• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pembuluh darah yang pecah atau terhalang oleh gumpalan darah sehingga

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pembuluh darah yang pecah atau terhalang oleh gumpalan darah sehingga"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Stroke merupakan salah satu penyakit yang mematikan di dunia. World Health Organization (WHO) (2015) mendefinisikan stroke sebagai suatu penyakit yang disebabkan oleh adanya gangguan aliran darah ke otak, biasanya karena pembuluh darah yang pecah atau terhalang oleh gumpalan darah sehingga memotong pasokan oksigen dan nutrisi yang menyebabkan kerusakan pada jaringan otak.

Terdapat 15 juta orang yang terkena stroke setiap tahunnya. Berdasarkan data dari WHO saat ini stroke telah menjadi penyebab kematian nomor dua di dunia untuk penderita usia diatas 60 tahun dan menjadi penyebab kematian kelima untuk penderita antara usia 15 – 59 tahun. Setiap tahunnya, hampir 6 juta orang dari seluruh dunia meninggal akibat stroke. Satu dari enam orang di dunia menderita stroke. Setiap 6 detik, 1 orang meninggal akibat stroke (World Stroke Organization, 2012).

Penelitian yang dilakukan oleh Strong, Mathers, dan Bonita (dicitasi oleh Bhattacharjee, Madhumita., Vairale, Jaee., Gawali, Kamal., Dalal, Praful M., 2012) menunjukkan bahwa di tahun 2005, kematian akibat stroke sebesar 87% dari semua kasus kematian di negara-negara berkembang dan jumlah ini akan meningkat dengan meningkatnya jumlah penduduk. Sekitar 5,7 juta orang meninggal karena stroke pada tahun 2005 dan diperkirakan akan meningkat menjadi 6,6 juta orang meninggal di tahun 2015.

(2)

Pada tahun 2013 stroke menjadi penyebab pertama kematian di Indonesia. Menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, stroke berada dalam sepuluh besar penyakit tidak menular terbanyak di Indonesia dan pada tahun yang sama Indonesia menjadi negara dengan penderita stroke terbanyak di Asia. Data dari Kementrian Kesehatan RI (2014) menunjukkan jumlah penderita penyakit stroke di Indonesia tahun 2013 berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan (Nakes) diperkirakan sebanyak 1.236.825 orang (7,0‰), sedangkan berdasarkan diagnosis Nakes/gejala di-perkirakan sebanyak 2.137.941 orang (12,1‰). Menurut Yayasan Stroke Indonesia (2012), jumlah penderita stroke akan semakin bertambah per tahunnya, bahkan di tahun 2020 jumlah penderitanya akan meningkat 2x lipat jika tidak ada penanganan yang lebih baik dari semua pihak.

Dosen Program Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran UGM Yayi Suryo Prabandari (Ridarineni & Putra, 2014) mengatakan jumlah penderita stroke terbanyak berada pada usia diatas 45 tahun, meskipun penderita usia muda juga menunjukkan peningkatan. Jumlah penderita stroke usia 55-64 tahun sesuai data Riskesdas (2013) mencapai 24% dan jumlah penderita stroke pada usia 15-24 tahun yakni 0,2%. Angka kejadian stroke tersebut tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Jawa Tengah menjadi provinsi kedua terbanyak setelah provinsi Jawa Barat dengan jumlah penderita stroke sebanyak 431.201 orang.

Banyak hal yang dapat timbul akibat penyakit stroke, akibat tersebut secara otomatis akan berpengaruh terhadap kondisi psikologis, kondisi fisik dan kondisi sosial. Perubahan kondisi psikologis diantaranya perasaan penderita akan lebih sensitif, gangguan seksual, dan dementia, yakni suatu gangguan dimana

(3)

penderita akan mengalami penurunan kemampuan mental yang gejalanya tidak mengingat kejadian yang baru saja terjadi, lupa jalan pulang ke rumah, serta lupa hari dan tanggal. Perubahan fisik yang terjadi akibat stroke adalah lumpuh separuh badan, mulut mencong, bicara pelo, sulit menelan, sulit berbahasa (kurang dapat mengungkapkan apa yang dia inginkan), tidak dapat membaca dan menulis, penglihatan terganggu, pendengaran mundur, bahkan sampai mengompol, tidak dapat buang air besar sendiri (Hasan & Rufaidah, 2013). Sedangkan perubahan pada keadaan sosial akibat dari stroke yakni penderita tidak dapat lagi bekerja kembali seperti sediakala dan sosialisasinya menjadi terhambat. Selain itu komunikasi tidak bisa berjalan seperti sediakala.

