• Tidak ada hasil yang ditemukan

DIVERSIFIKASI PRODUK DAN REHABILITASI PERKEBUNAN JAMBU METE UNTUK MENINGKATKAN PENDAPATAN PETANI. Robber Zaubin, Rudi Suryadi, dan Y.T.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DIVERSIFIKASI PRODUK DAN REHABILITASI PERKEBUNAN JAMBU METE UNTUK MENINGKATKAN PENDAPATAN PETANI. Robber Zaubin, Rudi Suryadi, dan Y.T."

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

DIVERSIFIKASI PRODUK DAN REHABILITASI

PERKEBUNAN JAMBU METE UNTUK

MENINGKATKAN PENDAPATAN PETANI

Robber Zaubin, Rudi Suryadi, dan Y.T. Yuhono

Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Jalan Tentara Pelajar No. 3, Bogor 16111

ABSTRAK

Pada tahun 2000, area jambu mete mencapai 535.745 ha, namun produktivitasnya hanya berkisar antara 200–400 kg/ha, jauh di bawah India yang mencapai kisaran 600–1.200 kg/ha. Rendahnya produktivitas tersebut disebabkan oleh penggunaan bahan tanaman yang bukan unggul (potensi produksi hanya 8,90 kg/pohon), penerapan teknologi budi daya yang sangat terbatas, dan kondisi wilayah pengembangan yang kurang memenuhi persyaratan yang dikehendaki tanaman. Selain itu, sebagian besar (94,44%) produk mete masih diperdagangkan dalam bentuk gelondong dan hanya sebagian kecil (5,56%) saja dalam bentuk kacang mete. Harga gelondong berkisar antara Rp5.000−Rp8.000/kg dan harga kacang mete Rp30.000–Rp40.000/kg. Pada umumnya gelondong yang dihasilkan kurang bernas dan petani kurang tertarik untuk melakukan pengacipan karena dibutuhkan 5–6 kg gelondong untuk setiap kilogram kacang. Pada kondisi seperti itu, usaha tani jambu mete belum dapat diandalkan sebagai sumber pendapatan utama petani. Alternatif untuk meningkatkan pendapatan petani dapat ditempuh melalui upaya jangka pendek (3–5 tahun) dan jangka panjang (5−10 tahun). Upaya jangka pendek mencakup pemeliharaan kebun yang baik agar produksi dan kualitas gelondong meningkat serta diversifikasi produk baik diversifikasi horizontal maupun vertikal. Upaya jangka panjang (5–10 tahun) ditempuh melalui rehabilitasi dan peremajaan kebun-kebun mete. Inovasi teknologi untuk melaksanakan perbaikan tersebut telah tersedia, namun sosialisasinya masih menghadapi berbagai kendala. Oleh karena itu, kemampuan petani perlu ditingkatkan, agroindustri dibenahi agar dapat menunjang kegiatan produksi, dan pemerintah daerah mengkoordinasi dan memfasilitasi semua sektor agar agribisnis mete dapat berjalan lebih baik.

Kata kunci: Jambu mete, diversifikasi, rehabilitasi, pendapatan

ABSTRACT

Rehabilitation of cashew plantation and diversification of products to increase farmer income In the year 2000, the area of cashew plantations in Indonesia was 535,745 ha, however, the productivity was only between 200–400 kg/ha, far below of India which was about 600–1,200 kg/ha. The low productivity is due to the use of poor genetic sources of planting material (yield potential 8.90 kg/tree), poor cultural practices and not completely suitable conditions of regions used for cashew development. Moreover, 94.44% of the products are traded in the form of nuts, and only a small portion (5.56%) as kernels. The price of cashew nuts is about Rp5,000−

Rp8,000/kg and Rp30,000−Rp40,000/kg for the kernels. Commonly, the nuts are not peeled, and farmers are not interested in peeling the nuts since it needs 5–6 kg of nuts to produce 1 kg of kernels. Based on current conditions, farmers can not rely on cashew farming as their main source of income. Alternatives to increase farmers' income may be carried out in two stages, i.e., short-term plan (3−5 years) and long-term plan (5−10 years). The short-term efforts constitute application of good cultural practices to increase the production and quality of kernels, and diversification by producing other cash crops (horizontally diversification) and process the kernels and its by-products to increase their economic value. Long-term efforts occupy rehabilitation of the existing cashew plantations by top working with superior scions, and rejuvenation or replanting of unproductive orchards with superior planting materials. Innovative technologies required for the purposes are available, however, it has not been socialized properly. Therefore, farmers skill should be increased, the agroindustry sectors must be functioned to support the production sector, and the local government should coordinate and facilitate all sectors related to agribusiness of cashew nut.

