• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENERIMAAN DIRI REMAJA YANG MERASA TERBUANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PENERIMAAN DIRI REMAJA YANG MERASA TERBUANG"

Copied!
156
0
0

Teks penuh

(1)

PENERIMAAN DIRI REMAJA

YANG MERASA

TERBUANG

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling

Oleh:

Prinses Bengawan Zaldy

NIM : 021114036

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2006

(2)

Oleh:

Prinses Bengawan Zaldy NIM: 021114036

Telah disetujui oleh:

Pembimbing I

Dra. M.J. Retno Priyani, M.Si Tanggal 8 Desember 2006

Pembimbing II

Drs. T.A. Prapancha. Hary, M.Si Tanggal 8 Desember 2006

(3)

S K R I P S I

PENERIMAAN DIRI REMAJA

YANG MERASA

TERBUANG

Dipersiapkan dan ditulis oleh:

Prinses Bengawan Zaldy NIM: 021114036

Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji pada tanggal 8 Desember 2006

dan dinyatakan memenuhi syarat

Susunan Panitia Penguji

Nama Lengkap Tanda Tangan

Ketua Dr. M.M. Sri Hastuti, M.Si ...

Sekretaris Fajar Santoadi, S. Pd ...

Anggota Dra. M.J. Retno Priyani, M.Si ...

Anggota Drs. T.A. Prapancha Hary, M.Si ...

Anggota Dra. C.L. Milburga, CB., M.Ed ...

Yogyakarta, 8 Desember 2006

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Sanata Dharma

Dekan.

(Drs. T. Sarkim. M. Ed., Ph.D)

(4)

Yohanes 3: 16

Akan tetapi Allah menunjukan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa.

Roma 5:8

Semua Manusia Berdosa

Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah.

Roma 3:23

Seperti ada tertulis: “Tidak ada yang benar, seorangpun tidak.”

Roma3:10

Allah Menyelesaikan Perbuatan Dosa

Sebab upah dosa ialah maut, tetapi karunia Allah ialah hidup yang kekal dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.

Roma 6:23

Tetapi semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya

Yohanes 1:12

Sebab yang sangat penting telah kusampaikan kepadamu, yaitu apa yang telah kuterima sendiri, ialah bahwa Kristus telah mati karena dosa-dosa kita, sesuai dengan Kitab Suci, bahwa Ia telah dikuburkan, dan bahwa Ia telah dibangkitkan, pada hari ketiga, sesuai dengan kitab suci.

1 Korintus 15:3-4

Semua Dapat Diselamatkan Sekarang

Lihat, Aku berdiri di muka pintu dan mengetok; jikalau ada orang yang mendengar suara-Ku dan membukakan pintu, Aku akan masuk mendapatkannya.

Wahyu 3:20a

Sebab, barangsiapa yang berseru kepada nama Tuhan, akan diselamatkan

Roma 10:13

Skripsi ini ku persembahkan pada: Juru Selamatku Yesus Kristus

Dan Keluargaku yang tercinta: Mama, Papa, Pristian Winata, dan Predian Winata.

(5)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 8 Desember 2006

Penulis

Prinses Bengawan Zaldy

(6)

dihadapi subjek dan memperoleh gambaran tentang penerimaan diri subjek yang mengalami hambatan karena perasaan terbuang yang disebabkan latar belakang keluarga, dan kecacatan fisik yang dialami subjek. Subjek penelitian ini seorang remaja putri, berusia 15 tahun. Ia dari kecil tinggal di panti asuhan dan bersekolah di SLB.

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif-kualitatif, dengan desain penelitian studi kasus. Metode pengumpulan data dalam penelitian adalah metode observasi, wawancara informasi dan wawancara konseling sebagai suatu usaha untuk membantu subjek mengatasi masalahnya. Data yang diperoleh dari subjek dan beberapa sumber informasi lainnya, peneliti gunakan untuk menggambarkan keadaan dan permasalahan yang dialami subjek saat ini, sehingga peneliti dapat menentukan pendekatan konseling yang tepat dan sesuai dalam memberikan pendampingan.

Dari hasil penelitian, diketahui bahwa subjek mengalami masalah penerimaan diri yang disebabkan perasaan terbuang yang timbul karena ia tidak tinggal dengan orang tua asli, dan memiliki kecacatan fisik. Oleh karena itu pendekatan konseling yang digunakan adalah Interview for Adjustment (IA). Setelah peneliti mengadakan wawancara konseling dengan subjek sebanyak 4 kali pertemuan, subjek menunjukkan perubahan, yaitu a) Subjek mengakui didepan orang lain kalau ia punya cacat fisik dan bersekolah di SMPLB; b) Subjek bergabung dengan teman-temannya ketika teman-temannya tersebut sedang berkumpul; c) Subjek bila berjumpa dengan ibunya mau merangkul dan memeluk ibunya serta menanyakan kabar; d) Subjek akan les menggambar agar ia bisa masuk Institut Seni Indonesia setamat SMA; e) Subjek tiap hari berdoa agar ia dikuatkan dan bisa menerima keadaan dirinya. Konseling dapat berjalan dengan baik tetapi ada satu permasalahan yang tidak dapat diselesaikan karena tidak mendapat ijin dari pihak PA. Permasalahan tersebut adalah menyangkut masalah Subjek dengan ayah kandungnya. Selama konseling berlangsung Subjek menunjukan perubahan nyata, tetapi Subjek tetap harus mendapat perhatian khusus karena ia tidak seperti anak normal pada umumnya.

(7)

ABSTRACT

THE ACCEPTANCE OF A TEENAGER THAT FEELS BEING IGNORED

The research was aimed to describe a problem that was faced by the subject and to get clear description about the subject’s acceptance that experienced an obstacle because of her feeling of being ignored caused by family background, and physical disability faced by the subject. The subject of this research was a girl whose age was fifteen years old. She has lived in an orphan house since she was a child and studied at special school.

This research was a descriptive-guallitative research, and its design was case study. The data gathering methods in this research were observation, informative interview, and counseling interview as an effort to help the subjek to solve her problem. The data from the subject and other information sources were used by the researcher to describe the condition and the problem that were faced by the subject lately, so the researcher could decide the most appropriate approach in giving guidance.

From the result of the research, it was understood that the subject had a problem in acceptance caused by a feeling of being ignored because she did not live with her biologic parents, she has physical disability and she did not get an affection from her family. Therefore the counseling approach that was used was IA (Interview for Adjustment). After the researcher conducted counseling interview with the subject for 4 meetings, the subject showed some changes, they are: a) Subject admitted in front of others that she had physical disability and studied at SMPLB; b) Subject joined with her friends when they were gathering; c) if subject met her mother, she wanted to hug and embrace her and also asked about her news; d) Subject would take drawing course so that she could enter Institut Seni Indonesia after she graduated from SMA (Senior High School); e) Subject prayed everyday so that she could be strong and could be able to accept herself as the way she is. The counseling could run well but there was a problem that could not be solved because the researcher did not get a premission from the orphan house. The problem was about the subject’s problem with her biologic father. During the counseling period the subject showed some real changes, but the subject still must get a special attention because she was different from the other normal children.

(8)

Puji syukur bagi Tuhan Yesus Kristus karena terselesaikannya

skripsi yang bertemakan “Penerimaan Diri Remaja yang Merasa Terbuang”.

Berkat kasih dan karunia-Nya yang Ia anugerahi maka skripsi ini dapat selesai

dengan baik.

Skripsi “Penerimaan Diri Remaja yang Merasa Terbuang” dibuat

sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan di Program Studi

Bimbingan dan Konseling. Keberhasilan dalam penulisan skripsi ini tidak lepas

dari keterlibatan berbagai pihak. Banyak bantuan yang diperoleh selama penulisan

skripsi ini, baik yang didapat secara langsung maupun secara tidak langsung. Pada

kesempatan ini dengan penuh kerendahan hati saya haturkan terima kasih kepada:

1. Dra. M.J. Retno Priyani, M.Si sebagai Pembimbing I.

2. Drs. T.A. Prapancha Hary, M.Si. sebagai Pembimbing II.

3. Dr. M.M. Sri Hastuti, M.Si. sebagai Kepala Program Studi dan segenap Dosen

Program Studi Bimbingan dan Konseling.

4. Sr. Krista, PI sebagai Kepala Panti Asuhan Pangrekso Dalem Betlehem,

Temanggung dan segenap staf.

5. Keluarga tercinta Mama, Papa, Pristian Winata, dan Predian Winata sebagai

penguat dan pendukung.

6. Revie Pitono selaku penolong, pemberi semangat dan penghibur.

7. Teman-teman terkasih Ai, Nadia, Meisyah, Yoan, Meta, Citra, Gladis, Siska,

Vera, Edi, Haksi sebagai penghibur dan penolong.

(9)

8. Semua pihak yang telah membantu.

Akhir kata disadari terdapat banyak kekurangan dan kesalahan

dalam skripsi dengan tema “Penerimaan Diri Remaja yang Merasa Terbuang” ini.

Kekurangan dan kesalahan yang terdapat dalam skripsi ini harap dimaafkan.

