PENERIMAAN DIRI REMAJA
YANG MERASA
TERBUANG
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling
Oleh:
Prinses Bengawan Zaldy
NIM : 021114036
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
2006
Oleh:
Prinses Bengawan Zaldy NIM: 021114036
Telah disetujui oleh:
Pembimbing I
Dra. M.J. Retno Priyani, M.Si Tanggal 8 Desember 2006
Pembimbing II
Drs. T.A. Prapancha. Hary, M.Si Tanggal 8 Desember 2006
S K R I P S I
PENERIMAAN DIRI REMAJA
YANG MERASA
TERBUANG
Dipersiapkan dan ditulis oleh:
Prinses Bengawan Zaldy NIM: 021114036
Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji pada tanggal 8 Desember 2006
dan dinyatakan memenuhi syarat
Susunan Panitia Penguji
Nama Lengkap Tanda Tangan
Ketua Dr. M.M. Sri Hastuti, M.Si ...
Sekretaris Fajar Santoadi, S. Pd ...
Anggota Dra. M.J. Retno Priyani, M.Si ...
Anggota Drs. T.A. Prapancha Hary, M.Si ...
Anggota Dra. C.L. Milburga, CB., M.Ed ...
Yogyakarta, 8 Desember 2006
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sanata Dharma
Dekan.
(Drs. T. Sarkim. M. Ed., Ph.D)
Yohanes 3: 16
Akan tetapi Allah menunjukan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa.
Roma 5:8
Semua Manusia Berdosa
Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah.
Roma 3:23
Seperti ada tertulis: “Tidak ada yang benar, seorangpun tidak.”
Roma3:10
Allah Menyelesaikan Perbuatan Dosa
Sebab upah dosa ialah maut, tetapi karunia Allah ialah hidup yang kekal dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.
Roma 6:23
Tetapi semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya
Yohanes 1:12
Sebab yang sangat penting telah kusampaikan kepadamu, yaitu apa yang telah kuterima sendiri, ialah bahwa Kristus telah mati karena dosa-dosa kita, sesuai dengan Kitab Suci, bahwa Ia telah dikuburkan, dan bahwa Ia telah dibangkitkan, pada hari ketiga, sesuai dengan kitab suci.
1 Korintus 15:3-4
Semua Dapat Diselamatkan Sekarang
Lihat, Aku berdiri di muka pintu dan mengetok; jikalau ada orang yang mendengar suara-Ku dan membukakan pintu, Aku akan masuk mendapatkannya.
Wahyu 3:20a
Sebab, barangsiapa yang berseru kepada nama Tuhan, akan diselamatkan
Roma 10:13
Skripsi ini ku persembahkan pada: Juru Selamatku Yesus Kristus
Dan Keluargaku yang tercinta: Mama, Papa, Pristian Winata, dan Predian Winata.
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 8 Desember 2006
Penulis
Prinses Bengawan Zaldy
dihadapi subjek dan memperoleh gambaran tentang penerimaan diri subjek yang mengalami hambatan karena perasaan terbuang yang disebabkan latar belakang keluarga, dan kecacatan fisik yang dialami subjek. Subjek penelitian ini seorang remaja putri, berusia 15 tahun. Ia dari kecil tinggal di panti asuhan dan bersekolah di SLB.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif-kualitatif, dengan desain penelitian studi kasus. Metode pengumpulan data dalam penelitian adalah metode observasi, wawancara informasi dan wawancara konseling sebagai suatu usaha untuk membantu subjek mengatasi masalahnya. Data yang diperoleh dari subjek dan beberapa sumber informasi lainnya, peneliti gunakan untuk menggambarkan keadaan dan permasalahan yang dialami subjek saat ini, sehingga peneliti dapat menentukan pendekatan konseling yang tepat dan sesuai dalam memberikan pendampingan.
Dari hasil penelitian, diketahui bahwa subjek mengalami masalah penerimaan diri yang disebabkan perasaan terbuang yang timbul karena ia tidak tinggal dengan orang tua asli, dan memiliki kecacatan fisik. Oleh karena itu pendekatan konseling yang digunakan adalah Interview for Adjustment (IA). Setelah peneliti mengadakan wawancara konseling dengan subjek sebanyak 4 kali pertemuan, subjek menunjukkan perubahan, yaitu a) Subjek mengakui didepan orang lain kalau ia punya cacat fisik dan bersekolah di SMPLB; b) Subjek bergabung dengan teman-temannya ketika teman-temannya tersebut sedang berkumpul; c) Subjek bila berjumpa dengan ibunya mau merangkul dan memeluk ibunya serta menanyakan kabar; d) Subjek akan les menggambar agar ia bisa masuk Institut Seni Indonesia setamat SMA; e) Subjek tiap hari berdoa agar ia dikuatkan dan bisa menerima keadaan dirinya. Konseling dapat berjalan dengan baik tetapi ada satu permasalahan yang tidak dapat diselesaikan karena tidak mendapat ijin dari pihak PA. Permasalahan tersebut adalah menyangkut masalah Subjek dengan ayah kandungnya. Selama konseling berlangsung Subjek menunjukan perubahan nyata, tetapi Subjek tetap harus mendapat perhatian khusus karena ia tidak seperti anak normal pada umumnya.
ABSTRACT
THE ACCEPTANCE OF A TEENAGER THAT FEELS BEING IGNORED
The research was aimed to describe a problem that was faced by the subject and to get clear description about the subject’s acceptance that experienced an obstacle because of her feeling of being ignored caused by family background, and physical disability faced by the subject. The subject of this research was a girl whose age was fifteen years old. She has lived in an orphan house since she was a child and studied at special school.
This research was a descriptive-guallitative research, and its design was case study. The data gathering methods in this research were observation, informative interview, and counseling interview as an effort to help the subjek to solve her problem. The data from the subject and other information sources were used by the researcher to describe the condition and the problem that were faced by the subject lately, so the researcher could decide the most appropriate approach in giving guidance.
From the result of the research, it was understood that the subject had a problem in acceptance caused by a feeling of being ignored because she did not live with her biologic parents, she has physical disability and she did not get an affection from her family. Therefore the counseling approach that was used was IA (Interview for Adjustment). After the researcher conducted counseling interview with the subject for 4 meetings, the subject showed some changes, they are: a) Subject admitted in front of others that she had physical disability and studied at SMPLB; b) Subject joined with her friends when they were gathering; c) if subject met her mother, she wanted to hug and embrace her and also asked about her news; d) Subject would take drawing course so that she could enter Institut Seni Indonesia after she graduated from SMA (Senior High School); e) Subject prayed everyday so that she could be strong and could be able to accept herself as the way she is. The counseling could run well but there was a problem that could not be solved because the researcher did not get a premission from the orphan house. The problem was about the subject’s problem with her biologic father. During the counseling period the subject showed some real changes, but the subject still must get a special attention because she was different from the other normal children.
Puji syukur bagi Tuhan Yesus Kristus karena terselesaikannya
skripsi yang bertemakan “Penerimaan Diri Remaja yang Merasa Terbuang”.
Berkat kasih dan karunia-Nya yang Ia anugerahi maka skripsi ini dapat selesai
dengan baik.
Skripsi “Penerimaan Diri Remaja yang Merasa Terbuang” dibuat
sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan di Program Studi
Bimbingan dan Konseling. Keberhasilan dalam penulisan skripsi ini tidak lepas
dari keterlibatan berbagai pihak. Banyak bantuan yang diperoleh selama penulisan
skripsi ini, baik yang didapat secara langsung maupun secara tidak langsung. Pada
kesempatan ini dengan penuh kerendahan hati saya haturkan terima kasih kepada:
1. Dra. M.J. Retno Priyani, M.Si sebagai Pembimbing I.
2. Drs. T.A. Prapancha Hary, M.Si. sebagai Pembimbing II.
3. Dr. M.M. Sri Hastuti, M.Si. sebagai Kepala Program Studi dan segenap Dosen
Program Studi Bimbingan dan Konseling.
4. Sr. Krista, PI sebagai Kepala Panti Asuhan Pangrekso Dalem Betlehem,
Temanggung dan segenap staf.
5. Keluarga tercinta Mama, Papa, Pristian Winata, dan Predian Winata sebagai
penguat dan pendukung.
6. Revie Pitono selaku penolong, pemberi semangat dan penghibur.
7. Teman-teman terkasih Ai, Nadia, Meisyah, Yoan, Meta, Citra, Gladis, Siska,
Vera, Edi, Haksi sebagai penghibur dan penolong.
8. Semua pihak yang telah membantu.
Akhir kata disadari terdapat banyak kekurangan dan kesalahan
dalam skripsi dengan tema “Penerimaan Diri Remaja yang Merasa Terbuang” ini.
Kekurangan dan kesalahan yang terdapat dalam skripsi ini harap dimaafkan.
