• Tidak ada hasil yang ditemukan

III KERANGKA PEMIKIRAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "III KERANGKA PEMIKIRAN"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

III KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis

3.1.1. Konsep Usahatani

Ilmu usahatani adalah ilmu yang mempelajari bagaimana seorang mengusahakan dan mengkoordinir faktor-faktor produksi barupa lahan dan alam sekitarnya sebagai modal sehingga memberikan manfaat yang sebaik-baiknya. Adapun ciri-ciri usahatani yang ada di Indonesia adalah : (1) Kecilnya luas lahan yang dimiliki oleh para petani, (2) Modal yang dimiliki para petani terbatas, (3) Rendahnya ketrampilan dan pengetahuan manajemen yang dimiliki oleh para petani, (4) Produktivitas dan efisiensi rendah, (5) Petani dalam kondisi sebagai penerima harga karena bargaining position lemah dan (6) Rendahnya tingkat pendapatan petani (Suratiyah 2006).

Hernanto (1989) menjelaskan bahwa terdapat empat unsur pokok faktor-faktor produksi dalam usahatani, yaitu:

1) Tanah

Tanah merupakan faktor yang relatif langka dibanding dengan faktor produksi lain dan distribusi penguasaannya tidak merata di masyarakat. Oleh karena itu, tanah memiliki beberapa sifat, di antaranya adalah luas relatif tetap atau dianggap tetap, tidak dapat dipindah-pindahkan, dan dapat dipindahtangankan atau diperjualbelikan. Pada dasarnya berdasarkan luas tanah, petani dapat digolongkan menjadi empat, yaitu golongan petani luas (lebih dari 2 ha), sedang (0,5 – 2 ha), sempit (0,5 ha), dan buruh tani tidak bertanah. Tanah milik petani atau yang dapat dikelola diperoleh dari berbagai sumber yaitu, membeli, menyewa, menyakap, pemberian negara, warisan, wakar, ataupun membuka lahan sendiri.

2) Tenaga Kerja

Tenaga kerja dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu tenaga kerja manusia, tenaga kerja ternak, dan tenaga kerja mekanik. Tenaga kerja manusia digolongkan menjadi tenaga kerja pria, wanita, dan anak-anak. Tanaga kerja manusia dapat diperoleh dari dalam dan luar keluarga. Satuan ukuran yang umum dipakai untuk mengatur tenaga kerja adalah sebagai berikut:

(2)

22 a) Jumlah jam dan hari kerja total. Ukuran ini menghitung seluruh pencurahan kerja dari sejak persiapan sampai panen dengan menggunakan inventarisasi jam kerja (1 hari = 7 jam kerja) lalu dijadikan hari kerja total (HK total).

b) Jumlah setara pria (men equivalen). Ukuran ini menghitung jumlah kerja yang dicurahkan untuk seluruh proses produksi diukur dengan ukuran hari kerja pria. Hal ini berarti menggunakan konversi tenaga kerja menurut Yang 1955, diacu dalam Hernanto 1986, yaitu membandingkan tenaga pria sebagai ukuran baku dan jenis tenaga kerja lain dikonversikan atau disetarakan dengan pria, sebagai berikut:

- 1 pria = 1 hari kerja pria - 1 ternak = 2 hari kerja pria - 1 wanita = 0,7 hari kerja pria - 1 anak = 0,5 hari kerja pria 3) Modal

Modal merupakan barang atau uang yang bersama-sama dengan faktor produksi lain dan tenaga kerja serja pengelolaan menghasilkan barang-barang baru, yaitu produksi pertanian. Sumber modal dapat diperoleh dari milik sendiri, pinjaman atau kredit (kredit bank, kerabat, dan lainnya), hadiah warisan, usaha lain, ataupun kontrak sewa. Berdasarkan sifatnya, modal dibedakan menjadi dua, yaitu modal tetap yang berarti modal yang tidak habis pada satu periode produksi dan modal bergerak yang berarti modal yang habis atau dianggap habis dalam satu periode produksi. Jenis modal tetap memerlukan pemeliharaan agar dapat berdaya guna dalam jangka waktu lama. Jenis modal ini pun terkena penyusutan yang berarti nilai modal menyusut berdasarkan jenis dan waktu. Penghitungan penyusutan dengan cara yang dianggap mudah adalah menggunakan metode garis lurus (straight line method). Metode garis lurus menggunakan dasar pemikiran bahwa benda yang dipergunakan dalam usahatani menyusut dalam besaran yang sama setiap tahunnya.

