• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. sistem pembuktian Undang-Undang secara negatif (Negatiefe Wettelijke Bewijs

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. sistem pembuktian Undang-Undang secara negatif (Negatiefe Wettelijke Bewijs"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Alasan Pemilihan Judul

Sistem pembuktian yang dianut oleh Hukum Acara Pidana di Indonesia adalah sistem pembuktian Undang-Undang secara negatif (Negatiefe Wettelijke Bewijs

Theorie), yaitu dalam pembuktian perkara pidana berpangkal tolak dari aturan-aturan

pembuktian yang ditetapkan secara limitatif dalam Undang-Undang, tetapi hal itu harus diikuti dengan keyakinan Hakim.1 Dalam sistem pembuktian ini, minimal dibutuhkan dua alat bukti yang telah diatur dalam Undang-Undang dan berdasarkan dua alat bukti yang sah tersebut, menimbulkan keyakinan Hakim bahwa Terdakwa adalah benar orang yang melakukan perbuatan yang didakwakan serta karena perbuatannya tersebut Terdakwa dapat dipersalahkan. Sistem pembuktian ini diatur dalam Pasal 183 KUHAP.

Dengan dianutnya sistem pembuktian tersebut diharapkan dapat diwujudkan tujuan Hukum Acara Pidana untuk menemukan kebenaran materiil, yaitu kebenaran berdasarkan fakta yang terungkap dalam persidangan, bukan kebenaran yang didasarkan bukti formal sebagaimana dianut dalam Hukum Acara Perdata, dimana kebenaran yang ingin dicapai adalah kebenaran berdasarkan bukti formal (surat).

Dalam sistem pembuktian menurut Hukum Acara Pidana, disamping dikenal adanya alat bukti sebagaimana telah diatur dalam Pasal 184 KUHAP, yaitu berupa

1

(2)

keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa, dikenal juga barang bukti, yaitu barang bukti sebagai hasil kejahatan (corpora delicti) dan barang bukti yang merupakan alat untuk melakukan kejahatan (instrumenta delicti). Barang bukti telah diatur dalam Pasal 39 KUHAP, walaupun Pasal tersebut tidak secara tegas mengatur tentang barang bukti, tetapi mengatur barang yang dapat disita oleh Penyidik.

Terkait dengan bukti permulaan khususnya dalam penyidikan Kapolri dalam Surat Keputusan No. Pol.SKEEP/04/I/1982, tanggal 18 Februari 1982 menentukan, bahwa bukti permulaan yang cukup itu, adalah bukti yang merupakan keterangan dan data yang terkandung di dalam dua diantara :

1) Laporan Polisi;

2) Berita Acara Pemeriksaan TKP;

3) Laporan Hasil penyelidikan;

4) Keterangan saksi / saksi ahli; dan

5) Barang Bukti.2

Keputusan Kapolri tersebut memuat dan memperhatikan barang bukti merupakan bagian bukti permulaan yang cukup untuk menentukan adanya suatu tindak pidana kejahatan. Hal tersebut berarti dalam upaya pengumpulan sarana pembuktian barang bukti sudah berperan dan berfungsi saat Penyidik melakukan tindakan penyidikan. Dalam proses pemeriksaan dan penyelesaian perkara pidana, kegiatan penyidikan merupakan pendahuluan dari proses penuntutan.

Dalam proses penuntutan terutama saat Jaksa Penuntut Umum menyusun surat dakwaan sangat dipengaruhi dan didasarkan kesempurnaan tindakan penyidikan

2

Darwan Prints, 1989, Hukum Acara Pidana, Suatu Pengantar, Jambatan dan Yayasan Bantuan Hukum, Jakarta, hal. 42.

(3)

dalam mengumpulkan sarana pembuktian yang akan diajukan Jaksa Penuntut Umum di persidangan dan akan menghasilkan putusan pengadilan sebagaimana diupayakan Penyidik dan Jaksa Penuntut Umum3. Penuntut Umum membuat surat dakwaan dan oleh karena itu, ia berkewajiban untuk menyusun alat bukti dan pembuktian tentang kebenaran surat dakwaan atau tentang kesalahan Terdakwa4, dan barang bukti mempunyai nilai strategis untuk menentukan suatu perbuatan yang didakwakan kepada Terdakwa oleh Penuntut Umum dapat dibuktikan secara sah dan meyakinkan atau tidak, apakah Terdakwa benar sebagai pelaku dalam perbuatan tersebut dan harus dipertanggungjawabkan karena perbuatannya.

