TINJAUAN PUSTAKA
Ayam Broiler
Broiler atau lebih dikenal dengan ayam pedaging adalah ayam jantan atau betina yang umumnya dipanen pada umur 5-6 minggu dengan tujuaan sebagai penghasil daging (Kartasudjana dan Suprijatna, 2006). Broiler memiliki kelebihan dan kelemahan, kelebihannya adalah dagingnya empuk, ukuran badan besar, bentuk dada lebar, padat dan berisi, efisiensi terhadap ransum cukup tinggi, sehingga sebagian besar dalam ransum diubah menjadi daging dan pertambahan bobot badan sangat cepat sedangkan kelemahannya adalah memerlukan pemeliharaan secara intensif dan cermat, relatif lebih peka terhadap suatu infeksi penyakit dan sulit beradaptasi (Murtidjo, 1987).
Ayam broiler merupakan salah satu alternatif yang dipilih dalam upaya pemenuhan kebutuhan protein hewani karena ayam broiler memiliki pertumbuhan dan bobot badan yang sangat cepat dan dapat mencapai bobot hidup 1,4-1,6 Kg. Secara umum broiler dapat memenuhi selera konsumen atau masyarakat, selain daripada itu broiler lebih dapat terjangkau masyarakat karena harganya relatif murah (Rasyaf, 2003).
Kebutuhan Nutrisi Broiler
juga dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berkaitan dengan genetik dan lingkungan tempat ternak itu dipelihara.
Kebutuhan zat nutrient broiler pada fase yang berbeda tertera pada tabel 1. Tabel 1. Kebutuhan nutrisi broiler
No Jenis Nutrisi Fase
Ikan Gabus Pasir (Butis amboinensis)
Ikan gabus pasir (Butis amboinensis) merupakan ikan predator (pemangsa), ikan ini mencari makanan sebagian besar pada malam hari dengan pola samar untuk membantu ikan tersebut berbaur dengan lingkungan untuk mendapatkan mangsa. Ikan ini juga dapat meringankan dan menggelapkan pewarnaan tubuh, memiliki kebiasaan menyelaraskan diri dengan permukaan padat baik horizontal, vertikal atau terbalik dan sering berenang di posisi terbalik. Spesies ikan ini mendiami pesisir sungai, muara dan hutan bakau di New Guinea telah tercatat 300 kilometer ke arah hulu dari muara sungai ikan gabus pasir ditemukan di atas lumpur berpasir (Allen, 1991).
Menurut binomial, ikan gabus pasir diklasifikasikan sebagai berikut; Kelas: Osteichtyes, Ordo: Perciformes, Famili: Eleotritidae, Genus: Butis amoinensis. Karakteristik dari ikan gabus pasir yaitu kepala pipih datar, lebar,
bersisik, tidak ada sisik antara mata dan tulang mata, gigi pada barisan depan tidak membesar, tipe ekor membulat (Gultom, 2010).
Limbah ikan gabus pasir terdiri atas kepala, isi perut. Limbah ikan gabus pasir diolah menjadi tepung dengan cara dipanaskan (cooking), dipressing, dioven dan digrinder menjadi tepung ikan. Tepung ikan mengadung protein yang tinggi dan dapat meingkatkan produksi dan nilai gizi telur dan daging
(Stevie et al., 2009).
Tabel 2. Komposisi nutrisi tepung limbah ikan gabus pasir
Jenis Nutrisi Kandungan
Gross Energi (K.cal/g) 3,6341a
Kadar air (%) 7,17b
Protein kasar (%) 53,59b
Lemak kasar (%) 4,32b
Bahan kering (%) 92,82b
Abu (%) 21,85b
Kalsium (%) 5,86b
Posfor (%) 0,026b
Sumber: aLaboratorium Loka Penelitian Kambing Potong (2014) dan bLaboratorium Ilmu Nutrisi dan Pakan Ternak (2014).