4) Pengelolaan (management)

Pengelolaan usahatani adalah kemampuan petani untuk menentukan, mengorganisir, dan mengkoordinasikan faktor-faktor produksi yang dikuasai dengan sebaik-baiknya sehingga mampu memberikan produksi pertanian sebagaimana yang diharapkan. Ukuran dari keberhasilan pengelolaan itu adalah

(3)

23 produktivitas dari setiap faktor maupun produktivitas dari usahanya. Dengan demikian, pengenalan secara utuh faktor yang dimiliki dan faktor yang dikuasai akan sangat menentukan keberhasilan pengelolaan.

3.1.2. Konsep Pendapatan Usahatani

Pada analisis usahatani, data mengenai penerimaan, biaya, dan pendapatan usahatani perlu diketahui. Cara analisis terhadap tiga variabel ini sering disebut dengan analisis anggaran arus uang tunai (cash flow analysis) (Soekartawi 1995). Adapun penjelasan ketiga variabel tersebut adalah sebagai berikut:

1) Struktur Penerimaan Usahatani

Penerimaan usahatani adalah perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual (Soekartawi 1995). Istilah lain untuk penerimaan usahatani adalah pendapatan kotor usahatani (gross farm income) yang didefinisikan sebagai nilai produk total usahatani dalam jangka waktu tertentu, baik yang dijual maupun tidak dijual. Pendapatan kotor ini mencakup semua produk yang dijual, dikonsumsi rumah tangga petani, bibit atau makanan ternak, digunakan untuk pembayaran, dan disimpan atau ada di gudang pada akhir tahun (Soekartawi 1986).

2) Struktur Biaya Usahatani

Biaya adalah sejumlah uang yang dibayarkan untuk pembelian barang dan jasa bagi kegiatan usahatani (Soekartawi 1995). Menurut Hernanto (1989), biaya dikelompokan dalam empat kategori, yaitu:

a) Biaya tetap (fixed costs); dimaksudkan biaya yang penggunaannya tidak habis dalam satu masa produksi.

b) Biaya variabel (variable costs), dimana besar kecilnya dipengaruhi oleh biaya skala produksi.

c) Biaya tunai; dimaksudkan biaya yang dikeluarkan dalam bentuk uang. d) Biaya diperhitungkan, dimaksudkan biaya yang dikeluarkan petani bukan

dalam bentuk uang tunai, tetapi diperhitungkan dalam perhitungan usahatani.

(4)

24 3) Struktur Pendapatan Usahatani

Pendapatan tunai usahatani adalah selisih antara penerimaan tunai dan pengeluaran tunai dan merupakan ukuran kemampuan usahatani untuk menghasilkan uang tunai (Soekartawi 1986). Faktor yang mempengaruhi pendapatan usahatani menurut Hernanto (1989) yaitu, luas usaha, tingkat produksi, pilihan dan kombinasi cabang usaha, intensitas pengusahaan pertanaman, dan efisiensi tenaga kerja. Analisis pendapatan usahatani ini bertujuan mengetahui besar keuntungan yang diperoleh dari usaha yang dilakukan (Soekartawi 1995).

4) Analisis R/C

Analisis R/C (return cost ratio) merupakan perbandingan (ratio atau nisbah) antara penerimaan dengan biaya dalam satu kali periode produksi usahatani. R/C menunjukkan besarnya penerimaan yang diperoleh sebagai manfaat dari setiap rupiah yang dikeluarkan, semakin tinggi nilai R/C maka semakin menguntungkan usahatani tersebut dilakukan. Analisis R/C ini dibagi dua, yaitu (a) menggunakan data pengeluaran (biaya produksi) tunai dan (b) menghitung juga atas biaya yang tidak diperhitungkan, dengan kata lain perhitungan total biaya produksi (Soekartawi 1995).

Kriteria keputusan dari nilai R/C yaitu, jika R/C > 1 maka kegiatan usahatani yang dilakukan dapat memberikan penerimaan yang lebih besar dari pada pengeluarannya. Nilai R/C < 1 menunjukkan maka kegiatan usahatani yang dilakukan tidak dapat memberikan penerimaan yang lebih besar dari pada pengeluarannya. Nilai R/C = 1, maka kegiatan usahatani yang dilakukan dapat dikatakan tidak memberikan keuntungan maupun kerugian (impas) karena penerimaan yang diterima oleh petani akan sama dengan pengeluaran yang dikeluarkan oleh petani (Soekartawi 1995).