Barang bukti yang terkait suatu tindak pidana harus dilakukan penyitaaan karena barang bukti tersebut dapat dipakai untuk membuktikan apakah benar barang bukti yang diajukan ke persidangan itu merupakan hasil kejahatan atau barang bukti itu merupakan alat untuk melakukan kejahatan. Berkaitan barang bukti ini juga akan diputuskan oleh Hakim, apakah barang bukti akan dikembalikan kepada yang berhak, atau dirampas untuk dimusnahkan atau dirampas untuk Negara.

Terkait dengan barang bukti yang harus disita, Haryanto mengatakan bahwa :

Benda yang dapat disita itu :

1) Instrumenta delicti

2) Corpora delicti

3) Benda lain yang secara langsung tidak ada hubungannya dengan tindak pidana

tetapi mempunyai alasan kuat untuk bahan pembuktian.5

3

H.M.A. Kuffal, 2010, Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum, UMM Press, Malang, hal. 14.

4

Martiman Prodjohamidjojo, 1983, Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti, Ghalia Indonesia, Jakarta Timur, hal. 19.

(4)

Dalam perkara pencurian, barang bukti berupa hasil kejahatan sangat penting untuk dilakukan penyitaan, selanjutnya akan ditampilkan di persidangan untuk membuktikan apakah benar perbuatan pencurian yang didakwakan kepada Terdakwa dan apakah benar barang bukti yang ditunjukkan dalam persidangan adalah barang milik korban yang diambil oleh Terdakwa.

Dalam KUHAP tidak pernah diatur tentang barang bukti pengganti, yaitu bukan merupakan barang dari hasil kejahatan ataupun barang yang bukan merupakan alat untuk melakukan kejahatan, mengingat kalau hal tersebut diatur dalam KUHAP berarti tidak mendukung terwujudnya tujuan Hukum Acara Pidana untuk menemukan kebenaran materiil. Sebagai contoh seseorang disangka melakukan pencurian ayam yang berwarna hitam, berhubung ayam sudah dijual dan tidak diketahui, maka Penyidik memunculkan barang bukti pengganti yaitu bulu ayam yang berwarna hitam. Hal ini tidak dibenarkan, karena bulu berwarna hitam itu bisa diperoleh dari manapun, tidak perlu dari ayam yang dicuri oleh seseorang.

Apabila diperhatikan Pasal 45 KUHAP mengatur barang bukti pengganti, tetapi hal tersebut terkait dengan barang bukti yang lekas rusak atau yang membahayakan, sehingga tidak mungkin untuk disimpan, maka barang bukti dapat dijual lelang untuk kepentingan pembuktian disisihkan sebagian kecil. Artinya sebagian berupa barang bukti pengganti (berupa uang) dan sebagian lagi berupa barang bukti yang asli, tetapi Pasal 45 KUHAP ini tidak mengatur tentang barang bukti yang seluruhnya diganti atau tidak ada barang bukti aslinya.

Dalam kenyataannya ada kasus pencurian yang barang buktinya bukan barang yang diambil oleh Terdakwa tetapi diganti dengan barang lain yang “terkait” dengan barang diambil oleh Terdakwa, yaitu kasus pencurian Handphone, yang perkaranya

(5)

disidangkan di Pengadilan Negeri Semarang dengan Nomor : 818/ Pid/ B/ 2009/ PN.Smg. Dalam peristiwa ini saksi korban kehilangan 2 (dua) buah Handphone, yaitu merek Nokia 1600 dan Nokia N70, tetapi barang bukti tersebut sudah tidak dapat ditemukan, kemudian Penyidik melakukan penyitaan barang bukti pengganti yaitu berupa kardus Handphone Nokia 1600 dan kardus Nokia N70, padahal kardus tersebut belum tentu untuk Handphone yang hilang, sehingga seharusnya tidak dapat dijadikan sebagai barang bukti pengganti.

Selain itu ada kasus pencurian gamelan milik PTPN IX Getas yang diadili di Pengadilan Negeri Ungaran Nomor : 82/Pid/B/2009/PN. Ung. tetapi barang-barang bukti yang ditampilkan di persidangan adalah gamelan milik H. Joko Sunarno yaitu gamelan yang berbentuk polosan, bukan milik PTPN IX Getas berbentuk blimbingan yang telah dilaporkan hilang. Hal ini dibuktikan dengan kualitas bahan baku, bentuk, ukuran dan tata letak ukuran gamelan. Barang bukti gamelan yang ditampilkan di persidangan tidak bisa dipasang pada kotak gamelan milik PTPN IX Getas.

