• Tidak ada hasil yang ditemukan

Seminar Tahunan Linguistik 2015

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Seminar Tahunan Linguistik 2015"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Hubungan Bahasa Melayu dengan Bahasa Betawi di Wilayah Condet

Diar Luthfi Khairina

Program Studi Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok 16424

khairinadiar@gmail.com ABSTRAK

Condet pernah dijadik an sebagai Cagar Budaya Betawi. Ak an tetapi, k eputusan tersebut telah dicabut oleh pemerintah dengan alasan pelanggaran izin pembangunan. Seiring dengan perk embangan zaman, Condet telah bertransformasi dengan berbagai penyebab. Dengan demik ian, hal tersebut ak an memengaruhi bahasa Betawi di Wilayah Condet. Berdasark an hal tersebut, penelitian ini ak an memperlihatk an persebaran dan variasi bahasa Betawi di Wilayah Condet yang terletak di k awasan Jak arta Timur. Pengumpulan dan pengolahan data dilak uk an dengan metode k ualitatif dan k uantitatif. Metode k uantitatif yang dilak uk an dalam penelitian ini menggunak an penghitungan dialek tometri. Hasilnya menunjuk k an bahwa bahasa yang digunak an di Wilayah Condet hanya satu, yaitu bahasa Melayu dialek Jak arta subdialek Pinggiran. Ak an tetapi, se butan lain untuk Bahasa Melayu dialek Jak arta subdialek Pinggiran, yaitu Betawi Ora tidak berlak u di Wilayah Condet. Hal tersebut disebabk an tidak ditemuk annya k osak ata ora sebagai penanda sebutan Betawi Ora.

Kata Kunci: Bahasa, Bahasa Melayu, Betawi, Dialek, Variasi Bahasa

PENDAHULUAN

Kebudayaan masyarakat di daerah Jakarta berkembang sebagai akibat sintesis antara unsur-unsur kebudayaan yang telah ada sebelumnya dengan unsur-unsur kebudayaan yang dibawa oleh kaum pendatang sehingga terbentuk corak kebudayaan yang berciri khas, dan yang kemudian dikenal dengan nama kebudayaan Betawi (Budiawan, et. al., 1979:11). Asal muasal kebudayaan Betawi tidak dapat dipastikan. Akan tetapi, kebudayaan tersebut tetap hidup karena adanya kelompok masyarakat yang mendukungnya, secara turun-temurun, yang dikenal dengan sebutan orang Betawi.

Pada pertengahan abad ke-18, bahasa kreol Portugis diganti dengan sebentuk bahasa Melayu sebagai

lingua franca penduduk Batavia. Sejak saat itu, bahasa Melayu digunakan oleh kelompok-kelompok bangsa

Indonesia di Jakarta untuk berkomunikasi dengan penduduk asing. Selanjutnya, pada pertengahan abad ke -19 keturunan macam-macam kelompok bangsa Indonesia bertransformasi menjadi suku baru, yaitu anak Betawi (Ikranegara, 1988: 2—3). Lalu, bahasa Melayu yang mereka gunakan mereka sebut dengan bahasa Betawi.

Condet merupakan bagian dari kota Jakarta. Tepatnya terletak di kawasan Kramat Jati, Jakarta Timur. Secara geografis, kawasan Condet dikelilingi oleh sarana-sarana modern yang ada di Jakarta. Di sebelah utara terletak kelurahan Cililitan dengan terminal bus serta pusat transmisi tenaga listrik untuk daerah Jakarta, Bogor, dan Tangerang. Di sebelah timur terletak kelurahan Kramat Jati dengan pasar induk dan pusat perbelanjaan (Lippo Plaza Kramat Jati). Di sebelah barat terletak sungai Ciliwung dan wilayah Pasar Minggu yang dilintasi oleh jalur kereta api listrik Jabodetabek. Di sebelah selatan, Condet dibatasi oleh jalan raya penghubung pasar Kramat Jati dengan Pasar Minggu. Selain itu, Wilayah Condet berdekatan dengan Lanud Halim Perdana Kusuma. Dengan demikian, meskipun Condet terletak di pinggiran Jakarta, tetap mendapatkan pengaruh kebudayaan modern yang terdapat di Jakarta.