Yogyakarta, 8 Desember 2006
(Prinses Bengawan Zaldy)
HALAMAN JUDUL... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii
HALAMAN PENGESAHAN... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN... iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... v
ABSTRAK... vi
ABSTRACT... vii
KATA PENGANTAR... viii
DAFTAR ISI... x
DAFTAR TABEL... xiii
DAFTAR LAMPIRAN... xiv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Rumusan Masalah... 4
C. Tujuan Penelitian... 4
D. Manfaat Penelitian... 4
E. Definisi Operasional... 6
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Penerimaan Diri a. Pengertian penerimaan diri... 7
b. Faktor-faktor yang mempengaruhi
penerimaan diri... 11
B. Remaja yang Merasa Terbuang a. Definisi remaja yang merasa terbuang... 13
b. Penyebab remaja merasa terbuang... 14
c. Akibat remaja merasa terbuang... 19
d. Kebutuhan remaja yang merasa terbuang... 20
C. Konseling Eklektik dengan Pendekatan Interview for Adjustment ... 21
D. Penerapan Konseling Eklektik dengan Pendekatan Interview for Adjustment Bagi Anak yang Merasa Terbuang... 25
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Penelitian studi kasus... 27
B. Subjek Penelitian... 28
C. Metode Pengumpulan Data a. Observasi... 29
b. Wawancara... 29
D. Teknik Pengolahan Data... 33
E. Analisis Data... 34
a. Riwayat pendidikan... 38
b. Tes psikologis... 51
c. Latar belakang keluarga... 52
d. Riwayat keagamaan... 55
e. Riwayat kesehatan... 56
f. Lingkungan dan kelompok sosial... 57
g. Konsep diri... 66
C. Sintesis... 68
D. Diagnosis... 72
E. Pragnosis... 72
F. Treatment... 73
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan... 84
B. Saran-saran... 88
DAFTAR PUSTAKA... 90
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
Tabel 1 : Wawancara Informasi... 1
Tabel 2 : Rencana Pelaksanaan Wawancara Konseling... 2
Table 3 : Kuesioner Perasaan Terbuang... 3
Table 4 : Indikator yang Perlu Diubah Menggunakan
Pendekatan IA... 4
Table 5 : Tabel Pelaksanaan Wawancara Konseling... 5
Lampiran Halaman
Lampiran 1 : Verbatin Wawancara Konseling... 1
Lampiran 2 : Hasil Pemeriksaan Psikologis... 39
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia mengalami perkembangan secara bertahap dari usia muda
menuju usia tua. Havighurst (Hurlock, 1997) membagi rentang hidup manusia
menjadi 6 fase, yaitu: masa bayi dan kanak-kanak, akhir masa kanak-kanak,
masa remaja, awal masa dewasa, masa usia tengah, masa tua. Dalam setiap
rentang kehidupan manusia berusaha untuk menerima dirinya. Schneiders
(Gunarsa, 2004) berpendapat bahwa bilamana seseorang dapat menerima
keadaan dirinya sendiri, maka ia juga mudah menerima keadaan orang lain
termasuk kekurangan atau hal-hal yang positif dari orang tersebut. Schneiders
(Gunarsa, 2004) juga mengatakan bahwa sebelum seseorang dapat menerima
keadaan diri sendiri, ia harus mengenal terlebih dahulu kemampuan serta
keterbatasannya, sehingga ia mudah mengatasi kesukaran yang dialaminya
dalam usaha menerima dirinya.
Dalam menghadapi realita kehidupan, setiap orang berusaha
menghindari situasi atau perasaan yang tidak menyenangkan dirinya. Ia
berusaha untuk menutupi atau menyangkal kelemahan dan
kegagalan-kegagalannya. Ia merasa malu bila orang lain mengetahui kelemahannya
sehingga dorongan untuk berpartisipasi di dalam aktifitas-aktifitas sosial
ditekan olehnya. Oleh karena itu, orang perlu mengenal dirinya sendiri agar ia
dapat berfikir secara lebih objektif, lebih dekat dengan kenyataan dan tidak
mudah terbawa oleh perasaan.
Begitu juga dengan remaja, remaja yang dikenal sebagai anak yang
menuju dewasa tidak lepas dari usaha menerima diri. Hurlock, 1997
menuliskan bahwa anak yang mengadakan penyesuaian pribadi berusaha
mengenal dan menerima dirinya. Bila remaja cukup menyukai dirinya, maka
menunjang penerimaan sosial dan sebaliknya, ketika remaja mengadakan
penyesuaian sosial ia berusaha agar orang lain menerimanya. Bila semakin
banyak orang menyukai dan menerimanya, semakin senang ia dengan dirinya
dan semakin kuat penerimaan dirinya.
Remaja berusaha mencapai keharmonisan dengan diri sendiri dan
lingkungan. Apabila remaja tidak berhasil mencapai keharmonisan dengan diri
dan lingkungan maka remaja tersebut gagal mencapai kebahagian hidup. Oleh
karena itu remaja harus diterima cukup baik oleh orang yang berarti dalam
hidupnya. Horn (Hurlock, 1997 ) menuliskan
“Seseorang yang kurang memperoleh cinta kasih di masa kanak-kanak tidak bahagia pada masa itu dan juga mengembangkan nilai yang menyebabkan ketidakbahagiaan berlangsung terus dalam kehidupan selanjutnya.”
Dewasa ini berkembang suatu kenyataan bahwa semakin sering
ditemukan remaja yang merasa tidak diinginkan, tidak berharga, disia-siakan
atau diabaikan karena kurangnya kasih sayang yang didapat dari orang-orang
terdekatnya. Dalam koran-koran, televisi, dan internet ditemukan kasus-kasus
remaja kekurangan kasih sayang, yaitu remaja korban kekerasan, remaja
3
kimia, remaja yang menjadi anak asuh, remaja yang kehilangan orang yang
dikasihinya dan remaja yang mengalami gangguan baik emosi, belajar
maupun jasmani. Lingkungan tersebut tidak memberi cukup kasih sayang
pada remaja. Remaja tersebut bertumbuh dalam perasaan yang tidak bahagia,
ia tidak mendapat dukungan dari orang-orang yang seharusnya memiliki peran
penting dalam membantunya berkembang secara utuh. Salah satu contoh
remaja yang merasa terbuang karena kurangnya kasih sayang adalah remaja
korban perceraian, di mana setelah ibu dan ayah berpisah, ia menjadi korban.
Ia dioper kesana-sini, sebentar tinggal dengan paman, sebentar tinggal dengan
saudara yang lain. Ia merasa tidak diinginkan, perasaan tidak diinginkan
tersebut bisa disebabkan karena perasaan tidak diterima. Perasaan tidak
diterima dirasakan bukan hanya dari kehidupan yang harus berpindah-pindah
tetapi juga karena perlakuan yang diterimanya (www.anak korban perceraian.com).
Gunarsa (2004) menuliskan bahwa pengalaman-pengalaman yang
didapat remaja, bukan saja membantu remaja mengembangkan aspek
sosialnya tapi juga pribadi. Melalui pengalaman hidup dengan orang lain,
remaja dapat mengetahui apakah ia diterima atau tidak. Bila seseorang
menyukainya, berarti ia diterima oleh orang itu bukan dari satu aspek
pribadinya tetapi meliputi seluruh kepribadiannya. Sebaliknya remaja yang
merasa tidak diterima atau diabaikan, akan memiliki konsep diri yang kurang
baik. Akibatnya remaja menjadi seorang yang pendiam, pemalu, menarik diri
tersinggung, cemas dan hidupnya tanpa kepastian sehingga ia mengalami
kesukaran dalam menerima dirinya.
Remaja yang merasa terbuang harus berusaha lebih keras lagi dalam
menerima dirinya. Ia harus benar-benar mampu mengenal dan menerima
dirinya sehingga dapat memenuhi kebutuhannya dengan cara yang wajar yaitu
diterima lingkungannya tanpa merugikan lingkungannya
Mudah didapatnya kasus di internet, televisi, radio, surat kabar dan
media cetak lainnya mengenai remaja yang merasa terbuang maka orang yang
bergelut di bidang bimbingan dan konseling tidak boleh tinggal diam. Mereka
harus bergerak membantu remaja yang merasa terbuang agar mampu
menerima dirinya. Penerimaan diri yang berhasil dengan baik akan membawa
remaja pada kebahagiaan.
Peranan bimbingan dan konseling dalam kasus tersebut adalah
membantu remaja yang merasa terbuang agar berhasil menerima dirinya yaitu
dengan cara mengungkap penerimaan diri remaja yang merasa terbuang, dan
usaha untuk membantu remaja tersebut untuk mampu menerima dirinya,
sehingga menemukan kebahagiaan hidup.
B. Rumusan Masalah
Pertanyaan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah penerimaan diri subjek sebagai remaja yang merasa
5
2. Bagaimanakah proses konseling yang berguna untuk membantu
penerimaan diri subjek sebagai remaja yang merasa terbuang?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah;
1. Memperoleh informasi tentang penerimaan diri subjek sebagai remaja
yang merasa terbuang.
2. Membantu subjek sebagai remaja yang merasa terbuang melalui proses
konseling.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan untuk
memahami fenomena penerimaan diri remaja yang merasa terbuang.
