i SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh:
Laurensia Utami Susanti NIM : 068114050
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
ii SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh:
Laurensia Utami Susanti NIM : 068114050
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
v
succeed…but it only applies to those who
try..
Kupersembahkan
untuk
Bapak
Ibu
Mas Wawan
Mas Indra
vii
“Optimasi Komposisi Etanol dan Air dalam Proses Maserasi Herba Pegagan (Centella asiatica[L.] Urban) dengan AplikasiSimplex Lattice Design”dengan baik.
Penyusunan skripsi ini dapat berjalan dengan baik karena adanya bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Rita Suhadi, M.Si., Apt., selaku dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.
2. Yohanes Dwiatmaka, M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, pengarahan, dukungan, waktu, kritik, dan saran selama proses penelitian hingga penyusunan skripsi ini.
3. Agatha Budi Susiana Lestari, M.Si., Apt., yang telah memberikan bimbingan dan dukungan selama proses penelitian dan penyusunan skripsi.
4. Jeffry Julianus, M.Si. selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan dan saran yang membangun bagi penulis.
5. Mas Wagiran, Mas Sigit, Mas Sarwanto, Mas Andri, Mas Bimo, Pak Parlan, Mas Kunto, Mas Agung, dan Mas Otok atas bantuan yang diberikan pada penulis selama penelitian berlangsung.
viii
membantu, memberikan kasih sayang dan dukungan.
9. Sahabat-sahabat mungilku, Yola, Dewi, dan Shinta yang telah bersama-sama mewujudkan persahabatan yang indah.
10. Teman-teman sekelompok yang telah berbagi suka dan duka, Nika, Pita, dan Rudi untuk kebersamaan yang penuh perjuangan dari awal hingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik.
11. Semua teman-teman FST A 2006, Yola, Shinta, Nika, Boim, Robby, Pita, Rudi, Dani, Adit, dan Aya, yang telah melalui hari-hari penuh keceriaan, kebersamaan, dan kerjasama yang baik selama ini.
12. Semua teman-teman Farmasi angkatan 2006 yang untuk dukungan dan kebersamaannya.
13. Anak-anak Kost Amakusa (Dewi, Herta, Metri, Dian, Yemi, Yohana, Ratih, Lia, Reta, Titin, Anna, Meli, Berta, Citra, Mayke, dan Adel).
ix
semoga skripsi ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi semua pihak yang membutuhkan.
Yogyakarta, 9 Maret 2010
xi
dilakukan optimasi komposisi etanol 96% dan air sebagai cairan penyari dalam proses maserasi herba pegagan dengan aplikasi Simplex Lattice Design. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan komposisi optimum etanol 96% dan air untuk mendapatkan ekstrak dengan kandungan asiatikosid terbesar. Asiatikosid merupakan zat aktif saponin triterpen pentasiklis yang diketahui dapat menunjukkan efek antiinflamasi.
Penelitian ini termasuk penelitian eksperimental murni menggunakan Simplex Lattice Design (SLD). Penelitian diawali dengan determinasi simplisia, pembuatan serbuk, dan penyarian secara maserasi. Maserasi dilakukan pada suhu 30°C, 40°C, dan 50°C. Analisis kualitatif maserat dengan KLT silika gel F254dan
fase gerak kloroform:metanol:air (65:25:4) serta deteksi bercak dengan pereaksi Liebermann-Burchard. Penetapan kadar asiatikosid dilakukan dengan mengukur luas area di bawah kurva (AUC) secara densitometri. Pengaruh suhu terhadap efisiensi ekstraksi dianalisis menggunakan ANOVA dengan tingkat kepercayaan 95%. Data kadar yang diperoleh dibuat persamaan SLD untuk tiap-tiap suhu. Validitas persamaan SLD diperoleh dengan menggunakan uji statistik F dengan taraf kepercayaan 95%.
Hasil menunjukkan bahwa suhu 30°C, 40°C, dan 50°C tidak berpengaruh pada kadar asiatikosid yang tersari dan etanol 96% merupakan cairan penyari optimum untuk mendapatkan kandungan asiatikosid terbesar dalam herba pegagan.
xii
optimization of 96% ethanol and water composition as solvents in the process of maceration of Centella asiatica herb with the application of Simplex Lattice Design. This research aims at discovering the optimum composition of 96% etanol and water to obtain extract with the most asiaticoside compound. Asiaticoside is an active substance of triterpenoid pentacyclic saponin compound which can show an anti-inflamatory effect.
This research is a pure experimental research using Simplex Lattice Design (SLD). The research starts with plant determination, powderisation, and maceration. Maceration is done in the temperature of 30°C, 40°C, and 50°C. Qualitative analysis of macerat is done using TLC silica gel F254 and the mobile
phase of chloroform:methanol:water (65:25:4) and detection of the spot with Liebermann-Burchard. The determination of asiaticoside concentration is done with measuring the area under curve densitometrically. The temperature effect upon the eficiency of extraction is analysed using ANOVA with confidence level of 95%. The data of the obtained level is equated with SLD for the respective temperature. The validity of SLD equation is obtained by using analysis of F statistics with confidence level of 95%.
The results show that the temperature of 30°C, 40°C, and 50°C do not affect on the concentration of asiaticoside and the 96% ethanol is the optimum solvent to obtain the most asiaticoside concentration inCentella asiaticaherb.
xiii
HALAMAN JUDUL ... ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
HALAMAN PENGESAHAN ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... vi
PRAKATA ... vii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... x
INTISARI ... xi
ABSTRACT ... xii
DAFTAR ISI ... xiii
DAFTAR TABEL ... xvii
DAFTAR GAMBAR ... xviii
DAFTAR LAMPIRAN ... xix
BAB I PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang ... 1
1. Perumusan Masalah ... 3
2. Keaslian Penelitian ... 4
3. Manfaat Penelitian ... 4
B. Tujuan Penelitian ... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 5
xiv
4. Kegunaan ... 7
B. Asiatikosid ... 8
C. Penyarian ... 9
D. Maserasi ... 11
E. Pengeringan ... 11
F. Simplex Lattice Design... 12
G. Kromatografi Lapis Tipis ... 13
H. Densitometri ... 16
I. Validasi Metode Analisis ... 19
J. Landasan Teori ... 20
K. Hipotesis ... 21
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 22
A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 22
B. Variabel dan Definisi Operasional ... 22
1. Klasifikasi Variabel ... 22
2. Definisi Operasional ... 22
C. Bahan Penelitian... 23
D. Alat Penelitian ... 23
E. Tata Cara Penelitian ... 24
xv
4. Analisis kualitatif asiatikosid... 25
5. Validasi metode analisis ... 25
6. Analisis kuantitatif asiatikosid dalam ekstrak herba pegagan 27 7. Analisis hasil... 27
8. Uji kualitas ekstrak herba pegagan ... 28
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 30
A. Determinasi Simplisia ... 30
B. Pembuatan Serbuk Simplisia Herba Pegagan ... 30
C. Pembuatan Ekstrak Herba Pegagan Secara Maserasi dengan Variasi Komposisi Etanol dan Air... 31
D. Analisis Kualitatif Asiatikosid ... 33
E. Validasi Metode Analisis Penetapan Kadar Asiatikosid dengan KLT Densitometri ... 35
1. Penetapan Linearitas ... 36
2. Penetapan Presisi ... 37
F. Analisis Kuantitatif Kadar Asiatikosid dalam Ekstrak Herba Pegagan secara KLT Densitometri in situ ... 38
G. Analisis Hasil ... 39
H. Penetapan Susut Pengeringan dan Kadar Abu ... 43
xvi
xvii
proses maserasi ... 24
Tabel II. Harga Rf baku asiatikosid dan sampel ekstrak dengan deteksi Liebermann-Burchard ... 35
Tabel III. Hasilscanningλ maksimum bercak asiatikosid... 36
Tabel IV. Hasil pengukuran seri kurva baku... 36
Tabel V. Data presisi asiatikosid... 38
Tabel VI. Kadar asiatikosid (µg/1 µg ekstrak) untuk masing-masing percobaan ... 39
Tabel VII. Hasil analisis dengan ANOVA... 40
Tabel VIII.Persamaan SLD... 41
Tabel IX. Perhitungan validitas persamaan SLD ... 41
Tabel X. Susut pengeringan ... 44
xviii
Gambar 2. Struktur asiatikosid ... 8 Gambar 3. Kromatogram baku asiatikosid dan ekstrak herba pegagan
hasil maserasi dengan suhu 30°C deteksi Liebermann-Burchard... 34 Gambar 4. Kurva baku hubungan antara massa asiatikosid dengan AUC
dengan persamaan y = 5612,2737 x – 275,3915... 37 Gambar 5. Respon proporsi etanol vs kadar asiatikosid hasil maserasi
pada suhu 30°C dengan persamaan Y = 0,2534 (X1) +
0,0075 (X2) – 0,15 (X1)(X2) ... 42
Gambar 6. Respon proporsi etanol vs kadar asiatikosid hasil maserasi pada suhu 50°C dengan persamaan Y = 0,1617 (X1) +
xix
Lampiran 2. Gambar kromatogram hasilscanningλmaksimum ... 52
Lampiran 3. Data penetapan linearitas baku asiatikosid ... 53
Lampiran 4. Data penimbangan penetapan presisi asiatikosid... 54
Lampiran 5. Data presisi asiatikosid... 55
Lampiran 6. Gambar kromatogram asiatikosid pada penetapan kadar asiatikosid herba gegagan ... 56
Lampiran 7. Hasil pengukuran kadar asiatikosid herba gegagan dengan proses maserasi pada suhu 30°C ... 57
Lampiran 8. Hasil pengukuran kadar asiatikosid herba gegagan dengan proses maserasi pada suhu 40°C ... 60
Lampiran 9. Hasil pengukuran kadar asiatikosid herba gegagan dengan proses maserasi pada suhu 50°C ... 63
Lampiran 10. Data kadar asiatikosid (µg/1 µg ekstrak) dengan proses maserasi pada suhu 30°C ... 66
Lampiran 11. Data kadar asiatikosid (µg/1 µg ekstrak) dengan proses maserasi pada suhu 40°C ... 67
Lampiran 12. Data kadar asiatikosid (µg/1 µg ekstrak) dengan proses maserasi pada suhu 50°C ... 68
Lampiran 13. One-way analysis of variance(Anova)... 69
xx
1
A. Latar Belakang
Pengobatan dengan bahan alam kembali menjadi pilihan yang berkembang di masyarakat, baik di Indonesia maupun di kawasan Asia lainnya. Bahan–bahan alam telah digunakan secara turun–temurun dan dipercaya memiliki efek samping yang relatif lebih ringan dibandingkan dengan obat sintetik. Beragam bahan alam tersebut saat ini juga gencar diteliti dan dieksplorasi demi peningkatan kesehatan masyarakat. Pegagan (Centella asiatica [L.] Urban) yang dikenal dengan rumput kaki kuda, banyak digunakan dalam produk jamu. Penelitian yang dilakukan Somchit (2004) menunjukkan bahwa pemberian ekstrak herba pegagan secara intraperitonial mengurangi PGE2 yang menginduksi edema pada cakar tikus. Efek
antiinflamasi ekstrak dengan konsentrasi 4 mg / kg sama dengan efek yang ditimbulkan asam mefenamat. Aktivitas antiinflamasi berbagai herba berhubungan erat dengan kandungan triterpen yang tinggi.
