BAB II
LANDASAN TEORI
Pada bab 2 (dua) ini dipaparkan penjelasan mengenai definisi psychological well-being beserta dimensi-dimensi yang ada didalamnya, faktor yang mempengaruhi psychological well-being, definisi caregiver, jenis, karakteristik, tugas caregiver, serta kaitan antara psychological well-being dan caregiver. Berikut
adalah pemaparan masing-masing sub-topik.
A. Psychological well-being
1. Definisi Psychological well-being
Penelitian mengenai Psychological well-being didasari pada 3 konsep yaitu: positive psychological function, happiness dan life satisfaction. Penelitian tentang psychological well-being merupakan salah satu penelitian yang telah banyak berkembang dalam beberapa tahun ini (Semotkin, Keyes, & Ryff, 2002).
Penelitian-penelitian well-being yang dilakukan selama ini hampir selalu didasarkan pada dua perspektif (Ryan & Deci, 2001). Perspektif pertama disebut
hedonic approach (pendekatan hedonik) sering juga disebut dengan subjective well-being yaitu tindakan evaluatif seseorang terhadap hidupnya, baik secara kognitif maupun afektif. Aspek afektif mengacu pada aspek kebahagiaan dan aspek
kognitif mengacu pada aspek kepuasan hidup (Diener & Such, 2000; Keyes, dkk,
2002; Wells, 2010 dalam Ednadita, 2013). Terdapat beberapa penelitian yang
subjective well-being. Salah satunya, penelitian yang dilakukan oleh Bradburn (1968) mengenai pengaruh perubahan sosial pada tingkat makro terhadap
psychological well-being (Ryff, 1989; 1995). Bradburn, menggunakan konsep eudaimonia (kebahagiaan) dari aristoteles. Beliau menggunakan konsep dari yunani tersebut sebagai keseimbangan antara afek positif dan negatif. Namun,
penelitian Bradburn ini mendapat beberapa kritik, yaitu : penelitiannya tidak
ditujukan untuk mendefinisikan psychological well-being karena menitikberatkan
pada faktor perubahan sosial. Selain itu pengertian kebahagiaan dari Bradburn,
tidak mengacu pada eudomonia yang berarti perasaan yang dialami individu ketika
ia mampu merealisasikan potensinya. Selain penelitian Bradburn, penelitian dari
Keyes, C.M, Shmotkin, D, & Ryff, C.D pada tahun 2002 mengenai pengoptimalan
well-being yang ditinjau dari dua tradisi juga mendapat kritikan, karena pengukuran kepuasan hidup tidak mendefinisikan psychological well-being. Selain itu, penelitian yang dilakukan Keyes tidak memperhatikan teori-teori yang
memformulasikan kepuasan hidup (Ryff, 1989).
Perspektif yang kedua yaitu eudaimonic approach (pendekatan eudaimonia). Eudaimonia yang berarti kebahagiaan, pertama kali dikenal melalui tulisan filsuf Aristoteles. Aristoteles menyatakan bahwa kebahagiaan tidak hanya diperoleh
sebagai jalan untuk mengejar kenikmatan, terpenuhinya segala kebutuhan individu,
dan menghindari rasa sakit. Melainkan, kebahagiaan adalah ketika individu mampu
mengoptimalkan potensi-potensi yang ada pada dirinya dalam tindakan nyata.