2. Manfaat praktis
a. Bagi subjek penelitian
Subjek dapat menerima dirinya dengan lebih baik, sehingga
subjek dapat menemukan kebahagian.
b. Bagi penulis
Melalui penelitian ini didapat kesempatan menerapkan teori
yang diberikan selama perkuliahan di Program Studi
c. Bagi peneliti lain
Penelitian ini dapat menjadi dasar untuk pengembangan
penelitian lebih lanjut tentang penerimaan diri remaja yang
merasa terbuang.
E. Definisi Operasional
1. Penerimaan diri adalah sikap yang mencerminkan kepuasan terhadap
kenyataan kemampuan diri yang menunjukan kualitas diri sendiri
2. Remaja yang merasa terbuang adalah remaja (anak yang mendekati
kedewasaan diawali pada masa pubertas yang berakhir dengan
kedewasaan) dimana remaja tersebut merasa tidak dikasihi sebagai
mana adanya dia, sehingga ia merasa tidak diinginkan, disia-siakan
atau diabaikan dan tidak berharga.
3. Konseling eklektik dengan pendekatan Interview for Adjustment adalah pola pendekatan dalam konseling eklektik (konseling yang menunjuk
pada perpaduan dari berbagai unsur yang diambil atau dipilih dari
beberapa teori serta pendekatan konseling) yang digunakan untuk
melayani kasus khusus yang penyelesaiannya menuntut perubahan
sikap serta tindakan penyesuaian diri terhadap situasi kehidupan yang
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Penerimaan Diri
1. Pengertian penerimaan diri
Sinurat (1991) berpendapat bahwa penerimaan diri diartikan
sebagai penghargaan/perasaan seseorang tentang dirinya sendiri.
Penerimaan diri dapat berupa penerimaan diri positif maupun negatif.
Menurut Supratiknya (1995) menerima diri adalah memiliki penghargaan
yang tinggi terhadap diri sendiri dan memandang diri sendiri disenangi,
mampu, berharga, dan diterima orang lain. Hurlock (1981) dan McKinney
(1949) mengemukakan bahwa untuk dapat mencapai suatu penyesuaian
diri yang baik, maka seseorang harus memiliki penerimaan diri yang baik
pula. Dijelaskan lebih lanjut oleh Wiley (ANIMA, 1998) bahwa
penerimaan diri sangat berhubungan dengan penyesuaian diri yang
tinggi, selain memberi sumbangan pada kesehatan mental seseorang
serta hubungan antar pribadinya. Penerimaan diri mengandung
pengertian adanya persepsi terhadap diri sendiri mengenai
keterbatasannya untuk digunakan secara efektif. Penerimaan diri juga
diartikan sebagai meningkatkan toleransi pada orang lain dan terhadap
peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupannya. Mereka melihat
manusia, dunia dan dirinya seperti apa adanya. Seseorang yang memiliki
penerimaan diri yang positif berarti dapat mengenali kekurangannya
sendiri dan berusaha untuk memperbaiki dan mengatasinya. Penerimaan
diri akan meningkatkan penilaian diri, akan dapat mengkritik diri sendiri
dan bertanggungjawab terhadap pilihannya sendiri serta tidak
menyalahkan ataupun mencela orang lain karena keadaan dirinya.
Penerimaan diri tersebut merupakan ciri-ciri kemasakan
kepribadian seseorang (Allport dalam Hjelle dan Ziegler, 1977). Menurut
Allport dan Wolman (1973) penerimaan diri yang merupakan sikap positif,
yaitu meliputi pengakuan nilai-nilai seseorang dan
kelemahan-kelemahannya tanpa harus menyalahkan orang lain.
Ahli lain dalam hal ini, Prawitasari (1986) mengemukakan bahwa
sikap terhadap diri sendiri merupakan kriteria untuk mental yang sehat.
Lebih lanjut Prawitasari menjelaskan bahwa apabila seseorang dapat
menerima dirinya dengan segala kelebihan maupun
kelemahan-kelemahannya, maka dapat dikatakan bahwa orang tersebut mempunyai
penerimaan diri yang positif terhadap dirinya. Rubin (1974)
mengemukakan bahwa penerimaan diri merupakan kunci utama bagi
seseorang dalam mengatasi berbagai persoalannya. Rubin juga
mengemukakan bahwa seseorang memiliki penerimaan diri yang positif
apabila memiliki sikap yang mencerminkan rasa senang sehubungan
dengan kenyataan dirinya, selain itu apabila orang tersebut menginginkan
hidup yang menyenangkan.
Menurut Sartain, dkk (1973) orang yang dapat menerima dirinya
9
mereka mempunyai keinginan untuk memperbaiki diri. Sedangkan
menurut Chaplin (1975), penerimaan diri yang positif merupakan
perwujudan dari kepuasan terhadap kenyataan kemampuan diri, kualitas
dan bakat sendiri dan pengakuan atas keterbatasan-keterbatasan sendiri.
Perasaan ini terbentuk karena adanya pengertian arti positif dari
kemampuan diri sendiri. Rogers (Hjelle dan Ziegler, 1977) menambahkan
bahwa penerimaan diri yang positif terbentuk sehubungan dengan adanya
pengertian mengenai arti positif dari kenyataan kemampuan-kemampuan
diri sendiri. Pengertian tersebut diperoleh dengan meninjau kemampuan
diri sendiri berdasarkan nilai sosial yang ada (Chaplin, 1975). Jadi orang
yang dapat menerima diri secara positif adalah orang yang dapat melihat
kenyataan diri secara positif berdasarkan nilai-nilai sosial.
Menurut Sheerel (Cronbach, 1980) ada beberapa ciri yang terdapat
pada orang yang dapat menerima diri secara positif, antara lain :
a. Mempunyai keyakinan akan kemampuan yang dimilikinya untuk
menghadapi kehidupan.
b. Menganggap dirinya berharga sebagai seorang manusia yang sederajat
dengan orang lain.
c. Berani memikul tanggungjawab terhadap perilakunya
d. Menerima pujian dan celaan secara obyektif
e. Tidak menyalahkan dirinya akan keterbatasan yang dimilikinya
Sedangkan menurut Chaplin (1975), ciri penerimaan diri yang positif yaitu :
a. Mampu menerima tanggung jawab terhadap perilakunya
b. Mempunyai keyakinan akan kemampuan untuk menghadapi kebutuhan
c. Memiliki pandangan positif mengenai diri
d. Menerima kelemahan dan kelebihan yang ada
Berdasarkan pengertian tentang penerimaan diri dan ciri-ciri
tentang orang yang mampu menerima diri, maka dapat disimpulkan
sebagai berikut :
a. Penerimaan diri merupakan sikap yang mencerminkan kepuasan
terhadap kenyataan kemampuan diri yang menunjukkan kualitas diri
sendiri.
b. Pembentukan penerimaan diri ditentukan oleh sejauh mana pengertian
tentang arti positif dari kemampuan diri berdasarkan nilai sosial yang
ada.
Menurut Hurlock (1973) mengemukakan ciri-ciri orang yang
memiliki penerimaan diri negatif antara lain : tidak menyenangi diri,
mencemooh dirinya, merasa orang lain melihatnya dengan penuh
permusuhan dan penghinaan, tidak memiliki kepercayaan akan perasaan
dan sikapnya sendiri dan penghargaan terhadap dirinya ditentukan oleh
11
1. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penerimaan Diri
Menurut Hurlock (1994), ada banyak hal pokok/kondisi yang
dapat mengarah pada pembentukan penerimaan diri. Kondisi tersebut
antara lain :
a. Memahami diri sendiri
b. Memperoleh penghargaan yang realistik
c. Tidak adanya halangan/hambatan dari lingkungan
d. Adanya perilaku sosial yang mendukung
e. Adanya kondisi emosi yang menyenangkan dan tidak ada tekanan
emosi
f. Pengaruh pengalaman sukses
g. Identifikasi dengan individu yang penyesuaian dirinya baik
h. Perspektif diri yang realistik
i. Didikan yang baik di masa anak-anak
j. Konsep diri yang stabil
Selain itu, Burns (ANIMA, 1980) mengemukakan bahwa terdapat
3 aspek yang mempengaruhi penerimaan diri seseorang terhadap kondisi
fisiknya, yaitu :
a. Pengetahuan tentang fisik dirinya sendiri
b. Pemahaman yang realistik atas kemampuan diri
c. Kepuasan terhadap fisik dirinya sendiri sehingga dapat menerima
Selain kondisi-kondisi dan 3 (tiga) aspek yang telah disebutkan
secara rinci di atas, ada beberapa faktor yang juga dominan dapat
mem-pengaruhi penerimaan diri pada seseorang, yaitu :
a. Jenis kelamin
Menurut Ratnawati (1990), jenis kelamin akan mempengaruhi
penerimaan diri dan terdapat perbedaan yang mencolok antara pria dan
wanita. Pria dinilai memiliki penerimaan diri yang lebih positif bila
dibandingkan dengan wanita, hal ini berkaitan dengan sifat serta
perlakuan orang tua mereka. Selain itu juga karena wanita relatif lebih
sensitif serta lebih menitikberatkan pada afektif daripada pria.
