• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan Pengaruh Parasetamol Infus Dengan Metamizol Injeksi Terhadap Suhu Tubuh Dan Outcome Pasien Stroke Akut Dengan Hipertermia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perbedaan Pengaruh Parasetamol Infus Dengan Metamizol Injeksi Terhadap Suhu Tubuh Dan Outcome Pasien Stroke Akut Dengan Hipertermia"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 1. STROKE

1.1 Sejarah singkat

Stroke telah dikenal sejak Mesir kuno. Imhoteb, seorang penggagas ilmu kedokteran Mesir kuno menjelaskan stroke pada sebuah dokumen medis yang paling awal, yang dikenal sebagai papirus dari Edwin Smith, yang berasal sekitar 3000 tahun sebelum masehi. Deskripsi yang lebih jelas dari kondisi ini adalah pada tahun 1600an saat Thomas Willis mengidentifikasi suplai arteri dari otak yaitu “sirkulus Willis” dan menggunakan terminologi “apopleksi” untuk menjelaskan stroke. Pada

tahun 1800an, anatomis Matthew dan Cruveilher mengilustrasikan lesi pada stroke. Periode modern dari stroke dimulai pada tahun 1960an saat C. Miller Fisher menjelaskan secara terperinci pengamatan klinis dan patologis pada stroke lakunar, carotid artery disease, transient ischemic attacks dan perdarahan intraserebral. Muridnya Louis Caplan menetapkan salah satu stroke registry databases untuk mengumpulkan dan menganalisa data epidemiologi, klinis, radiologis dan patologis. (Greer, 2007)

1.2 Definisi

(2)

otak fokal maupun global yang berlangsung lebih dari 24 jam (kecuali ada intervensi bedah atau membawa kematian), yang tidak disebabkan oleh sebab lain selain penyebab vaskuler. Definisi ini mencakup stroke akibat infark otak (stroke iskemik), perdarahan intraserebral (PIS) non traumatik, perdarahan intraventrikuler dan beberapa kasus perdarahan subarakhnoid (PSA) (Gofir, 2009).

Definisi terbaru stroke yang dikeluarkan oleh American Heart Association/American Stroke Association adalah sebagai berikut:

Stroke (tidak ditentukan jenisnya) adalah suatu episode dari

disfungsi neurologis yang dianggap disebabkan oleh iskemia atau hemoragik, bertahan ≥24 jam atau meninggal, tapi tidak memiliki bukti yang cukup untuk diklasifikasikan.

Stroke iskemik adalah suatu episode dari disfungsi neurologis

yang disebabkan oleh infark pada serebral, medula spinalis maupuan infark pada retina (Sacco dkk, 2013).

1.3 Epidemiologi

Insidens terjadinya stroke di Amerika Serikatlebih dari 700.000 orang per tahun, dimana 20% darinya akan meninggal pada tahun pertama. Jumlah ini akan meningkat menjadi 1 juta per tahun pada tahun 2050. (Becker, dkk, 2010).

(3)

expentancy dan gaya hidup yang berubah (Modul Neurovaskular PERDOSSI, 2009),

Dari hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga di Indonesia dilaporkan bahwa proporsi stroke di rumah sakit antara tahun 1984 sampai dengan tahun 1986 meningkat, yaitu 0,72 per 100 penderita pada tahun 1984 dan naik menjadi 0,96 per 100 penderita pada tahun 1986. Sedangkan di Jogyakarta pada penelitian Lamsudin dkk (1998) dilaporkan bahwa proporsi morbiditas stroke di rumah sakit di Jogyakarta tahun 1991 menunjukkan kecendrungan meningkat hampir 2 kali lipat (1,79 per 100 penderita) dibandingkan dengan laporan penelitian sebelumnya pada tahun 1989 (0,96 per 100 penderita) (Sjahrir, 2003).

