• Tidak ada hasil yang ditemukan

VIII. ALTERNATIF KELEMBAGAAN ADAPTIF UNTUK PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN PERAIRAN UMUM LEBAK LEBUNG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "VIII. ALTERNATIF KELEMBAGAAN ADAPTIF UNTUK PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN PERAIRAN UMUM LEBAK LEBUNG"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

VIII. ALTERNATIF KELEMBAGAAN ADAPTIF UNTUK PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN

PERAIRAN UMUM LEBAK LEBUNG

8.1 Pembelajaran Dari Sistem “Lelang Lebak Lebung”

Berdasarkan data dan informasi yang didapatkan dalam penelitian ini diketahui bahwa dari sisi pemerintah terdapat hambatan dalam menegakkan peraturan yang terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan perairan umum lebak lebung. Hambatan yang ada terdapat pada berbagai faktor yang mendukung pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan perairan umum yang menjadi wilayah binaannya. Sebagai contoh, belum adanya bentuk atau sistem pengawasan yang dapat memberikan sanksi terhadap pengemin ataupun nelayan yang melanggar aturan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengawasan unuk penegakan peraturan juga belum ada mekanismenya pada tingkat lapangan, sehingga tidak ada mekanisme pemberian sanksi terhadap pelanggar aturan. Di lain pihak, pemerintah memiliki kepentingan untuk mendapatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap perairan umum lebak lebung yang menjadi objek lelang yang dilelangkan kepada masyarakat tersebut.

Bentuk-bentuk kelembagaan yang ada di antara nelayan dan pedagang lokal dalam hubungannya dengan penangkapan ikan yang dilaksanakan nelayan, yaitu pedagang menyediakan modal untuk pengadaan sarana penangkapan ikan bagi nelayan. Untuk itu, nelayan berperan sebagai penangkap ikan, sementara pedagang berperan sebagai pembeli ikan yang membentuk suatu ikatan yang sosial yang saling menguntungkan. Dalam ikatan tersebut, harga ikan ditentukan berdasarkan harga pasar, sementara pinjaman dibayar secara angsuran sesuai dengan kondisi keuangan nelayan. Ikatan ini terbentuk secara lokal antara lain sebagai akibat adanya hubungan kekerabatan diantara mereka.

Dengan demikian terdapat relasi antar aktor yang terbentuk dalam pemanfaatan sumber daya perikanan yaitu hubungan antar aktor yang terkait dengan pengambilan keputusan dalam rangka pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan perairan umum lebak lebung (PULL). Relasi antar aktor dipengaruhi oleh orientasi sosial yaitu luas lingkup dan cara para aktor saling

(2)

memperhitungkan satu sama lain dalam evaluasi dan pengambilan keputusan. Artinya, ada dimensi kepentingan yang menjadi orientasi sosial dalam setiap aktor yang terkait yang menjadi dasar evaluasi dan penentuan pilihan. Untuk itu, sebuah orientasi sosial terhadap diri pribadi, aktor yang lain, sebuah kelas aktor atau sebuah kolektivitas merupakan sebuah dasar bagi evaluasi dan pilihan.

Orientasi para aktor dan dasar pilihannya tergantung dari kepribadiannya, hubungannya satu sama lain, serta konteks kultural tempat interaksi itu terjadi. Berbagai kondisi sosial dan pskologis yang membuat suatu pola tingkah laku atau dasar evaluasi dan pilihan tertentu lebih mungkin terjadi daripada yang lainnya, dipengaruhi oleh beberapa faktor atau kondisi. Faktor dan atau kondisi yang mempengaruhi relasi antar aktor antara lain adalah hambatan dan tersedia kemungkinan untuk bertindak. Juga dipengaruhi oleh bentuk-bentuk kelembagaan dari pertukaran dan hubungan menurut peranan. Juga, faktor-faktor kultural, etnis dan kelas serta hubungan yang terus menerus antara para aktor dan konteks hubungan, serta faktor-faktor keperibadian.

Terkait dengan relasi antar aktor, Burns (1987) mengemukakan bahwa terdapat 4 (empat) rumusan orientasi sosial yang dimiliki para aktor dalam mengevaluasi dan pengambilan keputusan untuk melakukan sesuatu atau menentukan suatu pilihan. Menurut Burns (1987) orientasi sosial tersebut dapat bersifat individualisme, altruisme, permusuhan, dan kerjasama. Individualisme yaitu orientasi pada kepentingan diri pribadi; dalam hal ini, seseorang mengadakan evaluasi terhadap alternatif-alternatif tindakan dan akibatnya dalam kaitannya dengan pencapaian tujuan dan nilai-nilai pribadinya. Altruisme yaitu orientasi positif pada kepentingan orang lain; dalam hal ini, seseorang mengadakan evaluasi terhadap pilihan dan akibatnya untuk memenuhi pencapaian tujuan dan nilai-nilai aktor lainnya (misalnya kepentingan kelompok mengalahkan kepentingan individu pribadi).