Untuk memudahkan penggunaannya, maka herba pegagan ini dibuat dalam
bentuk ekstrak. Pembuatan ekstrak antara lain dapat dilakukan secara infudasi,
maserasi, perkolasi, dan penyarian berkesinambungan. Metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah maserasi. Dilihat dari segi teknologi farmasinya, maserasi
merupakan pilihan metode yang tepat, karena proses operasional metode ini mudah
dilakukan dan menghasilkan ekstrak secara maksimal.
Dalam proses penyarian ditetapkan bahwa sebagai cairan penyari adalah air,
etanol, air-etanol, atau eter (Anonim, 1986). Langkah yang dapat dilakukan guna
meningkatkan penyarian biasanya digunakan campuran penyari antara etanol dan air.
Perbandingan jumlah etanol dan air tergantung pada bahan yang akan disari. Dari
pustaka dapat ditelusuri kandungannya baik zat aktif maupun zat lainnya sehingga
dapat dilakukan beberapa percobaan untuk mencari perbandingan pelarut yang tepat
(Anonim,1986).
Berdasarkan penelitian Pramono (2004), etanol merupakan pelarut yang
banyak menyari asiatikosid dari herba pegagan melalui cara maserasi, jika
dibandingkan dengan air. Baik herba pegagan yang diekstrak dengan air maupun
dengan etanol juga telah menunjukkan adanya efek antiinflamasi (Somchit, 2004).
Maka dalam penelitian ini dilakukan optimasi komposisi etanol dan air sebagai cairan
penyari pada herba pegagan dengan aplikasi Simplex Lattice Design. Melalui metode
ini dapat dikurangi trial and error dalam percobaan jika dibandingkan dengan
pada penelitian ini menggunakan suhu 30°C, suhu 400C, dan suhu 500C untuk
mengetahui apakah suhu dapat meningkatkan efisiensi ekstraksi.
Komposisi pelarut yang optimal dapat ditetapkan melalui kadar asiatikosid
yang terkandung dalam ekstrak tersebut. Kadar asiatikosid ini ditentukan dengan
metode KLT densitometri. Pemilihan fase diam dan fase gerak yang sesuai tentunya
dapat menghasilkan bercak asiatikosid yang terpisah dari kandungan lain dalam
ekstrak, sehingga besarnya kadar asiatikosid tersebut dapat ditentukan secara
kuantitatif dengan metode densitometri yang sebelumnya telah diuji validitasnya.
Diharapkan dengan ditemukannya komposisi optimum cairan penyari untuk
mendapatkan ekstrak dengan kandungan asiatikosid terbesar, dihasilkan juga ekstrak
herba pegagan yang lebih berkualitas.
1. Perumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, masalah yang muncul dapat dirumuskan sebagai
berikut :
a. Apakah suhu pada proses maserasi (30°C, 40°C, dan 50°C) memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap kadar asiatikosid yang tersari?
b. Berapakah komposisi optimum etanol dan air untuk mendapatkan ekstrak dengan
2. Keaslian Penelitian
Sejauh penelusuran pustaka oleh penulis, penelitian tentang optimasi
komposisi cairan penyari etanol dan air pada proses maserasi herba pegagan dengan
aplikasiSimplex Lattice Designbelum pernah dilakukan oleh peneliti lain.
3. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan,
khususnya dalam bidang kefarmasian sains teknologi mengenai optimasi
komposisi penyari pada proses maserasi herba pegagan dengan aplikasi Simplex
Lattice Design.
b. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat melengkapi informasi mengenai
komposisi cairan penyari optimal dalam proses maserasi herba pegagan untuk
mendapatkan ekstrak dengan kadar asiatikosid terbesar.
B. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui pengaruh suhu (30°C, 40°C, dan 50°C) pada proses maserasi
terhadap kadar asiatikosid yang tersari.
2. Menemukan komposisi optimum etanol dan air untuk mendapatkan ekstrak
5 A. Pegagan
1. Keterangan botani
Pegagan (Centella asiatica [L.] Urban) merupakan anggota dari famili
Apiaceae. Tanaman ini merupakan terna atau herba tahunan, tanpa batang tetapi
dengan rimpang pendek dan stolon-stolon yang melata, panjang 10 cm sampai 80
cm. Daun tunggal, tersusun dalam roset yang terdiri dari 2 sampai 10 daun,
kadang-kadang agak berambut; tangkai daun panjang sampai 5 cm, helai daun
berbentuk ginjal, lebar, dan bundar dengan garis tengah 1 cm sampai 7 cm,
pinggir daun beringgit sampai beringgit-bergerigi, terutama ke arah pangkal daun.
Perbungaan berupa payung tunggal atau 3 sampai 5 bersama-sama keluar dari
ketiak daun kelopak, gagang perbungaan 5 mm sampai 50 mm, lebih pendek dari
tangkai daun. Bunga umumnya 3, yang di tengah duduk, yang di samping
bergagang pendek; daun pelindung 2, panjang 3 mm sampai 4 mm, bentuk bundar
telur; tajuk berwarna merah lembayung, panjang 1 mm sampai 1,5 mm, lebar
sampai 0,75 mm. Buah pipih, lebar lebih kurang 7 mm dan tinggi lebih kurang 3
mm, berlekuk dua, jelas berusuk, berwarna kuning kecoklatan, berdinding agak
Gambar 1.Centella asiatica(L.) Urban (Anonim, 2009a) 2. Nama daerah
Sumatra : Pegaga (Aceh), daun kaki kuda, daun penggaga, penggaga, rumput kaki kuda, pegagan, kaki kuda (Melayu), pegago, pugago (Minangkabau). Jawa : cowet gompeng, antanan, antanan bener, antanan gede (Sunda), gagan-gagan, ganggangan, kerok batok, panegowang, panigowang, rendeng, calingan rambat, pacul gowang (Jawa), gan gagan (Madura). Nusa Tenggara : Bebele (Sasak), paiduh, panggaga (Bali), kelai lere (Sawo). Maluku : Sarowati (Halmahera), koloditi manora (Ternate). Sulawesi : pagaga, wisu-wisu (Makasar), cipubalawo (Bugis), hisu-hisu (Salayar). Irian : dogauke, gogauke, sandanan (Anonim, 1977).
3. Kandungan kimia
Kandungan utama dalam herba pegagan adalah triterpen asam asiatat dan asam madekasat, serta glikosida turunan triterpen ester yaitu asiatikosida dan madekasosida (Anonim, 1999).
Herba pegagan mengandung minyak atsiri dalam jumlah sedikit, sterol, glikosida flavonol, polialkena, saponin (asiatikosid 0,3%, madekasosid 1,5-2%) (Bruneton, 1999).
4. Kegunaan
B. Asiatikosid
Gambar 2. Struktur asiatikosid (Anonim, 2009a)
Asiatikosid merupakan senyawa glikosida triterpenoid yang berasal dari tanaman pegagan. Glikosida adalah senyawa yang bila terhidrolisis menghasilkan molekul gula (glikon) dan senyawa bukan gula (a-glikon). Terpen merupakan senyawa hidrokarbon jenuh atau tak jenuh dengan jumlah atom C merupakan kelipatan lima. Selanjutnya senyawa terpen digolongkan atas dasar jumlah atom C penyusunnya. Istilah terpen diganti dengan terpenoid mengingat senyawa hidrokarbon tersebut mempunyai gugus fungsional yang mengandung atom O. Triterpenoid merupakan terpenoid dengan jumlah atom C sebanyak 30 (Mursyidi, 1990).
menyebabkan cedera maupun jaringan yang cedera (Anonim, 1998). Total triterpenoid yang mengandung asiatikosid, asam asiatik, madekosid, dan asam madekasat secara signifikan dapat memproduksi kolagen dan memperbaiki masalah kulit (Kormin, 2005).