become what you are”). Hal inilah yang menjadi tugas dan tanggungjawab manusia sehingga merekalah yang menentukan apakah menjadi individu yang
bahagia, merasakan apakah hidupnya bermutu, berhasil atau gagal. Perspektif
eudaimonia ini selanjutnya dikenal dengan istilah psychological well-being. Psychological well-being adalah bagian dari positive mental health yang merupakan perasaan yang sehat tentang diri sendiri (Ryff & Singer, 1998 dalam
Papalia, Olds Feldman, 2004). Selain itu, psychological well-being juga mengacu
pada keterlibatan individu terhadap tantangan-tantangan selama hidup (Diener &
Suh, 2000; Keyes, dkk, 2002; Wells, 2010). Terdapat tiga literatur untuk memahami
konsep psychological well-being, yaitu ; psikologi perkembangan, khususnya
“life-span developmental psychology” yang memberikan gambaran kesejahteraan selama manusia hidup. Literatur ini meliputi teori perkembangan Erikson, teori
perkembangan Buhler, dan gambaran perubahan kepribadian pada dewasa dan
lansia oleh Neugaten. Kedua, psikologi klinis yang mengacu pada multiformula
dari well-being, seperti teori aktualisasi diri dari Maslow, konsep fully function person dari Rogers, formulasi individu dari Jung dan konsep maturity dari Allport. Dan literatur terakhir dari mental health, meliputi teori kesehatan mental positif dari
Jahoda dan konsep positive functioning dari Birren. (Ryff, 1995; Well, 2010). Teori-teori tersebut mengidentifikasikan bahwa terdapat beberapa cara pandang
dalam menilai kualitas hidup manusia yaitu melalui sisi kesejahteraan, arti dan
tujuan hidup, serta realisasi potensi. Akan tetapi, teori-teori ini hanya sedikit
yang kredibel. Selain itu, teori-teori ini juga terlalu bervariasi dalam
mengkarakteristikkan well-being.
Ryff (1995) menilai teori-teori ini dapat diintegrasikan untuk mengungkapkan
positive psychological function seseorang, karena banyak teoritikus yang sebenarnya membicarakan elemen yang sama dari psychological well-being. Beberapa elemen teori yang sama ini kemudian menjadi dasar formula
dimensi-dimensi psychological well-being, antara lain penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan
pertumbuhan diri (Ryff, 1989; 1995). Berdasarkan keenam dimensi yang
membentuknya, psychological well-being dapat didefinisikan sebagai kondisi atau
keadaan individu ketika ia dapat menerima kekuatan serta kelemahan yang ada pada
dirinya, mengembangkan relasi yang positif dengan orang lain, dapat membuat
keputusan sendiri, dapat menciptakan dan mengatur lingkungan yang sesuai dengan
kebutuhannya, memiliki tujuan hidup, dan terus mengeksplorasi dan bertumbuh
secara personal.
2. Dimensi-dimensi Psychological well-being
Menurut Ryff (dalam Ryff & Keyes, 1995) pondasi untuk diperolehnya
psychological well-being adalah individu yang secara psikologis dapat berfungsi secara positif (positive psychological functioning). Berikut penjelasan terkait
a. Penerimaan Diri (Self-acceptance)
Penerimaan diri dijelaskan sebagai individu yang mempertahankan sikap positif
yang ada pada dirinya, termasuk menerima potensi-potensi dirinya, baik yang buruk
maupun tidak buruk. Penerimaan diri disini tidak merujuk pada cinta terhadap diri
sendiri yang berlebihan, melainkan sadar akan keterbatasan dan kegagalan dirinya.
Ryff (dalam Chang, 2006) mengatakan bahwa penerimaan diri melibatkan evaluasi
positif mengenai diri sendiri dan kehidupan masa lalu, serta menerima dan
mengetahui aspek diri yang baik maupun buruk. Penerimaan diri juga merupakan
komponen yang utama dalam kesehatan mental, karakteristik aktualisasi diri, fungsi
yang optimal, dan kedewasaan (Ryff & Singer, 2006)
b. Hubungan positif dengan orang lain (Positive relations with others)
Kemampuan untuk mencintai merupakan salah satu komponen utama dalam
kesehatan mental dan aktualisasi diri. Dimensi ini berkaitan dengan kualitas
hubungan yang dimiliki dengan sesama, menjalin hubungan yang hangat, dan
menghargai orang lain (Ryff & Singer, 2006). Individu yang memiliki empati yang
tinggi dan kasih sayang untuk orang lain, dapat menunjukkan cinta yang lebih besar
dan memahami pentingnya memberi dan menerima dalam hubungan. Selain itu,
kehangatan dalam hubungan dengan orang lain juga merupakan kriteria dari
kedewasaan.