Di era modern seperti saat ini, masyarakat Betawi semakin kehilangan identitasnya. Sudah jarang ditemukan orang yang dapat disebut sebagai “orang Betawi asli” di Jakarta. Hal tersebut menarik perhatian saya untuk meneliti lebih jauh tentang situasi kebahasaan di kawasan tersebut. Tingginya arus urbanisasi dan batas-batas wilayah yang didukung dengan sarana modern diduga dapat menyebabkan perubahan situasi kebahasaan yang ada dan dipakai di kawasan tersebut. Dengan demikian, rumusan masalah pada penelitian ini adalah apakah bahasa Betawi yang berkembang di era modern saat ini masih dapat berdiri sendiri sebagai bahasa Betawi atau sudah melesap menjadi bahasa Melayu yang merupakan asal bahasa Betawi dengan menggunakan pendekatan dialektologi.

TEORI & METODOLOGI

Pada penelitian ini metode kualitatif dan metode kuantitatif digunakan untuk melihat bagaimana situasi kebahasaan di suatu daerah. Metode kuantitatif dipakai dalam penghitungan dialektometri. Aspek kebahasaan di tiap titik pengamatan akan terlihat, kemudian digolongkan berdasarkan pada penghitungan dialektometri. Jean Seguy (1973) dalam “La Dialectometrie dans l’Atlas Linguistiques de la Gascogne ” memperkenalkan metode baru yang disebut dialektometri (Lauder, 2007: 95) sebagai cara lain untuk memperoleh gambaran mengenai data visual secara akurat. Menurut Revier dalam Ayatrohaedi (1979: 31)

(2)

dialektometri adalah ukuran secara statistik yang dipergunakan untuk melihat seberapa jauh perbedaan dan persaman yang terdapat di tempat-tempat yang diteliti dengan membandingkan sejumlah bahan yang terkumpul dari tempat yang diteliti tersebut. Rumus penghitungan dialektometri yang dipakai di dalam penelitian ini adalah rumus yang diajukan oleh Jean Seguy (Lauder, 2007: 96), yaitu:

S x 100 = d% n

s = jumlah beda dengan titik pengamatan lain n = jumlah peta yang diperbandingkan d = jarak kosakata dalam %

Jika hasil yang diperoleh dari penghitungan tersebut kurang dari 20%, dinyatakan tidak ada perbedaan. Jika hasil yang diperoleh antara 21—30%, dinyatakan ada perbedaan wicara. Jika hasil yang diperoleh antara 31—50%, dinyatakan ada perbedaan subdialek. Jika hasil yang diperoleh antara 51—80%, dinyatakan ada perbedaan dialek. Terakhir, jika hasil yang diperoleh lebih dari 80%, dinyatakan ada perbedaan bahasa di antara kedua titik pengamatan tersebut (Guiter dalam Lauder, 2007: 96). Namun, menurut Lauder dalam Ayatrohaedi (2002: 12), perbedaan hasil persentase perhitungan dialektometri adalah sebagai berikut:

0%—30% dianggap tidak memiliki perbedaan

31%—40% dianggap memiliki perbedaan wicara (parler)

41%—50% dianggap memiliki perbedaan subdialek (sous dialecte) 51%—70% dianggap memiliki perbedaan dialek (dialecte)

di atas 70% dianggap memiliki perbedaan bahasa (langue)

Secara umum, para peneliti Dialektologi menggunakan konsep yang diajukan Guiter untuk membedakan hasil persentase perhitungan dialektometri. Namun, dengan pertimbangan bahwa situasi kebahasaan di Wilayah Condet cukup rumit, penulis menggunakan konsep Lauder. Sementara itu, kosakata yang digunakan dan diperbandingkan menggunakan 200 kosakata dasar Morish Swadesh (Lauder, 2007: 138). Kosakata dasar ini digunakan karena kosakata tersebut dapat dipastikan ada di dalam setiap bahasa. Lalu, metode kualitatif digunakan dalam interpretasi data yang deskriptif dari penghitungan dialektometri. TEMUAN & PEMBAHASAN

Setelah melakukan pengambilan data di seluruh RW di Wilayah Condet sebagai titik pengamatan dengan mengambil satu informan di setiap RW-nya, dapat diketahui bahwa sebagian besar perbandingan antara titik pengamatan yang satu dengan lainnya tidak terdapat perbedaan bahasa. Hal ini berdasarkan pada penghitungan dialektometri dalam Kosakata Dasar Morish Swadesh yang menunjukkan persentase tertinggi senilai 14,5%, yaitu di antara titik pengamatan (2) Kelurahan Kampung Tengah RW 1 dan (3) Kelurahan Kampung Tengah RW 6 serta (17) Kelurahan Balekambang RW 4 dan (21) Kelurahan Balekambang RW 1. Berdasarkan formula Lauder dan setelah diidentifikasi, bahasa di Wilayah Condet tidak terdapat perbedaan. Bahasa tersebut adalah bahasa Melayu dialek Jakarta subdialek Pinggiran.