Asiatikosid memiliki kelarutan yang baik dalam alkohol dan sedikit larut dalam air. Asiatikosid memiliki titik lebur 235°C - 238°C. Asiatikosid ini relatif stabil dalam penyimpanan yang sesuai, yaitu dijauhkan dari pengaruh sinar matahari langsung (Anonim, 2009c).
C. Penyarian
Penyarian adalah kegiatan penarikan zat yang dapat larut dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair, proses ini menghasilkan ekstrak. Ekstrak adalah sediaan kering, kental, atau cair dibuat dengan menyari simplisia atau nabati menurut cara yang cocok, di luar pengaruh cahaya matahari secara langsung (Anonim, 1979). Simplisia yang disari mengandung zat aktif yang dapat larut dan zat yang tidak dapat larut seperti serat, karbohidrat, protein, dan lain-lain (Anonim, 1986). Proses penyarian dapat dibagi menjadi beberapa tahap yaitu : pembuatan serbuk, pembasahan, penyarian dan pemekatan (Anonim, 1986).
Dalam proses penyarian ditetapkan bahwa sebagai cairan penyari adalah air, etanol, air-etanol, atau eter. Langkah yang dapat dilakukan guna meningkatkan penyarian biasanya digunakan campuran penyari antara etanol dan air. Perbandingan jumlah etanol dan air tergantung pada bahan yang akan disari. Dari pustaka dapat ditelusuri kandungannya baik zat aktif maupun zat lainnya sehingga dapat dilakukan beberapa percobaan untuk mencari perbandingan pelarut yang tepat (Anonim,1986).
Penyarian dipengaruhi oleh : a. Derajat kehalusan serbuk
D. Maserasi
Maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana. Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut. Karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan yang di luar sel, maka larutan yang terpekat didesak ke luar. Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar dan di dalam sel.
Maserasi digunakan untuk menyari simplisia yang mengandung zat aktif yang mudah larut dalam cairan penyari, tidak mengandung benzoin, stirak, dan bahan sejenis yang mudah mengembang. Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana dan mudah diusahakan. Namun cara maserasi juga memiliki kekurangan yaitu pengerjaannya lama. Penyarian dengan cara maserasi perlu dilakukan pengadukan. Pengadukan diperlukan untuk meratakan konsentrasi di luar butir serbuk simplisia, sehingga dengan pengadukan tersebut tetap terjaga adanya derajat perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam dengan di luar sel (Anonim, 1986).
E. Pengeringan
selama bahan simplisia tersebut masih mengandung air tertentu (Anonim, 1985).
Dari hasil penelitian diketahui bahwa reaksi enzimatis tidak berlangsung bila kadar air dalam simplisia kurang dari 10%, dengan demikian proses pengeringan sudah dapat menghentikan proses enzimatik dalam sel. Penghentian reaksi peruraian enzimatik akan mencegah penurunan mutu atau perusakan simplisia, sehingga simplisia tersebut dapat disimpan dalam waktu yang lama (Anonim, 1985).
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam proses pengeringan adalah suhu pengeringan, kelembaban udara, waktu pengeringan, dan luas permukaan bahan. Suhu pengeringan tergantung dari bahan simplisia dan cara pengeringannya. Bahan simplisia dapat dikeringkan pada suhu 30°-900C, tetapi suhu yang terbaik adalah tidak melebihi 600C (Anonim, 1985).
F. Simplex Lattice Design
Simplex Lattice Design merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk mendapatkan formula optimum dari suatu campuran. Dalam desainnya, jumlah total bagian komposisi campuran dibuat tetap, yaitu sama dengan satu (Bolton, 1997).
DalamSimplex Lattice Designakan dihasilkan suatu persamaan : Y=a(A)+b(B)+ab(A)(B)...(1) Keterangan :
A = kadar proporsi komponen A B = kadar proporsi komponen B
a, b, ab = koefisien yang dihitung dari hasil percobaannya (Bolton, 1977). Persamaan Simplex Lattice Design di atas untuk 2 komponen bisa diperoleh dengan 3 percobaan. Total konsentrasi A dan B harus 100%. Percobaan I menggunakan 100% komponen A, percobaan II menggunakan 100% komponen B, serta percobaan III menggunakan 50% komponen A dan 50% komponen B (Bolton, 1997). Pada penggunaan etanol sebagai salah satu komponen dalam percobaan, konsentrasi 100% komponen tersebut diperoleh dari etanol 96%. Etanol 100% tidak terdapat di pasaran.
Berdasarkan persamaan yang didapat maka dapat diprediksikan jumlah zat yang terlarut pada campuran dengan komposisi tertentu, sehingga dapat digambarkan profil antara campuran biner pelarut terhadap jumlah zat yang terlarut. Berdasarkan profil tersebut, maka secara teoritis dapat diprediksi bahwa campuran pelarut dengan beberapa bagian pelarut A dan beberapa bagian pelarut B dapat menghasilkan jumlah zat terlarut secara optimal (Bolton, 1997).
G. Kromatografi Lapis Tipis
ditotolkan berupa bercak atau pita (awal). Setelah pelat atau lapisan ditaruh di dalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang yang cocok (fase gerak), pemisahan terjadi secara kapilaritas. Selanjutnya senyawa yang tidak berwarna harus ditampakkan (dideteksi) (Stahl, 1985).
Fase gerak ialah medium angkut dan terdiri atas satu atau beberapa pelarut. Pelarut bergerak di dalam fase diam, yaitu suatu lapisan berpori, karena ada gaya kapiler. Fase gerak dapat berupa hampir segala macam pelarut atau campuran pelarut. Pada kromatografi jerap, pelarut pengembang dapat dikelompokkan ke dalam deret eluotropik berdasarkan sifat elusinya. Misalnya, heksana nonpolar mempunyai efek elusi lemah, kloroform cukup kuat, dan metanol yang polar efek elusinya kuat. Tetapan dielektrik memberi informasi mengenai kepolaran suatu senyawa. Laju rambat tergantung pada viskositas pelarut dan tentu juga pada struktur lapisan (misalnya butiran penjerap) (Stahl, 1985).
Silika gel merupakan fase diam yang paling banyak digunakan dalam KLT. Material ini dapat langsung digunakan atau dicampur dengan pengikat misalnya kalsium sulfat (CaSO4) untuk membuat lapisan yang lebih kohesif.
Bila digunakan pengikat maka pada namanya diberi tanda G, misalnya silika gel G, dan bila dicampur dengan indikator fluoresensi diberi tanda F, misalnya silika gel GF (Stahl,1985).
memisahkan molekul yang mempunyai satu dan atau dua gugus fungsi.
Pelarut dapat diubah-ubah komposisinya dalam pencampurannya agar diperoleh kepolaran yang tepat untuk pemisahan tertentu, biasanya dengan menggunakan deret eluotropi sebagai pedoman. Tiga faktor yang harus kita ingat ketika mencampur pelarut untuk membuat pengembang campuran. Faktor pertama ialah bahwa hanya pelarut yang mempunyai kepolaran yang serupa yang dapat dicampur. Faktor kedua ialah bahwa kepolaran campuran tidak merupakan fungsi linier dari susunan campuran tetapi merupakan fungsi logaritma. Akhirnya, harus diingat bahwa kita dapat memakai landaian antara dua pelarut pada beberapa metode (Gritter, 1991).
Penotolan dimulai 1,5 cm dari tepi pelat bagian bawah, jarak antara 2 totolan 1cm dan diameter totolan 2-5mm. Sampel ditotolkan pada pelat yang sudah dilapisi dengan menggunakan mikropipet atau syringe dengan volume penotolan 1-5µl (Gritter, 1991).
Pengembangan merupakan proses pemisahan campuran cuplikan akibat pelarut pengembang merambat naik dalam lapisan. Jarak pengembangan normal yaitu jarak antara mulai penotolan dan hingga batas perambatan adalah 10 cm. Di samping larutan cuplikan selalu ada larutan pembanding yang dikromatografi pada saat bersamaan. Campuran ini terdiri dari 1-5 senyawa yang diketahui dengan konsentrasi yang diketahui pula (Gritter, 1991).
dilakukan dengan cara fisika dan kimia. Cara fisika yaitu dengan melihat senyawa berfluoresensi di bawah lampu UV atau melihat senyawa tidak berfluoresensi dengan latar belakang berfluoresensi. Adapun cara kimia yaitu dilakukan penyemprotan dengan substansi kimia yang akan memberikan noda atau bercak baik yang terlihat pada cahaya tampak ataupun sebagai noda yang tampak pada lampu ultraviolet (Hardjono, 1983).
Deteksi paling sederhana adalah jika senyawa menunjukkan penyerapan di daerah UV gelombang pendek (radiasi utama kira-kira 254 nm) atau jika senyawa ini dapat dieksitasi ke fluoresensi radiasi UV gelombang pendek dan atau gelombang panjang (365 nm). Jika dengan kedua cara ini senyawa tidak dapat dideteksi maka harus dicoba dengan reaksi kimia. Pertama tanpa pemanasan lalu bila perlu dengan pemanasan (Stahl, 1985).
Jarak pengembangan senyawa pada kromatogram biasanya dinyatakan dengan angka Rfatau hRf
Angka Rf berjarak antara 0,00 dan 1,00 dan hanya dapat ditentukan
dua desimal. hRfialah angka Rfdikalikan faktor 100 (Stahl, 1985).