Keywords: Cashew, rehabilitation, diversification, income

P

engembangan tanaman jambu mete sampai tahun 2000 menunjukkan hasil yang menggembirakan dengan luas area sekitar 535,745 ha. Namun pro-duktivitasnya masih rendah (200−400 kg/

ha) sehingga pendapatan petani dari usaha tani jambu mete belum dapat memenuhi kebutuhan keluarganya. Padahal pengembangan jambu mete bertujuan untuk meningkatkan

pen-dapatan petani atau menanggulangi kemiskinan, menyediakan lapangan kerja, dan meningkatkan pembangunan. Tantangan tersebut dapat dijawab dengan cara membenahi sistem agribisnis jambu

(2)

mete yang meliputi pengadaan sarana produksi, budi daya, pengolahan hasil, pemasaran, dan kelembagaan penunjang (Saragih 1994) yang selama ini masih belum terkoordinasi dengan baik.

Agroindustri jambu mete di bagian hulu, seperti pengadaan bibit, pupuk, dan pestisida, serta agroindustri di bagian hilir, seperti pengolahan hasil mete men-jadi produk setengah men-jadi atau siap pakai, selama ini masih kurang terkait dengan kegiatan budi daya jambu mete. Hal ini secara tidak langsung mempengaruhi kegiatan budi daya dan pengolahan hasil sehingga produksi dan pendapatan yang dicapai petani rendah. Kegiatan budi daya jambu mete juga masih menghadapi berbagai kendala, karena bahan tanaman yang digunakan bukan unggul dengan potensi produksi hanya sekitar 8,90 kg/ pohon, serta kemampuan petani (SDM) masih terbatas.Tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai kondisi perkebunan jambu mete dewasa ini terutama kegiatan budi daya dan alternatif untuk memperbaikinya agar jambu mete dapat menjadi sumber pen-dapatan utama petani.

STATUS PERKEBUNAN

JAMBU METE

Sebagian besar (98%) pertanaman jambu mete diusahakan sebagai perkebunan rakyat, yang meliputi area 535.745 ha, dengan produksi 86.924 ton. Sayangnya produktivitasnya hanya berkisar antara 200–400 kg/ha (Simanungkalit 1997), jauh di bawah India yang berkisar antara 600–1.200 kg/ha (Bhaskara 1997). Rendah-nya produktivitas tersebut disebabkan oleh penggunaan bahan tanaman yang bukan unggul, penerapan teknik budi daya yang sangat terbatas, dan tanah serta iklim yang tidak sesuai untuk pengembangan mete.

Pusat-pusat pengembangan jambu mete adalah Sulawesi Tenggara (143.084 ha), Nusa Tenggara Timur (126.832 ha), Sulawesi Selatan (71.894 ha), Jawa Timur (57.794 ha), Nusa Tenggara Barat (50.053 ha), Jawa Tengah (30.815 ha), Sulawesi Tengah (19.415 ha), dan Bali (17.080 ha) (Direktorat Jenderal Perkebunan 2000). Perkebunan mete tersebut merupakan hasil pengembangan yang dimulai tahun 1972. Pada mulanya, pengembangan ditujukan untuk konservasi lahan dan air,

namun mulai tahun 1984 juga untuk tujuan komersial (Daras dan Zaubin 2001). Produk mete umumnya diperdagang-kan dalam bentuk gelondong dan hanya sebagian kecil dalam bentuk kacang. Kulit gelondong masih dianggap sebagai limbah dan buah semu belum banyak dimanfaatkan sehingga nilai tambahnya belum dapat dinikmati oleh petani. Harga gelondong mete selama tahun 2000−2003 bervariasi antara Rp5.000−Rp8.000/kg, dan harga kacang mete sekitar Rp30.000− Rp40.000/kg, bergantung pada mutu, permintaan pasar, dan jalur tata niaga setempat. Ukuran dan bobot gelondong mempengaruhi perkembangan industri pengacipan. Bila gelondong bernas, maka setiap 3–4 kg gelondong menghasilkan 1 kg kacang, namun bila gelondong kurang bernas, maka diperlukan 5–6 kg untuk menghasilkan 1 kg kacang. Pada umum-nya gelondong yang dihasilkan petani kurang bernas, sehingga kegiatan pengacipan dianggap tidak mengun-tungkan karena nilai tambah yang di-peroleh relatif kecil. Apalagi alat kacip yang digunakan kurang baik, sehingga sekitar 40% kacang yang dihasilkan pecah (Direktorat Teknologi Agroindustri 1999).

Pemilikan kebun mete rata-rata setiap kepala keluarga (KK) adalah 1 ha dengan produktivitas 300 kg/ha. Apabila harga gelondong Rp5.000/kg, maka pendapatan dari jambu mete adalah Rp1.500.000/tahun. Jumlah tersebut masih jauh di bawah kebutuhan hidup 1 keluarga petani, yang diperkirakan mencapai Rp 7,50 juta/tahun. Selain itu, industri pengacipan gelondong menjadi kacang mete belum berkembang, sehingga nilai tambahnya belum dapat dinikmati petani. Pada kondisi seperti itu, usaha tani jambu mete belum dapat diandalkan sebagai sumber pendapatan utama. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya meningkatkan produktivitas mete diiringi dengan diversifikasi produk agar mete dapat menjadi andalan pendapatan petani dan pendapatan asli daerah.

