• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sumberdaya Alam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sumberdaya Alam"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sumberdaya Alam

Menurut Rees (1990) dalam Fauzi (2006), sesuatu untuk dapat dikatakan sebagai sumberdaya harus : 1) ada pengetahuan, teknologi atau ketrampilan untuk memanfaatkannya dan 2) harus ada permintaan (demand) terhadap sumberdaya tersebut. Dengan kata lain definisi sumberdaya alam (SDA) terkait dengan kegunaan (usefulness), baik untuk masa kini maupun mendatang bagi umat manusia.

Owen (1980) dalam Ramdan et al. (2003) mendefinisikan SDA sebagai bagian dari lingkungan alam (tanah, air, padang penggembalaan, hutan, kehidupan liar, mineral atau populasi manusia) yang dapat digunakan manusia untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Secara umum SDA dapat diklasifikasikan ke dalam 2 kelompok, yaitu :

1) Kelompok Stok ; sumberdaya ini dianggap memiliki cadangan yang terbatas, sehingga eksploitasinya terhadap sumberdaya tersebut akan menghabiskan cadangan sumberdaya, sumberdaya stok dikatakan tidak dapat diperbaharui (non renewable) atau terhabiskan (exhaustible)

2) Kelompok flows (alur) ; jumlah dan kualitas fisik dari sumberdaya ini berubah sepanjang waktu. Berapa jumlah yang kita manfaatkan sekarang, dapat mem-pengaruhi atau dapat juga tidak memmem-pengaruhi ketersediaan sumberdaya di masa mendatang. Sumberdaya ini dikatakan dapat diperbaharui (renewable) dimana regenerasinya ada yang tergantung pada proses biologi dan ada yang tidak.

Pengukuran ketersediaan SDA dapat digunakan beberapa konsep, yaitu (Rees 1990 dalam Fauzi 2006) :

1) Kelompok sumberdaya stok

a. Sumberdaya hipotetikal, adalah konsep pengukuran deposit yang belum diketahui namun diharapkan ditemukan pada masa mendatang berdasarkan survey yang dilakukan saat ini.

(2)

b. Sumberdaya spekulatif, konsep pengukuran ini digunakan untuk mengukur deposit yang mungkin ditemukan pada daerah yang sedikit atau belum dieksplorasi dimana kondisi geologi memungkinkan ditemukannya deposit c. Cadangan kondisional (conditional reserve), adalah deposit yang sudah

diketahui atau ditemukan namun dengan kondisi harga output dan teknologi yang ada saat ini belum dimanfaatkan secara ekonomis

d. Cadangan terbukti (proven resource), adalah sumberdaya alam yang sudah diketahui dan secara ekonomis dapat dimanfaatkan dengan teknologi, harga dan permintaan yang ada saat ini.

2) Kelompok sumberdaya flow

a. Potensi maksimun sumberdaya, didasarkan pada pemahaman untuk mengetahui potensi atau kapasitas sumberdaya guna menghasilkan barang dan jasa dalam jangka waktu tertentu

b. Kapasitas lestari, adalah konsep pengukuran keberlanjutan dimana keter-sediaan sumberdaya diukur berdasarkan kemampuannya untuk menye-diakan kebutuhan bagi generasi kini dan juga generasi mendatang

c. Kapasitas penyerapan, adalah kemampuan SDA dapat pulih (misalnya air, udara) untuk menyerap limbah akibat aktivitas manusia

d. Kapasitas daya dukung, didasarkan pada pemikiran bahwa lingkungan me-miliki kapasitas maksimum untuk mendukung suatu pertumbuhan organisme

Ekstraksi SDA merupakan proses pengambilan keputusan yang bersifat intertemporal. Hal ini disebabkan karena SDA (renewable dan non renewable) adalah asset atau kapital yang pemanfaatannya tidak hanya ditentukan oleh produktivitas kapital itu sendiri, namun juga menyangkut ketersediaan (supply) untuk konsumsi di masa mendatang serta adanya resiko dan ketidakpastian dari ekstraksi SDA. Keputusan intertemporal dari sisi produsen menyangkut biaya oportunitas dari kapital sedangkan dari sisi konsumen menyangkut preferensi waktu.

