• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II MUSIK TRADISIONAL MASYARAKAT KARO. (meliputi Tanah Karo Simalem dan sekitarnya), Kabupaten Langkat, Kabupaten

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II MUSIK TRADISIONAL MASYARAKAT KARO. (meliputi Tanah Karo Simalem dan sekitarnya), Kabupaten Langkat, Kabupaten"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

MUSIK TRADISIONAL MASYARAKAT KARO

2.1 Gambaran Umum Wilayah Karo

Suku Karo/Batak Karo banyak terdapat didaerah Kabupaten Karo (meliputi Tanah Karo Simalem dan sekitarnya), Kabupaten Langkat, Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Serdang Bedagai, Kabupaten Simalungun, dan Kabupaten Dairi. Selain itu suku Karo juga banyak menetap dibeberapa wilayah Kota Medan, seperti Deli Tua, Padang Bulan, Sunggal, dan lain-lain. Masyarakat suku Karo adalah salah satu sub etnis suku yang telah lama mendiami beberapa wilayah sebagai tempat bermukim di Sumatera Utara. Karo adalah salah satu dari beberapa etnis yang terdapat di daerah Propinsi Sumatera Utara. Karo juga merupakan sebutan untuk satu wilayah administratif Kabupaten yaitu Kabupaten Karo yang wilayahnya meliputi seluruh dataran tinggi Karo. Secara administratif pemerintahan masyarakat Karo berada di dataran tinggi Kabupaten Karo dengan ibukota Kabanjahe.

(2)

Gambaran tentang daerah domisili masyarakat Karo dapat pula dilihat seperti apa yang digambarkan oleh J.H. Neuman dalam buku lentera kehidupan orang Karo dalam berbudaya (Sarjani Tarigan, 2009 : 36), yaitu:

“Wilayah yang didiami oleh suku Karo dibatasi sebelah timur oleh pinggir jalan yang memisahkan dataran tinggi dari Serdang. Di sebelah Selatan kira-kira dibatasi oleh sungai Biang (yang diberi nama sungai Wampu, apabila memasuki Langkat), disebelah Barat dibatasi oleh gunung Sinabung dan disebelah Utara wilayah itu meluas sampai kedataran rendah Deli dan Serdang.”

Gambar 2.2 : Peta Provinsi Sumatera Utara (Sumber : Internet)

Dari gambaran luas daerahnya diatas, domisili masyarakat Karo ini memang tidak dapat dibantah, bahwa ada beberapa kelompok yang berdomisili di daerah pantai dan hidup berdampingan dengan penduduk Melayu, dan secara bertahap kedua suku tersebut saling berbaur dan berakulturasi antara sesamanya. Dengan demikian, orang-orang Karo yang tersebar dan berakulturasi dengan suku-suku lain tersebut, mengakibatkan adanya perbedaan julukan atas dasar

(3)

wilayah komusitasnya seperti : Karo Kenjulu, Karo Teluh Dereng, Karo Singalor Lau, Karo Baluren, Karo Langkat, Karo Timur dan Karo Dusun. Dalam pergaulan kehidupan bermasyarakat sehari-hari, sering terjadi kekeliruan bahwa suku Karo itu diidentikkan hanya kepada orang yang tinggal dan berasal dari Kabupaten Karo padahal suku Karo itu wilayah pemukimannya jauh lebih luas dari pada Kabupaten Karo itu sendiri ( Sarjani Tarigan 2009:255 ).

2.2 Musik Tradisional Masyarakat Karo

Musik tradisional adalah musik yang hidup di masyarakat secara turun temurun, dipertahankan sebagai sarana hiburan maupun sarana ritual. Tiga komponen yang saling memengaruhi diantaranya adalah Seniman, musik itu sendiri dan masyarakat penikmatnya. Secara umum, proses belajar musik tradisional merupakan oral tradition (tradisi lisan). Tradisi lisan adalah sebuah tradisi yang proses belajarnya dengan cara melihat, mendengar, menghapal , dan meniru. Masyarakat Karo memiliki konsep tersendiri tentang musik. Musik dalam masyarakat Karo yaitu; musik instrumental, vokal, dan gabungan keduanya. Dalam melakukan aktifitas bermusik masyarakat Karo memiliki dua konsep yaitu ergendang (bermain musik) dan rende (bernyanyi). Musik tradisional Karo yang akan dibahas penulis disini adalah adalah ensambel tradisional Karo, instrumen musik tradisional Karo non-ensambel, musik vokal tradisional Karo, dan instrumen keyboard dalam kebudayaan musik tradisional Karo. Untuk lebih jelas tentang musik pada masyarakat Karo tersebut, penulis akan memaparkannya sebagai berikut.

