• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. Faktor Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku Bermukim

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. Faktor Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku Bermukim"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Faktor Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku Bermukim

Faktor-faktor yang berhubungan dalam perilaku bermukim diantaranya meliputi karakteristik pemukim yang terdiri dari, umur, motivasi, pendidikan formal, pekerjaan, pendapatan, aset total, jarak daerah asal dengan bantaran sungai, masa bermukim, perilaku bermukim kembali, dan jumlah pemukim dalam satu rumah. Faktor lain meliputi persepsi, sikap yang diduga mempengaruhi perilaku bermukim dan memiliki komponen diantaranya adalah: (1) perbaikan dan perawatan bangunan dengan komponen diantaranya adalah perbaikan pada bangunan dan perawatannya. (2) perilaku bermukim dengan komponen didalamnya penggunaan air sungai hingga melestarikan lingkungan sekitar. (3) aktivitas sosial pemukim yang memiliki komponen diantaranya interaksi para pemukim dengan lingkungan sosialnya melalui beberapa kegiatan. (4) aktivitas kesehatan yang memiliki komponen diantaranya adalah penggunaan pestisida berbahaya pada pemukim. (5) upaya mempertahankan bangunan yang memiliki komponen diantaranya adalah upaya yang dilakukan oleh pemukim dalam mempertahankan huniannya melalui beberapa cara. Komponen tersebut akan dikaji berdasarkan pustaka terkait.

Karakteristik Pemukim

Aspek yang melatarbelakangi pemukim untuk menempati bantaran sungai di DKI di Jakarta karena adanya komponen yang diduga mendukung keberadaan pemukim. Dengan mengetahui komponen tersebut maka perilaku bermukim dapat diketahui secara sistematis. Adapun komponen yang melatarbelakangi tersebut diantaranya adalah:

1. Umur

Faktor usia dalam perkembangan diri seorang manusia sangat menentukan mengingat banyaknya aspek yang dikembangkan pada seorang individu melalui usia yang dimilikinya. Salah satunya ialah keputusan untuk bertempat tinggal di bantaran sungai, faktor yang mempengaruhinya diantaranya adalah kematangan

(2)

secara psikologis yang diaplikasikan melalui kesadaran pada tanggung jawab. Hurlock (1980) mengungkapkan jika masa kanak-kanak dan remaja merupakan fase pertumbuhan maka masa dewasa erat kaitannya dengan tanggung jawab. Hal ini berhubungan dengan keputusan yang harus diambil sehubungan dengan kehidupannya. Keputusan yang dibuat oleh pemukim tidak sepenuhnya dibuat berdasarkan keputusan dari diri sendiri, hal tersebut merupakan dampak dari kematangan wawasan yang merupakan pengaruh dari informasi yang terpapar pada individu.

Proses pengambilan keputusan tersebut secara spesifik mengungkapkan kematangan intelektual yang berdampak pada daya analisis seseorang. Informasi dari masyarakat pendatang mengenai tanggung jawab yang harus diambil alih ketika seseorang berada di fase dewasa, ditambah dengan contoh adanya keberhasilan dan perubahan yang dialami ketika seseorang berpindah dari desa ke kota. Fakta tersebut yang membuat adanya kesinambungan antara umur pada karakteristik pemukim. Lebih jauh lagi diungkapkan Brim (1966) proses tersosialisasinya seseorang di usia tertentu juga karena adanya interaksi dari lingkungan sekitar dan etika maupun kepercayaan yang berlaku di suatu sistem sosial, pada saat itu seseorang diharapkan dapat berubah mengikuti hal tersebut, karena lingkungan sosial mengharapkan adanya peranan yang dipenuhi oleh seseorang ketika berada pada usia tertentu. Karena hal tersebut pemukim yang merupakan pendatang pada umumnya berada pada fase usia remaja dan dewasa. Tanggung jawab yang dibebankan oleh lingkungan maupun keluarga pemukim memiliki pengaruh pada kedatangan mereka untuk bermukim di bantaran sungai. 2. Motivasi

Motivasi diartikan oleh Johannson dan Page dalam Crawford (2005) sebagai sebuah proses-proses atau faktor yang bisa menyebabkan orang lain bertindak atau berperilaku dengan cara tertentu. Sedangkan Maslow dalam Boeree (2006) mengungkapkan bahwa motivasi seseorang memiliki tingkatan yang saling menutupi satu dengan lainnya. Kondisi tersebut memiliki prinsip yaitu homeostatis, prinsip ini yang membuat seseorang dapat dengan sendirinya membuat prioritas dalam kebutuhannya yang dikatakan sebagai instictold

(3)

(kebutuhan yang mirip insting) melalui prinsip tersebut kedatangan pemukim untuk berpindah tempat tinggal karena kondisi yang tidak menguntungkan dan membuat mereka melakukan usaha untuk survive. Kondisi tersebut kemudian menimbulkan efek berantai pada pemukim melalui adanya kebutuhan-kebutuhan lain seperti kebutuhan akan sandang, pangan, dan papan.

Upaya pemukim untuk mendirikan bangunan erat kaitannya dengan motivasi pemukim untuk bertahan di Jakarta. Hal tersebut karena pada umumnya seorang pendatang yang ingin bermukim di kota telah menjual atau kehilangan seluruh asset yang dimiliki di desa menurut Abrams (1964) kebutuhan seseorang atau sebuah keluarga pada tempat tinggal, karena adanya persaingan manusia dengan manusia lainnya. Munculnya sifat manusia untuk dapat mempertahankan hidupnya karena desakan sumber daya alam yang sudah tidak dapat lagi mencukupi diri dan keluarganya. Semakin banyaknya lahan-lahan pertanian dipedesaan yang tidak lagi menghasilkan sesuatu untuk dimakan serta gambaran tentang kehidupan yang lebih baik yang lebih baik di perkotaan membuat pendatang pindah dan bermukim di kota. Kondisi tersebut yang memaksa pemukim untuk dapat bertahan hidup dengan sumber daya seadanya yang dibawa ke kota, bahkan tidak jarang para pendatang yang harus meminjam aset pada sanak saudaranya guna memenuhi kebutuhan bermukim di Jakarta. Melalui proses tersebut motivasi pemukim menjadi besar artinya, modal besar yang telah dikeluarkan serta motivasi untuk dihargai kerabat menjadi pemicu perilaku bermukim di bantaran sungai.

Menurut Robbins (2007) suatu energi dari dalam diri dilepaskan dan digunakan tergantung pada kekuatan dari motivasi seseorang dan peluang yang tersedia. Diantaranya faktor yang dapat memotivasi seseorang adalah:

(1) Kebutuhan akan prestasi yang merupakan daya penggerak yang memotivasi semangat seseorang. Karena itu kebutuhan akan prestasi mendorong seseorang untuk mengembangkan kreativitas dan mengerahkan semua kemampuan serta energi yang dimilikinya demi mencapai prestasi yang maksimal.

(2) Kebutuhan akan afiliasi menjadi daya penggerak yang memotivasi semangat seseorang. Hal ini termasuk, kebutuhan akan perasaan diterima

(4)

oleh orang lain di lingkungan tempat tinggalnya. Kebutuhan rasa dihormati, kebutuhan untuk maju dan tidak gagal dan kebutuhan untuk ikut berpartisipasi.

(3) Kebutuhan akan kekuasaan, merupakan daya penggerak yang memotivasi semangat seseorang. Hal ini memotivasi seseorang demi mencapai kekuasaan atau kedudukan yang terbaik.

Perilaku bermukim juga merupakan dampak dari motivasi pemukim sebelumnya untuk bertempat tinggal dan bertahan di DKI Jakarta. Keragaman motif dari pemukim jika dikaitkan dengan teori Wood Worth dalam Ahmadi (2007) adalah: emergency motive yang membutuhkan tindakan segera karena tuntutan keadaan. Seperti halnya kebutuhan pemukim untuk mendapatkan rumah, pakaian, makanan dan pekerjaan guna bertahan hidup. Sedangkan yang selanjutnya adalah: objective motive: yang merupakan hubungan dari lingkungan berupa individu maupun benda. Dalam hal ini contoh motivasi pemukim ialah penghargaan dari kerabat pemukim di daerah asal. Karena dampak dari motivasi tersebut juga memotivasi calon pemukim lain untuk berada di Jakarta.

3. Pendidikan Formal

Pendidikan formal menurut Coombs dalam Teddy (2009) ialah. is the highly institutionalized, chronologically graded and hierarchically structured education system, spanning lower primary school and the upper reaches of the university. Jadi dalam hal ini dijelaskan bahwa pendidikan formal merupakan pendidikan yang memiliki bentuk organisasi tertentu seperti sekolah dasar sampai dengan universitas, sehingga terlihat adanya penjenjangan, program pembelajaran, jangka waktu proses belajar dan bagaimana perkembangan siswa pada jenjang pendidikan yang diberikan selama waktu tertentu. Melalui pemaparan tersebut seharusnya dapat dipastikan bahwa tingkat pendidikan formal pemukim memiliki gradasi yang jelas dalam sikap maupun perilaku bermukim di bantaran. Seseorang yang berpendidikan tinggi, mungkin tidak menyukai bertempat tinggal di bantaran sungai yang kotor dan rawan bencana. Dengan begitu diasumsikan jika seseorang yang berpendidikan tinggi akan berusaha menjauhi bermukim di bantaran sungai karena rawan bencana dan lingkungan yang tidak sehat.

(5)

Pendidikan juga memiliki pengaruh pada daya analisa seseorang pada lingkungan bermukim, misalnya saja pada upaya manusia dalam menganalisa karakter rumah melalui ilmu feng-shui yang berarti angin dan air. Menurut Frick dan Suskiyanto (2007) ilmu ini merupakan kreasi dari manusia dalam menciptakan pola letak tanah dan mencerminkan sikap pemukim pada lingkungan. Dengan begitu faktor pendidikan formal seseorang berpengaruh pada daya cipta, karya, dan karsa-nya pada pemukiman yang ditempatinya. Lebih jauh menurut Frick dan Suskiyanto (2007) pendidikan mengajarkan kepada seseorang mengenai apa yang terjadi jika batasan dalam alam atau lingkungan telah dilewati. Terlampauinya batasan lingkungan oleh pemukim karena pemukim tidak memiliki sikap maupun pengetahuan yang mencukupi mengenai bantaran sungai, dan hal tersebut karena minimnya pendidikan yang didapat oleh pemukim.