Di lain pihak, permusuhan yaitu orientasi negatif terhadap kepentingan orang lain. Dalam hal ini, seseorang mengadakan evaluasi dan memilih tindakan-tindakan alternatif yang dapat menimbulkan kekecewaan (kehilangan atau kerugian) terhadap tujuan dan nilai-nilai bagi seorang aktor lainnya. Kerjasama yaitu orientasi terhadap kepentingan pribadi sekaligus terhadap kepentingan orang

(3)

lain. Dalam hal ini, seseorang mengadakan evaluasi terhadap tindakan-tindakan dan akibatnya berdasarkan maksud dan nilai-nilainya sendiri berdasarkan tujuan dan nilai aktor lainnya. Hasil identifikasi orientasi sosial yang terbentuk dalam relasi antar aktor terkait pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan perairan umum lebak lebung di wilayah Kab. OKI dapat dikemukakan berdasarkan relasi antara pemerintah daerah, pengemin, dan nelayan.

Relasi antar pemerintah dan pengemin, antar pemerintah dan nelayan, antar pengemin dan pemerintah, antar pengemin dan nelayan, antar nelayan dan pemerintah, dan antar nelayan dan pengemin; kesemuanya lebih berorientasi individualisme. Hal ini antara lain diindikasikan dengan adanya orientasi terhadap masing-masing aktor. Dalam hal ini, pemerintah berkepentingan terhadap nilai hasil lelang terhadap sumber daya perikanan yang menjadi sumber pendapatan asli daerah (PAD), tetapi juga mengadakan evaluasi terhadap tindakan-tindakan dan akibatnya berdasarkan maksud dan nilai-nilainya sendiri berdasarkan tujuan dan nilai yang ada pada pemerintah. Sementara pengemin sebagai aktor yang ingin mendapatkan keuntungan dari kekuasaan memegang hak usaha penangkapan ikan berorientasi kepada kepentingan pribadinya.

Pada pelaksanaannya masyarakat nelayan selalu mendapatkan hambatan untuk dapat memenangkan pelelangan dengan adanya kewajiban membayar tunai objek lelang dengan nilai yang mencapai ratusan juta rupiah. Hal ini antara lain diindikasikan dengan adanya orientasi terhadap kepentingan pribadi pengemin yang tidak mempertimbangkan kepentingan lainnya (nelayan dan kelestarian sumber daya). Dalam hal ini, pengemin berkepentingan terhadap objek lelang yang dapat menjadi sumber keuntungan baginya jika menguasai lisensi hak usaha penangkapan ikan. Hal ini antara lain diindikasikan dengan adanya perjanjian diantara pengemin dan nelayan yang memberatkan masyarakat nelayan. Dalam hal ini, pengemin juga menetapkan harga ikan lebih rendah daripada harga yang berlaku di pasaran.

Di lain pihak, nelayan beranggapan bahwa pemerintah berkepentingan terhadap nilai hasil lelang terhadap sumber daya perikanan yang menjadi sumber pendapatan asli daerah (PAD), tanpa memikirkan bagaimana masyarakat nelayan ditekan oleh pengemin sebagai pemegang kekuasaan hak usaha penangkapan ikan

(4)

yang didapatkan dari pemerintah.Hal ini antara lain diindikasikan dengan adanya orientasi masyarakat nelayan hanya terhadap kepentingan pribadinya yaitu berusaha menangkap ikan sebanyak-banyaknya tanpa memikirkan kelestarian sumber daya dan lingkungannya. Dalam hal ini, nelayan beranggapan bahwa pengemin juga tidak memikirkan masyarakat nelayan dalam menetapkan sewa perairan sebagai lisensi usaha penangkapan ikan bagi nelayan, yang berkepentingan sebagai sumber mata pencaharian.

Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa orientasi sosial yang terbentuk pada semua relasi antar aktor bersifat individualism dan lebih mengarah kepada aspek ekonomi, yang berorientasi jangka pendek serta belum mengindahkan kepentingan pihak lain, termasuk kepentingan pelestarian lingkungan dan pemanfaatan sumber daya yang berkeadilan. Oleh karena itu, optimasi peran kelembagaan sebagai konsekuensi dari relasi antar aktor tersebut memberikan makna bahwa seluruh relasi antar aktor harus berorientasi ke depan dalam bentuk kerja sama, yang bermuara kepada keberlanjutan pemanfaatan sumber daya dan pelestarian lingkungan perairan umum.