c. Otonomi (Autonomy)
berdasarkan standar personal. Hal ini sejalan dengan pernyataan Rogers yang
berpendapat bahwa individu yang otonom memiliki pusat pengendalian internal
dalam bertindak. Dengan kata lain, individu independen dan mampu menentukan,
mengatur dirinya sendiri, mampu mengejar cita-citanya meskipun berbeda dengan
tradisi yang ada. Individu juga mampu menolak tekanan sosial untuk berpikir dan
bertindak dengan cara tertentu. Sedangkan individu yang kurang otonom akan
sangat memperhatikan dan mempertimbangkan evaluasi dari orang lain, berpegang
pada penilaian orang lain, serta bersifat konformis terhadap tekanan sosial (Ryff,
1995).
d. Penguasaan lingkungan (Environmental mastery)
Individu membuat, memilih, dan mempertahankan lingkungan yang
menguntungkan dan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan mereka (Ryff, 1989).
Individu diharapkan mampu secara aktif berkembang dan secara kreatif mengubah
lingkungan melalui aktivitas mental dan fisik. Individu juga memiliki rasa
kompeten dan berkuasa dalam mengatur lingkungannya. Partisipasi aktif, waspada
terhadap kesempatan dan penguasaan lingkungan merupakan salah satu
karakteristik penting dalam kesehatan mental, keberfungsian psikologi yang positif
dan kedewasaan.
e. Tujuan Hidup (Purpose in Life)
Tujuan hidup merupakan komponen yang penting dalam perasaan individu
Individu yang memiliki dimensi hidup yang baik menurut Ryff (1995) adalah
individu yang memiliki tujuan hidup yang terarah dan jelas, merasakan makna
hidup di masa lalu dan masa sekarang, serta memegang keyakinan yang menjadi
tujuan dalam hidup. Sebaliknya, individu yang memiliki tujuan hidup yang rendah
adalah individu yang cenderung memiliki tujuan hidup yang tidak jelas, tidak
terarah, dan tidak bermakna
f. Pertumbuhan Diri (Personal Growth)
Syarat untuk memperoleh fungsi psikologis yang optimal tidak hanya
pencapaian potensi tertentu tetapi perlu juga mengembangkan potensi diri untuk
terus berkembang sebagai seorang manusia. Selain itu, individu juga perlu terbuka
terhadap pengalaman baru dan mengalami perubahan yang menunjukkan
peningkatan diri. Dengan begitu, ia melihat dirinya sebagai individu yang terus
berkembang, merealisasikan potensi-potensinya, dan memperoleh peningkatan
dalam diri dan perilaku.
Dengan demikian, individu yang memiliki psychological well-being adalah individu yang telah memenuhi karakteristik masing-masing dimensi penerimaan
diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan
hidup, serta pertumbuhan pribadi (Ryff, 1995).
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Being a. Usia
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Ryff (1989; 1995) serta Singer dan Ryff
penelitian pada tiga kelompok usia yaitu: dewasa muda, dewasa madya, dan dewasa
akhir menunjukkan bahwa penguasaan lingkungan dan otonomi terlihat meningkat
seiring dengan bertambahnya usia khususnya dewasa muda dan dewasa madya.
