TESIS (TM 092501)
PENGARUH TIPE ABRASIF DAN PARAMETER PROSES
GERINDA TERHADAP GAYA POTONG, INTEGRITAS
PERMUKAAN BENDA KERJA (IPBK) DAN MODE
PEMBENTUKAN GERAM (MPG) PADA PROSES GERINDA
PERMUKAAN BAJA PERKAKAS SKD-11
FIPKA BISONO NRP 2112201004
Dosen Pembimbing
Ir. Bobby Oedy P. Soepangkat, M.Sc., Ph.D Ir. Hari Subiyanto, M.Sc
PROGRAM MAGISTER
BIDANG KEAHLIAN SISTEM MANUFAKTUR JURUSAN TEKNIK MESIN
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA
THESIS (TM 092501)
EFFECTS
OF ABRASIVE
TYPE AND
GRINDING
PARAMETER
TO
GRINDING
FORCE,
SURFACE
INTEGRITY AND CHIP FORMATION OF SURFACE
GRINDING ON SKD-11 TOOL STEEL
FIPKA BISONO NRP 2112201004
Advisor
Ir. Bobby Oedy P. Soepangkat, M.Sc., Ph.D Ir. Hari Subiyanto, M.Sc
MASTER PROGRAMME
FIELD STUDY OF MANUFACTURING SYSTEM DEPARTEMENT OF MECHANICAL ENGINEERING FACULTY OF INDUSTRIAL TECHNOLOGY
SEPULUH NOPEMBER INSTITUTE OF TECHNOLOGY SURABAYA
iv
PENGARUH TIPE ABRASIF DAN PARAMETER PROSES GERINDA TERHADAP GAYA POTONG, INTEGRITAS PERMUKAAN BENDA KERJA (IPBK) DAN MODE PEMBENTUKAN GERAM (MPG) PADA
PROSES GERINDA PERMUKAAN BAJA PERKAKAS SKD11 Nama Mahasiswa : Fipka Bisono
NRP : 2112201004
Pembimbing I : Ir. Bobby Oedy P. Soepangkat, M.Sc., Ph.D Pembimbing II : Ir. Hari Subiyanto, M.Sc
ABSTRAK
Proses gerinda permukaan adalah suatu proses manufaktur yang penting dan digunakan untuk membentuk benda kerja sesuai dengan persyaratan geometri, dimensi dan toleransi. Proses ini digunakan sewaktu persyaratan keakurasian dan kualitas permukaan benda kerja tidak dapat dipenuhi oleh proses-proses pemesinan yang lain, seperti proses bubut dan freis. Pemilihan tipe abrasif dan variabel proses gerinda permukaan (kecepatan makan dan kedalaman potong) yang tidak tepat dapat memberikan dampak yang merugikan terhadap gaya potong, integritas permukaan benda kerja (IPBK), seperti kekasaran permukaan benda kerja, surface burning dan kepadatan retakan, serta mode pembentukan geram (MPG).
Suatu penelitian dilakukan untuk mempelajari pengaruh tipe abrasif, kecepatan makan dan kedalaman potong terhadap gaya potong, IPBK dan mode pembentukan geram pada proses gerinda permukaan baja perkakas SKD11. Rancangan eksperimen yang digunakan pada penelitian ini adalah faktorial 2 x 3 x 3 dan pendingin yang dipakai adalah soluble oil. Pengukuran gaya potong dilakukan dengan menggunakan dinamometer, kekasaran permukaan diukur dengan menggunakan surftest, serta penentuan kepadatan retakan dan bentuk geram dilakukan dengan menggunakan scanning electron microscope (SEM).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel proses gerinda permukaan yang berpengaruh signifikan terhadap gaya potong adalah kedalaman potong dan jenis abrasif, sedangkan terhadap kekasaran permukaan adalah kedalaman potong dan kecepatan makan. Variabel proses gerinda permukaan yang berpengaruh signifikan terhadap kepadatan retakan adalah tipe abrasif dan kedalaman potong. Penggunaan tipe abrasif green silicone akan menyebabkan gaya potong, derajat burning dan kepadatan retakan bertambah rendah. Peningkatan kecepatan makan akan menyebabkan kekasaran permukaan dan derajat burning berkurang. Peningkatan kedalaman potong akan menyebabkan peningkatan dari kekasaran permukaan, gaya potong, kepadatan retakan dan derajat burning. Proses gerinda permukaan dengan menggunakan kedalaman potong yang rendah menghasilkan geram dengan bentuk lamellar dan leafy, sedangkan dengan menggunakan kedalaman potong yang tinggi menghasilkan geram dengan bentuk leafy, spherical, lamellar dan irregular.
Kata kunci: abrasif, gaya potong, gerinda permukaan, integritas permukaan benda kerja (IPBK), mode pembentukan geram (MPG)
v
EFFECT OF ABRASIVE TYPE AND GRINDING PARAMETERS TO GRINDING FORCE, SURFACE INTEGRITY AND CHIP FORMATION
OF SURFACE GRINDING ON SKD11 TOOL STEEL Student Name : Fipka Bisono
NRP : 2112201004
Advisor I : Ir. Bobby Oedy P. Soepangkat, M.Sc., Ph.D Advisor II : Ir. Hari Subiyanto, M.Sc
ABSTRACT
Surface grinding is an important manufacturing process and used to form the workpiece in accordance with the requirements of geometry, dimensions and tolerances. This process is used when the requirements of accuracy and surface quality of the workpiece cannot be met by the others machining processes, such as turning and milling. Improper selection of abrasive type and surface grinding parameters (such as feeding speed and depth of cut) can give adverse impact on grinding force, surface integrity, such as surface roughness, surface burning and crack density. Performance of surface grinding can also be evaluated from chip formation. An experiment was conducted to study the effect of the abrasive type, feeding speed and depth of cut on grinding forces, surface integrity and chip formation of surface grinding process on SKD11 tool steel. Experimental design used in this study was a 2 x 3 x 3 factorial. This experiment use soluble oil as coolant. Grinding force measurement performed by using a dynamometer, surface roughness was measured by using surftest, and the determination of crack density and chip formation conducted by using a scanning electron microscope (SEM). The results of the experiment showed that surface grinding parameters that significantly influence grinding force were depth of cut and abrasive type. Surface roughness was affected by depth of cut and feeding speed. Surface grinding parameters that significantly influenced crack density were abrasive type and depth of cut. The use of green silicone abrasive type will reduce grinding force, burning and crack density. Increasing feeding speed will reduce surface roughness and burning. Increasing depth of cut will lead to an increase of surface roughness, grinding force, crack density and burning. Surface grinding process using a small depth of cut produced chip with lamellar and leafy shape, while using a high depth of cut produced chip with leafy, spherical, lamellar and irregular shape.
Keywords: abrasive, grinding force, surface grinding, surface integrity, chip formation
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT., karena atas Rahmat dan Kuasa-Nya, penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tesis ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Teknik pada Program Studi Sistem Manufaktur, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak atas segala bantuan, dukungan dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis selama penyusunan tesis ini. Secara khusus, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Ir. Bobby O. P. Soepangkat, M.Sc, Ph.D. dan Bapak Ir. Hari Subiyanto, M.Sc. sebagai dosen pembimbing.
2. Bapak Prof. Dr. Ir. Wajan Berata, DEA dan Ibu Dr. Ir. H.C. Kis Agustin, DEA sebagai dosen penguji tesis.
3. Ibu, Bapak dan Adik tersayang, Kartini, Budi Bisono dan Rahayu, yang telah banyak memberikan dukungan, semangat dan serta doa restunya. 4. Eva Lailatul Qodriyah, yang selalu memberi semangat.
5. Seluruh staf dan karyawan Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknologi Industri dan Program Pascasarjana ITS atas bantuan dan dukungannya. 6. Teman-teman mahasiswa S2 Sistem Manufaktur angkatan 2012.
7. Segenap keluarga besar Teknik Mesin ITS yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.
Penulis mengharapkan agar tesis ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca dan penelitian selanjutnya. Kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan sehingga tesis ini bisa lebih sempurna.