4. Pekerjaan

Pekerjaan di lingkungan perkotaan pada umumnya memiliki dua kategori yaitu, formal dan informal. Kedua sektor tersebut memiliki pengaruh tersendiri dalam perilaku bermukim. Misalnya saja pada aspek waktu yang harus dicurahkan untuk pekerjaan tersebut guna mendapatkan penghasilan yang diinginkan. Perbedaan karakter pekerjaan pemukim dengan tempat tinggalnya diwilayah perkotaan turut mempengaruhi pemilihan pekerjaan pada pemukim. Pada umumnya pemukiman di bantaran sungai memiliki kegiatan usaha informal seperti warung, hal ini yang dikatakan oleh Budiharjo (2006) sebagai usaha emper depan atau (front-porch business) sebagai pilihan pekerjaan yang biasa dilakukan di daerah asal mereka, kegiatan seperti perdagangan dan bercocok tanam serta pertukangan merupakan profesi yang umum dilakukan oleh pendatang.

Pekerjaan pemukim di sektor formal umumnya sebagai buruh kasar dari pekerjaan konstruksi maupun buruh di pabrik. Program yang berorientasi pada pembangunan merupakan upaya pemerintah dalam menyerap tenaga kerja yang menganggur. Akan tetapi pendapatan yang mereka terima tidak dapat mencukupi untuk kebutuhan tempat tinggal, sehingga banyak dari buruh yang menjadi pemukim di bantaran sungai.

(6)

5. Pendapatan

Perbedaan sektor pekerjaan para pemukim memungkinkan untuk menemukan tingkat perbedaan pendapatan. Menurut Hutomo (2000) masyarakat yang masuk ke dalam kategori miskin hanya memiliki dua sumber pendapatan, melalui upah/gaji atau surplus usaha informal, lebih lanjut pembahasan tersebut karena masyarakat jenis ini dianggap memiliki kemampuan yang terbatas. Hal tersebut menjelaskan alasan pemilihan lokasi bermukim di bantaran karena pendatang yang menjadi pemukim di bantaran tidak memiliki pilihan lain dengan tingkat pendapatan yang tidak mencukupi. Perbedaan tingkat pendapatan tersebut hanya berdampak pada tercukupinya sumber daya guna memperbaiki atau membuat hunian. Dengan begitu komponen ini dapat menjelaskan bagaiman pendapatan yang dimiliki dapat mempengaruhi kondisi bangunan maupun pemilihan lokasi pemukiman.

6. Aset Total

Perekonomian di pedesaan memiliki struktur yang tertata jelas, dimulai dari kegiatan pertanian yang menghasilkan keuntungan berupa panen, kemudian penjualan produk kepada konsumen. Tetapi pada saat perkembangan ekonomi perkotaan yang cenderung sentralistik, fungsi pedesaan menjadi termarjinalkan hanya sekedar pemenuhan pangan bagi warga perkotaan hal ini yang menyebabkan keuntungan bagi warga pedesaan menjadi berkurang secara signifikan. Kondisi ini yang membuat mereka terjebak pada hutang dan kehilangan sumber daya. Evers dan Korff (2002) mengungkapkan penelitian tentang desa di Malaysia yang menjadi kekurangan dalam kepemilikan aset-nya sendiri karena sistem ekonomi perkotaan yang membuat aktivitas pasar menjadi meningkat dan komersialisasi di bidang pertanian yang menjadi terpusat di perkotaan. Kondisi di Malaysia tidak berbeda jauh dengan yang terjadi pada pendatang di bantaran sungai, kepemilikan mereka pada sumber daya menjadi berkurang karena aktivitas ekonomi mereka hanya berkisar pada produksi subsisten yang dikonsumsi sendiri, sementara itu untuk memenuhi kebutuhan lainnya sulit untuk di akses. Oleh karena itu, aset total dari pemukim diketahui

(7)

melalui adanya sumber daya yang dimiliki oleh mereka selama bermukim di bantaran.

7. Jarak Daerah Asal Dengan Hunian

Pendatang di bantaran sungai memiliki latar belakang yang beragam, dan berakibat pada perbedaan perilaku individu pada bantaran. Pembagian pemukim atau individu yang berinteraksi pada bantaran sungai dapat dikategorikan sebagai berikut. (1) Pemukim asli Jakarta yang lahir dan hidup di Jakarta. (2)Pendatang dari kota diluar Jakarta yang bermukim di Bantaran sungai (3) Pendatang yang bekerja yang berhubungan atau berinteraksi dengan bantaran sungai. Pembagian tersebut dilakukan untuk mengetahui kategori pemukim dengan latar belakang yang berbeda. Pembagian melalui kondisi sosial ekonomi akan sulit dilakukan karena tidak semua penduduk yang menjadi pemukim di bantaran sungai berada dalam kondisi ekonomi yang buruk. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya, pemukiman yang layak huni di Jakarta selatan terutama disepanjang DAS pesanggrahan dan juga Sunter dan Ciliwung yang ditempati oleh pabrik. Pembagian tersebut dilakukan dengan merujuk pada kondisi lahan di bantaran.

Menurut Nold (2003) faktor utama dari bermukim adalah kebudayaan dan hal itu terkait dengan sejarah yang menjadi identitas bagi keberadaan budaya tersebut. Oleh karena itu pada perencanaan pembangunan hunian budaya memiliki pengaruh pada pemukim yang dibawa dari daerah asalnya. Konteks budaya pada pemukim terbagi menjadi dua bagian. Yang pertama penyesuaian seseorang pada suatu daerah yang menjadi tempat tinggalnya, yang dianggap sebagai upaya adaptasi para pemukim ditempat yang baru dan hal tersebut diperlihatkan melalui penyesuaian bangunan tempat tinggal yang membaur dengan keadaan sekitarnya seperti lingkungan dan keadaan sosial tempatnya bermukim. Sedangkan pada bagian yang kedua kebudayaan akan tetap dipertahankan oleh seorang pemukim meski berbeda ditempat yang baru didatanginya. Hal tersebut dapat dijelaskan melalui teori Maslow dalam Booroe (2006) sebagai upaya aktualisasi diri agar dapat dikenali oleh masyarakat. Melalui faktor kebudayaan perilaku bermukim dapat diketahui melalui kebiasaan dan ritual yang dimiliki dalam kebudayaan

(8)

tersebut, dengan begitu aspek kebudayaan memiliki pengaruh pada perilaku bermukim di bantaran.

8. Masa Bermukim

Perilaku bermukim di bantaran sungai bukanlah fenomena baru bagi kasus sosial perkotaan, hanya saja merupakan kegagalan pemerintah dalam memindahkan para pemukim di bantaran sungai. Bolay (2006) mengatakan tentang kesulitan dalam menertibkan pemukim akibat masa bermukim, mereka yang sudah lama hal ini juga yang membuat mereka memahami kondisi yang sebenarnya kesulitan dalam meng akses pelayanan dan infrastruktur publik yang dijanjikan oleh pemerintah. Alasan kuat para pemukim diantaranya ialah, tempat yang disediakan, pada pemukim juga belum seluruhnya siap. Contohnya dapat dilihat pada kasus rumah susun yang disediakan oleh pemerintah bagi pemukim di bantaran sungai. Berbagai macam keluhan yang dilaporkan pemukim yang akan direlokasi adalah sebagai berikut: Jangka waktu dari hunian di rumah susun yang akan di batasi menjadi beberapa tahun saja, rumah susun tersebut di satu kamarnya akan terdiri dari dua sampai tiga keluarga, luas dari satu bangunan yang akan ditempati di rumah susun nantinya hanya seluas kurang dari 36 m2(Kompas 2009). Hal tersebut yang menjadikan sulitnya untuk menertibkan pemukim di bantaran. Selain karena fasilitas pemukiman yang tidak memadai penyebab lain adalah: tidak cukupnya biaya kompensasi guna memiliki hunian baru.

9. Perilaku Bermukim Kembali

Penelitian mengenai perilaku bermukim kembali (resettlement behavior) diungkapkan oleh Viratkapan dan Perera (2006) tentang pentingnya upaya negosiasi pemerintah yang diterapkan dalam negosiasi dari nilai kompensasi kepindahan pemukim. Meskipun pada kasus pemukiman kumuh, banyak dari para pemukim yang tidak memiliki izin dalam mendirikan bangunan (Sengupta dan Sharma 2009). Akan tetapi karena waktu tinggal mereka yang sudah menahun maka upaya-upaya dalam merelokasi dan mencegah munculnya perilaku bermukim kembali harus dilakukan secara tepat. Penelitian yang dikembangkan pada studi kasus di bantaran sungai Bangkok ini di identifikasi penyebab dari

(9)

perilaku bermukim kembali yang diantaranya adalah: faktor ekonomi yang terkait dengan tempat yang dihuni yang kemudian menyebabkan timbulnya perilaku bermukim kembali. Oleh karena itu, pendekatan dalam program yang dikembangkan akhirnya dilakukan dengan terlebih dahulu mengidentifikasi faktor-faktor yang terkait dengan keberhasilan dari relokasi pemukim. Adapun faktor yang termasuk di dalamnya adalah: (1) partisipasi dari pemukim (2) kompensasi yang sesuai pada tanah yang akan dibebaskan (3) lokasi yang sesuai (4) fasilitas terpenuhi (5) kepastian dalam mendapatkan pekerjaan atau tidak mengganggu keberlangsungan dari pendapatan. Kelima faktor tersebut nantinya dapat mengarah pada sikap pemukim mengenai tempat yang akan dituju nantinya, apakah tempat tersebut memenuhi kriteria dengan yang diinginkan pemukim. 10. Jumlah Pemukim Dalam Satu Rumah

Pemukim di bantaran sungai umumnya merupakan pendatang dan tinggal bersama, hal ini bisa beranggotakan keluarga yang tinggal bersama, atau kerabat yang menyewa bangunan bersama. Jumlah pemukim dalam bangunan memperlihatkan aktivitas yang berbeda satu sama lainnya. Abrams (1966) mengungkapkan tentang karakter jumlah pemukim didalam suatu bangunan sebagai berikut. Mereka membuat partisi yang membagi sejumlah aktivitas kedalam beberapa ruangan yang digunakan sesuai dengan fungsinya. Akan tetapi hal tersebut tentu saja akan mengubah jarak psikis dan rentan pada konflik. Hal ini sulit untuk dihindari karena perbedaan kondisi seseorang akan mewakili tingkah lakunya setelah kembali kedalam rumah, yang seharusnya menjadi tempat untuk beristirahat dan berkontemplasi.

