BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengetahuan
1. Pengertian
Pengetahuan merupakan hasil tahu seseorang yang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui
panca indera manusia, yaitu indera penglihatan, pandengaran, penciuman,
rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui
pendidikan, pengalaman diri sendiri maupun pengalaman orang lain, media
massa maupun lingkungan (Notoatmodjo, 2003).
Dalam pengertian lain pengetahuan adalah sebagai yang ditemui
dan diperoleh melalui suatu pengamatan. Pengetahuan muncul ketika
seseorang menggunakan indera atau akal pikirannya untuk mengendali
benda atau peristiwa tertentu yang belum pernah dilihat atau dirasakan
sebelumnya.
Menurut Notoatmodjo (2003), bahwa seseorang mengambil
perilaku yang baru dalam dirinya orang tersebut melakukan beberapa
proses tertentu yaitu:
a. Kesadaran (Awareness)
Dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih
b. Merasa tertarik (Interest)
Seseorang tersebut merasa tertarik terhadap benda atau obyek yang
dilihatnya.
c. Menimbang-nimbang (Evaluation)
Menimbang-nimbang terhadap baik buruknya objek atau benda
tersebut bagi dirinya.
d. Mencoba (Trial)
Mulai mencoba perilaku yang baru setelah orang tersebut
menerimanya.
e. Beradaptasi
Dimana subyek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan,
kesadaran terhadap benda atau obyek yang ia terima.
Berdasarkan beberapa definisi diatur bisa diambil kesimpulan
bahwa pengetahuan yang luas dapat diperoleh dari aktifitas manusia
berupa pengalaman mendengar dan membaca.
2. Tingkat Pengetahuan
Tingkat pengetahuan merupakan domain yang sangat penting
dalam membentuk tindakan seseorang sedangkan perilaku akan bersifat
langgeng apabila didasari oleh pengetahuan dan kesadaran. Secara terinci
perilaku manusia merupakan reflkesi dari gejala kejiwaan yang salah
satunya adalah pengetahuan. Menurut Notoatmodjo (2003) tingkatan
a. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah
dipelajari sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini
adalah mengingat (recall) terhadap sesuatu yang spesifik dari seluruh
bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh karnea
itu “tahu” adalah merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah.
Kata kerja untuk mengukur apakah orang tahu tentang apa yang
dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, dan
menyatakan.
b. Memahami (Comprehension)
Memahami dapat diartikan sebagai suatu kemampuan
menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat
menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah
paham terhadap objek atau materi, harus dapat menjelaskan,
menyebutkan contoh, menyimpulkan terhadap objek yang dipelajari.
c. Aplikasi (Application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan
materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi atau yang
sebenarnya. Aplikasi ini bisa diartikan sebagai aplikasi atau
penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, dan prinsip dalam konteks
d. Analisis (Analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjalankan materi
obyek ke dalam komponen-komponen tetapi masih ada kaitannya satu
sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan
kata-kata kerja. Dapat menggunakan (membuat bagan), membedakan,
memisahkan, dan mengelompokan.
e. Sintesis
Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk
meletakkan dan menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk
keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis itu suatu kemampuan
untuk menyusun formula baru dari formulasi-formulasi yang ada.
Misalnya dapat menyesuaikan dan sebagainya terhadap suatu
teori-teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.
f. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan
penilaian terhadap suatu materi atau obyek. Penilaian terhadap suatu
evaluasi didasari suatu kinerja yang ditentukan sendiri atau
menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan
Menurut Soekanto (2002), faktor-faktor yang mempengaruhi
a. Tingkat pendidikan
Pendidikan adalah upaya untuk memberikan pengetahuan sehingga
terjadi perubahan perilaku positif yang meningkat.
b. Sosial ekonomi
Tingkat kemampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidup
c. Informasi dan teknologi
Seseorang mempunyai sumber informasi yang lebih banyak akan
mempunyai pengetahuan yang lebih luas.
d. Budaya
Tingkah laku manusia atau kelompok manusia dalam memenuhi
kebutuhan yang meliputi sikap dan kepercayaan.
e. Pengalaman
Suatu yang pernah dialami seseorang akan menambah pengalaman.
4. Sumber pengetahuan
Pengetahuan seseorang diperoleh dari pengalaman dari berbagai
sumber, misalnya : media massa, media elektronik, buku petunjuk, petugas
kesehatan, media poster, kerabat dekat, dsb. Pengetahuan sangat
berhubungan dengan pendidikan, sedangkan pendidikan merupakan salah
satu kebutuhan dasar manusia yang sangat dibutuhkan untuk
mengembangkan diri. Semakin tinggi pendidikan, semakin mudah
menerima serta mengembangkan pengetahuan dan tekhnologi
5. Pengetahuan Gizi
Pemenuhan kebutuhan nutrisi pada ibu nifas berkaitan erat dengan
tinggi rendahnya pengetahuan ibu tentang gizi. Tingkat pengetahuan gizi
ibu adalah kemampuan seorang ibu dalam memahami konsep dan prinsip
serta informasi yang berhubungan dengan gizi. Tingkat pengetahuan
seseorang dipengaruhi oleh pengalaman, faktor pendidikan, lingkungan,
sosial, sarana dan prasarana maupun derajat penyuluhan yang diperoleh
(Kismoyo, 2005).