Dari studi rumah sakit yang dilakukan di Medan pada tahun 2001, ternyata pada 12 rumah sakit di Medan dirawat 1263 kasus stroke terdiri dari 821 stroke iskemik dan 442 stroke hemoragik, dimana meninggal 201 orang (15,91%) terdiri dari 98 stroke iskemik dan 103 stroke hemoragik (Nasution, 2007)

1.4 Faktor Risiko

Penelitian prospektif stroke telah mengidentifikasi berbagai faktor-faktor yang dipertimbangkan sebagai risiko yang kuat terhadap timbulnya stroke. Faktor risiko timbulnya stroke: (Sjahrir, 2003 ; Nasution, 2007 ; Howard, dkk, 2009).

1. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi :

(4)

b. Jenis kelamin

c. Ras dan suku bangsa d. Faktor turunan

e. Berat badan lahir rendah

2. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi a. Prilaku:

1. Merokok

2. Diet tidak sehat: garam berlebihan, kolesterol, kurang buah 3. Alkoholik

4. Obat-obatan: narkoba (kokain), anti koagulansia, antim platelet, amfetamin, pil kontrasepsi

5. Kurang gerak badan b. Fisiologis

1. Penyakit hipertensi 2. Penyakit jantung 3. Diabetes mellitus

4. Infeksi/lues, arthritis, traumatik, AIDS, lupus 5. Gangguan ginjal

6. Kegemukan (obesitas)

7. Polisitemia, viskositas darah meninggi & penyakit perdarahan 8. Kelainan anatomi pembuluh darah

(5)

1.5 Klasifikasi

Dasar klasifikasi yang berbeda – beda diperlukan, sebab setiap jenis stroke mempunyai cara pengobatan, pencegahan dan prognosa yang berbeda, walaupun patogenesisnya sama (Misbach,1999)

I. Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya : 1. Stroke iskemik

a. Transient Ischemic Attack (TIA) b. Thrombosis serebri

c. Embolia serebri 2. Stroke Hemoragik

a. Perdarahan intraserebral b. Perdarahan subarakhnoid II. Berdasarkan stadium / pertimbangan waktu

1. Transient Ischemic Attack (TIA) 2. Stroke in evolution

3. Completed stroke

III. Berdasarkan jenis tipe pembuluh darah 1. Sistem karotis

2. Sistem vertebrobasiler

IV. Berdasarkan tipe infark (Sjahrir, 2003) : 1. Total Anterior Circulation Infarction

2. Partial Anterior Circulation Infarction

(6)

4. Lacunar Infarction

V. Klasifikasi Stroke Iskemik berdasarkan kriteria kelompok peneliti TOAST (Adams, dkk, 1993 ; Sjahrir, 2003)

1. Aterosklerosis arteri besar (Embolus/ Trombosis) 2. Kardioembolisme (Risiko Tinggi/ Risiko Sedang) 3. Oklusi pembuluh darah kecil (Lakunar)

4. Stroke akibat dari penyebab lain yang menetukan

5. Stroke akibat dari penyebab lain yang tak dapat ditentukan: a. Dua atau lebih penyebab teridentifikasi

b. Tidak ada evaluasi c. Evaluasi tidak lengkap

1.6 Patofisiologi

Pada level makroskopik, stroke iskemik paling sering disebabkan oleh emboli dari ekstrakranial atau trombosis di intrakranial, tetapi dapat juga disebabkan oleh berkurangnya aliran darah otak. Pada level seluler, setiap proses yang mengganggu aliran darah ke otak dapat mencetuskan suatu kaskade iskemik, yang akan mengakibatkan kematian sel-sel otak dan infark otak (Becker, dkk, 2010).

(7)

fungsi – fungsinya dan menyebabkan juga defisit neurologis. Tingkat iskemiknya makin ke perifer makin ringan. Daerah penumbra iskemik, di luarnya dapat dikelilingi oleh suatu daerah hiperemik akibat adanya aliran darah kolateral (luxury perfusion area). Daerah penumbra iskemik inilah yang menjadi sasaran terapi stroke iskemik akut supaya dapat direperfusi dan sel-sel otak berfungsi kembali. Reversibilitas tergantung pada faktor waktu dan jika tidak terjadi reperfusi, daerah penumbra dapat berangsur-angsur mengalami kematian (Misbach, 2007)

Iskemik otak mengakibatkan perubahan dari sel neuron otak secara bertahap, yaitu (Sjahrir, 2003):