Yogyakarta, 8 Desember 2006

(Prinses Bengawan Zaldy)

(10)

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... v

ABSTRAK... vi

ABSTRACT... vii

KATA PENGANTAR... viii

DAFTAR ISI... x

DAFTAR TABEL... xiii

DAFTAR LAMPIRAN... xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah... 4

C. Tujuan Penelitian... 4

D. Manfaat Penelitian... 4

E. Definisi Operasional... 6

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Penerimaan Diri a. Pengertian penerimaan diri... 7

(11)

b. Faktor-faktor yang mempengaruhi

penerimaan diri... 11

B. Remaja yang Merasa Terbuang a. Definisi remaja yang merasa terbuang... 13

b. Penyebab remaja merasa terbuang... 14

c. Akibat remaja merasa terbuang... 19

d. Kebutuhan remaja yang merasa terbuang... 20

C. Konseling Eklektik dengan Pendekatan Interview for Adjustment ... 21

D. Penerapan Konseling Eklektik dengan Pendekatan Interview for Adjustment Bagi Anak yang Merasa Terbuang... 25

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Penelitian studi kasus... 27

B. Subjek Penelitian... 28

C. Metode Pengumpulan Data a. Observasi... 29

b. Wawancara... 29

D. Teknik Pengolahan Data... 33

E. Analisis Data... 34

(12)

a. Riwayat pendidikan... 38

b. Tes psikologis... 51

c. Latar belakang keluarga... 52

d. Riwayat keagamaan... 55

e. Riwayat kesehatan... 56

f. Lingkungan dan kelompok sosial... 57

g. Konsep diri... 66

C. Sintesis... 68

D. Diagnosis... 72

E. Pragnosis... 72

F. Treatment... 73

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan... 84

B. Saran-saran... 88

DAFTAR PUSTAKA... 90

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

Tabel 1 : Wawancara Informasi... 1

Tabel 2 : Rencana Pelaksanaan Wawancara Konseling... 2

Table 3 : Kuesioner Perasaan Terbuang... 3

Table 4 : Indikator yang Perlu Diubah Menggunakan

Pendekatan IA... 4

Table 5 : Tabel Pelaksanaan Wawancara Konseling... 5

(14)

Lampiran Halaman

Lampiran 1 : Verbatin Wawancara Konseling... 1

Lampiran 2 : Hasil Pemeriksaan Psikologis... 39

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia mengalami perkembangan secara bertahap dari usia muda

menuju usia tua. Havighurst (Hurlock, 1997) membagi rentang hidup manusia

menjadi 6 fase, yaitu: masa bayi dan kanak-kanak, akhir masa kanak-kanak,

masa remaja, awal masa dewasa, masa usia tengah, masa tua. Dalam setiap

rentang kehidupan manusia berusaha untuk menerima dirinya. Schneiders

(Gunarsa, 2004) berpendapat bahwa bilamana seseorang dapat menerima

keadaan dirinya sendiri, maka ia juga mudah menerima keadaan orang lain

termasuk kekurangan atau hal-hal yang positif dari orang tersebut. Schneiders

(Gunarsa, 2004) juga mengatakan bahwa sebelum seseorang dapat menerima

keadaan diri sendiri, ia harus mengenal terlebih dahulu kemampuan serta

keterbatasannya, sehingga ia mudah mengatasi kesukaran yang dialaminya

dalam usaha menerima dirinya.

Dalam menghadapi realita kehidupan, setiap orang berusaha

menghindari situasi atau perasaan yang tidak menyenangkan dirinya. Ia

berusaha untuk menutupi atau menyangkal kelemahan dan

kegagalan-kegagalannya. Ia merasa malu bila orang lain mengetahui kelemahannya

sehingga dorongan untuk berpartisipasi di dalam aktifitas-aktifitas sosial

ditekan olehnya. Oleh karena itu, orang perlu mengenal dirinya sendiri agar ia

(16)

dapat berfikir secara lebih objektif, lebih dekat dengan kenyataan dan tidak

mudah terbawa oleh perasaan.

Begitu juga dengan remaja, remaja yang dikenal sebagai anak yang

menuju dewasa tidak lepas dari usaha menerima diri. Hurlock, 1997

menuliskan bahwa anak yang mengadakan penyesuaian pribadi berusaha

mengenal dan menerima dirinya. Bila remaja cukup menyukai dirinya, maka

menunjang penerimaan sosial dan sebaliknya, ketika remaja mengadakan

penyesuaian sosial ia berusaha agar orang lain menerimanya. Bila semakin

banyak orang menyukai dan menerimanya, semakin senang ia dengan dirinya

dan semakin kuat penerimaan dirinya.

Remaja berusaha mencapai keharmonisan dengan diri sendiri dan

lingkungan. Apabila remaja tidak berhasil mencapai keharmonisan dengan diri

dan lingkungan maka remaja tersebut gagal mencapai kebahagian hidup. Oleh

karena itu remaja harus diterima cukup baik oleh orang yang berarti dalam

hidupnya. Horn (Hurlock, 1997 ) menuliskan

“Seseorang yang kurang memperoleh cinta kasih di masa kanak-kanak tidak bahagia pada masa itu dan juga mengembangkan nilai yang menyebabkan ketidakbahagiaan berlangsung terus dalam kehidupan selanjutnya.”

Dewasa ini berkembang suatu kenyataan bahwa semakin sering

ditemukan remaja yang merasa tidak diinginkan, tidak berharga, disia-siakan

atau diabaikan karena kurangnya kasih sayang yang didapat dari orang-orang

terdekatnya. Dalam koran-koran, televisi, dan internet ditemukan kasus-kasus

remaja kekurangan kasih sayang, yaitu remaja korban kekerasan, remaja

(17)

3

kimia, remaja yang menjadi anak asuh, remaja yang kehilangan orang yang

dikasihinya dan remaja yang mengalami gangguan baik emosi, belajar

maupun jasmani. Lingkungan tersebut tidak memberi cukup kasih sayang

pada remaja. Remaja tersebut bertumbuh dalam perasaan yang tidak bahagia,

ia tidak mendapat dukungan dari orang-orang yang seharusnya memiliki peran

penting dalam membantunya berkembang secara utuh. Salah satu contoh

remaja yang merasa terbuang karena kurangnya kasih sayang adalah remaja

korban perceraian, di mana setelah ibu dan ayah berpisah, ia menjadi korban.

Ia dioper kesana-sini, sebentar tinggal dengan paman, sebentar tinggal dengan

saudara yang lain. Ia merasa tidak diinginkan, perasaan tidak diinginkan

tersebut bisa disebabkan karena perasaan tidak diterima. Perasaan tidak

diterima dirasakan bukan hanya dari kehidupan yang harus berpindah-pindah

tetapi juga karena perlakuan yang diterimanya (www.anak korban perceraian.com).

Gunarsa (2004) menuliskan bahwa pengalaman-pengalaman yang

didapat remaja, bukan saja membantu remaja mengembangkan aspek

sosialnya tapi juga pribadi. Melalui pengalaman hidup dengan orang lain,

remaja dapat mengetahui apakah ia diterima atau tidak. Bila seseorang

menyukainya, berarti ia diterima oleh orang itu bukan dari satu aspek

pribadinya tetapi meliputi seluruh kepribadiannya. Sebaliknya remaja yang

merasa tidak diterima atau diabaikan, akan memiliki konsep diri yang kurang

baik. Akibatnya remaja menjadi seorang yang pendiam, pemalu, menarik diri

(18)

tersinggung, cemas dan hidupnya tanpa kepastian sehingga ia mengalami

kesukaran dalam menerima dirinya.

Remaja yang merasa terbuang harus berusaha lebih keras lagi dalam

menerima dirinya. Ia harus benar-benar mampu mengenal dan menerima

dirinya sehingga dapat memenuhi kebutuhannya dengan cara yang wajar yaitu

diterima lingkungannya tanpa merugikan lingkungannya

Mudah didapatnya kasus di internet, televisi, radio, surat kabar dan

media cetak lainnya mengenai remaja yang merasa terbuang maka orang yang

bergelut di bidang bimbingan dan konseling tidak boleh tinggal diam. Mereka

harus bergerak membantu remaja yang merasa terbuang agar mampu

menerima dirinya. Penerimaan diri yang berhasil dengan baik akan membawa

remaja pada kebahagiaan.

Peranan bimbingan dan konseling dalam kasus tersebut adalah

membantu remaja yang merasa terbuang agar berhasil menerima dirinya yaitu

dengan cara mengungkap penerimaan diri remaja yang merasa terbuang, dan

usaha untuk membantu remaja tersebut untuk mampu menerima dirinya,

sehingga menemukan kebahagiaan hidup.

B. Rumusan Masalah

Pertanyaan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah penerimaan diri subjek sebagai remaja yang merasa

(19)

5

2. Bagaimanakah proses konseling yang berguna untuk membantu

penerimaan diri subjek sebagai remaja yang merasa terbuang?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah;

1. Memperoleh informasi tentang penerimaan diri subjek sebagai remaja

yang merasa terbuang.

2. Membantu subjek sebagai remaja yang merasa terbuang melalui proses

konseling.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan untuk

memahami fenomena penerimaan diri remaja yang merasa terbuang.