Surabaya, Juli 2014
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL INDONESIA... i
HALAMAN JUDUL INGGRIS... ii
LEMBAR PENGESAHAN... iii
ABSTRAK... iv
ABSTRACT... v
KATA PENGANTAR... vi
DAFTAR ISI... vii
DAFTAR GAMBAR... ix DAFTAR TABEL... xi BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Rumusan Masalah... 3 1.2.2. Batasan Masalah... 3 1.2.3. Asumsi Penelitian... 3 1.3 Tujuan Penelitian... 3 1.4 Manfaat Penelitian... 4
BAB II DASAR TEORI... 5
2.1 Proses Pemesinan Abrasif (Abrasive Machining) ... 5
2.2 Proses Pemesinan Gerinda Permukaan ... 5
2.3 Mekanisme Pembentukan Geram ... 7
2.4 Roda Gerinda ... 10
2.5 Balancing dan Dressing ... 13
2.6 Cairan Pendingin ... 14
2.7 Integritas Permukaan (Surface Integrity) Benda Kerja... 15
2.7.1 Retak Mikro ... 15
2.7.2 Surface Burning ... 16
2.7.3 Kekasaran Permukaan Benda Kerja ... 17
2.8 Keausan Dalam Proses Gerinda Permukaan ... 20
2.9 Metode Faktorial ... 22
2.10Desain Eksperimen ... 23
2.9.1 Tahap Perencanaan ... 23
2.9.2 Tahap Pelaksanaan ... 25
2.9.3 Tahap Analisis ... 25
BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 29
3.1 Tahapan Penelitian... 29
3.2 Variabel-variabel dalam Penelitian... 30
viii
3.3.1 Bahan Penelitian... 32
3.3.2 Peralatan Penelitian... 33
3.4 Prosedur Penelitian... 38
3.5 Pengukuran dan Pengambilan Data... 39
3.5.1 Pengamatan Surface Burning ... 39
3.5.2 Pengukuran Gaya Penggerindaan ... 40
3.5.3 Pengukuran Kekasaran Permukaan ... 40
3.5.4 Pengambilan Foto Kepadatan Retakan ... 41
3.5.5 Pengambilan Foto Bentuk Geram ... 41
3.6 Rancangan Percobaan ... 41
BAB IV ANALISIS` DATA DAN PEMBAHASAN ... 43
4.1 Data Hasil Eksperimen ... 43
4.2 Pengaruh Variabel Proses Terhadap Gaya Potong ... 44
4.3 Pengaruh Variabel Proses Terhadap Kekasaran Permukaan ... 50
4.4 Pengaruh Variabel Proses Terhadap Surface Burning ... 55
4.5 Pengaruh Variabel Proses Terhadap Kepadatan Retakan ... 61
4.6 Pengaruh Variabel Proses Terhadap Bentuk Geram ... 66
4.7 Diskusi dan Pembahasan ... 70
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 73
5.1 Kesimpulan ... 73
5.2 Saran ... 74 DAFTAR PUSTAKA
ix
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Proses Gerinda Permukaan ... 6
Gambar 2.2 Tiga Tipe Aksi Dari Butiran Abrasif ... 8
Gambar 2.3 Mekanisme Pembentukan Geram ... 9
Gambar 2.4 Lingkaran Gaya Pemotongan ... 10
Gambar 2.5 Struktur Roda Gerinda ... 12
Gambar 2.6 Foto SEM Retakan pada Baja AISI D2 Hasil Proses Gerinda Permukaan 15 Gambar 2.7 Parameter Dalam Profil Permukaan ... 17
Gambar 2.8 Keausan Adhesif ... 21
Gambar 2.9 Two Body Abrasion ... 21
Gambar 3.1 Diagram Alir Metodologi Penelitian... 29
Gambar 3.2 Benda Kerja ... 32
Gambar 3.3 Mesin Gerinda Permukaan Model KGS818AHD ... 34
Gambar 3.4 Scanning Electron Microscope (SEM) EVO MA10 ………... 34
Gambar 3.5 Mitutoyo Surftest 301 ………... 35
Gambar 3.6 Dinamometer KISTLER tipe 9272 ... 35
Gambar 3.7 DAQ Kistler tipe 567A ………... 37
Gambar 3.8 Charge Amplifier tipe 5070A ... 37
Gambar 3.9 Skema dan Arah Proses Penggerindaan dan Pengukuran Kekasaran ... 40
Gambar 4.1 Gaya Normal (Fz) yang Terjadi pada Proses Gerinda Permukaan ... 45
Gambar 4.2 Gaya Tangensial (Fx) yang Terjadi pada Proses Gerinda Permukaan ... 45
Gambar 4.3 Grafik Pengaruh Kedalaman Potong Terhadap Gaya Potong ... 48
Gambar 4.4 Histogram Hubungan Tipe Abrasif, Kecepatan Makan dan Kedalaman Potong Terhadap Gaya Potong ... 48
Gambar 4.5 Grafik Pengaruh Kedalaman Potong Terhadap Kekasaran Permukaan pada Kecepatan Makan 250 mm/s ... 52
Gambar 4.6 Histogram Hubungan Tipe Abrasif, Kecepatan Makan dan Kedalaman Potong Terhadap Kekasaran Permukaan ... 53
Gambar 4.7 Morfologi Permukaan Benda Kerja yang Menunjukkan Celah ... 54
Gambar 4.8 Foto SEM Globules Pada Permukaan Benda Kerja ... 55
Gambar 4.9 Surface Burning pada Proses Gerinda Permukaan dengan Tipe Roda Gerinda Aluminum Oxide ... 56
Gambar 4.10 Surface Burning pada Proses Gerinda Permukaan dengan Tipe Roda Gerinda Green Silicone ... 57
Gambar 4.11 Hasil Foto SEM Retak Mikro pada Permukaan Benda Kerja ... 61
Gambar 4.12 Hasil Foto SEM Retak Mikro pada Permukaan Benda Kerja dengan Kedalaman Potong yang Berbeda ... 65
Gambar 4.13 Hasil foto SEM Retak Mikro pada Permukaan Benda Kerja dengan Tipe Abrasif yang Berbeda ... 66
x
Gambar 4.14 Foto SEM Geram dengan Tipe Abrasif Aluminum Oxide dan Kedalaman Potong 0.01 mm ... 67 Gambar 4.15 Foto SEM Geram dengan Tipe Abrasif Aluminum Oxide dan Kedalaman
Potong 0.03 mm ... 67 Gambar 4.16 Foto SEM Geram dengan Tipe Abrasif Aluminum Oxide dan Kedalaman
Potong 0.06 mm ... 68 Gambar 4.17 Foto SEM Geram dengan Tipe Abrasif Green Silicone dan Kedalaman
Potong 0.01 mm ... 69 Gambar 4.18 Foto SEM Geram dengan Tipe Abrasif Green Silicone dan Kedalaman
Potong 0.03 mm ... 69 Gambar 4.19 Foto SEM Geram dengan Tipe Abrasif Green Silicone dan Kedalaman
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Contoh Kodifikasi Roda Gerinda Berdasarkan ISO ... 11
Tabel 2.2 Ukuran Grit ... 11
Tabel 2.3 Nilai Kekerasan Roda Gerinda ... 12
Tabel 2.4 Jenis Bahan Pengikat ... 13
Tabel 2.5 Angka Kekasaran dan Panjang Sampel Standar ... 19
Tabel 2.6 Nilai Kekasaran yang Dicapai oleh Beberapa Pengerjaan... 20
Tabel 2.7 Susunan Data Untuk Sebuah Rancangan Faktorial Tiga Faktor ... 23
Tabel 2.8 Tabel Analisis Variansi (ANAVA) Dua Arah... 26
Tabel 3.1 Komposisi Kimia SKD 11 ... 32
Tabel 3.2 Sifat Mekanik SKD 11 ... 33
Tabel 3.3 Spesifikasi Roda Gerinda ... 33
Tabel 3.4 Spesifikasi Dinamometer Kistler 9272 ... 36
Tabel 3.5 Isian Rancangan Percobaan ... 42
Tabel 4.1 Data Gaya Potong Hasil Eksperimen ... 43
Tabel 4.2 Data Kekasaran Permukaan Hasil Eksperimen... 44
Tabel 4.3 Analisis Variansi (ANAVA) Variabel Proses pada Gaya Potong ... 46
Tabel 4.4 Hasil Uji Tukey pada Tipe Abrasif ... 47
Tabel 4.5 Hasil Uji Tukey pada Kecepatan Makan ... 47
Tabel 4.6 Hasil Uji Tukey pada Kedalaman Potong ... 47
Tabel 4.7 Analisis Variansi (ANAVA) Variabel Proses pada Kekasaran Permukaan 50 Tabel 4.8 Hasil Uji Tukey pada Tipe Abrasif ... 51
Tabel 4.9 Hasil Uji Tukey pada Kecepatan Makan ... 51
Tabel 4.10 Hasil Uji Tukey pada Kedalaman Potong ... 51
Tabel 4.11 Klasifikasi Derajat Burning ... 58
Tabel 4.12 Data Derajat Burning Hasil Eksperimen ... 59
Tabel 4.13 Hasil Pengukuran Kepadatan Retakan ... 62
Tabel 4.14 Analisis Variansi (ANAVA) Faktor pada Kepadatan Retakan ... 63
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gerinda permukaan (surface grinding) adalah salah satu proses finishing untuk menghasilkan permukaan yang datar dan halus sesuai dengan ketelitian dimensi dan bentuk yang dikehendaki. Proses gerinda permukaan menghasilkan akurasi dimensi yang tinggi, kekasaran permukaan yang rendah dan dapat diaplikasikan untuk material yang telah dikeraskan (heat-treated). Oleh karena itu proses ini sering digunakan ketika geometri, dimensi dan toleransi dari benda kerja tidak dapat dicapai dengan proses pemesinan yang lain, seperti proses bubut, freis maupun sekrap. Material untuk alat-alat potong seperti pahat, dies dan punch biasanya dipilih berdasarkan sifatnya yang keras dan tahan aus. Salah satu material yang sering dipakai adalah SKD11 yang telah dikeraskan. Karena persyaratan geometri, dimensi dan kualitas permukaan untuk peralatan-peralatan tersebut umumnya sangat ketat, maka proses gerinda biasanya digunakan untuk memenuhi spesifikasi-spesifikasi yang disyaratkan (Kopack, 2006). Tetapi ada hal yang perlu diperhatikan dalam proses gerinda permukaan, karena proses ini menghasilkan gaya-gaya dan panas yang dapat menimbulkan pengaruh negatif terhadap integritas permukaan benda kerja (IPBK) dari alat-alat potong yang telah disebutkan diatas apabila tidak dikendalikan dengan benar. Proses ini juga menghasilkan kecepatan penghasilan geram yang rendah, karena hanya mungkin dilakukan dengan kedalaman potong (depth of cut) yang tipis, sehingga jika tidak dikendalikan dengan benar waktu untuk penggerindaan akan semakin lama. Pemilihan jenis, bentuk dan dimensi dari roda gerinda yang dipakai juga perlu mendapat perhatian supaya proses gerinda dapat dilaksanakan dengan efisien.
