• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENINGKATAN KEEFEKTIFAN SLNPV UNTUK MENGENDALIKAN HAMA PENGGEREK POLONG KEDELAI MELALUI PENINGKATAN FREKUENSI APLIKASI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENINGKATAN KEEFEKTIFAN SLNPV UNTUK MENGENDALIKAN HAMA PENGGEREK POLONG KEDELAI MELALUI PENINGKATAN FREKUENSI APLIKASI"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

PENINGKATAN KEEFEKTIFAN SLNPV UNTUK

MENGENDALIKAN HAMA PENGGEREK POLONG KEDELAI

MELALUI PENINGKATAN FREKUENSI APLIKASI

Bedjo

Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Jl. Raya Kendalpayak km. 8. Kotak Pos 66 Malang 65101.

E-mail: bj_yulismen@yahoo.co.id

ABSTRAK

Penggerek polong kedelai (Etiella zinckenella Treitschke) merupakan hama penting dan terdapat pada semua sentra pertanaman kedelai di Indonesia. Kehilangan hasil akibat serangan E. zinckenella dapat mencapai 80%. Penelitian pengendalian hama tersebut dengan menggu-nakan NPV telah dilaksamenggu-nakan di KP Ngale, Jawa Timur, pada 2011, dengan rancangan acak kelompok, tiga ulangan. Sebagai perlakuan adalah frekuensi aplikasi SlNPV: 0 (tanpa aplikasi); aplikasi setiap 2 hari, yaitu pada 49, 51, 53, 55, 57, 59, 61, dan 63 HST; aplikasi setiap 3 hari, pada 49, 52, 55, 58, 61, dan 64 HST; aplikasi setiap 4 hari, pada 49, 53, 57, 61, dan 65 HST; aplikasi setiap 5 hari, pada 49, 54, 59, dan 63 HST; aplikasi setiap 6 hari, pada 49, 55, 61, dan 67 HST; aplikasi setiap 7 hari, pada 49, 56, dan 63 HST; insektisida kimia Sidametrin dan Sihalotrin. Benih kedelai varietas Wilis ditanam 3–4 biji/lubang dengan jarak tanam 40 x 20 cm pada petak 8 x 5 m2. Pengamatan dilakukan terhadap jumlah telur dan mortalitas Etiella yang diamati pada 3 hari setelah aplikasi, biji terserang, dan hasil biji. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan meningkatkan frekuensi aplikasi, isolat SlNPV JTM 97c dapat menekan sera-ngan penggerek polong E. zinckenella pada tanaman kedelai di lapasera-ngan. Hal ini menunjukkan aplikasi bioinsektisida SlNPV JTM 97c dengan frekuensi aplikasi yang lebih sering yaitu: aplikasi 2 hari sekali, aplikasi 3 hari sekali, dan aplikasi 4 hari sekali, tingkat kerusakan biji yang diakibatkan oleh penggerek polong rendah berturut-turut 23,4, 24,6, 25,2, 26,8%.

Kata kunci: kedelai, Etiella zinckenella, dan SlNPV

ABSTRACT

The increase of the effectiveness of SlNPV to control soybean pod borer with the increase of application frequency. Soybean pod borer (Etiella zinckenella Treitschke) is

one of the important soybean pests in Indonesia. The yield loss is estimated around 80%. A research on the pest control using NPV was conducted in Ngale research station, East Java in 2011. The experiment was arranged in randomized completely block design (RCBD) with three replicates. The treatments were 8 frequencies of SlNPV applications, i.e. 0 (without application); application in 2-day intervals at 49, 51, 53, 55, 57, 59, 61, and 63 DAP; application in 3-day intervals at 49, 52, 55, 58, 61, and 64 DAP; application in 4-day intervals at 49, 53, 57, 61, and 65 DAP; application in 5-day intervals at 49, 54, 59, and 63 DAP; application in 6-day intervals at 49, 55, 61, and 67 DAP; application in 7-day intervals at 49, 56, and 63 DAP; chemical application using Sidametrin and Sihalotrin. Wilis variety was planted 3-4 seeds/hole with plant spacing of 40 cm x 20 cm in a 8 x 5 m2 plot. The number of eggs and Etiella mortality were recorded at three days after application. The seed damage and soybean yield were recorded at harvest time. The increase of SlNPV JTM 97c application reduced the damage intensity caused by E. zinckenella. The treatments of application in 2, 3, and 4-day intervals yielded 23.4, 24.6, 25.2, and 26,8% damage, respectively.