2. Manfaat praktis

a. Bagi subjek penelitian

Subjek dapat menerima dirinya dengan lebih baik, sehingga

subjek dapat menemukan kebahagian.

b. Bagi penulis

Melalui penelitian ini didapat kesempatan menerapkan teori

yang diberikan selama perkuliahan di Program Studi

(20)

c. Bagi peneliti lain

Penelitian ini dapat menjadi dasar untuk pengembangan

penelitian lebih lanjut tentang penerimaan diri remaja yang

merasa terbuang.

E. Definisi Operasional

1. Penerimaan diri adalah sikap yang mencerminkan kepuasan terhadap

kenyataan kemampuan diri yang menunjukan kualitas diri sendiri

2. Remaja yang merasa terbuang adalah remaja (anak yang mendekati

kedewasaan diawali pada masa pubertas yang berakhir dengan

kedewasaan) dimana remaja tersebut merasa tidak dikasihi sebagai

mana adanya dia, sehingga ia merasa tidak diinginkan, disia-siakan

atau diabaikan dan tidak berharga.

3. Konseling eklektik dengan pendekatan Interview for Adjustment adalah pola pendekatan dalam konseling eklektik (konseling yang menunjuk

pada perpaduan dari berbagai unsur yang diambil atau dipilih dari

beberapa teori serta pendekatan konseling) yang digunakan untuk

melayani kasus khusus yang penyelesaiannya menuntut perubahan

sikap serta tindakan penyesuaian diri terhadap situasi kehidupan yang

(21)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Penerimaan Diri

1. Pengertian penerimaan diri

Sinurat (1991) berpendapat bahwa penerimaan diri diartikan

sebagai penghargaan/perasaan seseorang tentang dirinya sendiri.

Penerimaan diri dapat berupa penerimaan diri positif maupun negatif.

Menurut Supratiknya (1995) menerima diri adalah memiliki penghargaan

yang tinggi terhadap diri sendiri dan memandang diri sendiri disenangi,

mampu, berharga, dan diterima orang lain. Hurlock (1981) dan McKinney

(1949) mengemukakan bahwa untuk dapat mencapai suatu penyesuaian

diri yang baik, maka seseorang harus memiliki penerimaan diri yang baik

pula. Dijelaskan lebih lanjut oleh Wiley (ANIMA, 1998) bahwa

penerimaan diri sangat berhubungan dengan penyesuaian diri yang

tinggi, selain memberi sumbangan pada kesehatan mental seseorang

serta hubungan antar pribadinya. Penerimaan diri mengandung

pengertian adanya persepsi terhadap diri sendiri mengenai

keterbatasannya untuk digunakan secara efektif. Penerimaan diri juga

diartikan sebagai meningkatkan toleransi pada orang lain dan terhadap

peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupannya. Mereka melihat

manusia, dunia dan dirinya seperti apa adanya. Seseorang yang memiliki

penerimaan diri yang positif berarti dapat mengenali kekurangannya

(22)

sendiri dan berusaha untuk memperbaiki dan mengatasinya. Penerimaan

diri akan meningkatkan penilaian diri, akan dapat mengkritik diri sendiri

dan bertanggungjawab terhadap pilihannya sendiri serta tidak

menyalahkan ataupun mencela orang lain karena keadaan dirinya.

Penerimaan diri tersebut merupakan ciri-ciri kemasakan

kepribadian seseorang (Allport dalam Hjelle dan Ziegler, 1977). Menurut

Allport dan Wolman (1973) penerimaan diri yang merupakan sikap positif,

yaitu meliputi pengakuan nilai-nilai seseorang dan

kelemahan-kelemahannya tanpa harus menyalahkan orang lain.

Ahli lain dalam hal ini, Prawitasari (1986) mengemukakan bahwa

sikap terhadap diri sendiri merupakan kriteria untuk mental yang sehat.

Lebih lanjut Prawitasari menjelaskan bahwa apabila seseorang dapat

menerima dirinya dengan segala kelebihan maupun

kelemahan-kelemahannya, maka dapat dikatakan bahwa orang tersebut mempunyai

penerimaan diri yang positif terhadap dirinya. Rubin (1974)

mengemukakan bahwa penerimaan diri merupakan kunci utama bagi

seseorang dalam mengatasi berbagai persoalannya. Rubin juga

mengemukakan bahwa seseorang memiliki penerimaan diri yang positif

apabila memiliki sikap yang mencerminkan rasa senang sehubungan

dengan kenyataan dirinya, selain itu apabila orang tersebut menginginkan

hidup yang menyenangkan.

Menurut Sartain, dkk (1973) orang yang dapat menerima dirinya

(23)

9

mereka mempunyai keinginan untuk memperbaiki diri. Sedangkan

menurut Chaplin (1975), penerimaan diri yang positif merupakan

perwujudan dari kepuasan terhadap kenyataan kemampuan diri, kualitas

dan bakat sendiri dan pengakuan atas keterbatasan-keterbatasan sendiri.

Perasaan ini terbentuk karena adanya pengertian arti positif dari

kemampuan diri sendiri. Rogers (Hjelle dan Ziegler, 1977) menambahkan

bahwa penerimaan diri yang positif terbentuk sehubungan dengan adanya

pengertian mengenai arti positif dari kenyataan kemampuan-kemampuan

diri sendiri. Pengertian tersebut diperoleh dengan meninjau kemampuan

diri sendiri berdasarkan nilai sosial yang ada (Chaplin, 1975). Jadi orang

yang dapat menerima diri secara positif adalah orang yang dapat melihat

kenyataan diri secara positif berdasarkan nilai-nilai sosial.

Menurut Sheerel (Cronbach, 1980) ada beberapa ciri yang terdapat

pada orang yang dapat menerima diri secara positif, antara lain :

a. Mempunyai keyakinan akan kemampuan yang dimilikinya untuk

menghadapi kehidupan.

b. Menganggap dirinya berharga sebagai seorang manusia yang sederajat

dengan orang lain.

c. Berani memikul tanggungjawab terhadap perilakunya

d. Menerima pujian dan celaan secara obyektif

e. Tidak menyalahkan dirinya akan keterbatasan yang dimilikinya

(24)

Sedangkan menurut Chaplin (1975), ciri penerimaan diri yang positif yaitu :

a. Mampu menerima tanggung jawab terhadap perilakunya

b. Mempunyai keyakinan akan kemampuan untuk menghadapi kebutuhan

c. Memiliki pandangan positif mengenai diri

d. Menerima kelemahan dan kelebihan yang ada

Berdasarkan pengertian tentang penerimaan diri dan ciri-ciri

tentang orang yang mampu menerima diri, maka dapat disimpulkan

sebagai berikut :

a. Penerimaan diri merupakan sikap yang mencerminkan kepuasan

terhadap kenyataan kemampuan diri yang menunjukkan kualitas diri

sendiri.

b. Pembentukan penerimaan diri ditentukan oleh sejauh mana pengertian

tentang arti positif dari kemampuan diri berdasarkan nilai sosial yang

ada.

Menurut Hurlock (1973) mengemukakan ciri-ciri orang yang

memiliki penerimaan diri negatif antara lain : tidak menyenangi diri,

mencemooh dirinya, merasa orang lain melihatnya dengan penuh

permusuhan dan penghinaan, tidak memiliki kepercayaan akan perasaan

dan sikapnya sendiri dan penghargaan terhadap dirinya ditentukan oleh

(25)

11

1. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penerimaan Diri

Menurut Hurlock (1994), ada banyak hal pokok/kondisi yang

dapat mengarah pada pembentukan penerimaan diri. Kondisi tersebut

antara lain :

a. Memahami diri sendiri

b. Memperoleh penghargaan yang realistik

c. Tidak adanya halangan/hambatan dari lingkungan

d. Adanya perilaku sosial yang mendukung

e. Adanya kondisi emosi yang menyenangkan dan tidak ada tekanan

emosi

f. Pengaruh pengalaman sukses

g. Identifikasi dengan individu yang penyesuaian dirinya baik

h. Perspektif diri yang realistik

i. Didikan yang baik di masa anak-anak

j. Konsep diri yang stabil

Selain itu, Burns (ANIMA, 1980) mengemukakan bahwa terdapat

3 aspek yang mempengaruhi penerimaan diri seseorang terhadap kondisi

fisiknya, yaitu :

a. Pengetahuan tentang fisik dirinya sendiri

b. Pemahaman yang realistik atas kemampuan diri

c. Kepuasan terhadap fisik dirinya sendiri sehingga dapat menerima

(26)

Selain kondisi-kondisi dan 3 (tiga) aspek yang telah disebutkan

secara rinci di atas, ada beberapa faktor yang juga dominan dapat

mem-pengaruhi penerimaan diri pada seseorang, yaitu :

a. Jenis kelamin

Menurut Ratnawati (1990), jenis kelamin akan mempengaruhi

penerimaan diri dan terdapat perbedaan yang mencolok antara pria dan

wanita. Pria dinilai memiliki penerimaan diri yang lebih positif bila

dibandingkan dengan wanita, hal ini berkaitan dengan sifat serta

perlakuan orang tua mereka. Selain itu juga karena wanita relatif lebih

sensitif serta lebih menitikberatkan pada afektif daripada pria.