Salah satu kunci dari penentuan pengambilan keputusan yang bersifat intertemporal tersebut adalah melalui proses discounting dengan penentuan discount rate yang tepat. Proses discounting merupakan cerminan dari bagaimana

(3)

masyarakat berperilaku terhadap ekstraksi SDA dan bagaimana mereka menilai SDA itu sendiri (Hanley and Spash 1995 dalam Fauzi 2006).

2.2. Konsep Nilai untuk Sumberdaya Alam

Pengertian nilai atau (value), khususnya yang menyangkut barang dan jasa yang dihasilkan oleh SDA dan lingkungannya, memang bisa berbeda jika dipan-dang dari berbagai disiplin ilmu. Salah satu tolok ukur yang relatif mudah dan bisa dijadikan persepsi bersama berbagai disiplin ilmu tersbut adalah pemberian price tag (harga) pada barang dan jasa yang dihasilkan SDA dan lingkungan. Dengan demikian digunakan apa yang disebut nilai ekonomi SDA.

Menurut Fauzi (2006), nilai ekonomi didefinisikan sebagai pengukuran jumlah maksimum seseorang ingin mengorbankan barang dan jasa untuk mempe-roleh barang dan jasa lainnya. Secara formal, konsep ini disebut keinginan mem-bayar (willingness to pay) seseorang terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh SDA dan lingkungan. Dengan menggunakan pengukuran ini, nilai ekologis ekosistem bisa “diterjemahkan” ke dalam bahasa ekonomi dengan mengukur nilai moneter barang dan jasa. Sebagai contoh, jika ekosistem pantai mengalami keru-sakan akibat polusi, nilai yang hilang akibat degradasi lingkungan bisa diukur dari keinginan seseorang untuk membayar agar lingkungan tersebut kembali ke aslinya atau mendekati aslinya. Keinginan membayar juga dapat diukur dalam bentuk kenaikan pendapatan yang menyebabkan seseorang berada dalam posisi indiffe-rent terhadap perubahan eksogenous. Perubahan eksogenous ini bisa terjadi ka-rena perubahan harga (misalnya akibat SDA makin langka) atau kaka-rena peruba-han kualitas SDA.

2.3. Bahan Galian

Menurut Soedarmo dan Hadiyan (1981) yang dimaksud bahan galian adalah semua endapan-endapan alam yang berupa unsur-unsur kimia, mineral bijih dan segala macam batu-batuan termasuk batu-batu mulia. Terbentuknya endapan bahan galian memerlukan proses dan waktu yang lama, ratusan dan bahkan jutaan tahun akibat proses geologi, differensiasi magma pada waktu menerobos lapisan kulit bumi, poses vulkanisme, pelapukan dan erosi, trans-portasi dan pengendapan kembali dan dapat pula akibat proses metamorphosis.

(4)

Dalam penghitungan Produk Domestik Bruto (PDB) yang dilakukan oleh BPS, sektor pertambangan dan penggalian merupakan salah satu dari 9 sektor usaha dalam perekonomian di Indonesia. Menurut BPS (2009b), pertambangan adalah suatu kegiatan yang meliputi pengambilan dan persiapan untuk pengolahan lanjutan dari benda padat, benda cair, dan gas. Pertambangan dapat dilakukan di atas permukaan bumi (tambang terbuka) maupun di bawah tanah (tambang dalam) termasuk penggalian, pengerukan, dan penyedotan dengan tujuan mengambil benda padat, cair atau gas yang ada di dalamnya. Hasil kegiatan ini antara lain, minyak dan gas bumi, batubara, pasir besi, bijih timah, bijih nikel, bijih bauksit, bijih tembaga, bijih emas dan perak, dan bijih mangan.

Penggalian adalah suatu kegiatan yang meliputi pengambilan segala jenis barang galian. Barang galian adalah unsur kimia, mineral dan segala macam batuan yang merupakan endapan alam (tidak termasuk logam, batubara, minyak bumi dan bahan radio aktif). Bahan galian ini biasanya digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong sektor industri maupun konstruksi. Hasil kegiatan penggalian antara lain, batu gunung, batu kali, batu kapur, koral, kerikil, batu marmer, pasir, pasir silika, pasir kuarsa, kaolin, tanah liat, dan lain-lain.