Kualitas permukaan benda kerja berhubungan dengan kualitas dari permukaan yang diproses (Shaw, 1994). IPBK adalah kondisi permukaan benda kerja setelah mengalami proses pemesinan. Ada dua karakteristik dari IPBK, yaitu karakteristik topografi dan karakteristik lapisan permukaan. Karakteristik topografi terdiri dari kekasaran permukaan, gelombang dan kesalahan bentuk,
2
sedangkan karakteristik lapisan permukaan yang dapat berubah selama proses pemesinan antara lain deformasi plastis, tegangan sisa, surface burning dan retak mikro. Alat-alat potong yang telah disebutkan harus memiliki sifat-sifat permukaan yang baik. Proses gerinda permukaan juga harus mampu membuat permukaan dari alat-alat potong tersebut memiliki ketahanan terhadap korosi (Demir, 2003).
Proses gerinda permukaan menghasilkan berbagai macam bentuk geram. Bentuk geram tergantung pada material benda kerja, jenis proses pemesinan dan kondisi pemotongan yang digunakan. Performansi dari proses gerinda bisa dievaluasi berdasarkan mekanisme pembentukan geram, dengan melakukan pengamatan dan analisis terhadap geram yang terbentuk. Geram hasil proses penggerindaan biasanya berbentuk lamellar, spherical, leafy, tidak teratur dan blocky particles. Bentuk geram yang terjadi utamanya dipengaruhi oleh material benda kerja, ukuran butir-butir abrasif (grain) roda gerinda, kecepatan makan dan metode pendinginan yang digunakan (Dhar dkk., 2006).
Seperti halnya dengan proses-proses pemesinan lainnnya dimana pahat potong memegang peranan utama, maka roda gerinda harus dipilih dengan seksama, baik bentuk, dimensi, maupun jenisnya. Jenis roda gerinda beragam tergantung pada kebutuhan proses gerinda. Serbuk abrasif merupakan bagian yang aktif yang berfungsi sebagai mata potong yang tersebar diseluruh permukaan roda gerinda. Saat ini ada empat macam serbuk gerinda yang umum dipakai, yaitu jenis oksida aluminium, karbida silikon, karbida, dan intan. Jenis roda gerinda juga berpengaruh pada grindability dan tegangan sisa. Dengan menggunakan material roda gerinda jenis oksida aluminium yang diproduksi dengan teknik sol gel (SG), maka grindability akan meningkat dan tegangan sisa akan menurun jika dibandingkan dengan material roda gerinda jenis oksida aluminium yang diproduksi dengan cara konvensional (Fathallah dkk., 2009).
Selain jenis roda gerinda, kedalaman potong juga berpengaruh terhadap kakasaran permukaan. Semakin besar kedalaman potong yang digunakan, maka tingkat kekasaran permukaan benda kerja juga akan meningkat (Nguyen, 2003).
3 1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, maka rumusan masalah pada tesis ini adalah bagaimana pengaruh dari tipe abrasif dan variabel proses gerinda permukaan (kecepatan makan dan kedalaman potong) terhadap gaya potong, IPBK dan MPG.
1.2.1 Batasan Masalah
Batasan masalah yang diberlakukan agar penelitian dapat berjalan secara fokus dan terarah, serta dapat mencapai tujuan yang diinginkan adalah sebagai berikut:
1. Tidak membahas komponen biaya pada proses pemesinan. 2. Tidak membahas getaran pada poros gerinda.
3. Tidak membahas pengaruh cairan pendingin secara kimiawi.
4. Material yang digunakan belum mengalami proses perlakuan panas. 5. Foto retakan pada permukaan benda kerja diambil secara acak.
1.2.2 Asumsi Penelitian
Asumsi-asumsi yang diberlakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Variabel-variabel proses/faktor–faktor yang tidak diteliti dianggap konstan dan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap hasil penelitian.
2. Faktor interaksi tidak digunakan dalam penelitian ini.
3. Sifat mekanik dan komposisi kimia material yang digunakan adalah homogen.
4. Mesin bekerja dalam kondisi baik selama proses pemesinan.
5. Alat ukur yang digunakan selama proses pemesinan layak dan terkalibrasi.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian berdasarkan rumusan masalah adalah mengetahui bagaimana pengaruh dari tipe abrasif dan variabel-variabel proses gerinda permukaan (kecepatan makan dan kedalaman potong) terhadap gaya potong, IPBK dan MPG.
4 1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Sebagai bahan referensi bagi penelitian selanjutnya untuk mengembangkan hubungan antara tipe abrasif dan variabel-variabel proses gerinda permukaan (kecepatan makan dan kedalaman potong), terhadap gaya potong, IPBK dan MPG pada proses penggerindaan baja perkakas SKD11.
2. Meningkatkan pengetahuan tentang teknologi proses pemesinan gerinda permukaan untuk pembuatan komponen-komponen pemesinan yang presisi.
5
BAB II
DASAR TEORI
2.1 Proses Pemesinan Abrasif (Abrasive Machining)
Proses manufaktur seringkali tidak bisa menghasilkan benda kerja dengan akurasi dimensi atau tingkat kekasaran tertentu. Ada banyak factor yang menjadi penyebabnya, misalnya material yang dikerjakan terlalu keras atau terlalu getas. Salah satu proses yang umum digunakan untuk menghasilkan benda kerja dengan karakteristik tertentu diatas adalah dengan abrasive machining. Abrasive machining adalah proses pemesinan dimana pelepasan material dari benda kerja menggunakan partikel abrasif. Proses pemesinan ini bekerja dengan cara menggesekkan partikel abrasif ke permukaan benda kerja mirip dengan proses pemesinan konvensional seperti freis atau bubut, karena masing-masing dari partikel abrasif bertindak seperti miniatur pahat potong. Tetapi geometri dan orientasi dari miniatur pahat potong yang berupa partikel ini tidak didefinisikan dengan baik. Hal ini menghasilkan panas yang tinggi (Groover, 2010). Proses abrasif dapat dibagi menjadi dua kategori berdasarkan tipenya, yaitu:
1. Proses abrasif berikat (Bonded abrasive processes) dimana partikel abrasif direkatkan antara satu dengan yang lain dengan menggunakan perekat tertentu.