Perbedaan tingkat psychological well-being antara kelompok usia ini disebabkan oleh adanya perbedaan persepsi terhadap pengalaman yang dialami oleh individu
selama hidupnya yang kemudian mengubah aspirasi ideal dan cara individu menilai
kesejahteraan (Wells, 2010; dalam Ednadita 2013)
b. Jenis Kelamin
Berdasarkan hasil penelitian Clark dkk (1995, dalam Shields & Price, 2005)
dimensi hubungan positif dengan orang lain dan pertumbuhan pribadi cenderung
lebih tinggi pada perempuan daripada laki-laki, sedangkan untuk empat dimensi
lainnya tidak menunjukkan perbedaan antara perempuan dan laki-laki.
c. Tingkat Pendidikan
Psychological well-being dan tingkat pendidikan memiliki hubungan yang kuat dan positif, terutama pada dimensi pertumbuhan pribadi dan tujuan hidup (Ryff dan
Singer, 2008). Selanjutnya psychological well-being juga memiliki hubungan yang
positif dengan tingkat pendidikan dan pekerjaan yang lebih tinggi (Bravo dkk,
2010). Hasil penelitian Ryff (1989) dan Keyes, dkk (2000) menunjukkan adanya
perbedaan akses individu terhadap sumber daya, seperti air bersih, pemicu stres,
dan kesempatan yang mempengaruhi kesehatan dan well-being tersebut tidak ditemukan antara tingkat pendidikan SMA, perguruan tinggi, dan pasca sarjana
d. Status Sosial dan Ekonomi
Status sosial ekonomi memiliki hubungan yang signifikan dengan pertumbuhan
pribadi (Ryff & Singer, 2006). Individu dengan tingkat penghasilan yang tinggi,
status menikah, dan mempunyai dukungan sosial yang tinggi memiliki
psychological well-being yang lebih tinggi. Lingkungan sekitar, lingkungan pekerjaan, dan kesehatan memiliki kaitan dengan psychological well-being. Banyak efek negatif akibat status ekonomi yang lebih rendah, dimana individu yang miskin
merasa tidak mampu untuk mendapatkan sumber daya yang bisa menyesuaikan
kesenjangan yang dirasakan. Sedangkan hubungan positifnya dikarenakan
ketersediaaan pendidikan, pendapatan, dan pekerjaan yang menjadi faktor
pendukung seseorang menghadapi tekanan, dan keberagaman dalam hidup ( Ryff
& Singer, 2006)
e. Pengalaman Hidup
Pertumbuhan dan perkembangan psychological well-being memiliki pengaruh
dengan pengalaman hidup sehari-hari dan interpretasi dari pengalaman tersebut
(Ryff & Singer, 1996). Pengalaman seperti membesarkan anak, merawat orang tua,
masalah kesehatan, dan lain-lain dikemudian hari mempengaruhi psychological well-being. Setiap individu memiliki pengalaman yang berbeda-beda berdasarkan sifat tantangan, tugas yang ditimbulkan , maupun cara setiap individu merespon
f. Dukungan Sosial
Individu yang mendapat dukungan sosial dari orang lain memiliki nilai
Psychological well-being (Wells, 2010). Hal ini dikarenakan orang yang mendapat dukungan sosial merasa dirinya dicintai, dipedulikan, dihargai, merasa bagian dari
kehidupan sosial seperti keluarga atau organisasi tertentu (Feist & Feist, 2009).
Selain itu , memiliki dukungan sosial dapat meningkatkan kualitas hidup individu
(Wells, 2010)
B. Panti Jompo
1. Definisi Panti Jompo
Berdasarkan keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor:
4/PRS-3/KPT/2007 tentang pedoman pelayanan sosial lanjut usia dalam panti departemen
sosial R.I bahwa Panti Sosial Tresna Werdha atau Panti Jompo adalah panti sosial
yang mempunyai tugas memberikan bimbingan dan pelayanan bagi lanjut usia
terlantar agar dapat hidup secara wajar dalam kehidupan bermasyarakat. Berbagai
program pelayanan lanjut usia seperti: pelayanan subsidi silang, pelayanan harian
lanjut usia (day-care service), dan pelayanan perawatan rumah (home care service)
dapat dilakukan tanpa meninggalkan pelayanan utamanya kepada lanjut usia
terlantar.