(2)

PENDAHULUAN

Salah satu kendala dalam peningkatan dan stabilitas produksi kedelai di Indonesia adalah serangan hama (Tengkano dan Soehardjan 1985). Penggerek polong (Etiella

zinc-kenella Treitschke) merupakan salah satu hama utama pada pertanaman kedelai di

Indo-nesia, terutama di sentra produksi (Okada et al. 1988; Tengkano et al. 2006; Tengkano 2007). Selain E. zinckenella, spesies penggerek polong lainnya di Indonesia adalah E.

hobsoni Butler (Kalshoven 1981; Naito et al. 1983), E. chrysoporella Meyrick, E. grisea drososcia Meyrick Stat.n., dan E. behrii Zeller (Whalley 1973). Spesies yang dominan dan

memiliki daerah penyebaran yang luas adalah E. zinckenella. Informasi mengenai bioeko-logi dan daerah penyebaran empat spesies penggerek polong lainnya masih terbatas.

Imago penggerek polong dapat ditemukan pada pertanaman kedelai sejak pembunga-an sampai menjelpembunga-ang ppembunga-anen. Telur dapat dijumpai pada daun, bunga, batpembunga-ang, dpembunga-an po-long, sedangkan larva hanya pada polong. Telur dan larva dapat dijumpai pada polong muda sampai tua, baik pada batang bagian atas, tengah maupun bawah. Telur pada polong diletakkan secara acak yaitu pada bagian ujung, tengah, dan pangkal. Telur di-jumpai pula pada bawah daun, kelopak bunga yang telah mengering. Dalam satu polong dapat dijumpai lebih dari satu telur atau satu ekor larva dan biji rusak berkisar antara 0−3 biji (Tengkano 1999). Gejala kerusakan polong kedelai merupakan dampak dari gerekan larva pada polong dan biji. Bintik coklat pada polong yang tertutupi oleh benang pintal merupakan jalan masuk larva ke dalam polong dan sebagai jalan keluar larva dewasa untuk melanjutkan stadium pupa di dalam tanah. Polong yang terserang juga ditandai oleh butiran-butiran kotoran yang terikat satu sama lain oleh benang pintal berwarna coklat kekuningan.

Berbagai upaya untuk menekan penggunaan insektisida sintetik untuk mengendalikan penggerek polong kedelai Etiella zenkenella telah dilakukan, karena sampai saat ini pengendalian terhadap hama pada tanaman kedelai masih mengandalkan insektisida kimia, yang berdampak terhadap musnahnya musuh alami, timbulnya resistensi dan resurgensi. Oleh karena itu perlu dicari alternatif pengendalian yang ramah lingkungan

yaitu dengan penggunaan bioinsektisida, salah satunya Nuclear Polyhedrosis Virus (NPV)

yang merupakan virus serangga yang diperkirakan mempunyai potensi yang tinggi untuk digunakan sebagai agensia pengendali serangga hama dari ordo Lepidoptera. Hasil pene-litian menunjukkan bahwa NPV dari isolat SlNPV JTM 97c koleksi Balitkabi yang berasal dari ulat grayak Spodoptera litura pada tanaman kedelai mampu membunuh hama E.

zenkenella (Bedjo 2010).

Nuclear polyhedrosis virus berpotensi biotik tinggi sehingga dapat dikembangkan

seba-gai biopestisida untuk mengendalikan ulat grayak (Bedjo 2008; Sutarya dan Dibiyantoro 1995). Oleh karena itu dengan penggunaan agensia hayati Nuclear Polyhedrosis Virus (NPV), sebagai bioinsektisida, maka ketergantungan terhadap insektisida kimia untuk mengendalikan hama E. zenkenella dapat dikurangi. Hasil penelitian di laboratorium menunjukkan isolat SlNPV JTM 97c yang diujikan pada E. zenkenella sangat efektif

(3)

polong kedelai dilaksanakan di lingkup kebun percobaan Balitkabi yang akan digunakan sebagai serangga uji di laboratorium. Pengujian E. zenkenella: menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) , tiga ulangan adapun perlakuan seperti di lapang.