(4)

2.2.1 Ensambel musik tradisional Karo

Secara umum, proses belajar alat musik tradisional Karo yaitu dengan cara oral tradition (tradisi lisan), yang proses belajarnya dengan cara melihat, mendengar, menghapal, dan meniru3

Gendang lima sendalanen merupakan salah satu ensambel yang terdapat pada masyarakat Karo. Gendang lima sendalanen terdiri dari sarune (klasifikasi aerofon) sebagai pembawa melodi, gendang singanaki dan gendang singindungi (klasifikasi membranofon) sebagai instrumen ritmis, serta gung dan penganak (klasifikasi idiofon) sebagai pengatur tempo. Kelima instrumen tersebut

. Alat musik tradisional Karo pada umumnya digunakan untuk mengiringi upacara adat, upacara ritual dan untuk hiburan. Musik tradisional Karo merupakan hasil/produk dari proses kebudayaan Karo itu sendiri. Oleh karena itu, musik tradisional Karo berkaitan erat dengan elemen-elemen kebudayaan lainnya seperti; adat istiadat Karo, sistem kepercayaan tradisional Karo, sistem mata pencaharian masyarakat Karo, dan juga menjadi hiburan bagi masyarakat Karo (Tarigan, 2004:119). Dalam penyebutan ensembel musiknya masyarakat Karo menggunakan kata ‘gendang’. Ensembel musik Karo jika diklasifikasikan secara umum dan yang paling sering digunakan pada konteks upacara adat adalah gendang lima sedalanen dan gendang telu sedalanen. Penjelasan mengenai ensembel musik tradisional Karo ini akan dijelaskan berikut ini.

(5)

dimainkan secara bersama-sama sebagai sebuah ensambel. Orang yang memainkan kelima instrumen musik ini dalam gendang lima sendalenan disebut dengan nama “Sierjabaten” dan masing-masing memiliki sebutan sesuai dengan alat musik atau instrumen yang dimainkan. Untuk pemain sarune disebut sebagai penarune, pemain gendang Singanaki dan pemain gendang Singindungi disebut sebagai penggual, pemain gung disebut sebagai simalu gung dan pemain penganak disebut sebagai simalu penganak.

Gambar 2.3 : Posisi sierjabaten saat memainkan alat musik gendang lima sendalanen (Sumber : dokumentasi penulis)

Di kalangan musisi tradisional Karo istilah Gendang Sarune lebih sering digunakan, sementara itu di berbagai tulisan tentang kebudayaan musik Karo lebih banyak menggunakan istilah Gendang Lima Sendalanen. Untuk konsistensi penulisan, dalam tulisan ini penulis menggunakan istilah Gendang Lima Sendalanen. Ini tidak berarti istilah Gendang Lima Sendalanen lebih mewakili

(6)

dari pada Gendang Sarune karena memang kedua istilah tesebut selalu digunakan dalam masyarakat Karo. Sarune merupakan alat musik tiup yang memiliki lidah ganda (double reed), dan tabung alat musik ini berbentuk konis (conical) mirip dengan alat musik obo (oboe). Instrumen ini terdiri dari lima bagian alat yang dapat dipisah-pisahkan serta terbuat dari bahan yang berbeda pula yaitu: (a) anak-anak sarune, (b) tongkeh, (c) ampang-ampang, (d) batang sarune, dan (e) gundal. Gendang singanaki dan Gendang singindungi (double sided conical drums) merupakan dua alat musik pukul yang terbuat dari kayu pohon nangka. Pada kedua sisi alat musik yang berbentuk konis tersebut, terdapat membrane yang terbuat dari kulit binatang. Sisi depan/atas atau bagian yang dipukul disebut babah gendang, sisi belakang/bawah (tidak dipukul) disebut pantil gendang. Kedua alat musik ini memiliki ukuran yang kecil, panjangnya sekitar 44 cm, dengan diameter babah gendangnya sekitar 5 cm, sedangkan diameter pantil gendang sekitar 4 cm.

