penanaman bagi suatu perkebunan dimulai dengan

pembukaan hutan belukar yang dilakukan dengan sistem kerja borongan oleh suku

Karo dan suku Jawa. Pohon-pohon ditebangi, kecuali pohon buah-buahan, pohon

asam, dan gelugur.38 Setelah penebangan pohon, persiapan dimulai dengan cara

mencangkul lahan yang akan ditanami tembakau39. Sementara persiapan lahan masih

berjalan, dipersiapkan pula tempat tempat pembibitan. Masa tanam bibit memerlukan

waktu dua bulan, sedangkan untuk pemindahan bibit dari tempat persemaian ke lahan

perkebunan diperlukan waktu selama 40 sampai 50 hari.40

Perawatan pada masa tanam diperlukan untuk menghindarkan tambakau dari

penyakit pes tumbuhan dan pes binatang. Tembakau yang terserang hama akan

menimbulkan daun yang berbintik atau berlubang, sehingga daun tembakau yang

demikian akan diapkir sebagai pembungkus cerutu.41 Oleh sebab itu untuk menjaga

37 Ibid., 112-113

38 Pohon-pohon tersebut dilarang untuk ditebang, sesuai dengan rumusan kontrak yang

melarang melakukan penebangan terhadap pohon-pohon yang ditanam oleh masyarakat setempat. Ketentuan tersebut dijelaskan pada contoh kontrak tahun 1887 berupa Keputusan No.1 tanggal 19 Oktober 1887 yang menjelaskan bahwa para pengusaha perkebunan tidak mengusik tanah yang benar-benar sedang digunakan oleh penduduk setempat untuk berladang.

39 Semenjak masa pencangkulan tanah, pekerjaan ini sudah tidak diikuti oleh suku Karo lagi.

Dan setelahnya akan dikerjakan oleh kuli-kuli Jawa, sesuai dengan kesepakatan pemerintah kolonial dengan suku Karo pada tahun 1887 yang menjelaskan bahwa suku Karo hanya membantu dalam proses pembukaan lahan agar dapat mengetahui lahan yang dipakai penduduk setempat dalam berladang atau pun pohon-pohon tertentu yang tidak boleh ditebang.

40 Karl J. Pelzer, Toean Keboen dan Petani, Politik Kolonial dan Perjuangan Agrariadi

Sumatera Timur, 1863-1947, Jakarta: Sinar Harapan, 1985, hlm. 68

(10)

mutu daun tembakau, setiap pekerja diberi tanggungjawab mengolah sebidang tanah

yang dikerjakan sendiri. Setiap 1 (satu) hektar lahan diperlukan 4 (empat) orang

pekerja. Mereka bertanggung jawab penuh untuk mengelola 16.000 pohon tanaman.

Daun-daun tembakau yang telah kering diangkut dari bangsal pengeringan ke

gudang-gudang peragian. Setiap lima atau enam lahan perkebunan disediakan satu

bangsal pengeringan. Suhu dalam gudang peragian diawasi dengan sangat hati-hati,

dicatat dengan termometer yang diletakkan pada tabung-tabung bambu. Suhu harus

diturunkan setelah mencapai 600C , dan daun-daun tembakau yang sudah mengalami

peragian akan dipisahkan tempat penyimpanannya. 42

Penghasilan yang diterima oleh kuli Jawa sama dengan yang diterima oleh kuli

Cina yaitu, rata-rata sebesar ƒ5 dan mendapat potongan sebesar ƒ1,8 setiap bulannya.

Pemotongan upah yang dilakukan sama seperti yang dilakukan terhadap kuli Cina.

Untuk upah mandor besar orang Jawa berjumlah ƒ129 pertahun, mandor biasa

mendapat ƒ67,5 pertahun, dan pekerja biasa hanya mendapat ƒ42,5.43

Pada awal pembukaan perkebunan, tenaga kerja perempuan belum mendapat

perhatian para pengusaha perkebunan sehingga dirasa belum perlu untuk didatangkan.

