• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Integrasi Sosial yang Dibangun GPIB Pniel Pasca Konflik Sosial di Pasuruan, Jawa Timur T1 712010059 BAB IV

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Integrasi Sosial yang Dibangun GPIB Pniel Pasca Konflik Sosial di Pasuruan, Jawa Timur T1 712010059 BAB IV"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

19

IV. ANALISA TENTANG FAKTOR PENYEBAB KONFLIK DI PASURUAN DAN INTEGRASI SOSIAL PASCA KONFLIK YANG DILAKUKAN OLEH GPIB PNIEL.

A. Faktor-Faktor Penyebab Konflik

Konflik yang terjadi di Kota Pasuruan, yang menghancurkan beberapa gedung

kebaktian termasuk menghancurkan gedung kebaktian GPIB Pniel Pasuruan, dilakukan oleh

oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab yang berasal dari luar Kota Pasuruan. Adapun

faktor-faktor penyebab konflik yang terjadi di Kota Pasuruan adalah:

1. Faktor Politik

Konflik sosial yang terjadi di Pasuruan, yang menghancurkan gedung kebaktian

GPIB Pniel Pasuruan, terjadi pada saat dibawah Pemerintahan Presiden K.H Abdurrahman

Wahid. Mantan Presiden RI, K.H Abdurrahman Wahid menjabat sebagai presiden Negara

Indonesia sejak oktober 1999 hingga Juli 2001. Menurut masyarakat dan jemaat, kerusuhan

saat itu terjadi murni diakibatkan situasi politik yang kurang kondusif, yakni

kebijakan-kebijakan yang dilakukan di bawah pemerintahan Mantan Presiden RI K.H Abdurrahman

Wahid tidak sepaham dengan masyarakat sehingga mendapat tentangan dari masyarakat yang

menyebabkan situasi menjadi kurang kondusif. Situasi politik yang kurang kondusif pada

waktu itu mengakibatkan oknum-oknum tidak bertanggungjawab melakukan pemberontakan

dengan cara menghancurkan fasilitas masyarakat termasuk tempat-tempat ibadah. Ketika

Mantan Presiden RI K.H Abdurrahman Wahid menjabat sebagai presiden, ia mengeluarkan

beberapa kebijakan yang direspon baik oleh sebagian masyarakat dan tidak baik oleh

sebagian masyarakat lainnya. Masyarakat yang kontra terhadap kebijakan tersebut akhirnya

melakukan aksi pemberontakan.8

Kebijakan-kebijakan (

http://www.merdeka.com/peristiwa/6-kebijakan-kontroversial-gus-dur-saat-jadi-presiden.html) dari mantan Presiden RI ke 4, K.H Abdurrahman Wahid,

yang waktu itu mendapat tentangan dari masyarakat adalah sebagai berikut:

1. Membubarkan departemen sosial dan departemen penerangan

2. Menyambangi Soeharto pasca-lengser

3. Mengusulkan agar TAP MPR tentang PKI dihapus. K.H. Abdurrahman Wahid

mengusulkan pencabutan tap MPRS nomor XXV tahun 1966 tentang pelarangan PKI

dan pelarangan penyebaran ajaran komunisme dan Marxisme/Leninisme di Indonesia.

8

(2)

20

4. Memecat Jusuf Kalla sebagai Menteri Negara Perindustrian dan perdagangan serta

Laksamana Sukardi sebagai Menteri Negara BUMN, dengan tidak dimilikinya bukti

sebagai alasan yang kuat.

5. Mengubah situasi istana, dengan menerima tamu dari berbagai kalangan hingga

malam hari.

6. Mengancam mengeluarkan dekrit pembubaran parlemen, yang berisi tentang

pembubaran MPR/DPR, mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dengan

mempercepat pemilu dalam waktu satu tahun, dan membekukan Partai Golkar sebagai

bentuk perlawanan terhadap Sidang Istimewa MPR.

7. Adanya pernyataan untuk membuka kerjasama dengan Israel.

Ketika jemaat dan masyarakat diberikan pertanyaan mengenai konflik yang pernah

terjadi tepat pada tanggal 29 Mei 2001 di lingkungan Pasuruan, tidak ada satu orang pun yang

menduga oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab akan datang ke lingkungan Pasuruan,

yang kemudian menghancurkan fasilitas masyarakat bahkan membakar gedung kebaktian

GPIB Pniel Pasuruan. Sebelum konflik terjadi, situasi lingkungan Pasuruan dapat dikatakan

aman dan tenang.