Menurut Muhadjir (2000: 71), bahasa Betawi terbagi ke dalam dua bagian, yaitu dialek Jakarta subdialek Tengahan dan dialek Jakarta subdialek Pinggiran. Di dalam bahasa Melayu dialek Jakarta subdialek Pinggiran terdapat beberapa pengaruh dari bahasa daerah lain, seperti Jawa dan Sunda. Transmigrasi merupakan salah satu pengaruh terbesar adanya bahasa dari daerah lain.

Ciri terbesar dari kedua subdialek yang ada adalah bahwa subdialek Tengahan menggunakan vokal akhir ɛ, sedangkan subdialek Pinggiran menggunakan vokal akhir a. Selain itu, konsonan h diucapkan sebagaimana pengucapannya di dalam bahasa Indonesia. Pada subdialek Tengahan, /muntah/ diucapkan sebagai /muntɛ/. Akan tetapi, pada subdialek Pinggiran kata-kata tersebut diucapkan seperti dalam bahasa Indonesia, yaitu, /muntah/.

Selanjutnya, ciri lain terdapat pada ucapan konsonan bersuara, b, d, dan g. Pada subdialek Tengahan pengucapannya menjadi tidak bersuara, sedangkan pada dialek Pinggiran diucapkan sebagai konsonan bersuara. Munculnya kata ora ‘tidak’ yang merupakan bahasa Jawa juga merupakan salah satu ciri subdialek Pinggiran yang tidak terdapat di wilayah subdialek Tengahan.

Adapun hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bahasa yang terdapat di Wilayah Condet mempunyai ciri-ciri fonetis subdialek Pinggiran seperti yang dikatakan oleh Muhadjir dalam Bahasa Betawi:

Sejarah dan Perkembangnya. Berikut ini adalah tabel-tabel yang berisi contoh ciri-ciri fonetis subdialek

(3)

NO. PETA KOSAKATA BERIAN NO. PETA KOSAKATA BERIAN

8 APA [apa]

90 IA [di

ya]

13 AYAH [baba] [tu di

ya]

[aba]

105 KAMI, KITA [kita]

14 BAGAIMANA

[gimanah] [guwe]

[gimana] 109 KATA (BER) [ŋata] [bəgimana]

140 MERAH [merah]

[pəgimana] [mera]

23 BEBERAPA [bəbərapa]

144 MUNTAH [munta]

24 BELAH (ME) [bəlah] [muntah]

[bəla]

166 SAYA [saya]

51 DARAH [darah] [guwa]

56 DENGAN [sama] 170 SEMUA [səmuwa]

[ama] 172 SIAPA [siyapa]

59 DI MANA [di mana]

187 TERTAWA [tawa]

[kətawa]

Pada penelitian yang dilakukan, terdapat pula beberapa kata yang bercirikan subdialek Tengahan, seperti /guwe/. Namun, daerah pakai dari kosakata tersebut tidak banyak, yakni 1-2 buah daerah pakai saja.

Bahasa Melayu dialek Jakarta subdialek Pinggiran seringkali disebut sebagai Betawi Ora. Hal tersebut terjadi karena kata ora ‘tidak’ yang berasal dari Jawa seringkali muncul dalam pemakaiannya sebagai pengganti kata kagaɂ atau əŋgaɂ. Ciri tersebut tidak muncul di dalam subdialek Tengahan.