Akibat-akibat tersebut dalam jangka waktu singkat ataupun lambat akan mempengaruhi keberlangsungan hidup penderitanya. Kondisi stroke yang dialami menyebabkan penderita membutuhkan bantuan orang lain. Penderita stroke tidak hanya membutuhkan bantuan secara fisik, tetapi juga secara psikologis dan spiritual agar mampu menerima kondisinya dan dapat menjalankan kehidupan dengan penuh harapan.

Diperkirakan 25–74% penderita stroke di seluruh dunia membutuhkan bantuan seseorang. Seseorang yang menyediakan bantuan bagi penderita penyakit kronis seperti stroke seringkali disebut dengan istilah caregiver. Caregiver adalah seseorang yang bertanggung jawab memberikan perawatan dan perhatian terhadap kebutuhan sehari-hari orang lain (Emblem Health & National Alliance for Caregiving, 2010). Proses pemberian bantuan seorang caregiver kepada pasiennya disebut dengan caregiving. Menurut Barbara A. Given (dalam Wardani, 2014)

(4)

caregiver adalah sumber utama dukungan bagi individu penderita penyakit kronis

dan dapat mempengaruhi perubahan pada pasien. Caregiver diperlukan untuk merawat dan mendorong pasien serta menjadi sumber dukungan bagi pasien dalam mengurangi kekhawatiran yang timbul di dalam dirinya.

Caregiver terdiri dari formal dan tidak formal. Caregiver formal

merupakan perawatan yang disediakan oleh rumah sakit, psikiater, pusat perawatan ataupun tenaga profesional lainnya yang diberikan dan melakukan pembayaran. Sedangkan caregiver tidak formal merupakan perawatan yang dilakukan di rumah dan tidak profesional dan tanpa melakukan pembayaran seperti keluarga penderita yaitu istri/suami, anak perempuan/laki-laki, dan anggota keluarga lainnya (Sarafino, 1994).

Caregiver menghabiskan sepanjang waktu untuk menemani dan

membantu pasien dalam melakukan aktivitas sehari-hari, seperti menyediakan perawatan fisik dan transportasi, memberi makanan, memenuhi perawatan kesehatan dan memberi obat-obatan, membantu pasien dalam melakukan rehabilitasi untuk kesembuhan mereka, memberi dukungan emosional bagi pasien serta memberi semangat terhadap pasien agar mampu melanjutkan kehidupan dan menjadi manusia yang mandiri (American Stroke Association, 2015). Tanpa dukungan dari caregiver, pasien sulit untuk mempertahankan diri dalam menjalani penyakit yang diderita, dengan kata lain keberadaan seorang caregiver penting bagi kehidupan pasien, terutama bagi pasien yang tidak dapat menjalankan aktivitas secara mandiri.

(5)

Tugas berat yang harus dijalankan oleh caregiver secara cepat atau lambat akan membawa dampak bagi caregiver. Dampak tersebut akan mempengaruhi kondisi caregiver, baik kondisi fisik ataupun psikologis. Berdasarkan data dari Hunt (2015) sebanyak 43,5 juta orang di Amerika Serikat tercatat sebagai

caregiver dan 53% mengalami stres karena merawat pasien, faktor utamanya

adalah jumlah waktu yang tersita untuk merawat. Hal yang sama juga dialami oleh caregiver di Yordania, hampir semua caregiver yang merawat orang yang sakit mengalami beban fisik, psikologis dan keuangan yang signifikan (Kamel & Mohammed, 2014).

