• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Cabai Merah Besar ( Capsicum annum L)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Cabai Merah Besar ( Capsicum annum L)"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Cabai Merah Besar (Capsicum annum L)

Tanaman cabai merah besar sudah dikenal oleh penduduk Mexico sejak zaman Aztek yaitu sekitar 7000 tahun sebelum masehi. Kemudian cabai menyebar dengan cepat melalui perdagangan di Amerika Tengah, Amerika Selatan, dan India Barat. Pada masa sekarang ini cabai dapat ditemukan di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Mexico, Guatemala, Amerika Selatan, Kepulauan Karibia, India, Indonesia, Thailand, Vietnam, Burma, Malaysia, China, Korea, Turki, dan beberapa di Eropa dan Afrika (Killham 2006). Cabai merah Besar (Capsicum annuum L.) termasuk ke dalam famili Solanaceae. Terdapat sekitar 20-30 spesies yang termasuk ke dalam genus Capsicum, diantaranya adalah lima spesies yang telah dibudidayakan, yaitu : C. baccatum, C. pubescens, C. annuum, C. chinense dan C. Frutescent (DEPTAN 2004).

Tanaman cabai memiliki percabangan berbentuk semak, batangnya berkayu, tipe percabangan tegak atau menyebar dengan karakter yang berbeda-beda tergantung spesiesnya. Tinggi tanaman 0-5 m berdaun tunggal dengan helai daun berbentuk ovate atau lanceolate, warna hijau muda atau hijau tua, struktur perakaran tanaman cabai diawali dari akar tunggang yang sangat kuat yang bercabang-cabang ke samping dengan akar-akar rambut, bunga sempurna. Mahkota bunga berwarna putih dengan 5 helaian setiap bunga (Cott 2002). Cabai membutuhkan kelembaban 60-89% untuk pertumbuhannya (Kusandriani & Sumarna 1993).

Cabai mengandung berbagai macam senyawa yang berguna bagi kesehatan manusia. Sun et al. (2007) melaporkan cabai mengandung antioksidan yang berfungsi untuk menjaga tubuh dari serangan radikal bebas. Kandungan terbesar antioksidan ini adalah pada cabai hijau. Cabai juga mengandung L-asparaginase dan Capsaicin yang berperan sebagai zat anti kanker (Kilham 2006; Bano & Sivaramakrishnan 1980).

Produktivitas cabai di Indonesia fluktuatif. DEPTAN (2006) melaporkan produktivitas cabai tahun 2000-2004 adalah 4.17, 4.07, 4.21, 6.05, 5.66 ton/ha. Permintaan terhadap cabai selalu meningkat setiap tahunnya seiiring

(2)

bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia. Tabel 1 menunjukkan rata-rata permintaan cabai di Indonesia sampai tahun 2004 adalah 2.76 kg/tahun/kapita dengan konsumsi total 589.395 ton/tahun. Jumlah ini terus meningkat sampai pada tahun 2006 konsumsinya meningkat menjadi 66.304 ton/bulan atau 795.648 ton/tahun.

Tabel 1 Permintaan cabai tahun 2002-2004

Konsumsi Tahun Produksi

(Ton) Penduduk (1000 x Orang) Per kapita (kg/tahun) Total/tahun (Ton) 2002 635.089 210.736 2.760 581.631 2003 1.066.722 213.550 2.780 593.669 2004 1.100.514 216.381 2.740 592.884 rata-rata 934.108 2.760 589.395

Keterangan : Direktorat Jenderal Tanaman Pangan hortikultura 2005

Permintaan terhadap cabai tidak hanya dari konsumen rumah tangga tetapi juga dari industri (Soetiarso & Ameriana 1996). Tabel 2 menunjukkan total permintaan cabai dari tahun 1999-2003 meningkat setiap tahunnya. Meningkatnya permintaan terhadap cabai ini dikarenakan semakin meningkatnya industri-industri yang menggunakan bahan baku cabai. Industri kecap merupakan konsumen industri yang membutuh cabai terbesar diantara yang lainnya dengan konsumsi pada tahun 2003 yaitu sebesar 19.112 ton lebih besar dibandingkan pada tahun 2001 dan 2002 hanya sebesar 9.251 ton dan 9.851 ton.