b. Cacat yang disandang

Bagi orang yang mengalami cacat tubuh, penerimaan diri di pengaruhi

lama cacat yang di sandang. Berdasarkan lama cacat yang disandang,

penerimaan diri pada orang yang mengalami cacat tubuh sejak lahir

atau pada masa kanak-kanak lebih positif dibandingkan yang

mengalami cacat tubuh pada masa remaja atau dewasa (Suhartono,

1976). Hal itu terjadi karena mereka sejak kecil terbiasa diperlakukan

sebagai anak normal. Kecacatan tubuh yang mereka sandang

seolah-olah merupakan kejutan psikis sehingga mereka mengalami gangguan

emosi, berupa rasa rendah diri, apatis, sensitis dan diikuti penolakan

(27)

13

c. Inteligensi

Faktor inteligensi selain menambah kemampuan dalam membentuk

pengertian mengenai bagaimana nilai-nilai sosial menghendaki

penye-suaian juga dapat membuat seseorang lebih mampu untuk membentuk

tinjauan yang lebih tepat tentang arti positif dari kenyataan dirinya

berdasarkan nilai-nilai sosial yang ada (Siswojo, 1980).

d. Pendidikan

Pendidikan memiliki pengaruh positif dalam penerimaan diri karena

dapat untuk mempermudah penyesuaian diri. Tetapi adakalanya

pendidikan yang tinggi justru akan menghambat penerimaan diri

(Siswojo, 1980).

Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa terdapat banyak faktor

yang dapat mempengaruhi pembentukan penerimaan diri seseorang.

Faktor tersebut diantaranya yaitu faktor dari dalam diri, seperti : sikap,

emosi, jenis kelamin, inteligensi, dan faktor dari luar seperti sikap orang

lain dan pendidikan yang mereka peroleh.

B. Remaja yang Merasa Terbuang

1. Definisi remaja yang merasa terbuang

Menurut Gulo (2003), remaja berarti anak yang mendekati

kedewasaan diawali pada masa pubertas yang berakhir dengan

kedewasaan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi 3 (1990),

(28)

berharga. Remaja yang terbuang adalah anak yang mendekati kedewasaan

diawali pada masa pubertas yang berakhir dengan kedewasaan, dimana

anak tersebut merasa tidak diinginkan, disia-siakan atau diabaikan dan

tidak berharga.

Bloch dan Merritt (2006) menuliskan bahwa remaja yang merasa

terbuang adalah remaja yang merasa tidak dikasihi sebagai mana adanya

dia. Kasih orang tua membuat remaja menyadari dirinya diterima apa

adanya dan merasa berharga.

Berdasar dua rumusan di atas dapat disimpulkan remaja yang

terbuang adalah remaja (anak yang mendekati kedewasaan diawali pada

masa pubertas yang berakhir dengan kedewasaan) dimana remaja tersebut

merasa tidak dikasihi sebagai mana adanya dia, sehingga ia merasa tidak

diinginkan, disia-siakan atau diabaikan dan tidak berharga.

2. Penyebab remaja merasa terbuang

Karena tidak dikasihi, remaja merasa tidak diinginkan, tidak

berharga, disia-siakan atau diabaikan. Menurut Bloch dan Merritt (2006),

penyebab perasaan tidak dikasihi, tidak diinginkan, tidak berharga,

disia-siakan atau diabaikan adalah:

a. Tidak adanya pengakuan atas keberadaan mendasar remaja.

b. Tidak adanya pengakuan atas hak remaja atas keberadaannya.

c. Tidak adanya pengakuan atas hal-hal bermanfaat yang dilakukan oleh

(29)

15

d. Tidak adanya pengakuan atas bakat dan taleta remaja.

e. Tidak adanya pengakuan atas keinginan dan kerinduan remaja.

f. Tidak adanya pengakuan atas keindahan fisik remaja.

g. Tidak adanya pengakuan atas kebaikan di dalam niat remaja.

h. Tidak adanya perkuatan pada remaja secara nonverbal.

Menurut Bloch dan Merritt (2006), selain penyebab diatas perasaan

tidak dikasihi, tidak diinginkan, tidak berharga, disia-siakan atau diabaikan

bisa dirasakan oleh remaja ketika mengalami:

a. Gangguan jasmani.

Remaja yang mengalami gangguan fisik mengalami berbagai

perasaan dan pikiran negatif. Ia berfikir kalau dirinya tidak normal,

rusak, aneh, cacat dan tidak mampu melakukan apapun. Ia merasa

sedih, tertekan, pasrah, tidak berdaya, bersalah, tak mampu, diabaikan,

diisolasi, dikucilkan, diasingkan. Perasaan diisolasi, dikucilkan,

diasingkan dan diabaikan dipersulit oleh cap cacat yang disandang si

remaja apalagi kehidupannya di rumah tidak terlalu mendukung ia

mempelajari kealihan berkomunikasi (Bloch dan Merritt, 2006).

b. Gangguan kognitif.

Gangguan kognitif meliputi remaja yang mengalami hambatan

belajar, kelemahan dalam berbicara, dan gangguan perkembangan. Ia

merasa tidak mampu, tertekan, putus asa, malu sehingga ia

mengembangkan persoalan perilaku yaitu mendapat cap anak nakal,

(30)

menyimpang. kenakalan yang ia timbulkan membuatnya mendapat

perlakuan yang berbeda dengan remaja seusianya dan membuat ia

merasa dikucilkan, diasingkan, diabaikan dan tidak berharga (Bloch

dan Merritt, 2006).

c. Gangguan emosional dan perilaku.

Remaja yang mengalami gangguan emosional dan perilaku

dibesarkan dalam sistem keluarga dimana perasaannya tidak dihormati

dan diakui. Remaja ini pada dasarnya pemalu, ia memandang diri

buruk dan tidak berharga. Ia mengembangkan perasaan bersalah, tidak

dikasihi, malu, takut, marah, benci diri sendiri, tidak berdaya, putus

asa, tidak berguna dan diabaikan (Bloch dan Merritt, 2006).

d. Kekerasan.

Menurut Irwanto, dkk (1999) kekerasan dalam keluarga terjadi

dalam semua tipe keluarga, baik keluarga berada maupun keluarga

tidak berada. Irwanto (1995) menuliskan semakin besar jumlah

anggota keluarga, semakin tinggi kemungkinan kekerasan pada anak

terjadi. Menurut kamus Encyclopedia of Knowledge kekerasan dibagi

atas: a) kekerasan pada anak secara fisik dapat berupa tamparan,

pukulan, tendangan, dorongan yang bisa mengakibatkan memar, luka,

bahkan kematian; b) Pengabaian dapat berupa tidak selalu memberi

makan dan penggantian pakaian kotor anak dalam waktu yang lama; c)

Kekerasan emosional berupa penghinaan, caci maki, yang membuat

(31)

17

seks, pornografi. Bloch dan Merritt (2006) menuliskan bahwa remaja

korban kekerasan menyimpan di dalam batinnya pesan “kamu tidak

diinginkan, kamu tidak berharga.” Gordon (1994) membuat hipotesis

bahwa bila anak mempunyai orang tua yang menggunakan hukuman

fisik maka anak tersebut juga akan melakukan kekerasan fisik ketika

mereka menjadi orang tua.

e. Tidak tinggal dengan orang tua asli.

Anak asuh perlahan-lahan akan mulai memahami bahwa ia

dibesarkan di dalam keluarga lain. Mengetahui ia besar bukan di

keluarga asli menimbulkan perasaan sedih, marah, kecewa, malu,

bersalah, tidak dicintai, tidak diinginkan, tidak berharga, tidak

berguna, ditinggalkan, diabaikan, ditolak. Anak yang tinggal di

asrama, tinggal dengan nenek, tinggal dengan paman atau saudara lain

juga bisa membuat anak merasa tidak disayangi, tidak diinginkan,

ditolak dan disia-siakan (Bloch dan Merritt, 2006)

f. Kehilangan orang tua, sanak saudara, sahabat, binatang piaraan, tempat

tinggal, kasih, kesehatan, fungsi salah satu bagian tubuh.

Menurut Bloch dan Merritt (2006), kehilangan orang tua

menyebabkan remaja merasa telah diabaikan, ditinggalkan dan merasa

tidak disayangi. Ginott (2005) menuliskan bahwa meninggalnya orang

yang disayangi membuat remaja merasa ditinggalkan sendirian, dan

tidak ada yang menyayangi mereka lagi. Bloch dan Merritt (2006)

(32)

menyalahkan diri juga dirasakan saat ia kehilangan sanak saudara,

sahabat, binatang piaraan, tempat tinggal, kasih, kesehatan, fungsi

salah satu bagian tubuh.

g. Perceraian.

Kondisi interen keluarga yang negatif akan merusak

perkembangan mental remaja; terutama “broken home” (Sudarsono, 1990). Menurut Bloch dan Merritt (2006), remaja dalam keluarga

broken home memandang perpecahan keluarga sebagai suatu ancaman langsung terhadap kelangsungan hidupnya. Tanggapan awal terhadap

ancaman kelangsungan hidup adalah rasa takut, khususnya perasaan

takut diabaikan. Gunarsa (2004) menuliskan bahwa remaja yang putus

hubungan dengan orang tua, membuat remaja berada dalam

kesendirian dengan segala perasaan yang tidak menyenangkan. Cole

(2004), menuliskan bahwa remaja korban perceraian menderita karena

merasa tidak berguna atau tidak berharga.

h. Tinggal dengan keluarga yang tergantung pada bahan-bahan kimia.

