• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Tiada perkawinan yang hendak diakhiri dengan perceraian. Setiap

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Tiada perkawinan yang hendak diakhiri dengan perceraian. Setiap"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

I. A. Latar Belakang Masalah

Tiada perkawinan yang hendak diakhiri dengan perceraian. Setiap pasangan tentunya menginginkan kehidupan perkawinannya akan berlangsung lama bahkan lebih lama dari kehidupan mereka sendiri di dunia ini. Sebagaimana tujuan dari perkawinan itu sendiri adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Undang-Undang RI Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 1 dalam Fauzi, 2006). Kita semua berharap idealnya dapat menjadikan rumah sebagai tempat berteduh yang penuh kerukunan, dan tempat berlindung dari dunia luar. Ketika perkawinan telah berubah menjadi ajang pertikaian, rumah tidak lagi menjadi bersahabat. Beberapa individu akan meninggalkan perkawinan itu untuk mencari kedamaian, karenanya sangat penting mencari jalan untuk mengakhiri pertengkaran yang berkepanjangan, sebelum perkawinan menjadi begitu rapuh, sehingga tidak dapat diteruskan.

Ketika sebuah perkawinan harus menghadapi masa-masa sulit yang tanpa dapat dielakkan lagi, perceraian bisa menjadi pilihan terbaik yang cukup menyakitkan. Perceraian sendiri adalah sebuah proses yang tidak menyenangkan. Seringkali terjadi, pasangan menghindari proses ini kendati perkawinan mereka sudah berakhir, mereka mengabaikannya dan meneruskan hidup seolah tidak pernah terjadi masalah. Mereka berusaha untuk tetap mempertahankan perkawinannya sekalipun dalam perkawinan itu tidak ada kebahagiaan. Dengan

(2)

berbagai alasan mereka berusaha untuk menghindari perceraian. Apalagi jika kedua pasangan itu telah memiliki anak. Mereka sekuat mungkin berusaha mempertahankan perkawinan, walaupun pada dasarnya perkawinan mereka telah gagal untuk dipertahankan.

Kegagalan perkawinan adalah trauma besar bagi setiap orang. Kegagalan perkawinan adalah penyebab stres nomor dua setelah kematian bagi orang dewasa. Dalam skala yang diformulasikan oleh Thomas Holmes dan Richard Rahe (dalam Charlish, 2003) dikatakan bahwa kematian pasangan diberi nilai 100 unit, sedangkan perceraian 73 unit, dan pisah 65 unit. Proses perceraian biasanya diikuti oleh beberapa penyebab stres lain, misalnya pindah rumah, masalah dengan saudara ipar, perubahan kondisi hidup, atau perubahan sekolah anak.

Perceraian dalam keluarga itu biasanya berawal dari suatu konflik antara anggota keluarga. Bila konflik ini sampai pada titik kritis maka peristiwa perceraian berada di ambang pintu. Peristiwa ini selalu mendatangkan ketidaktenangan berpikir dan ketegangan ini memakan waktu lama. Konflik yang paling sering terjadi adalah pada pasangan orang tua dalam suatu keluarga. Konflik-konflik itu dapat disebabkan karena masalah ekonomi, perbedaan usia yang besar, dan persoalan prinsip hidup yang berbeda. Seringkali karena masalah-masalah tersebut pasangan orang tua itu bertengkar, baik itu di depan anak-anak mereka ataupun tanpa sepengetahuan anak-anaknya. Pertengkaran orang tua, apapun alasan dan bentuknya, akan membuat anak merasa takut. Anak tidak pernah suka melihat orang tua bertengkar, karena hal tersebut hanya membuatnya merasa takut, sedih dan bingung.

(3)

Berikut petikan wawancara personal dengan seorang remaja bernama Lena (bukan nama sebenarnya) yang berusia 15 tahun:

“Mama ama papa awak seringkali berantem kak…ga dikamar ..juga di ruang tamu….ga peduli kami dengar apa enggak…. Betekak mulut gitu kak…kadang juga ga ada masalah papa..tiba-tiba aja ribut lagi…Ya kalo uda kek gitu, awak sama abang cuma bisa diam. Takut rasanya kak….”

Kasus perceraian sering dianggap sebagai suatu peristiwa tersendiri dan menegangkan dalam kehidupan keluarga. Tetapi, peristiwa ini sudah menjadi bagian kehidupan dalam masyarakat. Peristiwa ini juga senantiasa membawa dampak yang mendalam karena dapat menimbulkan stres, tekanan, menimbulkan perubahan fisik, dan mental. Sejak tahun 1960-an menurut banyak penelitian menunjukkan bahwa pernikahan yang gagal telah cukup membuat anak-anak tertekan (Heteringhton, Bridgess, & Inabella, 1998 dalam Berry, 2000).