Sistem Pencernaan Ayam
Sistem pencernaan merupakan sistem yang terdiri dari saluran pencernaan dan organ-organ pelengkap yang berperan dalam proses perombakan bahan makanan, baik secara fisik, maupun kimia menjadi zat-zat makanan yang siap diserap oleh dinding saluran pencernaan (Parakkasi, 1990). Menurut Anggorodi (1994) pencernaan adalah penguraian bahan makanan ke dalam zat-zat makanan dalam saluran pencernaan untuk dapat diserap dan digunakan oleh jaringan-jaringan tubuh. Saluran pencernaan dari semua hewan dapat dianggap sebagai tabung yang dimulai dari mulut sampai anus yang fungsinya dalam saluran pencernaan adalah mencernakan dan mengabsorpsi makanan dan mengeluarkan sisa makanan sebagai tinja (Tillman et al., 1991).
Unggas khususnya ayam broiler mempunyai saluran pencernaan yang sederhana karena unggas merupakan hewan monogastrik (berlambung tunggal). Saluran-saluran pencernaan pada ayam broiler terdiri dari mulut, esophagus, proventriculus, usus halus, ceca, usus besar, dan kloaka
(Blakely dan Bade, 1998).
Dinyatakan oleh Tillman et al., (1991) bahwa:
a) Pada ayam tidak terjadi proses pengunyahan dalam mulut karena ayam tidak mempunyai gigi, tetapi di dalam ventrikulus terjadi fungsi yang mirip dengan gigi yaitu penghancuran makanan.
c) Sebagian besar pencernaan terjadi di dalam usus halus, disini terjadi pemecahan zat-zat pakan menjadi bentuk yang sederhana, dan hasil pemecahannya disalurkan ke dalam aliran darah melalui gerakan peristaltik di dalam usus halus terjadi penyerapan zat-zat makanan yang dibutuhkan oleh tubuh.
d) Absorpsi hasil pencernaan makanan terjadi sebagian besar di dalam usus halus, sebagian bahan-bahan yang tidak diserap dan tidak tercerna dalam usus halus masuk ke dalam usus besar.
Kecernaan
Menurut Tillman et al., (1998) kecernaan dapat diartikan banyaknya atau jumlah proporsional zat-zat makanan yang ditahan atau diserap oleh tubuh. Zat makanan yang terdapat di dalam feses dianggap zat makanan yang tidak dapat dicerna dan tidak diperlukan (Cullison, 1978). Kecernaan dapat dipengaruhi oleh tingkat pemberian ransum, spesies hewan, kandungan lignin bahan pakan, defisiensi zat makanan, pengolahan bahan pakan, pengaruh gabungan bahan pakan dan gangguan saluran pencernaan (Chruch and Pond, 1988). Dinyatakan oleh Anggorodi (1994) yang mempengaruhi daya cerna adalah suhu, laju perjalanan melalui alat pencernaan, bentuk fisik bahan makanan, komposisi ransum dan pengaruh terhadap perbandingan dari zat makanan lainnya. Jenis kelamin, umur dan strain mempunyai pengaruh terhadap daya cerna protein dan asam-asam amino, tetapi pengaruhnya tidak konsisten (Doeschate et al., 1993).
diserap. 2) Tingginya kandungan zat-zat makanan, jika nilai kecernaannya rendah maka tidak akan ada gunanya. 3) Untuk mengetahui seberapa besar zat-zat yang dikandung makanan ternak yang dapat diserap untuk kebutuhan pokok, pertumbuhan dan produksi.
Prinsip penentuan kecernaan zat-zat makanan adalah menghitung banyaknya zat-zat makanan yang dikonsumsi dikurangi dengan banyaknya zat makanan yang dikeluarkan melalui feses (Ranjhan, 1980).
Tingkat kecernaan/daya cerna suatu ransum menggambarkan besarnya zat-zat makanan yang tersedia yang dapat dimanfaatkan oleh ternak untuk proses hidup pokok (maintenance), pertumbuhan, produksinya maupun reproduksi (Ginting, 1992).
Untuk mengukur kecernaan pada unggas dibutuhakan teknik khusus karena feses dan urin dikeluarkan secara bersamaan sehingga menyebabkan bercampurnya N-Urindan feses (Maynard dan Loosli, 1979).