2. Proses abrasif lepas (Loose abrasive processes) dimana tidak ada struktur yang merekatkan partikel abrasif satu dengan yang lain.
2.2 Proses Pemesinan Gerinda Permukaan
Proses gerinda adalah salah satu tipe dari abrasive machining yang digunakan untuk proses finishing. Proses ini merupakan proses pelepasan material dengan menggunakan pahat yang berupa roda gerinda berbentuk piringan (grinding wheel/disk), yang dibuat dari campuran serbuk abrasif dan bahan pengikat dengan komposisi dan struktur tertentu (Rochim, 1993). Dengan menggunakan proses gerinda maka kekasaran permukaan produk yang rendah dan toleransi geometrik yang sempit dapat dicapai dengan cara yang mudah, serta
6
dapat digunakan untuk menghaluskan dan meratakan benda kerja yang telah dikeraskan. Secara garis besar proses gerinda digolongkan menjadi 2 jenis, tergantung pada bentuk permukaan yang dihasilkan (Rochim, 1993), yaitu :
1. Gerinda silindrik (cylindrical grinding) untuk menghasilkan permukaan silindrik.
2. Gerinda permukaan (surface grinding) untuk menghasilkan permukaan rata/datar.
Pelepasan material pada proses gerinda terjadi karena kondisi cutting antara roda gerinda dengan permukaan benda kerja. Permukaan benda kerja mendapat tekanan yang akan menimbulkan konsentrasi tegangan di daerah sekitar titik penekanan mata potong pahat. Hal ini menyebabkan terjadi deformasi plastis yang menggeser dan memutuskan benda kerja diujung pahat pada suatu bidang geser.
Proses gerinda permukaan dipengaruhi o l e h beberapa parameter pemotongan seperti ditunjukkan pada Gambar 2.1.
7 Dengan:
lt : jarak gerak melintang; (mm)
lw : panjang penggerindaan benda kerja; (mm) ln : panjang langkah pengakhiran; (mm) lv : panjang langkah pengawalan; (mm) v : kecepatan makan tangensial; (mm/s) fa : gerak makan aksial; (mm/langkah)
fr : gerak makan radial; (mm/langkah) D : diameter roda gerinda; (mm) bs : lebar roda gerinda; (mm) ns : putaran roda gerinda; (r/min)
V : kecepatan periferal roda gerinda; (m/s) d : kedalaman potong; (mm)
w : lebar benda kerja; (mm)
Roda gerinda yang dipasang pada poros utama berputar dengan kecepatan periferal tertentu tergantung pada diameter roda gerinda dan putarannya. Kecepatan periferal pada tepi roda gerinda dapat dihitung dengan rumus berikut (Rochim, 1993),
=
60000 / (2.1)
Dengan:
v s : kecepatan perifera l roda gerinda; (m/s) ds : diameter roda gerinda; (mm)
n s : putaran roda gerinda; (r/min) 2.3 Mekanisme Pembentukan Geram
Mekanisme pembentukan geram dalam proses gerinda permukaan sama seperti mekanisme pembentukan geram pada proses pemesinan konvensional yang lain. Pada proses pemesinan gerinda permukaan, masing-masing butiran
8
abrasif dari roda gerinda bertindak seperti miniatur pahat potong. Geometri dan orientasi dari butiran abrasif ini bersifat acak dan ketika proses gerinda permukaan berlangsung tidak semua butiran abrasif memotong benda kerja. Dalam proses gerinda permukaan ada tiga tipe aksi dari butiran abrasif yaitu, cutting, plowing dan rubbing. Cutting adalah kondisi dimana butiran abrasif cukup panjang untuk menyentuh benda sehingga memungkinkan proses pemotongan terjadi. Plowing adalah kondisi dimana butiran abrasif menyentuh benda kerja tetapi tidak cukup panjang. Hal ini mengakibatkan permukaan benda kerja terdeformasi, tetapi tidak terjadi pemotongan. Rubbing adalah kondisi dimana butiran abrasif menyentuh permukaan benda kerja. Permukaan benda kerja tidak terdeformasi dan tidak terjadi pemotongan. Dalam kondisi ini butiran abrasif dan permukaan benda kerja hanya bergesekan. Ilustrasi ketiga kondisi tersebut ditunjukkan pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2 Tiga tipe aksi dari butiran abrasif: (a) Cutting (b) Plowing (c) Rubbing (Groover, 2010)
Ketika kondisi cutting pada proses gerinda permukaan terjadi, permukaan benda kerja mendapat tekanan yang akan menimbulkan konsentrasi tegangan di daerah sekitar titik penekanan mata potong pahat. Tegangan pada benda kerja tersebut mempunyai orientasi yang kompleks dan pada salah satu arah akan terjadi tegangan geser yang maksimum. Apabila tegangan geser ini melebihi yield point benda kerja, maka akan terjadi deformasi plastis yang menggeser dan memutuskan benda kerja diujung pahat pada suatu bidang geser. Sudut geram pada butiran abrasif roda gerinda bersifat acak dan tersebar diseluruh permukaan roda gerinda. Ilustrasi pembentukan geram pada proses gerinda permukaan dengan bebarapa sudut geram ditunjukkan pada Gambar 2.3.
9
(a) (b) (c)
Gambar 2.3 Mekanisme pembentukan geram pada proses gerinda permukaan, (a) sudut geram positif, (b) sudut geram 90o, (c) sudut geram negatif Sistem gaya pada proses gerinda permukaan mempunyai prinsip yang sama dengan proses pemesinan konvensional yang lain. Berdasarkan teori Merchant, sistem gaya dipandang hanya pada satu bidang, sehingga gaya total dapat diuraikan menjadi dua komponen gaya yang saling tegak lurus. Penguraian gaya dalam hal ini dapat dikemukakan dalam tiga cara (Rochim, 1993), yaitu:
1. Gaya total (F), ditinjau dari proses deformasi material, dapat diuraikan menjadi dua komponen, yaitu:
Fs : gaya geser yang mendeformasikan material pada suatu bidang geser sehingga melampaui batas elastis.
Fsn : gaya normal pada bidang geser yang menyebabkan pahat tetap menempel pada benda kerja.
2. Gaya total (F) dapat diketahui arah dan besarnya dengan menggunakan dinamometer. Komponen gaya yang diukur adalah:
Fx : gaya tangensial, searah dengan sumbu X. Fz : gaya normal, searah dengan sumbu Z.
3. Gaya total (F) yang bereaksi pada bidang geram, dapat diuraikan menjadi dua komponen, yaitu:
F : gaya gesek pada bidang geram. Fn : gaya normal pada bidang geram.
Karena berasal dari satu gaya, yaitu gaya total (F), maka Merchant membuat suatu ilustrasi dimana gaya-gaya tersebut dilukiskan pada suatu lingkaran dengan
10
diameter yang sama dengan gaya total. Gambar 2.4. menunjukkan lingkaran gaya pemotongan pada sudut geram positif.
Gambar 2.4 Lingkaran gaya pemotongan 2.4 Roda Gerinda
Seperti halnya dengan proses pemesinan yang lain dimana pahat memegang peranan utama sebagai media potong, maka untuk proses gerinda yang berfungsi sebagai media potong adalah roda gerinda. Roda gerinda harus dipilih dengan seksama berdasarkan bentuk, dimensi dan jenisnya supaya proses gerinda dapat dilaksanakan dengan efisien. Untuk membantu pemilihan roda gerinda maka International Organization for Standardization (ISO) merekomendasikan pemakaian jenis roda gerinda yang telah distandarkan (ISO 525-1999). Berdasarkan ISO setiap roda gerinda memiliki kode tertentu yang berisi informasi mengenai spesifikasi dari roda gerinda dalam bentuk serangkaian huruf dan angka. Bentuk umum dari kodifikasi roda gerinda berdasarkan ISO dapat dilihat pada Tabel 2.1.
11
Tabel 2.1 Contoh Kodifikasi Roda Gerinda Berdasarkan ISO Contoh
kodifikasi 51 A 36 L 5 V 23 50
Urutan
spesifikasi 0 1 2 3 4 5 6 7
Dengan:
0 : Spesifikasi serbuk abrasif: sesuai dengan klasifikasi lebih lanjut dari pabrik pembuat.