b. Cacat yang disandang
Bagi orang yang mengalami cacat tubuh, penerimaan diri di pengaruhi
lama cacat yang di sandang. Berdasarkan lama cacat yang disandang,
penerimaan diri pada orang yang mengalami cacat tubuh sejak lahir
atau pada masa kanak-kanak lebih positif dibandingkan yang
mengalami cacat tubuh pada masa remaja atau dewasa (Suhartono,
1976). Hal itu terjadi karena mereka sejak kecil terbiasa diperlakukan
sebagai anak normal. Kecacatan tubuh yang mereka sandang
seolah-olah merupakan kejutan psikis sehingga mereka mengalami gangguan
emosi, berupa rasa rendah diri, apatis, sensitis dan diikuti penolakan
13
c. Inteligensi
Faktor inteligensi selain menambah kemampuan dalam membentuk
pengertian mengenai bagaimana nilai-nilai sosial menghendaki
penye-suaian juga dapat membuat seseorang lebih mampu untuk membentuk
tinjauan yang lebih tepat tentang arti positif dari kenyataan dirinya
berdasarkan nilai-nilai sosial yang ada (Siswojo, 1980).
d. Pendidikan
Pendidikan memiliki pengaruh positif dalam penerimaan diri karena
dapat untuk mempermudah penyesuaian diri. Tetapi adakalanya
pendidikan yang tinggi justru akan menghambat penerimaan diri
(Siswojo, 1980).
Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa terdapat banyak faktor
yang dapat mempengaruhi pembentukan penerimaan diri seseorang.
Faktor tersebut diantaranya yaitu faktor dari dalam diri, seperti : sikap,
emosi, jenis kelamin, inteligensi, dan faktor dari luar seperti sikap orang
lain dan pendidikan yang mereka peroleh.
B. Remaja yang Merasa Terbuang
1. Definisi remaja yang merasa terbuang
Menurut Gulo (2003), remaja berarti anak yang mendekati
kedewasaan diawali pada masa pubertas yang berakhir dengan
kedewasaan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi 3 (1990),
berharga. Remaja yang terbuang adalah anak yang mendekati kedewasaan
diawali pada masa pubertas yang berakhir dengan kedewasaan, dimana
anak tersebut merasa tidak diinginkan, disia-siakan atau diabaikan dan
tidak berharga.
Bloch dan Merritt (2006) menuliskan bahwa remaja yang merasa
terbuang adalah remaja yang merasa tidak dikasihi sebagai mana adanya
dia. Kasih orang tua membuat remaja menyadari dirinya diterima apa
adanya dan merasa berharga.
Berdasar dua rumusan di atas dapat disimpulkan remaja yang
terbuang adalah remaja (anak yang mendekati kedewasaan diawali pada
masa pubertas yang berakhir dengan kedewasaan) dimana remaja tersebut
merasa tidak dikasihi sebagai mana adanya dia, sehingga ia merasa tidak
diinginkan, disia-siakan atau diabaikan dan tidak berharga.
2. Penyebab remaja merasa terbuang
Karena tidak dikasihi, remaja merasa tidak diinginkan, tidak
berharga, disia-siakan atau diabaikan. Menurut Bloch dan Merritt (2006),
penyebab perasaan tidak dikasihi, tidak diinginkan, tidak berharga,
disia-siakan atau diabaikan adalah:
a. Tidak adanya pengakuan atas keberadaan mendasar remaja.
b. Tidak adanya pengakuan atas hak remaja atas keberadaannya.
c. Tidak adanya pengakuan atas hal-hal bermanfaat yang dilakukan oleh
15
d. Tidak adanya pengakuan atas bakat dan taleta remaja.
e. Tidak adanya pengakuan atas keinginan dan kerinduan remaja.
f. Tidak adanya pengakuan atas keindahan fisik remaja.
g. Tidak adanya pengakuan atas kebaikan di dalam niat remaja.
h. Tidak adanya perkuatan pada remaja secara nonverbal.
Menurut Bloch dan Merritt (2006), selain penyebab diatas perasaan
tidak dikasihi, tidak diinginkan, tidak berharga, disia-siakan atau diabaikan
bisa dirasakan oleh remaja ketika mengalami:
a. Gangguan jasmani.
Remaja yang mengalami gangguan fisik mengalami berbagai
perasaan dan pikiran negatif. Ia berfikir kalau dirinya tidak normal,
rusak, aneh, cacat dan tidak mampu melakukan apapun. Ia merasa
sedih, tertekan, pasrah, tidak berdaya, bersalah, tak mampu, diabaikan,
diisolasi, dikucilkan, diasingkan. Perasaan diisolasi, dikucilkan,
diasingkan dan diabaikan dipersulit oleh cap cacat yang disandang si
remaja apalagi kehidupannya di rumah tidak terlalu mendukung ia
mempelajari kealihan berkomunikasi (Bloch dan Merritt, 2006).
b. Gangguan kognitif.
Gangguan kognitif meliputi remaja yang mengalami hambatan
belajar, kelemahan dalam berbicara, dan gangguan perkembangan. Ia
merasa tidak mampu, tertekan, putus asa, malu sehingga ia
mengembangkan persoalan perilaku yaitu mendapat cap anak nakal,
menyimpang. kenakalan yang ia timbulkan membuatnya mendapat
perlakuan yang berbeda dengan remaja seusianya dan membuat ia
merasa dikucilkan, diasingkan, diabaikan dan tidak berharga (Bloch
dan Merritt, 2006).
c. Gangguan emosional dan perilaku.
Remaja yang mengalami gangguan emosional dan perilaku
dibesarkan dalam sistem keluarga dimana perasaannya tidak dihormati
dan diakui. Remaja ini pada dasarnya pemalu, ia memandang diri
buruk dan tidak berharga. Ia mengembangkan perasaan bersalah, tidak
dikasihi, malu, takut, marah, benci diri sendiri, tidak berdaya, putus
asa, tidak berguna dan diabaikan (Bloch dan Merritt, 2006).
d. Kekerasan.
Menurut Irwanto, dkk (1999) kekerasan dalam keluarga terjadi
dalam semua tipe keluarga, baik keluarga berada maupun keluarga
tidak berada. Irwanto (1995) menuliskan semakin besar jumlah
anggota keluarga, semakin tinggi kemungkinan kekerasan pada anak
terjadi. Menurut kamus Encyclopedia of Knowledge kekerasan dibagi
atas: a) kekerasan pada anak secara fisik dapat berupa tamparan,
pukulan, tendangan, dorongan yang bisa mengakibatkan memar, luka,
bahkan kematian; b) Pengabaian dapat berupa tidak selalu memberi
makan dan penggantian pakaian kotor anak dalam waktu yang lama; c)
Kekerasan emosional berupa penghinaan, caci maki, yang membuat
17
seks, pornografi. Bloch dan Merritt (2006) menuliskan bahwa remaja
korban kekerasan menyimpan di dalam batinnya pesan “kamu tidak
diinginkan, kamu tidak berharga.” Gordon (1994) membuat hipotesis
bahwa bila anak mempunyai orang tua yang menggunakan hukuman
fisik maka anak tersebut juga akan melakukan kekerasan fisik ketika
mereka menjadi orang tua.
e. Tidak tinggal dengan orang tua asli.
Anak asuh perlahan-lahan akan mulai memahami bahwa ia
dibesarkan di dalam keluarga lain. Mengetahui ia besar bukan di
keluarga asli menimbulkan perasaan sedih, marah, kecewa, malu,
bersalah, tidak dicintai, tidak diinginkan, tidak berharga, tidak
berguna, ditinggalkan, diabaikan, ditolak. Anak yang tinggal di
asrama, tinggal dengan nenek, tinggal dengan paman atau saudara lain
juga bisa membuat anak merasa tidak disayangi, tidak diinginkan,
ditolak dan disia-siakan (Bloch dan Merritt, 2006)
f. Kehilangan orang tua, sanak saudara, sahabat, binatang piaraan, tempat
tinggal, kasih, kesehatan, fungsi salah satu bagian tubuh.
Menurut Bloch dan Merritt (2006), kehilangan orang tua
menyebabkan remaja merasa telah diabaikan, ditinggalkan dan merasa
tidak disayangi. Ginott (2005) menuliskan bahwa meninggalnya orang
yang disayangi membuat remaja merasa ditinggalkan sendirian, dan
tidak ada yang menyayangi mereka lagi. Bloch dan Merritt (2006)
menyalahkan diri juga dirasakan saat ia kehilangan sanak saudara,
sahabat, binatang piaraan, tempat tinggal, kasih, kesehatan, fungsi
salah satu bagian tubuh.
g. Perceraian.
Kondisi interen keluarga yang negatif akan merusak
perkembangan mental remaja; terutama “broken home” (Sudarsono, 1990). Menurut Bloch dan Merritt (2006), remaja dalam keluarga
broken home memandang perpecahan keluarga sebagai suatu ancaman langsung terhadap kelangsungan hidupnya. Tanggapan awal terhadap
ancaman kelangsungan hidup adalah rasa takut, khususnya perasaan
takut diabaikan. Gunarsa (2004) menuliskan bahwa remaja yang putus
hubungan dengan orang tua, membuat remaja berada dalam
kesendirian dengan segala perasaan yang tidak menyenangkan. Cole
(2004), menuliskan bahwa remaja korban perceraian menderita karena
merasa tidak berguna atau tidak berharga.
h. Tinggal dengan keluarga yang tergantung pada bahan-bahan kimia.