Menurut hasil penelitian, hampir 60% kasus perceraian di Amerika Serikat dan 75% di Inggris melibatkan anak-anak dalam proses perceraian (Dagun, 2002). Juwita (dalam Wilson, 1994) mengatakan bahwa tak bisa dipungkiri bahwa korban dari perceraian orang tua adalah anak-anak. Hetherington (dalam Dagun, 2002) menyatakan hasil penelitiannya terhadap anak-anak usia 4 tahun pada saat kedua orangtuanya bercerai, dapat disimpulkan bahwa kasus perceraian itu akan membawa trauma pada setiap tingkat usia anak, meski dengan kadar berbeda.

Lena (bukan nama sebenarnya) mengatakan bahwa saat kedua orangtuanya bercerai, dia dan dua saudara lainnya berbeda usia.

”Pas papa mama bercerai, awak kelas 5 SD, abang awak udah SMP dan adik awak masih kecil la kak. Mungkin umur-umur 2 tahunan gitu kak. Jadi..yang ngerti kalo papa mama sering berantem itu ya

(4)

awak dan abang awak. Si adek ya ngerti papa, namanya masih kecik. Ya mungkin yang lebih udah ngerti itu abang awak kak. Tapi dia gak bisa bilang papa untuk mencegah papa mama bertengkar..dia diam aja”.

Setiap anak menyesuaikan diri dengan situasi baru ini dengan memperlihatkan cara dan penyelesaian berbeda sesuai dengan tingkatan usianya. Kelompok anak yang belum berusia sekolah pada saat kasus ini terjadi, memiliki kecenderungan untuk mempersalahkan diri bila ia menghadapi masalah dalam hidupnya. Ia menangisi dirinya. Pada kelompok usia remaja, anak sudah mulai memahami seluk-beluk arti perceraian, mereka memahami apa akibat yang bakal terjadi dari peristiwa itu. Mereka juga menyadari masalah-masalah yang bakal muncul, baik itu soal ekonomi, sosial, dan masalah-masalah lainnya.

Wallerstein dan Kelly (dalam Dagun, 2002) menyatakan hasil penelitiannya terhadap 60 keluarga yang mengalami kasus perceraian di Kalifornia, hasilnya menunjukkan bahwa anak usia remaja mengalami trauma yang mendalam. Mereka membutuhkan media untuk menyembuhkan trauma yang mendalam itu. Ditambahkan lagi oleh Hetherington (dalam Dagun, 2002) bahwa jika perceraian dalam keluarga itu terjadi saat anak menginjak usia remaja, mereka akan mencari ketenangan, baik itu di tetangga, sahabat ataupun teman sekolah. Trauma yang terjadi sering menimbulkan perasaan terluka, marah, benci, dan dendam. Salah satu penelitian yang diterbitkan oleh Journal of Marriage and

Family edisi Agustus tahun 2001 (dalam Wilson, 1994) menemukan bahwa

(5)

Lena (bukan nama sebenarnya) juga mengatakan bahwa ada perubahan sikap dan perilaku yang dirasakannya setelah orangtuanya bercerai.

”Kek mana ya kak..rasanya kok ada yang berubah setelah papa dan mama pisah. Awak jadi mudah marah, mudah tersinggung…. Sama kawan pun..sikit-sikit awak tersinggung. Padahal dulu awak gak kek gitu. Mereka pernah juga bilang, kok kau berubah sih…ya awak cuma diem aja nanggapinya. Mereka kan gak ngerti perasaan awak kak. Coba mereka ngalami seperti yang awak alami. Pasti mereka pun kek gitu kak..ah gak tau la kak. Kadang pernah juga awak nangis, sedih rasanya kalo ngingat-ngingat dulu kami bahagia….bisa sama papa mama. Tapi sekarang kok semuanya berubah. Rasanya macem ga terima gitu kak…”

Masa ketika perceraian terjadi merupakan masa yang kritis buat anak, terutama menyangkut hubungan dengan orang tua yang tidak tinggal bersama. Berbagai perasaan berkecamuk di dalam bathin anak-anak. Perasaan tidak aman, tidak diinginkan atau ditolak oleh orangtuanya yang pergi, sedih dan kesepian, marah, kehilangan, merasa bersalah, menyalahkan diri sendiri sebagai penyebab orang tua bercerai. Perasaan-perasaan tersebut di atas oleh anak dapat termanifestasi dalam bentuk perilaku: suka mengamuk, menjadi kasar, dan tindakan agresif lainnya. Dikatakan juga bahwa tahun pertama perceraian merupakan masa krisis yang paling sulit. Orang tua tampaknya dari waktu ke waktu memperlihatkan sikap kasar kepada anaknya.