Dengan adanya kenyataan tentang barang bukti pengganti (bukan hasil kejahatan) tersebut menjadikan penulis tertarik untuk menulis skripsi dengan judul

Pertimbangan Hakim Tentang Barang Bukti Dalam Perkara Pidana (Studi Kasus

Putusan Pengadilan Negeri Ungaran Tanggal 4 Juni 2009, Nomor : 82/Pid/B/2009/PN. Ung, Putusan Pengadilan Negeri Ungaran Tanggal 4 Juni 2009, Nomor : 83/Pid/B/2009/PN. Ung. dan Putusan Pengadilan Negeri Semarang Tanggal 18 Agustus 2009, Nomor : 818/Pid/B/2009/PN.Smg.).

Disamping penulis tertarik untuk menulis judul skripsi ini dengan alasan sebagaimana telah dikemukakan di atas, berdasarkan pengamatan penulis berkaitan dengan judul skripsi ini di Fakultas Hukum UKSW juga belum ada yang menulis,

(6)

oleh karena itu penulis akan mencoba untuk meneliti dan menganalisis, sehingga diperoleh gambaran yang jelas tentang pentingnya peranan barang bukti dalam pembuktian perkara pidana.

Menurut penulis dalam suatu perkara pidana, alat bukti dan barang bukti tersebut mempunyai peran menentukan terbukti atau tidaknya perbuatan yang didakwakan kepada Terdakwa oleh Penuntut Umum, alat bukti dan barang bukti yang ditampilkan di persidangan akan menentukan putusan yang akan dijatuhkan oleh Hakim.

Perbedaan skripsi dengan topik pertimbangan Hakim pernah ditulis oleh beberapa penulis adalah

No. Penulis Judul Skripsi Rumusan Masalah

1 Carolin Waren R.

Pertimbangan Hakim Dalam Memutuskan

Tindak Pidana Persetubuhan Anak di Bawah umur (Studi Kasus

Putusan Hakim No. 08/Pid.Sus/2011/PN. Sal. No. 01/Pid.Sus/2011/ PN.

Sal. dan No. 42/Pid. Sus/2011/PN. Sal.)

Apa yang menjadi pertimbangan Hakim dalam memutuskan tindak pidana persetubuhan yang dilakukan terhadap anak di

bawah umur?

(7)

Andriyanto Dalam Putusan Perkara Pidana No. : 79/Pid.B/ 2010/PN. Sal dan Putusan

Perkara Pidana No. : 225/Pid.B/2010/PN. Ung.

mempertimbang kan unsur kesalahan dalam putusan

perkara pidana No. : 79/Pid.B/ 2010/PN. Sal

dan Putusan Perkara Pidana No. : 225/Pid.B/2010/PN. Ung.

3 Yeremia Kailimang

Pertimbangan Hakim Dalam Menentukan Tindak Pidana Suap dan

Atau Gratifikasi Dalam Undang-Undang Tindak

Pidana Korupsi (Studi Kasus Putusan No. 20/Pid.B/TPK/2006/PN.

Jkt-Pst.)

Bagaimana pertimbangan Hakim dalam menentukan

suatu tindak pidana dikatakan termasuk tindak

pidana suap atau tindak pidana gratifikasi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku?

4 Lusy Julnita Labulu

Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Pidana Terhadap

Anak Yang Melakukan Tindak Pidana (Studi Kasus di PN. Salatiga)

Bagaimana pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan

putusan berat ringannya pidana yang disesuaikan

dengan prinsip kepentingan terbaik bagi

anak?

5 Roynaldo Sanjoyo

Pertimbangan Hakim Dalam Mengkaji

Bagaimana pertimbangan Majelis Hakim dalam

(8)

Pemenuhan Unsur-Unsur Delik Agama (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri

No. 31/Pid.B/1992/PN. Sal. Dan Putusan PN No.

6/Pid/B/2011/PN. TMG)

mengkaji pemenuhan unsur-unsur delik agama

dalam putusan perkara pidana 31/Pid.B/1992/PN.

Sal. Dan putusan perkara pidana No. 6/Pid/B/2011

/PN. TMG

6 Supri Ariyadi

Pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Dalam

Memberikan Putusan Perkara Narkotika (Studi

Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta)

Apa yang menjadi dasar pertimbangan Hakim dalam memutus perkara

narkotika? 7 Armin Hamanay Pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Semarang Dalam Penjatuhan Pidana Pembunuhan Bayi Yang

Dilakukan Oleh Ibu Kandung

1. Apakah pertimbangan Hakim dalam

penjatuhan pidana pembunuhan bayi yang dilakukan oleh ibu kandung?

2. Mengapa masa hukuman atas tindak pidana pembunuhan bayi yang dilakukan oleh ibu kandung berbeda-beda?

(9)

8 M. Bayu Ajinugroho

Pertimbangan Hakim Dalam Menjalankan Putusan Bagi Pelaku Penyalahgunaan Narkotika

(Studi Kasus Putusan No. 70/Pid/ Sus/2012/PN.