Pengetahuan gizi merupakan pengetahuan tentang hubungan
konsumsi makanan dengan kesehatan tubuh. Ibu nifas dengan pengetahuan
gizi baik diharapkan dapat memilih asupan makanan yang bernilai gizi
baik dan seimbang bagi dirinya sendiri, bayi dan keluarga. Pengetahuan
gizi yang baik dapat membantu seseorang belajar bagaimana menyimpan,
mengolah serta menggunakan bahan makanan yang berkualitas untuk
dikonsumsi (Wahyuni, 2008).
Pengetahuan yang kurang menyebabkan bahan makanan bergizi
yang tersedia tidak dikonsumsi secara optimal. Pemilihan bahan makanan
dan pola makan yang salah cukup berperan dalam terjadinya anemia
(Depkes RI, 2003).
B. Mobilisasi Dini Ibu Post Partum
1. Pengertian
Mobilisasi adalah suatu pergerakan dan posisi yang akan
untuk secepat mungkin membimbing penderita keluar dari tempat tidurnya
dan membimbingnya secepat mungkin berjalan (Soelaiman, 2000).
Menurut Carpenito (2000), Mobilisasi dini merupakan suatu aspek
yang terpenting pada fungsi fisiologis karena hal itu esensial untuk
mempertahankan kemandirian, dari kedua definisi tersebut dapat
disimpulkan bahwa mobilisasi dini adalah suatu upaya mempertahankan
kemandirian sedini mungkin dengan cara membimbing penderita untuk
mempertahankan fungsi fisiologis.
Mobilisasi mengacu pada kemampuan seseorang untuk bergerak
dengan bebas dan imobilisasi mengacu pada ketidakmampuan seseorang
untuk bergerak dengan bebas. Mobilisasi dan imobilisasi berada pada suatu
rentang dengan banyak tingkatan imobilisasi parsial. Beberapa klien
mengalami kemunduran dan selanjutnya berada di antara rentang
mobilisasi-imobilisasi, tetapi pada klien lain, berada pada kondisi
imobilisasi mutlak dan berlanjut sampai jangka waktu tidak terbatas.
Mobilisasi dini merupakan faktor yang menonjol dalam
mempercepat pemulihan pasca bedah dan dapat mencegah komplikasi
pasca bedah. Banyak keuntungan bisa diraih dari latihan ditempat tidur dan
berjalan pada periode dini pasca bedah. Mobilisasi sangat penting dalam
percepatan hari rawat dan mengurangi resiko-resiko karena tirah baring
lama seperti terjadinya dekubitus, kekakuan/penegangan otot-otot di
seluruh tubuh dan sirkulasi darah dan pernapasan terganggu, juga adanya
di daerah operasi klien tidak mau melakukan mobilisasi ataupun dengan
alasan takut jahitan lepas klien tidak berani merubah posisi. Disinilah
peran perawat sebagai edukator dan motivator kepada klien sehingga klien
tidak mengalami suatu komplikasi yang tidak diinginkan.
Konsep mobilisasi mula-mula berasal dari ambulasi dini yang
merupakan pengembalian secara berangsur-angsur ke tahap mobilisasi
sebelumnya untuk mencegah komplikasi Sedangkan mobilisasi ibu post
partum adalah suatu pergerakan, posisi atau adanya kegiatan yang
dilakukan ibu setelah beberapa jam melahirkan dengan persalinan Caesar
(Roper, 2000).
2. Rentang Gerak Dalam Mobilisasi
Menurut Carpenito (2000) dalam mobilisasi terdapat tiga rentang
gerak yaitu :
a. Rentang gerak pasif.
Rentang gerak pasif ini berguna untuk menjaga kelenturan otot-otot
dan persendian dengan menggerakkan otot orang lain secara pasif
misalnya perawat mengangkat dan menggerakkan kaki pasien.
b. Rentang gerak aktif.
Hal ini untuk melatih kelenturan dan kekuatan otot serta sendi dengan
cara menggunakan otot-ototnya secara aktif misalnya berbaring pasien
menggerakkan kakinya.
Berguna untuk memperkuat otot-otot dan sendi dengan melakukan
aktifitas yang diperlukan.
3. Pengaruh mobilisasi secara fisiologis
Mobilisasi akan mencegah kekakuan otot dan sendi sehingga
mengurangi kekakuan otot dan sendi, sehingga mengurangi nyeri,
menjamin kelancaran peredaran darah, mengembalikan metabolisme
tubuh, mengembalikan kerja fisiologis organ-organ vital yang akhirnya
mempercepat proses penyembuhan luka. Mobilisasi sudah dapat dilakukan
sejak 8 jam setelah pembedahan, tentu setelah pasien sadar atau anggota
gerak tubuh sudah dapat digerakkan kembali setelah dilakukan pembiusan
regional. Pergerakan fisik dapat dilakukan ditempat tidur dengan gerakan
tangan dan kaki yang dapat ditekuk atau diluruskan, mengkontraksi
otot-otot dalam keadaan statis maupun dinamis, memiringkan badan ke kanan
dan kekiri. Pada 12-24 jam badan sudah dapat diposisikan duduk diatas
tempat tidur dan dapat berdiri serta berjalan.