ALTERNATIF

MENINGKAT-KAN PENDAPATAN PETANI

METE

Untuk meningkatkan pendapatan petani jambu mete, beberapa upaya telah dilakukan, antara lain melalui proyek-proyek pengembangan dan bantuan

sarana, pelatihan singkat terutama mengenai teknik budi daya dan cara pengacipan, serta kemitraan dengan pengusaha pengacipan. Namun, upaya tersebut belum memberikan dampak yang berarti. Mengingat area jambu mete sudah cukup luas, yaitu 535.745 ha dengan melibatkan 535.745 KK (asumsi pemilikan kebun mete 1 ha/KK), maka berbagai langkah strategis perlu ditempuh, yang mencakup upaya jangka pendek dan jangka panjang.

Upaya Jangka Pendek (3 – 5

Tahun)

Pemeliharaan

Selama ini pemeliharaan kebun belum mengacu pada panduan teknologi yang tersedia, sehingga produktivitasnya hanya 300 kg/ha. Pemupukan dan pemangkasan tanaman masih belum diterapkan dengan tepat, padahal pe-mupukan sangat berpengaruh terhadap produksi. Pemupukan 600 g NPK (1:1:2)/ pohon/tahun disertai dengan pemang-kasan cabang ekstensif dan ranting dalam tajuk pada tanaman jenis lokal berumur 4 tahun, dapat meningkatkan produktivitas dari 2,80 kg/pohon menjadi 4,70 kg/pohon (Zaubin et al. 2000). Pada tanaman jenis lokal berumur 8 tahun, produktivitas optimum sekitar 8,90 kg/pohon/tahun atau 1.780 kg/ha dapat diperoleh dengan pemupukan 1 kg NPK (1:1:2)/pohon/tahun (Daras et al. 2002). Di Cikampek (Jawa Barat), tanaman mete tipe Balakrisnan-02 umur 6 tahun dapat menghasilkan gelondong 5,60 kg/tanaman dengan gelondong yang bernas, yaitu 117 butir gelondong/kg. Secara umum cara pe-mupukan tanaman jambu mete dapat mengacu pada Tabel 1.

Tajuk pohon mete dengan jarak tanam 6 m x 6 m pada umumnya sudah saling tumpang-tindih (overlapped) mulai umur 6 tahun. Oleh karena itu, diperlukan pemangkasan pemeliharaan agar luas permukaan tajuk tempat keluarnya bunga atau buah selalu optimum.

Diversifikasi produk

Berbagai produk sekunder atau produk jadi dapat dihasilkan dari buah jambu mete. Buah semu dapat diolah menjadi sirup, jeli, anggur, asinan, makanan ternak, dan pupuk organik, serta gelondong

(3)

menjadi kacang mete dan cashew nut shell liquid (CNSL) (Mulyono dan Sumangat 2001) yang derivatnya digunakan dalam berbagai industri (Gambar 1). Berkem-bangnya agroindustri mete di pedesaan akan mendorong masyarakat pedesaan untuk menggali potensi kapital yang ada di wilayahnya dan memanfaatkannya da-lam bentuk perputaran ekonomi, sehingga menyerap tenaga kerja cukup banyak (Saragih 1994) dan petani memperoleh nilai tambah. Ketersediaan bahan baku buah semu dan gelondong cukup banyak, mencapai 87.693 ton gelondong dan 964.656 ton buah semu pada tahun 1998.

Kemitraan

Kemitraan antara koperasi atau kelompok tani dengan pengusaha diperlukan agar petani memperoleh peralatan pascapanen dan jaminan pasar dengan harga yang wajar bagi produk yang dihasilkan. Dalam kemitraan tersebut, 65% saham dimiliki koperasi dan 35% milik pengusaha. Umumnya pengelolaan sisi permintaan masih sangat lemah sehingga pihak pengusaha diharapkan dapat menjemba-tani pemasaran dengan cara memesan atau menyampaikan pesanan produk-produk mete serta kualitas yang diminta pasar.

Kebijakan

Perlu ada kebijakan pemerintah untuk melindungi perdagangan mete. Di

Vietnam, misalnya, ekspor gelondong dikenakan pajak 4%, sedangkan ekspor kacang mete bebas dari pajak. Di India, setiap ekspor 1 kg kacang mete diberikan kebebasan bea masuk untuk impor 4 kg gelondong mete (Direktorat Teknologi Agroindustri 1999). Di beberapa daerah sentra produksi mete di Indonesia justru disinyalir bahwa setiap gelondong mete yang keluar dari desa dikenakan retribusi, juga di tingkat kecamatan dan antar-pulau. Retribusi tersebut tentunya akan dibebankan sebagai biaya pembelian sehingga harga di tingkat petani menjadi rendah.

Upaya Jangka Panjang (5

−−−−−

10

Tahun)

Upaya jangka panjang untuk meningkat-kan pendapatan petani mete meliputi kegiatan-kegiatan yang memerlukan per-siapan yang relatif lama. Petani umumnya enggan melakukan penjarangan. Selain itu, teknik penyambungan, pengendalian hama dan penyakit, serta budi daya yang baik belum dikuasai. Oleh karena itu, petani perlu disiapkan terlebih dahulu untuk dapat melaksanakan rehabilitasi dan peremajaan serta membangun kerja sama yang baik di antara semua pihak yang terlibat dalam agribisnis jambu mete.