H. Densitometri
kerapatan bercak senyawa standar yang dielusi bersama-sama. Syarat-syarat untuk senyawa standar adalah murni, inert, dan stabil (Hardjono, 1983).
Metode densitometri mempunyai cara kerja yang sederhana dan cepat. Pada metode densitometri diperlukan adsorben dan fase gerak yang murni. Bercak kecil dan intensif akan menghasilkan suatu puncak kurva absorbsi yang sempit dan tajam, sebaliknya bercak yang lebar akan menghasilkan puncak kurva absorbsi yang melebar dan tumpul.
Teknik pengukuran dapat didasarkan atas pengukuran intensitas sinar yang diserap (absorbansi) atau intensitas sinar yang difluoresensikan (fluoresensi). Kebanyakan pengukuran kromatogram lapis tipis dilakukan dengan cara absorbansi. Untuk scanning dengan fluoresensi, intensitas yang diukur berbanding dengan banyaknya senyawa yang berfluoresensi. Pengukuran dengan fluoresensi lebih sensitif dibanding dengan pengukuran absorbansi (Rohman, 2009).
Penelusuran bercak dapat dilakukan secara horizontal maupun vertikal (scanning horizontal atau scanning vertikal). Penelusuran bercak secara horizontal dapat dilakukan satu per satu, atau apabila satu pelat bercak yang diperoleh segaris semua, maka dapat dilakukan penelusuran untuk semua bercak sekaligus. Sedangkan cara penelusuran vertikal, hanya dapat dilakukan satu per satu.
Pada penelusuran bercak horizontal dengan penelusuran beberapa bercak sekaligus hanya dapat dilakukan apabila bercak-bercak tersebut benar-benar dalam satu baris. Cara ini akan mengalami kesulitan jika bercak yang sangat dekat dengan bercak yang ditetapkan karena ada kemungkinan bercak yang tidak diinginkan ikut pula ditetapkan. Besarnya jarak, naik turunnya sinar dapat diatur menurut kebutuhan, yang diperhitungkan dengan besar kecilnya bercak, yang dalam operasi alat dikenal sebagai lebar penelusuran (scan width).
Penelusuran bercak akan mendapatkan hasil yang baik apabila dilakukan pada panjang gelombang yang menghasilkan serapan maksimum, karena perubahan konsentrasi pada bercak sedikit saja sudah terdeteksi. Pengukuran dilakukan dengan menelusuri bercak yang akan ditetapkan kadarnya pada kisaran panjang gelombang zat tersebut.
kompaknya fase diam sedangkan puncak yang kasar disebabkan permukaan plat yang kurang rata.
Pada setiap kali penetapan dengan densitometer sediaan baku dari senyawa yang bersangkutan ditotolkan dan dielusi bersama dalam satu lempeng, kemudian area di bawah kurva atau Area Under Curve (AUC) sampel dibandingkan dengan harga AUC zat baku. Bercak yang diperoleh dari pengembangan pada plat perlu ditambahkan reagen yang sesuai yang berfungsi untuk mengetahui posisi, struktur, dan ukuran kromatogram yang akan diukur secara densitometri. Jika nilai Rf antara baku dengan senyawa
yang bersangkutan sama dan menunjukkan ukuran yang sama, maka hal tersebut memberikan indikasi bahwa jumlah senyawa tersebut sama dengan baku (Jork, 1990).
I. Validasi Metode Analisis
Validasi metode analisis diartikan sebagai suatu prosedur yang digunakan untuk membuktikan bahwa metode analisis tersebut dapat memberikan hasil seperti yang diharapkan dengan kecermatan dan ketelitian yang memadai. Ada berbagai parameter untuk menilai apakah suatu metode valid atau tidak, di antaranya:
1. Presisi
biasanya dinyatakan dengan koefisien variasi atau CV. Nilai CV yang memenuhi persyaratan presisi yang baik apabila kurang dari 2 (Mulja dan Hanwar, 2003).
2. Linearitas
Linearitas dari suatu prosedur analisis merupakan kemampuannya untuk mendapatkan hasil uji yang secara langsung proporsional dengan konsentrasi (jumlah) analit di dalam sampel. Persyaratan data linearitas yang bisa diterima jika memenuhi nilai koefisien korelasi (r) > 0,99 (Anonim, 2004a).
J. Landasan Teori
Pegagan adalah salah satu bahan alam yang saat ini giat dieksplorasi. Kandungan zat aktif ekstrak herba pegagan yaitu asiatikosid, yang merupakan zat aktif saponin triterpen pentasiklis, diketahui dapat menghambat proses inflamasi. Pembuatan ekstrak pegagan ini dilakukan dengan cara maserasi. Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana dan mudah diusahakan. Namun cara maserasi juga memiliki kekurangan yaitu pengerjaannya yang lama. Langkah yang dapat dilakukan guna meningkatkan penyarian biasanya digunakan campuran penyari antara etanol dan air. Asiatikosid memiliki kelarutan yang baik dalam etanol dan sedikit larut dalam air.
tersari. One-way analysis variance (ANOVA) dapat diaplikasikan untuk membandingkan pengaruh suhu yang berbeda terhadap efisiensi proses maserasi yang diketahui berdasarkan kadar asiatikosid yang tersari. Kadar asiatikosid dalam ekstrak tersebut ditentukan dengan metode KLT densitometri, dengan mengukur luas area di bawah kurva (AUC) yang dibandingkan dengan AUC asiatikosid baku. Komposisi optimum cairan penyari untuk mendapatkan ekstrak dengan kandungan asiatikosid terbesar diketahui melalui aplikasiSimplex Lattice Design.
K. Hipotesis
1. Peningkatan suhu dalam proses maserasi akan memberikan energi yang lebih besar sehingga efisiensi ekstraksi meningkat. Hal tersebut akan berpengaruh pada kadar asiatikosid yang tersari.
22
Penelitian ini termasuk dalam penelitian eksperimental murni karena adanya
intervensi atau perlakuan terhadap subjek uji dengan metodeSimplex Lattice Design.
B. Variabel dan Definisi Operasional
1. Klasifikasi Variabel
a. Variabel Bebas
Komposisi etanol dan air masing-masing 12,5 ml, 25 ml, 37,5 ml, dan 50 ml.
Suhu ekstraksi menggunakan suhu 300C, 40°C, dan 500C.
b. Variabel Tergantung
Kadar asiatikosid (µg/1 µg ekstrak) yang tersari dari herba pegagan melalui
proses maserasi.
c. Variabel Pengacau Tak Terkendali
Lama dan proses pengeringan simplisia setelah dipanen.
2. Definisi Operasional
a. Maserasi dilakukan dengan pengadukan mekanik selama 24 jam.
b. Ekstrak herba pegagan merupakan ekstrak yang didapatkan dari hasil
maserasi dengan variasi komposisi etanol dan air yang berasal dari serbuk
c. Etanol yang digunakan dalam penelitian ini adalah etanol 96%.
d. Air yang dimaksud dalam penelitian ini adalah akuades.
e. Komposisi optimum cairan penyari adalah komposisi di mana variasi etanol
dan air menghasilkan ekstrak dengan kadar asiatikosid terbesar.
C. Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: simplisia herba
pegagan yang diperoleh dari Merapi Farma, baku asiatikosid berupa TECA (titrated
extracts of Centella asiatica) dengan komposisi asiatikosid 41,68% dan asam
asiatikat-asam madekasat 61,96%, etanol 96% teknis, akuades, silika gel F254
precoated (E. Merck), pereaksi Liebermann-Burchard, metanol (p.a., E. Merck),
kloroform (p.a., E. Merck).
D. Alat Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: alat-alat gelas,grinder,
neraca analitik (Precision Balance, model GB-3002, Mettler Toledo), shaker
inkubator (Zhicheng ZHWY-100C), vaccum rotary evaporator (Janke & Kunkel
Kika-Labortechnik, RV 05-ST), oven, chamber, mikropipet 0,5-10 µl (Socorex),
E. Tata Cara Penelitian
1. Determinasi simplisia pegagan
Determinasi simplisia pegagan dilakukan oleh Merapi Farma Herbal, Kaliurang.
2. Pembuatan serbuk simplisia herba pegagan
a. Sortasi Kering
Sortasi kering dilakukan dengan cara memisahkan herba pegagan dari
pengotor lain, seperti adanya rumput, tanah, atau kerikil.
b. Pembuatan serbuk
Herba tanaman pegagan hasil sortasi dikeringkan di bawah sinar matahari
secara tidak langsung. Setelah bahan kering, diserbuk menggunakan grinder
(mesin penyerbuk).
3. Pembuatan ekstrak herba pegagan secara maserasi dengan variasi
komposisi etanol dan air
Ekstrak dibuat secara maserasi, menggunakan pelarut dengan berbagai komposisi
(Tabel I).
Tabel I. Perbandingan komposisi etanol dan air yang digunakan pada proses maserasi
Percobaan Etanol 96% (ml) Air (ml)
I 50 0
II 37,5 12,5
III 25 25
IV 12,5 37,5
Lima gram (satu bagian) serbuk herba pegagan dimasukkan ke dalam maserator,
ditambah 10 bagian pelarut, diaduk terus selama 24 jam. Suhu yang digunakan
saat maserasi adalah 300C, 40°C, dan 500C. Maserat dipisahkan dan proses
maserasi diulang 2 kali dengan prosedur yang sama. Semua maserat dikumpulkan
dan diuapkan dengan penguap vakum hingga diperoleh ekstrak kental. Replikasi
dilakukan sebanyak 3 kali.