Permintaan terhadap cabai juga datang dari pasar luar negeri dan menunjukkan angka yang fluktuatif. BPS (2004) melaporkan ekspor cabai tahun 1999-2001 selalu meningkat dengan nilai ekspor tertinggi pada tahun 2001 yaitu sebesar 1.001,8 ton dan mengalami penurunan yang drastis pada tahun 2002 yaitu hanya sebesar 450.5 ton (Tabel 3).

(3)

Tabel 2 Perkembangan Permintaan Industri Pengolahan Terhadap Cabai Di Indonesia Tahun 1999-2003

Permintaan (Ton) Kelompok Industri Pengolahan

1999 2000 2001 2002 2003

1. Industri Pengasinan / Pemanisan

Buah-buahan dan sayuran - - - 8 7

2. Industri Pelumatan Buah-buahan

dan Sayuran - 1760 11 273 469

3. Industri Makanan, Mie, Bihun,

Soun, Sphagetti dan sejenisnya 46 59 60 108 108

4. Industri kecap - - 9251 9851 19112

5. Industri Makanan dari Kedelai

dan kacang-kacangan - - 5 - 7

6. Industri Kerupuk 16 18 93 110 50

7. Industri Bumbu Masak 9 12 28 3 27

8. Industri Petis dan Terasi 5 9 22 45 91

Total 76 1858 9470 10398 19871

Keterangan : BPS 2004a

Tabel 3 Permintaan ekspor cabai merah Indonesia tahun 1999-2004

Tahun Jumlah Ekspor (Ton)

1999 604.4 2000 612.7 2001 1001.8 2002 450.5 2003 466.9 2004 916.6 Keterangan : BPS 2004b

(4)

Colletotrichum capsici (Syd.) Bult. Et. Bisby

Patogen penyebab penyakit merupakan salah satu organisme pengganggu tanaman (OPT) yang mempengaruhi fungsi fisiologis tanaman. Fungsi fisiologis tanaman merupakan rangkaian aktifitas pada tanaman untuk melangsungkan hidup salah satunya adalah fotosintesis. Fotosintesis adalah proses pembentukkan energi dari CO2 dan H2O, selanjutnya energi yang dihasilkan digunakan untuk

pembentukkan organ tanaman, salah satunya adalah pembentukan buah (Pantastico 1986). Adanya gangguan fungsi fisiologis yang disebabkan oleh organisme pengganggu tanaman menyebabkan tanaman sulit untuk berbuah bahkan sampai tidak menghasilkan buah. Hal ini yang menyebabkan organisme pengganggu tanaman berperan penting dalam dunia pertanian karena dapat mengurangi hasil produksi pertanian (Sinaga 2003). Cendawan merupakan salah satu OPT yang dilaporkan banyak menyerang tanaman hortikultura (Gafur 2003). Cendawan yang menyerang tanaman hortikultura pada umumnya adalah Botryodiplodia sp., Fusarium sp., Chepalosporium sp., dan yang sering menyebabkan penyusutan hasil produksi adalah Colletotrichum sp penyebab penyakit antraknosa yang menyerang baik pada saat prapanen, penyimpanan (di pedagang pengumpul), dan saat pemasaran (di pasar buah dan pasar swalayan) (Prabawati 1991).

Penyakit antraknosa pada cabai disebabkan oleh Colletotrichum capsici telah banyak dilaporkan menyebabkan penurunan hasil produksi tanaman cabai baik di Indonesia maupun di luar negeri. Di Kenya penyakit antraknosa menyebabkan penurunan hasil panen sebesar 75-80 % (Ferreira & Boley tanpa tahun) dan Di Thailand dilaporkan penyakit antraknosa menyerang 9 dari 17 varietas cabai (Widjaya 1991). Penyakit antraknosa di Indonesia menurunkan produksi tanaman cabai sebesar 50-100% (BPH 1993), 75% (Kusandriani & Permadi 1996) dan berdasarkan laporan yang dihimpun oleh Kompas (Januari 2005) ratusan hektar tanaman cabai di Sipiriok, Sulawesi mengalami gagal panen akibat penyakit antraknosa.