Rehabilitasi dan peremajaan

Rehabilitasi diartikan sebagai kegiatan untuk meningkatkan produktivitas kebun

yang ada (existing cashew plantation), misalnya penjarangan pada kebun dengan jarak tanam yang rapat, top working

tanaman yang potensi produksinya ren-dah, serta penerapan teknik budi daya pada kebun dengan pemeliharaan kurang baik, termasuk pengendalian hama dan penyakit. Peremajaan merupakan tindakan penanaman kembali suatu area per-kebunan mete yang sudah rusak dan tidak ekonomis (produktivitas kurang dari 300 kg/ha) dengan tanaman unggul hasil penyambungan.

Koordinasi

Koordinasi antara setiap subsistem dalam agribisnis jambu mete diperlukan untuk menciptakan satu wadah ekonomi ber-sama sehingga terjalin keterkaitan yang erat di antara setiap subsistem. Struktur sistem agribisnis mete dewasa ini masih tersekat-sekat. Subsistem agribisnis di bagian hulu (penyediaan sarana pro-duksi) dan di bagian hilir (pengolahan hasil dan pemasaran) masih dikuasai oleh pengusaha yang memperoleh keuntungan atau nilai tambah yang besar, sedangkan porsi ekonomi utama petani mete adalah pada kegiatan budi daya yang nilai tambah ekonominya relatif kecil.

Upaya untuk membenahi kondisi ini adalah dengan melaksanakan koordinasi yang baik agar setiap subsistem dalam agribisnis mete terintegrasikan dalam satu sistem pada suatu kawasan atau wilayah.

Tabel 1 . Takaran dan jenis pupuk/pohon/tahun, serta agihan, waktu dan cara pemupukan tanaman jambu mete.

Umur tanaman Urea SP-36 KCl Agihan dan waktu Cara

(tahun) (g) (g) (g) pemupukan pemupukan

0−1 25−35 30−45 35−50 50% diberikan pada Ditugal sedalam 15 awal dan akhir musim cm di antara pangkal

hujan batang dan batas tajuk

1−2 80−90 100−120 120−135 50% diberikan pada awal Ditugal sedalam 15 cm dan akhir musim hujan pada batas tajuk

2−3 374−400 400−500 500−600 70% diberikan pada awal Ditugal sedalam 40 cm pada pembungaan dan 30% empat titik dibatas tajuk 2 bulan kemudian

> 3 500−550 625−700 750−800 70% diberikan pada awal Ditugal sedalam 40 cm pembungaan dan 30% pada empat titik dibatas tajuk 2 bulan berikutnya

(4)

Ditunjang oleh pemerintah daerah, perbankan, perguruan tinggi, serta lembaga penelitian, agribisnis mete dapat dijadikan model untuk membangun suatu kawasan industri masyarakat perkebunan (KIMBUN) mete. Idealnya,

pada setiap kawasan sentra produksi mete terdapat industri pupuk dan obat-obatan, tersedia teknologi untuk meningkatkan produktivitas dan nilai tambah, serta ada pasar yang menampung hasil dengan harga yang wajar.

INOVASI TEKNOLOGI BUDI

DAYA DAN PASCAPANEN

Beberapa inovasi teknologi yang telah tersedia di Badan Litbang Pertanian dan siap untuk dikembangkan adalah :

Gambar 1. Potensi pohon dan buah jambu mete sebagai bahan baku berbagai industri (Heyne 1987; Said 2000; Iskandar 2002).

Selai (jam), pasta buah Buah kalengan dalam sirup Manisan buah, acar, asinan Manisan kering (candy)

Sambal, abon Sari buah keruh dan jernih Anggur, jeli

Cuka makan (vinegar) Nata de cashew Obat rasa mual, gurah

Pakan ternak Pupuk (kompos) Sari buah

Ampas sisa perasan

Kacang mete

Kulit biji

CNSL

Ampas

Bahan cat, pernis, resin, pelumas Bahan kanvas rem, minyak rem Bahan insektisida, fungisida Sampai dengan 200 jenis bahan dagangan lain

Bahan bakar Papan partikel Gelondong

Daun/pucuk

Bahan obat penyakit kulit, luka bakar

Lalapan

Kayu

Kulit batang Batang

Akar Mengandung khasiat pencahar

Lem kertas Antirayap

Bahan industri penyamak kulit Bahan obat kumur (sariawan) Buah semu

(5)

Teknologi Pascapanen

Penguasaan teknologi pengolahan buah semu dan gelondong mete diperlukan untuk menghasilkan produk-produk siap pakai dan memperoleh nilai tambah (Mulyono dan Sumangat 2001). Salah satu produk dari buah semu adalah anggur jambu mete. Cara pembuatannya, buah semu yang matang dan tidak cacat dicuci, lalu dihancurkan atau diblender, ditambahkan air sebanyak bobot bahan yang digunakan, disaring, dan ditambah-kan 25% gula dan nutrien (0,33 g/l DAP dan 0,20 g/l Na2CO3). Setelah penyesuaian pH (3−4,50), dilakukan pasteurisasi, dan setelah dingin ditambahkan 5% starter

khamir Saccharomyces cerevisiae.