Tahap 1:

a. Penurunan aliran darah b. Pengurangan O2

c. Kegagalan energi

d. Terminal depolarisasi dan kegagalan homeostasis ion Tahap 2:

a. Eksitoksisitas dan kegagalan homeostasis ion b. Spreading depression

(8)

2. SUHU TUBUH NORMAL

2.1. Suhu inti dan suhu kulit.

Suhu pada jaringan tubuh yang dalam (inti tubuh) tetap konstan sepanjang hari dalam rentang ± 0,6 0C, kecuali dalam keadaan demam. Berbeda dengan suhu inti, suhu kulit naik dan turun mengikuti suhu lingkungan. Suhu kulit penting kerena kemampuannya untuk melepaskan panas ke lingkungan sekitar (Guyton, dkk, 2006)

Tidak ada satu ketetapan tentang suhu inti yang normal, karena pengukuran pada banyak orang sehat menunjukkan rentang suhu normal. Rata-rata suhu inti normal secara umum antara 36,6 0C sampai 37 0C, jika diukur secara oral akan lebih tinggi 10F (0,6 0C) dibandingkan dengan secara rektal. Suhu tubuh meningkat selama latihan dan berubah-ubah pada suhu lingkungan yang ekstrim. Saat produksi panas berlebihan dalam tubuh karena latihan yang berat, suhu dapat meningkat secara temporer mencapai 380C sampai 40 0C. Saat tubuh terpapar dengan dingin yang ekstrim, suhu dapat turun sampai di bawah 35,5 0C (Guyton, dkk, 2006).

2.2. Suhu Tubuh Diatur oleh Keseimbangan Produksi dan Hilangnya Panas Tubuh

(9)

ekstra yang dihasilkan oleh aktifitas otot; (3) metabolism ekstra yang dihasilkan oleh efek hormone (tiroksin, growth hormone) pada sel; (4) metabolisme ekstra dari efek epineprin, norepineprin dan stimulasi simpatik terhadap sel; (5) metabolisme ekstra yang diperlukan untuk mencerna, menyerap dan menyimpan makanan (Guyton, dkk, 2006).

Kebanyakan panas dihasilkan di organ dalam terutama hati, otak, jantung dan otot skletal selama beraktivitas. Kemudian panas ini menyebar sampai ke kulit dan dilepaskan ke udara sekitar melalui mekanisme radiasi konduksi dan evaporasi (Guyton, dkk, 2006).

Gambar 1: Mekanisme Hilangnya Panas dari Tubuh.

Dikutip dari: Guyton AC and Hall JE. Body Temperature, Temperature Regulation, and Fever. In: Schmitt W and Gruliow R (Ed.). Medical physiology guyton and hall 11th edition. Mississippi: Elsevier Saunders, 2006. p: 889 – 901.

2.3. Pengaturan Suhu Tubuh Oleh Hipotalamus.

(10)

menerima 2 macam sinyal: yang pertama dari nervus perifer yang merefleksikan reseptor panas/ dingin dan yang lain dari darah yang mengaliri daerah hipotalamus tersebut. Kedua tipe sinyal ini diintegrasikan oleh pusat termoregulator dari hipotalamus untuk menjaga suhu tubuh tetap normal. Pada tubuh yang sehat, suhu tubuh tetap stabil karena pusat termoregulator dari hipotalamus menyeimbangkan produksi panas (yang diperoleh dari aktifitas metabolik dalam otot dan liver) dengan pelepasan panas (dari kulit dan paru-paru). (Dinarello, dkk, 2005)

Suhu tubuh dikendalikan hampir sepenuhnya oleh mekanisme

nervous feedbeck dan hampir semuanya dilakukan melalui pusat pengaturan suhu yang terletak di hipotalamus. Area preoptik-hipotalamus anterior ini terdiri dari sejumlah besar sel-sel saraf yang sensitif terhadap panas dan sepertiganya terdiri dari sel-sel saraf yang sensitif terhadap dingin. Saat area preoptik tersebut dirangsang panas, kulit pada seluruh tubuh akan mengeluarkan keringat yang banyak, sementara pembuluh darah pada kulit akan berdilatasi. Hal ini sebagai reaksi cepat agar tubuh dapat melepaskan panas, sehingga membantu mengembalikan suhu tubuh ke normal. Sebagai tambahan, tubuh juga akan menghambat produksi panas yang berlebihan (Guyton, dkk, 2006).