Smg. jo No. 237/Pid/Sus/2012/PT.

Smg.)

Bagaimanakah pemenuhan unsur tindak pidana penyalahgunaan narkotika

dalam Pasal 112 ayat (1) dan/ atau dalam Pasal 127

ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dalam studi kasus Putusan

No. 70/Pid/Sus/2012/PN. Smg. Dan Putusan No.

237/Pid/Sus/2012/PT. Smg.? 9 Vilda Mandayaningrum Harahap (Penulis) Pertimbangan Hakim Tentang Barang Bukti Dalam Perkara Pidana (Studi Kasus Putusan

Pengadilan Negeri Ungaran Tanggal 4 Juni

2009, Nomor : 82/Pid/B/2009/PN. Ung, Putusan Pengadilan Negeri

Ungaran Tanggal 4 Juni 2009, Nomor : 83/Pid/B/2009/PN. Ung.

Bagaimana hakim menilai kekuatan pembuktian dari

barang bukti dalam Putusan Pengadilan Negeri

Ungaran Nomor : 82/Pid/B/2009/PN. Ung,

tanggal 4 Juni 2009, Putusan Pengadilan Negeri

Nomor : 83/Pid/B/2009/ PN. Ung, tanggal 4 Juni

2009 dan Putusan Pengadilan Negeri

(10)

dan Putusan Pengadilan Negeri Semarang Tanggal 18 Agustus 2009, Nomor : 818/Pid/B/2009/PN.Smg.)

Semarang Nomor : 818/Pid/B/2009/PN. Smg, tanggal 18 Agustus 2009 ?

B. Latar Belakang Masalah

Mengingat dalam penyidikan barang bukti mempunyai peran penting sebagai bukti permulaan untuk menduga seseorang telah melakukan suatu tindak pidana, sudah barang tentu para aparat penegak hukum tidak boleh mengabaikan tentang fungsi barang bukti ini, agar kemudian hari tidak ada orang yang dikorbankan untuk dijadikan Tersangka karena penegak hukum kurang hati-hati di dalam menentukan barang bukti, bahkan barang bukti diganti (bukan barang bukti hasil kejahatan atau alat untuk melakukan kejahatan) oleh penegak hukum, dengan kata lain barang bukti dalam suatu kejahatan, apakah hasil kejahatan atau alat untuk melakukan kejahatan harus dijaga ke otentikannya, oleh karena itu barang bukti dalam suatu kejahatan harus dilakukan penyitaan.

“Penyitaan adalah serangkaian tindakan Penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud dan tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan , penuntutan

dan peradilan “.6

Memperhatikan pengertian penyitaan tersebut, maka dapat diketahui bahwa barang-barang yang dapat disita berupa barang bergerak atau tidak bergerak,

6

(11)

berwujud atau tidak berwujud, dan barang yang dapat disita pada prinsipnya telah diatur dalam Pasal 39 KUHAP, yang dalam proses peradilan pidana barang-barang tersebut akan disebut sebagai barang bukti.

Penyitaan terhadap barang-barang bukti dalam suatu perkara pidana bertujuan untuk mewujudkan kebenaran materiil sebagai tujuan Hukum Acara Pidana. Berkaitan dengan tujuan Hukum Acara Pidana ini, Andi Hamzah mengatakan sebagai berikut :

“Tujuan dari Hukum Acara Pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran material, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan Hukum Acara Pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelakunya yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat

dipersalahkan”.7

Terkait dengan penyitaan terhadap barang bukti tidak dapat dilepaskan dengan tujuan Hukum Acara Pidana untuk mencari dan menemukan kebenaran materiil, sehingga apabila proses peradilan pidana atas suatu kejahatan berlangsung, maka tidak akan terjadi adanya putusan Hakim yang error in obyecto dan berakibat adanya

error in persona, artinya terjadi kekeliruan barang bukti yang akan berakibat

kekeliruan orang yang dihukum. Hal tersebut ada kemungkinan terjadi ketika dalam proses peradilan pidana atas suatu kejahatan dimungkinkan adanya “barang bukti

pengganti” (penggantian barang bukti yang bukan merupakan alat untuk melakukan

kejahatan atau bukan merupakan hasil kejahatan).