Dari hasil penelitian yang dilakukan penulis, maka konflik yang terjadi di kota

Pasuruan adalah dikarenakan kebijakan-kebijakan yang dilakukan mantan Presiden K.H.

Abdurrahman Wahid yang tidak sepaham dengan masyarakat sehingga mendapat tentangan

dari masyarakat yang menyebabkan situasi menjadi kurang kondusif. Weber membedakan

dua tipe konflik, yaitu: konflik dalam arena politik, dan konflik dalam hal gagasan dan

cita-cita. Konflik dalam arena politik biasanya konflik yang tidak hanya terjadi dalam organisasi

politik formal, tetapi juga dapat terjadi dalam setiap tipe kelompok, organisasi keagamaan,

dan pendidikan. Salah satu penyebab konflik dikarenakan dorongan oleh nafsu untuk

memperoleh kekuasaan dan keuntungan ekonomi oleh individu atau kelompok. Konflik yang

terjadi di Pasuruan termasuk dalam konflik arena politik. Oknum-oknum yang tidak

bertanggungjawab datang ke kota Pasuruan, menghancurkan fasilitas masyarakat dan gedung

kebaktian GPIB Pniel Pasuruan bukan karena adanya kesalahan yang dilakukan oleh

masyarakat Pasuruan terhadap oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab tersebut,

melainkan dikarenakan pemberontakan dan dorongan oleh nafsu untuk memperoleh

kekuasaan dan keuntungan yang sesuai dengan keinginan mereka. Konflik yang terjadi di

Pasuruan juga termasuk konflik kepentingan. Konflik kepentingan biasanya identik dengan

(3)

21

kepentingan dan ingin merebut kekuasaan dan wewenang yang tidak sesuai dengan aturan

sebenarnya.

Konflik yang tidak dapat diselesaikan dengan baik tidak jarang menimbulkan

kekerasan. Kekerasan selalu diidentikkan dengan kerusuhan, pembunuhan, terorisme,

perampokan, dan sebagainya yang terjadi berasal dari suatu konflik. Konflik yang terjadi di

Pasuruan juga termasuk konflik yang tidak diselesaikan dengan baik antara pemerintah

Negara Indonesia dengan masyarakat Indonesia. Konflik yang tidak diselesaikan dengan baik

menimbulkan kekerasan dan kerusuhan yang meledak sekitar tahun 1998-2004. Kerusuhan

dan kekerasan dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab, yang memiliki

status sebagai masyarakat Indonesia, sebagai bentuk pemberontakan mereka terhadap

permasalahan yang tidak diselesaikan dengan baik. Bentuk pemberontakan oknum-oknum

yang tidak bertanggungjawab tersebut adalah dengan melakukan tindakan penghancuran

dengan sengaja dan langsung yaitu dengan menghancurkan fasilitas masyarakat dan

bangunan tempat ibadah, salah satunya dengan menghancurkan gedung kebaktian GPIB Pniel

Pasuruan.

2. Faktor Sosial dan Ekonomi

Kota Pasuruan terkenal dengan sebutan “kota Santri atau kota Muslim” dikarenakan 92,02 % penduduk beragama Islam. Walaupun penduduk mayoritas beragama Islam, tidak membuat penduduk agama minoritas merasa tertekan, karena setiap penduduk dalam “kota Santri” tersebut berusaha menciptakan keharmonisan antara satu dengan lainnya. Oleh karena itu, sebelum konflik terjadi, situasi lingkungan Pasuruan dapat dikatakan aman dan tenang.

Situasi aman dan tenang yang tercipta di kota Pasuruan, terkhusus dalam beragama, dianggap

telah mendukung oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab untuk melakukan

pemberontakan, yang bertujuan untuk menarik perhatian pemerintah.9

Posisi kota Pasuruan yang berada pada jalur strategis, terletak di jalur utama yang

menghubungkan pusat perekonomian Jawa timur di kota Surabaya dengan Bali sebagai pusat

budaya dan pariwisata dengan melalui jalur industri di kota dan kabupaten Probolinggo dan

kota maupun kabupaten lain disekitarnya di wilayah Jawa Timur, menyebabkan

perekonomian masyarakat kota Pasuruan terus mengalami peningkatan ke arah yang lebih

baik dari tahun ke tahun. Sektor perdagangan semakin berkembang dan didukung oleh sektor

9

(4)

22

industri yang berkesinambungan. Hal ini menjadikan kota Pasuruan sebagai salah satu

wilayah yang penting dalam konstelasi perekonomian Jawa Timur.