11.Persepsi Pemukim Tentang Bermukim Di Bantaran Sungai

Persepsi didefinisikan sebagai proses yang menggabungkan dan menggorganisasikan data-data indera kita untuk dikembangkan sedemikian rupa sehingga kita dapat menyadari keadaan disekeliling kita, dan juga termasuk menyadari keberadaan akan diri kita sendiri. Definisi lain menyebutkan bahwa persepsi adalah: kemampuan membedakan, mengelompokan memfokuskan perhatian pada suatu objek rangsang. Proses pengelompokan dan membedakan ini

(10)

persepsi melibatkan proses intepretasi berdasarkan pengalaman pada suatu objek. (Sears et al,1985).

Persepsi individu untuk bermukim di bantaran sungai karena para individu hanya mampu menafsirkan bahwa bantaran maupun sungai berada didalam kondisi optimal, terutama dengan arus sungai yang besar dianggap dapat membersihkan sampah maupun limbah yang dibuang kedalam sungai, dan kondisi dari bantaran yang tetap dalam kondisi baik. Walaupun ketika bencana, seperti banjir dan tanah longsor pada bantaran, pemukim bantaran sungai hanya menganggap tanah dari bantaran sudah tidak mampu lagi menahan beban sehingga para pemukim dapat mencari wilayah lain dari bantaran sungai yang berbeda.

Karena persepsi lebih bersifat psikologis daripada proses penginderaan saja, maka ada beberapa faktor yang mempengaruhi

a. Persepsi yang selektif: dalam kehidupan setiap manusia setiap saat menerima banyak sekali rangsangan dari lingkungan, tetapi setiap orang tidak harus menanggapi semua rangsangan, hanya harus memusatkan perhatian pada rangsangan tertentu saja. Dengan demikian objek atau gejala lain tidak akan menjadi prioritas sebagai objek pengamatan.

b. Ciri-ciri rangsang: rangsangan yang bergerak diantara rangsang yang diam akan lebih menarik perhatian. Demikian juga rangsang yang paling besar diantara yang kecil: yang kontras dengan latar belakangnya dan intensitas rangsangan yang paling kuat.

c. Nilai dan kebutuhan individu: cita rasa dan pengamatan yang berbeda pada objek yang sama.

d. Pengalaman dahulu: pengalaman terdahulu yang mempengaruhi bagaimana seseorang mempersepsikan dunianya. (Shaleh dan Wahab 2004)

Faktor yang mempengaruhi persepsi dari bermukim di bantaran sungai diantaranya kondisi pemukiman di Jakarta yang tidak memungkinkan untuk menambah pemukiman lagi, terkecuali di daerah yang dikosongkan menjadi daerah konservasi. Melalui hal tersebut para pemukim hanya terfokus pada ketersediaan tempat tinggal ketika tiba di Jakarta, hal ini masuk kedalam kategori

(11)

persepsi yang selektif, yaitu kondisi dimana seorang individu dan keluarganya yang membutuhkan tempat tinggal dan tidak memperhatikan aspek lain, seperti kebersihan dan keamanan.

Faktor lain yang sesuai dengan kondisi persepsi dari bermukim dibantaran sungai adalah: faktor pengalaman yang melatar belakangi sesorang mempersepsikan bantaran sungai. Sebagai contoh karena tidak padatnya penduduk dan perbedaan regulasi disuatu daerah di daerah. Bermukim bantaran sungai tidak menjadi permasalahan, akan tetapi berbeda ketika individu yang memiliki pengalaman tersebut berada di Jakarta untuk bermukim di bantaran sungai. Mereka mulai memperlakukan bantaran dan sungai berdasarkan pengalaman di daerah asalnya, hal ini akan berdampak pada rusaknya bantaran sungai dan juga memberikan kesempatan maupun contoh pada pemukim lain untuk melakukan hal yang sama.

12. Sikap Pemukim Tentang Bermukim Di Bantaran Sungai

Alport dalam Sears (1985) mendefinisikan bahwa sikap adalah: keadaan saraf dan mental dari kesiapan yang diatur melalui pengalaman dan memberikan pengaruh dinamik pada respon individu semua objek dan situasi yang berkaitan dengannya. Definisi ini dipengaruhi dengan adanya tradisi tentang belajar dan juga pengalaman masa lalu individu yang membentuk sikap. Kretch dan Crutchfield yang diacu oleh Sears mendukung perspektif dari kognitif yang mendefinisikan sikap sebagai organisasi yang bersifat menetap dari proses motivasional, emosional, perseptual, dan kognitif mengenai beberapa aspek dunia seseorang.

Robbins (2007) mendefinisikan sikap sebagai pernyataan yang bersifat evaluatif, baik yang diinginkan atau tidak diinginkan, mengenai obyek, individu maupun peristiwa. Sikap sendiri terbagi kedalam tiga komponen, yaitu kognitif, afektif dan konatif (Siagian 2004), komponen kognitif terdiri dari seluruh kognisi yang dimiliki seseorang mengenai objek sikap yaitu, fakta pengetahuan dan keyakinan objek, komponen afektif terdiri dari seluruh perasaan atau emosi

(12)

seseorang pada objek penilaian, komponen perilaku terdiri dari kesiapan seseorang untuk bereaksi atau kecendrungan untuk bertindak pada objek.

Aspek sikap merupakan aspek yang dapat memudahkan untuk memahami bentuk dari perilaku bermukim di bantaran sungai. Pemecahan melalui komponen sikap dapat dilakukan menjadi bagaimana, ketiga komponen sikap tersebut dapat saling mempengaruhi. Komponen kognitif dari sikap bermukim adalah: bagaimana meyakini bahwa bantaran sungai dapat menunjang kehidupan mereka di Jakarta, dan bagaimana bantaran sungai berfungsi secara optimal dengan aspek fisiknya yang memenuhi kebutuhan tempat tinggal, berkegiatan MCK (mandi,cuci, kakus) setiap harinya. Komponen dari sikap mengenai afektif dalam perilaku bermukim, lebih mencangkup kepada aspek emosional pemukim, hal ini dapat termasuk tentang melihat seseorang yang telah tinggal lebih lama di bantaran sungai kemudian mempengaruhinya untuk tinggal di bantaran sungai, dan berperilaku seperti membuang sampah di sungai serta merusak bantaran dengan mendirikan bangunan. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Harihanto (2001) menurut teori belajar sosial, sikap dapat terbentuk atau berubah karena meniru orang lain.

Aspek perilaku dalam sikap lebih mengarah kepada maksud untuk berperilaku dalam cara tertentu pada sesuatu, dalam hal ini dijelaskan tentang bagaimana seseorang ketika berusaha mencari tempat bermukim. Aspek perilaku dalam sikap mengarahkan bagaimana seseorang meyakini dan kemudian bertindak berdasarkan fakta atau pengaruh yang membuat seseorang bersikap untuk bertempat tinggal di bantaran sungai, kemudian diaktualisasikan kedalam perilaku bermukimnya. Komponen dalam sikap pada umumnya berinteraksi secara sistematis ketika mempengaruhi seseorang dalam bersikap. Komponen tersebut mempengaruhi melalui fakta pengetahuan dan keyakinan dalam perilaku bermukim di bantaran sungai. Tentang unsur dalam bermukim dibantaran sungai, diperlihatkan dalam Gambar. 1.

(13)

Gambar 1. Unsur-Unsur dalam Bermukim Di Bantaran Sungai

Gambar diatas memperlihatkan tentang bagaimana sikap dapat dipengaruhi secara kognitif afektif dan maksud untuk berperilaku di dalam bermukim di bantaran sungai. Akan tetapi Sears (1985) menilai bahwa unsur-unsur tersebut dapat menjadi bagian yang terpisah kedalam kompleksitas kognitif, kesederhanaan eveluatif serta sikap dan perilaku.

1. Kompleksitas Kognitif: Salah satu unsur dari berbagai sikap dalam tingkat kepentingan yang berbeda, sikap juga dapat berupa hal-hal yang rumit dan melibatkan sejumlah kognisi yang mempunyai perbedaan dalam hubungannya dengan inti masalah dan dalam komponen penilaiannya. Segala macam kesulitan yang ditimbulkan kenyataan bahwa kognisi-kognisi ini berhubungan dengan satu sama lain dan berhubungan dengan banyak komponen lainnya. Pendapat bahwa bantaran sungai dapat menerima penambahan pemukim lagi dan menghasilkan keuntungan, dapat menghasilkan sikap yang terkait dengan tindakan lainnya bagi pemukim, seperti mendirikan bangunan.

2. Kesederhanaan Evaluatif: Perbandingan pada fakta yang ada membuat fungsi fakta dapat diubah dengan adanya peran konfirmatory atau adanya perbandingan baru yang dihasilkan dari fakta terbaru. Pada kondisi ini sikap

Bantaran Sungai

Berbahaya Untuk Dijadikan Pemukiman Mencukupi Kebutuhan Sungai Dalam Kondisi Optimal

(14)

akan berbeda. Sikap bila ditetapkan, akan jauh lebih sulit berubah dibandingkan keyakinan akan fakta, karena seseorang tidak akan mengubah sikapnya sebelum terlebih dahulu mengadakan perlawanan dan tanpa dihadapkan pada sejumlah tekanan yang sungguh-sungguh. Hal tersebut ditambah dengan adanya komponen evaluatif yang mengubah dinamika tersebut, membuat proses perubahan sikap menjadi lebih sulit. Salah satu mengapa penilaian ini dapat menjadi lebih sulit karena penilaian tentang objek sikap dapat berlangsung lama setelah dampak yang dihasilkannya dilupakan. Komponen afektif lebih dapat bertahan dan lebih pokok daripada komponen kognitif. Hal ini karena fakta yang terdapat dibantaran sungai walaupun perbuatan seperti membuang sampah dan mendirikan bangunan dapat mengakibatkan kerusakan dan bencana, tetapi fakta tersebut tidak sebanding dengan keuntungan yang didapat oleh pemukim.