Menurut Bloch dan Merritt (2006), tumbuh di tengah-tengah
keluarga yang bergantung pada bahan-bahan kimia misalnya keluarga
pecandu alkohol membuat remaja merasa: a) takut (ditinggalkan atau
dilukai); b) marah (kepada orang tua yang mengkhianati mereka); c)
malu (karena ibu datang ke sekolah dalam keadaan mabuk); d)
19
(kerena tidak seorangpun menemani mereka, tidak ada yang
mencintainya).
3. Akibat remaja merasa terbuang
Remaja yang merasa diabaikan atau disia-siakan, tidak diinginkan
dan tidak berharga dalam keluarga akan lebih merasa tertampung setiap
kali ia berada di tengah-tengah kawannya, tetapi ketika orang lain
mengetahui keadaannya dan ia dipandang berbeda oleh masyarakat, ia
mengalami diskriminasi sosial dari lingkungannya. Ia menjadi takut untuk
meluaskan pergaulannya dan mempengaruhi prestasi belajarnya di sekolah
(Gunarsa, 2004). Remaja yang merasa tidak mendapat kasih sayang yang
cukup di rumah, di sekolah dan lingkungannya sehingga mereka merasa
diabaikan maka secara alami terseret pada kehidupan geng. Geng
merupakan kelompok teman sebaya remaja-remaja yang terusir (Bloch dan
Merritt, 2006). Anak yang merasa diabaikan atau disia-siakan, tidak
diinginkan dan tidak berharga akan diselubungi perasaan tidak aman,
sehingga tumbuh perasaan inferiority. Ia merasa rendah diri, ia menjadi
takut untuk meluaskan pergaulannya (Gunarsa, 2004). Selain
mengembangkan perasaan inferioritas remaja juga merasa diri sebagai
korban (Hurlok: 1997). Remaja yang merasa diabaikan atau disia-siakan,
tidak diinginkan dan tidak berharga, ia akan merasa aman bila dirinya
tidak mencoba apa-apa. Moto kehidupannya adalah “ kalau saya tidak
Remaja yang diabaikan atau disia-siakan, tidak diinginkan dan
tidak berharga akan meyakini bahwa ia tidak baik sama sekali. Saat remaja
butuh uluran tangan dan dukungan, tetapi ia tidak mendapatkannya, ia
akan merasa tidak berharga. Perhatian remaja yang tersita oleh perasaan
disia-siakan atau tidak diinginkan akan membuat ia sulit menerima diri
(Cole, 2004).
4. Kebutuhan remaja yang merasa terbuang
Pembinaan keluarga sehat diperlukan adanya hubungan yang
baik antara orang tua dan anak dengan penuh kasih sayang (Wresniwiro
(1996). Kasih sayang merupakan kebutuhan pokok yang bersifat kejiwaan
bagi remaja. Kebutuhan pokok tersebut menuntut pemenuhan sedini
mungkin sebagai modal utama bagi perkembangan jiwa remaja
(Sudarsono, 1990). Apabila keinginan seorang remaja untuk mendapat
kasih sayang seutuhnya dapat dipahami, maka ia akan merasa tentram.
Bila hasrat remaja dapat dimengerti dan dihargai, ia akan merasa terhibur.
Kalau keunikan setiap remaja dihargai, maka ia akan merasa dikuatkan
(Ginott, 2005). Di dalam keluarga pemenuhan kasih sayang dapat
tercermin dalam pemeliharaan, perhatian, sikap toleran dan
kelemah-lembutan dari orang tua di dalam pergaulan intern keluarga (Sudarsono,
1990). Seorang remaja yang disentuh, dipeluk, dan dikasihi secara
otomatis akan merasa dirinya penting dan berharga (Bloch dan Merritt,
21
butuh kasih sayang dari orang-orang yang penting baginya. Bloch dan
Merritt (2006) menuliskan untuk menjauhkan remaja dari perasaan
terbuang maka sangat diperlukan kasih sayang orang tua yang menghargai
dan menghormati si remaja atas keberadaanya dan menegaskan ia sebagai
pribadi yang unik dan berharga bisa dengan: a) memberi pengakuan atas
keberadaan mendasar remaja; b) memberi pengakuan atas hak remaja atas
keberadaannya; c) memberi pengakuan atas hal-hal bermanfaat yang
dilakukan oleh remaja; d) memberi pengakuan atas bakat dan talenta
remaja; e) memberi pengakuan atas keinginan dan kerinduan remaja; f)
memberi pengakuan atas keindahan fisik remaja; g) memberi pengakuan
atas kebaikan di dalam niat remaja; h) memberi perkuatan pada remaja
secara nonverbal. Bloch dan Merritt (2006) juga menuliskan anak yang
merasa terbuang butuh memperoleh harapan, keberanian, kekuatan
kembali untuk dapat hidup lebih kaya dan lebih penuh.
C. Konseling Eklektik dengan Pendekatan Interview for Adjustment
Winkel dan Hastuti, 2004 menuliskan konseling eklektik menunjuk
pada perpaduan dari berbagai unsur yang diambil atau dipilih dari beberapa
teori serta pendekatan konseling. Promotor utama dari pola eklektik adalah
Frederick Thorne. Menurut Frederick Thorne masalah timbul bila seseorang
belum dapat menyelesaikan sendiri masalahnya karena ia belum
mempergunakan kemampuan berfikirnya secara benar dan tepat. Oleh karena
dalam memikirkan persoalan-persoalan hidup dan memiliki banyak
pengalaman. Konseling eklektik tidak mengikuti satu orientasi teoritis serta
menerapkan satu pendekatan saja tetapi menggunakan variasi dalam sudut
pandang, prosedur dan teknik, sehingga dapat melayani masing-masing
konseli sesuai dengan kebutuhannya dan ciri khas dari masalah yang
dihadapinya.
Winkel dan Hastuti, 2004 mengembangkan suatu pola pendekatan
konseling di institusi pendidikan yang bersifat eklektik, yang tidak khusus
terikat pada kerangka teoritis tertentu. Salah satu pendekatan konseling
eklektik di institut pendidikan adalah Interview for Adjustment yaitu suatu
pola pendekatan dalam konseling yang digunakan untuk melayani kasus yang
penyelesaiannya menuntut perubahan sikap serta tindakan penyesuaian diri
terhadap situasi kehidupan yang tidak dapat diubah dan harus diterima
seadanya (change case). Dalam kasus change case konseli perlu dibantu untuk meninjau kembali sikap dan pandangannya sampai sekarang serta memikirkan
sikap dan tindakan yang lebih baik. Change case digunakan bila tidak ada indikasi tentang adanya pikiran irasional atau rasa takut (anxiety) yang
bersumber pada suatu proses belajar di masa yang lampau. Interview for Adjustment dapat digunakan untuk membantu anak yang merasa terbuang untuk dapat mengubah perasaan dan pikirannya sehingga ia menyadari kalau
ia masih punya harapan, kekuatan untuk dapat menerima dirinya sehingga
23
Wawancara konseling dengan pola pendekatan Interview for Adjustment, fasenya yaitu:
1. Fase pembukaan.
Selama fase ini konselor berusaha untuk menciptakan suatu hubungan
antar pribadi (working relationship) yang baik dengan konseli. a. Konseli datang atas undangan konselor/konseli datang sendiri
b. Menyambut kedatangan konseli
c. Mengajak konseli berbasa-basi
d. Menjelaskan kekhususan dari wawancara konseling
e. Mempersilakan konseli mengungkapkan masalah yang ingin
disampaikan
2. Fase penjelasan masalah
Diambil dari rambu kasus, kirannya apa yang akan diutarakan konseli.
3. Fase penggalian masalah
Digali latar belakang masalah menurut sistematis tertentu (tidak ada
yang baku), misalnya:
a. Asal-usul masalah
b. Unsur-unsur pokok dan tidak pokok
c. Siapa-siapa yang terlibat
d. Perasaan dan pikiran konseli
e. Lain-lain segi/aspek yang dianggap perlu, misalnya lingkungan
keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan pergaulan, cita-cita masa
4. Fase penyelesaian masalah
Dengan mengingat ciri khas suatu “chang case” yaitu penyesuaian diri,
konselor mengajak berdiskusi tentang:
a. Dijelaskan penyebab mengapa konseli sampai mengalami masalah
b. Perubahan dalam pandangan dan sikap yang bagaimana yang
diperlukan, supaya dapat menghadapi situasi yang ada.
c. Tindakan apa yng direncanakan akan diambil sesudah keluar dari
ruang konseling.