8.2 Kelembagaan Adaptif Pengelolaan Sumber daya Perikanan

Pada sumber daya perikanan perairan umum lebak lebung di Kabupaten OKI, Sumatera Selatan, degradasi sumber daya perikanan perairan umum lebak lebung dan kemiskinan yang terjadi pada masyarakat nelayan dapat merupakan akibat interaksi proses pengaturan terkait pengelolaan sumber daya perikanan PULL yang merupakan intervensi pemerintah dan tindakan nelayan dalam keseharian melaksanakan penangkapan ikan. Kemudian sejalan dengan itu, titik tolak perbaikan teknologi atau ketersediaan peraturan saja tidak cukup untuk menghadapi permasalahan yang dihadapi dalam rangka pengelolaan sumber daya perikanan di perairan umum lebak lebung. Perbaikan teknologi harus diimbangi dengan penyempurnaan komponen penggerak pembangunan lainnya termasuk sumber daya manusia (SDM) dan kelembagaan.

Perubahan kelembagaan berarti melaksanakan rekayasa sosial. Rekayasa sosial atau perubahan kelembagaan adalah terjemahan dari “social engineering” dimana secara eksplisit menekankan penerapan ilmu pengetahuan untuk

(5)

menghasilkan sesuatu, misalnya memecahkan suatu permasalahan yang dihadapi manusia (petani/nelayan) (Pakpahan, 1989). Sudah saatnya rekayasa sosial kelembagaan dalam rangka pengelolaan sumber daya perikanan perairan umum dilakukan dan dirasakan semakin dibutuhkan serta memegang peranan yang cukup penting karena sumber daya alam yang “milik bersama” cenderung akan punah jika tidak dikelola dengan baik.

Pengaturan alokasi hak penangkapan di perairan umum lebak lebung Sumsel yang ada saat ini lebih bersifat “top down approach” sehingga masyarakat nelayan harus mengikuti aturan yang ditetapkan oleh panitia pengawas dan pelaksana lelang. Dalam hal ini masyarakat lebih merasa sebagai objek yang bertujuan meningkatkan pendapatan asli daerah. Hal ini juga tergambar dari susunan panitia pengawas dan panitia pelaksana pelelangan yang sama sekali tidak melibatkan unsur kelompok nelayan. Akibat lebih lanjut adalah kecilnya rasa memiliki (sense of belonging) bagi nelayan terhadap sumber daya dan lingkungan hidup perikanan yang ada. Dengan demikian, pada gilirannya upaya yang bertujuan kepada kelestarian sumber daya dan lingkungan hidup perikanan tidak akan tercapai.

Salah satu aspek sosial budaya yang dapat diperkirakan akan kuat mempengaruhi struktur dan perilaku organisasi formal adalah struktur masyarakat sendiri, dan nilai-nilai serta sikap yang cenderung ditimbulkan oleh struktur itu (Paramita, 1985) seperti yang terjadi pada alokasi sumber daya perikanan di perairan umum lebak lebung ini. Oleh karena itu, salah satu usaha yang memungkinkan untuk dapat merubah rasa memiliki nelayan terhadap sumber daya dan lingkungan hidup perikanan tersebut adalah dengan merekayasa kelembagaan. Antara lain dengan cara mengikutsertakan perwakilan dari kelompok nelayan dalam rangka pengelolaan alokasi pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan PULL. Artinya pengambil keputusan dalam pengalokasian hak penangkapan ikan dan penggunaan sumber daya perikanan tersebut perlu memperhatikan arus bawah (bottom up approach), meskipun menurut Henry and Heinke (1989) pengawasan-pengawasan legislatif dan pengaruh-pengaruh politik para pengambil keputusan (birokrat) tidak dapat dihilangkan sama sekali.

(6)

Efektifitas kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan “lelang lebak lebung” dan diidentifikasi dan dianalisis berdasarkan 8 (delapan) unsur penyusun kelembagaan menurut Ostrom (1999; 2008); dan dikelompokkan berdasarkan dua periode pemerintahan yang diberlakukan dalam wilayah Sumatera Selatan, termasuk di Kabupaten OKI. Masa pemerintahan yang pertama adalah masa pemerintahan Marga yaitu masa pemerintahan sebelum dibentuknya desa-desa di Sumatera Selatan dengan adanya pemberlakuan Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa (yaitu sejak adanya pemerintahan Marga sekitar tahun 1830 hingga tahun 1982). Kemudian, masa pemerintahan kabupaten, yaitu masa pengelolaan sumber daya perikanan lelang lebak lebung tersebut diserahkan oleh pemerintahan propinsi kepada pemerintah kabupaten (sejak tahun 1983 hingga tahun 2008).

Kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan “lelang lebak lebung” pada masa pemerintahan Marga masih berada pada kondisi yang efektif jika dibandingkan dengan kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan “lelang lebak lebung” pada masa pemerintahan kabupaten. Hal ini menunjukkan bahwa kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan “lelang lebak lebung” pada masa pemerintahan Marga berfungsi sebagai wadah pengaturan terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan PULL. Meskipun demikian, pada tahun penangkapan ikan 2009 dan 2010 kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan pada PULL dibagi dua kategori yaitu ada yang dilelang dan ada perairan yang tidak dilelang. Dengan kata lain, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari segi isi, ternyata peraturan desa yang dirancang di salah satu desa yang memiliki areal PULL sama efektifnya dengan kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan “lelang lebak lebung” yang berlaku pada periode pemerintahan Marga.