Berdasarkan hasil penelitian, masyarakat bahasa Wilayah Condet menggunakan əŋgaɂ untuk arti ‘tidak’. Kosakata ora tidak ditemukan di seluruh Wilayah Condet. Hal tersebut juga terjadi pada penelitian Pratiwi di kecamatan Cipayung pada tahun 1996. Kosakata ora sebagai penanda sebutan Betawi Ora tidak ditemukan di kecamatan Cipayung dalam penelitian Pratiwi (1996) dan juga di Wilayah Condet dalam penelitian yang saya lakukan. Hasil penelitian ini dan hasil penelitian Pratiwi yang menandakan tidak ditemukannya kosakata ora sebagai salah satu ciri Dialek Pinggiran memperkuat anggapan bahwa Dialek Pinggiran atau Betawi Pinggiran bukan merupakan Betawi Ora. Oleh karena itu, muncul anggapan ba hwa bahasa Betawi masa kini terbagi menjadi tiga bagian, yaitu Betawi Tengahan, Betawi Pinggiran, dan Betawi Ora.

Namun, dari identifikasi yang dilakukan ditemukan juga hasil yang lain. Saya menemukan adanya penurunan pemakaian bahasa Betawi di Wilayah Condet. Bahasa Indonesia lebih banyak dipakai dalam kegiatan sehari-hari. Hal tersebut dibuktikan dengan sedikitnya penemuan kosakata khas Betawi di Wilayah Condet. Saat melakukan wawancara dengan penduduk setempat, salah satu informan menginformasikan bahwa bahasa Betawi yang kental tidak selalu mereka pakai dalam kegiatan sehari-hari. Hal tersebut berdampak pada anak, cucu, dan keturunan mereka. Bahasa Betawi, yang pada khususnya menjadi objek penelitian ini, tidak diturunkan kepada anak-cucu mereka. Di samping itu, banyak penutur asli yang sudah meninggal. Hal tersebut tentu memengaruhi penurunan dalam penggunaan bahasa Betawi di Wilayah Condet. Berikut merupakan tabel yang berisi kosakata khas Betawi yang masih ditemukan di Wilayah Condet.

NO. PETA KOSAKATA BERIAN NO. PETA KOSAKATA BERIAN

5 anak [bocah] 149 panas [ɲələkəb]

(4)

29 berenang

[ŋɔyɔr] 198 tumpul [pugʊl]

[ŋobak] 206 panggilan untuk gadis kecil [ənɔɂ]

63 dingin [aɲəp]

220 adik perempuan ayah/ibu [ənci]

74 gemuk, lemak [gəmbor] [ənciŋ]

100 jatuh [ŋusrʊk] 224 anak dari adiknya ayah/ibu [misan] [ŋasrʊk] 229 istri/suami dari adik [əmpɔɂ]

115 kotor [ŋərəs] 245 sendok [tesi]

126 lempar [bagel]

KESIMPULAN & SARAN

Berdasarakan penghitungan dialektometri Kosakata Dasar Morish Swadesh ditunjukkan persentase tertinggi senilai 14,5%, yang berarti tidak terdapat perbedaan bahasa. Bahasa yang dipakai di Wilayah Condet hanya satu, yaitu Bahasa Melayu dialek Jakarta subdialek Pinggiran. Tidak ditemukannya kosakata

ora pada penelitian ini sebagai salah satu ciri Dialek Pinggiran memperkuat anggapan bahwa Dialek

Pinggiran atau Betawi Pinggiran bukan merupakan Betawi Ora. Oleh karena itu, muncul anggapan bahwa bahasa Betawi masa kini terbagi menjadi tiga bagian, yaitu Betawi Tengahan, Betawi Pinggiran, dan Betawi Ora.

Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan para informan dikatakan bahwa mereka tidak menurunkan bahasa Betawi yang khas pada keturunan mereka. Bahasa Indonesia lebih banyak mereka gunakan dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut merupakan alasan kuat sedikitnya ditemukan bahasa khas Betawi di Wilayah Condet.

Setelah dilakukan identifikasi, dalam penelitian ini ditemukan adanya penurunan penggunaan bahasa Betawi di Wilayah Condet. Betawi yang disebut sebagai bahasa saat ini hanya merupakan sebuah dialek. Bahasa yang dipakai oleh orang Betawi yang berada di Wilayah Condet adalah bahasa Indonesia. Secara linguistis bahasa Betawi merupakan variasi dari bahasa Melayu. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa bahasa Betawi yang berkembang di era modern saat ini sudah tidak berdiri sendiri atau tidak dapat lagi dikatakan sebagai sebuah bahasa. Betawi merupakan dialek dari bahasa Melayu.