Penganak dan gung tergolong dalam jenis suspended idiophone/gong berpencu yang memiliki persamaan dari segi konstruksi bentuk, yakni sama seperti gong yang umumnya terdapat pada kebudayaan musik nusantara. Perbedaan keduanya (Penganak dan gung) adalah dari segi ukuran atau lebar diameternya. Gung memiliki ukuran yang besar (diameter 68,5 cm), dan penganak memiliki ukuran yang kecil (diameter 16 cm). Gung dan Penganak ini terbuat dari kuningan, sedangkan palu-palu (pemukulnya) terbuat dari kayu dengan benda lunak yang sengaja dibuat di ujungnya untuk menghasilkan suara gung yang lebih enak didengar (palu-palu gung). Simalu gung dan simalu

(7)

penganak juga bermain dalam posisi duduk, sementara itu kedua alat musiknya senantiasa digantung dengan seutas tali pada suatu tempat yang telah disediakan secara khusus. Dalam konteks upacara adat sierjabaten atau penggual yang memainkan gendang lima sedalanen/telu sedalanen diberikan tempat yang khusus dengan beralaskan amak mbentar (tikar anyaman berwana putih). Walaupun sekarang gendang lima sedalanen/telu sedalanen sudah digantikan dengan alat elektronik modern yaitu gendang kibod, perlakuan terhadap sierjabaten tetap sama. Dalam hal memberi upah, dulu sierjabaten atau penggual diberi beras, garam, kelapa, dan ayam dalam mengiringi suatu acara adat, namun sekarang sierjabaten atau penggual dibayar dengan uang sebagai ganti upah untuk mengiringi jalannya acara adat.

2.2.1.2 Gendang Telu Sedalanen

Sama halnya dengan gendang lima sendalenan, secara harafiah gendang telu sendalenan memiliki pengertian “tiga alat musik yang sejalan atau dimainkan bersamaan.” Ketiga alat musik tersebut adalah kulcapi/ balobat, keteng-keteng, dan mangkuk mbentar. Dalam ensambel ini ada dua instrumen yang bisa digunakan sebagai pembawa melodi yaitu kulcapi dan balobat. Sedangkan mangkuk dan keteng-keteng merupakan alat musik pengiring yang menghasilkan pola ritem-ritem yang bersifat konstan dan repetitif. Pemakaian kulcapi dan balobat sebagai pembawa melodi dilakukan secara terpisah dalam upacara yang berbeda tergantung kebutuhan. Prinsipnya sebenarnya sama hanya saja instrumen pembawa melodinya saja yang berbeda. Jika kulcapi digunakan sebagai pembawa

(8)

melodi maka disebut sebagai gendang kulcapi, dan jika menggunakan balobat sebagai pembawa melodi maka disebut sebagai gendang balobat.

Gambar 2.4 : Instrumen Gendang Telu Sendalanen ( Sumber : Dokumentasi Penulis)

2.2.2 Instrumen Musik Tradisional Karo Non-ansambel

Selain dari ensambel di atas, masih banyak instrumen Karo nonensambel yang dapat dimainkan secara tunggal tanpa diiringi alat musik lainnya, namun hanya beberapa yang masih dapat ditemukan. Adapun instrumen tersebut antara lain:

a. Kulcapi

Sesuai dengan objek penelitian utama penulis, bahwa Kulcapi adalah alat musik tradisional Karo yang keberadaannya masih ada hingga saat ini. Kulcapi berbentuk lute yang terdiri dari dua buah senar (two-strenged fretted-necked lute). Selain dapat digunakan secara ensambel, instrumen kulcapi juga dapat dimainkan secara tunggal. Kulcapi adalah alat musik petik berbentuk lute yang terdiri dua

(9)

buah senar. Senarnya terbuat dari metal namun dulunya terbuat dari akar pohon aren atau enau. Orang yang memainkan Kulcapi disebut dengan perkulcapi. Untuk memainkan kulcapi tentunya mempunyai teknik agar si pemain kulcapi bisa bermain dengan maksimal dan menghasilkan melodi yang sesuai dengan ciri khas alat musik tersebut. Pendeskripsian teknik permainan kulcapi tersebut akan dijelaskan penulis pada bab berikutnya. Kulcapi Karo memiliki bentuk yang hampir sama dengan alat musik sejenis yang dimiliki oleh suku Batak lain, seperti: Hasapi pada masyarakat Toba, Kucapi pada masyarakat Pak-Pak dan Husapi pada masyarakat Simalungun.

b. Balobat

Balobat merupakan alat musik tiup yang terbuat dari bambu dan dapat dimainkan secara ansambel dan secara tunggal. Balobat ini di tiup biasanya pada malam hari dan juga ditiup oleh penggembala sapi di padang rumput.