3. Sikap Dan Perilaku: Komponen ketiga dari sikap menyangkut pada kecenderungan berperilaku, dalam kasus perilaku bermukim jika seseorang diyakinkan pada bahaya untuk berperilaku merusak bantaran, maka yang selanjutnya apakah perilaku yang diterapkan oleh pemukim merupakan perilaku yang lestari atau bahkan mulai pindah dan tidak menggunakan bantaran sungai lagi. Hal ini disebut sebagai ketidaksesuaian perilaku nyata dengan sikap. Banyak pemukim yang mengetahui tentang berbahayanya untuk tinggal dan merusak bantaran sungai. Tetapi tetap tidak memiliki keinginan untuk pindah atau melestarikan bantaran sungai. Perilaku bermukim mereka tidak dikendalikan dengan adanya kognisi dan penilaian negatif mereka tentang bermukim di bantaran sungai. Hal ini menyimpulkan bahwa komponen perilaku dari sikap tidak selalu sesuai dengan komponen afektif dan kognitif.

(15)

Perilaku Bermukim

Melihat asal katanya, bermukim memiliki beberapa padanan yang sesuai menurut terjemahan dari kata settlement. Berdasarkan Oxford advanced learner dictionary (2000) yaitu, a place where people have come to live and make their home, esspecialy where few or no people lived before dan yang selanjutnya adalah: the process of the people making their homes in a place. Melalui definisi baku kamus tersebut diketahui beberapa komponen yang dapat melatarbelakangi seorang pemukim untuk bermukim di suatu tempat. Defenisi pertama disebutkan bahwa bermukim berkaitan dengan perencanaan dan pemilihan sebuah lokasi guna dijadikan tempat bermukim. Selanjutnya, bermukim merupakan sebuah proses yang dilakukan untuk membuat hunian di sebuah tempat. Hal tersebut menunjukan bahwa, bermukim memiliki komponen diantaranya adalah: merencanakan, membangun, dan menghuni, yang didalamnya terdapat juga beberapa aktivitas/komponen pendukung guna mendapatkan hunian yang sesuai keinginan pemukim, seperti perilaku MCK serta pemeliharaan bangunan, aktivitas ekonomi, aktivitas kesehatan, aktivitas sosial dan mempertahankan bangunan.

Kondisi tersebut didefinisikan oleh Rosen (1985) sebagai sebuah upaya untuk mencapai standar hunian yang layak. Komponen perilaku pemukim yang pertama dalam definisi tersebut adalah: perilaku merencanakan. Usaha tersebut diantaranya, mencari lokasi yang sesuai, mencari bangunan dan lingkungan yang nyaman, kemudian menyesuaikan dengan kemampuan finansial yang dimiliki oleh calon pemukim. Kriteria tersebut disebutkan Rosen (1985) sebagai komponen yang harus dipenuhi dari sebuah hunian, yang diantaranya. Memiliki fasilitas air, memiliki dapur, konstruksi atap dan bangunan yang kuat, dan harga yang terjangkau, akan tetapi kondisi tersebut merupakan kondisi ideal dari pemukim yang berkecukupan. Berbeda hal nya dengan perilaku pemukim yang tidak berkecukupan. Hal yang dikemukakan oleh Abrams (1964) sebagai sebuah pemenuhan kebutuhan akan tempat tinggal yang harus tetap dipenuhi. Melalui pendapat Abrams dapat diterjemahkan bahwa perilaku bermukim dapat terbentuk melalui adanya keputusan pemukim untuk tetap tinggal, meskipun tidak adanya sumber daya sebagai penunjang. Hal ini dapat dilihat melalui adanya perilaku bermukim yang menempati lahan atau fasilitas publik yang tidak seharusnya

(16)

berpenghuni seperti bantaran sungai. Lebih jauh lagi Abrams memberikan alasan bahwa penetapan keputusan untuk bertahan pemukim lebih karena adanya alasan substansial mengenai ketiadaan sumber daya pemukim di daerah asalnya. Pada aspek ini perilaku pemukim berdampak pada terciptanya motivasi pendatang lain untuk bertempat tinggal di bantaran sungai yang memiliki peluang untuk merusak bantaran sungai dengan cara mendirikan bangunan (Action, 2006).

Perilaku bermukim merupakan hasil dari perencanaan pemukim mengenai fungsi bangunan yang didirikan. Aspek ini memperlihatkan fase selanjutnya dari perilaku pemukim yaitu merealisasikan perencanaan dengan cara membangun atau menyewa bangunan guna ditempati. Bagian ini juga memperlihatkan jenis kerusakan pada bantaran sungai akibat dari perilaku bermukim. Perilaku pertama yaitu membangun hunian, komponen didalamnya, ialah, pemilihan material bangunan. Pengerjaan bangunan pemukiman pada umumnya dilakukan secara swadaya dengan pemukim lain menggunakan material yang didapatkan dengan harga murah. Disain pemukiman pada umumnya, bagi pemukim yang memasuki badan sungai adalah: menggunakan disain rumah panggung atau rumah dua lantai hal tersebut dilakukan pemukim guna mengantisipasi banjir. Hal yang sama dikatakan Action (2006) bahwa pemukim di bantaran sungai pada umumnya meninggikan beberapa meter konstruksi bangunannya dan juga meletakan beberapa kantung pasir guna mencegah banjir. Lebih jauh lagi menurut Dent dan Roberts (1974) bahwa terdapat beberapa aspek yang biasa di kerjakan untuk pemukiman dengan rawan bencana seperti di bantaran sungai. (1) penyesuaian struktur bangunan dengan tempat berdirinya bangunan (2) klasifikasi elemen bangunan. Adapun penjelasan lebih lanjut sebagai berikut: pada penyesuaian disesuaikan dengan area pemukiman yaitu bantaran sungai. Tipe rumah yang berdiri di bantaran sungai pada umumnya menurut Wijanarka (2008) adalah rumah yang ditopang dengan banyak tiang. Hal tersebut disesuaikan dengan ketinggian maksimal air sungai ketika hujan turun. Adapun tinggi tiang bangunan berkisar satu sampai dua meter. Dijelaskan selanjutnya dengan Gambar 2. Tipe dari bangunan yang didirikan di bantaran sungai

(17)

Gambar 2. Tipe Bangunan Yang Didirikan Di Bantaran Sungai

Bagian selanjutnya adalah penentuan arah hadap muka bangunan. Yang dimaksud disini adalah bidang bangunan yang merupakan pintu masuk utama ke dalam bangunan. Menurut Wijanarka (2008) arah hadap muka bangunan tersebut terkait dengan perilaku pemukim mengenai magnet lingkungan misalkan bangunan di tepi sungai yang sedang berkembang akan membuat arah hadap muka bangunan mengarah pada jalan besar, sedangkan pada pemukim di bantaran sungai Jakarta arah hadap muka bangunan cenderung mengarah pada sungai dengan demikian jika bangunan tersebut merupakan bangunan yang telah didirikan sejak lama maka pencemaran di bantaran sungai merupakan perilaku yang disengaja. Klasifikasi elemen bangunan pemaparan akan dibagi lagi menjadi tiga bagian yaitu: (1) pondasi bangunan (2) tembok/dinding (3) atap dan lantai bagian atas. Pembahasan mengenai bangunan pemukim di bantaran sungai tergantung pada lahan bantaran. Tegaknya pondasi bangunan diatas lahan bantaran menyebabkan pengerjaan elemen lain seperti tembok dan atap dapat dengan mudah dikerjakan. Menurut Soedibyo dan Soeratman (1980) yang sesuai dengan kondisi lahan bantaran adalah jenis pondasi tiang pancang. Hal tersebut disebabkan karena lahan berdirinya bangunan memiliki karakteristik diantaranya adalah: (1) keadaan muka air tanah sangat tinggi hingga dapat mengakibatkan pelaksanaan pekerjaan pondasi menjadi sulit (2) keadaan lapisan tanah yang

(18)

memiliki daya dukung yang berbeda. Adapun pengerjaan selanjutnya dalam mendirikan bangunan adalah membuat dinding. Menurut Utomo (2006) dinding pada umumnya dibuat dari bahan batu bata atau batako dengan perekat spesi dengan campuran semen pasir atau kapur. Pembuatan dinding juga dapat menggunakan bahan batu kali dari bawah sampai ke atas, dengan penggunaan bahan tersebut dinding menjadi tebal dan kuat.