Kalter (dalam Charlish, 2003) dengan jelas menggarisbawahi permasalahan yang dihadapi anak setelah orang tua mereka berpisah. Permasalahan tersebut adalah; kehilangan sebagian/seluruh hubungan dengan

nonresident parent, perubahan hubungan dengan resident parent, pertentangan

(6)

keadaan hidup yang berubah dan perkawinan baru salah satu orang tua. Menurut Kalter (dalam Charlish, 2003) resident parent adalah orang tua yang mendapatkan hak asuh anak, sedangkan nonresident parent adalah orang tua tanpa hak asuh anak. Keputusan akan pemberian hak asuh anak terhadap salah satu orang tua akan diputuskan oleh pihak pengadilan dengan melihat pertimbangan-pertimbangan yang ada.

Lena (bukan nama sebenarnya) juga mengatakan bahwa setelah orangtuanya bercerai, keadaan jadi lebih sulit. Dia hidup terpisah dari abangnya setelah perceraian orangtuanya.

” Setelah papa-mama pisah, abang awak pindah ke Medan SMU-nya. Sedangkan awak dan adek yang masih kecil tinggal dengan mama dan ino (panggilan untuk nenek)….Ya kak. Kan setelah tu papa nikah lagi. Kami pun gak tau kali. Abis papa mama bilang sama kami, kalo mereka bercerai. Dan abis tu papa pergi….gak lama setelah itu kami dengar berita kalo papa udah nikah lagi sama wanita lain…jauh sih kak tempat tinggal papa dari rumah kami yang sekarang. Ya diluar kota gitu. Tapi masih satu propinsi la kak. Sampai sekarang pun, mungkin kami cuma pernah ketemu dua kali…..abis tu gak tau lagi kabarnya.”

Hanya sedikit anak yang bisa menerima perceraian orangtuanya. Sebagian besar anak lebih suka melihat orang tua mereka bersatu meskipun situasinya sulit. Sedangkan pada beberapa tahun yang lalu kita mengira bahwa anak-anak lebih baik melihat orang tua yang tidak harmonis berpisah. Tetapi pandangan itu ternyata keliru, karena terbukti kini bahwa anak-anak menderita dan merasa tidak bahagia selama masa perceraian orangtuanya. Bertahun-tahun setelah itu, perceraian memberikan dampak yang buruk dalam berbagai aspek kehidupannya. Perceraian juga mempengaruhi anak-anak secara sosial, emosional, juga

(7)

mengganggu prestasi belajar dan situasi keuangan, bahkan kehidupannya kelak sebagai orang dewasa, keberhasilannya membina hubungan dengan orang lain, serta karir mereka. Lanjutnya lagi secara emosional anak-anak yang orangtuanya bercerai akan menunjukkan berbagai reaksi, yaitu; penyangkalan (saat mereka tidak percaya akan apa yang diberitahukan pada mereka), shock, konflik/pertentangan, kecemasan, ketidakpastian, kesepian, rasa bersalah, malu, kesengsaraan dan kemarahan (Charlish, 2003).

Perceraian sebagai gangguan hubungan pernikahan yang dialami oleh orang tua dapat mempengaruhi hubungan yang terjadi antara anak dan orang tua (Stinson, 1991). Perceraian memiliki dampak negatif bagi perkembangan anak. Anak dari keluarga bercerai menjadi sangat nakal karena mempunyai kemarahan, frustrasi, dan mau melampiaskannya dengan melakukan hal-hal yang berlawanan dengan peraturan. Selain itu, anak korban perceraian menjadi mudah marah karena mereka terlalu sering melihat orang tua bertengkar. Kemarahan juga bisa muncul karena anak korban perceraian harus hidup dalam ketegangan tetapi tidak suka hidup dalam ketegangan (http://www.telaga.org. Tanggal akses 22 April 2007).