Selanjutnya larutan difermentasi selama 2 minggu, di saring, dipasteurisasi, dilanjutkan dengan proses penuaan

(aging) selama 3 bulan.

Produk siap pakai lainnya adalah

nata de cashew. Produk ini dibuat dengan cara mencuci buah semu yang matang dan tidak cacat, lalu direndam dalam 2% air garam selama 2 jam, dipotong-potong, dihancurkan atau diblender, diperas, dan disaring. Selanjutnya filtrat diencerkan dengan menambahkan air sebanyak tiga kali volume filtrat, lalu dimasak. Selama pemasakan ditambahkan 3% gula pasir, 1,50% asam cuka, dan 0,30% amonium sulfat. Setelah mendidih, larutan di-masukkan ke dalam baki dan ditutup kertas koran. Setelah dingin ditambahkan 5% starter bakteri Acetobacter xylinum,

kemudian difermentasi selama 8 hari. Setelah jadi, nata dipotong-potong seperti dadu, dicuci beberapa kali sampai bersih, dan siap dikonsumsi.

Selain produk di atas, dari gelondong mete dapat dihasilkan kacang yang ber-mutu tinggi. Gelondong yang terpilih dijemur sampai kadar air 9−10%, di-dinginkan, lalu dikupas dengan meng-gunakan alat kacip model MM-99. Kacang mete yang masih berkulit ari selanjutnya dijemur sampai mencapai kadar air 7−8%, kemudian disangrai dan dilepas kulit arinya. Kacang mete kering lalu disortasi sesuai tingkat keutuhan, dijemur lagi sampai mencapai kadar air 5%, lalu dikemas.

Pohon-pohon Harapan atau

Unggul Lokal

Nomor-nomor pohon mete dengan potensi produksi 10−20 kg/pohon antara

lain adalah F2-8, F2-10, A3-1, A3-2, A3-3, C6-5, III4/2, M4-2, 293, 180, dan B02 (Koerniati dan Hadad 1996). Selain yang sudah tercatat, di setiap sentra produksi dilaporkan terdapat pohon dengan potensi produksi 10–20 kg/ pohon. Pohon ini dapat dipakai sebagai bahan perbanyakan tanaman karena sudah beradaptasi di wilayah masing-masing, seperti di daerah Bayan, Dompu, Doropeti di Nusa Tenggara Barat, Larantuka di Nusa Tenggara Timur, Pangkep di Sulawesi Selatan, dan daerah pengembangan lainnya.

Perbanyakan melalui

Penyambungan

Penguasaan teknik penyambungan di-perlukan karena tanaman jambu mete menyerbuk silang sedangkan populasi tanaman yang ada potensi genetiknya rendah. Pohon-pohon unggul jambu mete harus diperbanyak secara klonal dengan penyambungan agar hasil per-banyakan mempunyai sifat-sifat unggul seperti pohon induknya (Zaubin dan Suryadi 2002c). Penyambungan dapat dilakukan pada tingkat bibit (Gambar 2) maupun pada tanaman dewasa melalui

top working (Gambar 3). Sebagai batang bawah digunakan tipe lokal dan untuk batang atas diambil dari pohon unggul lokal setempat. Dengan cara demikian akan diperoleh pertanaman dengan potensi produksi sekitar 1.500 kg/ha.

Pola Rehabilitasi dan

Peremajaan

Beberapa pola rehabilitasi dan peremaja-an telah tersedia, namun penerapperemaja-annya harus disesuaikan dengan kondisi la-pangan. Di Sulawesi Tenggara, khusus-nya di Pulau Muna, jambu mete pada mulanya dikembangkan dengan jarak tanam 3 m x 2 m dengan tujuan untuk konservasi lahan. Karena gelondong-nya mempugelondong-nyai harga jual yang menarik, maka pengembangannya kemudian ber-geser ke arah komersial, namun tanpa disertai upaya untuk memperbaiki kebun yang ada. Perkebunan tersebut perlu direhabilitasi (Zaubin dan Suryadi 2000) dengan cara memotong (pada tinggi 1,50 m) pohon-pohon terbaik pada jarak 10 m x 10 m. Tunas yang tumbuh dari batang pokok selanjutnya disambung dengan tunas dari pohon unggul. Setelah tunas sambungan hidup, pohon di sekitarnya dibongkar secara bertahap sehingga akhirnya diperoleh pohon-pohon ung-gul dengan jarak tanam 10 m x 10 m. Pemeliharaan yang dilakukan meliputi penyiangan, pemangkasan, pemupukan, serta pengendalian hama dan penyakit. Lahan di antara barisan pohon mete dapat dimanfaatkan untuk tanaman pangan.