Konflik yang terjadi di masyarakat kota Pasuruan dilakukan oleh oknum-oknum yang

tidak bertanggungjawab, bukan disebabkan adanya kekurangan dan kesalahan yang dilakukan

masyarakat kota Pasuruan. Konflik terjadi disebabkan oknum-oknum yang tidak

bertanggungjawab ingin mencoba menghancurkan kota-kota aman dan yang rawan terkena

konflik seperti adanya perbedaan yang mencolok yang terlihat dalam jumlah penduduk yang

terbagi berdasarkan agama, tetapi masih dalam situasi aman dan tenang, dan menghancurkan

kota-kota yang memiliki perekonomian stabil bahkan meningkat setiap tahunnya sehingga

melalui kehancuran yang dilakukan dapat menarik perhatian pemerintah dan melakukan

kehendak oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab tersebut.

Konflik yang terjadi di kota Pasuruan memang dilakukan oleh oknum-oknum yang

tidak bertanggungjawab melakukan pemberontakan, tetapi yang menjadi permasalahan, dari

banyaknya fasilitas masyarakat, hanya gedung kebaktian GPIB Pniel Pasuruan yang berhasil

dihancurkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab tersebut. Hal itu terjadi

dikarenakan kurang terjalinnya interaksi dan komunikasi yang baik antara GPIB Pniel

Pasuruan dengan masyarakat sekitar. Sehingga masyarakat tidak berani memberikan

pembelaan dan pertolongan ketika terjadi konflik yang dilakukan oleh oknum-oknum yang

tidak bertanggungjawab yang berusaha menghancurkan gedung kebaktian GPIB Pniel

Pasuruan. Jika dikaitkan dengan 2 akar penyebab konflik yang terdapat dalam buku Elly M.

Setiadi dan Usman Kolip, yaitu dikarenakan kemajemukan horizontal dan kemajemukan

vertikal, maka akar penyebab masyarakat tidak berani memberikan pembelaan dan

pertolongan bagi GPIB Pniel Pasuruan adalah dikarenakan kemajemukan horizontal.

Masyarakat dan jemaat GPIB Pniel Pasuruan memiliki kemajemukan secara kultural,

masing-masing yang memiliki karateristik sendiri dan ingin mempertahankan karaterisik budayanya,

sehingga terjadi disintegrasi antara GPIB Pniel Pasuruan dengan masyarakat. Namun, setelah

konflik penghancuran gedung kebaktian GPIB Pniel Pasuruan dapat diatasi, masyarakat dan

jemaat GPIB Pniel Pasuruan menyadari bahwa perlunya integrasi sosial yang dilakukan, agar

dapat menciptakan kehidupan yang harmonis selaku masyarakat bangsa Indonesia.

B. Proses Integrasi Sosial

Penyelesaian kerusuhan yang berakhir damai tidak membuat masalah yang dihadapi

(5)

23

terbakar serta sebagian inventaris gereja yang telah dijarah, membuat jemaat tidak dapat

melakukan ibadah. Walaupun sedih dan perasaan takut masih membayangi jemaat, jemaat

tetap melaksanakan ibadah seperti biasa, yang dilakukan di rumah jemaat secara bergantian

selama beberapa bulan. Tetapi jemaat menyadari bahwa mereka harus melakukan ibadah,

paling tidak ibadah minggu, di lingkungan gedung kebaktian, sehingga jemaat kembali

melaksanakan ibadah minggu tepat di halaman, di depan gedung kebaktian yang terbakar.

Kemudian bantuan mulai datang dari berbagai kalangan, baik dari GPIB, masyarakat sekitar,

dan pemerintah kota Pasuruan dalam membantu pembangunan gedung kebaktian GPIB Pniel

Pasuruan. Ditambah dengan usaha, semangat, serta kerjasama dalam jemaat GPIB Pniel

membuat gedung GPIB Pniel kembali berdiri dalam waktu 2,5 tahun setelah kebakaran.

Jemaat GPIB Pniel Pasuruan menyadari bahwa pertolongan serta kuasa Tuhan yang selalu

senantiasa menyertai mereka disaat mereka terpuruk dalam kesedihan karena kehilangan

gedung kebaktian.