Manfaat mobilisasi dini menurut Mochtar (2001), manfaat mobilisasi
bagi ibu post operasi Sectio Caesar adalah :
a. Penderita merasa lebih sehat dan kuat dengan early ambulation. Dengan
bergerak, otot –otot perut dan panggul akan kembali normal sehingga
otot perutnya menjadi kuat kembali dan dapat mengurangi rasa sakit
dengan demikian ibu merasa sehat dan membantu memperoleh kekuatan,
mempercepat kesembuhan. Aktifitas ini juga membantu mempercepat
kencing lebih baik. Dengan bergerak akan merangsang peristaltik usus
kembali normal.
b. Mobilisasi dini memungkinkan kita mengajarkan segera untuk ibu
merawat anaknya. Perubahan yang terjadi pada ibu pasca operasi akan
cepat pulih misalnya kontraksi uterus, dengan demikian ibu akan cepat
merasa sehat dan bisa merawat anaknya dengan cepat.
c. Mencegah terjadinya trombosis dan tromboemboli, dengan mobilisasi
sirkulasi darah normal/lancar sehingga resiko terjadinya trombosis dan
tromboemboli dapat dihindarkan.
Kerugian Bila Tidak Melakukan Mobilisasi :
a. Peningkatan suhu tubuh. Adanya involusi uterus yang tidak baik
sehingga sisa darah tidak dapat dikeluarkan dan menyebabkan infeksi
dan salah satu dari tanda infeksi adalah peningkatan suhu tubuh.
b. Perdarahan yang abnormal. Dengan mobilisasi dini kontraksi uterus akan
baik sehingga fundus uteri keras, maka resiko perdarahan yang abnormal
dapat dihindarkan, karena kontraksi membentuk penyempitan pembuluh
darah yang terbuka
c. Involusi uterus yang tidak baik. Tidak dilakukan mobilisasi secara dini
akan menghambat pengeluaran darah dan sisa plasenta sehingga
menyebabkan terganggunya kontraksi uterus.
Sejalan dengan pendapat Potter (2006) bahwa kegunaan mobilisasi
yang cepat adalah untuk mengurangi komplikasi post operasi, antara lain
kardiovasculer, perubahan sistem muskuloskeletal, perubahan sietem
integumen dan pengaruh psikososial.
a. Pengaruh mobilisasi terhadap sistem metabolisme
Imobilisasi dapat menyebabkan turunnya kecepatan metabolisme
dalam tubuh. Hal tersebut dapat dijumpai pada umumnya pada
menurunnya basal metabolisme rate, yang menyebabkan berkurangnya
energi untuk perbaikan sel-sel tubuh, sehingga dapat mempengaruhi
gangguan oksigenisasi sel. Perubahan metabolisme immobilitas dapat
mengakibatkan proses anabolisme menurun dan katabolisme
meningkat. Keadaan ini dapat beresiko meningkatkan gangguan
metabolisme. Defisiensi kalori dan protein merupakan karakteristik
klien yang mengalami penurunan selera makan akibat immobilisasi.
b. Pengaruh mobilisasi terhadap sistem respiratori
Pasien pasca operasi dan imobilisasi berisiko tinggi mengalami
komplikasi paru-paru. Yang paling umum terjadi adalah atelaktasis
dan pneumonia hipostatik. Pada atelaktasis, bronkiolus menjadi
tertutup oleh adanya sekresi dan kolaps alveolus distal karena udara
diabsorbsi sehingga menghasilkan hipoventilasi. Sedangkan pada
Pneumonia hipostatik adalah peradangan paru-paru akibat statisnya
sekresi. Kedua komplikasi tersebut menyebabkan penurunan
oksigenisasi dan memperlama penyembuhan luka serta menyambah
ketidaknyamanan.
Mobilisasi juga mempengaruhi sistem kardiovaskuler antara lain,
hipotensi, peningkatan beban jantung dan pembentukan trombus.
Hipotensi ortostatik adalah penurunan tekanan darah sistolik 25
mmHg dan diastolik 10 mmHg ketika pasien bangun dari posisi
berbaring atau duduk ke posisi berdiri. Pada pasien imobilisasi terjadi
penurunan sirkulasi volume cairan, pengumpulan darah pada
extremitas bawah dan penurunan respon otonom. Faktor-faktor
tersebut mengakibatkan penurunan aliran balik vena, yang diikuti oleh
penurunan tekanan darah. Jika immobilisasi meningkat maka curah
jantung menurun. Pasien juga beresiko terjadi pembentukan trombus
yang merupakan akumulasi trombosit, fibrin, faktor-faktor prmbekuan
dan elemen sel darah yang menempel pada dinding bagian anterior
vena atau arteri serta kadang-kadang menutup lumen pembuluh darah.
d. Pengaruh mobilisasi terhadap sistem muskoloskelatal
Menurunnya massa otot sebagai dampak immobilitas dapat
menyebabkan turunnya kekuatan otot secara langsung. Menurunnya
fungsi kapasitas otot ditandai dengan menurunnya stabilitas dan dapat
menyebabkan atropi pada otot. Akibat immobilitas juga menyebabkan
gangguan skeletal, dimana akan mudah terjadi kontraktur sendi dan
osteoporosis. Kontraktur merupakan kondisi yang abnormal dengan
adanya kriteria adanya flexi dan fiksasi yang disebabkan atropi dan
semakin besar, sehingga menyebabkan jumlah kalsium ke dalam darah
menurun dan jumlah kalsium yang keluar melalui urine semakin besar.