Berdasarkan hasil identifikasi dan analisis yang dikemukakan pada keberlanjutan kelembagaan menggunakan pendekatan 8 (delapan) prinsip keberlanjutan kelembagaan diketahui bahwa “lelang lebak lebung” yang ada saat ini tidak efektif dalam kaitannya dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan PULL. Tidak efektifnya kelembagaan “lelang lebak lebung” diikuti dengan semakin sempitnya akses masyarakat nelayan terhadap sumber

(7)

daya perikanan PULL jika dibandingkan dengan masa pemerintahan Marga. Hal ini berdampak terhadap perolehan keuntungan bagi masyarakat nelayan pada masa pemerintahan kabupaten menjadi semakin kecil dan sulit untuk didapatkan, dan akses yang didapatkan masyarakat nelayan adalah “illegal”.

Dengan teori akses ini dapat diketahui bahwa ada kekuasaan-kekuasaan yang tidak formal berpengaruh terhadap proses pelelangan hak usaha penangkapan ikan. Untuk itu, pedagang yang ingin memenangkan pelelangan harus memberikan semacam “uang tutup mulut” kepada para calon pengemin lainnya yang ikut dalam pelelangan. Uang yang diberikan kepada calon pengemin ini berkisar Rp.2.000.000.- hingga Rp.20.000.000.- dengan total nilai untuk lelang perairan di Desa Berkat ini mencapai sekitar Rp.80.000.000.- hingga Rp.100.000.000.- (pada usaha penangkapan ikan tahun 2008).

Terlihat bahwa pemilik modal mengeluarkan biaya tambahan yang cukup besar untuk mendapatkan hak usaha penangkapan. Tetapi proses pelelangan yang biasanya meningkatkan harga objek lelang tidak terjadi, karena penawar lelang hanya satu orang. Pada saat ini terjadi privatisasi hak usaha penangkapan ikan, yang dengan segala daya upaya pengemin berusaha mengembalikan modalnya. Untuk itu, dipastikan terjadi pengurasan sumber daya perikanan PULL pada perairan yang di lelang tersebut. Pengemin berusaha mengembalikan modalnya dengan upaya menjalankan penangkapan ikan dengan berbagai cara dan alat tangkap. Pada saat ini nelayan kecil hanya dapat menyewa kepada pengemin dengan membayar hak usaha penangkapan kepada pengemin, dengan harga yang tinggi (mencapai jutaan rupiah untuk jenis alat tangkap tertentu dan wilayah penangkapan tertentu).

Lebih jauh terlihat pula bahwa tidak efektifnya kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan “lelang lebak lebung” terbukti pula memiliki dampak adanya degradasi kondisi sumber daya perikanan dan habitatnya, yang pada akhirnya berdampak pula terhadap terjadinya kemiskinan pada masyarakat nelayan. Dampak tersebut sebagai akibat semakin mahalnya nilai objek lelang dan pembayarannya harus dilakukan secara tunai. Dengan tingginya harga perairan yang harus dibayar oleh masyarakat, maka biaya sewa untuk mendapatkan lisensi

(8)

hak usaha penangkapan ikan di perairan umum lebak lebung sampai pada tingkat masyarakat nelayan akan semakin mahal.

Dengan semakin mahalnya sewa perairan, maka nelayan akan berusaha menangkap ikan dengan segala daya upaya, menggunakan semua teknik penangkapan ikan yang mereka kuasai untuk memperoleh hasil sebesar-besarnya. Namun demikian, kemiskinan masyarakat nelayan terlihat dengan besarnya pangsa pengeluaran konsumsi pangan yang mereka keluarkan dibandingkan dengan konsumsi non pangan, yang memperlihatkan bahwa rata-rata pangsa pangan masyarakat nelayan adalah sebesar 62,3 %. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat nelayan di wilayah ini masih termasuk kategori miskin. Penghasilan nelayan hanya cukup untuk menghidupi kebutuhan sehari-hari menyebabkan masyarakat nelayan tidak dapat menyisihkan penghasilan untuk tabungan dan anggaran untuk kegiatan rekreasi bersama tidak dapat dilakukan dalam waktu 1 kali dalam 6 bulan. Di lain pihak, pengemin atau pemenang lelang merupakan orang yang paling banyak mendapatkan manfaat dari sumber daya perikanan PULL yang dikuasainya. Hal ini terlihat dari pendapatan mereka yang mencapai Rp.215.325.000.- pada tahun 2008.

Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan “lelang lebak lebung” tidak efektif dalam mengatur pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan, sehingga mengakibatkan sempitnya akses masyarakat nelayan terhadap sumber daya perikanan PULL, terjadinya degradasi kondisi sumber daya perikanan PULL dan kemiskinan masyarakat nelayan PULL. Meskipun demikian, diketahui bahwa kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan “lelang lebak lebung” pada masa pemerintahan Marga terlihat efektif kaitannya dalam mengatur pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan PULL. Oleh karena itu, alternatif kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan PULL yang efektif dalam kaitannya dengan pengelolaan sumber daya perikanan PULL adalah kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan PULL yang isinya mempedomani Peraturan Desa (Perdes) memenuhi kriteria efektif dalam mengalokasikan hak usaha penangkapan ikan kepada masyarakat sesuai dengan 8 (delapan) kriteria keberlanjutan kelembagaan yang dikemukakan oleh Ostrom (1990; 2008) dan

(9)

selanjutnya telah pula memenuhi kriteria teori akses yang dikemukakan oleh Ribot dan Peluso (2003).

Adapun bentuk kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan (termasuk dalam mengalokasi dan mengatur pengelolaan) yang diusulkan adalah berupa kelembagaan komunitas nelayan (Kelompok Nelayan) yang tujuan utamanya mengurangi intervensi pemerintah atau yang berazaskan kepada masyarakat (community based management). Upaya ini sebenarnya untuk skala lokal telah dipraktekkan di beberapa tempat di Indonesia, misalnya pengelolaan Sumber daya perikanan sistem SASI di Maluku (dalam; Bailey et al, 1993). Kemudian berdasarkan atas hukum positif yang berlaku saat ini di Indonesia, penerapan pengelolaan bersama dalam bidang perikanan berupa pengelolaan sumber daya perikanan memiliki dasar hukum (Nikijuluw, 1998).

Pengambilan keputusan pada Kelompok Nelayan dilakukan dengan cara “musyawarah dan mufakat” dalam rangka penyusunan konsepsi pengelolaan (termasuk pencadangan areal perlindungan perikanan) dan pengalokasian hak penangkapan ikan pada sumber daya perikanan. Dalam hal ini, nelayan juga berfungsi sebagai subjek dalam pembangunan dengan adanya wakil dari kelompok nelayan. Pemimpin informal yang tergabung dalam Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) dan atau Badan Perwakilan Desa (BPD) turut merupakan wakil masyarakat secara menyeluruh yang merupakan fasilitator dalam rangka perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di wilayah pedesaan. Dengan demikian, pelaksanaannya di lapangan cukup diorganisasi oleh kelompok nelayan yang ada, namun difasilitasi oleh Kepala Desa, BPD dan Ketua Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) setempat. Hal ini dilakukan untuk satu desa yang mempunyai wilayah sumber daya perikanan.

Di sisi lain, berdasarkan hasil analisis terhadap data empiris yang ditemui dilapangan, maka dapat dikemukakan bahwa penggunaan teori Ostrom (1990) tentang prinsip keberlanjutan kelembagaan untuk menganalisis efektifitas kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan ”lelang lebak lebung” tidak cukup mampu menjelaskan fakta yang ada di lapangan. Dalam hal ini, harus ditambah dengan penggunaan teori akses dari Ribbot dan Peluso (2003) terkait dengan adanya kekuasaan yang dalam hal ini mengatur alokasi sumber daya

(10)

perikanan PULL tersebut terhadap masyarakat. Dengan perpaduan dua teori tersebut untuk membedah kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan ”lelang lebak lebung” akan tertangkap bagaimana hubungan kekuasaan yang dimainkan oleh pedagang dalam pelaksanaan ”lelang lebak lebung”.

Lebih lanjut, dapat dijelaskan pula pengelolaan sumber daya perikanan PULL yang dilakukan oleh Pemerintah Desa bersama masyarakat, maka partisipasi masyarakat nelayan merupakan unsur penting dalam kerangka evaluasi efektifitas kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan PULL. Sedangkan untuk pengelolaan sumber daya yang meliputi dua desa atau lebih maka koordinasi antar menjadi penting pula. Dengan demikian efektifitas kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan PULL dapat dilakukan menggunakan 8 (delapan) prinsip keberlanjutan kelembagaan yang dikemukakan oleh Ostrom (1990; 2008) dan teori akses Ribot dan Peluso (2003) ditambah dengan dua unsur yang digali dari kelembagaan lokal dan prinsip pengelolaan bersama (ko-manajemen) yaitu partisipasi dan koordinasi. Oleh karena itu, dalam rangka pelaksanaan pengaturan terkait pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan yang diamanatkan dalam Peraturan Desa tersebut memerlukan pengorganisasian dan kejelasan fungsi dan peran para pemangku kepentingan (aktor) yang terkait. Pengorganisasian yang dimaksud diusulkan sebagaimana dikemukakan pada Gambar 3.