4. Analisis kualitatif asiatikosid
Analisis kualitatif kandungan asiatikosid dilakukan dengan KLT menggunakan
fase diam silika gel F254 dan fase gerak kloroform:metanol:air (65:25:4). Pelat
KLT tersebut kemudian disemprot dengan pereaksi Liebermann-Burchard,
dipanaskan dalam oven pada temperatur 105ºC selama 10 menit.
5. Validasi metode analisis
a. Pembuatan larutan baku
Larutan baku TECA 4 mg/ml dibuat dengan menimbang kurang lebih
seksama 20 mg baku TECA dan dimasukkan ke dalam labu ukur 5,0 ml dan
diencerkan dengan metanol hingga tanda.
b. Penentuan panjang gelombang serapan maksimum
Panjang gelombang yang menghasilkan serapan maksimum (panjang
gelombang serapan maksimum) ditentukan dengan cara menelusuri 3 bercak
(dengan konsentrasi rendah, tengah, dan tinggi) pada panjang gelombang 200
c. Pembuatan kurva baku dan penetuan linearitas kadar asiatikosid
Larutan baku TECA (4 mg/ml) ditotolkan pada lempeng silika gel F254dengan
pipa mikro kapiler, dengan jumlah totolan masing-masing 1µl, 2µl, 4µl, 6µl,
dan 8µl, di mana masing-masing totolan tersebut mengandung seri jumlah
asiatikosid sebanyak 1,6672 µg; 3,3344 µ g; 6,6688 µg; 10,0032 µg; dan
13,3376 µg. Kemudian dielusi dengan fase gerak kloroform:metanol:air
(65:25:4) dengan jarak pengembangan 15 cm. Selanjutnya dilakukan
pengukuran luas area di bawah kurva (AUC) bercak menggunakan metode
densitometri. Kemudian ditentukan persamaan kurva baku y = Bx + A antara
seri baku dengan luas area dan ditentukan pula linearitas asiatikosid (nilai r).
Replikasi dilakukan 3 kali.
d. Penentuan presisi
Larutan baku TECA (4 mg/ml) yang direplikasi 3 kali ditotolkan pada pelat
KLT yang sama sebanyak 1 µl. Kemudian dielusi dengan fase gerak
kloroform:metanol:air (65:25:4). Selanjutnya dilakukan pengukuran luas area
di bawah kurva (AUC) bercak menggunakan metode densitometri.
Presisi ditentukan dengan nilai koefisien variasi (CV).
6. Analisis kuantitatif asiatikosid dalam ekstrak herba pegagan
Ditimbang 100 mg ekstrak, dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan dilarutkan
dalam 1 ml metanol. Masing-masing sebanyak 2 l larutan uji dan larutan TECA baku dalam metanol dengan konsentrasi yang berbeda ditotolkan. Pemisahan
dilakukan dengan KLT dengan fase diam silika gel F254 dan fase gerak
kloroform:metanol:air (65:25:4). Kadar asiatikosid diketahui dengan
memasukkan luas area di bawah kurva (AUC) bercak yang ditetapkan dengan
metode densitometri sebagai nilai Y dalam persamaan kurva baku.
7. Analisis Hasil
a. One-way analysis of variance(ANOVA)
Data kuantitatif kadar asiatikosid herba pegagan yang diperoleh dianalisis
menggunakan Anova untuk membandingkan pengaruh suhu terhadap efisiensi
ekstraksi, yaitu berdasar respon kadar asiatikosid yang diperoleh dari
masing-masing suhu. Untuk dapat dianalisis dengan Anova, data harus memenuhi
syarat yaitu distribusinya normal.
Sebelumnya ditentukan terlebih dahulu, hipotesis alternatif (Hi) yang
menyatakan bahwa rata-rata kadar asiatikosid dari suhu 30°C, 40°C, dan 50°C
berbeda, sedangkan H0 merupakan negasi dari Hi yang menyatakan rata-rata
kadar asiatikosid dari suhu 30°C, 40°C, dan 50°C tidak berbeda. Hi diterima
dan H0 ditolak bila harga F hitung lebih besar dari F tabel. F tabel diperoleh
bebas dan interaksi sebagai numerator yaitu 2, dan derajat bebasexperimental
error sebagai denominator yaitu 12, sehingga diperoleh harga F tabel untuk
interaksi pada semua respon adalah F0,05(2,12)= 3,68.
b. Analisis hasil kadar asiatikosid denganSimplex Lattice Design
Data kadar asiatikosid dari tiap percobaan dianalisis dengan pendekatan
Simplex Lattice Design untuk menghitung koefisien a, b, ab sehingga
didapatkan persamaan Y = a(A) + b(B) +ab(A)(B). Dari persamaan ini
kemudian dapat dibuat suatu profil yang menggambarkan sifat fisik dengan
berbagai komposisi etanol dan air. Hasil profil yang diperoleh berdasarkan
rumus digunakan untuk menentukan komposisi cairan penyari yang optimal.
Tiap persamaan yang diperoleh dari tiap formula dihitung validitasnya
menggunakan metode statistik, yaitu uji F dengan taraf kepercayaan 95%.
8. Uji kualitas ekstrak herba pegagan
a. Penentuan susut pengeringan
Ekstrak ditimbang secara seksama sebanyak 1 g dan dimasukkan ke dalam
botol timbang dangkal bertutup yang sebelumnya telah dipanaskan pada suhu
1050C selama 30 menit dan telah ditara. Sebelum ditimbang, ekstrak diratakan
dalam botol timbang dengan bantuan pengaduk hingga merupakan lapisan
setebal lebih kurang 5 mm sampai 10 mm. Kemudian dimasukkan ke dalam
bobot tetap. Sebelum setiap pengeringan, botol dibiarkan dalam keadaan
tertutup mendingin dalam desikator hingga suhu kamar (Anonim, 2000).
Botol timbang kembali dimasukkan ke dalam oven dan setiap 1 jam
ditimbang sampai perbedaan antara 2 penimbangan berturut-turut tidak lebih
dari 0,25% (Anonim, 1995).
Kandungan lembab ditentukan dengan rumus :
Kandungan lembab
b. Penetapan kadar abu
Lebih kurang 2g ekstrak yang telah digerus dan ditimbang seksama,
dimasukkan ke dalam krus silikat yang telah dipijarkan dan ditara, kemudian
diratakan. Ekstrak tadi dipijarkan perlahan-lahan hingga arang habis,
didinginkan, kemudian ditimbang hingga tercapai bobot tetap. Kadar abu
30
Pada penelitian ini simplisia yang digunakan didapatkan dari industri jamu
godhog Merapi Farma Herbal di daerah Kaliurang. Keaslian simplisia dibuktikan
dengan adanya surat keterangan resmi dari industri jamu godhog Merapi Farma
Herbal (lampiran 1). Menurut keterangan, simplisia yang digunakan adalah Centella
asiatica yang berasal dari daerah Magelang. Determinasi yang telah dilakukan oleh
Merapi Farma Herbal tersebut memberikan kepastian bahwa simplisia yang
digunakan sesuai dengan yang dimaksud, juga untuk menghindari terjadinya
kekeliruan terhadap simplisia lain.
B. Pembuatan Serbuk Simplisia Herba Pegagan
Herba pegagan yang telah disortasi kering selanjutnya dikeringkan. Bagian
yang digunakan adalah keseluruhan herba pegagan, karena kandungan kimia utama
dari tanaman ini terdapat di seluruh bagian herba (Anonim, 2009a).
Pengeringan dimaksudkan untuk mendapatkan simplisia yang tidak mudah
rusak sehingga dapat disimpan lebih lama, sebab dalam pengeringan ini terjadi
pengurangan kadar air sampai tingkat tertentu dan reaksi enzimatik akan terhenti.
kain hitam bertujuan untuk mencegah terjadinya perubahan atau dekomposisi
kandungan kimia dalam tanaman itu sendiri.
Simplisia yang telah kering tersebut selanjutnya diserbuk dengan
menggunakan grinder (mesin penyerbuk) dengan ayakan nomor mesh 50 agar
diperoleh serbuk halus. Penyarian akan bertambah baik bila permukaan serbuk
simplisia yang bersentuhan dengan cairan penyari makin luas. Kontak yang luas
dengan cairan penyari terjadi karena serbuk berukuran kecil. Dengan ukuran yang
kecil, maka luas permukaan spesifiknya meningkat.
Kemudian serbuk disimpan dalam wadah tertutup rapat agar melindungi isi
dari masuknya debu maupun partikel lain. Selain itu, juga untuk mencegah
kehilangan bahan selama penyimpanan. Silica gel ditambahkan dalam wadah untuk
mencegah masuknya lembab ke dalam serbuk.
C. Pembuatan Ekstrak Herba Pegagan Secara Maserasi dengan Variasi
Komposisi Etanol dan Air
Ekstrak dibuat secara maserasi dengan cara merendam serbuk dalam etanol
dan air dengan perbandingan tertentu. Cairan penyari yang digunakan adalah etanol
dan air. Aglikon triterpen dari asiatikosida bersifat nonpolar lebih larut dalam etanol
(Pramono, 2004). Menurut penelitian Somchit (2004), disebutkan bahwa asiatikosid
juga dapat diekstraksi dengan air. Asiatikosid mengandung glikosida yang bersifat
penyari antara etanol dan air dalam maserasi dengan adanya perbandingan etanol dan
air tertentu sesuai dengan metodeSimplex Lattice Design(SLD).