3.1.3. Konsep Usaha Pertanian Kontrak (Contract Farming)

Usaha pertanian kontrak merupakan salah satu bentuk relasi kemitraan. Menurut Daryanto (2012), usaha pertanian kontrak (contract farming) merupakan satu mekanisme kelembagaan (kontrak) yang memperkuat posisi tawar-menawar petani, peternak, dan nelayan dengan cara mengaitkannya secara langsung atau pun tidak langsung dengan badan usaha yang secara ekonomi lebih kuat. Hal ini

(5)

25 tidak hanya berpotensi meningkatkan penghasilan petani, peternak, dan nelayan kecil yang terlibat dalam usaha pertanian kontrak, tetapi juga mempunyai efek berlipat ganda (muliplier effects) bagi perekonomi pedesaan maupun perekonomian dalam skala lebih luas. Menurut Eaton dan Shepherd (2001), usaha pertanian kontrak dibagi menjadi lima model, yaitu:

1) Centralized model, yaitu model yang terkoordinasi secara vertikal, dimana pihak perusahaan membeli produk dari para petani yang kemudian memprosesnya atau mengemasnya dan memasarkan produknya.

2) Nucleus estate model, yaitu variasi model terpusat, dimana dalam model ini perusahaan dari proyek juga memiliki dan mengatur tanah perkebunan yang umumnya dekat dengan pabrik pengolahan.

3) Multipartite model, yaitu model yang umumnya melibatkan badan hukum dan

perusahaan swasta yang secara bersama berpartisipasi bersama para petani.

4) Informal model, yaitu model yang umumnya diaplikasikan terhadap

wiraswasta perseorangan atau perusahaan kecil yang umumnya membuat kontrak produksi informal yang mudah dengan para petani berdasarkan musiman.

5) Intermediary model, yaitu model yang umumnya diaplikasikan pada

perusahaan swasta yang akan membayar petani mitra sesuai dengan total produksi. Pihak perusahaan umumnya membina dan mengontrol petani untuk menggunakan faktor produksi yang telah ditetapkan perusahaan.

Menurut Daryanto (2012), kerjasama antara petani dengan pihak perusahan dapat terjalin secara baik jika terdapat saling ketergantungan yang menguntungkan dikedua belah pihak. Usaha pertanian kontrak memungkinkan untuk mengatasi masalah-masalah yang berkaitan dengan minimnya informasi. Selain itu, usaha pertanian kontrak dapat mengurangi risiko bagi petani maupun perusahaan, misalnya dalam hal kepastian bahwa hasil produksi petani akan dibelipada saat panen dan kepastian pasokan bahan baku bagi perusahaan. Pola kemitraan atau kontrak di Indonesia menurut Sumardjo et al. (2004) terdiri dari lima macam, yaitu:

(6)

26 1) Pola kemitraan inti plasma

Pola kemitraan inti plasma merupakan pola hubungan kemitraan antara kelompok mitra (plasma) dengan perusahaan mitra (inti). Perusahaan mitra membina kelompok mitra dalam hal lahan, saran produksi, bimbingan teknis, manajemen, menampung dan mengolah, serta memasarkan hasil produksi. Keunggulan dari pola kemitraan ini yaitu adanya saling ketergantungan dan saling memperoleh keuntungan. Sementara itu, kelemahan dari pola ini yaitu pihak plasma kurang memahami hak dan kewaibannya, komitmen perusahaan inti masih lemah dalam memenuhi fungsi dan kewajibannya, dan belum ada kontrak kemitraan yang menjamin hak dan kewajiban komoditas plasma sehingga terkadang perusahaan inti mempermainkan harga komoditas plasma.

2) Pola kemitraan subkontrak

Pola kemitraan subkontrak merupakan hubungan kemitraan antara perusahaan mitra usaha dengan kelompok mitra usaha yang memproduksi komponen yang diperlukan perusahaan mitra sebagai bagian dari produksinya. Keunggulan dari pola ini yaitu adanya kesepakan tentang kontrak bersama yang mencakup volume, harga, mutu, dan waktu. Sementara itu, kelemahan pola ini yaitu hubungan subkontrak yang terjalin semakin lama cenderung mengisolasi produsen kecil dan menengah, berkurangnya nilai-nilai kemitraan antara kedua belah pihak, dan kontrol kualitas produk ketat tetapi tidak diimbangi dengan sistem pembayaran yang tepat.