5. Fase penutup
Selama fase ini konselor mengakhiri wawancara dengan:
a. Memberi ringkasan jalannya wawancara.
b. Menegaskan kembali keputusan yang diambil.
c. Memberi semangat/bombongan
d. Menawarkan bantuannya bila kelak timbul persoalan baru
e. Berpisah dengan konseli
Adapun teori konseling Interview for Adjustment merupakan teori yang
relevan bagi konseling di institut pendidikan. Pandangan teoritis yang dibahas
di atas mengakui bahwa manusia pada dasarnya mampu berubah. Seandainya
manusia tidak mampu untuk berubah, wawancara konseling tidak bermanfaat
dan berarti hanya membuang waktu saja. Dalam Interview for Adjustment
25
seseorang yaitu perubahan dalam perilaku dan perasaan seseorang dengan
mengubah cara berfikir tentang dirinya sendiri.
D. Penerapan Konseling Eklektik dengan Pendekatan Interview for Adjustment Bagi Anak yang Merasa Terbuang
Merasa terbuang adalah perasaan yang dialami seseorang karena ia
merasa kurangnya kasih sayang yang didapat dari orang yang berarti dalam
hidupnya sehingga ia merasa tidak diinginkan, disia-siakan atau diabaikan dan
tidak berharga (Bloch dan Merritt, 2006). Gunarsa (2004) menuliskan
seseorang yang merasa terbuang akan merasa lebih tertampung setiap kali ia
berada di tengah-tengah kawannya, tetapi ketika orang lain mengetahui
keadaannya dan ia dipandang berbeda oleh masyarakat, ia mengalami
diskriminasi sosial dari lingkungannya. Ia menjadi takut untuk meluaskan
pergaulannya, mempengaruhi prestasi belajarnya di sekolah dan tumbuh
perasaan inferiority. Ia merasa rendah diri, menjadi takut untuk meluaskan
pergaulannya. Cole (2004) menuliskan remaja yang perhatiannya berpusat
pada perasaan terbuang membuat ia sulit menerima dirinya.
Permasalahan yang dimulai dari merasa terbuang sampai akhirnya
takut mengembangkan pergaulan menunjukan adanya kesulitan dalam
penerimaan diri. Menurut Winkel dan Hastuti (2004) konseling yang tepat
untuk seseorang yang mengalami kesulitan dalam penerimaan diri, adalah
konseling eklektik dengan pendekatan Interview for Adjustment yang berguna
harus diambil. Agar remaja yang merasa terbuang mampu menyadari kalau ia
masih punya harapan, kekuatan untuk dapat menerima dirinya sehingga
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Penelitian Studi Kasus
Jenis penelitian ini adalah penelitian studi kasus yang merupakan salah
satu dari beberapa jenis penelitian deskriptif-kualitatif. Menurut Zuriah (1997)
penelitian deskriptif-kualitatif terdiri dari jenis penelitian survei, studi kasus,
perkembangan, tindak lanjut, analisis dokumen, studi waktu dan gerak, dan
studi kecenderungan. Isaac dan Michael (1982) menyatakan desain penelitian
studi kasus untuk melakukan analisis secara intensif dan mendalam pada
sebuah gejala mengenai latar belakang, atribut-atribut, status terkini dan
pengaruh interaksi lingkungan secara individual atau kolektif. Furchan (1982)
menyatakan studi kasus mengupayakan penyelidikan terhadap individu atau
kelompok sosial secara mendalam. Yatim (dalam Zuriah, 1997) menyatakan
bahwa studi kasus berkenaan dengan segala sesuatu yang bermakna dalam
sejarah atau perkembangan kasus yang bertujuan untuk memahami siklus
kehidupan atau bagian dari siklus kehidupan suatu unit individu.
Winkel dan Hastuti (2004) menjelaskan metode studi kasus digunakan
untuk mengumpulkan data mengenai berbagai aspek tentang seseorang yang
dijadikan objek studi kasus dan menilai arah serta taraf perubahan yang
dialami orang itu sebagai akibat dari pelayanan bimbingan, misalnya aspek
kognitif, aspek afektif atau aspek perilakunya.
B. Subjek Penelitian
Poerwandari (1998) menjelaskan karakteristik penelitian studi
kasus diarahkan tidak pada jumlah sample yang besar, melainkan pada kasus-kasus tipikal sesuai dengan kekhususan masalah penelitian. Subjek penelitian
ini adalah seorang remaja putri yang bernama Lexa (samaran). Subjek tinggal
di Panti Asuhan Pangrekso Dalem, Betlehem, Temanggung. Subjek berusia 15
tahun, ia tinggal di PA sejak bayi. Subjek memiliki kecacatan fisik yaitu mata
juling, telinga mengalami kesulitan pendengaran serta mengeluarkan bau
busuk dan bentuk kepala atas cekung. Subjek bersekolah di SMPLB Melati,
Temanggung. Pendengaran subjek yang terganggu menghambat subjek
mendengar dengan baik, walau demikian subjek dapat diajak bertukar pikiran
C. Metode Pengumpulan Data
Winkel dan Hastuti (2004) menyatakan pengumpulan data penelitian
bertujuan untuk mendapatkan pengertian yang luas, lebih lengkap dan lebih
mendalam tentang subjek yang akan diteliti, serta membantu untuk
memperoleh pemahaman akan diri sendiri. Penelitian ini menggunakan
metode observasi dan wawancara.
Teknik pencatatan data dalam penelitian ini adalah naratif recording yaitu dengan cara menceritakan kembali suatu kejadian, keadaan
lingkungan yang bertujuan untuk memperoleh data yang luas dan
komprehensif tentang tingkah laku, kehidupan sosial serta lingkungan sosial
29
perilaku yang akan diamati, mengidentifikasi hal-hal yang akan berpengaruh
pada perkembangan sosialnya, mencatat perilaku verbal dengan menggunakan
tape-recorder dan non-verbal. 1. Observasi
Poerwandari (1998) menyatakan metode observasi merupakan
kegiatan memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang muncul
dan mempertimbangkan hubungan antar aspek dalam fenomena tersebut.
Tujuan observasi adalah mendeskripsikan setting yang dipelajari,
aktivitas-aktivitas yang berlangsung, orang-orang yang terlibat dalam
aktivitas dan makna kejadian dilihat dari perspektif mereka yang terlibat
dalam kejadian yang diamati tersebut.
Metode observasi dalam penelitian ini adalah naturalistic
observation yaitu pengamatan dan pencatatan perilaku di kehidupan nyata yaitu di rumah, tempat subjek bermain, lingkungan sekolah dan
masyarakat. Hubungan subjek dengan anggota keluarganya, hubungan
subjek dengan tetangganya, hubungan subjek dengan teman-teman dan
hubungan subjek dengan gurunya.
2. Wawancara
Poerwandari (1998) menyatakan metode wawancara adalah
percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan
tertentu. Wawancara dilakukan untuk memperoleh pengetahuan tentang
yang diteliti dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu atau makna
subjektif yang muncul.
Metode wawancara dalam penelitian ini ada dua yaitu, wawancara
informasi dan wawancara konseling.
a. Wawancara informasi
Winkel dan Hastuti (2004) menjelaskan bahwa wawancara
informasi merupakan alat pengumpul data guna memperoleh data atau
informasi dari subjek atau individu secara lisan. Wawancara informasi
ini digunakan sebagai sarana untuk memperoleh informasi yang
komprehensif mengenai subjek penelitian. Wawancara informasi ini
dilakukan pada subjek penelitian, teman-teman subjek dan pengasuh di
lingkungan tempat tinggal subjek untuk memperoleh data tentang
identitas subjek, latar belakang kehidupan subjek, latar belakang
kehidupan keluarga subjek serta kehidupan sosial budaya subjek.
Metode wawancara dalam penelitian ini adalah wawancara semi
terstruktur, yaitu wawancara dengan pedoman umum yang
mencantumkan data yang akan diungkap tanpa menentukan urutan
pernyataan.
b. Wawancara konseling
Winkel dan Hastuti (2004) menjelaskan bahwa wawancara
konseling menunjuk pada aspek tatap muka atau aspek proses. Aspek
31
dengan konselor serta berwawancara dengan konselor mengenai
masalah yang dihadapi. Aspek proses menunjuk pada kenyataan
bahwa konseli mengalami suatu rangkaian perubahan dalam diri
sendiri yang membawa dia dari suatu masalah disadari, diungkapkan
dan belum ada penyelesaiannya ke saat masalah terpecahkan secara
memuaskan. Dengan adanya komunikasi langsung dalam wawancara
konseling, penulis dapat memperoleh informasi yang faktual yang
diperlukan sikap, pikiran, harapan serta perasaan subjek dan untuk
mendampingi subjek dalam menyadari masalah dan mencari
penyelesaian masalah tersebut.
Winkel dan Hastuti (2004) menyebutkan tahapan umum
wawancara konseling meliputi:
1) Fase pembukaan
Selama fase ini konselor berusaha untuk menciptakan suatu
hubungan antar pribadi (working relationship) yang baik dengan
konseli.
2) Fase penjelasan masalah
Konseli mengutarakan masalah atau persoalan yang dihadapi.
Selama fase ini konselor mendengarkan dengan sungguh-sungguh,
sambil menunjukkan pemahaman dan pengertian serta
memantulkan perasaan dan pikiran yang diungkapkan oleh konseli.