Kemarahan, kecemasan dan reaksi emosional negatif lainnya yang dirasakan anak-anak yang orangtuanya bercerai tidak hanya muncul setelah perceraian terjadi. Melainkan juga pada beberapa kasus, reaksi emosional negatif tersebut telah muncul jauh sebelum terjadi perceraian, karena anak-anak itu sering melihat kedua orangtuanya bertengkar. Sebagaimana yang dialami oleh Lena (bukan nama sebenarnya), bahwa perasaan marah dan cemas yang dirasakannya

(8)

telah muncul sebelum kedua orangtuanya bercerai. Sebelum bercerai, kedua orangtuanya sering bertengkar didepan anak-anaknya, tidak peduli dimanapun tempatnya. Perasaan marah dan cemas tersebut semakin bertambah ketika akhirnya orangtuanya memilih untuk bercerai. Dan menurut Lena lagi (bukan nama sebenarnya) sangat sulit untuk bisa memaafkan kedua orangtuanya atas perceraian yang terjadi. Sebagaimana petikan wawancara berikut:

”..Sekalipun papa mama datang ke awak, untuk minta maaf, awak gak mau maafin mereka kak....”

Menurut Jampolsky (2001) pemaafan adalah merasakan penghayatan tentang apa yang dialami orang lain, merasakan kelembutan, kerentanan, dan kepedulian, dan semuanya itu selalu ada di dalam hati kita, tak peduli bagaimana keadaan dunia yang ada. Rela memaafkan adalah jalan menuju tempat kebahagiaan dan kedamaian, jalan menuju jiwa kita. Pemaafan juga berarti memutuskan untuk tidak menghukum atas ketidakadilan yang kita terima, yang kita tunjukkan dalam aksi nyata dan mengalami reaksi emosional yang hadir setelahnya (Affinito, 1999).

Enright dan kelompok studi Human Developmentnya (dalam Konstam, 2001) menyatakan bahwa pemaafan adalah berusaha untuk menghindari munculnya afeksi dan penilaian negatif yang ditujukan kepada orang yang telah menyakiti kita, bukannya dengan menolak diri kita sendiri sebagai pembenaran atas afeksi dan penilaian tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan berusaha keras untuk melihat orang yang telah menyakiti kita dengan kebaikannya, perasaan sayang, dan bahkan dengan cinta, ketika kita mengakui bahwa orang tersebut sebenarnya memang bersalah. Dengan kata lain ketika orang berbuat salah kepada

(9)

kita, maka kita berusaha untuk menggantikan perasaan negatif (marah) dengan perasaan yang positif, yaitu dengan memaafkannya dan tidak menghukumnya. Hal ini dilakukan tanpa mengharapkan imbalan apapun kepada orang yang telah menyakiti kita.

Bagi seorang remaja yang sedang dalam masa perkembangan, penting untuk diperhatikan bagaimana peran kesehatan mentalnya. Kesehatan mental akan sangat mempengaruhi perkembangan seorang individu, terlebih lagi bagi remaja. Sebagaimana yang dikatakan MacGregor (2005) bahwa menjadi remaja saja sudah cukup menyulitkan karena pada masa ini cukup banyak penyesuaian yang harus dilakukan, apalagi ditambah dengan kenyataan akan perceraian orang tua.

Peran orang tua dalam tumbuh-kembangnya seorang remaja sangatlah penting. Komunikasi dan hubungan keduanya seharusnya dijalin sebaik mungkin. Namun ketika sebuah pilihan pahit harus diambil oleh orang tua, dalam hal ini bercerai, maka adalah menjadi tugas orang tua untuk tetap bisa berhubungan secara baik dan sehat dengan anak-anaknya. Hubungan yang baik dan sehat tidak akan dapat dicapai jika salah satu pihak, yaitu remaja, masih menyimpan kemarahan pada kedua orangtuanya atas keputusan bercerai yang diambil. Bila kemarahan dalam diri seorang remaja yang orangtuanya bercerai tidak bisa dihilangkan, maka ini dapat mempengaruhi perkembangan kesehatan mentalnya. Memaafkan adalah salah satu komponen terpenting dalam pertumbuhan seseorang (Hargrave & Selss dalam Konstam, 2001). Dengan memaafkan kesalahan orang lain, maka ini adalah cara yang efektif untuk mrngurangi peraasan marah, cemas dan takut (Cerney, dkk dalam Konstam, 2001).

(10)

Dari pemaparan di atas peneliti tertarik untuk meneliti pemaafan pada remaja yang orangtuanya bercerai.