c. Murbab

Murbab merupakan satu-satunya alat musik gesek yang terdapat dalam kesenian masyarakat Karo. Instrumen ini mirip dengan instrumen rebab yang terdapat dalam musik Jawa. Alat musik murbab atau murdab merupakan alat musik gesek menyerupai rebab pada alat musik tradisional Jawa atau biola pada musik klasik barat. Murbab terdiri dari dua senar, sedangakan resonatornya terbuat dari tempurung kelapa. Alat musik murbab dahulu dipergunakan sebagai alat musik solo dan dimainkan dihadapan beberapa orang sebagai hiburan. Alat

(10)

musik ini kemungkinan besar telah hilang dari kebudayaan musik Karo. Namun sekarang ini tidak dapat dapat ditemukan lagi dalam kebudayaan masyarakat Karo.

d. Embal-ambal

Embal-embal merupakan alat musik yang biasanya dapat ditemukan di sawah atau pada saat ladang padi sedang menguning. Instrumen ini digunakan atau dimainkan sebagai alat musik hiburan pribadi di ladang ketika menjaga padi dari gangguan burung. Embal-embal ini terbuat dari satu ruas bambu yang dibuat lubang-lubang penghasil nada. Sebagai alat musik tiup, lidah (reed) embal-embal dibuat dari badan alat musik itu sendiri.

e. Surdam

Surdam merupakan alat musik tiup yang terbuat dari bambu. Surdam terbagi menjadi 3 jenis, yaitu surdam rumamis, surdam sitangko kuda dan surdam puntung. Alat musik surdam biasanya dimainkan pada malam hari ketika suasana sepi.

Surdam puntung merupakan surdam yang memiliki potongan bagian ujung bambu yang tepat mengenai bagian ruas bambu, sehingga dapat dilihat pada lubang tiup tepat pada bagian ruas bambu tersebut. Adapun lubang surdam ini memiliki enam buah lubang yaitu lima lubang terdapat di bagian tengah bambu surdam dan satu buah lubang dibagian bawah sisi bambu surdam. Adapun surdam ini biasanya digunakan untuk memainkan segala jenis lagu-lagu yang sedih

(11)

maupun gembira. Surdam ini biasanya dipakai oleh permakan yang menggembalakan ternaknya.

Surdam tangko kuda merupakan surdam yang sama seperti surdam puntung namun ukuran surdam ini jauh lebih panjang dari surdam tersebut yaitu satu meter. Lubang surdam ini memiliki enam buah lubang yaitu dua buah lubang disis atas bambu surdam, tiga buah lubang dibagian sisi tengah bambu surdam, dan satu buah lubang dibagian sisi bawah bambu surdam. Surdam ini juga biasanya dipakai untuk memainkan lagu-lagu yang sedih.

Surdam rumamis merupakan surdam yang sama seperti surdam permakan, namun surdam ini memiliki enam buah lubang yaitu empat buah lubang dibagian sisi tengah bambu surdam dan dua buah lubang dibagian sisi bawah bambu surdam dengan ukuran lubang yang berbeda antara kedua lubang tersebut. Adapun surdam ini biasanya dimainkan untuk lagu yang memiliki suasana sedih (tangis-tangis).

Seiring dengan perkembangannya, dari segi proses pembuatannya, alat musik ini kemudian dibuat dengan menggunakan ritual dan berbagai persyaratan. Dipercaya bahwa dengan menggunakan ritual tersebut, ketika ditiup alat musik surdam ini dapat memiliki kekuatan magis, seperti untuk memikat hati perempuan, ataupun supaya orang yang mendengarkan alunan bunyi surdam itu dapat melepaskan rasa lelahnya. Surdam dulunya hanya memainkan lagu yang bersifat sedih saja (lagu pada masyarakat karo pada umumnya) namun seiring dengan perkembangannya pada saat ini surdam bisa memainkan lagu yang bersifat riang. Pengaruh yang terjadi dari dalam maupun luar masyarakat Karo

(12)

juga menentukan perkembangan alat musik tradisi ini setelah melihat pengalih fungsian yang terjadi atas alat musik ini.