1 : Jenis serbuk abrasif: dimana jenis serbuk abrasif yang sering dipakai adalah aluminum oxide, silicon carbide, cubic boron nitride (CBN) dan diamond (Boothro yd, 2006).
2 : Ukuran grit: dimana angka yang besar menunjukkan bahwa ukuran serbuknya kecil. Berdasarkan ISO, ukuran grit dapat dilihat pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Ukuran Grit
Macrogrits Microgrits
Coarse Medium Fine Very fine
4 30 70 230 5 36 80 240 6 40 90 280 7 46 100 320 8 54 120 360 10 60 150 400 12 - 180 500 14 220 600 16 - 800 20 1000 22 1200 24 - Sumber: ISO 525-1999
12
3 : Nilai kekerasan roda gerinda atau kekuatan ikatan serbuk abrasif: dimana nilai kekerasan diidentifikasikan oleh urutan huruf dari A hingga Z secara berurutan dengan tingkat kekerasan makin tinggi. Berdasarkan ISO, nilai kekerasan roda gerinda dapat dilihat pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Nilai Kekerasan Roda Gerinda
A B C D Extremely soft E F G - Very soft H I J K Soft L M N O Medium P Q R S Hard T U V W Very hard X Y Z - Extremely hard Sumber: ISO 525-1999
4 : Struktur roda gerinda: yang menyatakan kerapatan atau konsentrasi serbuk abrasif persatuan luas. Struktur dalam roda gerinda terdiri dari butiran abrasif, bahan pengikat dan pori-pori. Struktur tersebut diidentifikasikan dengan menggunakan angka 0 sampai 30. Angka yang kecil menunjukkan bahwa roda gerinda mempunyai kerapatan serbuk yang tinggi. Ilustrasi struktur dari roda gerinda dapat dilihat pada Gambar 2.5.
Gambar 2.5 Struktur roda gerinda (Groover, 2010)
5 : Jenis bahan pengikat serbuk abrasif: berdasarkan ISO jenis bahan pengikat diidentifikasikan pada Tabel 2.4 sebagai berikut:
13 Tabel 2.4 Jenis Bahan Pengikat
V Vitrified bond
R Rubber bond
RF Reinforced rubber bond
B Resinoid and other thermosetting organic bonds
BF Resinoid bond fiber reinforced
E Shellac bond
MG Magnesite Bond
PL Plastic Bond Sumber: ISO 525-1999
6 : Spesifikasi bahan pengikat: yang berupa angka dan hanya dicantumkan bila perlu, sesuai dengan jenis dan modifikasi yang dilakukan oleh pabrik pembuat.
7 : Kecepatan periferal maksimum roda gerinda: dengan satuan m/s.
2.5 Balancing dan Dressing
Pelepasan material pada proses gerinda terjadi karena gesekan antara roda gerinda dengan benda kerja. Proses ini terjadi pada putaran yang tinggi. Hal yang perlu diperhatikan dalam proses gerinda adalah keseimbangan dari roda gerinda itu sendiri. Roda gerinda yang tidak seimbang dapat pecah ketika berputar dengan kecepatan tinggi dan bisa mengakibatkan cedera, terhadap operator maupun kerusakan terhadap benda kerja (Black, 2004). Roda gerinda yang tidak seimbang juga akan menghasilkan permukaan akhir yang buruk dan dapat menyebabkan keausan pada bantalan poros. Roda gerinda yang tidak seimbang bisa disebabkan oleh campuran perekat dan abrasif yang tidak merata maupun sebagian roda gerinda basah karena oli atau air, sehingga diperlukan proses balancing terhadap roda gerinda sebelum digunakan. Balancing adalah proses penyeimbangan roda gerinda dengan penambahan dua atau tiga bobot penyeimbang, sehingga roda gerinda tidak berat pada satu titik. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam proses gerinda permukaan adalah tumpulnya sisi potong pada roda gerinda. Dalam hal ini diperlukan dressing untuk menghilangkan butiran abrasif yang sudah tumpul,
14
sehingga muncul sisi potong yang baru yang membuat kemampuan potong menjadi optimal lagi.
2.6 Cairan Pendingin
Proses pemesinan gerinda permukaan menghasilkan panas yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan proses pemesinan yang lain. Hal ini mengakibatkan kerusakan pada permukaan benda kerja (surface burning dan retakan). Panas yang tinggi ini disebabkan oleh geometri butiran-butiran abrasif yang tidak beraturan. Hal ini menciptakan kondisi sumber-sumber panas seperti kondisi plowing, rubbing dan rake angle negatif yang besar.
Cairan pendingin yang diberikan pada benda kerja pada saat proses gerinda permukaan akan berfungsi sebagai penyerap panas, sehingga tingkat distribusi panas yang terjadi selama proses gerinda permukaan berkurang. Cairan pendingin juga berfungsi sebagai pelumas yang dapat mengurangi gesekan antara roda gerinda dengan geram maupun dengan permukaan benda kerja. Selain sebagai pelumas dan penyerap panas, cairan pendingin dalam beberapa kasus mampu menurunkan gaya potong dan memperhalus permukaan material. Fungsi lain dari cairan pendingin adalah sebagai pembersih atau pembilas geram pada waktu proses gerinda permukaan. Cairan pendingin yang biasa dipakai dalam proses pemesinan dapat diklasifikasikan dalam empat jenis utama, yaitu:
a. Cairan Sintetik (Synthetic Oils)
Cairan sintetik adalah cairan jernih yang dibuat dengan melarutkan borat, nitrit, nitrat atau f osfat ke dalam air. Larutan ini tidak bersifat melumasi dan dipakai untuk penyerapan panas yang tinggi. Cairan sintetik merupakan cairan dengan penyerapan panas yang terbaik diantara semua cairan pendingin.
b. Cairan Emulsi (Soluble Oils)
Cairan emulsi adalah cairan minyak dengan unsur pengemulsi yang dicampur dengan air. Cairan emulsi mempunyai daya lumas dan penyerapan terhadap panas yang baik. Unsur pengemulsi yang dipakai adalah sabun yang berupa amine soaps, rosin soaps atau naphthenic acids.
15 c. Cairan Semi Sintetik (Semi Synthetic Oils)
Cairan semi sintetik adalah cairan pendingin kombinasi antara cairan sintetik dan cairan emulsi, sehingga memiliki karakteristik keduanya. Cairan semi sintetik mempunyai daya pendingin yang baik dan bahan dasar pembentuknya dapat bercampur dengan air.
d. Minyak Murni (Straight Oils)
Minyak murni adalah cairan pendingin yang dibuat dari minyak. Cairan ini tidak dapat diemulsikan dan digunakan pada proses pemesinan dalam bentuk yang sudah diencerkan. Cairan minyak dapat berupa salah satu atau gabungan minyak bumi, minyak hewani dan minyak nabati. Viskositas dari minyak murni dapat bermacam-macam, dari yang encer sampai dengan yang kental tergantung dari pemakaiannya.
2.7 Integritas Permukaan (Surface Integrity) Benda Kerja 2.7.1 Retak Mikro
Retak mikro merupakan salah satu aspek dari surface integrity. Gambar 2.6 menunjukkan foto SEM retakan yang terjadi pada baja AISI D2.
(a) (b)
Gambar 2.6 Foto SEM retakan pada baja AISI D2 hasil proses gerinda permukaan (a) retakan yang terjadi pada benda kerja yang menggunakan roda gerinda alluminum oxide (b) retakan yang terjadi pada benda kerja yang menggunakan roda gerinda sol-gel (Fathallah dkk., 2009).
Adanya retakan akan menyebabkan peralatan-peralatan hasil proses gerinda permukaan tidak dapat berfungsi dengan baik. Pada proses pemesinan gerinda
16
permukaan, retakan yang terjadi pada benda kerja disebabkan oleh faktor kedalaman potong (Fathallah dkk., 2009). Selain itu, tipe abrasif, metode pendinginan yang digunakan dan konduktivitas termal yang dimiliki oleh roda gerinda juga mempengaruhi terjadinya retakan.