3) Pola kemitraan dagang umum

Pola kemitraan dagang umum merupakan hubungan usaha dalam pemasaran hasil produksi. Pihak yang terlibat dalam pola ini adalah perusahaan mitra dan kelompok mitra dengan persyaratan yang telah disepakati bersama. Keunggulan dari pola ini yaitu kelompok mitra berperan sebagai pemasok kebutuhan yang diperlukan perusahaan mitra dan perusahaan mitra memasarkan produk kelompok mitra ke konsumen. Kondisi tersebut menguntungkan pihak kelompok mitra karena adanya kepastian harga dan pasar bagi hasil produknya. Selain itu, pihak perusahaan mitra mendapatkan bahan baku sesuai dengan kualitas yang telah disepakati. Namun, kelemahan dari pola ini yaitu dalam prakteknya harga dan volume produk sering ditentukan secara sepihak oleh

(7)

27 perusahaan mitra sehingga merugikan pihak kelompok mitra dan terkadang sistem pembayaran barang-barang pada kelompok mitra tertunda.

4) Pola kemitraan keagenan

Pola kemitraan keagenan merupakan bentuk kemitraan dimana perusahaan mitra memberikan hak khusus kepada kelompok mitra untuk memasarkan barang atau jasa perusahaan yang dipasok oleh perusahaan mitra. Terdapat kesepakatan di antara pihak-pihak yang terlibat mengenai target-target yang harus dicapai dan besarnya komisi yang siterima oleh pihak yang memasarkan produk. Keunggulan pola ini yaitu mudah dilaksanakan oleh para perusahaan kecil yang kurang kuat modalnya. Sementara itu, kelemahan pola ini yaitu beberapa mitra kurang mampu membaca segmen pasar, tidak memenuhi target, dan kelompok mitra menetapkan harga produk secara sepihak sehingga harga di tingkat konsumen menjadi tinggi. 5) Pola kemitraan Kerjasama Operasional Agribisnis (KOA)

Pola kemitraan KOA merupakan pola hubungan bisnis yang dijalankan oleh kelompok mitra dan perusahaan mitra. Kelompok mitra menyediakan lahan, sarana, dan tenaga kerja, sedangkan pihak perusahaan mitra menyediakan biaya, modal, manajemen, dan pengadaan sarana produksi untuk mengusahakan atau membudidayakan suatu komoditas pertanian. Selain itu, perusahaan mitra berperan sebagai penjamin pasar produk dengan meningkatkan nilai tambah produk melalui pengolahan dan pengemasan. Keunggulan pola KOA ini serupa dengan pola inti plasma, namun kelemahan pola ini yaitu pengambilan untuk oleh perusahan mitra yang menangani aspek pemasaran dan pengolahan produk terlalu besar dan perusahaan mitra cenderung monopsoni.

3.1.4. Konsep Fungsi Produksi

Ditinjau dari pengertian teknis, maka produksi merupakan suatu proses pendayagunaan dari sumber-sumber yang telah tersedia sehingga dapat mewujudkan suatu hasil yang optimal, baik secara kualitas dan kuantitas sehingga menjadi suatu komoditi yang dapat diperdagangkan. Produksi adalah segala kegiatan dalam rangka menciptakan dan menambah kegunaan atau uitlity sesuatu barang atau jasa untuk kegiatan dimana dibutuhkan faktor-faktor produksi yang didalam ilmu ekonomi terdiri dari tanah, modal, tenaga kerja, dan manajemen (Assauri 2004). Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa produksi adalah suatu

(8)

28 kegiatan/aktivitas yang dapat menambah nilai guna dan manfaat barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan manusia.

Sudarsono (1995) mengatakan fungsi produksi adalah hubungan teknis yang menghubungkan antara faktor produksi yang disebut dengan masukan atau input. Disebut faktor produksi karena adanya sifat mutlak agar produksi dapat dijalankan untuk menghasilkan produk. Suatu fungsi produksi menggambarkan semua metode produksi yang efisien secara teknis dalam arti menggunakan kuantitas faktor produksi yang minimal. Metode produksi yang boros tidak diperhitungkan dalam fungsi produksi. Metode produksi adalah suatu kombinasi dari faktor-faktor produksi yang dibutuhkan untuk memproduksi satu satuan produk.