(11)

lebih peka terhadap suhu dingin daripada panas. Saat kulit di seluruh tubuh dirangsang dingin, maka akan terjadi respon untuk meningkatkan suhu tubuh berupa menggigil, mengurangi produksi keringat dan vasokontriksi pembuluh darah kulit. Reseptor di jaringan dalam tubuh terutama terdapat di medula spinalis, organ-organ visera abdomen dan vena-vena besar dalam abdomen bagian atas dan toraks. Reseptor ini juga lebih peka terhadap dingin daripada panas. Kepekaan yang lebih terhadap dingin tersebut mungkin untuk mencegah agar tubuh tidak hipotermia (Guyton, dkk, 2006).

(12)

Gambar 2: Bagian-bagian dari Hipotalamus.

Dikutip dari: Rohkamm R. Color Atlas of Neurology. Germany: Thieme Varlag, 2004. hal: 143

3. DEMAM PADA STROKE

Demam merupakan peningkatan suhu tubuh di atas rentang yang normal, dapat disebabkan oleh abnormalitas dari otak itu sendiri atau substansi toksik yang mempengaruhi pusat pengaturan suhu (Guyton, dkk, 2006).

(13)

infeksi, karakteristik satu-satunya yang membedakan dengan adanya infeksi adalah onset demam yang segera (Georgilis, dkk, 1999).

Banyak protein, produk sisa dari protein dan substansi-substansi lain, terutama toksin lipopolisakarida yang dilepaskan dari membrane sel bakteri menyebabkan set-point dari thermostat hipotalamus meningkat. Substansi yang menyebabkan efek ini disebut pirogen. Pirogen dilepaskan dari toksin bakteri atau dari jaringan tubuh yang mengalami degenerasi. Saat set-point dari pusat pengaturan suhu di hipotalamus meningkat dari normal, semua mekanisme untuk meningkatkan suhu tubuh akan berjalan, meliputi penyimpanan suhu dan peningkatan produksi panas. Dalam beberapa jam setelah set-point meningkat, suhu tubuh juga akan mencapai level tersebut (Guyton, dkk, 2006).

(14)

Gambar 3: Efek Perubahan Set-Point dari Pengaturan Suhu di Hipotalamus.

Dikutip dari: Guyton AC and Hall JE. Body Temperature, Temperature Regulation, and Fever. In: Schmitt W and Gruliow R (Ed.). Medical physiology guyton and hall 11th edition. Mississippi: Elsevier Saunders, 2006. p: 889 – 901.

Ada 4 reseptor dari PGE2, dan reseptor yang ke 3 lah yang berperan pada terjadinya demam. Meskipun PGE2 penting pada proses terjadinya demam, tapi PGE2 bukanlah neurotransmitter. Adapun demikian, pelepasan PGE2 dari endotelium hipotalamus akan merangsang reseptor PGE2 di sel glial dan hal ini akan menyebabkan pelepasan yang cepat dari

cyclic adenosine 5 - monophosphate (cyclic AMP), yang merupakan neurotransmitter. Cyclic AMP ini akan menyebabkan peningkatan termoregulator set-point di hipotalamus (Dinarello, dkk, 2005).

(15)

dan asam teichoic dari bakteri gram positif akan merangsang reseptor yang ada di endothelium hipotalamus (disebut reseptor Toll-like). Aktifasi langsung reseptor Toll-like ini akan menyebabkan produksi PGE2 dan demam (Dinarello, dkk, 2005).

Gambar 4: Skema terjadinya Demam.

Dikutip dari: Dinarello CA, Gelfand JA. Fever and Hyperthermia. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL and Jameson JL (Ed.). Harrison’s principles of internal medicine. New York: McGraw-Hill, 2005. p: 106.