Jika suatu material diamati lebih lanjut, maka morfologi permukaan menunjukkan bahwa parameter-parameter proses gerinda permukaan yang berbeda menyebabkan kepadatan-kepadatan retakan permukaan yang berbeda. Retakan permukaan adalah salah satu sumber yang potensial untuk terjadinya kegagalan komponen, sehingga diperlukan pengkualifikasian derajat dari retakan dengan menggunakan standar yang bersifat objektif. Pengkualifikasian dengan cara mengestimasi lebar, panjang atau kedalaman retakan atau bahkan jumlah dari retakan, tidak mudah untuk dilakukan. Oleh karena itu, Lee dan Tai (2003) mendefinisikan suatu kepadatan retakan permukaan sebagai rasio antara panjang retakan keseluruhan di penampang yang diamati dengan luas penampang yang diamati, untuk mengevaluasi seberapa parah keretakan yang terjadi. Dengan demikian, kepadatan retakan permukaan (KRP) dapat dirumuskan sebagai berikut:
KRP = [ ]
[ ] (2.2) 2.7.2 Surface Burning
Surface burning merupakan salah satu kerusakan termal yang terjadi selama proses gerinda permukaan. Hal ini terjadi pada area gesekan antara roda gerinda dengan permukaan benda kerja dimana pada area ini temperatur naik sangat tinggi. Surface burning ditandai dengan perubahan warna dari permukaan benda kerja hasil proses gerinda. Secara visual perubahan warna yang terjadi adalah warna biru kemerah-merahan. Perubahan warna yang terjadi ini seringkali terjadi tanpa disertai adanya kerusakan secara metalurgi. Tetapi hal ini merupakan indikator bahwa kerusakan termal telah terjadi dan jika tidak dikendalikan dengan benar maka akan terjadi kerusakan permukaan yang lebih lanjut. Surface burning disebabkan karena lapisan permukaan yang tipis pada benda kerja teroksidasi dan juga metode pendinginan yang kurang tepat. Selain itu, komposisi kimia, perlakuan panas dan bentuk dari material juga berpengaruh terhadap fenomena surface burning.
17 2.7.3 Kekasaran Permukaan Benda Kerja
Kekasaran permukaan didefinisikan sebagai ketidakteraturan konfigurasi permukaan pada suatu benda atau bidang. Hal ini terjadi karena terjadinya berbagai penyimpangan selama proses pemesinan, sehingga permukaan yang mempunyai bentuk sempurna tidak dapat dibuat. Posisi Ra, bentuk profil, panjang sampel dan panjang pengukuran yang dibaca oleh alat ukur kekasaran permukaan dapat dilihat pada Gambar 2.7
Gambar 2.7 Parameter dalam profil permukaan (Rochim, 2001)
Keterangan Gambar 2.7 adalah sebagai berikut:
a. Profil Geometris Ideal (Geometrically Ideal Profile)
Profil ini merupakan profil dari geometris permukaan yang ideal yang tidak mungkin diperoleh karena banyaknya faktor yang mempengaruhi dalam proses pembuatannya. Bentuk dari profil geometris ideal ini dapat berupa garis lurus, lingkaran dan garis lengkung.
b. Profil Referensi/Acuan/Puncak (Reference Profile)
Profil ini digunakan sebagai acuan untuk menganalisis ketidakteraturan konfigurasi permukaan. Profil ini dapat berupa garis lurus atau garis dengan bentuk sesuai dengan profil geometrik ideal, serta menyinggung puncak tertinggi tertinggi profil terukur dalam suatu panjang sampel.
c. Profil Terukur (Measured Profile)
18 d. Profil Alas (Root Profile)
Profil alas adalah profil referensi yang digeserkan ke bawah (arah tegak lurus terhadap profil geometrik ideal pada suatu panjang sampel) sehingga menyinggung pada titik paling terendah profil terukur.
e. Profile Tengah (Center Profile)
Profil tengah merupakan profil referensi yang digeserkan ke bawah (arah tegak lurus terhadap profil geometrik ideal pada suatu panjang sampel) sedemikian rupa sehingga jumlah luas bagi daerah-daerah diatas profil tengah sampai profil terukur sama dengan jumlah luas daerah-daerah dibawah profil tengah sampai profil terukur.
Berdasarkan profil-profil yang diterangkan diatas, dapat didefinisikan beberapa parameter permukaan, yaitu yang berhubungan dengan dimensi pada arah tegak dan arah memanjang/ mendatar. Untuk dimensi arah tegak dikenal beberapa parameter, yaitu:
a. Kekasaran Total (Rt)
Kekasaran total adalah jarak antara profil referensi dengan profil alas. b. Kekasaran Perataan (Rp)
Kekasaran perataan adalah jarak rata-rata antara profil referensi dengan profil terukur. Rp =
l dx yi l 0 1 (2.3)c. Kekasaran Rata-rata Aritmatik (Ra)
Kekasaran rata-rata aritmatik adalah harga rata-rata jarak antara profil terukur dengan profil tengah. Secara umum Ra dirumuskan:
Ra =
l dx hi l 0 1 (2.4)Harga Ra tersebut dapat didekati oleh persamaan: Ra =
n i hi l 1 1 (2.5) Ra = l h h h h1 2 3 ... n (2.6)19 Dengan:
Ra : nilai kekasaran aritmatika.
hn : tinggi atau dalam bagian-bagian profil hasil pengukuran jarum peraba. n : frekuensi pengukuran.
l : panjang sampel yang telah ditentukan.
Dari bermacam-macam parameter permukaan yang disebutkan diatas, parameter Ra relatif lebih banyak digunakan untuk mengidentifikasikan permukaan. Hal ini disebabkan harga Ra lebih sensitif terhadap perubahan/penyimpangan yang terjadi pada proses pemesinan. Dengan demikian, jika ada tanda-tanda kenaikan kekasaran maka pencegahan dapat cepat dilakukan.
ISO telah mengklasifikasikan nilai kekasaran rata-rata aritmetik (Ra) menjadi 12 tingkat kekasaran seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.5. Angka kekasaran permukaan ini bertujuan untuk menghindari kemungkinan terjadinya kesalahan dalam menginterpretasikan satuan harga kekasaran permukaan. Dengan adanya satuan harga ini, kekasaran permukaan dapat dituliskan langsung dengan menyatakan harga Ra atau dengan menggunakan tingkat kekasaran ISO.
Tabel 2.5 Angka Kekasaran dan Panjang Sampel Standar Ra (µm) Angka kelas kekasaran Panjang sampel (mm) Keterangan 50 25 N12 N11 8 Sangat kasar 12,5 6,3 N10 N9 2,5 Kasar 3,2 1,6 0,8 0,4 N8 N7 N6 N5 0,8 Normal 0,2 0,1 0,05 N4 N3 N2 0,25 Halus 0,025 N1 0,08 Sangat halus Sumber: Rochim, 2001
20
Beberapa nilai contoh kekasaran yang dapat dicapai oleh beberapa cara pengerjaan ditunjukkan pada Tabel 2.6 (Rochim, 1993).
Tabel 2.6 Nilai Kekasaran yang Dicapai Oleh Beberapa Pengerjaan
Keterangan:
Kasar : nilai kekasaran permukaan yang dicapai dengan pengerjaan kasar. Normal : nilai kekasaran permukaan yang dicapai dengan pengerjaan
normal.
Halus : nilai kekasaran permukaan yang dicapai dengan pengerjaan khusus.
2.8 Keausan Pada Proses Gerinda Permukaan
Pada proses gerinda permukaan, keausan merupakan suatu hal yang tidak bisa dihindari. Keausan terjadi baik terhadap roda gerinda maupun material benda kerja. Ada beberapa jenis keausan yang terjadi selama proses gerinda permukaan, antara lain:
a. Adhesive Wear
Keausan adhesif adalah salah satu jenis keausan yang disebabkan oleh terikat dan berpindahnya partikel dari suatu permukaan material yang lunak ke material yang lebih keras. Proses ini bermula ketika benda dengan kekerasan yang lebih
21
tinggi menyentuh permukaan yang lunak dan diikuti dengan terjadinya pengikatan. Pengikatan ini terjadi secara spontan dan pada suhu yang rendah. Ilustrasi dari keausan adhesif dapat dilihat pada Gambar 2.8 berikut:
Gambar 2.8 Keausan adhesif (Syafaat, 2008)
b. Abrasive Wear
Keausan abrasif disebabkan oleh hilangnya material dari permukaan benda kerja oleh material lain yang lebih keras. Ada dua kategori keausan ini, yaitu:
Two body abrasion
Keausan ini disebabkan oleh hilangnya material karena proses cutting oleh material yang keras terhadap material yang lunak. Hal ini menyebabkan material yang lunak akan terabrasi. Pada proses pemesinan sering terjadi keausan jenis ini, seperti terlihat pada Gambar 2.9 berikut:
22 Three body abrasion
Keausan jenis ini disebabkan oleh adhesive wear, sehingga serpihan hasil gesekan yang terbentuk (debris) mengeras serta ikut berperan dalam hilangnya material karena proses gesekan yang terjadi secara berulang-ulang. Jadi pengertian three body disini adalah dua material yang saling bergesekan dan sebuah benda serpihan hasil gesekan. Debris berasal dari serpihan logam yang teradhesi pada permukaan pahat potong, kemudian serpihan ini akan menggaruk permukaan pelat, sehingga terjadilah keausan secara abrasif. c. Surface fatigue wear
Keausan lelah pada permukaan pada hakikatnya bisa terjadi baik secara abrasif atau adhesif. Tetapi keausan jenis ini terjadi secara berulang-ulang dan periodik. Hal ini akan berakibat pada meningkatnya tegangan geser.