f. Empi-empi

Empi-empi merupakan alat musik yang biasanya dapat ditemukan di sawah atau pada saat ladang padi sedang menguning. Instrumen ini digunakan atau dimainkan sebagai alat musik hiburan pribadi di ladang ketika menjaga padi dari gangguan burung. Empi-empi (aerophone, multiple reeds) terbuat dari batang padi yang telah mulai menguning. Lidah (reed) dari empi-empi dibuat dari batang padi itu sendiri, dengan cara memecahkan sebagian kecil dari salah satu ujung batang padi yang memiliki ruas. Akibat terpecahnya ruas batang padi menjadi beberapa bagian (tidak terpisah) maka ketika ditiup bagian yang terpecah tersebut akan menimbulkan bunyi. Sebagian yang tidak terpecah kemudian dibuat lobang lobang untuk menghasilkan nada yang berbeda. Biasanya empi-empi mempunyai empat buah lobang nada. Untuk saat sekarang, empi empi sudah semakin jarang ditemukan/dimainkan oleh masyarakat Karo, khususnya orang Karo yang berada di daerah pedesaan.

2.3 Musik Vokal

Dalam berkesenian, aktifitas bernyanyi pada masyarakat Karo disebut rende dan penyanyi berarti perende-ende. Orang yang pandai bernyanyi serta menari dalam satu konteks upacara seperti gendang guro-guro aron disebut sebagai perkolong kolong. Selain memiliki kemampuan dalam menyanyikan

(13)

lagu-lagu Karo yang bertemakan percintaan atau muda mudi, perkolong-kolong juga mampu menyanyikan lagu-lagu yang bertemakan pemasu-masun (nasihat-nasihat) yang secara teks atau liriknya sangat bergantung kepada konteks suatu upacara adat. Artinya melodi lagu pemasu-masun memang telah diketahui atau dihapal, namun lirik dari melodi tersebut harus dibuat (dinyanyikan) sendiri oleh Perkolong-kolong tersebut pada saat bernyanyi sesuai dengan konteks upacara yang sedang berlangsung pada saat itu. Kebudayaan musik Karo juga mengenal beberapa jenis seni vokal lainnya yaitu: ende-enden (nyanyian muda-mudi), katoneng-katoneng (nyanyian yang berisikan pengharapan), didong dong (nyanyian yang berisikan nasehat-nasehat), mangmang (nyanyian yang berisikan doa-doa), tangis-tangis (nyanyian ungkapan keluh kesah) dan masih banyak lagi. Dalam acara adat dan hiburan penyajian seni vokal katoneng-katoneng dan Ende-enden dilakukan oleh seorang penyanyi tradisional Karo yaitu perkolongkolong. Sementara nyanyian mangmang dilakukan oleh seorang guru sibaso (dukun) di dalam upacara yang berkaitan dengan upacara ritual. Musik vokal dalam kebudayaan masyarakat Karo dapat ditemukan dalam berbagai upacara adat, ritual maupun hiburan.

2.4 Penggunaan ensambel musik tradisional Karo

Setiap etnis yang ada di Sumatera Utara, baik dari kelompok etnis Batak maupun etnis lainnya pastinya memiliki kebudayaan dan adat istiadat yang masing-masing memiliki keunikan tersendiri dan setiap kebudayaan tersebut tidak dapat dibandingkan mana yang lebih baik. Demikian juga halnya dengan etnis

(14)

Karo, masyarakat Karo memiliki kebudayaan yang diwariskan secara turun-temurun oleh leluhurnya, baik secara lisan maupun tulisan.

Penggunaan ensambel musik tradisional dalam upacara-upacara adat masyarakat Karo akan dijelaskan berdasarkan konteks upacara masyarakat Karo secara umum, yaitu upacara perkawinan, upacara kematian, upacara erpangir ku lau, mengket rumah, dan gendang guro-guro aron.

2.4.1 Upacara adat perkawinan (Kerja nereh-empo)

Dalam upacara adat perkawinan musik memiliki peran yang cukup penting. Pada upacara adat perkawinan (kerja nereh-empo) yang menyertakan gendang lima sedalanen disebut kerja adat erkata gendang yang artinya kerja adat disertai musik tradisional (Tarigan, 2004:120). Kehadiran gendang (musik) dalam pesta adat perkawinan disajikan untuk mengiringi acara rende (menyanyi), landek (menari), dan juga penyampaian pesan atau pedah-pedah. Ensambel musik yang awalnya digunakan adalah gendang lima sedalanen. Pada upacara adat perkawinan, gendang lima sendalanen dimainkan untuk mengiringi sesi aturen menari/telah-telah (acara menari/memberikan wejangan dan ucapan selamat) yang diikuti dengan acara penyerahan luah (kado). Penyerahan luah (kado) diserahkan oleh kalimbubu sitelu sada dalanen sesuai dengan yang telah dimusyawarahkan bersama. Luah (kado) ini diserahkan kepada kedua mempelai yang terdiri dari: lampu menyala, tempat memasak nasi dan pengaduknya, piring makan, beras dan telur ayam, ayam yang masih hidup, serta tikar dan bantal (Prints, 2004:117-118).