4. Macam-macam mobilisasi dini
a. Mobilisasi pasif
Suatu latihan yang dilakukan oleh terapi atau oleh perawat tanpa
bantuan dari pasien. Yang bertujuan untuk mencapai kembali sebanyak
mungkin rentang gerak sendi, dan untuk mempertahankan sirkulasi.
b. Mobilisasi Aktif
Suatu latihan yang diselesaikan tanpa bantuan terapis atau perawat.
Aktivitas pasien mencakup berbalik dari satu sisi ke sisi lain dan
tengkurap ke telentang atau bergerak keatas dan kebawah. Mobilisasi
dapat dilakukan di atas tempat tidur. Hal ini bertujuan untuk
meningkatkan kekuatan otot (Smeltzer, 2002).
5. Penatalaksanaan mobilisasi pada pasca bedah
Pada periode post operasi biasanya dibebani balutan, beban atau
peralatan drainase sering kali tidak mampu untuk mengolah posisi,
berbaring secara spontan dalam posisi yang sama dapat mengarah pada
luka atelaktasis atau pneumonia hipostatik yang merupakan dua diantara
komplikasi yang paling serius. Pengaturan posisi setelah pembedahan
dilakukan, biasanya pasien dibaringkan dalam beberapa posisi tergantung
pada sifat prosedur bedah. Hal tersebut dilakukan untuk meningkatkan rasa
tidak nyaman terjadi akibat berbaring dalam satu posisi. Dengan kondisi
ini teknik terapi latihan yang dipakai adalah post natal exercise.
Pada hari pertama latihan-latihan yang dapat dilakukan antara lain :
a. Latihan pernafasan perut atau abdominal breathing exercise
Sikap berbaring terlentang kedua tangan di samping badan, kedua kaki
ditekuk pada lutut dan santai. Bentuk latihan pernapasan perut dengan
cara :
1). Letakkan tangan kiri di atas perut.
2). Lakukan pernafasan diafragma, yaitu tarik nafas melalui hidung,
tangan kiri naik ke atas mengikuti dinding perut yang menjadi naik.
3). Kemudian hembuskan nafas melalui mulut. Frekuensi latihan adalah
12-14 per menit. Lakukan gerakan pernafasan ini sebanyak 8 kali
dengan interval 2 menit (Mochtar, 1998).
b. Latihan untuk bahu, siku dan jari-jari
Latihan bahu, posisi tidur telentang, pasien diminta menggerakkan
bahunya secara aktif ke arah fleksi, ekstensi (mengangkat lengan ke
depan dan ke belakang), abduksi-adduksi (mengangkat lengan ke
samping badan), sircumduksi secara bergantian kanan dan kiri. Latihan
siku, posisi tidur terlentang, pasien diminta untuk menekuk dan
meluruskan sikunya secara bergantian kanan dan kiri. Latihan jari-jari,
posisi tidur terlentang, pasien diminta untuk menggerakkan jari-jari
tangannya, genggam lemas, dan semua gerakan diatas diulang sampai 3
c. Posisi tubuh
Pelaksanaannya : pasien diminta untuk berubah posisi dari
terlentang ke posisi miring kanan dan kiri secara bergantian dalam
waktu 15 menit kemudian ganti posisi.
d. Latihan kaki dan lutut
Posisi pasien berbaring terlentang kedua tungkai lurus, kemudian
pasien diminta menekuk dan meluruskan pergelangan kaki (dorsi fleksi
dan plantar fleksi), gerakan memutar ke dalam dan ke luar (inversi dan
eversi) dan gerakan memutar pergelangan kaki kedalam dan keluar
(sirkumduksi), dilanjutkan dengan menekan lutut ke bawah secara
bergantian kanan dan kiri. Semua gerakan diatas dilakukan sebanyak 3
x 8 hitungan.
e. Latihan untuk otot-otot tungkai
Posisi pasien berbaring terlentang, kedua tungkai lurus, lalu salah
satu tungkai ditekuk dan diluruskan kembali secara bergantian kanan
dan kiri, diulang sampai 3 x 8 hitungan.
f. Latihan penguatan otot dasar panggul
Pada pasian pasca sectio cesaria tetap harus diberikan latihan
penguatan otot dasar panggul meskipun proses pengeluaran janin tidak
melalui pintu panggul (pervaginam), karena selama kehamilan otot-otot
dasar panggul teregang seiring dengan makin membesarnya janin dalam
uterus. Pelaksanaannya: posisi pasien terbaring terlentang, kedua lengan
menggerakan atau mengkontraksikan otot-otot disekeliling lubang anus
(gluteal) bersama-sama seperti menahan buang air kecil atau buang air
besar, ditahan sampai hitungan kelima, lalu kendorkan, diulang sampai
8 kali hitungan. Tujuan dari latihan ini yaitu untuk mengencangkan
otot-otot dasar panggul Kemudian latihan mengangkat pinggul sampai
badan dan kedua tungkai atas membentuk sudut dengan lantai yang
ditahan oleh kedua kaki dan bahu. Turunkan pelan-pelan, diulang
sampai 8 kali hitungan.
