• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab I Pendahuluan. A. Permasalahan. A.1 Latar Belakang Masalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab I Pendahuluan. A. Permasalahan. A.1 Latar Belakang Masalah"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Bab I

Pendahuluan

A.

Permasalahan

A.1 Latar Belakang Masalah

Greja Kristen Jawi Wetan (GKJW) memiliki simbol eksistensi/keberadaan sebagai sebuah organisasi Gereja yang dituangkan dalam sesanti/ semboyan Patunggilan kang Nyawiji. Tata dan Pranata GKJW sendiri mengartikan Patunggilan kang Nyawiji sebagai persekutuan-persekutuan yang ada di GKJW. GKJW memiliki tiga persekutuan1 yakni :

1. Persekutuan setempat yang disebut jemaat termasuk pepantan-pepantannya, 2. Persekutuan Daerah (MD) yang merupakan berkumpulnya jemaat-jemaat

yang tergabung dalam satu resort/wilayah,

3. Persekutuan jemaat-jemaat se-Jawa Timur yang disebut GKJW.

Masing-masing persekutuan mempunyai ciri khas, namun kekhasan itu bukan merupakan jati diri satu-satunya, karena setiap persekutuan itu mengaku mempunyai persamaan dan ikatan satu dengan yang lain, sehingga semua merasa dan mengaku menjadi bagian dan membentuk satu persekutuan besar yakni Greja Kristen Jawi Wetan.2 Meskipun demikian masing-masing persekutuan juga tidak melebur menjadi satu atau kehilangan jati dirinya kendati berada dalam persekutuan yang besar. Setiap persekutuan tetap mempunyai jati diri dan ciri khasnya masing-masing. Fakta inilah yang melandasi semangat yang disebut sebagai kang Nyawiji (yang menyatu).

Patunggilan kang Nyawiji telah lama menjadi semboyan GKJW3, bahkan Pdt. Budyanto sebagai salah seorang Dosen di UKDW yang dulunya merupakan salah seorang Pendeta GKJW menguatkan pernyataan bahwa struktur pemerintahan GKJW adalah

1

Tata dan Pranata Greja Kristen Jawi Wetan dan Peraturan Majelis Agung tentang Badan-Badan Pembantu Majelis, MA GKJW, Malang, 1996, hal 227

2 S.d.a 3

(2)

Patunggilan kang Nyawiji4. Bahkan Christiaan de Jonge menuliskan dalam bukunya yang berjudul Apa Itu Calvinisme bahwa “demikianlah Gereja ini memahami diri sebagai Patunggilan Nyawiji (Persekutuan Tunggal)…..”5

Permasalahan yang dihadapi adalah minimnya perhatian dan minat warga jemaat maupun peneliti sejarah Gereja tentang riwayat Patunggilan kang Nyawiji. Sebagai contoh, dalam suatu kesempatan penulis pernah bertanya kepada beberapa warga jemaat mengenai arti dari Patunggilan kang Nyawiji namun penulis tidak mendapatkan penjelasan yang memadai. Istilah Patunggilan kang Nyawiji dapat dikatakan asing di telinga warga jemaat terutama di kalangan pemuda GKJW. Keberagaman pendapat dapat dilihat ketika warga ditanya secara mendetil mengenai pemahaman mereka tentang Patunggilan kang Nyawiji.

Salah seorang warga jemaat GKJW Tunjung Sekar yang bernama Dwi Cahyono (46 tahun) menyatakan bahwa Patunggilan kang Nyawiji bukan hanya milik GKJW,

melainkan milik semua Gereja. Lebih lanjut dinyatakan bahwa Patunggilan kang Nyawiji diumpamakan seperti badan yang satu tetapi memiliki kemampuan yang berbeda. Perbedaan itu diharapkan dapat bersatu sehingga bisa terasa hidup. Dapat disebut banyak anggota tetapi satu tubuh dimana semua bagian ikut merasakan satu sama lain. Dwi Cahyono kemudian menambahkan bahwa anggota-anggota tersebut tidak hanya anggota PGI saja melainkan Pentakosta, Bethani dan Gereja yang beraliran lain juga memiliki Patunggilan kang Nyawiji. Sementara Danu Prawira dari Jemaat Surabaya (25 tahun) dan Siwi (18 tahun) dari Jemaat Swaru mengungkapkan bahwa mereka sering mendengar istilah tersebut namun tidak mengetahui artinya. Dan nampaknya bukan hanya mereka berdua saja yang tidak tahu arti dari sesanti ini melainkan sebagian besar pemuda di GKJW tidak mengetahui arti dari Patunggilan kang Nyawiji.