Di Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, jambu mete umumnya ditanam dengan jarak tanam 6 m x 6 m. Sampai umur 3 tahun, lahan di antara barisan tanaman mete dapat ditanami

Gambar 2. Bibit sambungan jambu mete di rumah atap (A) dan tanaman hasil sambungan umur 5 tahun (B).

(6)

tanaman pangan. Setelah berumur 4 tahun, tajuk tanaman mulai saling me-naungi sehingga produksinya menurun dan peluang untuk mengusahakan tanaman pangan tidak ada. Sebaiknya perkebunan tersebut direhabilitasi de-ngan cara membagi pohon-pohon mete dalam baris ganjil (1, 3, 5, dan seterusnya) dan genap (2, 4, 6, dan seterusnya). Pohon dengan nomor genap dalam baris ganjil dan pohon dengan nomor ganjil dalam baris genap ditebang pada ketinggi-an 1,50 m. Tunas yketinggi-ang tumbuh dari batketinggi-ang pokok disambung dengan tunas dari pohon unggul. Pohon yang disambung ini mulai berproduksi pada umur 2 tahun. Apabila tajuk mete mulai saling me-naungi, maka pohon-pohon yang tidak disambung dibongkar. Dengan demikian diperoleh kebun mete unggul dengan jarak tanam 7,50 m x 12 m.

Rehabilitasi dan peremajaan mem-buka peluang untuk meningkatkan produktivitas perkebunan jambu mete dari 300 kg/ha menjadi 1.500 kg/ha. Selain itu melalui kegiatan rehabilitasi akan dihasilkan gelondong yang bernas (120 butir/kg gelondong) sehingga membuka peluang untuk mengembang-kan industri pengacipan (home industry).

Pemangkasan dan Pemupukan

Pada tanaman muda, pemangkasan diperlukan untuk membentuk kerangka tanaman, sedang pada tanaman produktif pemangkasan dilakukan untuk mem-pertahankan luas optimum permukaan

tajuk. Sampai umur 15 bulan, tanaman mete dipangkas untuk mendapatkan bentuk optimum. Selanjutnya dilakukan pemangkasan pemeliharaan dengan cara membuang semua tunas dan ranting yang berada di dalam tajuk, cabang-cabang ekstensif, serta bagian-bagian pohon yang terserang hama dan penyakit (Zaubin dan Suryadi 2002a).

Untuk memacu pertumbuhan ta-naman muda dan memperoleh produksi yang optimum, tanaman perlu dipupuk dengan takaran sesuai dengan umur dan kebutuhan tanaman. Efisiensi peng-gunaan pupuk diatur dengan mem-perhatikan komposisi hara, cara, waktu, dan interval pemupukan (Dhalimi et al. 2001; Daras et al. 2002; Zaubin dan Suryadi 2002b) seperti pada Tabel 1.

Penyimpanan Benih

Gelondong mete yang telah dipanen segera dipisahkan dari buah semu ke-mudian direndam dalam air. Gelondong yang mengapung dan melayang di-pisahkan dan yang tenggelam dipakai sebagai benih. Setelah dijemur sampai mencapai kadar air 5–6%, gelondong dikemas dalam kantong plastik kedap udara untuk disimpan. Benih yang disimpan selama 12 bulan masih mem-punyai daya berkecambah lebih dari 83% (Sukarman et al. 2001). Selain itu bahan tanaman unggul (entres, scion) yang akan dipakai untuk penyambungan dapat dipertahankan viabilitasnya sampai + 20 hari dengan cara mencelupkan

(celup cepat) bagian pangkalnya ke dalam larutan 750 ppm paklobutrazol, lalu disemprot dengan fungisida dan di-bungkus dengan kertas koran basah (Zaubin dan Suryadi 2001).

TANTANGAN DAN UPAYA

PENANGGULANGAN

Tantangan

Meskipun kondisi perkebunan mete kurang baik dan teknologi untuk me-ningkatkan produktivitas tersedia, industri pengacipan belum berkembang dan kegiatan rehabilitasi (termasuk peremajaan) belum dilaksanakan. Hal ini karena adanya hambatan atau kendala dalam sumber daya manusia, dukungan sarana dan prasarana, modal usaha, dan kelembagaan.

Petani jambu mete umumnya belum siap untuk melakukan diversifikasi dan rehabilitasi. Informasi mengenai teknik budi daya dan pascapanen banyak yang belum sampai kepada petani, seperti penggunaan bahan tanaman unggul, teknik budi daya, standar mutu gelondong, serta teknologi pengolahan hasil panen yang efisien dan higienis.

Pada umumnya petani menjual gelondong dan sedikit sekali yang melakukan kegiatan pengacipan. Alat kacip yang banyak dimiliki petani adalah kacip ceklok, dengan kecepatan peng-upasan rendah dan persentase kacang pecah cukup tinggi. Modal petani untuk memenuhi kebutuhan usaha taninya sangat terbatas, sedangkan prosedur untuk mendapatkan bantuan permodalan kurang dikuasai.