(15)

2.4.2 Upacara kematian

Cawir metua merupakan upacara kematian yang biasanya menghadirkan gendang (musik) dalam pelaksanaan upacaranya. Dalam adat cawir metua biasanya gendang nya adalah “nangkih gendang ”, yang artinya semalam sebelum penguburan sudah ada iringan musik tradisional Karo. Dalam upacara kematian masyarakat Karo ada beberapa kegiatan yang diiringi oleh gendang lima sedalanen yaitu rende, landek, dan juga ngerana yang telah diatur sesuai dengan musyawarah. Di upacara kematian (ritual penguburan jenajah) orang Karo yang menyertakan gendang lima sedalanen terdapat istilah yang berkaitan langsung dengan kehadiran musik dalam upacaranya, yaitu :gendang mentas, erkata gendang , dan nangkih gendang . Gendang mentas merupakan pemakaian musik tradisional yang paling singkat yang dilaksanakan pada siang hari hingga sore hari pada acara penguburan. Nangkih gendang dilaksanakan pada malam sebelum penguburan jenasah musik tradisional Karo telah dihadirkan dan biasanya sampai pada malam setelah penguburan jenasah itu selesai dilakukan, dan erkata gendang dilaksanakan pada saat upacara adat penguburan hingga selesai (Tarigan, 2004:120).

2.4.3 Upacara erpangir ku lau

Erpangir ku lau berasal dari kata “pangir” yang berarti “langir” dan “ku lau” yang berarti “ke air”. Jadi secara harafiah erpangir ku lau adalah berlangir ke air. Erpangir ku lau merupakan upacara ritual yang bertujuan untuk membersihkan diri agar terhindar dari penyakit, bahaya ataupun roh-roh jahat

(16)

danagar cita-cita atau keinginan tercapai. Dalam upacara erpangir ku lau kehadiran musik memiliki peran penting dalam berlangsungnya upacara ini. Adapun ensambel yang digunakan untuk mengiringi upacara erpangir ku lau adalah gendang lima sedalanen dan gendang telu sedalanen. Gendang lima sendalanen yang dimainkan pada upacara yang bersifat ritual berguna untuk mengubah suasana upacara menjadi sakral dan sedikit magis, dan sekaligus juga akan mempengaruhi (alam bawah sadar) guru sibaso menjadi kesurupan (trance) (Tarigan, 2004:121).

2.4.4 Mengket rumah

Upacara memasuki atau meresmikan rumah baru dalam tradisi masyarakat Karo disebut mengket rumah. Upacara ini dilaksanakan untuk mengungkapkan rasa syukur dan gembira suatu keluarga karena rumah yang di bangun telah selesai dan siap untuk ditempati. Dalam pelaksanaan mengket rumah ensambel musik yang digunakan pada awalnya adalah gendang lima sedalanen. Namun pesta mengket rumah sudah dapat menggunakan gendang kibod. Menurut Prints (2004:198) maysarakat Karo mengenal empat tingkatan dalam pesta mengket rumah yaitu; (1) sumalin jabu, merupakan pesta mengket rumah yang paling sederhana, yang dihadiri sengkep nggeluh terdekat saja, (2) mengkah dapur, merupakan pesta mengket rumah yang diawali dengan runggun (musyawarah), (3) ngerencit, merupakan pesta mengket rumah dengan pesta besar sehingga harus dengan runggun sangkep nggeluh, dan (4) ertukam, merupakan pesta mengket rumah yang paling besar dan berlangsung beberapa hari dan beberapa malam.

(17)

Ngerencit, dan juga ertukam adalah upacara mengket rumah khusus untuk rumah adat tradisional Karo. Pada saat ini pembangunan untuk rumah adat tradisional masyarakat Karo sudah tidak pernah dilakukan, dan kehadiran rumah adat masyarakat Karo kini sudah tidak banyak lagi yang tersisa. Repertoar musik yang dimainkan dalam pesta mengket rumah dapat dibagi kedalam dua bagian yaitu repertoar gendang adat (gendang perang-perang, gendang simalungen rakyat, gendang jumpa malem) dan repertoar gendang lima puluh kurang dua (50-2). Penggunaan seluruh repertoar dalam gendang adat tidak berkaitan dengan masalah kepercayaan. Sesuai dengan namanya gendang adat maka gendang ini hanya berhubungan dengan adat istiadat. Berbeda halnya dengan gendang lima puluh kurang dua yang penggunaannya sangat berkaitan dengan ritual (Sitepu, 1993:46-47).