Pengamatan dilakukan terhadap mortalitas serangga uji pada 1 sd 7 hari setelah apli-kasi. Penelitian lapangan dilaksanakan di Ngale dengan rancangan acak kelompok, 3 ulangan. Perlakuan frekuensi aplikasi SlNPV sebagai berikut; (1) 0 (tanpa aplikasi), (2) aplikasi setiap 2 hari, yaitu pada 49, 51, 53, 55, 57, 59, 61, dan 63 HST, (3) aplikasi setiap 3 hari, pada 49, 52, 55, 58, 61, dan 64 HST, (4) aplikasi setiap 4 hari, pada 49, 53, 57, 61, dan 65 HST. (5) aplikasi setiap 5 hari, pada 49, 54, 59, dan 63 HST, (6) aplikasi setiap 6 hari, pada 49, 55, 61, dan 67 HST, (7) aplikasi setiap 7 hari, pada 49, 56, dan 63 HST, (8) insektisida kimia Sidametrin dan Sihalotrin.

Benih kedelai Varietas Wilis ditanam 3–4 biji/lubang dengan jarak tanam 40 x 20 cm ditanam dalam petak 8 x 5 m2. Pemupukan 50 kg/ha Urea + 50 kg/ha SP36 + 50 kg/ha KCl yang diberikan dalam larikan pada saat tanam. Pengairan sesuai kebutuhan. Penyi-angan dilakukan sesuai rekomendasi. Aplikasi perlakuan untuk hama lalat kacang pada 8 HST (Sidametrin). Aplikasi untuk hama daun dengan insektisida kimia (Sihalotrin) dilaku-kan 14, 21, 28, 35, dan 42 HST.

Pengamatan dilakukan terhadap jumlah telur dan mortalitas Etiella pada 5 titik tanaman secara diagonal (masing-masing titik 1 rumpun tanaman sampel) yang diamati pada 3 hari setelah aplikasi (pada aplikasi ke 2 pada masing-masing perlakuan), 3) Komplek jenis hama dan musuh alami, 4). Hasil biji kering dari ubinan 2 m x 2 m pada saat panen dengan populasi jumlah tanaman panen yang sama, 5) Pengamatan kerusakan polong dan biji dilaksanakan setelah panen.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian efikasi di laboratorium terhadap E. zinckenella disajikan pada Gambar 1. Nampak isolat SlNPV JTM 97 c yang diaplikasikan setiap 2, 3, 4, dan 5 hari sekali menyebabkan tingkat mortalitas yang tinggi hingga mencapai 100%, namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan insektisida kimia (98%). Aplikasi 6 dan 7 hari sekali menye-babkan mortalitas larva 76–79%. Hal ini menunjukkan aplikasi bioinsektisida SlNPV JTM 97 c yang dilakukan terus menerus menyebabkan mortalitas E. zinckenella lebih banyak dan lebih cepat karena polyhedral yang tertelan akan lebih banyak. Stairs et al. (1981) dan Goyer et al. (2001) mengemukakan bahwa kematian ulat akibat NPV bergantung pada strain virus dan banyaknya polyhedra yang terlelan oleh serangga inang karena NPV akan lebih cepat melakukan replikasi di dalam tubuh inangnya sehingga larva cepat mati. Di samping itu, pengaruh faktor lingkungan di laboratorium umumnya rendah dan pengaruh sinar ultra violet tidak ada sehingga tidak akan menurunkan stabilitas maupun efektivitas patogen serangga.

(4)

0 100 100 100 100 76 79 98 0 20 40 60 80 100 120 P0 P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 Frekuensi Aplikasi NPV M o rt al it as l ar va (% )

Gambar 1. Mortalitas larva Etiella zinckenella, setelah aplikasi dengan SlNPV JTM 97c pada uji laboratorium.