Masyarakat Nelayan Sebagai Penangkap Ikan (Kelompok Nelayan) Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. OKI

mewakili BUPATI berfungsi sebagai Pembina (Tingkat Kabupaten)

Kades & BPD & Ketua Pokmaswas berfungsi sbg Koordinator Lapangan

(Fasilitator Tingkat Desa)

Operasional Pokmaswas Untuk Pemanfaatan, Pengelolaan dan Konservasi Sumberdaya Perikanan

Gambar 3. Struktur Pengorganisasian Pengelolaan Sumber daya Perikanan Perairan Umum Lebak Lebung.

(11)

Pada Gambar 3 terlihat bahwa sudah saatnya perairan umum lebak lebung yang berada pada lokasi di sekitar pemukiman, sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Perda Kab. OKI 9 Tahun 2008 tidak dilelangkan agar tetap dipertahankan tidak dilelangkan. Begitu juga untuk perairan umum lebak lebung yang jauh dari pemukiman penduduk yang biasanya dilelangkan sebagai sarana pengumpulan pembiayaan pembangunan, seyogyanya tidak dilelangkan semuanya, terutama kaitannya dengan upaya peningkatan kehidupan masyarakat nelayan (PKN) yang dicanangkan oleh pemerintah (Program Kluster IV). Bahkan jika dilihat nilai pendapatan asli daerah yang berasal dari sumber daya perikanan tidak lebih besar dari 5 milyar merupakan jumlah yang kecil bagi APBD Kabupaten OKI, sehingga jika tidak adapun dapat diusahakan dari sumber yang lain. Hal ini terlihat juga di wilayah lainnya di Kabupaten OKI yang tidak melelangkan seluruh perairan lebaknya.

Pada tingkat kabupaten, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten OKI sesuai dengan tugas pokoknya adalah sebagai pembina dalam pembuatan dan berfungsinya peraturan dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan PULL di kawasan pedesaan tersebut. Fungsi pembinaan ini juga jika terdapat suatu ekosistem perairan umum lebak lebung pada dua desa atau lebih di dalam satu kecamatan atau dua kecamatan, sehingga memerlukan koordinasi antara dua atau tiga desa di dalam satu kecamatan atau dua kecamatan yang berkaitan dalam satu kerangka pengelolaan sumber daya perikanan PULL secara terpadu.

Pada tingkat pedesaan diusulkan tim fasilitasi tingkat desa yang tersusun atas Kepala Desa, Badan Perwakilan Desa (BPD), Ketua Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) yang fungsinya sebagai penghubung masyarakat desa (Kelompok Nelayan) terhadap pemerintahan atas desa jika diperlukan. Tim ini juga berfungsi sebagai perwakilan masyarakat desa jika terdapat hal-hal yang perlu dikoordinasikan antar desa atau pada tingkat kecamatan terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan PULL.

Sebagai ujung tombak perwakilan masyarakat nelayan pada tingkat pedesaan adalah Ketua Kelompok Masyarakat Pengawas yang merupakan seorang yang memiliki kemampuan untuk memimpin masyarakat nelayan dan dipilih

(12)

secara langsung oleh masyarakat nelayan. Hal ini dengan pertimbangan bahwa orang yang menjadi ketua POKMASWAS memang benar-benar “legitimate” sebagaimana yang terjadi pada masa pemerintahan Marga. Pada masyarakat nelayan diharapkan adanya partisipasi masyarakat terkait dengan berlangsungnya pengaturan pengelolaan sumber daya perikanan PULL. Dengan pengaturan demikian diharapkan rasa memiliki masyarakat nelayan terhadap sumber daya perikanan PULL akan muncul dan diterapkan dalam kondisi yang kondusif. Hal ini dibarengi dengan saling mengawasi diantara masyarakat nelayan atas pelanggaran peraturan yang telah ditetapkan dapat membantu ditegakkannya sanksi terhadap pelanggar aturan. Oleh karena itu, peranan kelompok masyarakat pengawas menjadi penting dalam pengelolaan sumber daya perikanan PULL ini.

Jiwa kewirausahaan sosial (social entrepreneurship) tim yang tergabung dalam kelompok masyarakat pengawas akan sangat menentukan berhasil tidaknya pengelolaan sumber daya perikanan PULL di kawasan tersebut. Hal ini sangat memungkinkan untuk berhasil dengan catatan bahwa seluruh masyarakat pedesaan merasakan bahwa sumber daya perikanan PULL yang ada di desa mereka merupakan milik mereka bersama. Keberhasilan tim POKMASWAS ini telah terjadi di beberapa perairan umum waduk di Jawa, antara lain di perairan umum waduk Malahayu yang terdapat di wilayah Kabupaten Brebes, Jawa Tengah (Nasution dan Purnomo, 2010).

Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa kelembagaan adaptif untuk pengelolaan sumber daya perikanan perairan umum lebak lebung tidak cukup hanya memenuhi prinsip keberlanjutan kelembagaan Ostrom dan teori akses menurut Ribot dan Peluso, tetapi harus pula diterapkan menggunakan pendekatan ko-manejemen yang terpadu antara pemerintah desa dan masyarakat nelayan. Untuk itu, dua unsur yang digali dari kelembagaan lokal dan prinsip pengelolaan bersama (ko-manajemen) yaitu partisipasi dan koordinasi merupakan syarat adaptifnya suatu kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan PULL. Dengan demikian, kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan PULL yang diusulkan (Kelompok Nelayan dan Kelompok Masyarakat Pengawas) dapat dikatakan merupakan suatu ”kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan

(13)

diakses dengan mudah dan murah oleh nelayan, serta dapat mempertahankan kelestarian sumber daya perikanan merupakan kelembagaan adaptif dalam mengatur pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan PULL”.

Lebih lanjut dengan adanya kelembagaan tersebut dapat dijelaskan bahwa aturan main dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan PULL dibangun oleh masyarakat dengan fasilitasi dari pemerintah desa yang pro rakyat. Dalam hal ini isi yang terkandung dalam Perdes dapat menjadi pedoman untuk mengembangkan aturan main tersebut. Dengan dasar masyarakat yang membentuk aturan main dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan PULL, maka dalam musyawarah dan mufakatnya harus mengikutsertakan seluruh unsur yang dalam masyarakat. Termasuk didalamnya perlu diikutsertakan para ahli perikanan atau pembina perikanan terkait dengan pembuatan dan atau perumusan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan yang terdapat pada lokasi pedesaan yang bersangkutan. Akses dikatakan mudah diatur dengan hanya mendaftarkan diri kepada Kelompok Masyarakat Pengawas dengan membayar uang administrasi sekedarnya (tidak lebih dari Rp.100.000.- per tahun per nelayan). Begitu upaya kelestarian sumber daya diupayakan dan dijaga oleh Pokmaswas dan dibantu oleh masyarakat nelayan secara bersama.

8.3 Ikhtisar

Suatu hal yang dapat dipelajari dari kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan “lelang lebak lebung” adalah semua relasi antar aktor terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan PULL bersifat “individualisme”. Optimasi peran kelembagaan sebagai konsekuensi dari relasi antar aktor tersebut memberikan makna bahwa seluruh relasi antar aktor harus berorientasi ke depan dalam bentuk kerjasama, yang bermuara kepada keberlanjutan pemanfaatan sumber daya perikanan PULL.

Hasil identifikasi dan analisis yang dikemukakan pada keberlanjutan kelembagaan menggunakan pendekatan 8 (delapan) prinsip keberlanjutan kelembagaan yang dikemukakan oleh Ostrom diketahui bahwa kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan “lelang lebak lebung” yang ada saat ini tidak efektif dalam kaitannya dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya

(14)

perikanan PULL. Kemudian, tidak efektifnya kelembagaan “lelang lebak lebung” tersebut juga diikuti dengan semakin sempitnya akses masyarakat nelayan terhadap sumber daya perikanan PULL jika dibandingkan dengan masa pemerintahan Marga, dan akses yang didapatkan masyarakat nelayan adalah “illegal”.

Tidak efektifnya kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan “lelang lebak lebung” terbukti pula memiliki dampak adanya degradasi kondisi sumber daya perikanan dan habitatnya, yang pada akhirnya berdampak pula terhadap terjadinya kemiskinan pada masyarakat nelayan, dengan rata-rata pangsa pangan masyarakat nelayan adalah sebesar 62,3 %. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat nelayan di wilayah ini masih termasuk kategori miskin karena penghasilan mereka hanya cukup untuk menghidupi kebutuhan sehari-hari dan tidak dapat menabung dan menyediakan biaya rekreasi. Di lain pihak, pengemin atau pemenang lelang merupakan orang yang paling banyak mendapatkan manfaat dari sumber daya perikanan PULL yang dikuasainya. Hal ini terlihat dari pendapatan mereka tahun 2008 mencapai Rp.215.325.000.- .

Adapun bentuk kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan (termasuk dalam mengalokasi dan mengatur pengelolaan) yang diusulkan adalah berupa kelembagaan komunitas nelayan (Kelompok Nelayan) yang tujuan utamanya mengurangi intervensi pemerintah atau yang berazaskan kepada masyarakat. Pengambilan keputusan pada Kelompok Nelayan dilakukan dengan cara “musyawarah dan mufakat” dalam rangka penyusunan konsepsi pengelolaan (termasuk pencadangan areal perlindungan perikanan) dan pengalokasian hak penangkapan ikan pada sumber daya perikanan. Pelaksanaannya di lapangan cukup diorganisasi oleh kelompok nelayan, namun difasilitasi oleh Kepala Desa, BPD dan Ketua Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas). Hal ini dilakukan untuk satu desa yang mempunyai wilayah sumber daya perikanan.