Panti sosial tresna werdha dikenal juga sebagai panti jompo maupun sasana
tresna werdha. Panti dalam bahasa Jawa berarti rumah atau tempat (kediaman) dan
jompo atau panti sosial tresna werdha dapat diartikan sebagai sebuah rumah atau
tempat tinggal bagi orang yang sudah tua (Najjah, 2009)
2. Jenis-Jenis Panti Jompo Berdasarkan Status Kelembagaan
Menurut Murti (2013), jenis-jenis Panti Jompo berdasarkan status kelembagaan
yaitu:
a. Panti Jompo milik Pemerintah
Panti jompo ini berada dalam naungan Direktorat Pelayanan Sosial Lanjut Usia
Departemen Sosial Republik Indonesia. Biasanya Panti jompo ini menyediakan
fasilitas, sandang, pangan, dan papan sesuai dengan kebutuhan kaum manula.
Kebanyakan penghuni manula ini adalah yang terlantar, tidak memiliki cukup
nafkah dan mandiri (Panti Sosial Tresna Werdha)
b. Panti Jompo milik Swasta atau Yayasan
Panti jompo ini tidak berada di dalam lingkungan Direktorat Pelayanan Sosial
Lanjut Usia. Bersifat berdiri sendiri dan dimiliki oleh yayasan sosial yang
mengorganisir panti secara langsung. Panti sosial ini memiliki standar iuran yang
bersifat wajib namun sesuai dengan kemampuan keuangan manula, namun terdapat
pula fasilitas yang gratis bagi manula yang terlantar. Panti jompo memiliki donator
tetap dan juga donator spontanitas. Panti ini menyediakan fasilitas, sandang,
pangan, dan papan sesuai dengan kebutuhan kaum manula. Kebanyakan penghuni
manula disini biasanya yang memiliki keluarga namun tidak cakap untuk mengurus
3. Fungsi dan Tujuan Panti Jompo a. Fungsi
Fungsi panti jompo adalah sebagai tempat untuk menampung manusia lanjut
usia yang menyediakan fasilitas dan aktifitas khusus untuk manula yang dijaga dan
dirawat oleh suster, pekerja sosial atau caregiver (Murti, 2013)
b. Tujuan
Tujuan utama panti jompo adalah menampung manusia lanjut usia dalam
kondisi sehat yang tidak memiliki tempat tinggal dan keluarga atau yang tidak
memiliki keluarga namun dititipkan karena ketidakmampuan keluarga untuk
merawat manula (Murti, 2013)
C. Caregiver
1. Definisi Caregiver
Caregiver adalah seorang individu yang memberikan bantuan kepada orang lain yang mengalami disabilitas/ ketidakmampuan dan memerlukan bantuan
dikarenakan penyakit dan keterbatasannya (Widiastutui, 2009). adapun yang
menjadi fungsi caregiver yaitu menyediakan makanan, merawat dan memberikan
dukungan emosional, kasih saying, dan perhatian, serta membawa ke dokter.
Menurut Bates, (2007)
Menurut Thomas Day dalam National Care Planning Council (2006)
“Caregivers provide assistance to other people who because of physical disability, to an aging parent, chronic illness or cognitive impairment are unable to perform certain activities on their own. So-called informal care can be offered by family members or friends, often in a home setting. Or paid or volunteer professional care, so-called formal care, can be obtained at home, in the community or from institutions such as nursing facilities or government institutions”
Selain itu melalui (frank for hospitals dalam Lubis, 2004) adalah:
“Someone who provides assistance, generally in the home environment, to an aging parent, spouse, other relative, or unrelated person, or to an ill or disabled person of any age. A caregiver can be a family member, friend, volunteer, or paid professional”.
Sehingga, berdasarkan definsi di atas dapat disimpulkan bahwa caregiver merupakan individu (meliputi: keluarga, teman, voluntir atau tenaga professional
yang dibayar) yang mempunyai tanggung jawab untuk memberikan perawatan pada
seseorang yang sakit secara mental, ketidakmampuan secara fisik atau
kesehatannya terganggu karena sakit atau usia tua yang diderita.