P0 = tanpa aplikasi, P1 = aplikasi 2 hari sekali,

P2 = aplikasi 3 hari sekali, P3 = aplikasi 4 hari sekali, P4 = aplikasi 5 hari sekali, P5 = aplikasi 6 hari sekali, P6 = aplikasi 7 hari sekali, dan P7 = insektisida.

Gambar 2. Jumlah telur E. zinckenella pada pertanaman kedelai di lapang, KP Ngale. P0 = tanpa aplikasi, P1 = aplikasi 2 hari sekali, P2 = aplikasi 3 hari sekali, P3 = aplikasi 4 hari sekali, P4 = aplikasi 5 hari sekali, P5 = aplikasi 6 hari sekali, P6 = aplikasi 7 hari sekali, dan P7 = insektisida. Hasil pengamatan terhadap jumlah telur di lapangan pada tanaman sampel yang

(5)

Dalam satu polong dapat dijumpai lebih dari satu telur atau satu ekor larva dan biji rusak berkisar antara 0−3 biji (Tengkano 1999).

Gambar 3 menunjukkan bahwa pada pertanaman kontrol (P0) serangan penggerek polong E. zinckenella, pada biji kedelai hasil panen mencapai 44,1%, sedangkan kerusakan biji terendah terdapat pada perlakuan dengan insektisida kimia (20,5%). Perlakuan dengan frekuensi aplikasi yang lebih sering dilakukan yaitu P1 = aplikasi 2 hari sekali, P2 = aplikasi 3 hari sekali, P3 = aplikasi 4 hari sekali. Tingkat kerusakan biji yang diakibatkan oleh penggerek polong pada perlakuan P1, P2, dan P3 rendah, masing-masing 23,4, 24,6, 25,2, 26,8%. Rendahnya tingkat kerusakan biji tersebut disebabkan oleh kemampuan SlNPV JTM 97c menekan serangan penggerek polong E. Zinckenella pada saat telur menetas dan larva masih bergerak di sekitar permukaan polong sebelum menggerek masuk ke dalam polong. Pada saat itu polyhedral yang menempel di permukaan polong ikut tertelan yang menyebabkan larva mati. O’neill (1995) mengatakan NPV akan bereplikasi di dalam tubuh inangnya apabila virus tersebut tertelan.

44.06 26.8 25.2 24.6 23.4 32.2 36 20.48 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 B iji T er se ra n g ( % ) P0 P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 Frekuensi Aplikasi NPV

Gambar 3. Biji kedelai terserang E. zinckenella.

P0 = tanpa aplikasi, P1 = aplikasi 2 hari sekali, P2 = aplikasi 3 hari sekali, P3 = aplikasi 4 hari sekali, P4 = aplikasi 5 hari sekali, P5 = aplikasi 6 hari sekali, P6 = aplikasi 7 hari sekali, dan P7 = insektisida. Hasil panen tertinggi dicapai pada perlakuan insektisida yaitu 1,64 t/ha, sedangkan terendah pada perlakuan tanpa pengendalian yaitu 0,83 t/ha. Pada perlakuan P1, P2, P3, dan P4 hasil biji berturut-turut adalah 1,40, 1,42, 1,46, dan 1,52 t/ha, sedangkan perlakuan dengan frekuensi aplikasi yang sedikit maka hasil yang diperoleh juga lebih sedikit, berkisar antara 1,12–1,18 t/ha. Ini menunjukkan bahwa dengan aplikasi yang lebih sering maka hasil yang diperoleh akan lebih tinggi dibanding aplikasi dengan interval yang jarang. Sejalan dengan hal tersebut dapat dikatakan bahwa isolat JTM 97c mampu menekan serangan penggerek polong E. zinckenella. Rendahnya hasil panen juga karena musim kemarau II (MK II) sangat kering sehingga menghambat pembentukan atau pengisian polong pada saat fase generatif.

(6)

0.82 1.52 1.46 1.42 1.4 1.18 1.12 1.64 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 1.8 H as il P ane n ( t/ ha ) P0 P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 Frekuensi Aplikasi NPV

Gambar 4. Hasil panen kedelai.