Penelitian dari Daulay, Setiawan & Febriany (2014) menjelaskan bahwa

caregiver merasa terbebani dalam merawat pasien stroke dan berdampak negatif

terhadap kesehatannya. Dampak negatif dari proses caregiving yang dialami oleh

caregiver antara lain peningkatan tekanan darah, depresi, demoralisasi, kecemasan

dan gangguan psikologis lain yang berupa insomnia, sakit kepala dan emosi yang mudah meluap (Schulz & Williamson; Yee & Schulz; dalam Myers, 2010). Hal tersebut sejalan dengan apa yang disebutkan oleh Sarafino (1994) bahwa stres yang dialami oleh caregiver akan mempengaruhi kesehatan mereka sendiri yaitu sistem imun yang rendah, hormon stres yang tinggi, dan tingkat angka kematian yang tinggi.

Han dan Haley (1999) menjelaskan sebanyak 17 dari 20 penelitian mengenai caregiving pada penderita stroke menunjukkan bahwa kondisi emosional yang paling sering dialami oleh caregiver yakni berupa depresi. Depresi tersebut disebabkan karena para caregiver dituntut untuk memberikan

(6)

perawatan secara intens selama berjam-jam dalam sehari (Embem Health & National Alliance for Caregiving, 2010). Tidak hanya depresi, caregiver juga merasakan perasaan sedih dan tertekan, kelelahan fisik dan perubahan pada hubungan sosial. Selain harus merawat dirinya sendiri, caregiver juga harus memberikan perawatan untuk penderita stroke dan tidak jarang hal tersebut mengakibatkan kebutuhan pribadinya sering tidak terpenuhi.

Permasalahan yang dialami oleh caregiver dalam merawat pasien stroke dapat diketahui berdasarkan hasil wawancara berikut :

“ya gimana ya mbak orang ngerawat orang sakit itu ya mesti repot, pekerjaan nambah, yang awalnya saya sama bapak bisa kerja sama ini sekarang jadi ngurus orang sakit apalagi yang sakit suami sendiri, apa-apa kerja sendiri terus sejak stroke bapak itu jadi emosian terus aku kan ya jadi ikut-ikutan kesel, dirawat gak beneran”

Masalah lain yang muncul akibat merawat pasien stroke yaitu terjadi penolakan atas apa yang menimpa caregiver dan keluarganya. Berikut adalah kutipan wawancaranya :

“ya aku ngerawat tapi ngerasa stres mbak, apalagi diawal sakit aku kayak gak percaya, aku umurku masih segini masih muda kok harus ngerawat orang tua sakit, kan aku ya pengen to mbak kayak yanglain, kerja cari uang, senang-senang apalagi aku baru aja punya anak kan otomatis jadi tambah repot to mbak..nangis terus aku mbak”

Perasaan negatif yang dirasakan oleh caregiver dapat mengakibatkan ketidaknyamanan tidak hanya pada penderita stroke yang dirawat, melainkan juga berpengaruh pada kondisi diri caregiver sendiri. Ketika seorang caregiver mengalami stres pemberian perawatan tidak bisa optimal dan kesembuhan penderita stroke menjadi terhambat. Penderita stroke akan merasakan perbedaan

(7)

perawatan saat caregiver mengalami stres dan saat caregiver sedang dalam kondisi baik-baik saja. Agar proses perawatan dapat berjalan baik, maka caregiver harus bisa meredakan ataupun mengurangi stres yang dirasakan. Tindakan yang dilakukan untuk mengurangi stres disebut sebagai coping (Sarafino, 1994).

Sundberg, Norman; Winebarger, Allen; Taplin, Julian (2011) mendefinisikan coping sebagai cara sistem mengatasi masalah-masalah yang mengakibatkan kecemasan, ketegangan dan usaha psikologis ekstra serta usaha untuk mengatasi stres. Aldwin & Yancura (dalam Moosa & Munaf, 2015) mendefinisikan coping sebagai suatu tindakan dan pemikiran yang dipilih secara sengaja dengan tujuan meringankan beban pada kondisi lingkungan yang menekan.