g. Latihan penguatan otot perut
Pelaksanaannya: berbaring terlentang, gerakan mengangkat kepala
dan mengkontraksikan otot-otot perut. Angkat kepala, dagu didekatkan
ke dada tahan sejenak (3 hitungan), lalu dikendurkan dan diulangi
sampai 8 hitungan.
h. Latihan duduk dengan posisi semi fowler
Posisi yang diberikan dengan bagian kepala lebih tinggi dari badan
dan kaki dan diberikan dengan posisi setengah duduk. Bertujuan untuk
memberi kenyamanan pada pasien dan kepentingan pemenuhan
kebutuhan dasar manusia.
i. Latihan berdiri
Untuk latihan berdiri dimulai dari urutan latihan duduk sampai
pasien sudah duduk di tepi bed dengan kaki menggantung, dilanjutkan
pasien menggeser pantat dan tubuhnya ke salah satu sisi tangannya
dengan kedua tungkai tetap merapat. Setelah menapak lalu berdiri tegak
dan tetap harus ditanyakan oleh terapis pada pasien adakah keluhan
pusing dan mual. Jika tidak ada keluhan dapat dilanjutkan dengan
latihan berjalan di sekitar bed.
C. Proses Penyembuhan Luka Operasi
Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh. Keadaan ini
dapat disebabkan oleh trauma benda tajam dan tumpul, perubahan suhu, zat
kimia, ledakan, sengatan listrik atau gigitan hewan (Syamsuhidayat, 2011).
Sedangkan menurut Potter (2006) luka adalah rusaknya fungsi anatomis
normal akibat proses patologis yang berasal dari internal maupun external dan
mengenai organ tertentu. Dan luka juga dapat digambarkan sebagai gangguan
dalam kontinuitas sel-sel, kemudian diikuti dengan penyembuhan luka yang
merupakan pemulihan kontinuitas tersebut. Ketika terjadi luka, beragam efek
dapat terjadi antara lain : kehilangan segera atau sebagian fungsi organ,
hemorhagia dan pembekuan darah, kontaminasi bakteri serta kematian sel.
Untuk semua jenis luka, penanganan dan perawatan luka dengan tehnik
asepsis yang cermat adalah faktor paling penting untuk meminimalkan dan
meningkatkan keberhasilan perawatan luka (Smeltzer, 2002).
1. Klasifikasi Luka
Berbagai klasifikasi dapat tumpang tindih satu dengan yang lain. Beberapa
klasifikasi luka antara lain :
a. Berdasarkan penyebab Luka
Luka yang dibuat dengan potongan bersih menggunakan instrumen
tajam sebagai contoh, luka yang dibuat oleh ahli bedah dalam setiap
prosedur operasi. Luka bersih (luka yang dibuat secara aseptik)
biasanya ditutup dengan jahitan setelah semua pembuluh yang
berdarah diligasi dengan cermat.
2). Luka kontusi
Luka yang terjadi dengan dorongan tumpul dan ditandai dengan
cidera berat bagian yang lunak, hemorhagi dan pembengkakan.
3). Luka laserasi
Luka dengan bagian tepi jaringan bergerigi, tidak teratur, seperti luka
yang dibuat oleh kaca atau goresan kawat.
4). Luka tusuk
Luka dengan bukaan kecil pada kulit sebagai contoh, luka yang
dibuat oleh peluru atau tusukan pisau (Smeltzer, 2002).
b. Berdasarkan Tingkat Kontaminasi
1). Luka bersih
Merupakan luka bedah tidak terinfeksi dimana tidak terdapat
inflamasi dan saluran pernapasan, pencernaan, genital, atau saluran
kemih yang tidak terinfeksi, tidak dimasuki. Luka bersih biasanya
dijahit tertutup, jika diperlukan, dengan sistem drainase tertutup
dipasangkan. Kemungkinan relatif dari infeksi luka adalah 1%
sampai 5%.
Adalah luka bedah dimana saluran pernapasan, pencernaan, genital,
atau perkemihan dimasuki di bawah kondisi yang terkontrol, tidak
terdapat kontaminasi yang tidak lazim. Kemungkinan relative dari
infeksi luka adalah 3% sampai 11%.
3). Luka terkontaminasi
Mencakup luka terbuka, luka akibat kecelakaan, dan prosedur bedah
dengan pelanggaran dalam teknik aseptik atau semburan banyak dari
saluran gastrointestinal, termasuk dalam kategori ini adalah insisi
dimana terdapat inflamasi akut, nonpurulen. Kemungkinan relatif dari
infeksi luka adalah 10% sampai 17%.
4). Luka kotor atau terinfeksi
Merupakan luka dimana organisme yang menyebabkan infeksi
pascaoperatif terdapat dalam lapang operatif sebelum pembedahan.
Hal ini mencakup luka traumatik yang sudah lama dengan jaringan
yang terkelupas tertahan dan luka yang melibatkan infeksi klinis yang
sudah ada atau visera yang mengalami perforasi. Kemungkinan relatif
infeksi luka adalah lebih dari 27% (Smeltzer, 2002).