Metode yang digunakan untuk menilai kecernaan yaitu metode konvensional atau total collecting methods, yang terdiri dari periode pendahuluan selama 4-10 hari dengan tujuan membiasakan ternak pada ransum dan keadaan lingkungan sekitarnya dan menghilangkan sisa-sisa makanan sebelum perlakuan (Church dan Pond, 1988). Sedangkan periode koleksi feses dilakukan selama 5-15 hari, dengan waktu koleksi 24 jam (Tillman et al., 1998). Metode lainnya yaitu metode kuantitatif (metode indikator) yaitu menambahkan indikator dalam ransum yang tidak dicerna (Cheeke, 1982).
sampel dari usus besar dilakukan dengan asumsi bahwa pencernaan dan penyerapan telah terjadi pada usus halus dan tidak terjadi lagi pada usus besar. Sejalan dengan pendapat Bielorai et al., (1973), penyerapan zat-zat makanan terjadi di dalam usus halus. Metode pengambilan sampel dari usus besar lebih akurat (Doeschate et al., 1993). Metode kuantitatif ini terdiri dari dua periode yaitu periode adaptasi dan periode pengambilan sampel.
Kecernaan Bahan Kering
Bahan kering adalah suatu bahan pakan yang dipanaskan dalam oven pada temperatur 105°C dengan pemanasan yang terus menerus sampai berat bahan pakan tersebut konstan (Tillman et al., 1998). Kualitas dan kuantitas bahan kering tersebu harus diketahui untuk meningkatkan kecernaan bahan pakan tersebut. Pada kondisi normal, konsumsi bahan kering dijadikan ukuran konsumsi ternak, konsumsi bahan kering bergantung pada banyaknya faktor, diantaranya adalah kecernaan bahan kering pakan, kandungan energi metabolisme pakan dan kandungan serat kasar pakan. Kecernaan bahan kering diukur untuk mengetahui jumlah zat makanan yang diserap tubuh yang dilakukan melalui analisis dari jumlah bahan kering, baik dalam ransum maupun dalam feses. Selisih jumlah bahan kering yang dikonsumsi dan jumlah yang diekskresikan adalah kecernaan bahan kering (Ranjhan, 1980).
Faktor-faktor lain yang mempengaruhi nilai kecernaan bahan kering ransum adalah tingkat proporsi bahan pakan dalam ransum, komposisi kimia, tingkat protein ransum, persentase lemak dan mineral (Anggorodi, 1994).
Kecernaan Bahan Organik
Menurut Parrakasi (1999) bahwa bahan organik merupakan bahan kering yang telah dikurangi abu, komponen bahan kering bila difermentasi di dalam rumen akan menghasilkan asam lemak terbang yang merupakan sumber energi bagi ternak. Kecernaan bahan organik dalam saluran pencernaan ternak meliputi kecernaan zat-zat makanan berupa komponen bahan organik seperti karbohidrat, protein, lemak dan vitamin. Bahan-bahan organik yang terdapat dalam pakan tersedia dalam bentuk tidak larut, oleh karena itu diperlukan adanya proses pemecahan zat-zat tersebut menjadi zat-zat yang mudah larut. Faktor yang mempengaruhi kecernaan bahan organik adalah kandungan serat kasar dan mineral dari bahan pakan. Kecernaan bahan organik erat kaitannya dengan kecernaan bahan kering, karena sebagian dari bahan kering terdiri dari bahan organik. Penurunan kecernaan bahan kering akan mengakibatkan kecernaan bahan organik menurun atau sebaliknya.
Kecernaan Protein Kasar
Kecernaan protein kasar tergantung pada kandungan protein didalam ransum. Ransum yang kandungan proteinnya rendah, umumnya mempunyai kecernaan yang rendah pula sebaliknya. Tinggi rendahnya kecernaan protein tergantung pada kandungan protein bahan pakan dan banyaknya protein yang masuk dalam saluran pencernaan (Tillman et al., 1991).
Ransum yang kandungan proteinnya rendah, umumnya mempunyai kecernaan yang rendah pula dan sebaliknya. Tinggi rendahnya kecernaan protein tergantung pada kandungan protein bahan pakan dan banyaknya protein yang masuk dalam saluran pencernaan (Parakkasi, 1990).