Penyakit antraknosa yang disebabkan termasuk ke dalam kelas Deuteromycetes ordo Melanconiales. Cendawan ini mempunyai hifa berseptat, konidia berbentuk tabung dengan ujung-ujung yang tumpul, kadang-kadang

(5)

berbentuk jorong dengan ujung membulat dan dasar sempit terpancung, hialin, tidak bersekat, bersel satu, berukuran 9-24 x 3-6 µm, terbentuk pada konidiofor yang tidak bersekat, bersel satu, hialin atau cokelat pucat. Cendawan yang termasuk ke dalam kelas Deuteromycetes ini memiliki miselium yang berkembang sempurna dan bercabang. Reproduksi struktur seksual jarang terjadi, bila diketahui dapat bereproduksi seksual maka dimasukkaan kedalam kelas Ascomycetes atau Basidiomycetes (Semangun 2000).

Colletotrichum sp. menyebabkan dua tipe gejala pada buah yaitu antraknosa dan bercak cokelat. Pada buah-buah yang menjelang matang terlihat gejala khas yaitu bercak-bercak hitam pada bagian kulit, yang sedikit demi sedikit melekuk dan bersatu kemudian daging buah membusuk cekung ke arah dalam buah (Prabawati et al. 1991).

Infeksi C. capsici pada cabai terdiri dari beberapa tahap, dimulai ketika buah masih dalam masa perkembangan di pohon. Infeksi diawali dengan adhesi spora dan hifa pada permukaan buah yang pada umumnya melalui percikan air hujan (Mercure et al. 1994), selain itu cendawan ini juga dapat menyerang melalui batang, ranting, daun, dan Bergstrom and Nicholson (1992) melaporkan bahwa cendawan ini dapat menyerang melalui akar. Setelah melekat, pada umumnya cendawan akan tetap pada periode laten dan belum menunjukan gejala sampai buah mencapai masa klimakterik dan dapat memberikan nutrisi untuk pertumbuhan cendawan selanjutnya (Prabawati et al. 1991), hal ini dikarenakan pada saat buah masih muda mengandung senyawa anti cendawan salah satunya enzim esterase yang terdapat pada permukaan buah cabai yang dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan cendawan (Ardi 2000; Kim et al. 2001). Setelah buah mengalami pemasakan, spora berkecambah membentuk tabung kecambah dan menempel sangat kuat pada permukaan jaringan tanaman, kemudian pada ujung tabung kecambah terbentuk apresorium (Bailey et al. 1992), kemudian terbentuk hifa penetrasi untuk melakukan penetrasi kedalam jaringan tanaman dan struktur infeksi primer terbentuk setelah hifa penetrasi masuk (Arroyo et al. 2005). Tahap selanjutnya adalah proses pengenalan, pensinyalan, pengembangan hifa infeksi dan haustoria dalam jaringan inang, serta patogenesis dan akhirnya melakukan kolonisasi (Pring et al. 1995).

(6)

C. capsici mensekresikan berbagai macam enzim untuk memudahkan proses infeksi pada tanaman. Enzim ini terlibat dalam interaksi eksternal dan internal. Interaksi eksternal adalah interaksi awal patogen menyerang inangnya yaitu pada saat proses penempelan dan perkecambahan spora (Gafur 2003). Patogen mengeluarkan glikoprotein yang berfungsi sebagai pelekat konidia pada inang dan menghambat enzim pelindung tanaman (Nicholson 1992), selain itu enzim-enzim seperti kitin deasetilase (Tsigos & Bouriotis 1995) dan pektat liase (Wei et al. 2002) juga membantu dalam proses penetrasi pada dinding sel inang oleh hifa penetrasi. Selain enzim tenaga fisik berupa tekanan turgor konidia dapat berperan dalam proses infeksi tanaman (Chen et al. 2004).

Pengendalian Penyakit Antraknosa

Pestisida sintetik adalah bahan-bahan kimia yang bersifat racun yang dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan, tingkah laku, perkembang biakan, kesehatan, mempengaruhi hormon, penghambat makan, membuat mandul, sebagai pemikat, penolak, dan aktifitas lainnya yang dapat mempengaruhi organisme pengganggu tanaman (Kardinan 2002). Pestisida sintetik masih umum digunakan untuk mengendalikan penyakit antraknosa pada tanaman sayuran (Adiyoga & Soetiarso 1999).