2. Fisiologi Penyembuhan Luka
Penyembuhan dan perbaikan luka adalah proses penggantian sel-sel
mati yang berbeda dari sel asalnya. Sel-sel baru membentuk jaringan
granulasi, yang nantinya menjadi jaringan parut fibrosa. Penyembuhan luka
secara ideal berusaha memulihkan jaringan kedalam bentuk semula, namun
Sedangkan menurut Potter (2006), proses penyembuhan luka
melibatkan integritas proses fisiologi. Sifat penyembuhan pada semua luka
sama dengan variasinya tergantung pada lokasi, tingkat keparahan dan
luasnya luka. Kemampuan sel dan jaringan melakukan regenerasi atau
kembali ke struktur normal melalui pertumbuhan sel juga mempengaruhi
penyembuhan luka.
a. Jenis penyembuhan luka
1). Penyembuhan primer
Jenis penyembuhan luka yang paling sederhana dengan menyatukan
kedua tepi luka berdekatan dan saling berhadapan. Terdapat sedikit
jaringan yang hilang. Dan kemungkinan terjadi infeksi rendah,
seperti pada luka insisi pembedahan dimana pinggir luka dapat
saling didekatkan yang dibuat akibat tindakan bedah. Sehingga
proses penyembuhan luka lebih cepat.
2). Penyembuhan sekunder
Kedua tepi luka tidak saling berdekatan. Terdapat banyak jaringan
yang hilang, kemungkinan terjadi resiko infeksi tinggi. Dan jenis
penyembuhan luka yang disertai jaringan granulasi sehingga
b. Fase Penyembuhan Luka
1). Fase inflamasi
Fase imflamasi merupakan peristiwa awal penyembuhan luka.
Reaksi tubuh terhadap luka dimulai setelah 5-10 menit dan
berlangsung selama 3 hari setelah cedera.
Pada haemostatis : Vasokonstriksi sementara dari pembuluh
darah yang rusak terjadi pada saat sumbatan trombosit dibentuk
dan diperkuat juga oleh serabut fibrin untuk membentuk bekuan.
Respon Jaringan yang rusak, jaringan yang rusak dan sel mast
melepaskan histamin dan anafilatoksin C3a dan C5a, sehingga
menyebabkan vasodilatasi dari pembuluh darah sekeliling yang
masih utuh serta meningkatkan penyediaan darah ke daerah
tersebut, sehingga menjadi merah dan hangat. Permeabilitas kapiler
darah meningkat dan cairan yang kaya akan protein mengalir ke
dalam spasium interstisial, menyebabkan edema lokal. Leukosit
polimorfonuklear (polimorf) dan makrofag mengadakan migrasi
keluar dari kapiler dan masuk ke dalam daerah yang rusak sebagai
reaksi terhadap agen kemotaktik yang dipacu oleh adanya cidera.
Pembersihan terhadap jaringan mati atau yang mengalami
devitalisasi dan bakteri oleh polimorf dan makrofag. Polimorf
menelan dan menghancurkan bakteri. Tingkat aktivitas polimorf
yang tinggi hidupnya singkat saja dan penyembuhan dapat berjalan
berhenti bila makrofag mengalami deaktivasi. Sel-sel tersebut tidak
hanya mampu menghancurkan bakteri dan mengeluarkan jaringan
yang mengalami devitalisasi serta fibrin yang berlebihan, tetapi
juga mampu merangsang pembentukan fibroblas, yang melakukan
sintesa struktur protein kolagen dan menghasilkan sebuah faktor
yang merangsang angiogenesis.
2). Fase Proliferatif
Pembentukan jaringan granulasi adalah pusat dari peristiwa
selama fase proliferatif. Jaringan granulasi terdiri dari sel-sel
inflamasi, fibroblas, kolagen, neovascular, glikosaminoglycans dan
proteoglycans. Pembentukan jaringan granulasi terjadi 3-5 hari
setelah cedera. Epitelisasi adalah pembentukan epitel atas
permukaan bagian atas. Epitelisasi pada luka insisi melibatkan
migrasi sel pada tepi luka lebih kurang 1 mm, dari satu sisi sayatan
ke sayatan lainnya. Epitelisasi pada luka sayatan terjadi dalam
waktu 24-48 jam setelah cedera. Lapisan epitel merupakan lapisan
yang melindungi luka dengan lingkungan luar.
Fibroblas meletakkan substansi dasar dan serabut-serabut
kolagen serta pembuluh darah baru mulai menginfiltrasi luka.
Fibroblas dimulai 3 – 5 hari setelah terjadinya luka. Fibroblast
berasal dari sel masenkim yang belum berdiferensi dan
menghasilkan mukopolisakarida, asam amino glisin serta polin
tepi luka. Pada fase ini serat kolagen di bentuk dan dihancurkan
kembali untuk menyesuaikan dengan tegangan pada luka yang
cenderung mengerut. Pada fase ini kekuatan regangan luka
mencapai 25 % jaringan normal.
3). Fase Maturasi
Pada fase ini terjadi proses pematangan luka. Yang terdiri
atas penyerapan kembali jaringan yang berlebihan, pengerutan
yang sesuai dengan gaya gravitasi dan akhirnya perupaan ulang
jaringan yang baru. Tubuh berusaha menormalkan kembali semua
yang menjadi abnormal karena proses penyembuhan.