Tentang “barang bukti pengganti” ini memang dimungkinkan, tetapi harus memenuhi syarat tertentu, dan ini telah diatur dalam Pasal 45 KUHAP, yang secara lengkap bunyinya sebagai berikut :

7

(12)

(1) Dalam hal benda sitaan terdiri atas benda yang dapat lekas rusak atau yang membahayakan, sehingga tidak mungkin untuk disimpan sampai putusan pengadilan terhadap perkara yang bersangkutan memperoleh kekuatan hukum tetap atau jika biaya penyimpanan benda tersebut akan menjadi terlalu tinggi, sejauh mungkin dengan persetujuan Tersangka atau kuasanya dapat diambil tindakan sebagai berikut :

a. Apabila perkara masih ada di tangan Penyidik atau Penuntut Umum, benda

tersebut dapat dijual lelang atau dapat diamankan oleh Penyidik atau Penuntut Umum, dengan disaksikan oleh Tersangka atau kuasanya;

b. Apabila perkara sudah ada di tangan pengadilan, maka benda tersebut dapat

diamankan atau dijual lelang oleh Penuntut Umum atas izin Hakim yang menyidangkan perkaranya dan disaksikan oleh Terdakwa atau kuasanya.

(2) Hasil pelelangan benda yang bersangkutan yang berupa uang dipakai sebagai

barang bukti.

(3) Guna kepentingan pembuktian sedapat mungkin disisihkan sebagian dari benda

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

(4) Benda sitaan yang bersifat terlarang atau dilarang untuk diedarkan, tidak

termasuk ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dirampas untuk

dipergunakan bagi kepentingan Negara atau untuk dimusnahkan.8

Jadi dari bunyi Pasal 45 KUHAP dengan pertimbangan tertentu dalam hal ini jika benda yang disita lekas rusak atau membahayakan, maka dimungkinkan “barang

bukti pengganti”, tetapi harus memenuhi syarat tertentu dan menurut Pasal 45 ayat

(3), untuk kepentingan pembuktian harus disisihkan sebagian “barang bukti aslinya”, sehingga otentisitas barang bukti tersebut tetap terjamin sehingga tidak akan terjadi error in obyecto.

Dalam proses berjalannya peradilan pidana, kenyataannya ditemukan adanya

“barang bukti pengganti”, tetapi tidak ada “barang bukti aslinya”, dan apabila hal ini

berlangsung terus menerus akan membahayakan proses peradilan pidana, karena bisa terjadi error in obyekto yang akan berakibat memungkinkan terjadinya error in

persona dalam suatu putusan pidana yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak

asasi manusia.

8

Abdul Hakim G. Nusantara dkk., 1955, KUHAP, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan

(13)

Putusan Pengadilan Negeri Ungaran tanggal 4 Juni 2009, Nomor : 82/Pid/B/2009/PN. Ung. Terdakwa I Sri Kuncoro Bin Harno Sugondo dan Terdakwa II Haryoko Noto Suharjo Bin Sugito Noto Suharjo, Widodo Bin Rohmadi dan Sukamto Bin Suwarno telah mengambil gamelan milik PTPN IX Getas kemudian menjual kepada Dalang H. Joko Sunarno.

Putusan Pengadilan Negeri Ungaran tanggal 4 Juni 2009, Nomor : 83/Pid/B/2009/PN. Ung. Terdakwa I Widodo Bin Rohmadi dan Terdakwa II Sukamto Bin Suwarno Sri Kuncoro dan Haryoko Noto Suharjo Bin Sugito Noto Suharjo telah mengambil gamelan milik PTPN IX Getas dan menjual kepada Dalang H. Joko Sunarno karena dipaksa dan disiksa oleh Saksi ke-3 Danang Sri Wiratmo, S.H. Bin R. Moeljono bersama anggota tim Kepolisian.

Barang-barang bukti gamelan dalam perkara ini adalah milik Dalang H. Joko Sunarno yang berbentuk polosan sedangkan gamelan milik PTPN IX Getas berbentuk blimbingan dan sudah kusam, tidak seperti barang bukti yang disita dalam perkara ini.

Saksi Dwi Budiono bin Darsono mendalami informasi tersebut ternyata pelakunya adalah Saudara Widodo, Saksi ajak Widodo ke Polsek Susukan untuk diintrogasi, Widodo mengaku mengambil gamelan bersama Haryoko di PTPN IX Getas dan barang bukti tersebut telah dijual kepada Dalang bernama H. Joko Sunarno, selanjutnya Saksi menyuruh Terdakwa I Widodo bin Rohmadi untuk menunjukan letak gamelan tersebut dan diambil serta dibawa ke dalam mobil untuk dijadikan barang bukti.

Pada saat Saksi bersama anggota Reskrim Polres melakukan penyitaan gamelan tersebut, H. Joko Sunarno tidak berada di tempat tetapi hanya diketahui oleh anggota keluarga Dalang H. Joko Sunarno yang lain yaitu istri dan kakak kandung H.