P0 = tanpa aplikasi, P1 = aplikasi 2 hari sekali, P2 = aplikasi

3 hari sekali, P3 = aplikasi 4 hari sekali, P4 = aplikasi 5 hari sekali, P5 = aplikasi 6 hari sekali, P6 = aplikasi 7 hari sekali, dan P7 = insektisida.

Populasi hama nontarget pada 45 HST sangat rendah (Gambar 5). Hal ini menunjuk-kan bahwa sebaran tanaman inang pada lokasi penelitian sangat mendukung di samping adanya tanaman perangkap Jagung sehingga populasi hama yang tidak diharapkan (non target) sangat sedikit pada plot-plot penelitian. Kompleksitas hama pada plot penelitian adalah Rhiptortus, ulat bulu, Nezara, kumbang moncong, dan belalang.

0.82 0.84 0.86 0.88 0.9 0.92 0.94 0.96 0.98 1

Riptortus Ulat bulu Nezara Kumbang moncong Belalang Jenis hama P opu la si

(7)

0 5 10 15 20 P0 P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 Perlakuan Sk o r D au n

Gambar 6. Skor kerusakan daun akibat kompleks hama daun. P0=25,6, P1=14,7, P2=16,8, P3=17, P4=18, P5=20, P6=20,8, P7=12,2.

KESIMPULAN

Dengan meningkatkan frekuensi aplikasi isolat SlNPV JTM 97c maka serangan penggerek polong E. Zinckenella pada tanaman kedelai di lapangan dapat ditekan serendah mungkin sehingga tingkat kerusakan biji dan hasil yang diperoleh lebih tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

Bedjo. 1998. Pengaruh jumlah dan jenis bahan pembawa terhadap efektivitas NPV. Makalah Seminar Hasil Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Balitkabi. 11 hal. (Belum dipublikasikan).

Bedjo, 2008. Potensi Berbagai Isolat Spodoptera litura Nuclear Polyhedrosis Virus (SlNPV) Asal Jawa Timur untuk Pengendalian Spodoptera litura FABRICIUS (Lepidoptera: Noctuidae) pada Tanaman Kedelai. Tesis S2. Program Pascasarjana, Univ Brawijaya. 112 hlm.

Bedjo, 2009. Keefektifan beberapa isolat SlNPV untuk pengendalian hama penggerek polong Etiela sp. pada tanaman kedelai. Laporan Teknis Hasil Penelitian Balitkabi Malang. 12 hlm.

Bedjo, 2010. Keefektifan beberapa isolat SlNPV untuk pengendalian hama daun, ulat jengkal, penggulung daun, dan penggerek polong pada tanaman kedelai. Laporan Teknis Hasil Penelitian Balitkabi Malang. 10 hlm.

Goyer, R.A., Wei, H., Fuxa, J.R., 2001. Prevalence of viral diseases of the fruittree leafroller, Archips

argyrospila (Walker) (Lepidoptera: Tortricidae), in Louisiana. J. Entomol. Sci. 36, 17–22.

Kalshoven, L.G.E. 1981. The Pest of Crops in Indonesia. Revised by P.A Van der Laan. PT. Ichtiar Baru-Van Hoeve, Jakarta. 701 pp.

Naito, A. Harnoto, A. Iqbal, and I. Hattori. 1983. Pod borer Etiella hobsoni (Butler) of soybean in Indonesia. Seminar of Central Research Institute for Food Crops, Bogor. 15 pp.

Okada, T., W. Tengkano, and T. Djuwarso. 1988b. An outline on soybean pests in Indonesia in faunistic aspects. Seminar of Bogor Research Institute for Food Crops, 6 December 1988. 37 pp.

O’neill, G. 1995. Turbo Charged Viruses Speed Insect Kill. J. Ecos. 82 Summer 1994/1995.CSIRO. Australia.

Stairs, G.R., Fraser, T. 1981. Changes in Growth and Virulence of Nuclear Polyhedrosis Virus. Journal of Invertebrate Pathology 35 : 230-235.