Suhu yang digunakan dalam proses maserasi adalah suhu 300C, 40°C, dan
500C untuk mencegah penguapan dari cairan penyari. Perendaman akan
menyebabkan cairan penyari menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel
yang mengandung zat aktif. Zat aktif akan larut karena adanya sifat like dissolve like
dengan penyari yang digunakan. Pada maserasi ini dilakukan pengadukan untuk
meratakan kontak antara serbuk dengan cairan penyari. Kontak yang cukup besar dan
merata menghasilkan penarikan zat aktif yang lebih optimal, sehingga asiatikosid
dapat tersari secara merata di seluruh bagian pelarut yang digunakan dalam proses
maserasi.
Setelah dimaserasi selama 24 jam, larutan disaring untuk mendapatkan
maserat. Proses maserasi dilakukan dua kali dengan tujuan untuk mengoptimalkan
penarikan asiatikosid yang ada di dalam serbuk herba pegagan. Maserat yang
dihasilkan selanjutnya dikeringkan. Suhu yang digunakan saat pengeringan tidak
lebih dari 50°C, hal ini dilakukan untuk mencegah rusaknya zat aktif yang
terkandung dalam ekstrak.
Ekstrak yang memiliki kandungan air yang lebih besar bersifat lebih liat dan
basah jika dibandingkan dengan ekstrak yang kandungan etanolnya lebih besar. Hal
D. Analisis Kualitatif Asiatikosid
Analisis kualitatif dilakukan dengan menggunakan Kromatografi Lapis Tipis
(KLT). Tahap ini dilakukan untuk memastikan bahwa ekstrak yang dihasilkan
mengandung asiatikosid, dengan membandingkan bercak baku asiatikosid dengan
bercak yang dihasilkan pada ekstrak, melalui nilai Rf.
Fase diam yang digunakan adalah silika gel F254yang bersifat polar, karena
silika gel F254disusun oleh silanol yang bersifat polar. Silika gel F254merupakan fase
diam yang cocok digunakan untuk pemisahan senyawa terpenoid. Fase gerak yang
digunakan adalah kloroform: metanol: air (65:25:4) dengan sifat kepolaran campuran
yang lebih lemah daripada fase diam, sehingga dapat mengelusi asiatikosid yang
bersifat nonpolar. Penggunaan campuran dari ketiga komponen fase gerak ini
bertujuan untuk mendapatkan pemisahan yang optimum, sehingga asiatikosid dapat
terpisah dengan bercak lainnya.
Analisis kualitatif asiatikosid dilakukan dengan menotolkan sampel ekstrak
dan baku asiatikosid pada lempeng silika gel F254 yang sama, kemudian dielusi
dengan fase gerak kloroform: metanol: air (65:25:4) yang telah dijenuhkan
sebelumnya. Pendeteksian bercak dilakukan dengan pereaksi semprot
Liebermann-Burchard (LB). Melalui pereaksi semprot LB dapat dideteksi adanya senyawa yang
merupakan golongan triterpenoid yang ditunjukkan dengan timbulnya bercak
berwarna biru-ungu setelah dipanaskan dengan oven pada suhu 105°C. Selain itu,
bercak dari asiatikosid yang tidak memiliki kromofor ini, sehingga AUC-nya dapat
ditetapkan dengan densitometer (Jork, 1990).
Asiatikosid merupakan bercak yang kedua (2). Baku yang digunakan dalam
penelitian ini adalah TECA yang terdiri atas asiatikosid, asam madekasat, dan asam
asiatikat dengan komposisi asiatikosid yang terbesar yaitu 41,68% (Soegiharjo,
1995). Penentuan bercak asiatikosid ini berdasarkan pada luas bercak yang terbesar di
antara ketiga bercak yang muncul (Gambar 3).
(3)
(2)
(1)
Gambar 3. Kromatogram baku asiatikosid dan ekstrak herba pegagan hasil maserasi dengan suhu 30°C deteksi Liebermann-Burchard
Keterangan:
Fase diam : silika gel F254
Fase gerak : kloroform: metanol: air (65:25:4) Deteksi : Liebermann Burchard
a : baku TECA 1 (1 µl) (1) : asam asiatikat
Tabel II. Harga Rf baku asiatikosid dan sampel ekstrak dengan deteksi Liebermann-Burchard
Baku Sampel
Bercak a b c d e f g h i j k l
Rf 0,65 0,65 0,65 0,65 0,65 0,64 0,64 0,64 0,64 0,65 0,65 0,65 Warna
bercak biru-ungu
Melalui hasil yang diperoleh dari KLT (gambar 3 dan tabel II), diketahui
bahwa sampel ekstrak mengandung asiatikosid. Hal ini ditunjukkan dengan kelima
bercak sampel ekstrak yang semuanya memiliki harga Rf mirip dengan Rf baku
asiatikosid yaitu 0,64 – 0,65 dan intensitas warna bercak yang menyerupai baku.
E. Validasi Metode Analisis Penetapan Kadar Asiatikosid dengan KLT
Densitometri
Sebelum melakukan penetapan kadar dengan densitometri, maka perlu
dilakukan penetapan panjang gelombang serapan maksimum (λmaks). Pada panjang
gelombang serapan maksimum terjadi serapan maksimum untuk setiap satuan
konsentrasi, sehingga dapat diperoleh kepekaan analisis yang maksimum (sensitivitas
maksimum). Panjang gelombang serapan maksimum yang diperoleh digunakan untuk
mengukur AUC dari ekstrak yang akan dianalisis. Dari hasil penelitian panjang
Tabel III.Hasilscanningλ maksimum bercak asiatikosid
Penetapan linearitas perlu dilakukan sebelum melakukan perhitungan kadar
guna mengetahui ada tidaknya hubungan yang linear dan signifikan antara variabel
yang akan diuji.
Tabel IV.Hasil pengukuran seri kurva baku
Pengukuran 1 Pengukuran 2 Pengukuran 3
Massa (µg) AUC Massa (µg) AUC Massa (µg) AUC
1,6755 6937,2 1,6755 5548,1 1,6755 7665,7
3,3510 19903,5 3,3510 14265,9 3,3510 19172,4
6,7020 35299,1 6,7020 34195,5 6,7020 38322,3
10,0530 54146,4 10,0530 46862,5 10,0530 57371,1
13,4040 65866,8 13,4040 59689,6 13,4040 73562,2
A = 1254,2170 A = -565,0859 A = -275,3915
B = 4998,7044 B = 4643,5898 B = 5612,2737
r = 0,995 r = 0,995 r = 0,999
Hubungan korelasi antara konsentrasi asiatikosid dengan AUC yang dihasilkan dapat
digambarkan dengan nilai koefisien korelasi (r) masing-masing pengukuran yang
mendekati satu dan lebih besar dari nilai r tabel yaitu 0,878 dengan derajat bebas 3
dan taraf kepercayaan 99%. Hasil perhitungan di atas diperoleh nilai r yang paling
besar yaitu 0,999 dengan persamaan kurva baku y = 5612,2737 x – 275,3915
(pengukuran 3). Nilai r tersebut sudah memenuhi persyaratan validasi metode
Penggambaran hubungan linier massa asiatikosid dengan AUC yang
dihasilkan dapat dilihat pada gambar 4.
Gambar 4. Kurva baku hubungan antara massa asiatikosid dengan AUC dengan persamaan y = 5612,2737 x – 275,3915
2. Penetapan presisi
Presisi merupakan parameter yang menunjukkan derajat kesesuaian antara
hasil uji individual, diukur melalui penyebaran hasil individu dan rata-rata dari
campuran homogen. Diukur dengan nilai coefisien of variancy(CV) dengan nilai CV
Tabel V.Data presisi asiatikosid
Keterangan AUC Massa ( µg )
Rerata massa 1,0601 µg
SD 0,0127
CV 1,1983 % Baku 1 ( 1 µl ) 6721,2 1,0495
Baku 2 ( 1 µl ) 6766,2 1,0742 Baku 3 ( 1 µl ) 6734,4 1,0567
Berdasarkan persyaratan CV yang baik < 2% menunjukkan bahwa hasil
percobaan memenuhi persyaratan presisi, yaitu nilai CV sebesar 1,1983 %. Hal ini
menunjukan bahwa metode yang digunakan memiliki presisi yang baik.
Dengan hasil yang telah diperoleh, disimpulkan bahwa metode yang
digunakan memiliki validitas yang baik, berdasarkan linearitas dan presisinya.
F. Analisis Kuantitatif Kadar Asiatikosid dalam Ekstrak Herba Pegagan
Secara KLT Densitometriin situ
Penetapan kadar asiatikosid dalam ekstrak herba pegagan dilakukan sama
seperti pada kurva baku, AUC bercak diukur pada panjang gelombang 243 nm (Tabel
Tabel VI. Kadar asiatikosid (µg/1 µg ekstrak) untuk masing-masing percobaan
Suhu
Per-cobaan Replikasi 1 Replikasi 2 Replikasi 3 Rata-rata SD
30°C
a 0,1651 0,2021 0,3929 0,2534 0,1225
b 0,0587 0,1051 0,2118 0,1252 0,0785
c 0,0144 0,0569 0,2077 0,0930 0,1016
d 6,6540x10-3 8,5882x10-3 0,0136 9,6141x 103 0,0035 e 9,7115x10-3 3,6316x10-3 9,0623x10-3 7,4685x10-3 0,0033
40°C
a 0,184 0,0862 0,1375 0,1359 0,0489
b 0,1899 0,1719 0,1305 0,1641 0,0304
c 0,1596 0,0486 0,0781 0,0945 0,0575
d 0,0108 0,0104 0,026 0,0157 0,0089
e 0,0203 0,0379 8,394x10-3 0,0222 0,0148
50°C
a 0,1138 0,1556 0,2157 0,1617 0,0512
b 0,1346 0,164 0,1427 0,1471 0,0152
c 0,0887 0,1042 0,096 0,0963 0,0075
d 0,0253 0,0244 0,0207 0,0235 0,0024
e 0,0112 8,5847x10-3 0,0114 0,0104 0,0016
Keterangan :
Berdasarkan tabel VI, diketahui bahwa rata-rata kadar asiatikosid terbesar
didapatkan pada percobaan a yaitu proses maserasi herba pegagan dengan 50 ml
etanol 96% dengan suhu percobaan 30°C.