2. Karakteristik Caregiver
Menurut McQuerrey (2012) karakteristik caregiver yang baik adalah :
a. Empathy. Salah satu karakteristik caregiver yang baik adalah memiliki kemampuan empati kepada klien yang memerlukan pendampingan. Ketika
melakukan pendampingan baik kepada anak kecil atau membantu orangtua,
kemampuan “personal understanding” dan koneksi dengan klien adalah hal
yang sangat penting. Caregiver yang baik mengerti bagaimana membuat klien
b. Patience. Individu yang menerima pendampingan/pelayanan biasanya tergantung pada oranglain dan self sufficient, hal tersebut dapat membuat mereka frustasi dan memberontak. Ketika seorang anak yang tidak bisa
mengekspresikan rasa laparnya, atau yang tidak bisa mengungkapkan rasa sakit
secara verbal atau seorang lansia yang mengalami dementia. Kesabaran menjadi
hal yang vital untuk caregiver. Anda harus mampu memisahkan diri dari kemarahan dan tidak terbawa situasi.
c. Realistic Outlook. Pelayanan/pendampingan sering dilakukan dalam jangka waktu yang panjang untuk melengkapi kebutuhan sehari-hari dari klien.
Memahami keterbatasan dari klien membantu caregiver untuk menurunkan tekanan yang ada di lingkungan. Caregiver yang baik menyadari kapabilitas dan tetap terdorong untuk semangat dalam melayani dan memperhatikan klien.
d. Strong Constitution. Tugas yang dilakukan oleh caregiver berhubungan dengan aktivitas instrumental seperti memandikan baik itu bayi atau lansia,
membersihkan luka. Seorang caregiver yang baik tidak akan merasa malu dengan tugas yang dilakukan.
e. Soothing Nature. Caregiver tahu bagaimana cara untuk menenangkan klien. Menjadi voice of encouragement adalah hal yang membuat kualitas dari caregiver jadi baik.
f. Reliability. Merupakan trait yang penting bagi caregiver. Individu yang menerima pendampingan/pelayanan bergantung dan tidak bisa berpisah dari
3. Jenis Caregiver
Caregiver dibagi menjadi caregiver informal dam caregiver formal. Caregiver informal adalah seseorang individu (anggota keluarga, teman, atau tetangga) yang memberikan perawatan tanpa di bayar, paruh waktu atau sepanjang waktu, tinggal
bersama maupun terpisah dengan orang yang dirawat, sedangkan caregiver formal
adalah relawan atau individu yang dibayar untuk menyediakan pelayanan.
Keduanya termaksud orang-orang yang menyediakan bantuan yang berhubungan
dengan aktivitas sehari-hari dan tenaga professional yang menyediakan pelayanan
terutama dalam hal kesehatan mental maupun jasmani (Kahana dkk, 1994 dan Day,
2014 dalam Akupunne, 2015)
Barrow (1996 dalam Widiastuti, 2009) menyebutkan terdapat dua jenis
caregiver, yaitu formal dan tidak formal. Caregiver formal adalah individu yang memberikan perawatan dengan melakukan pembayaran yang disediakan oleh
rumah sakit, psikiater, pusat perawatan ataupun tenaga professional lainnya.
Sementara caregiver informal adalah individu yang memberikan perawatan dengan tidak melakukan pembayaran dan tidak secara tenaga professional.
Perawatan ini dapat dilakukan di rumah dan biasa diberikan oleh pasangan
penderita, anak dari penderita atau anggota keluarga lainnya
perhatian, menyediakan kebutuhan fisik, sosial, psikologis, serta pengawasan
kepada individu lain yang membutuhkan.