Oedem dan sel radang diserap kembali, sel muda menjadi
matang, kapiler baru menutup dan diserap kembali, kolagen yang
berlebih diserap dan sisanya mengerut sesuai dengan besarnya
regangan. Selama proses ini berlangsung dihasilkan jaringan parut
yang pucat dan tipis dan lentur serta mudah digerakkan dari dasar.
Luka kulit mampu menahan regangan kira-kira 80 % kemampuan
kulit normal (Syamsuhidayat, 2011).
4) Fase Remodelling/Fase Resorbsi
Pada fase ini terjadi proses pematangan yang terdiri dari
penyerapan kembali jaringan yang berlebih, pengerutan sesuai
dengan gaya gravitasi dan akhirnya perupaan kembali jaringan
3. Faktor Yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka
Menurut Fairchild (1996) factor yang mempengaruhi penyembuhan luka
digolongkan menjadi dua, yaitu :
a. Faktor Umum
1) Nutrisi
Nutrisi adalah factor yang penting dalam proses keseluruhan
penyembuhan. Kekurangan protein akan menurunkan sintesa kolagen
dan menurunkan produksi fibroblast, juga dapat menurunkan respon
imun serta meningkatkan resiko infeksi. Penyembuhan luka secara
normal memerlukan nutrisi yang tepat. Proses fisilogi penyembuhan
luka tergantung tersedianya protein, vitamin (terutama Vitamin A dan
C) dan mineral zink dan tembaga
2) Oksigenasi pada sel
Oksigenasi yang adekuat adalah sangat penting untuk penyembuhan
luka. Keadaan anemia akan memperlambat penyembuhan luka oleh
karena kurangnya jumlah oksigen yang diangkut dalam darah.
3) Umur
Penyembuhan luka lebih baik dan lebih cepat pada usia muda daripada
usia lebih tua.
4) Keseimbangan kimia dalam tubuh
Ketidak seimbangan cairan dan elektrolit dapat memperlambat
tembakau dapat berpengaruh pada produksi kolagen dan protein
sintesis, berpengaruh langsung pada proses penyembuhan.
5) Kondisi fisik umum tubuh
Penyakit tertentu seperti uremia, DM yang tidak terkontrol,
keganasan, penyakit pernafasan membuat luka lebih mudah infeksi,
proses penyembuhan luka abnormal. Obesitas juga merupakan resiko
oleh karena jaringan adipose biasanya mengalami avaskuler sehingga
mekanisme pertahanan terhadap mikroba sangat lemah dan
mengganggu suplai nutrisi kearah luka, akibatnya penyembuhan luka
menjadi lambat.
b. Faktor Lokal
1) Sirkulasi darah yang adekuat
Oksigen dan nutrisi dibawa ketepi luka melalui system peredaran
darah, oleh karena itu sesuatu yang menghambat aliran darah menuju
area luka akan mempengaruhi proses penyembuhan.
2) Perdarahan
Perdarahan pada luka tidak hanya merangsang terjadinya peradangan
tetapi juga mengulang kembali sebelum penyembuhan dapat dimulai.
3) Immobilisasi
Perawatan pada fraktur, immobilisasi adalah hal yang penting, hal ini
juga meningkatkan penyembuhan pada jaringan yang luka, khususnya
jika ada luka yang lebih lebar dan dalam.
Dalam kondisi stress tubuh akan melepaskan zat kimia yang akan
mempengaruhi keseimbangan kimia dalam tubuh. Ketidakseimbangan
kimia yang terjadi dalam tubuh dapat menjadi factor utama dalam
proses penyembuhan luka.
c. Komplikasai penyembuhan luka
Komplikasi penyembuhan luka meliputi infeksi, perdarahan, dehisensi
dan eviscerasi.
1). Infeksi.
Invasi bakteri pada luka dapat terjadi pada saat trauma, selama
pembedahan atau setelah pembedahan. Gejala dari infeksi sering
muncul dalam 2-7 hari setelah pembedahan. Gejala infeksi adanya
purulent, peningkatan drainase, nyeri, kemerahan dan bengkak di
sekeliling luka, peningkatan suhu, dan peningkatan jumlah sel darah
putih.
2). Perdarahan
Perdarahan dapat menunjukkan suatu pelepasan jahitan, sulit
membeku pada garis jahitan, infeksi, atau erosi dari pembuluh darah
oleh benda asing (seperti drain). Hipovolemia mungkin tidak cepat
ada tanda. Sehingga balutan (dan luka di bawah balutan) jika
mungkin harus sering dilihat selama 48 jam pertama setelah
pembedahan dan tiap 8 jam setelah itu. Jika perdarahan berlebihan
terjadi, penambahan tekanan balutan luka steril mungkin diperlukan.
3). Dehisensi dan Eviserasi
Dehisensi dan eviserasi adalah komplikasi operasi yang paling
serius. Dehisensi adalah terbukanya lapisan luka partial atau total.
Eviserasi adalah keluarnya pembuluh melalui daerah irisan.
Sejumlah faktor meliputi, kegemukan, kurang nutrisi, multiple
trauma, gagal untuk menyatu, batuk yang berlebihan, muntah, dan
dehidrasi, mempertinggi resiko klien mengalami dehisensi luka.