Ibu Yatinem (43 tahun) dari GKJW Jemaat Swaru memahami Patunggilan kang Nyawiji dengan cara masing-masing anggota jemaat mengaku persaudaraan satu sama lain yang berasal dari jemaat yang berbeda. Persaudaraan ini dapat dirasakan secara

4

Berdasarkan hasil seminar skripsi pada tanggal 16 Februari 2006 5

(3)

nyata dalam bentuk persaudaraan jemaat-jemaat GKJW. Maksud dari pernyataan Ibu Yatinem adalah harapan agar jemaat saling memiliki rasa persaudaraan antara seluruh jemaat se-Jawa Timur dan tidak hanya merasakan persaudaraan dalam hubungan antar warga dalam satu jemaat saja. Jika pemahaman Ibu Yatinem dijabarkan lebih lanjut dapat dilihat bahwa pemahaman Patunggilan kang Nyawiji Ibu Yatinem berbeda dengan pemahaman Dwi Cahyono dari jemaat Tunjung Sekar. Pendapat Dwi Cahyono lebih kepada pemahaman GKJW sebagai salah satu bagian dari tubuh Kristus dan pemahaman Ibu Yatinem lebih mengungkapkan sisi persaudaraan se GKJW.

Jika Patunggilan kang Nyawiji ditanyakan kepada warga atau Pendeta yang berusia lanjut maka akan didapatkan jawaban yang hampir serupa. Menurut Bpk Abiproyo (76 tahun) dari jemaat Surabaya, Patunggilan kang Nyawiji dapat dilihat dalam hubungan antar jemaat dengan sinode, di mana antara jemaat dan sinode merupakan satu kesatuan utuh. Pemahaman tersebut digambarkan seperti rumah dan batu bata merahnya. Sementara itu Pdt. Em. Widodo Kamso mengungkapkan bahwa GKJW berbeda dengan Gereja lain karena ada Patunggilan kang Nyawiji. Menurutnya GKJW merasa diri satu dalam wujud nyata Patunggilan di mana tidak ada perbedaan antara jemaat desa, kota kecil dan kota besar, semua merasa satu. Walau berbeda-beda tingkat ekonomi dan keadaan jemaat namun merasa sebagai satu bagian GKJW.

Dapat dikatakan bahwa masing-masing jemaat mempunyai pemahaman yang berbeda mengenai Patunggilan kang Nyawiji, namun ketika ditanya mengenai asal munculnya Patunggilan kang Nyawiji, tidak ada jemaat ataupun Pendeta yang mampu memberi

jawaban yang pasti mengenai kapan hadirnya Patunggilan kang Nyawiji. Pdt. Em. Widodo Kamso menyatakan tidak tahu pasti kapan hadirnya sesanti itu.

Sementara itu Bpk Abiproyo menyatakan bahwa perkembangan Patunggilan kang

Nyawiji terjadi pada sekitar tahun 1967-an. Ketika ditanyakan kepada Ibu Dwi Ratna MTh. selaku Wakil Sekretaris Umum Majelis Agung menyatakan bahwa

Patunggilan kang Nyawiji muncul sebagai tradisi lisan jadi tidak dapat ditelusuri kapan tepatnya Patunggilan kang Nyawiji hadir. Sementara itu Pdt. Bambang Ruseno menyatakan bahwa Patunggilan kang Nyawiji secara implicit muncul sejak berdirinya

(4)

GKJW. Namun ketika ditanyakan kapan persisnya istilah Patunggilan kang Nyawiji muncul, hal ini tidak diketahui oleh Pdt Bambang Ruseno.