(14)

Joko Sunarno. Gamelan tersebut disita berdasarkan penunjukan dari Terdakwa I Widodo Bin Rohmadi, Terdakwa II Sukamto Bin Suwarno, Sri Kuncoro Bin Harno Sugondo, Haryoko Bin Noto Suharjo secara bersama-sama mengambil gamelan-gamelan milik PTPN IX Getas dan menjual kepada H. Joko Sunarno.

Sedangkan perkara pidana Putusan Pengadilan Negeri Semarang Nomor : 818/Pid/B/2009/PN.Smg. Dalam peristiwa ini ada orang kehilangan 2 (dua) buah Handphone, yaitu merek Nokia 1600 dan Nokia N70, tetapi barang bukti tersebut sudah tidak dapat ditemukan, kemudian Penyidik melakukan penyitaan barang bukti pengganti berupa kardus Handphone Nokia 1600 dan kardus Nokia N70. Persoalannya adalah apakah 2 (dua) kardus tersebut benar merupakan kardus dari 2 (dua) buah Handphone yang hilang, karena kardus Handphone model Nokia 1600 semuanya akan sama, demikian juga dengan kardus Handphone model N70.

Sesuai dengan Surat Perintah Penyitaan No. Pol. Sp. Sita/ 151a/ III/ 2009/ Reskrim Tanggal 6 Maret 2009 dan Laporan Polisi No. Pol. : LP/ 232/ K/ III/ 2009/ Wiltabes Tanggal 5 Maret 2009 telah melakukan penyitaan barang berupa 1 (satu) kardus Nokia N70 ME dengan nomor IMEI: 355720023255924, 1 (satu) kardus Nokia 1600 black dengan IMEI: 3589920117564979.

Dengan penyitaan tersebut, persoalan lain juga muncul bahwa tujuan korban melaporkan suatu tindak pidana yang menimpanya ingin agar barang yang dilaporkan hilang akan kembali, tetapi dengan disitanya 2 (dua) buah kardus tersebut barang bukti milik korban tidak akan kembali karena putusan pengadilan hanya akan memutuskan terkait dengan barang bukti yang telah disita dan ditampilkan di depan persidangan akan dikembalikan kepada orang yang paling berhak.

9

Berita Acara Penyitaan Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Jawa Tengah Wilayah Kota Besar Semarang.

(15)

Dalam melaksanakan Hukum Acara Pidana tidak terlepas dari pembicaraan sistem pembuktian. Pembuktian dalam hal ini bukanlah upaya untuk mencari-cari kesalahan pelaku namun untuk menegakkan hukum dan keadilan. Dalam proses perkara pidana di Indonesia, barang bukti memegang peranan penting. Barang bukti dapat membuat jelas terjadinya suatu tindak pidana yang oleh para pihak akan digunakan untuk membuktikan perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa sebagaimana yang didakwakan.

Hakikat pembuktian ialah mencari kebenaran akan peristiwa-peristiwa hingga dengan demikian akan diperoleh kepastian bagi Hakim tentang kebenaran peristiwa tertentu. Perkara pidana dibawa ke persidangan dengan maksud untuk memperoleh keputusan yang setimpal atas perbuatan Terdakwa, unsur keyakinan Hakim dipersyaratkan bagi perkara pidana10.

Menurut Martiman Prodjohamidjojo, barang bukti atau corpus delicti adalah barang bukti kejahatan. Dalam Pasal 181 KUHAP Majelis Hakim wajib memperlihatkan kepada Terdakwa segala barang bukti dan menanyakan kepadanya apakah ia mengenali barang bukti tersebut. Jika dianggap perlu, Ketua Hakim sidang memperlihatkan barang bukti tersebut11.

Menurut ketentuan yang diatur dalam pasal 181 KUHAP pemeriksaan barang bukti sebagai berikut

(1) Barang bukti tersebut harus diperlihatkan kepada Terdakwa dan ditanyakan

apakah Terdakwa mengenal barang bukti atau benda-benda tersebut.

(2) Jika perlu, benda-benda tersebut diperlihatkan kepada Saksi oleh Ketua Hakim

sidang dan tentu saja harus ditanyakan pula apakah Saksi juga mengenal barang-barang yang dijadikan barang bukti.

10

Martiman Prodjohamidjojo, Op. Cit, hal.17.

11

http://hukumonline.com/klinik/detail/lt4e8ec99e4d2ae/apa-perbedaan-alat-bukti-dengan-barang-bukti,

(16)

Dilihat dari ketentuan yang diatur dalam pasal 181 KUHAP tentang pemeriksaan barang bukti, seakan-akan hanya bersifat formal. Padahal secara material, barang bukti sangat berguna bagi Hakim untuk menyandarkan keyakinannya.