Menurut Bloch dan Merritt (2006), tumbuh di tengah-tengah

keluarga yang bergantung pada bahan-bahan kimia misalnya keluarga

pecandu alkohol membuat remaja merasa: a) takut (ditinggalkan atau

dilukai); b) marah (kepada orang tua yang mengkhianati mereka); c)

malu (karena ibu datang ke sekolah dalam keadaan mabuk); d)

(33)

19

(kerena tidak seorangpun menemani mereka, tidak ada yang

mencintainya).

3. Akibat remaja merasa terbuang

Remaja yang merasa diabaikan atau disia-siakan, tidak diinginkan

dan tidak berharga dalam keluarga akan lebih merasa tertampung setiap

kali ia berada di tengah-tengah kawannya, tetapi ketika orang lain

mengetahui keadaannya dan ia dipandang berbeda oleh masyarakat, ia

mengalami diskriminasi sosial dari lingkungannya. Ia menjadi takut untuk

meluaskan pergaulannya dan mempengaruhi prestasi belajarnya di sekolah

(Gunarsa, 2004). Remaja yang merasa tidak mendapat kasih sayang yang

cukup di rumah, di sekolah dan lingkungannya sehingga mereka merasa

diabaikan maka secara alami terseret pada kehidupan geng. Geng

merupakan kelompok teman sebaya remaja-remaja yang terusir (Bloch dan

Merritt, 2006). Anak yang merasa diabaikan atau disia-siakan, tidak

diinginkan dan tidak berharga akan diselubungi perasaan tidak aman,

sehingga tumbuh perasaan inferiority. Ia merasa rendah diri, ia menjadi

takut untuk meluaskan pergaulannya (Gunarsa, 2004). Selain

mengembangkan perasaan inferioritas remaja juga merasa diri sebagai

korban (Hurlok: 1997). Remaja yang merasa diabaikan atau disia-siakan,

tidak diinginkan dan tidak berharga, ia akan merasa aman bila dirinya

tidak mencoba apa-apa. Moto kehidupannya adalah “ kalau saya tidak

(34)

Remaja yang diabaikan atau disia-siakan, tidak diinginkan dan

tidak berharga akan meyakini bahwa ia tidak baik sama sekali. Saat remaja

butuh uluran tangan dan dukungan, tetapi ia tidak mendapatkannya, ia

akan merasa tidak berharga. Perhatian remaja yang tersita oleh perasaan

disia-siakan atau tidak diinginkan akan membuat ia sulit menerima diri

(Cole, 2004).

4. Kebutuhan remaja yang merasa terbuang

Pembinaan keluarga sehat diperlukan adanya hubungan yang

baik antara orang tua dan anak dengan penuh kasih sayang (Wresniwiro

(1996). Kasih sayang merupakan kebutuhan pokok yang bersifat kejiwaan

bagi remaja. Kebutuhan pokok tersebut menuntut pemenuhan sedini

mungkin sebagai modal utama bagi perkembangan jiwa remaja

(Sudarsono, 1990). Apabila keinginan seorang remaja untuk mendapat

kasih sayang seutuhnya dapat dipahami, maka ia akan merasa tentram.

Bila hasrat remaja dapat dimengerti dan dihargai, ia akan merasa terhibur.

Kalau keunikan setiap remaja dihargai, maka ia akan merasa dikuatkan

(Ginott, 2005). Di dalam keluarga pemenuhan kasih sayang dapat

tercermin dalam pemeliharaan, perhatian, sikap toleran dan

kelemah-lembutan dari orang tua di dalam pergaulan intern keluarga (Sudarsono,

1990). Seorang remaja yang disentuh, dipeluk, dan dikasihi secara

otomatis akan merasa dirinya penting dan berharga (Bloch dan Merritt,

(35)

21

butuh kasih sayang dari orang-orang yang penting baginya. Bloch dan

Merritt (2006) menuliskan untuk menjauhkan remaja dari perasaan

terbuang maka sangat diperlukan kasih sayang orang tua yang menghargai

dan menghormati si remaja atas keberadaanya dan menegaskan ia sebagai

pribadi yang unik dan berharga bisa dengan: a) memberi pengakuan atas

keberadaan mendasar remaja; b) memberi pengakuan atas hak remaja atas

keberadaannya; c) memberi pengakuan atas hal-hal bermanfaat yang

dilakukan oleh remaja; d) memberi pengakuan atas bakat dan talenta

remaja; e) memberi pengakuan atas keinginan dan kerinduan remaja; f)

memberi pengakuan atas keindahan fisik remaja; g) memberi pengakuan

atas kebaikan di dalam niat remaja; h) memberi perkuatan pada remaja

secara nonverbal. Bloch dan Merritt (2006) juga menuliskan anak yang

merasa terbuang butuh memperoleh harapan, keberanian, kekuatan

kembali untuk dapat hidup lebih kaya dan lebih penuh.

C. Konseling Eklektik dengan Pendekatan Interview for Adjustment

Winkel dan Hastuti, 2004 menuliskan konseling eklektik menunjuk

pada perpaduan dari berbagai unsur yang diambil atau dipilih dari beberapa

teori serta pendekatan konseling. Promotor utama dari pola eklektik adalah

Frederick Thorne. Menurut Frederick Thorne masalah timbul bila seseorang

belum dapat menyelesaikan sendiri masalahnya karena ia belum

mempergunakan kemampuan berfikirnya secara benar dan tepat. Oleh karena

(36)

dalam memikirkan persoalan-persoalan hidup dan memiliki banyak

pengalaman. Konseling eklektik tidak mengikuti satu orientasi teoritis serta

menerapkan satu pendekatan saja tetapi menggunakan variasi dalam sudut

pandang, prosedur dan teknik, sehingga dapat melayani masing-masing

konseli sesuai dengan kebutuhannya dan ciri khas dari masalah yang

dihadapinya.

Winkel dan Hastuti, 2004 mengembangkan suatu pola pendekatan

konseling di institusi pendidikan yang bersifat eklektik, yang tidak khusus

terikat pada kerangka teoritis tertentu. Salah satu pendekatan konseling

eklektik di institut pendidikan adalah Interview for Adjustment yaitu suatu

pola pendekatan dalam konseling yang digunakan untuk melayani kasus yang

penyelesaiannya menuntut perubahan sikap serta tindakan penyesuaian diri

terhadap situasi kehidupan yang tidak dapat diubah dan harus diterima

seadanya (change case). Dalam kasus change case konseli perlu dibantu untuk meninjau kembali sikap dan pandangannya sampai sekarang serta memikirkan

sikap dan tindakan yang lebih baik. Change case digunakan bila tidak ada indikasi tentang adanya pikiran irasional atau rasa takut (anxiety) yang

bersumber pada suatu proses belajar di masa yang lampau. Interview for Adjustment dapat digunakan untuk membantu anak yang merasa terbuang untuk dapat mengubah perasaan dan pikirannya sehingga ia menyadari kalau

ia masih punya harapan, kekuatan untuk dapat menerima dirinya sehingga

(37)

23

Wawancara konseling dengan pola pendekatan Interview for Adjustment, fasenya yaitu:

1. Fase pembukaan.

Selama fase ini konselor berusaha untuk menciptakan suatu hubungan

antar pribadi (working relationship) yang baik dengan konseli. a. Konseli datang atas undangan konselor/konseli datang sendiri

b. Menyambut kedatangan konseli

c. Mengajak konseli berbasa-basi

d. Menjelaskan kekhususan dari wawancara konseling

e. Mempersilakan konseli mengungkapkan masalah yang ingin

disampaikan

2. Fase penjelasan masalah

Diambil dari rambu kasus, kirannya apa yang akan diutarakan konseli.

3. Fase penggalian masalah

Digali latar belakang masalah menurut sistematis tertentu (tidak ada

yang baku), misalnya:

a. Asal-usul masalah

b. Unsur-unsur pokok dan tidak pokok

c. Siapa-siapa yang terlibat

d. Perasaan dan pikiran konseli

e. Lain-lain segi/aspek yang dianggap perlu, misalnya lingkungan

keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan pergaulan, cita-cita masa

(38)

4. Fase penyelesaian masalah

Dengan mengingat ciri khas suatu “chang case” yaitu penyesuaian diri,

konselor mengajak berdiskusi tentang:

a. Dijelaskan penyebab mengapa konseli sampai mengalami masalah

b. Perubahan dalam pandangan dan sikap yang bagaimana yang

diperlukan, supaya dapat menghadapi situasi yang ada.

c. Tindakan apa yng direncanakan akan diambil sesudah keluar dari

ruang konseling.