Sementara itu, konselor berusaha menentukan apa yang
konseli pada saat sekarang dan berkaitan dengan tujuan yang akan
dicapai dalam proses konseling.
3) Fase penggalian masalah
Konselor dan konseli bersama-sama menggali latar belakang
masalah yang dihadapi. Fase ini mencakup analisis kasus, yang
menghasilkan fakta dan data yang harus diindahkan selama fase
berikutnya, supaya persoalannya dapat diselesaikan secara tuntas.
4) Fase penyelesaian masalah
Konselor dan konseli membahas persoalan sampai ditentukan
penyelesaian yang tuntas, dengan mengindahkan semua data dan
fakta.
5) Fase penutup
Selama fase ini konselor mengakhiri keseluruhan wawancara
konseling.
Penentuan pendekatan yang tepat dalam konseling, dilihat dari jenis
permasalahan yang dialami klien (Winkel dan Hastuti, 2004). Jenis masalah
yang dialami subjek penelitian adalah penerimaan diri, maka konseling yang
tepat digunakan adalah Interview for Adjustment karena penerimaan diri erat kaitannya dengan penyesuaian diri (Hurlock, 1997). Dalam konseling
Interview for Adjustment dituntut perubahan sikap dan pandangan dari subjek penelitian (Winkel dan Hastuti, 2004). Interview for Adjustment sesuai untuk
33
gejala kelainan dalam kepribadiannya atau gangguan kesehatan mental yang
berat (Winkel dan Hastuti, 2004). Kelainan dalam kepribadiaanya atau
gangguan kesehatan mental yang berat antara lain: schizofrenia, psikosa
manis-depresif dan paranoia (Kartono, 2000).
D. Teknik Pengolahan Data
Pada penelitian ini tidak diajukan hipotesis apapun karena penelitian
ini mengarah pada penemuan data dan permasalahan yang ada. Penelitian ini
tidak terbatas pada upaya menerima atau menolak dugaan-dugaan melainkan
mencoba memahami situasi sebagaimana situasi tersebut menampilkan diri.
Poerwandari (1998), menyatakan setelah melakukan observasi dan
wawancara terhadap subjek, peneliti melakukan pengolahan data dengan cara:
1. Menuliskan transkrip dari hasil wawancara yang telah dilakukan. Peneliti
menuliskan hasil wawancara yang telah terekam dalam kaset.
2. Membaca transkrip. Peneliti membaca hasil wawancara yang telah ditulis
dari hasil wawancara yang telah terekam dalam kaset.
3. Mengidentifikasi tema-tema yang muncul. Peneliti mengenali dan
mengelompokkan hasil wawancara yang telah ditulis tersebut ke dalam
tema-tema atau pokok-pokok pikiran yang muncul dari hasil wawancara.
4. Menginterpretasikan data. Peneliti menjelaskan data yang telah
dikumpulkan dan dikelompokan tersebut sebagai keseluruhan rangkaian
E. Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan menggunakan prosedur laporan studi
kasus (Winkel, 1997)
1. Deskripsi umum kasus
Deskripsi umum kasus yaitu berisi nama subjek (samaran), umur, alamat
(samaran), sekolah, kelas, jenis kelamin, penampilan subjek yang dapat
diamati serta gejala yang menandakan adanya masalah yang perlu diatasi.
2. Analisis
Analisis yaitu menyajikan data dan fakta yang diperlukan untuk
mengetahui gambaran diri subjek secara lebih lengkap dan mendalam.
Data dan fakta yang dikumpulkan meliputi: lingkungan sosial subjek,
kelompok sosial, latar belakang keluarga dan konsep diri.
3. Sintesis
Sintesis merupakan deskripsi keseluruhan yang mencakup deskripsi umum
dan data yang dikumpulkan dalam analisis, sehingga diperoleh suatu
gambaran singkat tentang diri subjek. Gambaran tersebut bersifat suatu
rangkuman dan sekaligus merupakan suatu sintesis yang menghubungkan
data dan fakta yang terhimpun dalam analisis di atas.
4. Diagnosis
Diagnosis yaitu penentuan apakah masalah yang dialami subjek ini
35
bimbingan pribadi-sosial. Selanjutnya, dibuat perkiraan mengenai hal-hal
yang menjadi penyebab pokok timbulnya masalah yang dihadapi subjek.
5. Prognosis
Prognosis yaitu melaporkan sejauh mana dapat diharapkan terjadi suatu
perubahan bermakna dalam pikiran/pandangan, perasaan, kemauan
maupun perilaku subjek. Dalam prognosis juga diperkirakan berapa waktu
yang diperlukan untuk mencapai perubahan tersebut.
6. Treatment
Treatment ini merupakan proses pelaksanaan wawancara konseling dengan subjek sesuai dengan pendekatan yang telah direncanakan.
7. Evaluasi dan tindak lanjut
Pada bagian ini, setelah treatment dianggap berakhir, perlu dilihat sejauh
mana tampak hasil yang diharapkan (evaluasi). Kemudian ditentukan
tindak lanjut apa yang kiranya masih diperlukan dan bagaimana
Bab ini menggunakan hasil pelaksanaan penelitian sebagaimana
diungkapkan pada bab sebelumnya bahwa data yang diperoleh dianalisis dengan
menggunakan prosedur study kasus. Dalam pelaksanaan penelitian, peneliti
menggunakan tape recorder untuk konseling pertemuan kedua, ketiga dan
keempat dan wawancara informasi dengan sumber subjek sendiri, teman subjek,
dan guru, sedangkan dengan suster sebagai pengasuh tidak menggunakan tape recorder.
A. Deskripsi Umum Kasus Subjek
Nama : Lexa (samaran).
Tempat, tanggal lahir : Temanggung, 21 Juni 1991.
Agama : Katolik.
Tempat tinggal : PA. Pangrekso Dalem, Betlehem, Temanggung.
Alamat : Jln. Sudirman no 52, Temanggung.
Jenis kelamin : Perempuan.
Umur : 15 tahun.
Hobbi : Gitar, renang, lari estafet, tidur,
baca komik dan novel.
Sekolah : SMPLB Melati, Temanggung.
Anak ke : 9 dari 9 bersaudara.
37
Nama orang tua :
Ayah : Yohanes Petrus.
Ibu : Fransiska Febriani.
Penampilan :
1. Tinggi badan 158 Cm.
2. Berat badan 45 Kg.
3. Warna kulit sawo matang.
4. Rambut hitam ikal, sebahu.
5. Mata juling.
6. Bentuk kepala cekung.
7. Pendengaran mengalami gangguan (sering
mengeluarkan cairan yang berbau).
8. Berpakaian rapi, sering menggunakan celana
panjang dan kaos.
Gejala yang tampak :
1. Lexa menghindari tatapan mata orang bila
memandangi fisiknya.
2. Lexa tidak mau mengakui dirinya
bersekolah di SMPLB.
3. Lexa terlihat suka mencari perhatian bila
sedang berkumpul baik dengan teman
Sumber informasi : 1. Lexa
1. Ibu Pur dan Ibu Sri, selaku guru Lexa
2. Sr. Zita, selaku pengasuh Lexa
3. Via, Yuli, Hanip, selaku teman Lexa
B. Analisis
1. Riwayat pendidikan:
Informasi diperoleh dari dokumen (Laporan Pribadi Anak ketika
TK, Surat Keterangan Tamat Belajar TK, Buku Nilai Kepribadian SD,
Laporan Penilaian Hasil Belajar SDLB, Surat Tanda Lulus SDLB, Ijazah
SDLB, dan Piagam Penghargaan Lomba) yang didapat dari Sr. Zita. Pi.,
pada tanggal 10 Agustus 2006.
a. TK COR YESU (1995-1997).
TK Cor Yesu terletak di jalan Jend Sudirman no. 53,
kelurahan Kertosari, Temanggung di bawah Yayasan
Penyelenggaraan Ilahi. Lexa masuk TK Cor Yesu dengan wali Sr.
Diana. PI., selaku pimpinan PA Betlehem. Dari data rapor Lexa
selama di TK diketahui keadaan mata, mulut, dan anggota badan
tidak mengalami perkembangan selama di TK, dari cawu I-III
dapat penilaian cukup. Telinga, hidung dan kulit Lexa mendapat
penilaian dari cukup mengalami perkembangan ke baik, untuk gigi
39
Lexa selama di TK mendapat penilaian antara lain:
TK A
Cawu I (Selama di cawu satu Lexa selalu masuk sekolah).
1) Pembentukan perilaku
a) Moral Pancasila, disiplin, perasaan/emosi, dan kemampuan
kemasyarakatan.
Lexa dalam bersopan santun, tolong menolong dan
tenggang rasa dengan teman sudah baik tetapi harus latihan
konsentrasi diri dan pengendalian emosi.
b) Agama
Lexa mau melakukan doa sebelum dan sesudah pelajaran.
Lexa sudah hafal doa yang diajarkan tetapi Lexa masih
latihan sikap doa karena sering mainan korden atau
rambutnya teman ketika berdoa.