Fungisida sintetik banyak digunakan oleh petani karena memiliki periode pengendalian panjang, cepat menurunkan penyakit, mudah dan praktis untuk digunakan, mudah dan praktis disimpan, dan mudah untuk mendapatkannya. Fungisida yang sering digunakan untuk mengendalikan penyakit antraknosa adalah derosol 60 WP yang dicampur dengan dithane 80 WP, fungisida berbahan aktif propineb, zineb, benlate, manzate, benomyl, dan meneb dengan aplikasi pencelupan selama 5-10 menit. Prabawati (1991) dan Prajnanta (2004) melaporkan fungisida prockloraz dan kombinasi benomyl dan mancozeb efektif untuk mengendalikan penyakit antraknosa yang disebabkan oleh C. capsici. Menurut semangun (1996) fungisida berbahan aktif mancozeb merupakan fungisida organik kontak yang mengandung unsur mangan (Mn) dan seng (Zn) yang berperan sebagai agens pengkelat sehingga sintesis protein dan metabolisme didalam sel cendawan terganggu.

(7)

Penggunaan fungisida sintetik yang berlebihan dapat menimbulkan dampak negatif bagi manusia dan lingkungan (Duriat 1994). Hal ini disebabkan adanya residu yang masih tertinggal setelah perlakuan, sebagai contoh hasil deteksi dipasaran baik di produsen, pasar grosir, pasar eceran tradisional serta pasar swalayan di bogor menunjukkan bahwa pada beberapa jenis sayuran mengandung residu pestisida diatas ambang aman (Harun et al. 1996; Ameriana et al. 2000). Residu pestisida ini menimbulkan gangguan bagi kesehatan manusia, seperti yang dilaporkan Sudibyaningsih (1991) bahwa fungisida dapat menimbulkan gangguan syaraf, ginjal, metabolisme enzim dan efek karsinogenik. Selain itu pada beberapa jenis bahan aktif yang terkandung dalam fungisida dapat tersimpan pada air susu ibu sehingga apabila terkonsumsi oleh balita dapat memperlambat pertumbuhan dan daya kembang otaknya (Kamrin 1997).

Getah Pepaya Betina sebagai Alternatif Fungisida Sintetik

Meningkatnya perlindungan bagi konsumen rumah tangga dan industri terhadap residu pestisida (Soetiarso dan Majawisastra 1994), adanya permintaan pelabelan produk bebas pestisida di pasaran eropa (Caswell & Modjusca 1996), dan semakin meningkatnya konsumen memilih sayuran bebas pestisida yang didasarkan atas motivasi hidup sehat, risiko keracunan, pengetahuan yang meningkat (Ameriana et al. 2006) diperlukan suatu alternatif pengendalian yang efektif dalam mengendalikan penyakit antraknosa namun aman bagi lingkungan dan kesehatan manusia.

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keragaman biodiversity yang tinggi. Indonesia memiliki lebih dari 350.000 spesies tumbuhan tingkat tinggi yang dapat menghasilkan berbagai produk yang salah satunya adalah metabolit sekunder dengan jumlah 100.000 dari 1.000.000 senyawa kimia. Senyawa kimia tersebut memiliki fungsi adaptif sebagai pertahanan diri, simbiosis, polinasi dan lain-lain (Surjadi 2005). Penggunaan bahan-bahan yang berasal dari tumbuhan dapat digunakan sebagai salah satu alternatif penggunaan fungisida sintetik yang sering disebut fungisida nabati atau biofungisida yang ramah lingkungan (Kardinan 2002) karena mudah terdegradasi sehingga tidak menimbulkan residu (Hamijaya 2005). Salah satu contoh manfaat tumbuhan

(8)

tingkat tinggi yaitu sebagai penghasil enzim kitinase yang dapat berfungsi sebagai penghambat pertumbuhan cendawan karena dinding selnya tersusun atas selulosa dan kitin (Agrios 2005). Getah pepaya merupakan salah satu contoh metabolit sekunder yang memiliki potensi dalam mengendalikan penyakit antraknosa yang disebabkan oleh Colletotricum gloeosporioides. Getah pepaya ini mengandung enzim kitinase (enzim pengurai kitin) yang dapat mendegradasikan dinding sel cendawan yang tersusun dari kitin (Azarkan 1997).

Getah pepaya berupa cairan kental berwarna putih susu dan lengket dengan berat jenis 1,038 g/cm3, kadar air 82,02% dan kandungan aktivitas

proteolitiknya 307,8 MCU (Sabari et al. 2001a). Getah pepaya mengandung berbagai enzim diantaranya adalah peptidase A, peptidase B, papain, cimo papaine, karikain, glisil hidrolase, glisil endopeptidase (Azarkan et al. 1997), glutamine cyclotransferase (Zerhouni et al. 1998), lipase (Steinke 2001 & Dhuique 2001), glutamine cyclase (Azarkan et al. 2002), dan cysteine protease (Konno 2004).