(8)

Sutarya, R. dan A.L. Dibiyantoro. 1995. Pemanfaatan virus SlNPV untuk pengendalian hama

Spodoptera exigua Hbn. pada tanaman bawang merah. Laporan APBN 1995/96. Balitsa. 10

hlm.

Tengkano, W. dan M. Soehardjan. 1985. Jenis jenis hama pada berbagai fase pertumbuhan kedelai. hlm. 295−318. Dalam S. Somaatmadja, M. Ismunadji, Sumarno, M. Syam, S.O. Manurung, dan Yuswadi (Ed.). Kedelai. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Tengkano, W., Supriyatin, Suharsono, Bedjo, Y. Prayogo, dan Purwantoro. 2006. Status hama

kedelai dan musuh alami di lahan kering Jurnal Litbang Pertanian, 27(4), 2008 123 masam Lampung. hlm. 511−526. Dalam Suharsono, A.K. Makarim, A.A. Rahmianna, M.M. Adie, A. Taufik, F. Rozi, I.K. Tastra, dan D. Harnowo (Eds.). Peningkatan Produksi Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Mendukung Kemandirian Pangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.

Tengkano, W. 2007. Daerah penyebaran hama kedelai dan musuh alaminya di lahan kering masam Sumatera Selatan. hlm. 369−383. Dalam. D. Harnowo, A.A. Rahmiana, Suharsono, M.M. Adie, F. Rozi, Subandi, dan A.K. Makarim (Ed.). Peningkatan Produksi Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Mendukung Kemandirian Pangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.

Tengkano, W. 1999. Pengaruh letak telur Etiella zinckenella Treitschke pada tanaman Kedelai terhadap kelangsungan hidup larva dan tingkat serangannya. hlm. 529−340. Dalam I. Prasadja, M. Arifin, I.M. Trisnawa, I.W. Laba, E.A. Wikardi, D. Soetopo, Wiratno, dan E. Karmawati (Ed.). Buku 2. Prosiding Seminar Nasional Peranan Entomologi dalam Pengen-dalian Hama yang Ramah Lingkungan dan Ekonomis Bogor, 16 Februari 1999. Perhimpunan Entomologi Indonesia Cabang Bogor.

Whalley, P.E.S. 1973. The genus Etiella Zeller (Lepidoptera: Pyralidae): A zoo geographic, and taxonomic study. Bull. Br. Mus. Nat. Hist. (Ent.). 21 pp.

Gambar

Gambar 2. Jumlah telur E. zinckenella pada pertanaman kedelai di lapang, KP Ngale.
Gambar 3 menunjukkan bahwa pada pertanaman kontrol (P0) serangan penggerek  polong  E
Gambar 5. Jenis hama nontarget pada tanaman sampel seluruh plot.
Gambar 6. Skor kerusakan daun akibat kompleks hama daun.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian yang telah penulis lakukan tentang Perencanaan Metode Diskusi Tipe “ Buzz Group” dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam dapat penulis

Hasil penelitian ini jika dibandingan dengan beberapa penelitian terdahulu tidak mengalami perbedaan yang signifikan, Robert (2006) yang menyatakan bahwa volume

Dalam skripsi ini membahas mengenai sifat-sifat komplemen graf fuzzy yaitu dua graf fuzzy isomorfik jika dan hanya jika komplemennya isomorfik dan jika ada

3 yang terdapat dalam majalah “Kabare” rata-rata menyampaikan pesan dengan cara mengutamakan kenyamanan, berbagai ruangan baik untuk menginap maupun untuk meeting,

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 28 Ayat 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota

T ext mining juga dapat diartikan sebagai sebuah proses untuk menemukan suatu informasi atau tren baru yang sebelumnya tidak terungkap dengan memroses dan

di lapangan karena dapat mengurangi populasi lalat buah adapun saran dari penelitian ini untuk mengendalikan lalat buah pada tanaman jambu biji lebih baik

oleh search engines (Google, Live Search/Bing), jumlah eksternal link yang unik atau tautan link ( backlink ) yang diterima oleh domain web perguruan tinggi ( inlinks ) yang