4. PARASETAMOL DAN METAMIZOL 4.1. Parasetamol (Asetaminofen)

(16)

4.1.1. Mekanisme kerja

Cyclooxigenase (COX), enzim yang mengkonversi asam arakhidonat menjadi endoperoksida (precursor prostaglandin) mempunyai setidaknya 2 isoform: COX-1 dan COX-2. COX-1 terutama bekerja dalam sel-sel non inflamasi sementara COX-2 bekerja dalam limfosit, sel polimorfonuklear dan sel-sel inflamasi lainnya.Obat ini bekerja sebagai inhibitor yang lemah terhadap enzim COX-1 dan COX-2 di jaringan perifer, yang menyebabkan tidak adanya efek anti inflamasi. Bukti-bukti lain menunjukkan obat ini dapat menghambat enzim ketiga, COX-3, di susunan saraf pusat (Katzung, dkk, 2005).

4.1.2. Efek

Merupakan analgesik dan antipiretik, tanpa efek anti inflamasi dan antipletelet (Katzung, dkk, 2005).

4.1.3. Farmakokinetik dan Penggunaan klinis

(17)

parasetamol (3%) dan sebagian besar dalam bentuk terkonjugasi (Katzung, dkk, 2005; Wilmana PF, 2007).

4.1.4. Toksisitas

Dalam dosis terapeutik, toksisitasnya pada kebanyakan individu tidak ada. Namun pada pemakaian melebihi dosis atau pasien dengan gangguan fungsi hepar yang berat, obat ini merupakan hepatotoksin yang berbahaya (Katzung, dkk, 2005).

4.1.5. Kontraindikasi

Parasetamol dikontraindikasikan pada pasien dengan riwayat alergi terhadap obat ini. Perdarahan saluran cerna (dosis besar (> 2000 mg/ hari)). Efek iritasi, erosi dan perdarahan lambung tidak terlihat pada obat ini, demikian juga gangguan pernafasan dan keseimbangan asam basa. (Wilmana PF, 2007 ; García Rodríguez LA dan Hernández-Díaz S, 2000).

4.2. Metamizol

Metamizol adalah suatu nonsteroid anti-inflamatory drugs (NASID) dengan efek analgetik dan anti piretik. Metamizol berupa bubuk kristal berwarna putih atau keputihan, sangat mudah larut dalam air dan alkohol (Nikolova I, dkk. 2012).

4.2.1. Mekanisme kerja

(18)

COX, aktivasi dari sistem kontrol desending inhibitory, interaksi dengan sistem glutamatergik dan pelepasan peptida opioid endogen (Nikolova I, dkk. 2012).

Mekanisme neurokemikal yang mendasari efek antipiretik yang kuat dari metamizol tidak sepenuhnya diketahui, tapi ada bukti bahwa ia bekerja secara sentral pada pusat pengaturan suhu di hipotalamus dengan menghambat sintesa dari prostaglandin pada susunan saraf pusat dapat berkontribusi pada efek antipiretiknya. Namun Malvar dkk menunjukkan bahwa efek antipiretik dari metamizol tidak melalui mekanisme penghambatan sintesa prostaglandin E2 di hipotalamus. Sama halnya dengan pada nosiseptif, efek antipiretik dari metamizol masih belum di indentifikasi (Nikolova I, dkk. 2012).

4.2.2. Efek

Metamizol memiliki efek analgesik, antipiretik, anti inflamasi yang lemah dan efek spasmolitik pada otot polos (Nikolova I, dkk. 2012).

4.2.3. Farmakokinetik dan Penggunaan Klinis

(19)

4.2.4. Toksisitas

Metamizol berkaitan dengan agranulositosis yang fatal dengan

insidensi yang rendah. Pada subjek yang sensitif dapat terjadi kolaps,

terutama setelah pemberian injeksi. Karena itu obat ini sebaiknya dibatasi

untuk penanganan nyeri yang tidak dapat ditangani dengan analgesik lain

(Lüllmann H, 2000).

Gambar 5: Antipiretik: acetaminophen, acetylsalicilyc acid dan dipyrone (metamizol).