Surjamanto (2002) mengemukakan tentang pembuatan atap bangunan bahwa, (1) struktur atap dapat dipisahkan maupun disatukan dengan bangunan karena yang terpenting kedua struktur tersebut harus bersinergi (2) struktur atap pada umumnya berbeda dengan struktur bahan bangunan (3) struktur atap terletak paling atas untuk menerima beban sehingga berat atap perlu dipertimbangkan (4) atap bangunan mempunyai fungsi sebagai pelindung, mereduksi dari pengaruh iklim dan nilai estetika. Lebih lanjut diungkapkan mengenai aspek yang ada pada saat merancang atap adalah: (1) aspek yang timbul dari gaya-gaya akibat, berat sendiri, berat muatan contohnya: berat atap, berat pekerja, beban angin (2) aspek pengaruh alam secara langsung dengan pengaruh iklim maupun pengaruh tempratur. Setelah mengetahui aspek tersebut, hal selanjutnya adalah mengetahui unsur-unsur atap yang terdiri dari: (1) komponen struktur yang terdiri dari: (a) kuda-kuda (b) rangka atap (c) jurai. (2) ikatan angin (3) gording (rangka di bawah rangka genteng) dan nok (bagian rangka di ujung paling atas) (4) penahan untuk atap asbes (5) penutup atap yang terdiri dari: (a) logam: seng, alumunium, tembaga (b) alami: ijuk, nipah/kelapa, lalang, sirap (c) buatan yang bukan logam: genteng (tanah liat, pres beton, tegola) asbes. Perbedaan jenis bangunan di bantaran sungai dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu, permanent, semi permanent, dan tidak permanent. Melalui bahan dan komponen yang telah disebutkan perbedaan ketiga jenis tersebut dapat dibedakan melalui sifat bangunan dan jenis material yang digunakan. Pada bangunan permanent memiliki prinsip tidak dapat dirubah bentuk maupun posisinya sedangkan pada bangunan semi permanent bentuk dan posisinya dapat dirubah sebagian karena pemilihan material bangunan yang sebagian terdiri dari bambu atau kayu, begitu juga dengan bangunan tidak permanent keseluruhan material bangunan terdiri dari komponen yang dapat dirubah bentuk maupun posisinya.

(19)

Komponen tersebut diatas sesuai dengan penelitian Souza (2000) yang mendefinisikan informal settlement sebagai sebuah keluarga atau seseorang yang tidak memiliki sumber daya dalam memenuhi kebutuhan bermukimnya, sehingga memilih untuk menempati lahan yang digunakan sebagai fasilitas publik. Kondisi yang diungkapkan oleh Souza tersebut berhubungan dengan adanya fakta yang bahwa seorang manusia akan mencari tempat yang dapat mencukupi kebutuhan hidupnya, dengan begitu komponen ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Souza (2000) dan Abrams (1964) bahwa pemukiman informal atau pemukiman kumuh merupakan upaya manusia dalam mempertahankan hidupnya, yang diterapkan pada pendirian tempat tinggal sementara yang dibuat sendiri dengan menggunakan sumber daya atau material yang tersedia.

Realiasi dari perencanaan pemukim selanjutnya, dengan cara menyewa bangunan di bantaran sungai. Sebagian besar pemukim di bantaran sungai berprofesi sebagai pekerja kasar atau buruh pabrik dengan jumlah upah yang terbatas, hal tersebut yang menyebabkan para pemukim (penyewa rumah di bantaran) berusaha untuk menghemat segala bentuk aktivitas yang dapat memboroskan upah yang diterima. Salah satu bentuk penghematan tersebut dengan cara menyusutkan jumlah pengeluaran pada aspek transportasi menuju lokasi pekerjaan, dengan menyewa rumah di tempat terdekat dengan lokasi kerja maka hal tersebut dapat diterapkan. Contoh dari pendapat ini adalah: pada bantaran sungai di Jakarta Utara, banyaknya pabrik yang berada di daerah tersebut menghidupkan aktivitas ekonomi lain seperti sewa rumah yang diperuntukan bagi pekerja di pabrik tersebut. Nunnualy (2009) mengatakan bahwa pertumbuhan pabrik di sepanjang bantaran sungai adalah salah satu penyebab meningkatnya pemukim yang mendirikan bangunan selain perumahan. Meningkatnya realisasi pembangunan pemukiman di bantaran sungai mengakibatkan kerusakan pada bantaran yang diantaranya adalah: Semakin sempitnya wilayah bantaran sungai karena banyaknya pemukim yang mendirikan bangunan melebihi jarak aman sub DAS yaitu 20-25 meter. Semakin menyempitnya tanah di bantaran membuat bangunan yang berdiri diatasnya memiliki peluang hancur akibat erosi sungai, hal tersebut karena, struktur tanah bantaran tidak diperuntukkan guna berdirinya bangunan. hal ini sama dengan yang dikemukakan oleh Ragsdale et al, (2008)

(20)

mengenai kerusakan lain yang terjadi akibat erosi sungai pada pemukiman di sekitarnya. Erosi pada tepi sungai menurutnya juga, beresiko pada banjir yang dialami pemukim di bantaran, kerusakan bantaran juga berdampak pada kerugian besar seperti hilangnya infrastruktur pribadi yang merupakan aset bagi pemukim di bantaran.

Curah hujan yang semakin besar menyebabkan sungai di Jakarta mengalami banjir setiap tahunnya. Perilaku bermukim juga mempengaruhi tipe kerusakan yang terjadi pada bantaran sungai sehingga menyebabkan banjir yang berbeda. Menurut Action (2006) terdapat klasifkasi banjir yang disebabkan oleh perilaku bermukim yang diantaranya adalah: (1) banjir yang terkonsentrasi di daerah tertentu (Localised flooding) hal ini disebabkan pemukim yang telah lama bermukim di bantaran sungai dan jenis aktivitas pemukim yang menyebabkan kerusakan pada bantaran seperti parit yang tersumbat akibat sampah yang dibuang dan aliran air yang tertutupi akibat bangunan yang didirikannya. (2) banjir kecil (small stream) memiliki ciri-ciri yaitu air yang cepat meningkat akibat hujan besar, hal ini juga disebabkan sampah yang di buang pemukim tidak sesuai tempatnya. (3) banjir di sungai besar (major rivers) merupakan banjir besar yang dihasilkan akibat alih fungsi lahan bantaran, yang dapat mengubah aliran air dari sungai ke sungai sehingga menyebabkan banjir di bantaran sungai dan daerah pesisir seperti di Jakarta Utara. (4) banjir di musim hujan (wet season flooding) merupakan banjir dengan intensitas waktu yang lebih lama, hal ini karena kombinasi antara air hujan dan air sungai yang meningkatkan debit air pada rawa buatan, yang secara geologis terbentuk didalam patahan bantaran.

Meningkatnya populasi pemukim di bantaran sungai mempengaruhi kurangnya ruang terbuka hijau di Jakarta (RTH). Idealnya bagi kota Jakarta kebutuhan sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) 2005 adalah: sebesar 40% dari luas kota Jabotabek. RTH sendiri terbagi menjadi beberapa bagian dan bantaran sungai masuk kedalam kategori RTH konservasi. Secara sistem, RTH merupakan bagian dari kota yang tidak terbangun dan berfungsi untuk menunjang kenyamanan dan kesejahteraan, peningkatan kualitas lingkungan dan pelestarian alam (Sugandhi dan Hakim 2007). Semakin padatnya bangunan di bantaran sungai menghilangkan beberapa fungsi seperti ekologis dan

(21)

estetika. Fungsi ekologis lahan bantaran diperuntukan sebagai, lahan serapan air yang berlebih sehingga intensitas hujan tidak akan menyebabkan banjir atau bencana lainnya. Hal ini dikatakan oleh Kornblum dan Julian (1989) sebagai bentuk dari kerusakan lingkungan (environmental stress) ketika manusia sudah berinteraksi dengan lingkungan maka perubahan akan terjadi, pada udara, air dan tanah.

Pencemaran pada udara merupakan dampak dari perilaku bermukim pada pembuangan sampah. Sampah pada umumnya diperlakukan dengan cara berbeda-beda oleh pemukim, sampah yang dibiarkan berada di ruang terbuka dan sampah yang di bakar. Sampah juga menjadi permasalahan yang berbeda ketika pemukim membuang sampah atau limbah dengan cara menghanyutkan ke sungai. Hal tersebut menjadi ancaman besar bagi kelangsungan ekosistem yang lestari, pembuangan limbah olahan seperti residu, plastik dan pestisida mengakibatkan kerusakan pada fungsi lingkungan terutama dampaknya pada manusia. Berdekatannya pemukiman dengan industri berakibat pada kualitas udara dan berdampak pada kesehatan pemukim yang berada dilingkungan tersebut. Adapun komponen yang termasuk dalam pencemaran udara adalah: hydrocarbon, karbondioksida, nitrogen serta sulfur hal tersebut belum termasuk adanya industri kecil seperti pengasapan ikan yang membuat udara menjadi kotor dengan adanya asap serta jenis besi tertentu yang mencemari pemukiman yang dekat dengan wilayah industri, contohnya pada pemukim di bantaran sungai daerah Jakarta Timur. Pencemaran tersebut memiliki efek pada manusia dengan adanya efek jangka panjang pada kesehatan, seperti daya tahan tubuh yang semakin melemah kemudian bronchitis, emphysema dan kanker paru-paru.

Perilaku bermukim juga menjadi sebab tercemarnya air tanah. Contoh yang dapat diangkat pada pembuangan limbah disepanjang sub DAS Ciliwung dan menuju Jakarta Timur, penelitian menemukan tingkat kejenuhan Timbal (pb) pada hasil ikan tangkapannya. Limbah berbahaya lainnya yang menjadi permasalahan dalam pemukiman adalah: perilaku MCK pemukim. Pada rumah tangga yang memiliki tingkat pendapatan diatas rata-rata, konsumsi air tanah yang tercemar dapat diminimalkan dengan adanya pembelian air bersih yang dapat menjadi pengganti air guna aktivitas MCK. Akan tetapi dengan rumah tangga

(22)

miskin yang terjadi adalah: keterpaksaan untuk mengkonsumsi air tersebut dalam aktivitas sehari-hari. Disepanjang bantaran sungai air yang dikonsumsi sehari-hari merupakan air yang sudah tercemar dengan adanya pembuangan limbah domestik rumah tangga. (Kompas 2004). Kekurangan maupun pencemaran pada air tanah diperparah dengan kesulitan akses pada air bersih dipemukiman. Adapun kesalahan tersebut menurut Baker et al (2008) akibat kesalahan pemerintah dan elemen terkait didalamnya yang tidak mampu mendistribusikan secara merata kebutuhan akan air bersih pada seluruh masyarakat.