Integrasi sosial merupakan suatu usaha yang dilakukan jemaat GPIB Pniel Pasuruan

bersama dengan masyarakat sekitar pasca konflik terjadi pada tahun 2001. Jemaat mengawali

integrasi sosial secara praktis, yaitu dengan melakukan tegur-sapa dan mengikuti kegiatan

masyarakat seperti membersihkan lingkungan dan lainnya. Hingga pada akhirnya jemaat

membuat kegiatan-kegiatan bersama dengan masyarakat dalam “Program Kerja dan

Anggaran” setiap tahunnya. Kegiatan-kegiatan yang telah terprogram mampu dilaksanakan oleh jemaat GPIB Pniel Pasuruan.

Ketika sebelum konflik terjadi, jemaat GPIB Pniel Pasuruan kurang berinteraksi

bersama masyarakat sekitar, maka sangat terlihat adanya peningkatan pasca konflik dalam

menciptakan integrasi sosial. Jemaat GPIB Pniel Pasuruan berusaha menciptakan dan

melakukan integrasi sosial bersama masyarakat sekitar gedung kebaktian. Beberapa kegiatan dalam menciptakan integrasi sosial telah dimasukkan dalam “Rencana Kerja dan Anggaran GPIB Pniel Pasuruan, dalam bidang Gereja, Masyarakat, Agama-agama dan Lingkungan Hidup (GERMASA dan LH)” yang akan dilaksanakan setiap tahunnya.

Beberapa kegiatan (Program Kerja dan Anggaran tahun 2015-2016 GPIB Pniel

Pasuruan) yang dilaksanakan jemaat GPIB Pniel Pasuruan dalam menciptakan integrasi

sosial yaitu:

1. Membuat spanduk untuk HUT RI, bulan puasa, hari raya idul fitri, tema tahunan

GPIB, ucapan selamat natal, tahun baru dan paskah, yang berlokasi di depan gedung

(6)

24

2. Memberikan sumbangan wajib Natal dan Paskah kepada Badan Kontak Antar Gereja

(BKAG) dan KW BKAG, dengan tujuan mendukung kegiatan Natal dan Paskah

BKAG dan KW BKAG.

3. Mengikuti kegiatan rapat BAMAG, BKAG, FKUB, dan KW BKAG dan ketempatan

ibadah KW BKAG, dengan tujuan koordinasi pelayanan gereja-gereja Pasuruan dan

ikut memelihara toleransi keragaman.

4. Menghadiri dan berpartisipasi dalam undangan Pemda Pasuruan, dengan tujuan

mendukung kegiatan Pemda Pasuruan dan melakukan kebersamaan.

5. Memberikan perhatian bagi masyarakat dan tukang becak yang berada di sekitar

gereja, dengan cara memberikan sembako pada saat menjalankan puasa dan

menyambut Hari Raya Idul Fitri, dengan tujuan membantu masyarakat sekitar gereja

dalam menjalankan ibadah puasa, menyambut Hari Raya Idul Fitri, dan menjalin

persaudaraan dalam bermasyarakat.

6. Melakukan kebersihan lingkungan, yang berlokasi dalam lingkungan gereja dan

sekitarnya, dengan tujuan agar jemaat dan masyarakat sekitar menjadi nyaman dengan

lingkungan yang bersih dan sehat.

7. Memenuhi undangan gereja lain dan ikut berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang

diadakan bersama gereja-gereja lain di Pasuruan, dengan tujuan menjalin keakraban

dengan gereja lain.

Selain kegiatan-kegiatan yang telah terprogram tersebut, ada beberapa kegiatan

praktis yang dilakukan jemaat GPIB Pniel Pasuruan dalam menciptakan integrasi sosial

yaitu: mengundang pemerintah desa dan masyarakat dalam acara dan kegiatan-kegiatan yang

diadakan oleh GPIB Pniel Pasuruan seperti: Natal, Tahun Baru, dan Ulang Tahun GPIB Pniel

Pasuruan; melakukan interaksi bersama masyarakat, seperti: selalu menyapa dan berbincang

bersama masyarakat sekitar setelah pulang kegiatan gereja dan naik becak milik beberapa

masyarakat sekitar gereja untuk diantar pulang, sehingga membuat masyarakat gereja merasa

tertolong dan diberkati; dan selalu berusaha untuk saling menerima, menghargai,

menciptakan sehati dan satu perasaan melalui komunikasi. Tidak hanya jemaat GPIB Pniel