G. Analisis Hasil
Data kadar yang diperoleh berdasarkan percobaan selanjutnya diolah dengan
menghasilkan kadar yang berbeda pula. Proses maserasi ini dilakukan pada 3 suhu
yang berbeda, yaitu 30°C, 40°C, dan 50°C. Aplikasi suhu yang berbeda ini
diharapkan memberikan pengaruh pada efisiensi ekstraksi herba pegagan. Kenaikan
suhu akan meningkatkan efisiensi ekstraksi, karena dengan suhu yang semakin tinggi
akan meningkatkan kelarutan zat aktif. Hal ini sesuai dengan persamaan Arrhenius
yang secara matematik menghubungkan laju reaksi dengan suhu dan menyatakan
adanya peningkatan laju reaksi menjadi dua kali semula dengan meningkatnya suhu
sebesar 10°C (Petrucci, 1985). Adanya suhu yang lebih tinggi akan memberikan
energi yang lebih besar, sehingga tumbukan yang terjadi antara asiatikosid dengan
penyari yang digunakan semakin tinggi dan kelarutannya meningkat.
Dalam penggunaan Anova, syarat yang harus dipenuhi adalah data yang akan
dianalisis harus menunjukkan distribusi normal. Berdasarkan analisis data dengan
SPSS data rata-rata kadar asiatikosid dari suhu 30°C ,40°C, dan 50°C menunjukkan
distribusi normal (lampiran 13).
H0: rata-rata kadar asiatikosid dari suhu 30°C , 40°C, dan 50° tidak berbeda
H1: rata-rata kadar asiatikosid dari suhu 30°C, 40°C, dan 50°C berbeda.
Analisis dilakukan dengan membandingkan rata-rata kadar dari
masing-masing percobaan pada setiap suhu (Tabel VII).
Tabel VII. Hasil analisis dengan ANOVA Sources of
Error SS dF MS Fhitung Ftabel
Between 0,0004 2 2x10-4
0,030 3,68
Within 0,0777 12 6,475x10-3
Nilai F hitung sebesar 0,030, lebih kecil dari F tabel sehingga H0 diterima.
Dengan demikian rata-rata kadar asiatikosid untuk maserasi dengan suhu 30°C, 40°C,
dan 50°C tidak berbeda. Berdasarkan hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa suhu
pada proses maserasi, yaitu suhu 30°C, 40°C, dan 50°C tidak memberikan pengaruh
yang signifikan pada kadar asiatikosid yang tersari.
Selanjutnya, dengan menggunakan metode Simplex Lattice Design, 2
komponen penyari yang digunakan (etanol 96% dan air) dicari komposisi
optimumnya berdasarkan kadar asiatikosid yang terukur. Dalam metode SLD dengan
2 komponen, setelah data kadar diperoleh, terlebih dahulu dilakukan perhitungan
persamaan SLD untuk tiap-tiap suhu (Tabel VIII).
Tabel VIII. Persamaan SLD Persamaan SLD
Suhu 30°C Y = 0,2534 (X1) + 0,0075 (X2) – 0,15 (X1)(X2) Suhu 40°C Y = 0,1359 (X1) + 0,0222 (X2) + 0,0616 (X1)(X2) Suhu 50°C Y = 0,1617 (X1) + 0,0104 (X2) + 0,0408 (X1)(X2) Persamaan SLD tersebut kemudian diuji validitasnya dengan menggunakan uji F
untuk melihat apakah ada perbedaan bermakna respon kadar antara hasil percobaan
dengan hasil yang dihitung dari persamaan SLD.
Tabel IX.Perhitungan validitas persamaan SLD
Suhu 30°C Suhu 40°C Suhu 50°C
Fhitung 10,2351 3,5824 12,8261
Ftabel 3,89 3,89 3,89
Kesimpulan valid tidak valid valid
Berdasarkan perhitungan Fhitung, didapatkan hasil persamaan SLD untuk kadar
asiatikosid dengan maserasi pada suhu 30°C dan 50°C valid, sedangkan untuk suhu
dihasilkan pada proses maserasi dengan suhu 30°C dan 50°C dapat digunakan untuk
menemukan komposisi etanol dan air yang optimum.
Gambar 5.Respon proporsi etanol vs kadar asiatikosid hasil maserasi pada suhu 30°C dengan persamaan Y = 0,2534 (X1) + 0,0075 (X2) – 0,15 (X1)(X2)
Gambar 5 dan 6 menunjukkan profil kadar asiatikosid dari ekstrak herba
pegagan. Kedua profil tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi komposisi etanol,
kadar asiatikosid yang terukur juga semakin tinggi pula. Dapat juga dikatakan bahwa
semakin polar penyari yang digunakan, semakin kecil kadar asiatikosid yang tersari.
Hal ini menunjukkan bahwa aglikon triterpen dari asiatikosid tersebut bersifat
nonpolar, sehingga walaupun berikatan dengan 3 molekul gula masih tetap kecil
kelarutannya dalam air.
Berdasarkan hasil yang diperoleh, untuk mendapatkan kadar asiatikosid yang
tertinggi, dipilih cairan penyari yang optimum, yaitu etanol 96%. Sesuai dengan hasil
analisis tersebut, selanjutnya dipilih suhu 30°C dalam proses maserasi karena
penanganan dengan suhu 30°C lebih mudah. Selain itu, jika dibandingkan dengan
suhu 50°C, kerusakan dari zat aktif akibat suhu yang lebih tinggi dapat dihindari.
H. Penetapan Susut Pengeringan dan Kadar Abu
Di dalam parameter standar umum ekstrak tumbuhan obat, disebutkan banyak
sekali parameter yang dipersyaratkan, baik parameter spesifik maupun nonspesifik.
Parameter spesifik salah satunya adalah dengan penentuan kadar zat aktif, sedangkan
parameter nonspesifik ekstrak, di antaranya penentuan susut pengeringan dan kadar
abu.
Penentuan susut pengeringan dilakukan untuk mengetahui kualitas dari
Sebelum menetapkan kadar asiatikosid dalam ekstrak herba pegagan, perlu dilakukan
penentuan susut pengeringan. Dengan kandungan air yang rendah, maka
pertumbuhan bakteri maupun kapang tidak ada, sehingga stabilitas ekstrak tetap
terjaga. Pada monografi ekstrak (Anonim, 2004b) disebutkan bahwa untuk ekstrak
herba pegagan kadar airnya tidak lebih dari 7,6 %.
Tabel X. Susut pengeringan
Besarnya susut pengeringan Rata-rata
Replikasi 1 4,6729 %
4,7667 %
± 0,0842
Replikasi 2 4,8358 %
Replikasi 3 4,7916 %
Berdasarkan data tersebut, ekstrak yang dihasilkan pada maserasi pada suhu 30°C
dengan pelarut etanol 96% memenuhi persyaratan susut pengeringan.
Abu merupakan zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik.
Pada suhu yang tinggi (600°C) zat organik habis terbakar dan air juga menguap
karena adanya pembakaran, sehingga sisa yang dihasilkan hanya unsur anorganik
saja. Kandungan abu tergantung pada kandungan mineral suatu bahan. Mineral dalam
suatu bahan dapat berupa dua macam garam, yaitu garam organik (NaCl, KCl) dan
garam anorganik seperti garam fosfat, karbonat, sulfat, dan nitrat.
Tabel XI. Kadar abu
Besarnya kadar abu Rata-rata
Replikasi 1 6,8836 %
6,6819 %
± 0,5182
Replikasi 2 7,0689 %
Sesuai dengan monografi ekstrak herba pegagan, kadar abu dinyatakan tidak
lebih dari 16,6 %, maka ekstrak yang dihasilkan tersebut memenuhi standar yang
telah ditetapkan.
Penentuan susut pengeringan dan kadar abu dapat menggambarkan
kandungan dan kemurnian ekstrak. Adanya lembab dan kandungan mineral yang
cukup tinggi tentunya berpengaruh pada bobot ekstrak yang akan ditetapkan kadar zat
46
A. KESIMPULAN
1. Suhu pada proses maserasi, yaitu 30°C, 40°C, dan 50°C tidak berpengaruh pada
kadar asiatikosid yang tersari.
2. Komposisi optimum cairan penyari untuk mendapatkan ekstrak dengan
kandungan asiatikosid terbesar adalah 0% air dan 100% etanol 96%.