Pencemaran yang berikutnya terjadi adalah pencemaran pada tanah pemukiman, tanah terdiri dari unsur hara yang dapat ditanami oleh tumbuhan dan pepohonan karena alih fungsi lahan bantaran menjadi pemukiman menyebabkan hilangnya nutrisi dan unsur hara yang terkandung didalam tanah. Kerusakan atau pencemaran pada tanah di bantaran juga menjadi ancaman bagi pemukim karena dengan mengalirnya air lautan kedalam sungai merupakan pertanda bahwa tanah bantaran tidak lagi dapat membendung air lautan yang menyebabkan terkontaminasinya air sungai dengan air laut, dengan begitu para pemukim yang mengkonsumsi air sungai juga mengkonsumsi air yang tercemar dengan limbah dan air laut.

Fungsi lain yang juga hilang pada saat bantaran dipenuhi dengan bangunan pemukiman adalah: hilangnya fungsi estetika atau keindahan pada bantaran sungai, tetapi hal tersebut tidak sesuai dengan apa yang dijelaskan oleh Bolay (2006) pemukiman kumuh tidak hanya dipandang sebagai sebuah cara berbahaya seseorang untuk hidup akan tetapi pemukiman kumuh dapat juga dilihat sebagai sebuah solusi dan upaya pemukim untuk berkreasi secara ekonomis dan ber inovasi secara sosial. Walaupun sebagian besar pemukim tidak memiliki tanah yang mereka tempati Lasserve dan Royston dalam Bolay (2006).

Eksistensi perilaku bermukim diketahui dengan adanya kegiatan maupun aktivitas pemukim pada saat menghuni di bantaran sungai. kegiatan yang termasuk dalam perilaku menghuni di bantaran sungai adalah: (1) perilaku membuang sampah (2) Perilaku MCK (3) perilaku melestarikan bantaran sungai. Pada komponen lainnya aktivitas ekonomi pemukim terbagi kedalam dua sektor yaitu, sektor formal dan sektor informal. Pada sektor formal para pemukim

(23)

menjadi, pegawai di perkantoran atau buruh di pabrik-pabrik. Akan tetapi mayoritas pekerjaan para pemukim pada umumnya berada di sektor informal, dengan beberapa profesi diantaranya ialah, sebagai pedagang di rumah makan, pedagang kaki lima dan pemilik toko kelontong. Aktivitas ekonomi pemukim yang terkonsentrasi pada sektor informal disebabkan karena skill individu para pemukim yang terbatas. Tuntutan pekerjaan di Jakarta terkonsentrasi pada penguasaan skill individu berbasis teknologi seperti komputer, dan bahasa asing. Persyaratan tersebut ditambah dengan terbatasnya kemampuan industri untuk menyerap tenaga kerja. Hal ini akhirnya memicu kebutuhan pemukim untuk mengubah konstruksi pemukiman mereka dengan menyertakan konsep usaha, seperti rumah makan, bengkel, dan toko-toko kelontong (warung) yang digabungkan dengan rumah tinggal.

Penyakit Endemic, seperti diare, demam berdarah dengue (DBD) maupun malaria dihasilkan akibat perilaku bermukim. di bantaran sungai seperti, membiarkan genangan sampah yang berada di bantaran dan jarak rumah yang berdekatan, merupakan rawan penularan penyakit DBD karena nyamuk pembawa penyakit tersebut memiliki karakteristik jarak terbang yang pendek, maka dengan semakin padatnya penduduk di bantaran penyakit tersebut dapat menyebar dengan mudah. Kebutuhan mengenai pemukiman yang sehat sebenarnya dibutuhkan oleh tiap pemukim tanpa terkecuali begitu juga disetiap bantaran sungai di Jakarta tidak semua perilaku menggambarkan tentang perilaku merusak. Gerakan masyarakat peduli lingkungan merupakan perilaku lestari yang diwujudkan oleh pemukim di bantaran sungai. Hal tersebut dapat terlihat pada bantaran sungai Pesanggrahan di Jakarta Selatan. Peran gerakan tersebut sangat berpengaruh karena mampu mengkordinasikan masyarakat di bantaran sungai Pesanggrahan untuk berpartisipasi secara aktif pada kelestarian di bantaran sungai. Perilaku lestari tersebut diwujudkan dengan cara melakukan pemindahan bangunan yang sudah memasuki badan sungai dan juga penanaman pepohonan yang dapat membuat ekosistem di bantaran sungai kembali lestari.

Berdasarkan sintesa beberapa teori yang telah dikembangkan kedalam pen definisian sebuah konsep. Maka definisi dari perilaku bermukim adalah: upaya seseorang untuk mendapatkan tempat tinggal dan bertahan hidup melalui

(24)

beberapa tahapan seperti, merencanakan, membangun, berinvestasi, dan menghuni. Dengan cara menyesuaikan diri pada tempat dimana mereka bermukim melalui penggunaan sumber daya, baik dari diri sendiri maupun lingkungan secara illegal maupun legal, yang digunakan sebagai penunjang kehidupan untuk diaplikasikan pada bentuk bangunan dan kondisi lingkungan ditempat mereka bermukim.

Komponen Komponen Perilaku Bermukim

1. Merencanakan Pemukiman Di Bantaran Sungai

Perilaku bermukim merupakan manifestasi dari upaya pemukim dalam merencanakan hingga menghuni bantaran sungai. Aspek perencanaan ini berkaitan dengan kebutuhan pemukim dalam bertempat tinggal, yang diantaranya adalah: mendapatkan fasilitas yang dapat diakses guna meningkatkan pendapatan mereka walaupun memiliki resiko yang besar, perencanaan untuk bermukim menurut ESCAP dan UNHABITAT (2008) telah dipertimbangkan secara matang oleh pemukim. Adapun yang termasuk dalam aspek perencanaan pemukim ialah, (1) pemilihan lokasi (2) jarak antara bangunan dengan sungai (3) biaya terjangkau

Pemilihan lokasi dapat dikategorikan kedalam variabel penghubung diantara keinginan seorang pemukim untuk berdekatan dengan lokasi pekerjaan atau aktivitas bisnisnya Harihanto (2001) atau kondisi yang kedua adalah: pemilihan dilakukan berdasarkan lahan atau sumber daya yang tersedia, dengan begitu pemilihan lokasi bermukim menjadi aspek yang didasari oleh persepsi dari pemukim berkaitan dengan kondisi finansial pemukim. Hal tersebut sesuai dengan yang diungkapkan oleh ESCAP dan UNHABITAT (2008) kedekatan dengan tempat kerja dan kesempatan mendapatkan pekerjaan menjadi alasan kuat dalam perencanaan pemukim. Hal tersebut yang berusaha diimplementasikan oleh pemukim. Pertimbangan memilih tempat tinggal umumnya akan mencantumkan alasan kuat pemukim seperti, kedekatan dengan pasar, pabrik, daerah usaha, jaringan transportasi dan lokasi konstruksi, hal tersebut berpengaruh pada harapan untuk dapat mendapatkan penghasilan yang lebih besar, kesempatan kerja yang lebih baik, dan biaya transportasi yang lebih rendah. Terungkap alasan para pemukim mengenai perencanaan bermukim mereka yang tidak menempatkan

(25)

program perumahan pemerintah sebagai prioritas, selain karena pesimisme pemukim mengenai kondisi dan fasilitas juga harga, rumah dari program perumahan pemerintah umumnya dibangun terlalu jauh dari pusat kota, area industri, sekolah, klinik, dan pusat pelayanan sosial. Hal tersebut yang menyebabkan pemukiman di bantaran sungai tetap memilih bermukim di bantaran sungai meski seberapapun kumuhnya.

Keputusan Presiden Republik Indonesia No 9 Tahun 1999 (http://air.bappenas.go.id) mengatakan tentang pentingnya kelestarian DAS maupun bantaran sungai. melalui Kepres tersebut diketahui jarak yang sesuai untuk bertempat tinggal dari bantaran sungai adalah: 20-25 meter menjauhi bantaran sungai. akan tetapi, bangunan yang berada dibantaran sungai berada di bagian badan sungai hal tersebut membahayakan tidak hanya bagi pemukim tapi juga tanah bantaran akan lebih rapuh dan menyebabkan kelongsoran pada bantaran sungai serta menyempitnya sungai. Pemilihan jarak antara bangunan dengan sungai merupakan perilaku pemukim yang dikondisikan dalam keadaan terpaksa. Hal tersebut diungkapkan oleh Sengupta dan Sharma (2009) sebagai security situation yang tidak terpikirkan lagi karena pada faktanya seorang pemukim yang memiliki keuangan yang lebih baik akan memilih bertempat tinggal yang menjauhi sungai. Hal senada diungkapkan oleh Marx dalam Giddens (2007) bahwa pemukim yang sedang dalam bentuk terasing dan membahayakan akan tetap merasa nyaman karena adanya unsur alamiah yang tersedia bebas untuk digunakan sebagai tempat berlindung.

Ahli keuangan di bidang perumahan mengasumsikan 25-30% dari penghasilan rumah tangga dialokasikan untuk pembayaran sewa rumah ESCAP dan UNHABITAT (2008). Hal tersebut berlaku hanya untuk pemukim dalam golongan kelas menengah untuk pemukim, di bantaran sungai sebagian besar penghasilan digunakan untuk kebutuhan dasar seperti makanan, biaya kesehatan transportasi dan kebutuhan darurat lainnya. Program rumah yang ditawarkan oleh pemerintah bagi pemukim tidak terjangkau dalam artian, sulit untuk pemukim mengalokasikan anggaran guna pembayaran cicilan dari penghasilan para pemukim.

(26)

Melalui adanya kebutuhan tersebut manusia berusaha untuk mencari sumber daya yang dibutuhkan guna mendapatkan tempat tinggal. Berbagai tingkatan mengenai jenis bangunan perumahan disesuaikan dengan kemampuan pemukim, pembagian ini dipisahkan oleh Abrams (1964) menjadi beberapa kriteria, mendirikan bangunan yang bersifat permanent, semi permanent atau non permanent. Perilaku mendirikan tersebut dijelaskan juga dilakukan oleh pemukim sesuai dengan kemampuannya sendiri. dengan begitu pilihan untuk mendirikan bangunan dengan kondisi permanent dan semi permanent diputuskan oleh pemukim dengan mempertimbangkan kemampuan dari sumber daya yang dimiliki.