5. Fase penutup

Selama fase ini konselor mengakhiri wawancara dengan:

a. Memberi ringkasan jalannya wawancara.

b. Menegaskan kembali keputusan yang diambil.

c. Memberi semangat/bombongan

d. Menawarkan bantuannya bila kelak timbul persoalan baru

e. Berpisah dengan konseli

Adapun teori konseling Interview for Adjustment merupakan teori yang

relevan bagi konseling di institut pendidikan. Pandangan teoritis yang dibahas

di atas mengakui bahwa manusia pada dasarnya mampu berubah. Seandainya

manusia tidak mampu untuk berubah, wawancara konseling tidak bermanfaat

dan berarti hanya membuang waktu saja. Dalam Interview for Adjustment

(39)

25

seseorang yaitu perubahan dalam perilaku dan perasaan seseorang dengan

mengubah cara berfikir tentang dirinya sendiri.

D. Penerapan Konseling Eklektik dengan Pendekatan Interview for Adjustment Bagi Anak yang Merasa Terbuang

Merasa terbuang adalah perasaan yang dialami seseorang karena ia

merasa kurangnya kasih sayang yang didapat dari orang yang berarti dalam

hidupnya sehingga ia merasa tidak diinginkan, disia-siakan atau diabaikan dan

tidak berharga (Bloch dan Merritt, 2006). Gunarsa (2004) menuliskan

seseorang yang merasa terbuang akan merasa lebih tertampung setiap kali ia

berada di tengah-tengah kawannya, tetapi ketika orang lain mengetahui

keadaannya dan ia dipandang berbeda oleh masyarakat, ia mengalami

diskriminasi sosial dari lingkungannya. Ia menjadi takut untuk meluaskan

pergaulannya, mempengaruhi prestasi belajarnya di sekolah dan tumbuh

perasaan inferiority. Ia merasa rendah diri, menjadi takut untuk meluaskan

pergaulannya. Cole (2004) menuliskan remaja yang perhatiannya berpusat

pada perasaan terbuang membuat ia sulit menerima dirinya.

Permasalahan yang dimulai dari merasa terbuang sampai akhirnya

takut mengembangkan pergaulan menunjukan adanya kesulitan dalam

penerimaan diri. Menurut Winkel dan Hastuti (2004) konseling yang tepat

untuk seseorang yang mengalami kesulitan dalam penerimaan diri, adalah

konseling eklektik dengan pendekatan Interview for Adjustment yang berguna

(40)

harus diambil. Agar remaja yang merasa terbuang mampu menyadari kalau ia

masih punya harapan, kekuatan untuk dapat menerima dirinya sehingga

(41)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Penelitian Studi Kasus

Jenis penelitian ini adalah penelitian studi kasus yang merupakan salah

satu dari beberapa jenis penelitian deskriptif-kualitatif. Menurut Zuriah (1997)

penelitian deskriptif-kualitatif terdiri dari jenis penelitian survei, studi kasus,

perkembangan, tindak lanjut, analisis dokumen, studi waktu dan gerak, dan

studi kecenderungan. Isaac dan Michael (1982) menyatakan desain penelitian

studi kasus untuk melakukan analisis secara intensif dan mendalam pada

sebuah gejala mengenai latar belakang, atribut-atribut, status terkini dan

pengaruh interaksi lingkungan secara individual atau kolektif. Furchan (1982)

menyatakan studi kasus mengupayakan penyelidikan terhadap individu atau

kelompok sosial secara mendalam. Yatim (dalam Zuriah, 1997) menyatakan

bahwa studi kasus berkenaan dengan segala sesuatu yang bermakna dalam

sejarah atau perkembangan kasus yang bertujuan untuk memahami siklus

kehidupan atau bagian dari siklus kehidupan suatu unit individu.

Winkel dan Hastuti (2004) menjelaskan metode studi kasus digunakan

untuk mengumpulkan data mengenai berbagai aspek tentang seseorang yang

dijadikan objek studi kasus dan menilai arah serta taraf perubahan yang

dialami orang itu sebagai akibat dari pelayanan bimbingan, misalnya aspek

kognitif, aspek afektif atau aspek perilakunya.

(42)

B. Subjek Penelitian

Poerwandari (1998) menjelaskan karakteristik penelitian studi

kasus diarahkan tidak pada jumlah sample yang besar, melainkan pada kasus-kasus tipikal sesuai dengan kekhususan masalah penelitian. Subjek penelitian

ini adalah seorang remaja putri yang bernama Lexa (samaran). Subjek tinggal

di Panti Asuhan Pangrekso Dalem, Betlehem, Temanggung. Subjek berusia 15

tahun, ia tinggal di PA sejak bayi. Subjek memiliki kecacatan fisik yaitu mata

juling, telinga mengalami kesulitan pendengaran serta mengeluarkan bau

busuk dan bentuk kepala atas cekung. Subjek bersekolah di SMPLB Melati,

Temanggung. Pendengaran subjek yang terganggu menghambat subjek

mendengar dengan baik, walau demikian subjek dapat diajak bertukar pikiran

C. Metode Pengumpulan Data

Winkel dan Hastuti (2004) menyatakan pengumpulan data penelitian

bertujuan untuk mendapatkan pengertian yang luas, lebih lengkap dan lebih

mendalam tentang subjek yang akan diteliti, serta membantu untuk

memperoleh pemahaman akan diri sendiri. Penelitian ini menggunakan

metode observasi dan wawancara.

Teknik pencatatan data dalam penelitian ini adalah naratif recording yaitu dengan cara menceritakan kembali suatu kejadian, keadaan

lingkungan yang bertujuan untuk memperoleh data yang luas dan

komprehensif tentang tingkah laku, kehidupan sosial serta lingkungan sosial

(43)

29

perilaku yang akan diamati, mengidentifikasi hal-hal yang akan berpengaruh

pada perkembangan sosialnya, mencatat perilaku verbal dengan menggunakan

tape-recorder dan non-verbal. 1. Observasi

Poerwandari (1998) menyatakan metode observasi merupakan

kegiatan memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang muncul

dan mempertimbangkan hubungan antar aspek dalam fenomena tersebut.

Tujuan observasi adalah mendeskripsikan setting yang dipelajari,

aktivitas-aktivitas yang berlangsung, orang-orang yang terlibat dalam

aktivitas dan makna kejadian dilihat dari perspektif mereka yang terlibat

dalam kejadian yang diamati tersebut.

Metode observasi dalam penelitian ini adalah naturalistic

observation yaitu pengamatan dan pencatatan perilaku di kehidupan nyata yaitu di rumah, tempat subjek bermain, lingkungan sekolah dan

masyarakat. Hubungan subjek dengan anggota keluarganya, hubungan

subjek dengan tetangganya, hubungan subjek dengan teman-teman dan

hubungan subjek dengan gurunya.

2. Wawancara

Poerwandari (1998) menyatakan metode wawancara adalah

percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan

tertentu. Wawancara dilakukan untuk memperoleh pengetahuan tentang

(44)

yang diteliti dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu atau makna

subjektif yang muncul.

Metode wawancara dalam penelitian ini ada dua yaitu, wawancara

informasi dan wawancara konseling.

a. Wawancara informasi

Winkel dan Hastuti (2004) menjelaskan bahwa wawancara

informasi merupakan alat pengumpul data guna memperoleh data atau

informasi dari subjek atau individu secara lisan. Wawancara informasi

ini digunakan sebagai sarana untuk memperoleh informasi yang

komprehensif mengenai subjek penelitian. Wawancara informasi ini

dilakukan pada subjek penelitian, teman-teman subjek dan pengasuh di

lingkungan tempat tinggal subjek untuk memperoleh data tentang

identitas subjek, latar belakang kehidupan subjek, latar belakang

kehidupan keluarga subjek serta kehidupan sosial budaya subjek.

Metode wawancara dalam penelitian ini adalah wawancara semi

terstruktur, yaitu wawancara dengan pedoman umum yang

mencantumkan data yang akan diungkap tanpa menentukan urutan

pernyataan.

b. Wawancara konseling

Winkel dan Hastuti (2004) menjelaskan bahwa wawancara

konseling menunjuk pada aspek tatap muka atau aspek proses. Aspek

(45)

31

dengan konselor serta berwawancara dengan konselor mengenai

masalah yang dihadapi. Aspek proses menunjuk pada kenyataan

bahwa konseli mengalami suatu rangkaian perubahan dalam diri

sendiri yang membawa dia dari suatu masalah disadari, diungkapkan

dan belum ada penyelesaiannya ke saat masalah terpecahkan secara

memuaskan. Dengan adanya komunikasi langsung dalam wawancara

konseling, penulis dapat memperoleh informasi yang faktual yang

diperlukan sikap, pikiran, harapan serta perasaan subjek dan untuk

mendampingi subjek dalam menyadari masalah dan mencari

penyelesaian masalah tersebut.

Winkel dan Hastuti (2004) menyebutkan tahapan umum

wawancara konseling meliputi:

1) Fase pembukaan

Selama fase ini konselor berusaha untuk menciptakan suatu

hubungan antar pribadi (working relationship) yang baik dengan

konseli.

2) Fase penjelasan masalah

Konseli mengutarakan masalah atau persoalan yang dihadapi.

Selama fase ini konselor mendengarkan dengan sungguh-sungguh,

sambil menunjukkan pemahaman dan pengertian serta

memantulkan perasaan dan pikiran yang diungkapkan oleh konseli.