2.4.5 Gendang guro-guro aron

Guro-guro aron berasal dari dua kata, yaitu guro-guro dan aron. Guroguro berarti hiburan atau pesta, sedangkan aron berarti muda-mudi. Jadi guroguro aron adalah suatu pesta muda-mudi yang dilaksanakan berdasarkan adat dan kebudayaan Karo, dengan memakai musik Karo dan perkolong-kolong (Prints, 2004:280). Pada dasarnya gendang guro-guro aron merupakan suatu acara yang bersifat gembira yang di adakan setelah panen oleh para petani. Hal ini juga disampaikan oleh Sinuraya dalam Roberto Bangun (2006: 175) yang mengatakan bahwa: “aron” merupakan grup-grup kerja bertani baik dilakukan oleh orangorang muda laki-laki atau wanita maupun yang sudah berumah tangga.

(18)

Asal kata aron adalah “si-saron-saron” yang berarti tolong-tolongan, yang kemudian beralih menjadi kata aron. Sedangkan guro-guro adalah bersuka ria. Jadi guroguro aron adalah bersuka ria dengan gendang (musik) yang dijelmakan dalam seni bunyi-bunyian tari dan nyanyian. Gendang guro-guro aron merupakan suatu seni pertunjukan tradisional Karo yang terdiri dari unsur musik, tari dan nyanyi. Sebagai seni pertunjukan tradisional, gendang lima sedalanen merupakan salah satu unsur pokok dalam gendang guro-guro aron, karena aktifitas utama dalam pesta tersebut adalah menari dan menyanyi dalam iringan musik (Tarigan, 2004:121).

Dalam gendang guro-guro aron ensambel yang digunakan adalah gendang lima sedalanen. Gendang guro-guro aron biasanya diadakan pada acara kerja tahun, (perwujudan rasa sukacita/gembira atas masa panen) yang dilaksanakan oleh tiap-tiap desa setiap tahun. Kerja tahun diadakan di setiap desa dengan jadwal yang telah di atur, biasanya tergantung pada masa musim panen dan ditetapkan oleh masing-masing tetua adat di setiap desa. Ada pula desa yang tanggal kerja tahunnya tetap/tidak berubah yaitu desa Juhar yaitu pada tanggal 17 Agustus. Gendang guro-guro aron dalam kebudayaan masyarakat Karo memiliki beberapa fungsi. Adapun fungsi dari gendang guro-guro aron adalah: (1) latihan kepemimpinan (persiapan suksesi), maksudnya adalah dalam gendang guro-guro aron muda-mudi dilatih untuk memimpin, mengatur dan mengurus acara tersebut,dan dengan mengikuti acara ini muda-mudi dipersiapkan untuk menjadi pemimpin desa dikemudian hari. (2) belajar adat Karo, dalam gendang guro-guro

(19)

aron muda-mudi juga belajar tentang adat Karo dengan mengetahui bagaimana cara ertutur agar mengetahui siapa yang boleh dan tidak boleh menjadi pasangan menari, (3) hiburan, gendang guro-guro aron merupakan sarana hiburan bagi muda-mudi dan penduduk kampung, (4) metik (tata rias), dengan mengikuti gendang guro-guro aron muda-mudi juga belajar untuk merias diri sendiri, belajar melulur diri, membuat tudung atau bulang-bulang, (5) belajar etika, dalam melaksanakan gendang guro-guro aron, muda-mudi juga belajar bagaimana etika atau tata krama pergaulan hidup dengan sesama, (6) arena cari jodoh, guro-guro aron juga dimaksud untuk sarana pencarian jodoh untuk muda-mudi (Prints, 2004:280-281).