Pekerjaan pada waktu itu adalah membuka hutan secara besar-besaran, yang menuntut

persyaratan khusus dalam hal kekuatan dan ketahanan fisik. Seiring dengan kegiatan

perawatan tanaman dan produksi perkebunan yang bertambah, seperti mencari ulat

tembakau, menggaru tanah, menyortir, memilah, menggantungkan dan mengikat

42Ibid., hlm. 69.

(11)

daun tembakau maka mulai dibutuhkan kuli perempuan. Sebagian kecil perempuan

yang berada di perkebunan adalah istri tandil atau istri dari pekerja-pekerja Cina yang

sudah menetap lama (laukheh). Para perempuan Cina yang datang ke perkebunan

selain untuk menemani para suami juga untuk berdagang atau meminjamkan uang

dengan bunga yang tinggi.44

Pada tahun 1875, para pekerja perempuan didatangkan dari Pulau Jawa

bersamaan dengan kedatangan para pekerja laki-laki.45 Pada awal kedatangannya

jumlah pekerja perempuan hanya sedikit dibandingkan dengan jumlah pekerja laki-laki

yaitu empat berbanding satu dari total jumlah pekerja laki-laki yang didatangkan. Akan

tetapi, kedatangan mereka bertambah banyak pada awal abad ke-20 yaitu hampir 30%

dari total jumlah kuli perempuan yang telah ada di wilayah perkebunan Deli

sebelumnya. Di antara jumlah ribuan kuli laki-laki, hanya terdapat sekitar 15 – 40

orang kuli perempuan yang didatangkan ke perkebunan.46

Mengalirnya kuli perempuan menjadi fenomena yang menarik di wilayah

perkebunan. Selain dipekerjakan di perkebunan, mereka juga sengaja didatangkan

untuk memikat para pekerja laki-laki agar betah atau tetap tinggal di perkebunan

setelah masa kontrak selesai.47 Beberapa faktor yang menjadi pendorong masuknya

44 Yasmis, op. cit., hlm 73 45 Jan Breman, op.cit., hlm. 59

46 Szekely-Lulofs, Madelon. H., Koeli, Holland: Bureau B.V, 1931, hlm. 32.

47 Mubiyarto, Tanah dan Kuli Perkebunan, Kajian Sosial Ekonomi, Yogyakarta: Aditya

(12)

kuli perempuan ke dalam wilayah perkebunan, yaitu adanya komersialisasi tanah,

introduksi ekonomi uang, dan tingginya tingkat pengangguran di pulau Jawa.48

Para pencari pekerja perempuan, selain menyebarkan formulir dalam mencari

calon kuli juga dilakukan dengan keliling desa, mereka membujuk calon pekerja

perempuan dengan cara akan menikahinya.49 Pada kenyataannya, mereka di jual

kepada agen pencari kerja. Para pekerja wanita yang berangkat ke Deli tanpa membawa

uang voorschot sehingga penderitaan mereka dimulai pada saat mereka

diberangkatkan. Mereka diangkut ke Sumatera seperti layaknya hewan ternak,

ditumpuk seperti daun enau dalam sebuah kapal barang yang muatannya melebihi

kapasitas.50 Kepergian mereka tanpa pamit kepada keluarganya karena dibohongi,

sehingga banyak keluarga yang kehilangan anak-anaknya, isteri atau suaminya.

Seorang pekerja perempuan menjadi gila karena meninggalkan anak-anaknya di

Jawa.51

Keberadaan para perempuan Eropa juga sangat sedikit di perkebunan Deli.

Tahun 1884 jumlah orang Eropa di perkebunan sebanyak 688 orang, terdiri dari

laki-laki 540 orang dan jumlah perempuan 148 orang, berarti hampir empat berbanding

satu. Pada tahun 1900 jumlah perempuan Eropa meningkat menjadi 540 orang dari

2.079 orang Eropa, sementara laki-laki berjumlah 1.578 orang.

48Ibid. 49,hlm. 19.