Sementara itu, konselor berusaha menentukan apa yang

(46)

konseli pada saat sekarang dan berkaitan dengan tujuan yang akan

dicapai dalam proses konseling.

3) Fase penggalian masalah

Konselor dan konseli bersama-sama menggali latar belakang

masalah yang dihadapi. Fase ini mencakup analisis kasus, yang

menghasilkan fakta dan data yang harus diindahkan selama fase

berikutnya, supaya persoalannya dapat diselesaikan secara tuntas.

4) Fase penyelesaian masalah

Konselor dan konseli membahas persoalan sampai ditentukan

penyelesaian yang tuntas, dengan mengindahkan semua data dan

fakta.

5) Fase penutup

Selama fase ini konselor mengakhiri keseluruhan wawancara

konseling.

Penentuan pendekatan yang tepat dalam konseling, dilihat dari jenis

permasalahan yang dialami klien (Winkel dan Hastuti, 2004). Jenis masalah

yang dialami subjek penelitian adalah penerimaan diri, maka konseling yang

tepat digunakan adalah Interview for Adjustment karena penerimaan diri erat kaitannya dengan penyesuaian diri (Hurlock, 1997). Dalam konseling

Interview for Adjustment dituntut perubahan sikap dan pandangan dari subjek penelitian (Winkel dan Hastuti, 2004). Interview for Adjustment sesuai untuk

(47)

33

gejala kelainan dalam kepribadiannya atau gangguan kesehatan mental yang

berat (Winkel dan Hastuti, 2004). Kelainan dalam kepribadiaanya atau

gangguan kesehatan mental yang berat antara lain: schizofrenia, psikosa

manis-depresif dan paranoia (Kartono, 2000).

D. Teknik Pengolahan Data

Pada penelitian ini tidak diajukan hipotesis apapun karena penelitian

ini mengarah pada penemuan data dan permasalahan yang ada. Penelitian ini

tidak terbatas pada upaya menerima atau menolak dugaan-dugaan melainkan

mencoba memahami situasi sebagaimana situasi tersebut menampilkan diri.

Poerwandari (1998), menyatakan setelah melakukan observasi dan

wawancara terhadap subjek, peneliti melakukan pengolahan data dengan cara:

1. Menuliskan transkrip dari hasil wawancara yang telah dilakukan. Peneliti

menuliskan hasil wawancara yang telah terekam dalam kaset.

2. Membaca transkrip. Peneliti membaca hasil wawancara yang telah ditulis

dari hasil wawancara yang telah terekam dalam kaset.

3. Mengidentifikasi tema-tema yang muncul. Peneliti mengenali dan

mengelompokkan hasil wawancara yang telah ditulis tersebut ke dalam

tema-tema atau pokok-pokok pikiran yang muncul dari hasil wawancara.

4. Menginterpretasikan data. Peneliti menjelaskan data yang telah

dikumpulkan dan dikelompokan tersebut sebagai keseluruhan rangkaian

(48)

E. Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan menggunakan prosedur laporan studi

kasus (Winkel, 1997)

1. Deskripsi umum kasus

Deskripsi umum kasus yaitu berisi nama subjek (samaran), umur, alamat

(samaran), sekolah, kelas, jenis kelamin, penampilan subjek yang dapat

diamati serta gejala yang menandakan adanya masalah yang perlu diatasi.

2. Analisis

Analisis yaitu menyajikan data dan fakta yang diperlukan untuk

mengetahui gambaran diri subjek secara lebih lengkap dan mendalam.

Data dan fakta yang dikumpulkan meliputi: lingkungan sosial subjek,

kelompok sosial, latar belakang keluarga dan konsep diri.

3. Sintesis

Sintesis merupakan deskripsi keseluruhan yang mencakup deskripsi umum

dan data yang dikumpulkan dalam analisis, sehingga diperoleh suatu

gambaran singkat tentang diri subjek. Gambaran tersebut bersifat suatu

rangkuman dan sekaligus merupakan suatu sintesis yang menghubungkan

data dan fakta yang terhimpun dalam analisis di atas.

4. Diagnosis

Diagnosis yaitu penentuan apakah masalah yang dialami subjek ini

(49)

35

bimbingan pribadi-sosial. Selanjutnya, dibuat perkiraan mengenai hal-hal

yang menjadi penyebab pokok timbulnya masalah yang dihadapi subjek.

5. Prognosis

Prognosis yaitu melaporkan sejauh mana dapat diharapkan terjadi suatu

perubahan bermakna dalam pikiran/pandangan, perasaan, kemauan

maupun perilaku subjek. Dalam prognosis juga diperkirakan berapa waktu

yang diperlukan untuk mencapai perubahan tersebut.

6. Treatment

Treatment ini merupakan proses pelaksanaan wawancara konseling dengan subjek sesuai dengan pendekatan yang telah direncanakan.

7. Evaluasi dan tindak lanjut

Pada bagian ini, setelah treatment dianggap berakhir, perlu dilihat sejauh

mana tampak hasil yang diharapkan (evaluasi). Kemudian ditentukan

tindak lanjut apa yang kiranya masih diperlukan dan bagaimana

(50)

Bab ini menggunakan hasil pelaksanaan penelitian sebagaimana

diungkapkan pada bab sebelumnya bahwa data yang diperoleh dianalisis dengan

menggunakan prosedur study kasus. Dalam pelaksanaan penelitian, peneliti

menggunakan tape recorder untuk konseling pertemuan kedua, ketiga dan

keempat dan wawancara informasi dengan sumber subjek sendiri, teman subjek,

dan guru, sedangkan dengan suster sebagai pengasuh tidak menggunakan tape recorder.

A. Deskripsi Umum Kasus Subjek

Nama : Lexa (samaran).

Tempat, tanggal lahir : Temanggung, 21 Juni 1991.

Agama : Katolik.

Tempat tinggal : PA. Pangrekso Dalem, Betlehem, Temanggung.

Alamat : Jln. Sudirman no 52, Temanggung.

Jenis kelamin : Perempuan.

Umur : 15 tahun.

Hobbi : Gitar, renang, lari estafet, tidur,

baca komik dan novel.

Sekolah : SMPLB Melati, Temanggung.

Anak ke : 9 dari 9 bersaudara.

(51)

37

Nama orang tua :

Ayah : Yohanes Petrus.

Ibu : Fransiska Febriani.

Penampilan :

1. Tinggi badan 158 Cm.

2. Berat badan 45 Kg.

3. Warna kulit sawo matang.

4. Rambut hitam ikal, sebahu.

5. Mata juling.

6. Bentuk kepala cekung.

7. Pendengaran mengalami gangguan (sering

mengeluarkan cairan yang berbau).

8. Berpakaian rapi, sering menggunakan celana

panjang dan kaos.

Gejala yang tampak :

1. Lexa menghindari tatapan mata orang bila

memandangi fisiknya.

2. Lexa tidak mau mengakui dirinya

bersekolah di SMPLB.

3. Lexa terlihat suka mencari perhatian bila

sedang berkumpul baik dengan teman

(52)

Sumber informasi : 1. Lexa

1. Ibu Pur dan Ibu Sri, selaku guru Lexa

2. Sr. Zita, selaku pengasuh Lexa

3. Via, Yuli, Hanip, selaku teman Lexa

B. Analisis

1. Riwayat pendidikan:

Informasi diperoleh dari dokumen (Laporan Pribadi Anak ketika

TK, Surat Keterangan Tamat Belajar TK, Buku Nilai Kepribadian SD,

Laporan Penilaian Hasil Belajar SDLB, Surat Tanda Lulus SDLB, Ijazah

SDLB, dan Piagam Penghargaan Lomba) yang didapat dari Sr. Zita. Pi.,

pada tanggal 10 Agustus 2006.

a. TK COR YESU (1995-1997).

TK Cor Yesu terletak di jalan Jend Sudirman no. 53,

kelurahan Kertosari, Temanggung di bawah Yayasan

Penyelenggaraan Ilahi. Lexa masuk TK Cor Yesu dengan wali Sr.

Diana. PI., selaku pimpinan PA Betlehem. Dari data rapor Lexa

selama di TK diketahui keadaan mata, mulut, dan anggota badan

tidak mengalami perkembangan selama di TK, dari cawu I-III

dapat penilaian cukup. Telinga, hidung dan kulit Lexa mendapat

penilaian dari cukup mengalami perkembangan ke baik, untuk gigi

(53)

39

Lexa selama di TK mendapat penilaian antara lain:

TK A

Cawu I (Selama di cawu satu Lexa selalu masuk sekolah).

1) Pembentukan perilaku

a) Moral Pancasila, disiplin, perasaan/emosi, dan kemampuan

kemasyarakatan.

Lexa dalam bersopan santun, tolong menolong dan

tenggang rasa dengan teman sudah baik tetapi harus latihan

konsentrasi diri dan pengendalian emosi.

b) Agama

Lexa mau melakukan doa sebelum dan sesudah pelajaran.

Lexa sudah hafal doa yang diajarkan tetapi Lexa masih

latihan sikap doa karena sering mainan korden atau

rambutnya teman ketika berdoa.

2) Kemampuan dasar

a) Kemampuan berbahasa

Lexa dalam berbicara dengan guru dan teman sudah lancar.