Batu kapur (gamping) dapat terjadi dengan beberapa cara, yaitu secara organik, secara mekanik, atau secara kimia. Sebagian besar batu kapur yang terdapat di alam terjadi secara organik, jenis ini berasal dari pengendapan cangkang/rumah kerang dan siput, foraminifera atau ganggang, atau berasal dari kerangka binatang koral/kerang. Batu kapur dapat berwarna putih susu, abu muda, abu tua, coklat bahkan hitam, tergantung keberadaan mineral pengotornya. Penggunaan batu kapur sudah beragam diantaranya untuk bahan kaptan, bahan campuran bangunan, industri karet dan ban, kertas, dan lain-lain.

Potensi batu kapur di Indonesia sangat besar dan tersebar hampir merata di seluruh kepulauan Indonesia. Sebagian besar cadangan batu kapur Indonesia terdapat di Sumatera Barat (Departemen ESDM 2005).

2.4. Model Ekonomi Sumberdaya Non Renewable

Sumberdaya alam tidak dapat terbarukan atau sering juga disebut sebagai sumberdaya terhabiskan adalah sumberdaya alam yang tidak memiliki kemam-puan regenerasi secara biologis. Sumberdaya alam ini terbentuk melalui proses

(5)

geologi yang memerlukan waktu sangat lama untuk dapat dijadikan sebagai sumberdaya alam yang siap diolah atau siap pakai. Jika diambil (eksploitasi) sebagian, maka jumlah yang tinggal tidak akan pulih kembali seperti semula.

Salah satu yang termasuk dalam golongan sumberdaya tidak dapat terbarukan adalah batu kapur untuk bahan baku semen. Batu kapur memerlukan waktu ribuan bahkan jutaan tahun untuk terbentuk karena ketidakmampuan sumberdaya tersebut untuk melakukan regenerasi. Sumberdaya ini sering kita sebut juga sebagai sumberdaya yang mempunyai stok yang tetap.

Sifat-sifat tersebut menyebabkan masalah eksploitasi sumberdaya alam tidak terbarukan (non renewable) berbeda dengan ekstrasi sumberdaya terbarukan (renewable). Pengusaha pertambangan, harus memutuskan kombinasi yang tepat dari berbagai faktor produksi untuk menentukan produksi yang optimal, dan juga seberapa cepat stok harus diekstraksi dengan kendala stok yang terbatas.

Teori ekonomi sumber daya alam tidak terbarukan pertama kali diperke-nalkan oleh Hotelling (1931). Levhari dan Liviatan (1977) melakukan kajian apa-kah ekstraksi sumber daya alam akan dilakukan hingga benar-benar terkuras habis atau tidak. Masalah utama dari problem pemanfaatan sumber daya alam yang ti-dak dapat diperbaharui adalah menentukan ekstraksi optimal.

Dasar dari teori ekstraksi sumberdaya tidak terbarukan secara optimal ada-lah model Hotelling yang dikembangkan oleh Harold Hotelling pada tahun 1931. Problem dasar Hotelling dapat dimodifikasi lebih lanjut ke berbagai arah, seperti menambah efek kumulatif pada biaya (Levhari dan Liviatan 1977; Livernois dan Martin 2001), harga komoditas sumber daya yang stokastik (Pindyck 1981), keti-dakpastian cadangan dan biaya (Hoel 1978) dan perubahan aspek lainnya.

Hukum Hotelling mengatakan bahwa ekstraksi sumberdaya tidak terbarukan yang efisien dan optimal mengharuskan manfaat bersih dari sumberdaya harus tumbuh secara proporsional sesuai dengan tingkat suku bunga. Jika suka bunga adalah 15 %, maka berdasarkan hukum Hotelling ekstraksi yang efesien dan optimal mengharuskan manfaat dan dari sumberdaya harus tumbuh secara proporsional sebesar 15 % setiap tahun (Fauzi 2006; Sahat 2006 dalam Nahib 2006).

(6)

Agar pemilik sumberdaya indifferent antara mengekstrasi kini dan masa mendatang, manfaat yang diperoleh kini (capital gain) harus sama dengan discount rate. Penentuan kapan ekstraksi dilakukan dengan optimal tergantung opportunity, yang dicerminkan oleh tingkat suku bunga bank. Penghargaan terhadap pentingnya keberadaan sumberdaya tak pulih berbanding terbalik dengan besaran suku bunga.

2.5. Hutan

Hutan merupakan sumberdaya terbarukan yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Hutan tidak saja memberikan manfaat pada saat ditebang (manfaat eksploitasi), namun juga banyak memberikan manfaat tatkala sumber-daya ini dibiarkan (manfaat konservasi).