50 Kapal tersebut seharusnya untuk kapasitas 40 orang, namun diisi oleh 102 orang pekerja.

Lihat Jan Breman, op.cit., hlm. 125.

(13)

Diawal tahun 1900 dari seluruh pekerja di perkebunan Deli Maatschappij yang

berjumlah 62.000 orang, pekerja perempuan hanya berjumlah 5.000 orang dan

semuanya orang Jawa. Pada dasawarsa berikutnya jumlah mereka meningkat 20% dari

seluruh pekerja kontrak.52 Peningkatan jumlah pekerja perempuan disebabkan karena

adanya izin pemerintah kolonial kepada pihak perkebunan mendatangkan pekerja

perempuan. Masuknya kuli perempuan ke dalam proses kerja di pekebunan dibatasi

oleh persyaratan yang tertera dalam ordonansi kuli53. Mereka hanya boleh mengerjakan

pekerjaan ringan, seperti memilah dan mengikat daun tembakau di dalam lumbung,

menyiangi pesemaian di ladang, menyapu jalan, dan pekerjaan lain yang memerlukan

kesabaran tetapi tidak menguras tenaga.

Upah kerja yang mereka terima tidak memadai untuk memenuhi keperluan

hidup yang paling dasar sekalipun. Apabila tidak ada pekerjaan, mereka tidak

mendapat bayaran apapun karena pihak perkebunan tidak bersedia membayarnya. Kuli

perempuan diposisikan sebagai kuli paling murah untuk perkebunan. Apabila pekerja

laki-laki menerima upah ƒ3 –ƒ5 per bulan, maka pekerja perempuan hanya menerima

ƒ1,5. Mereka hanya menerima ƒ1,20 per bulan untuk semua kebutuhan hidupnya,

setelah dipotong uang panjar ƒ0,25, dan harga cangkul ƒ0,15.54

52 Ibid., hlm. 63.

53 Ordonansi kuli merupakan suatu peraturan yang dikeluarkan pemerintah Hindia-Belanda

terhadap para kuli yang memberikan jaminan kepada majikan jika sewaktu-waktu terjadi masalah dalam pekerjaannya. Lihat lampiran I

(14)

Berbagai bentuk kesewenangan dan penyelewengan seringkali menyertai

keberadaan pekerja di perkebunan-perkebunan khususnya terhadap pekerja

perempuan. Sebagai lapisan terbawah dalam hirarki perkebunan, para kuli seakan

menjadi kelompok yang paling mudah diperdaya. Meskipun berbagai bentuk derita

diterima, para pekerja perkebunan terpaksa tetap bertahan karena kebutuhan hidup dan

kemiskinan yang sudah mereka bawa dari daerah tempat asal mereka.

2.2 Kondisi Pemukiman Kuli

Tempat tinggal yang disediakan oleh pengusaha perkebunan untuk para kuli,

hanya berbentuk bangsal panjang yang dibangun tanpa sekat dan dihuni oleh ratusan

pekerja.55 Dalam satu barak yang luasnya hanya 20 x 6 meter, dihuni oleh ratusan kuli,

mengakibatkan setiap orang tidak mempunyai privasi. Begitu pula dengan kuli

perempuan dari Jawa. Mereka tidak mendapat tempat tersendiri, dan tinggal bersama

satu barak dengan kuli laki-laki, walaupun nantinya jumlah kuli perempuan yang

berasal dari Jawa semakin bertambah banyak sejak 1875. 56

Bangunan yang disebut barak tersebut berdiri berjajar atau berbentuk

bujursangkar mengelilingi lapangan. Dindingnya terbuat dari bambu dengan atapnya

ilalang atau daun rumbia. Sebuah lapangan yang berada ditengah-tengah digunakan

55 Lihat lampiran III

56 Hal ini disebabkan para kuli perempuan Jawa yang baru datang akan dialokasikan sesuai

(15)

untuk membangun dapur umum. Selain untuk hunian para kuli, barak- barak tersebut

juga digunakan sebagai tempat menyimpan dan memproses daun tembakau.57

Barak yang satu dan barak yang lain dibangun saling berjauhan, namun tetap

berada di sekitar perkebunan. Hal ini sengaja dibangun agar para pekerja dapat segera

sampai ketempat kerja masing-masing. Barak kuli Jawa dan kuli Cina juga dipisahkan.