Pasuruan yang berusaha menciptakan integrasi sosial, bahkan masyarakat juga memiliki

usaha-usaha menciptakan integrasi sosial walaupun tidak terprogram. Beberapa usaha yang

dilakukan masyarakat diantaranya: berkomunikasi dan menciptakan keharmonisan di dalam

(7)

25

dan menghadiri undangan serta berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan

GPIB Pniel Pasuruan.10

Usaha-usaha yang dilakukan jemaat GPIB Pniel Pasuruan bersama dengan

masyarakat awalnya kurang berjalan dengan baik, dikarenakan kurangnya pengenalan antara

satu dengan yang lainnya sehingga terciptanya keraguan dalam menjalankan usaha dalam

menciptakan integrasi sosial. Saat itu, jemaat GPIB Pniel Pasuruan kurang mengenal

masyarakat sehingga tidak mengetahui kebutuhan dan kebiasaan-kebiasaan yang ada di

masyarakat, begitu juga sebaliknya. Awal dilaksanakannya kegiatan bersama masyarakat

tersebut memang membuat bingung masyarakat, sehingga ada beberapa masyarakat yang

bersikap tertutup terhadap kegiatan yang dilakukan jemaat, seperti buka puasa bersama,

pembagian sembako, dan lainnya. Hal itu sedikit membuat jemaat merasa kesulitan dalam

menciptakan integrasi sosial. Tetapi usaha dan kerjakeras menciptakan integrasi sosial tetap

dilakukan GPIB Pniel Pasuruan dengan membaurkan diri, memberi perhatian dan

bersosialisasi yang sesuai dengan kehidupan sehari-hari masyarakat. Tekad dan semangat

terus ditanam oleh para pemimpin, baik pendeta dan majelis jemaat GPIB Pniel Pasuruan dan

pemerintah desa untuk menjalin komunikasi yang baik sehingga tercipta keharmonisan.

Hingga pada akhirnya masyarakat juga menyadari interaksi dan keharmonisan dalam

masyarakat sangat diperlukan dalam bermasyarakat. Pada akhirnya, jemaat GPIB Pniel

Pasuruan dan masyarakat sekitar bersama-sama mengakui adanya perbedaan antara yang satu

dengan yang lain di dalam masyakarat tetapi tidak memberikan makna penting pada

perbedaan ras tersebut, sehingga mampu membuka dan membaurkan diri, serta

mempersatukan bagian-bagian yang sebelumnya saling terpisahkan guna mempertahankan

kelangsungan hidup bersama. 11

Integrasi yang dilakukan jemaat GPIB Pniel Pasuruan termasuk integrasi komunikatif

dan integrasi fungsional. Dikatakan integrasi komunikatif dikarenakan jemaat GPIB Pniel

Pasuruan dan masyarakat sekitar melakukan suatu komunikasi efektif dalam kehidupan

sehari-hari dan sikap saling bergantung serta saling mengajak untuk bekerjasama menuju

tujuan keharmonisan dalam masyarakat. Sedangkan dikatakan integrasi fungsional

dikarenakan masing-masing kelompok, yaitu jemaat GPIB Pniel Pasuruan dan masyarakat

sekitar sungguh-sungguh menyadari fungsi dan peran masing-masing sangat penting dalam

mewujudkan kebersamaan dan kesatuan tersebut.

10

Wawancara Ibu RG, Bapak MS , dan Bapak PG (inisial), 11, 13, 16 November 2015.

11

(8)

26

Integrasi yang merupakan proses mempertahankan kelangsungan hidup kelompok,

yang telah dilakukan jemaat GPIB Pniel Pasuruan bersama masyarakat sekitar dapat

dikatakan telah tercapai dikarenakan telah melewati 3 fase, yaitu fase akomodasi, fase

koordinasi, dan fase assimilasi. Fase akomodasi merupakan fase dimana masing-masing

kelompok berusaha menciptakan kerjasama untuk mencapai tujuan bersama yaitu tercapainya

kompromi dan toleransi sehingga dua lawan atau lebih menjadi sama kuat, walaupun tetap

dimilikinya perbedaan paham. Setelah konflik terjadi dan dilakukan penyelesaian, jemaat