d. Tribo chemical wear
Keausan kimiawi merupakan kombinasi antara proses mekanis dan proses termal yang terjadi pada permukaan benda serta lingkungan sekitarnya. Sebagai contoh, proses oksidasi yang terjadi pada sistem kontak luncur (sliding contact) antar logam. Proses ini lama kelamaan akan menyebabkan perambatan retak dan akan menyebabkan korosi pada logam.
2.9 Metode Faktorial
Dalam statistika, eksperimen faktorial adalah percobaan yang terdiri dari 2 faktor atau lebih yang masing-masing faktor mempunyai level tertentu. Setiap unit percobaan mengambil semua kemungkinan kombinasi pada tiap-tiap level setiap faktor. Dalam pelaksanaannya percobaan faktorial harus dilakukan secara acak untuk mengurangi bias pada hasil. Metode ini pertama kali digunakan oleh John Bennet Lawes dan Joseph Henry Gilbert pada abad 19 pada percobaan stasiun Rothamsted. Percobaan yang didasarkan pada rancangan faktorial memungkinkan peneliti untuk mempelajari pengaruh setiap faktor terhadap variabel respon, serta efek dari interaksi antara faktor-faktor pada variabel respon. Tabel 2.7 menunjukkan percobaan faktorial dengan dua replikasi. Percobaan ini mencangkup tiga faktor dengan satu faktor memiliki dua level dan dua faktor yang lain memiliki tiga level.
23
Tabel 2.7 Susunan Data Untuk Sebuah Rancangan Faktorial Tiga Faktor
Faktor Respon A B C Replikasi 1 Replikasi 2 Level 1 Level 1 Level 1 Y1111 Y1112 Level 2 Y1121 Y1122 Level 3 Y1131 Y1132 Level 2 Level 1 Y1211 Y1212 Level 2 Y1221 Y1222 Level 3 Y1231 Y1232 Level 3 Level 1 Y1311 Y1312 Level 2 Y1321 Y1322 Level 3 Y1331 Y1332 Level 2 Level 1 Level 1 Y2111 Y2112 Level 2 Y2121 Y2122 Level 3 Y2131 Y2132 Level 2 Level 1 Y2211 Y2212 Level 2 Y2221 Y2222 Level 3 Y2231 Y2232 Level 3 Level 1 Y2311 Y2312 Level 2 Y2321 Y2322 Level 3 Y2331 Y2332 2.10 Desain Eksperimen
Desain eksperimen adalah proses mengevaluasi dua faktor atau lebih secara serentak terhadap kemampuannya untuk mempengaruhi rata-rata atau variabilitas hasil gabungan dari karakteristik produk atau proses tertentu (Soejanto, 2009). Untuk mencapai hal tersebut secara efektif, maka faktor dan level faktor dibuat bervariasi. Hasil dari kombinasi eksperimen tertentu diamati dan dianalisis. Hasil analisis ini kemudian digunakan untuk menentukan faktor-faktor yang berpengaruh.
Secara umum, desain eksperimen faktorial dibagi menjadi tiga tahap utama (JMP, 2010), yaitu:
2.9.1 Tahap Perencanaan
Langkah-langkah pada tahap ini adalah sebagai berikut: a. Perumusan Masalah
Perumusan masalah harus didefinisikan secara spesifik. Perumusan masalah harus jelas secara teknis sehingga dapat dituangkan ke dalam eksperimen yang akan dilakukan.
24 b. Penentuan Tujuan Eksperimen
Tujuan yang melandasi eksperimen harus dapat menjawab masalah yang telah dinyatakan pada perumusan masalah.
c. Penentuan Variabel Tak Bebas/Variabel Respon
Faktor/variabel respon memiliki nilai yang tergantung pada faktor-faktor lain. Dalam desain eksperimen faktor-faktorial, respon adalah karakteristik kualitas yang terdiri dari dua kategori, yaitu:
1) Karakteristik yang dapat diukur, yaitu semua hasil akhir yang dapat diukur dengan skala kontinyu. Contohnya adalah temperatur, berat, tekanan, dan lain-lain.
2) Karakteristik atribut, yaitu semua hasil akhir yang tidak dapat diukur dengan skala kontinyu, tetapi dapat diklasifikasikan secara berkelompok. Contohnya adalah retak, jelek, baik, dan lain-lain. d. Pengidentifikasian Faktor/Variabel Bebas
Faktor/variabel bebas adalah variabel yang perubahannya tidak tergantung pada variabel lain. Pada langkah ini akan dipilih faktor-faktor yang akan diselidiki pengaruhnya terhadap respon yang bersangkutan. Dalam suatu eksperimen, tidak semua faktor yang diperkirakan mempengaruhi respon harus diselidiki. Dengan demikian, eksperimen dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien.
e. Pemisahan Faktor/Variabel Kontrol dan Faktor/Variabel Gangguan Faktor-faktor yang diamati dapat dibagi menjadi faktor kontrol dan faktor gangguan. Dalam desain eksperimen faktorial, keduanya perlu diidentifikasi dengan jelas sebab pengaruh antar kedua faktor tersebut berbeda. Faktor kontrol adalah faktor yang nilainya dapat dikendalikan, sedangkan faktor gangguan adalah faktor yang nilainya tidak dapat dikendalikan.
f. Penentuan Jumlah Level dan Nilai Level Faktor/Variabel
Pemilihan jumlah level akan mempengaruhi ketelitian hasil dan biaya pelaksanaan eksperimen. Semakin banyak level yang diteliti, maka hasil eksperimen yang diperoleh akan semakin akurat, tetapi biaya yang harus dikeluarkan akan semakin banyak.
25 2.9.2 Tahap Pelaksanaan
Tahap pelaksanaan meliputi penentuan jumlah replikasi dan randomisasi pelaksanaan eksperimen.
a. Jumlah Replikasi
Replikasi adalah pengulangan perlakuan yang sama dalam suatu percobaan untuk mendapatkan ketelitian yang lebih tinggi. Replikasi ditujukan untuk mengurangi tingkat kesalahan pada eksperimen dan memperoleh harga taksiran dari kesalahan sebuah eksperimen.
b. Randomisasi
Dalam sebuah eksperimen, ada pengaruh faktor-faktor lain yang tidak diinginkan atau tidak dapat dikendalikan, seperti kelelahan operator, fluktuasi daya mesin dan lain-lain. Pengaruh tersebut dapat diperkecil dengan menyebarkan faktor-faktor tersebut melalui randomisasi (pengacakan) urutan percobaan. Secara umum, randomisasi dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:
1) Meratakan pengaruh dari faktor-faktor yang tidak dapat dikendalikan pada semua unit eksperimen.
2) Memberikan kesempatan yang sama pada semua unit eksperimen untuk menerima suatu perlakuan, sehingga ada kehomogenan pengaruh dari setiap perlakuan yang sama.
3) Mendapatkan hasil eksperimen yang bebas satu sama lain.