4. Tugas-tugas Caregiver
Milligan (2004, dalam Widiastuti, 2009) dalam penelitiannya menarik perhatian
terhadap fakta tugas caregiver. Tugas yang dilakukan caregiver tidak hanya terbatas kepada pekerjaan rumah tangga, akan tetapi dibagi ke dalam 4 kategori,
sebagai berikut:
a. Physical Care/ Perawatan fisik, yaitu : memberi makan, menggantikan pakaian, memotong kuku, membersihkan kamar, dan lain-lain
b. Social Care/ Kepedulian sosial, antara lain: mengunjungi tempat hiburan, menjadi supir, bertindak sebagai sumber informasi dari seluruh dunia di luar
perawatan di rumah.
c. Emotional Care, yaitu menunjukkan kepedulian, cinta dan kasih sayang kepada pasien yang tidak selalu ditunjukkan ataupun dikatakan ditunjukkan melalui
tugas-tugas lain yang dikerjakan
d. Quality Care, yaitu : memantau tingkat perawatan, standar pengobatan, dan indikasi kesehatan
Penelitian yang dilakukan oleh Arksey, dkk (2005) tentang tugas-tugas yang
dilakukan caregiver di United Kingdom, antara lain termasuk : Bantuan dalam perawatan diri yang terdiri dari dressing, bathing, toileting. Bantuan dalam mobilitas seperti : berjalan, naik atau turun dari tempat tidur, melakukan tugas
dukungan emosional, menjadi pendamping, melakukan tugas-tugas rumah tangga
seperti : memasak, belanja, pekerjaan kebersihan rumah, bantuan dalam masalah
keuangan dan pekerjaan kantor. Menurut Nastasia (2013) tugas sebagai caregiver
lansia adalah membantu para lansia dalam kehidupan sehari-hari seperti memberi
makan, berpakaian, membantu mandi, perawatan pribadi atau mengatur
obat-obatan. Tugas lainnya yaitu membantu lansia yang cukup mandiri dalam hal
pemberian pengawasan (transportasi atau keuangan) mereka. Secara umum tugas
dari semua caregiver adalah memberi bantuan dalam bentuk dukungan emosi.
A. Psychological well-being caregiver dan Status Kelembagaan Panti Jompo
Caregiver memiliki 2 (dua) lembaga pengelolaan di Indonesia, yaitu caregiver yang dikelola oleh badan swasta dan caregiver yang dikelola oleh pemerintah (Murti, 2007). Status dan kondisi kerja yang ada di kedua lembaga tersebut
memiliki perbedaan yang meliputi : durasi waktu kerja, jumlah lansia yang
ditangani, pendapatan, status sosial ekonomi, dan fasilitas yang ada di
masing-masing lembaga. Adanya perbedaan situasi dan kondisi tersebut, berdampak pada
caregiver khususnya pada kesehatannya (Convinsky, Newcorner & Fox, 2003; Chen & Greenberg, 2004; Andren & Elmstahl, 2006). Memberikan perawat kepada
klien lansia, dirasakan memiliki beban berat bagi para caregiver (Yikilkan & Aypank, 2014). Beban aktivitas tersebut membuat caregiver mengalami kelelahan
yang mengakibatkan stres (Okoye & Asa, 2011). Padatnya aktivitas mengakibatkan
2007). Kondisi tersebut dapat membawa dampak negatif bagi caregiver, salah satunya berdampak pada psychological well-being caregiver .
Psychological well-being adalah hasil penilaian atau evaluasi seseorang terhadap dirinya yang merupakan evaluasi atas pengalaman-pengalaman hidupnya
(Ryff dalam Halim & Atmoko, 2005). Evaluasi terhadap pengalaman akan dapat
menyebabkan seseorang menjadi pasrah terhadap keadaan yang membuat
psychological well-beingnya menjadi rendah atau berusaha untuk memperbaiki keadaan hidupnya yang membuat psychological well-beingnya menjadi tinggi (Ryff dan Singer dalam Halim & Atmoko, 2005). Selain itu, psychological well-being juga mengacu pada keterlibatan individu terhadapat tantangan-tantangan yang terjadi selama hidup ( Ryff, dalam Wells, 2010). Psychological well-being yang tinggi sangat penting untuk dimiliki caregiver, karena hal ini dapat mempengaruhi hubungan antara caregiver dan lansia, khususnya dalam pemberian
pelayanan/pendampingan.