Putusan Pengadilan Negeri Semarang Nomor : 818/Pid/B/2009/PN. Smg, tanggal 18 Agustus 2009 tersebut Majelis Hakim hanya menimbang bahwa barang bukti telah diajukan secara sah dan meyakinkan dalam persidangan tetapi oleh Majelis Hakim tidak dipertimbangkan korelasi antara barang bukti pengganti itu dan barang bukti sebenarnya, apakah kardus yang disita tersebut benar merupakan kardus dari 2 (dua) buah Handphone yang didakwakan yang diambil oleh Terdakwa.

Di samping itu di dalam menimbang Majelis Hakim tidak pernah mempertimbangkan barang bukti pengganti tersebut apakah sudah ditunjukkan kepada Terdakwa dan para Saksi serta bagaimana tanggapan Terdakwa dan para Saksi berkaitan dengan barang bukti pengganti tersebut dan hubungan barang bukti yang diambil dengan perbuatan yang didakwakan kepada Terdakwa.

Dalam putusan Pengadilan Negeri Ungaran tanggal 4 Juni 2009, Nomor : 82/Pid/B/2009/PN. Ung. dan Putusan Pengadilan Negeri Ungaran tanggal 4 Juni 2009, Nomor : 83/Pid/B/2009/PN. Ung., Majelis Hakim membandingkan gamelan milik PTPN IX Getas dan milik Saksi H. Joko Sunarno berbeda kualitas bahan baku, bentuk, ukuran dan tata letak ukuran gamelan dan tidak mungkin barang bukti gamelan yang diajukan di persidangan hasil perubahan dari gamelan milik PTPN IX Getas, maka Majelis Hakim berkesimpulan barang bukti gamelan bukan milik PTPN IX Getas tetapi milik Saksi H. Joko Sunarno12.

12

Putusan Pengadilan Negeri Ungaran Nomor : 82/Pid/B/2009/PN. Ung, tanggal 4 Juni 2009 dan Putusan Pengadilan Negeri Ungaran Nomor : 83/Pid/B/2009/ PN. Ung, tanggal 4 Juni 2009.

(17)

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum, Majelis Hakim berkesimpulan bahwa tidak ada alat bukti lain yang cukup untuk dapat membuktikan para Terdakwa telah mengambil gamelan dan barang bukti berupa gamelan tersebut milik H. Joko Sunarno bukan milik PTPN IX Getas sebagaimana yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum, sehingga dengan demikian maka unsur Mengambil barang sesuatu tidak terpenuhi, maka unsur selebihnya tidak perlu dibuktikan, para Terdakwa harus dinyatakan tidak terbukti secara sah meyakinkan melakukan tindak pidana seperti yang didakwakan dalam dakwaan Penuntut Umum dan oleh karena itu para Terdakwa haruslah dibebaskan dari dakwaan tersebut13. Maka para Terdakwa harus segera direhabilitasi, barang-barang bukti tersebut dikembalikan kepada yang berhak yakni H. Joko Sunarno, para Terdakwa dibebaskan dari segala dakwaan maka biaya perkara dibebankan kepada Negara.

C. Perumusan Masalah

Dengan latar belakang masalah yang telah penulis kemukakan di atas, penulis merumuskan masalah yaitu

Bagaimana Hakim menilai kekuatan pembuktian dari barang bukti dalam Putusan Pengadilan Negeri Ungaran Nomor : 82/Pid/B/2009/PN. Ung, tanggal 4 Juni 2009, Putusan Pengadilan Negeri Nomor : 83/Pid/B/2009/ PN. Ung, tanggal 4 Juni 2009 dan Putusan Pengadilan Negeri Semarang Nomor : 818/Pid/B/2009/PN. Smg, tanggal 18 Agustus 2009 ?

13

(18)

D. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian yang ingin dicapai oleh penulis dalam melakukan penelitian ini adalah ingin mengetahui dan menjelaskan penilaian Hakim atas kekuatan pembuktian dari barang bukti dalam perkara pidana Putusan Pengadilan Negeri Ungaran Nomor : 82/Pid/B/2009/PN. Ung, tanggal 4 Juni 2009, Putusan Pengadilan Negeri Nomor : 83/Pid/B/2009/ PN. Ung, tanggal 4 Juni 2009 dan Putusan Pengadilan Negeri Semarang Nomor : 818/Pid/B/2009/PN. Smg, tanggal 18 Agustus 2009.