Istilah Patunggilan kang Nyawiji yang menjadi sesanti GKJW kurang dikenal oleh warga GKJW terutama generasi sekarang merupakan alasan utama untuk menuangkan kedalam bentuk skripsi. Dapat dikatakan warga jemaat maupun Pendeta tempat penulis bertanya hanya memiliki pengetahuan mengenai Patunggilan kang Nyawiji secara umum. Pengetahuan umum yang dimiliki tersebut tidak ditunjang dengan pengetahuan mengenai riwayat dan latar belakang terbentuknya Patunggilan kang Nyawiji sehingga menjadi landasan atau simbol struktur GKJW. Skripsi ini bertujuan untuk mendeskripsikan riwayat dan latar belakang terbentuknya sesanti Patunggilan kang Nyawiji dan pengaruh Patunggilan kang Nyawiji dalam organisasi GKJW.

A.2 Rumusan Masalah

Untuk memperjelas pokok permasalahan, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Bagaimana riwayat dan latar belakang terbentuknya Patunggilan kang Nyawiji itu?

2. Apa saja pengaruh Patunggilan kang Nyawiji dalam struktur organisasi GKJW?

B. Rumusan Judul

Dalam skripsi ini penulis mengajukan judul

Patunggilan kang Nyawiji :

Sejarah, Pemahaman dan Penerapannya di GKJW

2 Alasan Pemilihan Judul

Penulis melihat bahwa topik permasalahan ini menarik untuk didokumentasikan karena penulis ingin memahami faktor-faktor yang melatarbelakangi Patunggilan kang Nyawiji menjadi sesanti yang menjiwai dinamika GKJW sebagai organisasi. Penulis melihat bahwa topik permasalahan ini adalah hal yang baru dalam arti masih belum ada penulis lain yang menuangkan sejarah Patunggilan kang Nyawiji dalam bentuk yang tertulis.

(5)

Karya tulis yang berisi mengenai Patunggilan kang Nyawiji selama ini hanya sebatas pada penerapan Patunggilan kang Nyawiji, namun masih belum ada yang menuliskan sejarah, pemahaman dan penerapan Patunggilan kang Nyawiji secara utuh. Oleh karena itu penulis melihat bahwa topik permasalahan ini memiliki manfaat terutama bagi pembaca yang ingin mengetahui sejarah, pemahaman maupun penerapan Patunggilan kang Nyawiji di GKJW. Manfaat yang dapat diperoleh dari kajian ini adalah sebuah dokumentasi tentang perjalanan GKJW dan semangat yang menjiwainya. Dengan demikian diharapkan dokumentasi ini dapat dimanfaatkan oleh warga jemaat GKJW maupun para calon Pendeta yang akan melayani jemaat GKJW dan juga bagi pembaca umum yang ingin mengenal sejarah, pemahaman dan penerapan Patunggilan kang Nyawiji di GKJW.

C.

Metode Penulisan

1. Metode Penulisan

Adapun metode penulisan adalah menggunakan metode deskriptif analitis. Deskriptif adalah menuangkan data-data penulisan ke dalam bentuk skripsi. Skripsi disusun berdasarkan alur penulisan historis yang menekankan penjelasan berdasarkan perjalanan waktu. Dari pemaparan fakta-fakta historis disertai argumen diharapkan bentuk penulisan yang deskriptif analitis.

2. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini meliputi dua tahap. Tahap pertama adalah pengumpulan sumber-sumber penulisan. Sumber penulisan terdiri atas sumber-sumber tertulis berupa literatur, buku-buku atau akta sidang sinode yang berkenaan dengan topik Patunggilan kang Nyawiji. Sumber penulisan yang kedua diperoleh dari hasil wawancara dengan para narasumber yang memiliki pengalaman dengan proses kehadiran Patunggilan kang Nyawiji maupun sumber-sumber yang mengalami penerapan Patunggilan kang Nyawiji dalam organisasi GKJW seperti anggota Majelis Agung, Pendeta-Pendeta dan Jemaat GKJW di jemaat Swaru dan jemaat Surabaya. Tahap kedua adalah melakukan seleksi dan kritik terhadap sumber-sumber penulisan sehingga diperoleh data-data yang relevan sebagai acuan penulisan.