Peranan getah pepaya terhadap Colletotrichum capsici penyebab penyakit antraknosa adalah adanya enzim kitinase yang dapat mendegradasi kitin pada dinding selnya. Dinding hifa Colletotrichum sp. memiliki tekstur mikrofibril yang terbuat dari kitin (β-1,4 N asetilglukosamin). Kitinase dalam getah pepaya tersusun dari rantai ikatan N-asetil-β-D-glukosaminidase. Berdasarkan hal tersebut kitin-glukal yang tersusun dalam dinding sel miselium dan konidia C capsici mengalami kerusakan setelah diberi getah pepaya (Azarkan 1997 & Adikaram et al 1998). Lebih lanjut Karunaratne (1996) melaporkan bahwa dinding sel konidia yang dilarutkan dalam getah pepaya mengalami kerusakan dalam waktu 60 detik dan selanjutnya mengalami kehancuran dalam waktu 10 menit. Kehilangan bentuk terjadi setelah 30 menit.

Pepaya memiliki tiga jenis buah yaitu jantan, betina, dan hermafrodit. Pada umumnya buah yang dikonsumsi baik di pasar dalam negeri maupun pasar ekspor adalah yang hermafrodit karena memiliki daging buah yang tebal, dan rasanya enak (Chan 1992; Kurnia 2005). Lebih lanjut hasil laporan PKBT (2004) menunjukkan bahwa sifat-sifat buah yang diinginkan untuk konsumsi segar adalah buah berasal dari bunga hermafrodit, ukuran buah kecil-medium (0.5-1

(9)

kg/buah) dan besar (lebih besar 3 kg), warna daging buah jingga-merah, warna kulit buah hijau-merah-jingga diselanya, rongga buah kecil (edible portion tinggi), kulit buah halus, bentuk lonjong, tekstur padat, dan rasa manis dengan aroma yang khas. Buah pepaya betina kurang disukai karena pepaya jenis ini kulitnya tebal, buahnya sedikit, rasanya yang tidak enak, dan tidak laku untuk dijual di supermarket sedangkan jantan tidak menghasilkan buah (Kalie 2000).

Perbedaan sumber benih menghasilkan jenis tanaman yang berbeda pula. Buah bagian tengah dan ujung menghasilkan tanaman hermafrodit yang lebih banyak dibandingkan pada bagian pangkal dengan perbandingan 2:1 sampai 3:1 (Arifeni 2002; Maknani 2004). Lebih lanjut Sunarjono (1987) melaporkan bahwa tanaman hermafrodit dapat dihasilkan dari benih yang berasal dari 1/3 ujung sebanyak 75%, 1/3 tengah 65%, dan 1/3 pangkal 50%.

Gambar

Tabel 2 Perkembangan Permintaan Industri Pengolahan Terhadap Cabai Di  Indonesia Tahun 1999-2003

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini disebabkan karena penerapan strategi pemecahan masalah sistematis sangat membantu peserta didik dalam proses pembelajaran karena penerapan ini lebih banyak

bermanfaat untuk ini memungkinkan.. Menari merupakan sa masih berasal dari g mengembangkan ima Walau pun sifatnya m anak dapat membay kreativitas dalam ger benda-benda

Perhitungan harga batako per biji dan per m 2 luas dinding batako sekam padi (batako non komposit) adalah dengan mengalikan volume batako sekam sebesar 0,008 m 3 dengan harga

Pada saat komputer client akan menghubungkan diri dengan jaringan maka server Radius akan meminta identitas user (username dan password) untuk kemudian dicocokkan dengan data

Hasil pengamatan terhadap aroma jahe instan pada perlakuan menunjukkan pemakaian sumber sukrosa memberikan nilai aroma yang berbeda, dimana dengan variasi

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan tugas akhir ini tidak terlepas dari dukungan serta bantuan berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis secara

[r]

Para pimpinan dayah biasanya adalah alumni dari beberapa dayah lain di Aceh yang kemudian telah memiliki kecakapan, telah menamatkan belajar dan juga telah mengabdi sebagai guru