Psychological well-being yang tinggi dapat dilihat melalui status sosial dan ekonomi. Menurut Ryff dan Singer (2006), status sosial ekonomi memiliki
hubungan signifikan dengan pertumbuhan pribadi. Hal ini dikarenakan
ketersediaan pendidikan, status, dan pendapatan yang baik menjadi salah satu faktor
yang dapat membantu seseorang dalam menghadapi tekanan, tantangan, dan
keberagaman dalam hidup (Ryff dan Singer, 2006). Selain itu faktor lain yang
mempengaruhi psychological well-being adalah pengalaman. Pengalaman menangani lansia yang dimiliki oleh caregiver yang berada di panti jompo swasta
yang didapat melalui pendidikan dapat membantu individu dalam menangani
masalah (Fhadjrin, 2013). Pengetahuan seputar penanganan lansia yang didapat
melalui pendidikan membantu caregiver panti jompo swasta dalam menangani lansia. Pada caregiver di panti jompo pemerintah, pengalaman menangani lansia
dimiliki pada saat pertama kali masuk di lembaga tersebut. Hal ini dikarenakan,
umumnya caregiver di panti pemerintah tidak memiliki pendidikan mengenai penanganan lansia, sehingga pengalamannya untuk menghadapi lansia belum
terlalu banyak. Pendidikan juga memiliki hubungan yang kuat dan positif, terutama
pada dimensi pertumbuhan pribadi dan tujuan hidup (Ryff & Singer, 2008). Hasil
penelitian Marcia & Schulz (2000) membuktikan bahwa pengalaman yang ditemui
sehari-hari dan interpretasi terhadap pengalaman tersebut merupakan pengaruh
utama dalam pertumbuhan dan perkembangan psychological well-being caregiver.
Pengalaman hidup sehari-hari memiliki korelasi yang positif dengan psychological
well-being, terutama pada dimensi tujuan hidup, hubungan positif dengan orang lain, dan pertumbuhan diri (Ryff & Singer, 2008). Pengalaman sehari-hari (meliputi
tantangan dan tugas ) bersama lansia membuat caregiver memahami apa yang dibutuhkan dan yang tidak disukai oleh para lansia, dikarenakan intensitas interaksi
antara caregiver dan lansia yang cukup padat. Pendapat tersebut ditambahkan juga
oleh National Alliance for Caregiving (2009), yang menyatakan bahwa pengalaman
Berdasarkan hal diatas, memungkinkan adanya perbedaan tingkat
psychological well-being antara caregiver yang berada di panti jompo swasta dan caregiver di panti jompo pemerintah.
F. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan uraian teoritik di atas, maka hipotesa penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1. Hipotesis Penelitian 1 :Terdapat perbedaan psychological well-being caregiver
formal berdasarkan status kelembagaan
2. Hipotesis Penelitian 2 : Terdapat perbedaan dimensi penerimaan diri caregiver
formal berdasarkan status kelembagaan
3. Hipotesis Penelitian 3 : Terdapat perbedaan dimensi hubungan positif pribadi
caregiver formal berdasarkan status kelembagaan
4. Hipotesis Penelitian 4 : Terdapat perbedaan dimensi tujuan hidup caregiver formal berdasarkan status kelembagaan
5. Hipotesis Penelitian 5 : Terdapat perbedaan dimensi pertumbuhan diri
caregiver formal berdasarkan status kelembagaan
6. Hipotesis Penelitian 6 : Terdapat perbedaan dimensi penguasaan lingkungan
caregiver formal berdasarkan status kelembagaan
7. Hipotesis Penelitian 7 : Terdapat perbedaan dimensi otonomi caregiver formal