Dengan dasar bahwa pengelolaan sumber daya perikanan PULL yang dilakukan oleh Pemerintah Desa bersama masyarakat, maka partisipasi masyarakat nelayan merupakan unsur penting dalam kerangka evaluasi efektifitas kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan PULL; dan untuk pengelolaan sumber daya yang meliputi dua desa atau lebih maka koordinasi antar desa

(15)

menjadi penting pula. Dengan demikian efektifitas kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan PULL dapat dilakukan menggunakan 8 (delapan) prinsip keberlanjutan kelembagaan Ostrom dan teori akses Ribot dan Peluso ditambah dengan dua unsur yang digali dari kelembagaan lokal dan prinsip pengelolaan bersama (ko-manajemen) yaitu partisipasi dan koordinasi.

Pada tingkat kabupaten, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten OKI sesuai dengan tugas pokoknya adalah sebagai pembina dalam pembuatan dan berfungsinya peraturan dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan PULL di kawasan pedesaan tersebut. Pada tingkat pedesaan diusulkan tim fasilitasi tingkat desa yang tersusun atas Kepala Desa, Badan Perwakilan Desa (BPD), Ketua Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) yang fungsinya sebagai penghubung masyarakat desa (Kelompok Nelayan) terhadap pemerintahan atas desa jika diperlukan. Tim ini juga berfungsi sebagai perwakilan masyarakat desa jika terdapat hal-hal yang perlu dikoordinasikan antar desa atau pada tingkat kecamatan terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan PULL.

Sebagai ujung tombak perwakilan masyarakat nelayan pada tingkat pedesaan adalah Ketua Kelompok Masyarakat Pengawas yang merupakan seorang yang memiliki kemampuan untuk memimpin masyarakat nelayan dan dipilih secara langsung oleh masyarakat nelayan. Pada masyarakat nelayan diharapkan adanya partisipasi masyarakat terkait dengan berlangsungnya pengaturan pengelolaan sumber daya perikanan PULL. Dengan pengaturan demikian diharapkan rasa memiliki masyarakat nelayan terhadap sumber daya perikanan PULL akan muncul dan diterapkan dalam kondisi yang kondusif. Hal ini dibarengi dengan saling mengawasi diantara masyarakat nelayan atas pelanggaran peraturan yang telah ditetapkan dapat membantu ditegakkannya sanksi terhadap pelanggar aturan.

Aturan main dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan PULL dibangun oleh masyarakat dengan fasilitasi dari pemerintah desa yang pro rakyat. Dalam hal ini isi yang terkandung dalam Perdes dapat menjadi pedoman untuk mengembangkan aturan main tersebut. Dengan dasar masyarakat yang membentuk aturan main dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya

(16)

perikanan PULL, maka dalam musyawarah dan mufakat harus mengikutsertakan seluruh unsur yang dalam masyarakat. Akses dikatakan mudah diatur dengan hanya mendaftarkan diri kepada Kelompok Masyarakat Pengawas dengan membayar uang administrasi sekedarnya. Begitu upaya kelestarian sumber daya diupayakan dan dijaga oleh Pokmaswas dan dibantu oleh masyarakat nelayan secara bersama.

Referensi

Dokumen terkait

❖ Saling tukar informasi tentang : Perilaku Sesuai Norma dalam Kehidupan Sehari-hari dengan ditanggapi aktif oleh peserta didik dari kelompok lainnya sehingga diperoleh

• Denda sebesar 100% dari biaya program untuk pembatalan yang dilakukan pada tanggal penyelenggaraan. • Seluruh biaya yang telah diterima akan dikembalikan apabila pembatalan

2. Atas permohonan oleh Bursa Efek.. Perubahan Status Berdasarkan Perintah Otoritas Jasa Keuangan RUPS **) Mengumumkan kepada Masyarakat Perintah OJK kepada Perusahaan Terbuka

Herman Mawengkang, selaku Ketua Program Studi Magister Matematika pada Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara dan juga selaku Ketua Panitia

Pada sebaran kasus di wilayah dengan riwayat banjir terdapat banyak kasus Leptospirosis yang terjadi seperti di wilayah Desa Mangunjiwan Kecamatan Demak yang

Studi penanggulangan leptospirosis ini merupakan kerjasama antara B2P2VRP dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul, D.I. Oleh karena itu kami mengucapkan terimakasih

Penelitian yang dilakukan pada tahun 2008 menunjukkan bahwa faktor risiko kejadian leptospirosis di Kabupaten Demak meliputi pekerjaan yang melibatkan kontak tubuh

Kesimpulan dari teori di atas adalah analisis sistem merupakan proses atau kegiatan yang dilakukan untuk mengidentifikasi suatu permasalahan dengan memahami serta mengevaluasi