Kelembagaan dalam industri mete juga masih lemah. Kelompok-kelompok tani masih belum mampu memecahkan masalah dalam usaha taninya. Setiap subsistem dalam agribisnis mete masih berdiri sendiri-sendiri dan belum ber-dasarkan pada asas kebersamaan eko-nomi. Pemerintah daerah juga kurang serius menangani permasalahan dalam agribisnis jambu mete.

Upaya Penanggulangan

Upaya menanggulangi berbagai masalah dalam agribisnis jambu mete dapat dilakukan melalui pelatihan, mulai dari

Gambar 3. Top working tanaman jambu mete berpotensi produksi rendah (A) dan hasil sambungannya setelah 1 tahun (B).

(7)

tingkat kabupaten, kecamatan hingga tingkat desa, mengenai teknik budi daya, pascapanen, dan pemasaran. Pelatihan secara berjenjang diperlukan untuk mempersiapkan petugas-petugas lapang-an (traning for trainers) karena pelatih yang menguasai inovasi tersebut ter-batas jumlahnya, sedang petugas la-pangan yang akan mengintroduksikan-nya kepada petani belum menguasai inovasi tersebut dengan baik. Pelatihan di kelas perlu diikuti dengan praktek di lapangan. Untuk itu perlu disiapkan kebun-kebun dan peralatan pascapanen untuk mempraktekkan apa yang telah diperoleh di kelas.

Untuk perbanyakan tanaman melalui penyambungan, perlu dibentuk regu-regu sambung di setiap desa atau kecamatan, dan penyuluh di wilayah tersebut ber-tanggung jawab terhadap keterampilan setiap regu. Setiap 1–2 bulan dilakukan monitoring dan evaluasi terhadap kinerja regu penyambungan tersebut. Teknik penyambungan perlu dikuasai petani agar

mereka dapat melaksanakan rehabilitasi secara mandiri.

Kelembagaan koperasi juga perlu ditumbuhkembangkan. Selain untuk menampung dan memasarkan produksi gelondong, koperasi juga bergerak di bidang pengadaan sarana produksi dan modal.

Kemitraan diperlukan dalam penye-diaan sarana dan prasarana pertanian, termasuk peralatan pengolahan hasil panen serta jaminan pasar untuk produk-produk mete dengan harga yang wajar. Jenis-jenis produk yang dihasilkan disesuaikan dengan permintaan pasar. Teknologi pascapanen dapat diperoleh melalui kerja sama dengan perguruan tinggi atau lembaga penelitian terkait.

KESIMPULAN

Perkebunan jambu mete umumnya dikelola oleh rakyat dengan kondisi yang kurang

baik sehingga produktivitasnya rendah. Teknik budi daya yang diterapkan sangat terbatas padahal inovasi teknologi budi daya jambu mete dan teknologi pengolah-an hasil ppengolah-anen menjadi produk-produk dengan nilai tambah relatif tinggi telah tersedia. Sarana pertanian di lokasi pengembangan mete umumnya kurang tersedia dan hasil kebun masih dipasarkan dalam bentuk gelondong. Dengan kondisi seperti itu maka usaha tani jambu mete belum dapat diandalkan sebagai sumber pendapatan.

Alternatif untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani mete mencakup upaya jangka pendek dan jangka panjang. Upaya jangka pendek (3–5 tahun) meliputi perbaikan budi daya dibarengi dengan diversifikasi produk untuk meningkatkan pendapatan petani. Untuk jangka panjang (5–10 tahun), diperlukan rehabilitasi perkebunan mete dan koordinasi yang baik di antara setiap subsistem dalam agribisnis mete.

.

DAFTAR PUSTAKA

Bhaskara, Rao E.V.V. 1997. Integrated production practices in cashew in India. Expert consultation on integrated pro-duction practices in cashew in Asia. FAO– Bangkok, Thailand, 7–9 October 1997. 23 pp.

Daras, U. dan R. Zaubin. 2001. Sejarah dan prospek tanaman jambu mete. Monograf Jambu Mete. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor. hlm. 1–8. Daras, U., R. Zaubin, dan R. Suryadi. 2002.

Penelitian pemupukan jambu mete di Propinsi NTB dan NTT. Laporan Kerja Sama Proyek P2RWTI-IFAD, Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan dengan Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor.

Dhalimi, A., R. Zaubin, dan R. Suryadi. 2001. Pengaruh dosis dan agihan pemupukan terhadap pertumbuhan dan produktivitas jambu mete. Laporan Teknis Penelitian Bagian Proyek Penelitian Tanaman Rem-pah dan Obat, TA 2000. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor. Direktorat Jenderal Perkebunan. 2000. Statistik

Perkebunan Indonesia 1998–2000. Jambu Mete. Departemen Kehutanan dan Per-kebunan, Jakarta.

Direktorat Teknologi Agroindustri. 1999. Rangkuman Hasil Diskusi Pengembangan Agroindustri Mete. Jakarta, 7 April 1999.

Badan Pengkajian dan Penerapan Tek-nologi, Jakarta. 8 hlm.

Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. II. Terjemahan Badan Litbang Kehutanan, Jakarta. Yayasan Sarana Wana Jaya, Ja-karta. hlm. 1.223–1.225.