GPIB Pniel Pasuruan bersama masyarakat telah berusaha bersama-sama menciptakan

kerjasama untuk mecapai tujuan, walaupun tetap dimilikinya perbedaan paham. Setelah

dilakukannya fase akomodasi, maka jemaat dan masyarakat kembali mencoba melakukan

fase koordinasi, yaitu membiasakan diri untuk melakukan kerjasama dan mengharapkan

terjadinya kerjasama yang baik antara jemaat dan masyarakat. Setelah fase koordinasi

tercapai, maka dilakukan fase Assimilasi, yaitu terjadinya proses belajar untuk mengakhiri

kebiasaan lama, dilakukannya perubahan, dan mempelajari serta menerima kehidupan yang

baru. Proses belajar tersebut sudah dilakukan oleh jemaat GPIB Pniel Pasuruan bersama

masyarakat sekitar. Jemaat dan masyarakat sekitar mengakhiri kebiasaan lama yaitu sikap

egois, mementingkan diri dan kelompok masing-masing, hingga pada akhirnya melakukan

perubahan dengan mempelajari satu dengan lainnya dan menerima kehidupan yang baru.

Ketiga fase telah dilakukan oleh jemaat GPIB Pniel Pasuruan bersama dengan masyarakat

sekitar, sehingga dapat disimpulkan bahwa integrasi sosial yang dilakukan telah berhasil.

Beberapa faktor pendukung berhasilnya integrasi sosial yang dilakukan jemaat GPIB Pniel

Pasuruan bersama dengan masyarakat sekitar diantaranya: adanya interaksi sosial dan jarak

sosial (kesamaan tanah/tempat tinggal) yang mendukung terciptanya komunikasi, persamaan

bahasa, tanggungjawab dalam mempertahankan ketertiban, dimilikinya pertahanan bersama,

bantuan untuk bekerjasama.

Saat ini, usaha-usaha yang dilakukan GPIB Pniel Pasuruan dalam menciptakan

integrasi sosial bersama masyarakat dapat dikatakan telah terealisasi. Ada banyak dampak

positif yang dirasakan GPIB Pniel Pasuruan dan masyarakat sekitar gedung kebaktian.

Dampak positif yang dirasakan GPIB Pniel Pasuruan adalah munculnya perasaan nyaman

dalam melaksanakan ibadah, acara, dan kegiatan-kegiatan yang diadakan di dalam gedung

kebaktian, dikarenakan telah terciptanya keharmonisan bersama masyarakat; munculnya

perasaan terberkati dikarenakan telah merealisasikan tugas dan panggilan gereja sebagai

(9)

27

Dampak positif yang dirasakan masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar gedung

kebaktian GPIB Pniel Pasuruan adalah adanya perasaan puas dikarenakan telah tercipta

komunikasi yang baik dan keharmonisan dalam lingkungan tempat tinggal, merasa diberkati

dengan kehadiran gereja GPIB Pniel Pasuruan dikarenakan jemaat GPIB Pniel Pasuruan

Referensi

Dokumen terkait

Pada parameter berat polong dengan perlakuan 8 kg pupuk kandang sapi per bedengan memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan perlakuan tanpa pupuk kandang sapi

Lintas ekivalen permulaan, lintas ekivalen akhir, dan jumlah lintas ekivalen semua umur rencana dapat dihitung, besarnya kerusakan pada perkerasan jalan raya

Kecamatan Cinambo adalah salah satu subpusat pelayanan Ujungberung yang merupakan bagian dari Subwilayah Kota Ujungberung menjadi yang mengalami permasalahan pada

Nilai penggunaan informasi bagi individu adalah adanya keinginan dari individu yang.. bersangkutan untuk membayar informasi yang mereka gunakan untuk keperluan mereka dalam

Permasalahan yang diteliti dalam skripsi ini adalah (1) Adakah pengaruh Bimbingan dan Konseling Islam terhadap kemampuan keterampilan sosial anak yatim di Lembaga Kebajikan

Hasil analisis keragaman pada setiap tabel di atas menunjukan bahwa perlakuan perbandingan tanah dan kompos daun bambu dengan S2 (2:1) pada tanaman tanjung

Informasi terkait efek larvisida residu minyak atsiri bunga cengkeh yang merupakan gambaran dari efektivitas lama dari minyak atsiri bunga cengkeh ( Syzygium

Dalam studi kasus ini akan dilakukan analisis terhadap jumlah mahasiswa yang melakukan undur diri, drop out (DO) dilihat dari beberapa atribut atau variabel yang terkait, yaitu