2.5 Penggunaan instrumen tradisional Karo non-ensambel

Alat-alat musik tradisional tunggal (solo) secara umum dimainkan sebagai hiburan pribadi. Kulcapi dapat digunakan sebagai hiburan pribadi maupun pengiring tradisi nyanyian bercerita yang terdapat dalam kebudayaan masyarakat Karo. Belobat dimainkan ketika sedang mengembalakan ternak, menjaga padi di sawah atau di ladang. Surdam biasanya dimainkan pada malam hari ketika suasana sepi, embal-embal dan empi-empi yang berbahan dasar bambu dan batang padi biasa dimainkan ketika petani sedang menjaga padi dari gangguan burung (Tarigan,2004:121-122).

(20)

2.6 Penggunaan musik vokal tradisional Karo

Penggunaan musik vokal dalam masyarakat Karo dapat ditemukan di beberapa konteks upacara. Menurut Kumalo Tarigan (http://repository.usu.ac.id), musik vokal dalam musik tradisional Karo dapat disajikan berdasarkan beberapa konteks yaitu:

1. Musik vokal dalam konteks seni pertunjukan

Musik vokal dalam konteks seni pertunjukan berupa nyanyian yang disebut ende-enden yaitu nyanyian yang biasanya dibawakan oleh perkolong-kolong dalam seni pertunjukan gendang guro-guro aron.

2. Musik vokal dalam konteks ritual

Musik vokal dalam konteks ritual terdiri dari tujuh jenis nyanyian yaitu (1) didong doah, adalah nyanyian menidurkan anak, (2) ndilo wari udan, adalah nyanyian untuk mengundang atau mendatangkan hujan, (3) mangmang, adalah nyanyian untuk memanggil roh dan meminta kekuatan gaib untuk dapat menjalankan upacara ritual, (4) nendong, adalah nyanyian untuk meramal suatu kejadian, (5) ngeria, adalah nyanyian untuk menyadap atau mengambil nira dari pohon aren, (6) perumah begu, adalah nyanyian untuk berkomunikasi dengan arwah orang yang sudah meninggal dunia, dan (7) tabas, adalah nyanyian yang berisi mantra. 3. Musik vokal dalam konteks adat

Musik vokal dalam konteks adat dapat dibagi menjadi dua yaitu katonengkatoneng pemasu-masun yaitu nyanyian bercerita yang disajikan dalam upacara perkawinan dan didong doah bibi serembah ku lau yaitu nyanyian yang disajikan dalam upacara perkawinan yang dinyanyikan oleh bibi dari pengantin

(21)

wanita. Selain dalam upacara perkawinan katoneng-katoneng juga disajikan pada upacara kematian.

4. Musik vokal dalam konteks hiburan pribadi

Musik vokal untuk hiburan pribadi yaitu (1) doah-doah nyanyian spontan untuk diri sendiri, (2) tangis-tangis, adalah nyanyian ungkapan kesedihan, dan (3) io-io, adalah nyanyian kesedihan dalam percintaan.

Gambar

Gambar 2.3 : Posisi sierjabaten  saat memainkan alat musik gendang lima  sendalanen (Sumber : dokumentasi penulis)

Referensi

Dokumen terkait

Menurut kepercayaan lama masyarakat Karo (yang belum beragama) di Kabupaten Langkat, orang yang meninggal cawir metua apabila tidak dilakukan upacara adat yang layak pada

1 Penelitian membahas tentang pengaroh stratifikasi sosial dalam penggunaan bahasa pada upacara adat perkawinan masyarakat etnis Karo. Kajian ini rnembahas. masalah

Herlina : Makna Antarpersona Dalam Teks Upacara Perkawinan Pada Masyarakat Karo, 2007 USU Repository © 2008... Herlina : Makna Antarpersona Dalam Teks Upacara Perkawinan

Bedasarkan hasil penilitian yang dilakukan dapat diketahui bahwa bentuk penyajian upacara ritual Perumah Nini Tapin pada masyarakat Karo terdiri dari 3 yaitu persiapan

Disamping kedua upacara adat tersebut diatas masih ada beberapa upacara-upacara adat lain yang juga dilakukan oleh masyarakat Karo dalam kehidupan mereka yaitu, memasuki rumah

Subjek penelitian pada judul ansambel musik tradisional Batak Karo dalam ibadah Gereja Batak Karo Protestan Yogyakarta adalah ansambel musik tradisional Batak

Sebelum ajaran agama Kristen muncul pada kebudayaan masyarakat batak toba, musik yang digunakan dalam upacara adat kematian saur matua adalah satu set ensambel Gondang sabangunan

Oleh karena itulah, pada masyarakat Karo di Kabupaten Langkat setiap ada anggota keluarga yang meninggal cawir metua, selalu diadakan upacara adat yang sesuai dengan adat