Soekartawi (2005) menjelaskan bahwa fungsi produksi merupakan hubungan antara faktor produksi (input) dan produksi (output). Variabel Y digambarkan sebagai hasil produksi dan variabel Xi adalah masukan i, maka

besarnya Y dipengaruhi oleh besarnya X1, X2, X3, ..., Xm yang digunakan pada

fungsi tersebut. Secara matematis, hubungan Y dan X dapat ditulis sebagai berikut:

Y = f(X1, X2, X3, ..., Xm)

Keterangan:

Y = produksi/output

X1, X2, X3, ..., Xm = faktor produksi/input

Hubungan masukan dan produksi pertanian mengikuti kaidah tambahan hasil yang semakin berkurang (law of diminishing returns) untuk semua variabel X. Tiap tambahan unit masukan akan mengakibatkan proporsi unit tambahan produksi yang semakin kecil dibanding unit tambahan masukan tersebut (Soekartawi 1986). Salah satu model fungsi produksi yang digunakan dalam analisis usahatani adalah fungsi produksi Cobb-Douglas. Menurut Soekartawi (2002) fungsi produksi Cobb-Douglas merupakan suatu fungsi atau persamaan yang melibatkan dua atau lebih variabel. Variabel yang dijelaskan disebut variabel dependen (Y) dan variabel yang menjelaskan disebut variabel independen (X). Variabel yang dijelaskan biasanya berupa output dan variabel yang menjelaskan

(9)

29 biasanya berupa input. Tiga alasan pokok memilih menggunakan analisis fungsi produksi Cobb-Douglas antara lain (Soekartawi 2002):

1) Penyelesaian fungsi produksi Cobb-Douglas relatif lebih mudah dibandingkan dengan fungsi lain. Fungsi Cobb-Douglas dapat dengan mudah diubah ke dalam bentuk linier.

2) Hasil pendugaan garis melalui fungsi Cobb-Douglas akan menghasilkan koefisien regresi yang sekaligus menunjukkan elastisitas.

3) Besaran elastisitas tersebut juga sekaligus menunjukan return to scale. Hal ini perlu diketahui untuk menentukan keadaan dari suatu produksi, apakah mengikuti kaidah decreasing, constant atau increasing return to scale. a) Decreasing returns to scale, bila (b1 + b2) < 1. Dalam keadaan

demikian, dapat diartikan bahwa proporsi penambahan masukan-produksi melebihi proporsi penambahan masukan-produksi.

b) Constant returns to scale, bila (b1 + b2) = 1. Dalam keadaan demikian penambahan masukan-produksi akan proporsional dengan penambahan produksi yang diperoleh.

c) Increasing returns to scale, bila (b1 + b2) > 1. Ini artinya bahwa proporsi penambahan masukan-produksi akan menghasilkan tambahan produksi yang proporsinya lebih besar.

Kesulitan yang umum dijumpai dalam penggunaan fungsi Cobb-Douglas (Soekartawi 2002) adalah sebagai berikut:

1) Spesifikasi variabel yang keliru. 2) Kesalahan pengukuran variabel. 3) Bias terhadap variabel manajemen.

4) Masalah multikolinieritas yang sulit dihindarkan.

Persamaan matematis dari fungsi produksi Cobb-Douglas secara umum dapat dirumuskan sebagai berikut:

Y = b0X1b1X2b2 X3b3 . . . Xibi eu Dimana:

Y = variabel yang dijelaskan X = variabel yang menjelaskan b0, bi = besaran yang akan diduga

u = kesalahan (disturbance term) e = logaritma natural (e = 2,718)

(10)

30 Fungsi Cobb-Douglas di atas kemudian ditransformasikan ke dalam bentuk linear logaritma untuk memudahkan pendugaaan terhadap fungsi produksi tersebut, sehingga dapat dirumuskan sebagai berikut:

Ln Y = ln b0 + b1 ln X1 + b2 ln X2 + b3 ln X3 ... + bi ln Xi + u

Pada persamaan tersebut terlihat bahwa nilai b1 dan b2 adalah tetap

walaupun variabel yang terlibat telah dilogaritmakan. Hal ini dapat dimengerti karena b1 dan b2 pada fungsi Cobb-Douglas adalah sekaligus menunjukkan

elastisitas X terhadap Y. Elastisitas produksi (Ep) adalah presentase perubahan dari output sebagai akibat dari persentase perubahan input (Rahim & Hastuti, 2008). Elastisitas produksi dapat dirumuskan sebagai berikut:

𝐸𝑝 = ∆𝑌 𝑌 𝑥 100% ∆𝑋 𝑋 𝑥 100% 𝐸𝑝 = ∆𝑌 𝑌 ∆𝑋 𝑋 𝐸𝑝 = ∆𝑌 ∆𝑋 𝑥 𝑋 𝑌 𝐸𝑝 = 𝑃𝑀 𝑥 1 𝑃𝑅 𝐸𝑝 = 𝑃𝑀 𝑃𝑅 Dimana: Ep = elastisitas produksi

∆Y = perubahan hasil produksi komoditas pertanian

∆X = perubahan penggunaan faktor produksi Y = hasil produksi komoditas pertanian X = jumlah penggunaan faktor produksi

Kurva dapat menggambarkan hubungan fisik faktor produksi dan hasil produksinya, dengan asumsi hanya satu produksi yang berubah dan faktor produksi lainnya dianggap tetap (ceteris paribus). Fungsi produksi juga menggambarkan Marginal Product (PM) dan Average Product (PR). Marginal

Product (PM) merupakan tambahan produksi per satuan tambahan input,

sedangkan Average Product (PR) merupakan produksi per satuan input. Berdasarkan Gambar 1, kurva produksi terbagi menjadi menjadi tiga daerah.

(11)

31 Gambar 1. Hubungan antara TP, PM, dan PR

(Sumber : Rahim & Hastuti 2008)

Daerah I dimana terjadi peningkatan PR dengan elastisitas produksi lebih dari satu (EP > 1). Hal ini menunjukkan penambahan faktor produksi sebesar satu satuan akan menyebabkan penambahan produksi lebih besar dari satu satuan. Dimana kondisi ini keuntungan maksimum belum tercapai karena produksi masih dapat ditingkatkan. Oleh karena itu, daerah ini disebut daerah irrasional atau inefisien.

Daerah II terjadi penurunan PR saat PM positif dengan elastisitas produksi antara nol dan satu (0 < EP < 1). Hal ini menunjukkan penambahan faktor produksi sebesar satu satuan akan menyebabkan penambahan produksi paling besar satu satuan dan paling kecil nol satuan. Pada daerah ini terjadi penambahan hasil produksi yang semakin menurun, namun penggunaan faktor-faktor produksi tertentu di daerah ini dapat memberikan keuntungan maksimum. Oleh karena itu, daerah ini disebut daerah rasional atau efisien.

(12)

32 Daerah III terjadi penurunan PR saat PM negatif dengan elastisitas produksi kurang dari nol (EP < 0). Hal ini menunjukkan setiap penambahan satu satuan input akan menyebabkan penurunan produksi. Pada daerah ini penggunaan faktor produksi sudah tidak efisien. Oleh karena itu, daerah ini disebut daerah irrasional.

3.2. Kerangka Pemikiran Operasional

Kentang merupakan salah satu tanaman hortikultura unggulan Desa Cigedug yang telah lama dibudidayakan. Hal ini didukung dengan kondisi geografis yang cocok untuk ditanam kentang baik varietas Granola yang merupakan komoditas noncontract farming (usaha nonpertanian kontrak) maupun varietas Atlantic yang merupakan komoditas contract farming (usaha pertanian kontrak) dengan PT Indofood Fritolay Makmur. Kondisi geografis tersebut tidak serta merta dapat meningkatkan produktivitas kentang di lokasi penelitian. Peningkatan produksi kentang yang terjadi belum didukung dengan peningkatan produktivitas. Produktivitas kentang yang pernah dicapai Desa Cigedug belum mencapai produktivitas potensialnya. Produktivitas kentang aktual pada tahun 2011 sebesar 18 ton/ha (BP3K Kecamatan Cigedug 2012), padahal produktivitas potensial yang dapat dicapai kentang varietas Granola maupun varietas Atlantic, yaitu kurang lebih 30 ton/ha (Samadi 2007).