Coping memiliki dua fungsi utama bagi individu yaitu untuk mengatur distres dan untuk melakukan sesuatu agar terjadi perubahan jika individu mengalami situasi stres (Putri, 2010). Lebih lanjut Lazarus (dalam Sarafino, 1994) menjelaskan ada 2 tipe coping yakni Problem Focused Coping dan Emotion

Focused Coping. Problem Focused Coping atau coping yang terpusat pada

masalah, yaitu usaha individu untuk mengurangi atau menghilangkan stres dengan cara menghadapi masalah yang menjadi penyebab timbulnya stres secara langsung. Emotion Focused Coping atau coping yang terpusat pada emosi yaitu usaha-usaha individu untuk mengurangi atau menghilangkan stres yang dirasakan dengan tidak menghadapi secara langsung tetapi lebih pada usaha untuk mempertahankan keseimbangan afeksi.

(8)

Berdasarkan uraian fenomena diatas diatas, terlihat bahwa pasien stroke tidak dapat memenuhi kebutuhannya secara mandiri oleh karena itu mereka membutuhkan bantuan dari seorang caregiver untuk membantu menjalankan kehidupan sehari-hari. Beratnya tugas yang harus dilakukan caregiver dalam merawat pasien stroke pada akhirnya membuat mereka merasa stres. Hal tersebut membuat peneliti tertarik untuk melakukan penelitian guna mengetahui bagaimana Coping stres pada caregiver pasien stroke?

B. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui kondisi stres pada caregiver pasien stroke

2. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan bagaimana coping stres yang dilakukan oleh caregiver pasien stroke.

C. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan teoritis bagi disiplin ilmu psikologi pada umumnya dan secara khusus dapat menambah sumbangan ilmu di bidang psikologi klinis dan psikologi kesehatan mengenai coping stres pada caregiver pasien stroke.

(9)

2. Manfaat Praktis : a. Bagi Caregiver

Sebagai pengetahuan seberapa penting keberadaan dan peran mereka terhadap pasien stroke.

b. Bagi Pasien Stroke

Sebagai pengetahuan bahwa caregiver mengalami stres karena beratnya tugas dalam memberikan perawatan terhadap mereka.

c. Bagi Psikolog

Sebagai bahan pertimbangan dalam memberikan intervensi terhadap keluarga pasien stroke tentang pentingnya keberadaan caregiver.

d. Bagi Peneliti Lain

Sebagai bahan perbandingan bagi peneliti lain agar dapat mengambil informasi serta sebagai penelitian awal dalam pemberian intervensi agar

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penelitian ini buku saku yang dibuat menyajikan gambar-gambar yang lebih bervariasi, yaitu gambar tumbuhan secara keseluruhan, bagian tumbuhan yang digunakan,

Kuesioner ini bertujuan untuk mengetahui pendapat guru, orang tua siswa, dan siswa dalam peningkatan 5 karakteristik sekolah bermutu terpadu (fokus pada pelanggan,

real estate developer marketing mix strategi Noermijati Solimun (2014) memiliki pengaruh signifikan sebagai keunggulan kompetitif dalam bisnis real estate 4 Produk

Kendala internal yang dihadapi dalam pembinaan akhlak peserta didik di Madrasah Aliyah Alkhairaat Pusat Palu antara lain meliputi: kendala

Nama alias : AYMAN AL-ZAWAHARI alias AHMED FUAD SALIM alias AL ZAWAHRY AIMAN MOHAMED RABI ABDEL MUAZ alias AL ZAWAHIRI AYMAN alias ABDUL QADER ABDUL AZIZ ABDUL MOEZ AL

Dalam membuat cetakan plastik ini plat alumunium akan jadi bahan dasar untuk membuat cetakan (mold) dengan menggunakan mesin frais. Material plastic yang di gunakan akan

Langkah awal penilaian kesesuaian lahan adalah melakukan evaluasi sumberdaya lahan yang merupakan proses untuk menduga potensi sumber daya lahan untuk berbagai

Semen tara itu yang dimaksud dengan kepemimpinan transformatif adalah kemampuan seorang pemimpin dalam bekerja dengan dan atau melalui orang lain untuk mentransformasikan