Iskandar, M. 2002. Prospek CNSL (cashew nut shell liquid) sebagai bahan baku industri insektisida nabati. Hasil-hasil Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Mendukung Otonomi Daerah. Perkembangan Teknologi Tanaman Rempah dan Obat XIV(2): 35– 42.

Koerniati, S. dan E.A. Hadad. 1996. Per-kembangan penelitian bahan tanaman jambu mete. Prosiding Forum Komunikasi Ilmiah Komoditas Jambu Mete, Bogor 5−6 Maret. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor. hlm. 104−114.

Mulyono, E. dan D. Sumangat. 2001. Peng-olahan gelondong jambu mete, cairan kulit biji mete (CNSL) dan pemanfaatannya. Monograf Jambu Mete. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor. hlm. 77–96.

Said, E.G. 2000. Menguak potensi pengembangan industri hilir perkebunan Indonesia. Makalah Seminar Sehari Kebijakan Industri Hilir Perkebunan, Jakarta, 14 September 2000. Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia, Bogor.

Saragih, B. 1994. Agroindustri sebagai suatu sektor yang memimpin dalam pem-bangunan jangka panjang (PJP) II. Makalah disampaikan pada ceramah SESPANAS, tanggal 9 September 1994, di Jakarta.13 hlm.

Simanungkalit, T. 1997. Membangun industri mete nasional jangka panjang. Sumbang saran dan masukan dari Asosiasi Industri Mete Indonesia (AIMI). AIMI, Ujung Pandang.

Sukarman, D. Rusmin, dan M. Hasanah. 2001. Produksi dan penanganan benih jambu mete. Monograf Jambu Mete. Pusat Pe-nelitian dan Pengembangan Tanaman Perkebunan, Bogor. hlm. 37–50.

Zaubin, R. dan R. Suryadi. 2000. Beberapa pola rehabilitasi jambu mete (Anacardium occidentale). Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor. 9 hlm. Zaubin, R., U. Daras, dan R. Suryadi. 2000.

Demonstrasi plot pemangkasan jambu mete. Kerja Sama Proyek P2RWTI-IFAD. Direktorat Jenderal Perkebunan dengan Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor.

Zaubin, R. dan R. Suryadi. 2001. Pengaruh paklobutrazol dan lama penyimpanan terhadap viabilitas entres jambu mete. Buletin Tanaman Rempah dan Obat XII(1): 7–14.

(8)

mupukan serta pemberian mulsa terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman jambu mete. Laporan Hasil Penelitian TA. 2002. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor. 14 hlm.

Zaubin, R. dan R. Suryadi. 2002c. Rejuvenasi tanaman jambu mete melalui

penyam-bungan (grafting). Laporan Kerja Sama Proyek P2RWTI/EISCDP-IFAD, Direk-torat Jenderal Perkebunan dengan Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor. 8 hlm.

Zaubin, R. dan R. Suryadi. 2002a. Demonstrasi plot pemangkasan tanaman jambu mete. Laporan Kerja Sama Proyek P2RWTI/ EISCDP-IFAD. Direktorat Jenderal Per-kebunan dengan Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor. 6 hlm. Zaubin, R. dan R. Suryadi. 2002b. Pengaruh

Gambar

Tabel 1 . Takaran dan jenis pupuk/pohon/tahun, serta agihan, waktu dan cara  pemupukan tanaman jambu mete.
Gambar 1. Potensi pohon dan buah jambu mete sebagai bahan baku berbagai industri (Heyne 1987; Said 2000; Iskandar 2002).
Gambar 2. Bibit sambungan jambu mete di rumah atap (A) dan tanaman hasil sambungan umur 5 tahun (B).
Gambar 3. Top working tanaman jambu mete berpotensi produksi rendah (A) dan

Referensi

Dokumen terkait

Kami dari Pusat Studi Kebijakan Nasional (Pusdiknas) Bersama Lembaga Training Keuangan Dan Pengadaan Indonesia (LTKPi) (salah satu Institusi yang difasilitasi LKPP untuk

Kinerja keuangan PT Matahari Department Store, Tbk pada periode 2009-2011 dilihat dari perhitungan analisis rasio likuiditas, leverage , aktivitas, profitabilitas,

Berawal pada hari senin tanggal 9 Maret 2012, calon konsumen atau debitur mengajukan pembiayaan kepada Trihamas Finance Cabang Madiun untuk pembelian sebuah

Produk SIMPONI diluncurkankan oleh manajemen BMT Hudatama pada tanggal 2 Juni 2015, produk ini diluncurkan karena manajemen melihat dari kebutuhan konsumen dalam

Segala Pujian dan Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat dan anugerahNya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hubungan Persepsi Pelatihan

1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di

Paada analisa ini untuk menghilangkan kadar limbah yang terkandung didalam limbah cair dari Puskesmas Pemenang menggunakan Metode Biofilter Aerob-anaerob, sebelum

Temuan ini konsisten dengan hasil penelitian Alali dan Foote (2012) yang menunjukkan bahwa informasi akuntansi yang dihasilkan dalam periode setelah adopsi IFRS