Pengelolaan sumberdaya hutan memiliki perbedaan dengan sumberdaya terbarukan lainnya, yaitu (Fauzi 2006) :

1. Sumberdaya hutan kebanyakan tidak bersifat common property resource. Hampir sebagian besar hutan di Indonesia dikuasai oleh pemerintah dan hak pengelolaan hutan diberikan kepada individu atau swasta melalui mekanisme perizinan. Namun pada kenyataannya di lapangan, hutan bersifat common property resource, misalnya kawasan hutan yang terkena kebijakan mora-torium kegiatan penebangan saat ini dimanfaatkan oleh penduduk sekitarnya. 2. Skala waktu (time scale). Hutan memiliki skala waktu pertumbuhan yang

sa-ngat panjang, mulai saat ditanam sampai ditebang.

3. Lahan dimana hutan tumbuh memiliki nilai pilihan (option value).

4. Harga per unit diharapkan meningkat tergantung umur pohon dan volume kayu

5. Adanya konflik pemanfaatan (multiple use resource conflict), misalnya antara pemanfaatan hutan untuk komersial dan rekreasi

Arief (2001) menjelaskan hasil-hasil hutan dibedakan berdasarkan sifat tangible dan intagible. Sifat-sifat intagible terdiri atas hasil yang berkaitan dengan sistem alami misalnya hidrologi dan wisata alam. Sedangkan sifat-sifat tangible berupa hasil hutan berupa kayu. Salim (1997) menggolongkan manfaat hutan ke dalam manfaat langsung dan manfaat tidak langsung. Manfaat langsung adalah

(7)

manfaat yang dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat yaitu masyarakat dapat menggunakan dan memanfaatkan hasil hutan, antara lain kayu yang merupakan hasil utama hutan, serta berbagai hasil hutan ikutan seperti rotan, getah, buah-buahan, madu dan lain-lain.

2.6. Pinus merkusii Jungh, et de Vriese

Hutan pinus di Indonesia termasuk hutan yang potensial terutama di Jawa dan Sumatera. Peran dan manfaatnya semakin meningkat setelah ditetapkan sebagai salah satu jenis tanaman Hutan Tanaman Industri (HTI). Pengusahaan hutan pinus di Jawa (oleh PT Perhutani) merupakan andalan kedua setelah jati. Kelebihan jenis tanaman pinus adalah dapat menghasilkan produk ganda yaitu kayu dan getah (Kasmudjo 1997).

Soediono (1983) menyatakan bahwa hutan Pinus merkusii Jungh, et de Vriese mempunyai potensi yang cukup besar dalam menunjang pembangunan, berkat kemampuannya yang majemuk sebagai sumberdaya yang menguntungkan. Sifat-sifat yang menguntungkan dari kayu pinus seperti mudah dikerjakan, mempunyai penampilan yang menarik dan mudah diawetkan, dapat digunakan untuk berbagai keperluan seperti korek api, chopstick, kayu konstruksi, kayu lapis dan sebagainya. Disamping itu, kayu pinus mempunyai sifat yang kurang menguntungkan, antara lain : mengandung mata kayu, batang kebanyakan bengkok, keawetan rendah (kelas awet IV), mudah mengalami pewarnaan (blue stain dan mold), kadar air segar yang tinggi (sampai di atas 100%).

Getah pinus diambil dari pohon melalui proses penyadapan. Menurut Soediono (1983), getah dapat disadap pada umur 7 tahun dengan hasil 0,5 ton per tahun dengan cara penyadapan quarre dan penyadapan berhenti pada saat penebangan tiba. Sedangkan menurut Tedja (1997) penyadapan dilakukan apabila telah mencapai umur 11 – 30 tahun atau kelas umur (KU) III – KU VI.

2.7. Daur

Daur adalah jangka waktu antara penanaman dan penebangan atau antara penanaman dan penanaman berikutnya di tempat yang sama, yang ditentukan oleh jenis, hasil yang diinginkan, nilai tanah dan suku bunga usaha yang tersedia. Konsep daur dipakai untuk pengelolaan hutan seumur, sedangkan untuk hutan

(8)

tidak seumur istilah yang memiliki arti yang sama adalah siklus tebang (cutting cycle).