2) Kemampuan dasar
a) Kemampuan berbahasa
Lexa dalam berbicara dengan guru dan teman sudah lancar.
Menyanyi, mengucapkan syair sudah cukup baik namun
masih harus latihan tanya jawab dalam kelompok, karena
b) Daya Pikir
Lexa kemampuan menyebutkan bermacam warna, alamat
rumah sudah cukup baik namun masih latihan konsep,
lambang bilangan, bermacam bentuk dan menyusun puzzle.
c) Keterampilan
Lexa dalam hal memberi dan mencocokan warna sudah
baik namun masih harus latihan menggambar, melipat,
menggunting, membuat garis dan angka, menjahit
sederhana, menciptakan bangunan, serta meningkatkan
kerajinan dan kerapian pekerjaan.
d) Jasmani
Lexa sudah baik dalam melakukan gerakan mengayuh,
meluncur, merayap, merangkak namun masih berlatih
meniti dan bergerak dengan musik.
Cawu II (Selama cawu II Lexa satu kali sakit).
1) Pembentukan perilaku
a) Moral Pancasila, disiplin, perasaan/emosi, dan kemampuan
kemasyarakatan
Lexa sudah bisa menolong teman, mengucapkan salam,
mengurus diri namun masih harus latihan bertanggung
jawab dalam menjalankan tugas, mengendalikan emosi,
41
b) Agama
Lexa mampu melakukan doa sebelum dan sesudah
pelajaran. Doa sudah hafal namun harus belajar
konsentrasi. Lexa ramah dan ceria sebagai anak Allah
namun harus lebih belajar mengenal cerita-cerita alkitab.
2) Kemampuan dasar
a) Kemampuan berbahasa
Lexa sudah mampu bernyanyi dan mengucapkan sajak
namun masih harus berlatih tanya jawab dalam kelompok,
mengenal posisi tempat dan menceritakan gambar.
b) Daya pikir
Lexa cukup mampu menyebutkan berbagai macam bentuk
benda, binatang, tanaman namun masih harus berlatih
menyebut nama-nama hari, lawan kata, ukuran, konsep
bilangan.
c) Keterampilan
Lexa dalam hal memberi dan mencocokkan warna sudah
baik namun masih harus latihan menggambar, melipat,
menggunting, membuat garis dan angka, menjahit
d) Jasmani
Lexa sudah baik dalam melakukan gerakan mengayuh,
meluncur, merayap, merangkak namun masih berlatih
meniti, menangkap bola, meloncat, dan gerakan dengan
musik.
Cawu III (Cawu III Lexa selalu masuk sekolah).
1) Pembentukan perilaku
a) Moral Pancasila, disiplin, perasaan/emosi, dan kemampuan
bermasyarakat
Perilaku Lexa sehari-hari sudah baik, mau mengucapkan
salam dan tolong-menolong dengan teman. Lexa dapat
mengurus diri sendiri, bertanggung jawab dalam tugas
namun masih belum rapi dan bersih dalam mengerjakan
tugas.
b) Agama
Lexa sudah hafal doa, lagu rohani dan bisa konsentrasi
dengan cukup baik. Lexa anaknya riang, ramah namun
belum paham cerita-cerita rohani dan tempat ibadah tiap
43
2) Kemampuan dasar
a) Kemampuan berbahasa
Kemampuan berbahasa Lexa sudah baik, ia dapat
menjawab pertanyaan sederhana. Lexa mudah menghafal
lagu, syair, dan posisi tempat duduk namun belum aktif
dalam tanya jawab kelompok dan cerita bergambar.
b) Daya pikir
Daya pikir Lexa cukup baik, dapat menghitung, dan
menyebutkan nama-nama hari namun masih berlatih
menyebut lawan kata.
c) Keterampilan
Keterampilan motorik halus Lexa cukup baik. Lexa dapat
meronce, menggambar, mencocokan, membuat garis dan
angka namun kurang rapi. Lexa harus berlatih melipat,
menganyam, menggunting dan menjahit.
d) Jasmani
Keterampilan motorik kasar Lexa sudah baik. Lexa dapat
bermain dengan alat permainan, merangkak, merayap
namun masih latihan melompat setinggi 20 cm, berjalan di
TK B
Cawu I (Lexa selama cawu I selalu masuk kelas).
1) Pembentukan Perilaku
a) Moral Pancasila, disiplin, perasaan/emosi dan kemampuan
bermasyarakat
Sikap Lexa dalam mengucap salam, bergotong royong,
tolong menolong, berani dan ingin tahu sesuatu sudah
cukup baik. Namun perlu latihan dalam kerapian bertindak,
bekerja, berpakaian, mengendalikan emosi dan bersopan
santun.
b) Agama
Sikap Lexa sebagai anak Allah dan rela berkawan cukup
baik. Namun harus banyak latihan dalam berdiam diri,
tenang mengerjakan tugas, memahami arti simbol dalam
gambar kitab suci, bersopan dan bertingkah laku jujur.
2) Kemampuan dasar
a) Kemampuan berbahasa
Kemampuan Lexa cukup dalam menjawab pertanyaan,
menyanyikan lagu anak, mengucapkan sajak,
memperagakan gerak, bicara lancar dengan kalimat
45
dramatisasi, melengkapi kalimat, mengurutkan gambar seri,
menceritakan gambar yang dibuat sendiri.
b) Daya pikir
Kemampuan Lexa masih kurang dalam mengenal konsep
bilangan, mengelompokan warna, menyusun bentuk,
mengenal sebab akibat, mengetahui asal mula, membuat
pola gambar, mengenal konsep waktu. Lexa masih perlu
latihan dan bimbingan.
c) Keterampilan
Lexa masih perlu latihan dan bimbingan dalam membuat
macam-macam garis, mencontoh angka, membuat pola
gambar, membatik, mozaik, mencocokan gambar, melipat
kertas, menggunting kertas, menjiplak bentuk-bentuk,
menjahit, menganyam, melukis dengan jari.
d) Jasmani
Kemampuan Lexa cukup dalam merayap, merangkak,
meniti, berjalan, berlari, meloncat, melompat meniru
gerakan binatang dan tanaman, gerak tari, melempar, dan
Cawu II (Selama cawu II Lexa satu hari tidak masuk sekolah
karena sakit)
1) Pembentukan perilaku
a) Moral Pancasila, disiplin, perasaan/emosi dan kemampuan
bermasyarakat
Sikap Lexa dalam keberanian, tenggang rasa, mengucap
salam, tolong menolong, gotong royong sudah baik. Namun
masih perlu berlatih mengurus diri, bertanggung jawab
terhadap tugas, kerapian bertindak, bekerja dan berpakaian.
b) Agama
Lexa suka menolong, rela berkawan, rela memberi dan
menerima. Namun perlu latihan dalam memahami simbol,
sopan santun dalam bertingkah laku, mampu berdiam diri
dalam melaksanakan tugas.
2) Keterampilan dasar
a) Kemampuan berbahasa
Kemampuan Lexa dalam menirukan urutan angka,
menjawab pertanyaan, bicara dengan kalimat sederhana,
menyanyikan lagu anak, memberikan keterangan sudah
baik. Namun perlu latihan dalam melengkapi kalimat,
47
b) Daya pikir
Kemampuan Lexa dalam membilang, konsep bilangan,
konsep sama tidak sama, mengelompokan warna, mengenal
ukuran, sebab akibat, asal mula, konsep waktu,
penambahan dan pengurangan masih kurang dan perlu
banyak latihan serta bimbingan.
c) Keterampilan
Kemampuan Lexa dalam membuat garis, mencontoh
bentuk, menulis angka, meronce, melipat kertas,
menggunting, mencocokan, menggambar, menjiplak,
menjahit, tepuk tangan berbagai pola, membatik masih
kurang harus banyak latihan dan bimbingan.
d) Jasmani
Kemampuan Lexa dalam merayap, merangkak, berjalan,
berlari, menirukan gerakan tanaman dan hewan, melakukan
gerak tari sudah baik. Namun perlu latihan dalam senam
Cawu III (Selama cawu III Lexa selalu masuk sekolah).
1) Pembentukan perilaku
a) Moral Pancasila, disiplin, perasaan/emosi dan kemampuan
bermasyarakat.
Sikap Lexa dalam mengucapkan salam, tolong menolong,
puas atas prestasi, berani dan rasa ingin tahu, gotong
royong, tanggung jawab terhadap tugas sudah baik. Namun
harus berlatih dalam kerapian bekerja dan pengendalian
emosi.
b) Agama
Sikap religius, mengasihi sesama dan ciptaan Tuhan,
ramah, rela berkawan, gembira dalam berpenampilan
sebagai anak Allah sudah baik. Namun perlu latihan
berdiam diri dalam mendengarkan, melaksanakan tugas,
dan sopan santun.
2) Kemampuan dasar
a) Kemampuan berbahasa
Kemampuan Lexa dalam menyanyikan lagu anak,
memberikan keterangan, menggunakan dan menjawab
pertanyaan, memperagakan gerakan sudah baik.
Namun perlu berlatih mengurutkan dan melanjutkan