Dikutip dari Lüllmann H, Mohr K, Ziegler A, Bieger D. 2000. Calor Atlas of Pharmacology. 2nd edition. Georg Thieme Verlag. Stuggart

4.2.5. Kontra Indikasi

(20)

Tabel1: perbanding antara Parasetamol dan Metamizol

Parasetamol Metamizol Sumber

Sediaan Tablet: 500 mg/tablet Infus: 1000mg/100cc

Tablet: 500 mg/tablet Injeksi: 1000 mg/2cc/ampul

Wilmana PF, 2007

Dosis Tablet: 300-1000 mg/kali; maks 3 kali Infus: 1000 mg tiap 4-6 jam

Dosis Maksimal 4 gr/hari (dewasa)

Tablet: 300-1000 mg/kali; maks 3 kali Injeksi 1000 mg tiap 6-8 jam

Dosis maksimal 3 gr/hari (dewasa)

Wilmana PF, 2007

Cara pemberian iv Diberikan secara iv per infus dengan kecepatan 100 cc habis dalam 15 menit

Diberikan dengan injeksi iv secara bolus perlahan 1 ampul habis dalam 5 menit

Wilmana PF, 2007

Kadar Puncak (Tmax) Secara oral: dalam 30 menit Secara iv: dalam 15 menit

Secara oral: dicapai dalam 1-2 jam Secara iv: dicapai dalam ± 8 menit

Wilmana PF, 2007 dengan asam glukuronat dan asam sulfat.

Metabolitnya antara lain N

-acetylimidoquinone dan AM404.

Diekskresi terutama lewat ginjal.

Sediaan oral pertamakali dihidrolisis di saluran cerna menjadi metabolit aktifnya metylaminoantitypirine. Dihati dimetabolisme menjadi metabolit aktif kedua yaitu aminoantitypirine.

Sebagai besar diekskresi lewat ginjal

(21)

Tabel: perbanding antara Parasetamol dan Metamizol (lanjutan)

Parasetamol Metamizol

Sifat antipiretik Kadar dalam plasma: 10-20 mg/L Cara kerja:

menghambat COX terutama COX-2 sehingga pembentukan PGE2 menurun di hipotalamus ant.

Kadar dalam plasma: 10 mg/L Cara kerja:

Menghambat sintesa PGE2 di hipotalamus ant. dengan menghambat COX-3 (secara

in vitro tidak menghambat 1 & COX-2)

Wilmana PF, 2007 Nikolova I, dkk. 2012

Sifat analgesik Kadar dalam plasma: 10 mg/L Cara kerja:

Menghambat COX-1,2 terutama COX-2.

Metabolitnya AM404 menghambat reuptake

dari kanabinoid endogen (anandanmide)

Metabolit lainnya N-acetylimidoquinone

bekerja menghambat transduksi sinyal di

dorsal horne mengurangi nyeri

Kadar dalam plasma: 10 mg/L Cara kerja:

Menghambat COX-1,2

Aktivasi sistem desending inhibitory pain control system

Menstimulasi pelepasan endorphin-ᵦ dihipotalamus dan meningkatkan efek antinosiseptif dari endorphin

Wilmana PF, 2007 Nikolova I, dkk. 2012 Claesson A, 2013 Kofalvi A, 2008

Efek samping Keracunan akut (200-250 mg/kgBB) dapat menyebabkan nekrosis hati dan nekrosis tubuli renalis

Agranulositosis, enemia aplastik dan trombositopenia tapi sangat rendah.

(22)

60 demam terjadi pada 61% kasus stroke iskemik dan 91% stroke tubuh maka risiko relatif outcome

yang jelek meningkat 2,2 kali.

Hajat dkk, 2000: peningkatan suhu tubuh setelah onset stroke berkaitan dengan peningkatan mortalitas dan mobiditas

Saini, dkk, 2009: Tindakan yang agresif untuk mencegah dan mengobati hipertermia dapat meningkatkan outcome klinis.

Kallmünzer B, dkk, diberikan secara oral

(23)

61

BAB III

METODE PENELITIAN

STROKE

PARASETAMOL

METAMIZOL

HIPERTERMIA

Gambar

Gambar 1: Mekanisme Hilangnya Panas dari Tubuh.
Gambar 2: Bagian-bagian dari Hipotalamus.
Gambar 3: Efek Perubahan Set-Point dari Pengaturan Suhu di
Gambar 4:  Skema terjadinya Demam.
+2

Referensi

Dokumen terkait