Menurut Chimhowu dan Hulme (2006) seorang pemukim akan berpindah menjadi pemukim tetap jika memiliki tingkat pendapatan atau kesejahteraan yang sesuai dengan yang di inginkan. Adapun lebih lanjut dipaparkan juga oleh Souza (2001) seorang pemukim yang berada dilahan yang menjadi tanah Negara dan menggunakan fasilitas publik, tetap memiliki status terhadap bangunan yang ditempatinya, yaitu sewa, membuat sendiri, dan membeli. Melalui penjelasan tersebut pemukim di bantaran sungai diasumsikan memiliki kondisi yang tidak sama pada status bangunan yang mereka miliki. Kondisi tersebut akan mempengaruhi pada perilaku bermukim yang ditampilkan, karena seorang pemukim yang menyewa rumah tidak akan bermukim secara penuh dan curahan waktu tinggal pemukim sewa tersebut menggambarkan perilaku bermukim yang intensitasnya terputus, berbeda halnya dengan pemukim yang menetap di bantaran, perilaku merusak bantaran sungai akan secara kontinu dilakukan.

Bangunan yang didirikan di bantaran sungai umumnya memiliki keragaman dari segi fungsi. Fungsi pertama sebagai bangunan yang didirikan sebagai rumah tinggal, kemudian sebagai bangunan dengan aktivitas ekonomi seperti rumah dengan toko kelontong dan pabrik. Hal ini menyebabkan perbedaan jenis biaya dalam pendirian bangunan. Sidik (2000) mengungkapkan lebih jauh perihal biaya-biaya yang harus dikeluarkan guna mendirikan suatu bangunan biaya tersebut diantara lain adalah:

(27)

1. Biaya utama komponen bangunan: yaitu biaya yang dikeluarkan untuk membayar seluruh unsur pekerjaan yang berkaitan dengan dengan pembuatan konstruksi utama bangunan

a. Biaya untuk pekerjaan persiapan (pemagaran proyek, pembersihan, direksi keet, barak kerja)

b. Biaya untuk pekerjaan pondasi (mulai dari galian pondasi hingga urugan tanah kembali)

c. Biaya untuk pekerjaan beton/beton bertulang (pembuatan lantai kerja, sloof, kolom, balok, dinding, beton baik di luar maupun di dalam, plat, lantai serta atap)

d. Biaya untuk pekerjaan pembuatan struktur rangka atap (kuda-kuda dan gording) baik dengan menggunakan baja atau kayu, termasuk

didalamnya pekerjaan pengawetan dengan pelapis cat atau sejenisnya. 2. Biaya komponen material bangunan: yaitu biaya-biaya yang dikeluarkan

untuk membayar seluruh unsur-unsur pekerjaan yang berkaitan dengan elemen penyelesaian akhir bangunan yang dititikberatkan pada aspek arsitektural, yang meliputi.

a. Biaya untuk pekerjaan atap (meliputi pemasangan kaso, seng, alumunium foil dan tripleks)

b. Pekerjaan dinding luar (meliputi pembuatan rangka dinding hingga pemberian lapisan permukaan, baik dari cat maupun penyelesaian material lainnya)

c. Biaya untuk pekerjaan pintu dan jendela yang menempel pada dinding luar. Pintu dan jendela tersebut dapat terbuat dari kayu, alumunium, kaca, dan/atau jenis material lainnya

d. Pekerjaan dinding dalam. Biaya untuk pekerjaan dinding dalam meliputi, pembuatan rangka dinding hingga pemberian lapis permukaan, baik dari cat maupun penyelesaian material lainnya

e. Biaya untuk pekerjaan pintu dan jendela yang menempel pada dinding dalam. Pintu dan jendela tersebut dapat terbuat dari kayu, alumunium kaca, dan jenis material yang lain.

(28)

f. Biaya untuk pekerjaan langit-langit (meliputi pembuatan rangka plafon hingga pemberian lapisan permukaan, baik dari cat mapun penyelesaian material lainnya)

g. Biaya untuk pekerjaan lantai (meliputi pembuatan lantai kerja hingga pemberian lapisan permukaan)

Pembuatan bangunan di bantaran memiliki aspek relatif dalam hal penilaian harga. Hal tersebut karena keragaman jenis bangunan di bantaran. Dengan mengetahui biaya yang dikeluarkan pada komponen tersebut maka akan diketahui alasan dari pemukim untuk tetap bertempat tinggal di bantaran sungai.

Sebelum membangun suatu bangunan terlebih dahulu seorang pemukim harus memiliki jumlah anggaran biaya secara teliti. Hal tersebut untuk menghindari hambatan-hambatan yang umumnya terjadi di wilayah pemukiman yang di tuju. Hambatan tersebut mencangkup perbedaan harga bahan dan upah pekerja di lokasi, hambatan lain ialah, iklim di suatu lokasi yang mempengaruhi waktu penyelesaian suatu pekerjaan dan mengakibatkan pertambahan biaya pada upah pekerja dan bahan. Menurut Mukomoko (1977) sebelum mendirikan bangunan maka seorang pemukim atau pemilik harus memiliki

1. Rencana pekerjaan 2. Daftar upah

3. Daftar harga barang 4. Daftar analisa

5. Daftar banyaknya tiap pekerjaan 6. Daftar susunan harga biaya

Akan tetapi apakah hal tersebut berpengaruh pada pemukim di bantaran sungai. keragaman bangunan di bantaran sungai Jakarta membuat keseluruhan aspek tersebut tidak diterapkan keseluruhan. Pada pembangunan rumah sewa, komponen tersebut kemungkinan digunakan oleh pemilik. Akan tetapi, bagi pemukim perumahan sangat sederhana tidak. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Sporn (1970) bahwa keseluruhan biaya bangunan pemukiman kumuh di bebankan pada pemukim itu sendiri. hal tersebut yang membuat pemukim mendirikan bangunan dengan material seadanya dengan kemampuan yang dimiliki. Senada dengan yang diungkapkan oleh Abrams (1964) bahwa

(29)

kesulitan tersebut akibat adanya ketimpangan jauh antara pendapatan para pemukim dengan biaya yang harus dikeluarkan ketika mendirikan bangunan. Hal tersebut memperlihatkan kaitan antara jenis pekerjaan pemukim dengan tingkat pendapatan dan juga pengaruhnya pada tipe bangunan pemukim itu sendiri.

Salah satu definisi Rosen (1985) mengenai perilaku bermukim adalah upaya seseorang dalam mencukupi kebutuhan akan hunian yang murah dan memiliki fasilitas-fasilitas pemukiman yang baik individu dan keluarganya. Komponen yang dipaparkan oleh Rosen merupakan upaya pemukim yang tidak memiliki kecukupan finansial sehingga usaha yang dilakukan adalah mencari rumah sewa yang sesuai dengan kondisi keuangan yang dimilikinya. Dalam aspek ini juga disebutkan mengenai seorang pemukim yang menjadi pemilik bangunan (landlords). Hal ini juga dikemukakan oleh Newman (2005) mengenai pemilik bangunan sewaan. Adapun komponen lain yang termasuk didalamnya adalah, kualitas dari rumah dan kualitas pemukim disekitarnya. Kualitas dari rumah sewaan dikaitkan oleh Abrams (1964) dengan upaya seseorang untuk beradaptasi dengan keadaan di rumah sewaan. Kondisi yang ada pada umumnya adalah, (1) berbagi ruangan (2) kekurangan fasilitas personal. Pendatang yang menyewa hunian di bantaran sungai seringkali datang secara berkelompok, mereka memiliki tujuan bekerja secara jangka pendek maupun jangka panjang hal lain adalah pendatang yang menumpang sementara dengan kerabat yang juga menyewa hunian. Cara ini dilakukan untuk menghemat dana yang mereka miliki maka diputuskan untuk membagi biaya yang harus dikeluarkan sesuai dengan jumlah penghuni didalamnya.

Dampak yang dihasilkan dari sewa rumah dengan jumlah penghuni yang melebihi kapasitasnya adalah, kekurangan fasilitas secara personal, fasilitas tersebut meliputi kebutuhan air bersih, jumlah ruangan dan biaya yang harus ditanggung seperti biaya pemakaian listrik. Air bersih merupakan kebutuhan yang mendasar bagi pemukim, dengan semakin banyaknya pemukim yang ada di suatu rumah maka kebutuhan akan air bersih akan semakin meningkat. Sedangkan jumlah ruangan berpengaruh pada kenyamanan seseorang di dalam suatu rumah. Ruangan yang diisi oleh banyak orang akan dapat menimbulkan permasalahan seperti timbulnya konflik diantara penghuni. Bolay (2006) dan Souza (2001)

(30)

menjelaskan hal tersebut sebagai kegagalan untuk memenuhi fungsi rumah sebagai aktivitas personal dan tempat untuk berkreasi secara sehat.

2. Perilaku Bermukim Di Bantaran Sungai

Kegiatan yang dilakukan oleh pemukim masuk dalam kategori perilaku menghuni di bantaran sungai hal ini menjadi penting karena kondisi bantaran sungai menjadi menurun secara kualitas ekologis maupun estetika. Hal tersebut disebabkan para pemukim lebih memilih pertimbangan ekonomi dari pada kenyamanan, keamanan, maupun higienitas. Adapun komponen yang termasuk di dalamnya adalah: (1) perilaku membuang sampah (2) perilaku MCK (3) perilaku melestarikan bantaran sungai.

Sampah merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan pemukiman sebagian besar sampah di pemukiman bantaran sungai dihanyutkan melalui sungai. Hal tersebut membuat sungai menjadi keruh dan menyebabkan pembuangan pada kanal mengalami hambatan dan berakibat pada banjir periodik di sungai Jakarta. Penelitian yang dilakukan oleh Depkrimpraswil bahwa pemukim yang membuang sampahnya di sungai, memiliki kesimpulan bahwa pemukim melihat sungai sebagai tempat yang efektif dan efesien untuk membuang sungai (http://bappenas.go.id) dengan begitu pendapat masyarakat mengenai sungai dan bantarannya dipengaruhi oleh adanya anggapan pemukim bahwa sungai dapat digunakan sebagai tempat pembuangan sampah, hal tersebut juga terjadi pada pembuangan limbah pabrik yang berada disepanjang bantaran sungai.