Produktivitas yang belum mampu mencapai produktivitas potensial menjadi salah satu permasalahan bagi petani di Desa Cigedug. Hal tersebut diduga disebabkan oleh penerapan teknologi maupun penggunaan faktor produksi yang belum mengikuti kaidah standar operasional prosedur (SOP). Secara teoritis, produktivitas dapat menggambarkan pendapatan yang diperoleh dan penggunaan faktor produksi apa saja yang mempengaruhi produksi usahatani kentang.

Perbedaan harga jual pada kedua varietas menjadi salah satu permasalahan usahatani kentang di Desa Cigedug dimana harga jual rata-rata kentang varietas Granola relatif lebih tinggi dibandingkan dengan varietas Atlantic. Selain itu, pada varietas Granola harga jual mengikuti harga pasar yang cenderung berfluktuatif, sedangkan pada varietas Atlantic harga jual tetap sesuai dengan harga kontrak dengan PT IFM yang berlaku. Hal tersebut tentu akan berpengaruh terhadap pendapatan usahatani kentang di Desa Cigedug.

(13)

33 Pendapatan usahatani dapat digunakan sebagai tolok ukur tingkat keberhasilan petani. Pendapatan usahatani ini dapat diperoleh setelah analisis penerimaan dan analisis pengeluaran dilakukan. Pendapatan merupakan hasil akhir yang diperoleh petani sebagai bentuk imbalan atas pengelolaan sumberdaya yang dimiliki dalam usahataninya. Sementara itu, fungsi produksi Cobb-Douglas digunakan untuk melihat pengaruh penggunaan faktor produksi (input) terhadap output.

Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan dengan melihat fakta di lapangan untuk menganalisis pendapatan usahatani dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi produksi kentang. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi petani ataupun pihak lain dalam penyajian informasi tentang usahatani kentang dan dapat dijadikan sebagai langkah kebijakan yang diambil untuk meningkatkan produktivitasnya. Berdasarkan uraian di atas maka kerangka pemikiran operasional penelitian ini dapat digambarkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Kerangka Pemikiran Operasional Penelitian

- Luas lahan - Kalium - Bibit - Fungisida - Varietas - Insektisida - Nitrogen - Perekat - Fosfat - Tenaga Kerja

Produksi Kentang Analisis Pendapatan Usahatani Kentang Noncontract Farming (Varietas Granola) Contract Farming (Varietas Atlantic) R/C R/C

Penerapan teknologi maupun penggunaan faktor produksi kentang di Desa Cigedug diduga belum mengikuti kaidah standar operasional

(SOP)

belum mengikuti kaidah standar operasional Produktivitas kentang di Desa Cigedug belum mencapai produktivitas potensial

Analisis Fungsi Produksi Cobb- Douglass

Gambar

Gambar 2. Kerangka Pemikiran Operasional Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Pola sejajar ini dapat dilat pada kegiatan hubungan kemitraan kelompok mitra. dengan perusahaan mitra, di mana perusahaan mitra memasrakan hasil

a. Keuntungan perusahaan lebih besar apabila menerapkan sistem kemitraan daripada mengerjakan sendiri. Dalam kemitraan kedelai edamame, perusahaan melakukan kemitraan karena

Lingkungan eksternal mikro terdiri atas perantara pemasaran, pelanggan, dan pesaing (persaingan antar usaha sejenis, masuknya pendatang baru, ancaman produk pengganti, kekuatan

Selain itu, model penilaian juga dibuat dengan melibatkan seluruh unit usaha yang terlibat dalam rantai usaha udang sehingga pemerintah dapat menggunakan model ini

Kewajiban kemitraan merupakan pengakuan kewajiban yang timbul dari perjanjian kemitraan pemerintah dengan mitra (badan usaha, pihak ketiga, atau investor) pada

Dagang umum adalah hubungan kemitraan antara usaha kecil dengan usaha menengah atau usaha besar yang berlangsung dalam bentuk kerjasama pemasaran, penyediaan lokasi usaha,

Dagang umum adalah hubungan kemitraan antara usaha kecil dengan usaha menengah atau usaha besar yang berlangsung dalam bentuk kerjasama pemasaran, penyediaan lokasi usaha,

20 Tahun 2008 menyebutkan bahwa kemitraan adalah kerjasama dalam keterkaitan usaha, baik langsung maupun tidak langsung, atas dasar prinsip saling memerlukan,