Menyanyi, mengucapkan syair sudah cukup baik namun

masih harus latihan tanya jawab dalam kelompok, karena

(54)

b) Daya Pikir

Lexa kemampuan menyebutkan bermacam warna, alamat

rumah sudah cukup baik namun masih latihan konsep,

lambang bilangan, bermacam bentuk dan menyusun puzzle.

c) Keterampilan

Lexa dalam hal memberi dan mencocokan warna sudah

baik namun masih harus latihan menggambar, melipat,

menggunting, membuat garis dan angka, menjahit

sederhana, menciptakan bangunan, serta meningkatkan

kerajinan dan kerapian pekerjaan.

d) Jasmani

Lexa sudah baik dalam melakukan gerakan mengayuh,

meluncur, merayap, merangkak namun masih berlatih

meniti dan bergerak dengan musik.

Cawu II (Selama cawu II Lexa satu kali sakit).

1) Pembentukan perilaku

a) Moral Pancasila, disiplin, perasaan/emosi, dan kemampuan

kemasyarakatan

Lexa sudah bisa menolong teman, mengucapkan salam,

mengurus diri namun masih harus latihan bertanggung

jawab dalam menjalankan tugas, mengendalikan emosi,

(55)

41

b) Agama

Lexa mampu melakukan doa sebelum dan sesudah

pelajaran. Doa sudah hafal namun harus belajar

konsentrasi. Lexa ramah dan ceria sebagai anak Allah

namun harus lebih belajar mengenal cerita-cerita alkitab.

2) Kemampuan dasar

a) Kemampuan berbahasa

Lexa sudah mampu bernyanyi dan mengucapkan sajak

namun masih harus berlatih tanya jawab dalam kelompok,

mengenal posisi tempat dan menceritakan gambar.

b) Daya pikir

Lexa cukup mampu menyebutkan berbagai macam bentuk

benda, binatang, tanaman namun masih harus berlatih

menyebut nama-nama hari, lawan kata, ukuran, konsep

bilangan.

c) Keterampilan

Lexa dalam hal memberi dan mencocokkan warna sudah

baik namun masih harus latihan menggambar, melipat,

menggunting, membuat garis dan angka, menjahit

(56)

d) Jasmani

Lexa sudah baik dalam melakukan gerakan mengayuh,

meluncur, merayap, merangkak namun masih berlatih

meniti, menangkap bola, meloncat, dan gerakan dengan

musik.

Cawu III (Cawu III Lexa selalu masuk sekolah).

1) Pembentukan perilaku

a) Moral Pancasila, disiplin, perasaan/emosi, dan kemampuan

bermasyarakat

Perilaku Lexa sehari-hari sudah baik, mau mengucapkan

salam dan tolong-menolong dengan teman. Lexa dapat

mengurus diri sendiri, bertanggung jawab dalam tugas

namun masih belum rapi dan bersih dalam mengerjakan

tugas.

b) Agama

Lexa sudah hafal doa, lagu rohani dan bisa konsentrasi

dengan cukup baik. Lexa anaknya riang, ramah namun

belum paham cerita-cerita rohani dan tempat ibadah tiap

(57)

43

2) Kemampuan dasar

a) Kemampuan berbahasa

Kemampuan berbahasa Lexa sudah baik, ia dapat

menjawab pertanyaan sederhana. Lexa mudah menghafal

lagu, syair, dan posisi tempat duduk namun belum aktif

dalam tanya jawab kelompok dan cerita bergambar.

b) Daya pikir

Daya pikir Lexa cukup baik, dapat menghitung, dan

menyebutkan nama-nama hari namun masih berlatih

menyebut lawan kata.

c) Keterampilan

Keterampilan motorik halus Lexa cukup baik. Lexa dapat

meronce, menggambar, mencocokan, membuat garis dan

angka namun kurang rapi. Lexa harus berlatih melipat,

menganyam, menggunting dan menjahit.

d) Jasmani

Keterampilan motorik kasar Lexa sudah baik. Lexa dapat

bermain dengan alat permainan, merangkak, merayap

namun masih latihan melompat setinggi 20 cm, berjalan di

(58)

TK B

Cawu I (Lexa selama cawu I selalu masuk kelas).

1) Pembentukan Perilaku

a) Moral Pancasila, disiplin, perasaan/emosi dan kemampuan

bermasyarakat

Sikap Lexa dalam mengucap salam, bergotong royong,

tolong menolong, berani dan ingin tahu sesuatu sudah

cukup baik. Namun perlu latihan dalam kerapian bertindak,

bekerja, berpakaian, mengendalikan emosi dan bersopan

santun.

b) Agama

Sikap Lexa sebagai anak Allah dan rela berkawan cukup

baik. Namun harus banyak latihan dalam berdiam diri,

tenang mengerjakan tugas, memahami arti simbol dalam

gambar kitab suci, bersopan dan bertingkah laku jujur.

2) Kemampuan dasar

a) Kemampuan berbahasa

Kemampuan Lexa cukup dalam menjawab pertanyaan,

menyanyikan lagu anak, mengucapkan sajak,

memperagakan gerak, bicara lancar dengan kalimat

(59)

45

dramatisasi, melengkapi kalimat, mengurutkan gambar seri,

menceritakan gambar yang dibuat sendiri.

b) Daya pikir

Kemampuan Lexa masih kurang dalam mengenal konsep

bilangan, mengelompokan warna, menyusun bentuk,

mengenal sebab akibat, mengetahui asal mula, membuat

pola gambar, mengenal konsep waktu. Lexa masih perlu

latihan dan bimbingan.

c) Keterampilan

Lexa masih perlu latihan dan bimbingan dalam membuat

macam-macam garis, mencontoh angka, membuat pola

gambar, membatik, mozaik, mencocokan gambar, melipat

kertas, menggunting kertas, menjiplak bentuk-bentuk,

menjahit, menganyam, melukis dengan jari.

d) Jasmani

Kemampuan Lexa cukup dalam merayap, merangkak,

meniti, berjalan, berlari, meloncat, melompat meniru

gerakan binatang dan tanaman, gerak tari, melempar, dan

(60)

Cawu II (Selama cawu II Lexa satu hari tidak masuk sekolah

karena sakit)

1) Pembentukan perilaku

a) Moral Pancasila, disiplin, perasaan/emosi dan kemampuan

bermasyarakat

Sikap Lexa dalam keberanian, tenggang rasa, mengucap

salam, tolong menolong, gotong royong sudah baik. Namun

masih perlu berlatih mengurus diri, bertanggung jawab

terhadap tugas, kerapian bertindak, bekerja dan berpakaian.

b) Agama

Lexa suka menolong, rela berkawan, rela memberi dan

menerima. Namun perlu latihan dalam memahami simbol,

sopan santun dalam bertingkah laku, mampu berdiam diri

dalam melaksanakan tugas.

2) Keterampilan dasar

a) Kemampuan berbahasa

Kemampuan Lexa dalam menirukan urutan angka,

menjawab pertanyaan, bicara dengan kalimat sederhana,

menyanyikan lagu anak, memberikan keterangan sudah

baik. Namun perlu latihan dalam melengkapi kalimat,

(61)

47

b) Daya pikir

Kemampuan Lexa dalam membilang, konsep bilangan,

konsep sama tidak sama, mengelompokan warna, mengenal

ukuran, sebab akibat, asal mula, konsep waktu,

penambahan dan pengurangan masih kurang dan perlu

banyak latihan serta bimbingan.

c) Keterampilan

Kemampuan Lexa dalam membuat garis, mencontoh

bentuk, menulis angka, meronce, melipat kertas,

menggunting, mencocokan, menggambar, menjiplak,

menjahit, tepuk tangan berbagai pola, membatik masih

kurang harus banyak latihan dan bimbingan.

d) Jasmani

Kemampuan Lexa dalam merayap, merangkak, berjalan,

berlari, menirukan gerakan tanaman dan hewan, melakukan

gerak tari sudah baik. Namun perlu latihan dalam senam

(62)

Cawu III (Selama cawu III Lexa selalu masuk sekolah).

1) Pembentukan perilaku

a) Moral Pancasila, disiplin, perasaan/emosi dan kemampuan

bermasyarakat.

Sikap Lexa dalam mengucapkan salam, tolong menolong,

puas atas prestasi, berani dan rasa ingin tahu, gotong

royong, tanggung jawab terhadap tugas sudah baik. Namun

harus berlatih dalam kerapian bekerja dan pengendalian

emosi.

b) Agama

Sikap religius, mengasihi sesama dan ciptaan Tuhan,

ramah, rela berkawan, gembira dalam berpenampilan

sebagai anak Allah sudah baik. Namun perlu latihan

berdiam diri dalam mendengarkan, melaksanakan tugas,

dan sopan santun.

2) Kemampuan dasar

a) Kemampuan berbahasa

Kemampuan Lexa dalam menyanyikan lagu anak,

memberikan keterangan, menggunakan dan menjawab

pertanyaan, memperagakan gerakan sudah baik.

Namun perlu berlatih mengurutkan dan melanjutkan

Gambar

Tabel 1
Tabel 1
Tabel 2
Tabel 3
+3

Referensi

Dokumen terkait