Limbah yang dihasilkan oleh rumah tangga salah satunya dihasilkan berdasarkan perilaku MCK pemukim di bantaran sungai, karena hal tersebut menurut Abrams (1964) merupakan permasalahan pemukiman yang cukup pelik, karena dampak yang berbahaya pada kesehatan para pemukim di bantaran sungai. di Jakarta sendiri bantaran sungai sudah menjadi WC terpanjang di dunia, karena setiap harinya setiap pemukim di bantaran sungai membuang kotoran di air sungai yang masih banyak pemukim bantaran juga menggunakannya sebagai air minum (Kompas Rabu 05/04/04) hal tersebut secara langsung akan berdampak pada kesehatan seperti munculnya penyakit diare.

(31)

Perilaku bermukim yang merusak bantaran sungai juga memiliki sisi lain yang berbeda, kesadaran warga pemukim mengenai banjir yang terus-menerus terjadi membuat beberapa organisasi yang dibentuk oleh masyarakat melakukan gerakan pencegahan pada kerusakan bantaran sungai. perilaku tersebut oleh Hatim dalam Man and Nature: Crisis Of Modern Man (2007) dijelaskan sebagai sebuah upaya untuk memperkenalkan sejelas-jelasnya apa yang disebut dengan tatanan alam serta kaitanya dengan kelangsungan kehidupan manusia. Dengan adanya penjelasan tersebut perilaku seperti menanam pepohonan di bantaran sungai agar tidak terjadi erosi, serta pindah menjauhi bantaran sungai merupakan, contoh dari perilaku yang dapat dilakukan oleh pemukim untuk melestarikan bantaran sungai. Keberadaan pemukim di bantaran ditunjukan dengan adanya bangunan yang semakin banyak. Pada awalnya bangunan tersebut hanya merupakan bangunan dengan konstruksi sederhana, banyak ditemukan bangunan dengan menggunakan atap dan tembok dari papan maupun hanya dari ikatan bambu dan nipah. Semakin lama pemukim tinggal di bantaran maka perubahan akan terjadi pada bangunan yang mereka tempati. Bolay (2006) mengatakan bahwa rumah lebih dari sekedar sebuah tempat tinggal, lebih pada perwujudan dari pemiliknya, walaupun pemeliharaan bangunan akan berkaitan pada kondisi keuangan, akan tetapi masyarakat kumuh di Brazil Rio de janiero telah membuktikan bahwa pemukiman kumuh bukan halangan bagi pemukim untuk memelihara bangunan yang mereka tempati.

Hal tersebut dapat dilihat dari kondisi pemukiman yang diperbaiki, maupun direnovasi kembali setelah mengalami kerusakan baik yang disebabkan oleh bencana dan juga penggusuran. Eksistensi pemukiman dapat dilakukan oleh pemukim melalui adanya perubahan maupun adaptasi bangunan pada lingkungan sekitarnya, walaupun hal tersebut dapat mengakibatkan kerusakan pada kondisi ekologis bantaran, akan tetapi pemeliharaan bangunan menunjukan rumah sebagai tempat tinggal manusia akan terus dipertahankan keberadaanya baik oleh komunitas di bantaran maupun di tempat tinggal yang berada di ruang publik lainnya.

(32)

3. Interaksi Antar Pemukim

Lamanya seorang tinggal di dekat sungai dapat mempengaruhi dirinya dan juga orang lain yang bertempat tinggal di suatu wilayah, disebutkan oleh Shaleh dan Wahab (2004) sebagai pengalaman dan pengetahuan seseorang pada suatu objek. Dengan begitu semakin lama seseorang tinggal di bantaran sungai maka perilaku bermukim individu tersebut akan membentuk perilaku bermukimnya. Keuntungan yang didapatkan melalui bertempat tinggal di bantaran sungai juga perilaku bermukim yang selama ini dilakukan oleh pemukim akan tetap dipertahankan karena perilaku tersebut sudah menjadi kebiasaan, dan perilaku tersebut nantinya akan dapat ditiru oleh pemukim lain. Peniruan perilaku merupakan tahap awal para pemukim untuk menolak adanya pemindahan bangunan dari bantaran.

Jaringan komunitas pemukim merupakan tahapan lain dari perilaku bermukim yang dapat memperlihatkan adanya saling keterikatan antara sesama pemukim, kesamaan kondisi para pemukim yang memperkuat interaksi pemukim dengan pemukim lainnya, memiliki dampak ekonomis yang diantaranya berupa bantuan pinjaman bagi pemukim lainnya, baik berupa modal dan bantuan pada akses tertentu yang dimiliki oleh pemukim lainnya, hal inilah yang membuat pemukim menjadi memiliki keterikatan yang kuat antara satu dengan lainnya. Pembagian aktivitas ekonomi maupun usaha para pemukim bantaran sungai merupakan pembagian yang harus dipahami dalam konteks pekerjaan pemukim diperkotaan, merujuk pada penelitian Hart dalam Manning dan Effendi (1985) pembagian sektor pekerjaan pada perkotaan dibagi menjadi dua bagian, yaitu sektor formal dan informal. Pembagian tersebut termasuk pada kriteria pekerjaan yang diantaranya pada sektor formal meliputi pegawai negeri atau pegawai swasta. Kemudian pada sektor informal meliputi, (1) kegiatan primer seperti kontraktor dan pengusaha yang berorientasi pada pasar. (2) usaha tersier dengan modal yang relatif besar seperti, perumahan, transportasi, serta kegiatan sewa menyewa. (3) distribusi kecil-kecilan meliputi, pedagang pasar, pedagang kelontong, pedagang kaki lima, pengusaha makanan jadi, pelayan dan penyalur. Kegiatan yang selanjutnya adalah pada bidang jasa meliputi, pengamen (pemusik), pengusaha binatu, penyemir sepatu, tukang cukur, pembuang sampah,

(33)

pekerja reparasi kendaraan maupun elektronik. Hal ini dapat mempengaruhi kondisi dari bantaran sungai melalui pemilihan kegiatan yang berdampak pada pendirian bangunan yang merupakan perilaku bermukim yang salah.

4. Aktivitas Kesehatan Pemukim

Kondisi kesehatan pemukim di bantaran dipengaruhi adanya sejumlah aspek. Pada aspek pertama kesehatan pemukim dipengaruhi oleh adanya kepadatan penduduk yang memicu penyakit yang dibawa oleh sejumlah vektor penyakit seperti DBD, malaria, kemudian penyakit yang ditularkan antara manusia seperti penyakit kulit dan penyakit TB (tuberculosis). Avecado dan Garcia (2000) mengungkapkan tentang virus menjangkit para pemukim terutama dengan kondisi pemukiman kumuh. Kondisi kepadatan penduduk yang berlebih menyebabkan penyakit seperti TB dapat menular melalui bakteri Mycobacterium tuberculosis yang ditularkan melalui udara terutama pada saat penderita batuk. Kepadatan pemukiman seperti di bantaran peyakit tersebut dapat menyebabkan buruknya kondisi pemukim karena minimnya pengetahuan mereka mengenai kesehatan, juga tunjangan kesehatan bagi para pemukim yang tergolong miskin.

Upaya prefentif dan kuratif pemukim pada kesehatan dapat dilihat melalui cara mereka dalam mengolah makanan yang mereka konsumsi. Waktu mereka makan yang kemudian dapat diketahui juga cara para pemukim mengolah dan menyajikan hingga menjaga kondisi bahan makanan yang akan mereka konsumsi. Pengetahuan mengenai pengelolaan bahan makanan tidak terlepas dengan adanya penggunaan zat tambahan pada rumah yang dihuni oleh pemukim, penelitian Duncan (2006) mengenai senyawa yang berada di dalam pemukiman membuktikan bahwa di dalam huniannya sendiri para pemukim tetap kesulitan untuk menjaga kesehatan mereka. Berikut adalah senyawa yang diketahui berada di dalam rumah:

1. Di dalam kamar tidur dan kamar mandi terdapat PBDE (polybrominated diphenyl ether), yang terdapat pada karpet dan telpon, logam pada cat yang digunakan di rumah. FTALAT (ada pada shampoo, parfum, deodorant, dan pasta gig)i.

Gambar

Gambar 1. Unsur-Unsur dalam Bermukim Di Bantaran Sungai
Gambar 2. Tipe Bangunan Yang Didirikan Di Bantaran Sungai
Gambar 3. Hubungan Antara Peubah

Referensi

Dokumen terkait

Aturan yang dimaksudkan pada penelitian ini adalah kode etik mahasiswa yang mengatur mahasiswa UIN Suska Riau untuk melakukan kehidupan sosial-budayanya sebagai

pembelajaran mengenai lambang bilangan dan penjumlahan yang diberikan oleh guru, dengan latihan mandiri guru memberikan LKS pada siswa untuk dikerjakan bertujuan untuk

Sebelumnya subjek sudah menuliskan beberapa rencana agar bisa mengatasi masalah mengontrol diri, masing-masing anggota kelompok saling mendukung serta sepakat untuk

Foto fragmentasi hasil peledakan Dengan melihat ukuran Fragmentasi atau boulder dari hasil peledakan di lapangan yaitu terdapat beberapaboulder yang berukuran maksimal

KONTRIBUSI POWER TUNGKAI DAN KESEIMBANGAN DINAMIS TERHADAP HASIL DRIBBLE-SHOOT DALAM PERMAINAN FUTSAL.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

Berdasarkan alasan pemilihan tempat pelayanan imunisasi di puskesmas Sikumana didapatkan hasil sejumlah 41% responden memberikan alasan bahwa mereka tidak mengetahui

Berdasarkan latar belakang dan landasan teori yang telah dipaparkan, dapat dijelaskan bahwa manajemen laba merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh manajemen

Peneliti selanjutnya yang akan melakukan penelitian dengan topik yang sama, sebaiknya tidak hanya menggunakan data laporan satu tahun, minimal dua tahun, sehingga