I. B. Perumusan Masalah

Untuk memudahkan penelitian, maka perlu dirumuskan masalah apa yang menjadi fokus penelitian. Dalam hal ini peneliti mencoba merumuskan masalah penelitian dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut yaitu bagaimana dinamika pemaafan pada remaja yang orangtuanya bercerai, yang mencakup:

1. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi pemaafan pada remaja yang orangtuanya bercerai?

2. Apa saja langkah-langkah yang dilalui dalam pemaafan pada remaja yang orangtuanya bercerai?

I. C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauhmana pemaafan pada remaja yang orangtuanya bercerai.

I. D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki manfaat baik secara teoritis maupun praktis. 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis dalam memberikan informasi dan perluasan teori dibidang psikologi klinis, yaitu mengenai pemaafan pada remaja yang orangtuanya bercerai.

Selain itu juga, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya sumber kepustakaan penelitian mengenai psikologi klinis sehingga hasil penelitian

(11)

nantinya diharapkan dapat dijadikan sebagai penunjang untuk bahan penelitian lebih lanjut.

2. Manfaat Praktis

a. Peneliti berharap kepada setiap pembaca yang telah meluangkan waktunya dapat menyampaikan kepada rekan-rekannya bagaimana perceraian membawa dampak terhadap anak, tidak hanya setelah perceraian, melainkan sepanjang hidup mereka, dengan harapan sebagai pasangan yang saat ini sedang mengalami konflik perkawinan dapat berpikir lebih matang sebelum mengambil keputusan untuk bercerai.

b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pada remaja yang orangtuanya bercerai khususnya yang berkaitan dengan pemaafan.

c. Dapat memberikan masukan bagi para

peneliti lainnya yang berminat untuk meneliti lebih jauh mengenai perceraian dalam keluarga, dampaknya bagi anak dan bagaimana bisa meminimalisir dampak negatif.

I. E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan proposal penelitian ini adalah: BAB I: PENDAHULUAN

Berisi penjelasan mengenai latar belakang permasalahan, perumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

(12)

Berisi teori yang digunakan sebagai landasan penelitian. BAB III: METODE PENELITIAN

Berisi penjelasan mengenai metode penelitian yang berisikan tentang metode penelitian kualitatif, metode pengumpulan data, alat bantu pengumpulan data, responden penelitian, prosedur penelitian dan prosedur analisis data.

BAB IV: ANALISIS DAN INTERPRETASI DATA

Berisi analisis dan interpretasi data dari hasil wawancara yang dilakukan, mencakup deskripsi data, data observasi selama wawancara, pengorganisasian (rekonstruksi) data, dan selanjutnya membahas data-data penelitian tersebut dengan teori yang relevan. BAB V: KESIMPULAN DAN DISKUSI

Berisi hasil dari penelitian yang telah dilaksanakan dan diskusi terhadap data-data yang tidak dapat dijelaskan dengan teori atau penelitian sebelumnya karena merupakan hal yang baru, serta saran-saran praktis sesuai hasil dan masalah-masalah penelitian, serta saran-saran metodologis untuk penyempurnaan penelitian lanjutan.

Referensi

Dokumen terkait

Isu tentang keagamaan memang lebih banyak berkaitan dengan simbolisasi yang mengarah kepada relasi sosial, yaitu terwujudnya kerukunan di antara umat beragama (M. Ridwan

prasarana PBM di SD Negeri Radugunting 2 antara lain globe, peta Indonesia dan dunia, KIT IPA, KIT matematika kreatif, gambar organ tubuh manusia, specimen rangka dan organ tubuh

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis mengembangkan teknologi mobile dengan membangun aplikasi kamera pengintai yang dapat digunakan sebagai media

• Disparitas harga antar wilayah pada bulan Mei 2017 cukup tinggi dengan KK harga bulanan antar wilayah untuk cabai merah mencapai 29,08 % dan cabai rawit mencapai 21,10 % • Harga

48 Peran Seloko dalam Upacara Adat Perkawinan Masyarakat di Kota Jambi Nenek mamak suku nan sebelah yang kami hormati, jiko itu maksud kedatangan nenek mamak

kemudian menciptakan suatu hubungan antara Sang Maha Pencipta dengan manusia dan tentunya juga dengan lingkungan kehidupan sosial masyarakat suku Batak Toba. Hagabeon hal

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik.. Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Penelitian terdiri dari dua tahapan, yaitu: penelitian pendahuluan merupakan analisa laboratorium untuk mengetahui kosentrasi COD pada limbah laboratorium dan