Dehisensi luka dapat terjadi 4-5 hari setelah operasi sebelum
kollagen meluas di daerah luka. Ketika dehisensi dan eviscerasi
terjadi luka harus segera ditutup dengan balutan steril yang lebar,
kompres dengan normal saline. Klien disiapkan untuk segera
dilakukan perbaikan pada daerah luka.
4). Fistula
Fistula adalah suatu lintasan abnormal antara dua permukaan epitel
yang menhubungkan satu viskus dengan viskus lainnya atau
menghubungkan satu viskus dengan kulit. Terdapat banyak
penyebab terjadinya fistula. Pembentukan fistula dapat patogenik,
akibat rusaknya anastomosis setelah pembedahan atau kerusakan
yang disebabkan oleh posisi drain luka yang buruk.
D. Sectio caesaria
1. Pengertian Sectio caesaria
Istilah Sectio caesaria berasal dari perkataan Latin caedere yang
regia) dan emperor’s law (lex caesarea) yaitu undang-undang yang
menghendaki supaya janin dalam kandungan ibu-ibu yang meninggal
harus keluarkan dari dalam rahim (Mochtar, 2001). Pengertian-pengertian
Sectio caesaria diantaranya :
a. Sectio caesaria adalah suatu pembedahan guna melahirkan anak lewat
insisi pada dinding abdomnen dan uterus (Oxorn, 2000).
b. Sectio caesaria adalah suatu cara melahirkan janin dengan membuat
sayatan pada dinding uterus melalui dinding depan perut atau vagina.
(Mochtar, 2001).
c. Sectio caesaria adalah suatu persalinan buatan dimana janin dilahirkan
melalui insisi pada dinding perut dan dinding rahim dengan syarat
rahim dalam keadaan utuh serta berat janin diatas 500 gram
(Prawiharto, 2004).
d. Sectio caesaria adalah lahirnya janin plasenta dan selaput ketuban
melalui irisan yang dibuat pada dinding perut dan rahim (Mochtar,
2001)
2. Jenis-jenis Sectio caesaria
a. Sectio Caesara Transperitoneal
1). Sectio caesaria klasik atau korporal yaitu dengan melakukan
sayatan vertikal sehingga memungkinkan ruangan yang lebih baik
untuk jalan keluar bayi.
2). Sectio caesaria ismika atau profunda yaitu dengan melakukan
rahim dan diatas tulang kemaluan.
b. Sectio caesariaEkstraperitonealis
Yaitu tanpa membuka peritonium parietalis, dengan demikian tidak
membuka kavum abdominal. (Mochtar, 2001)
3. Indikasi Sectio caesaria
1) Plasenta previa, terutama plasenta previa totalis dan subtotalis
2) Panggul sempit
3) Ruptura uteri mengancam
4) Partus lama
5) Tumor yang menghalangi jalan lahir
6) Kelainan letak/bayi besar
7) Keadaan dimana usaha-usaha untuk melahirkan anak pervasinam gagal
8) Kematian janin
9) Komplikasi preeklampsia dan hipertensi
4. Komplikasi Sectio caesaria
a. Infeksi puerperal (nifas)
1). Ringan : bila ada kenaikan suhu beberapa hari saja
2). Sedang : bila suhu naik lebih tinggi, disertai dehidrasi dan perut
kembung
3). Berat : bila terjadi peradangan, ada nanah, bengkak
b. Perdarahan disebabkan karena :
1). Banyak pembuluh darah yang terlepas dan terbuka
3). Perdarahan pada plasenta bed
4). Luka kandung kemih
5). Bisa terjadi ruptur uteri spontan
5. Penatalaksanaan medis post sectio caesaria secara singkat :
a. Awasi TTV sampai pasien sadar
b. Pemberian cairan dan diit
c. Atasi nyeri yang ada
d. Mobilisasi secara dini dan bertahap
e. Kateterisasi
f. Jaga kebersihan luka operasi
E. Kerangka Teori
Gambar 1. Bagan kerangka teori (Adopsi teori menurut Notoatmodjo (2003), Soekanto (2002), Syamsuhidayat, (2011), Potter (2006))
Karakteristik Ibu Post Sectio Caesar : 1.Umur
2.Pendidikan 3.Paritas
Pengetahuan Ibu Post Sectio Caesar tentang
gizi
LukaPost Sectio Caesar
Faktor yang mempengaruhi proses penyembuhan luka operasi caesar:
1.Nutrisi 2.Sirkulasi 3.Oksigenisasi 4.Obesitas 5.Iskhemia 6.Benda asing 7.Penyakit kronis 8.Merokok 9.Obat-obatan
Luka sembuh dengan cepat
Luka sembuh lama Mobilisasi dini:
F. Kerangka Konsep
Variabel Independent
Variabel Dependent
Gambar 1. Bagan kerangka konsep
G. Hipotesis
Ada hubungan pengetahuan gizi dan mobilisasi dini dengan proses
penyembuhan luka operasi pada pasien post sectio caesarea di RS. Dr.
Goeteng Tarunadibrata Purbalingga. Pengetahuan Ibu Post
Sectio Caesar tentang gizi
Penyembuhan lukaPost Sectio
Caesar