Istilah daur berkaitan erat dengan adanya konsep hutan normal. Secara ideal, hutan normal akan terdiri atas kelompok tegakan dari semua umur yang mempunyai potensi sama, mulai dari umur satu tahun sampai akhir daur. Oleh karena itu, menentukan panjang daur merupakan salah satu faktor kunci dalam pengelolaan hutan seumur sesuai dengan definisinya. Masalah penentuan panjang daur sangat berkaitan erat dengan cara menentukan waktu yang diperlukan oleh suatu jenis tegakan untuk mencapai kondisi masak tebang atau siap panen. La-manya waktu tersebut tergantung pada sifat pertumbuhan, jenis yang diusahakan, tujuan pengelolaan dan pertimbangan ekonomi. Dari sinilah lahir beberapa macam atau cara dalam menentukan panjang daur (Departemen Kehutanan 1992).

Menurut Osmaton (1968), lamanya daur tergantung pada interaksi bebe-rapa faktor, yaitu :

a. Tingkat kecepatan pertumbuhan tegakan, yang tergantung pada jenis pohon, lokasi tempat tumbuh serta intensitas penjarangan.

b. Karakteristik jenis atau spesies tanaman, dimana harus diperhatikan umur maksimal secara alami, umur menghasilkan benih, umur kecepatan tumbuh terbaik dan umur kualitas terbaik.

c. Pertimbangan ekonomi, dimana harus memperhitungkan ukuran yang dapat dipasarkan dan harga terbaik yang dapat diperoleh.

d. Respon tanah terhadap penggunaan yang berulang-ulang, hal ini erat hubu-ngannya dengan batuan induk, pelapukan tanah dan alelopathy

Hiley (1956) dalam Gunawan (2002) menyatakan bahwa ada beberapa macam daur yang ditetapkan berdasarkan keadaan sifat tegakan sesuai dengan tu-juan pengelolaan hutan yang bersangkutan, yaitu :

1. Daur silvikultur, yaitu daur yang ditetapkan berdasarkan keadaan saat tega-kan dapat tumbuh mempertahantega-kan kualitasnya atau mengadatega-kan permudaan dan reproduksi

2. Daur teknis, yaitu daur yang ditetapkan berdasarkan keadaan dimana tegakan telah mencapai ukuran yang sudah ditetapkan untuk keperluan produk yang akan dihasilkan

(9)

3. Daur pendapatan tertinggi (daur produksi maksimal), yaitu daur yang dite-tapkan berdasarkan keadaan dimana tegakan dapat menghasilkan pendapatan atau volume tertinggi per satuan luas per tahun tanpa memperhitungkan jum-lah modal untuk mendapatkannya. Daur ini dapat ditentukan dengan melihat perpotongan kurva riap CAI dan kurva riap MAI dari jenis yang bersangkutan 4. Daur finansial, yaitu daur yang ditujukan untuk menghasilkan keuntungan

atau nilai finansial terbesar. Di kehutanan, keuntungan dapat dilihat dari dua sudut pandang yang berbeda, yaitu nilai harapan lahan dan dari hasil finansial. a. Nilai harapan tanah adalah nilai yang didasarkan pada pendapatan bersih yang dapat diperoleh dari suatu lahan, dihitung pada tingkat suku bunga tertentu. Pendekatan yang terkenal dikemukakan oleh Martin Faustman, pada tahun 1849.

b. Hasil finansial, pendekatan ini menggunakan kriteria-kriteria investasi, yaitu NPV, IRR dan BCR yang dihitung dari biaya-biaya yang dikeluarkan dan pendapatan yang diperoleh sampai tegakan tersebut ditebang habis (umur daur).

Besar kecilnya nilai harapan lahan dan hasil finansial tersebut akan menentu-kan keputusan yang amenentu-kan diambil dalam penentuan daur finansialnya.

2.8. Analisis Kelayakan Proyek

Pendekatan yang dilakukan dalam menganalisis manfaat dan biaya suatu proyek terdiri dari dua macam tergantung pada pihak yang berkepentingan langsung dalam proyek, yaitu analisis ekonomi dan analisis finansial. Menurut Djamin (1984), Gittinger (1986) dan Gray et al. (1992) bahwa akan dilakukan analisis finansial bila yang berkepentingan langsung dalam benefit dan biaya proyek adalah individu/pengusaha. Dalam hal ini yang dihitung dalam benefit adalah apa yang diperoleh individu/pengusaha yang menanamkan modalnya lam proyek tersebut. Sedangkan analisis ekonomi bila yang berkepentingan da-lam benefit dan biaya proyek adalah pemerintah dada-lam rangka peningkatan taraf hidup masyarakat. Pada dasarnya dalam analisis finansial dan analisis ekonomi berbeda menurut lima hal yaitu dalam hal penggunaan harga, perhitungan pajak, subsidi, biaya investasi dan pelunasan pinjaman dan dalam hal bunga.