E. Metode Penelitian 1. Jenis Pendekatan

Pendekatan yuridis-normatif dimana dengan pendekatan yang diperoleh dari penelitian yang dilakukan untuk mengkaji putusan Pengadilan Negeri dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan dalam proses pemeriksaan suatu perkara sesuai dengan KUHAP.

2. Metode Pendekatan

Metode pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kasus (case

approach). Dalam menggunakan pendekatan kasus, yang perlu dipahami oleh peneliti

adalah ratio decidendi, yaitu alasan-alasan hukum yang digunakan oleh Hakim untuk sampai pada putusannya14. Penelitian ini melihat mengenai pertimbangan yang digunakan oleh Majelis Hakim dalam putusan Pengadilan Negeri Ungaran Nomor : 82/Pid/B/2009/PN. Ung, tanggal 4 Juni 2009, Putusan Pengadilan Negeri Nomor : 83/Pid/B/2009/ PN. Ung, tanggal 4 Juni 2009 dan Putusan Pengadilan Negeri Semarang Nomor : 818/Pid/B/2009/PN. Smg, tanggal 18 Agustus 2009.

14

(19)

3. Data dan Sumber Data

Untuk memecahkan suatu permasalahan secara ilmiah terhadap suatu objek, diperlukan sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer, bahan-bahan hukum sekunder dan bahan-bahan hukum tersier.

a. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari :

1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

2) Putusan Pengadilan Negeri Ungaran Nomor : 82/Pid/B/2009/PN. Ung. 3) Putusan Pengadilan Negeri Ungaran Nomor : 83/Pid/B/2009/ PN. Ung. 4) Putusan Pengadilan Negeri Semarang Nomor : 818/Pid/B/2009/PN. Smg.

b. Bahan-bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan kejelasan terhadap bahan hukum primer, yang terdiri dari buku-buku yang membahas tentang barang bukti dalam pembuktian perkara pidana.

c. Bahan-bahan hukum tersier ialah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti internet, Kamus Besar Bahasa Indonesia dan kamus Hukum.

4. Unit Amatan dan Unit Analisis

a. Unit Amatan

Unit amatan dalam penelitian ini adalah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana beserta peraturan pelaksanannya, Putusan Pengadilan Negeri Ungaran Nomor : 82/Pid/B/2009/PN. Ung, tanggal 4 Juni 2009, Putusan Pengadilan Negeri Ungaran Nomor : 83/Pid/B/2009/ PN. Ung, tanggal 4 Juni 2009 dan Putusan Pengadilan Negeri Semarang Nomor : 818/Pid/B/2009/PN. Smg, tanggal 18 Agustus 2009.

(20)

b. Unit Analisis

Unit analisis dalam penelitian ini adalah bagaimana Hakim menilai kekuatan pembuktian dari barang bukti dalam Putusan Pengadilan Negeri Ungaran Nomor : 82/Pid/B/2009/PN. Ung, tanggal 4 Juni 2009, Putusan Pengadilan Negeri Ungaran Nomor : 83/Pid/B/2009/ PN. Ung, tanggal 4 Juni 2009 dan Putusan Pengadilan Negeri Semarang Nomor : 818/Pid/B/2009/PN. Smg, tanggal 18 Agustus 2009.

Referensi

Dokumen terkait

Selama proses penelitian ada hal menarik yang merupakan temuan antara keterkaitan teori yang sering digunakan dalam pemotretan model dengan penyusunan gerakan untuk membentuk

2.1.2.3 Perhitungan pada Siklus Kompresi Uap Diagram tekanan entalpi siklus kompresi uap dapat digunakan untuk menganalisa unjuk kerja mesin pendingin kompresi uap yang meliputi

Berdasarkan hasil penelitian, telah diketahui bahwa karakter tokoh pada film animasi Upin- Ipin telah memberikan stimulus dalam penanaman karakter anak usia dini yang sesuai

Assessment Center yang merupakan suatu metodelogi untuk menilai atau mengevaluasi perilaku pegawai dalam pekerjaan sehingga hasil dari proses assessment center

Menurut wawancara dengan Bapak Purwanto, seorang budayawan yang tinggal di Desa Kemiren Kecamatan Glagah Kabupaten Banyuwangi, dijelaskan bahwa perkawinan endogami pada

Dari hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa (1) seiring dengan perkembangan masyarakat dan pembangunan yang diarahkan pada masyarakat pedesaan di Kecamatan

Nasution, Metode Research: Penelitian Ilmiyah, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), h.. Sampel adalah “bagian dari populasi yang di anggap mewakili populasi” 7. “Untuk sekedar

Peran peneliti adalah sebagai pengajar yang mengajarkan cara menggunakan sistem kode untuk perbaikan struktur bahasa, sedangkan pengajar bahasa Inggris kelas XI