Pemisahan barak pekerja Jawa dan Cina menunjukkan bahwa pekerja Jawa dan pekerja

Cina di perkebunan tidak diperbolehkan untuk berbaur. Pemisahan tersebut bertujuan

untuk mempermudah pengontrolan apabila ada kerusuhan, agar cepat dapat diketahui

dan ditindak. Adanya pemisahan tempat tinggal, muncul nama-nama perkampungan

seperti kampung Jawa, Melayu, Bantam, Batak, dan Cina sesuai dengan nama suku

bangsa yang terdapat di daerah tersebut.58

Kebersihan selalu menjadi masalah di manapun para kuli ditempatkan. Sisa

sampah dan air yang tergenang menambah bau dan kotornya lingkungan tempat

tinggal, sehingga menjadi sumber penyakit yang berbahaya. Barak-barak yang sangat

kotor dan pengap, sering menjadi daerah epidemi penyakit seperti malaria, beri-beri,

tipus, cacingan, bahkan disentri. 59

Barak-barak yang tidak dilengkapi dengan sirkulasi udara menyebabkan udara

sangat pengap. Jamban tidak tersedia dan mereka membuang kotorannya ke dalam

57 Jan Bremnan, op. cit., hlm. 125. 58Ibid., hlm. 127

(16)

tong-tong tinja. Situasi ini menyebabkan datangnya penyakit dan kematian bagi para

kuli.

Perawatan yang tersedia terutama penyediaan rumah sakit di perkebunan juga

tidak layak, sehingga mempercepat kematian kuli-kuli yang sakit tersebut.

Mayat-mayat para kuli yang meninggal tidak dikebumikan secara layak dan dilemparkan ke

perkebunan untuk dijadikan pupuk. Hal ini membuat assisten residen mengeluarkan

Surat Edaran tanggal 5 Juli 1899 yang ditujukan kepada administratur perkebunan agar

menguburkan para kuli yang meninggal sesuai dengan adat kebiasaan bangsa

tersebut.60 Ordonansi kuli sebenarnya sudah mengatur bahwa perusahaan wajib

memberi perawatan kesehatan, namun dalam kenyataannya para kuli tidak

mendapatkan apa yang menjadi haknya.

Gambar

Tabel 2.

Referensi

Dokumen terkait

3) Secara parsial, hanya dimensi reliability yang secara terpisah dapat memberikan pengaruh signifikan terhadap loyalitas pelanggan, sedangkan variabel lainnya seperti

bersifat preventif atau pengendalian internal untuk pencegahan terjadinya peristiwa yang tidak diinginkan dan bersifat detektif atau pengendalian internal

[r]

70 Tahun 2012 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah serta menindaklanjuti Proses pemilihan penyedia untuk pekerjaan Pembangunan Gudang dan Shelter Kendaraan

70 Tahun 2012 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah serta menindaklanjuti Proses pemilihan penyedia untuk pekerjaan Pembangunan Tower Rappeling Pos SAR Batam, maka

02/srt.pen/PIN/V/2014 ; Tanggal 21 Mei 2014 untuk Paket Pembangunan Gedung Siaga SAR Pos SAR Kayangan berdasarkan Hasil Evaluasi POKJA ULP Kantor SAR Mataram, terhadap

Dari sebelas kelompok leksikon tersebut diperoleh 315 leksikon nomina , leksikon verba terdiri atas 66 leksikon , dan leksikon adjektiva terdiri atas 13 leksikon, total leksikon yang

Ketepatan struktur seperti struktur kelompok nominal dan porsi kepadatan leksikal yang baik memberikan pengaruh besar dalam menulis teks tertulis seperti naskah