(6)

D. Sistematika penulisan

Agar topik pembahasan menjadi lebih sistematis, maka penyusun menyusun tulisan menjadi 4 bab yang dapat menggambarkan pokok-pokok pikiran yang ingin diuraikan. Bab I sebagai pendahuluan akan berisi latar belakang permasalahan dan rumusan masalah, judul dan alasan pemilihan judul, tujuan penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan. Uraian ini dimaksudkan untuk memperjelas apa yang hendak dibahas dalam bab-bab selanjutnya sehingga pembaca dapat mengetahui apa yang hendak dibahas dalam tulisan ini.

Kemudian Bab II berjudul Sejarah Terbentuknya Gredja Kristen Jawi Wetan. Tujuan dari penulisan bab II ini adalah untuk memberikan deskripsi perjalanan GKJW dari awal mula pekabaran Injilnya sehingga sampai pada berdirinya sinode GKJW pada tahun 1931. Deskripsi ini berguna untuk memberikan gambaran mengenai kekhasan GKJW yakni, tergabungnya persekutuan-persekutuan yang berbeda dan memiliki satu corak yang khas, menjadi satu bagian yang utuh yakni GKJW. Pada bagian awal diberi deskripsi mengenai masyarakat Jawa Timur secara umum, kemudian akan dijelaskan mengenai awal pekabaran Injil GKJW dan menjelaskan proses pekabaran Injil di Jawa Timur. Kemudian dijelaskan mengenai tergabungnya persekutuan-persekutuan yang ada di berbagai daerah yang menyatukan diri dalam satu Gereja yakni GKJW pada tanggal 11 Desember 1931.

Bab III yang berjudul Patunggilan kang Nyawiji di GKJW bertujuan untuk memberikan deskripsi mengenai sejarah terbentuknya Patunggilan kang Nyawiji baik secara lisan maupun tulisan. Pada bagian yang selanjutnya dari bab III akan diberikan deskripsi mengenai apa saja pengaruh Patunggilan kang Nyawiji dalam struktur organisasi GKJW dan bagaimana pelaksanaannya di jemaat. Pada bagian ini juga disajikan analisa mengenai sejarah Patunggilan kang Nyawiji dan analisa mengenai pengaruh Patunggilan kang Nyawiji di GKJW.

Ketiga bab ini akan diakhiri pada Bab IV yang merupakan kesimpulan dari ketiga bab sebelumnya. Selain berisikan mengenai kesimpulan, pada bab IV akan berisi saran dari penulis baik kepada warga maupun kepada GKJW sebagai sebuah organisasi

Referensi

Dokumen terkait

Seiring dengan bertambahnya jumlah warga jemaat GBKP Yogyakarta dan jemaat luar daerah yang hanya sekedar datang pada jam kebaktian setiap minggunya sering terjadi ketidak sesuaian

Topik yang dibahas masih relevan untuk kehidupan orang Kristen Tionghoa, khususnya bagi anggota jemaat di GKI Darmo Satelit yang masih melaksanakan tradisi Sembahyang Tsing

Dengan metode ini diharapkan penyusun dapat menemukan titik terang setelah memperhatikan permasalahan yang terjadi dalam kehidupan liturgis jemaat dan selanjutnya untuk

program simpan pinjam di GKJW Jemaat Ngagel adalah apakah program simpan pinjam tersebut memang berangkat dari permasalahan yang terjadi di sekitar lingkungan gereja dengan

Dalam analisa tersebut, penyusun akan mengkaji dari pemahaman Majelis GMIT Galed sebagai subyek yang melakukan Perkunjungan Jemaat dan pemahaman Anggota Jemaat GMIT

Hasil belajar dari media pembelajaran diharapkan mahasiswa mampu mencapai pembelajaran sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dan diharapkan agar dimanfaatkan dalam

Lalu berkaitan dengan permasalahan yang sedang dialami oleh jemaat Kristen di Asia Kecil dan tujuan penulisan kitab Wahyu –yaitu sebagai pastoral kepada jemaat-, maka penyusun

Hal ini selain dikarenakan bahwa penulis adalah seorang warga jemaat GKJW dan lebih mengetahui tentang permasalahan pendeta yang ada di GKJW dibanding yang ada dalam denominasi