Berdasarkan kesimpulan yang ada, penulis berpendapat bahwa perlu adanya penelitian sosiolinguistik mengenai pemertahanan bahasa di Wilayah Condet. Hasil dari penelitian tersebut akan dapat digunakan untuk menentukan strategi yang tepat supaya pemakai bahasa Betawi di Wilayah Condet mengajarkan bahasa Betawi kepada keturunannya sehingga bahasa Betawi terus ada hingga generasi masa kini. Selain itu, perlu adanya kajian mengenai muatan lokal yang ada di Jakarta. Hal ini disebabkan muatan lokal di sekolah-sekolah di Jakarta merupakan Kesenian Jakarta. Bahasa Betawi dianggap sebagai bahasa daerah khas Jakarta, namun tidak digunakan sebagai muatan lokal di Jakarta. Akan tetapi, di daerah lain menggunakan bahasa daerah sebagai muatan lokal, contohnya Jawa Barat yang menggunakan bahasa Sunda serta Jawa Timur dan Jawa Tengah yang menggunakan bahasa Jawa.

DAFTAR PUSTAKA

Ayatrohaedi. Dialektologi: Sebuah Pengantar. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud, 1979.

. Pedoman Penelitian Dialektologi. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2002.

Budiawan, et. al.. Folklor Betawi. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1979.

Chambers, J.K, dan Peter Trudgill. Dialectology: Second Edition. Cambridge: Cambridge University Press, 2007.

Campbell, Lyle. Historical Linguistic: An Introduction. Cambridge: The MIT Press, 1998. Ikranagara, Kay. Tata Bahasa Melayu Betawi. Jakarta: Balai Pustaka, 1988.

Larasati, Indra Siswarini. “Bahasa dan Adat di Condet: Suatu Studi mengenai Masyarakat Transisi”. Skripsi tidak diterbitkan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1983.

(5)

. “Pemetaan dan Distribusi Bahasa-bahasa di Tanggerang”. Disertasi tidak diterbitkan di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok, 1990.

Muhadjir. Bahasa Betawi: Sejarah dan Perkembangannya . Jakarta: Puslitbang Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB-LIPI) dan The Ford Foundation, 1999.

Muhadjir. Fungsi dan Kedudukan Dialek Jakarta. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1979. Pratiwi, Endang Hesti. “Bahasa Betawi di Cipayung DKI Jakarta: Sebuah Pemetaan Bahasa dan Analisis Kebahasaan”. Skripsi tidak diterbitkan di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1996.

Wijaya, Hussein. Seni Budaya Betawi. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1976.

RIWAYAT HIDUP/CURRICULUM VITAE Nama : Diar Luthfi Khairina

Institusi : Program Studi Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas

Indonesia, Depok 16424

Pendidikan/Education :

 S1 Program Studi Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia   Minat Penelitian :  Dialektologi  Sosiolinguistik 

Referensi

Dokumen terkait

Kerusakan pada fraktur Le Fort akibat arah trauma dari anteroposterior bawah dapat mengenai nasomaksila, bagian bawah lamina pterigoid, anterolateral maksila, palatum durum,

(3) Setiap kapal dengan tonase kotor 400 atau lebih, dan setiap kapal yang disertifikasi untuk mengangkut 15 orang atau lebih sedang berlayar menuju ke pelabuhan

Dengan memanjatkan puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, karena hanya atas kehendak-Nya, skripsi yang berjudul MANAJEMEN RADIO

(3) Perangkat Desa yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf c diputus bebas atau tidak terbukti bersalah oleh

Secara umum dilihat dari nilai absorbsinya kelima sampel pada penelitian ini cocok digunakan sebagai material penyerap gelombang mikro.Namun, pengaplikasiannya

beragama yang terdiri dari pemuka agama dan tokoh masyarakat. Dalam mempertahankan toleransi umat beragama FKUB Kota Batam juga. mengalami beberapa hambatan-hambatan seperti

sehingga usaha kecil pun dapat memakainya. Selama ini ketika membicarakan dan menunjukkan suatu lokasi dimana pusat kuliner berada, seringkali keterangan yang

Berdasarkan penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa paparan uap bensin pada penjual bensin eceran dapat meningkatkan frekuensi pembentukan mikronukleus mukosa bukal