B. SARAN
Perlu dilakukan standarisasi ekstrak secara lengkap sesuai dengan parameter standar
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1977, Materia Medika Indonesia, Jilid I, 34-39, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta
Anonim, 1985, Cara Pembuatan Simplisia, 105-123, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta
Anonim, 1986, Sediaan Galenik, 16-17, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta
Anonim, 1995, Farmakope Indonesia, Edisi IV, 1036, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta
Anonim, 1998,Kamus Saku Kedokteran Dorland, 556, EGC, Jakarta
Anonim, 1999, WHO Monographs on Selected Medicinal Plants, Vol 1, 77-83, World Health Organization, Geneva
Anonim, 2000, Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat, 3-6, 13-14, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta
Anonim, 2004a, Guidelines for the Validation of Analytical Methods for Active Constituent, Agriculture and Veterinary Chemical Products, 4-5, http://www.apvma.gov.au/publications/guidelines/docs/gl_69_analytical_met hods.pdfdiakses pada 10 Desember 2009
Anonim, 2004b, Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia, Vol 1, 77-79, Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, Jakarta
Anonim, 2009a, Gotu Kola P.E., http://www.layn.com.cn/doc_images/ Gotu%20Kola%20P.%20E%20..pdfdiakses pada 3 Desember 2009
Anonim, 2009c, Material Safety Data Sheet : Gotu Kola , http://www.newdirectionsaromatics.ca/msds/gotukolaBE.htm diakses pada 3 Februari 2009
Bruneton, J., 1999, Pharmacognosy: Phytochemistry Medicinal Plants, 2ndEd., 703-704, Lavoister Publishing, New York
Hardjono, 1983,Kromatografi, 32-34, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Jork, Hellmut, Werner Funk, Walter Fischer, Hans Wimmer, 1990, Thin-Layer Chromatography : Reagents and Detection Methods, 133-134, 411-413, VCH, New York.
Kormin, Saniah Bte, 2005, The Effect of Heat Processing On Triterpene Glycosides and Antioxidant Activity of Herbal Pegaga (Centella asiatica L. Urban) Drink, Tesis, 18-20, Universiti Teknologi Malaysia.
Mulja, H.M., Suharman, 1995, Analisis Instrumental, 26-33, Airlangga University Press, Surabaya
Mursyidi, A.,1990, Analisis Metabolit Sekunder, 192-193, 245, Penerbit: Proyek Pengembangan Pusat Fasilitas Bersama Antar Universitas (Bank Dunia XVII)-PAU Bioteknologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Petrucci, R.H., Suminar, 1985, Kimia Dasar : Prinsip dan Terapan Modern, 166, Erlangga, Jakarta
Pramono, S., D. Ajiastuti, 2004, Standarisasi ekstrak herba pegagan (Centella asiatica (L.) Urban) berdasarkan kadar asiatikosida secara KLT-densitometri, Majalah Farmasi Indonesia, Vol. 15, no 3, 118-123, Universitas Gadjah Mada Press, Yogyakarta
Pudjaatmaka, A.H., 1994,Kimia Universitas : Asas dan Struktur, 493-494, Erlangga, Jakarta
Rohman, A., 2009, Kromatografi untuk Analisis Obat, 45-54, Graha Ilmu, Yogyakarta
Somchit, 2004, Antinociceptive and antiinflamatory effects of Centella asiatica, http://medind.nic.in/ibi/t04/i6/ibit04i6p377.pdf diakses pada 1 November 2009
Stahl, E., 1969, Thin-Layer Chromatography : A Laboratory Handbook, 241-247, Springer-Verlag, Berlin
Lampiran 2. Gambar kromatogram hasilscanningλ maksimum
Hasil scanning λ maksimum dengan kadar asiatikosid 8,2 µg
Hasil scanning λ maksimum dengan kadar asiatikosid 26,65 µg
Lampiran 3. Data penetapan linearitas baku asiatikosid
Baku 1 ( g ) Baku 2 ( g ) Baku 3 ( g )
Berat gelas arloji kosong 13,6408 13,6601 13,3636
Berat gelas arloji + zat 13,6615 13,6811 13,3848
Berat gelas arloji + sisa 13,6414 13,6610 13,3647
Berat zat 0,0201 0,0201 0,0201
Konsentrasi baku asiatikosid = =
Konsentrasi asiatikosid dalam tiap totolan ( 1 µl ) = 4,02 µg.
Baku yang digunakan TECA. TECA mengandung asiatikosid (41,68%) dan asam
asiatikat-asam madekasat (61,96%).
Asiatikosid dalam baku TECA x µg
Replikasi 1 Replikasi 2 Replikasi 3
Massa (µg) AUC Massa (µg) AUC Massa (µg) AUC
1,6755 6937,2 1,6755 5548,1 1,6755 7665,7
3,3510 19903,5 3,3510 14265,9 3,3510 19172,4
6,7020 35299,1 6,7020 34195,5 6,7020 38322,3
10,0530 54146,4 10,0530 46862,5 10,0530 57371,1
13,4040 65866,8 13,4040 59689,6 13,4040 73562,2
A = 1254,2170 A = -565,0859 A = -275,3915
B = 4998,7044 B = 4643,5898 B = 5612,2737
Lampiran 4. Data penimbangan penetapan presisi asiatikosid
Baku 1 ( g ) Baku 2 ( g ) Baku 3 ( g )
Berat gelas arloji kosong 13,64081 13,65080 13,62927
Berat gelas arloji + zat 13,66080 13,67091 13,64929
Berat gelas arloji + sisa 13,64081 13,65092 13,62927
Berat zat 0,01999 0,01999 0,02002
Konsentrasi baku asiatikosid 1 = =
Konsentrasi baku asiatikosid 2 = =
Konsentrasi baku asiatikosid 3 = =
Perhitungan asiatikosid dalam TECA :
Asiatikosid dalam baku 1 1,6664 µg
Asiatikosid dalam baku 2 1,6664 µg
Lampiran 5. Data presisi asiatikosid
Jumlah Totolan ( µl ) Massa ( µg ) AUC
1 1,6664 6912,5
2 3,3328 10612,3
4 6,6656 18630
6 9,9984 24042,2
8 13,3312 28086,4
10 16,6640 33866,3
12 19,9968 42038
A = 4809,5311
B = 1821,5144
r = 0,996
Persamaan kurva baku : y = 1821,5144 x + 4809,5311
Keterangan AUC Massa ( µg )
Baku 1 ( 1 µl ) 6721,2 1,0495
Baku 2 ( 1 µl ) 6766,2 1,0742
Baku 3 ( 1 µl ) 6734,4 1,0567
Rerata massa = 1,0601 µg
SD = 0,0127
Lampiran 6. Gambar kromatogram asiatikosid pada penetapan kadar asiatikosid herba gegagan
Keterangan :
Lampiran 7. Hasil pengukuran kadar asiatikosid herba gegagan dengan proses maserasi pada suhu 30°C
Replikasi 1
Keterangan Jumlah totolan (µl) Massa (µg) AUC
Baku 1 1 4,1 20096,2
Baku 2 2 8,2 43508,1
Baku 3 4 16,4 70496,8
Baku 4 6 24,6 93275,0
Baku 5 8 32,8 116025,5
Baku 6 10 41 132265,4
Baku 7 12 49,2 151642,8
A = 18608,0246
B = 2819,3626
r = 0,9917
Persamaan kurva baku
y = 2819,3626x + 18608,0246
Formula Jumlah totolan (µl) AUC Kadar asiatikosid
1 1 65726,2 16,7124 (µg/ul)
2 2 51485,3 11,6612 (µg/2 ul)
3 2 26662,7 2,8570 (µg/2 ul)
4 4 26367,2 2,7521 (µg/4 ul)
Replikasi 2
Keterangan Jumlah totolan (µl) Massa (µg) AUC
Baku 1 1 4,1 15680,6
Baku 2 2 8,2 36364,3
Baku 3 4 16,4 77130,0
Baku 4 6 24,6 101048,8
Baku 5 8 32,8 127088,0
Baku 6 10 41 147791,4
Baku 7 12 49,2 166970,2
A = 12383,8687
B = 3320,3983
r = 0,9899
Persamaan kurva baku
y = 3320,3983x + 12383,8687
Formula Jumlah totolan (µl) AUC Kadar asiatikosid
1 1 79699,9 20,2735 (µg/ul)
2 2 73857,2 18,5138 (µg/2 ul)
3 2 50533,8 11,4896 (µg/2 ul)
4 4 22661,3 3,0952 (µg/4 ul)
Replikasi 3
Keterangan Jumlah totolan (µl) Massa (µg) AUC
Baku 1 1 4,02 9013,9
Baku 2 2 8,04 21426,3
Baku 3 4 16,08 39499,9
Baku 4 6 24,12 51832,4
Baku 5 8 32,16 61085,6
Baku 6 10 40,20 72675,6
Baku 7 12 48,24 78483,8
A = 9567,9898
B = 1544,7852
r = 0,9833
Persamaan kurva baku
y = 1544,7852x + 9557,9898
Formula Jumlah totolan (µl) AUC Kadar asiatikosid
1 1 71482,5 40,0797 (µg/ul)
2 2 75790,2 42,8682 (µg/2 ul)
3 2 74246,6 41,8690 (µg/2 ul)
4 8 26590,3 11,0192 (µg/8 ul)
Lampiran 8. Hasil pengukuran kadar asiatikosid herba gegagan dengan proses maserasi pada suhu 40°C
Replikasi 1
Keterangan Jumlah totolan (µl) Massa (µg) AUC
Baku 1 1 4,1 12224,9
Baku 2 2 8,2 22793,6
Baku 3 4 16,4 44982,2
Baku 4 6 24,6 62697,3
Baku 5 8 32,8 75002,7
Baku 6 10 41 78764,6
Baku 7 12 49,2 101059,8
A = 9764,9346
B = 1867,8194
r = 0,9855
Persamaan kurva baku
y = 1867,8194x + 9764,9346
Formula Jumlah totolan (µl) AUC Kadar asiatikosid
1 1 44714,0 18,7208 (µg/ul)
2 2 80747,4 38,0125 (µg/2 ul)
3 2 71979,3 33,3182 (µg/2 ul)
4 4 18340,4 4,6008 (µg/4 ul)