(10)

Penilaian suatu proyek dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, tetapi yang paling banyak dan sering digunakan adalah Discounted Cash Flow Analysis (analisis arus tunai yang didiskonto). Metoda yang digunakan dalam menghitung pengaruh waktu adalah metoda pendiskontoan. Semua biaya dan pendapatan dikurangi menjadi nilai sekarang dengan prosentase tahunan tertentu (Darusman 1981).

Karena dalam investasi proyek selama periode waktu tertentu (umur proyek) akan selalu menerima ataupun mengeluarkan sejumlah uang, maka perlu dipertimbangkan bahwa uang yang diterima pada masa yang akan datang tidak sama dengan uang yang diterima pada saat sekarang karena adanya faktor interest rate tertentu. Oleh karena itu, untuk kepentingan perhitungan nilai uang tersebut perlu dievaluasi pada satu waktu tertentu yaitu waktu sekarang (Gaspersz 1992).

Menurut Gray et al. (1992), dalam rangka mencari suatu ukuran menyeluruh tentang baik tidaknya suatu proyek telah dikembangkan berbagai macam indeks. Indeks-indeks tersebut disebut “Investment Criteria”. Terdapat tiga macam kriteria dalam melakukan suatu evaluasi terhadap investasi proyek yang sekarang ini banyak digunakan, yaitu :

a. Net Present Value (NPV); adalah metoda untuk menghitung selisih antara nilai sekarang investasi dengan nilai sekarang penerimaan-penerimaan kas bersih di masa yang akan datang. Dalam evaluasi suatu proyek, kriteria keputusan layak dinyatakan oleh NPV yang lebih besar atau sama dengan nol.

b. Benefit-Cost Ratio (BCR); merupakan angka perbandingan antara jumlah present value yang positif dengan present value yang negatif. Kriteria kelayakan proyek adalah jika BCR ≥ 1 dan tidak layak jika BCR < 1.

c. Internal Rate of Return (IRR); Menurut Djamin (1984), cara lain untuk mengevaluasi suatu kelayak proyek adalah dengan menghitung tingkat investasi atau tingkat penghasilan lebih. IRR adalah suatu tingkat bunga (discount rate) yang menunjukkan jumlah nilai sekarang netto (NPV) sama dengan jumlah seluruh ongkos investasi proyek (investment cost). Didalam analisis IRR, akan mencari pada tingkat bunga berapa akan dihasilkan NPV sama atau mendekati K0, atau NPV = 0.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian yang dilakukan oleh Ayu Sari dan Rina Harimurti dengan judul Sistem Pakar untuk Menganalisis Tingkat Stres Belajar pada Siswa

206 Tujuan penelitian adalah mengkaji pengaruh pemberian inulin dari umbi bunga dahlia dalam bentuk tepung maupun ekstrak, yang dapat meningkatkan kualitas pertumbuhan ayam

baik, mulai dari bahan baku, hingga pengolahan serta bahan pengemas. Produk yang dihasilkan mitra akan dianalisis informasi nilai gizinya untuk melengkapi persyaratan

bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 43A ayat (4) dan Pasal 45A ayat (4) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana

Pendidikan kesehatan yang diberikan kepada remaja dapat meningkatkan pengetahuan dan sikapnya terhadap manajemen kesehatan menstruasi.. Media pendidikan kesehatan yang

Bagi memaksimumkan penggunaan senarai kata, sesuatu senarai kata perlulah membekalkan maklumat sisipan seperti kategori perkataan, frekuensi, makna utama, variasi

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti yaitu tentang Pengaruh Bauran Pemasaran Terhadap Keputusan Siswa dalam Memilih Bimbingan Belajar (Studi Pada

dasar tari zapin kreasi pada siswa kelas V SD Negeri 138 Pekanbaru.” Berdasarkan Latar Belakang di atas, maka Rumusan Masalah dalam Penelitian Tidakan Kelas