Jika replikasi bertujuan untuk memungkinkan dilakukannya uji signifikansi, maka randomisasi bertujuan untuk memberikan validasi terhadap uji signifikansi tersebut dengan menghilangkan sifat bias. 2.9.3 Tahap Analisis
Tahap analisis meliputi pengumpulan data, pengaturan data dan perhitungan serta penyajian data dalam suatu tampilan tertentu yang sesuai dengan desain yang dipilih. Selain itu, juga dilakukan perhitungan dan pengujian data statistik pada data hasil eksperimen.
a. Analisis variansi (ANAVA)
Analisis variansi digunakan untuk menganalisis data yang telah disusun dalam desain secara statistik. Analisis ini dilakukan dengan menguraikan
26
seluruh variansi atas bagian-bagian yang diteliti. Pada tahap ini akan dilakukan pengklasifikasian hasil eksperimen secara statistik sesuai dengan sumber variasi sehingga dapat mengidentifikasi kontribusi faktor. Dengan demikian akurasi perkiraan model dapat ditentukan. Analisis variansi pada matriks ortogonal dilakukan berdasarkan perhitungan jumlah kuadrat untuk masing-masing kolom. Analisis variansi (ANAVA) dua arah digunakan untuk menganalisis data percoban yang terdiri dari dua faktor atau lebih dengan dua level atau lebih. Tabel ANAVA dua arah terdiri dari perhitungan derajat kebebasan (db), jumlah kuadrat (sum of square, SS), kuadrat tengah (mean of square, MS) dan Fhitung seperti ditunjukkan pada Tabel 2.8.
Tabel 2.8 Tabel Analisis Variansi (ANAVA) Dua Arah
Sumber
Variasi Sum of Square (SS)
Degree of Freedom (υ) Mean Square (MS) FRatio (F0) Faktor A SS = n (A − ) kA – 1 MS = SS k − 1 MS MS Faktor B SS = n (B − ) kB – 1 MS = SS k − 1 MS MS Error = − − υe = υT – υA – υB MS = SS k k (n − 1) Total SS = (y − )2 N – 1 Sumber: Ross, 2008 Keterangan:
kA = banyaknya level pada faktor A kB = banyaknya level pada faktor B nA = banyaknya replikasi faktor A nB = banyaknya replikasi faktor B N = jumlah total percobaan
27 b. Uji Distribusi F
Pengujian uji distribusi F dilakukan dengan cara membandingkan variansi yang disebabkan oleh masing-masing faktor dan error. Variansi error adalah variansi dari setiap individu dalam pengamatan yang timbul karena faktor-faktor yang tidak dapat dikendalikan (Soejanto, 2009). Secara umum, hipotesis yang digunakan dalam pengujian ini untuk faktor yang tidak diambil secara random (fixed) adalah:
H0 : μ1 = μ2 = μ3 = … = μk
H1 : sedikitnya ada satu pasangan μ yang tidak sama
Kegagalan menolak H0 mengindikasikan tidak adanya perbedaan rata-rata dari nilai respon yang dihasilkan pada perlakuan yang berbeda, sedangkan penolakan H0 mengindikasikan adanya perbedaan rata-rata dari nilai respon tersebut. Selain itu, karena respon pada setiap eksperimen dapat dimodelkan dalam bentuk (Montgomery, 1991):
Yijk = μ + τi + βj + εijk (2.7) maka hipotesis yang juga dapat digunakan dalam pengujian ini adalah:
Untuk taraf faktor A → H0 : τ1 = τ2 = τ3 = … = τk = 0 H1 : paling sedikit ada satu τi ≠ 0
Untuk taraf faktor B → H0 : β1 = β2 = β3 = … = βk = 0 H1 : paling sedikit ada satu βj ≠ 0
Kegagalan menolak H0 mengindikasikan tidak adanya pengaruh faktor A dan faktor B terhadap respon serta tidak ada interaksi antara faktor A dengan faktor B, sedangkan penolakan H0 mengindikasikan adanya pengaruh faktor A dan faktor B terhadap respon serta adanya interaksi antara faktor A dengan faktor B. Kegagalan menolak atau penolakan H0 berdasarkan pada nilai Fhitung yang dirumuskan:
Untuk taraf faktor A → Fhitung =
E A MS MS
(2.8)
Untuk taraf faktor B → Fhitung =
E B MS MS
28
Kegagalan menolak H0 pada masing-masing kasus dilakukan jika mengalami kondisi berikut:
Untuk taraf faktor A → Fhitung < F,A,E (2.10) Untuk taraf faktor B → Fhitung < F,B,E (2.11) Bila menggunakan perangkat lunak statistik, kegagalan menolak H0 dilakukan jika Pvalue lebih besar daripada α (taraf signifikansi). Kegagalan menolak H0 bisa juga dilakukan apabila nilai Fhitung > 2 (Park, 1996).
29
Identifikasi masalah
Perumusan masalah
Persiapan percobaan : - Mesin gerinda permukaan - Dinamometer
- Peralatan SEM - Peralatan uji kekasaran
- Material benda kerja (40 mm x 10 mm x 5 mm) - Alat ukur
- Jig
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Tahapan Penelitian
Langkah-langkah penelitian yang dilakukan pada penelitian ini mengikuti diagram alir yang ditunjukkan oleh Gambar 3.1 sebagai berikut:
Rancangan eksperimen: Material: SKD 11 yang belum mengalami perlakuan panas Pendingin: Soluble oil (20% emulsi dan 80% air)
Variabel Proses:
- Tipe abrasif (A46HV dan GC46HV) n = 3000 rpm
Dimensi roda gerinda = 200 mm x 32 mm x 25 mm - Kedalaman potong (0.01 mm, 0.03 mm, 0.06 mm) - Kecepatan makan (150 mm/s, 200 mm/s, 250 mm/s) Variabel Respon:
- Gaya Potong
- Integritas Permukaan Benda Kerja (surface burning, kekasaran permukaan, kepadatan retakan)
- Mode Pembentukan Geram Rancangan Percobaan:
- Faktorial 2 x 3 x 3
Gambar 3.1 Diagram alir metodologi penelitian Mulai
Studi pustaka
30
Pelaksanaan eksperimen dan pengambilan data: - Gaya potong - Surface burning - Kekasaran permukaan - Kepadatan retakan - Bentuk geram Analisis bentuk geram Analisis kepadatan retakan
Analisis pengaruh variabel proses dan perbedaan tipe
abrasif terhadap respon
Penarikan kesimpulan dan pemberian saran Analisis surface burning Analisis kekasaran permukaan Analisis gaya potong Visual check Mitutoyo surftest SEM SEM
Gambar 3.1 Diagram alir metodologi penelitian (lanjutan) 3.2 Variabel-variabel dalam Penelitian
Data yang digunakan pada penelitian ini merupakan data primer yang diperoleh dari hasil eksperimen. Faktor-faktor yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
Selesai A
31 a. Faktor/Variabel Kontrol
Faktor kontrol merupakan variabel yang dapat dikendalikan dan nilainya dapat ditentukan berdasarkan tujuan dari penelitian yang dilakukan dan pertimbangan yang lain. Faktor kontrol yang digunakan pada penelitian ini adalah:
a. Tipe abrasif (A46HV dan GC46HV).
b. Kedalaman potong (0.01 mm, 0.03 mm, 0.06 mm). c. Kecepatan makan (150 mm/s, 200 mm/s, 250 mm/s). b. Variabel Respon
Variabel respon merupakan respon yang akan diamati dalam penelitian. Variabel respon pada penelitian ini adalah:
a. Gaya potong.
b. Integritas permukaan benda kerja (surface burning, kekasaran permukaan, kepadatan retakan).
c. Mode pembentukan geram. c. Faktor/Variabel Konstan
Faktor konstan merupakan faktor yang tidak diteliti dalam penelitian. Nilai faktor ini dijaga selalu konstan agar tidak berubah selama percobaan, sehingga tidak mempengaruhi hasil penelitian secara signifikan. Faktor-faktor yang menjadi faktor konstan pada penelitian ini adalah:
a. Metode pendinginan menggunakan soluble oil dengan persentase emulsi 20% dan air 80%.
b. Putaran roda gerinda 3000 rpm. d. Faktor Noise
Faktor noise adalah faktor gangguan yang memiliki pengaruh terhadap respon, tetapi sangat sulit untuk dikendalikan. Faktor-faktor yang mungkin menjadi noise dalam penelitian ini adalah temperatur cairan pendingin dan konsentrasi geram dalam cairan pendingin. Faktor-faktor ini tidak dimasukkan ke dalam rancangan percobaan, sehingga pengambilan data dilakukan dengan replikasi untuk mengatasi pengaruh faktor noise pada hasil penelitian.
32 3.3 Bahan dan Peralatan Penelitian
Bahan dan peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
3.3.1 Bahan Penelitian 1. Benda Kerja
Material yang digunakan adalah baja perkakas SKD-11 yang memiliki kekerasan sebesar 32 HRC dengan dimensi 40 mm x 10 mm x 5 mm. Gambar 3.2 menunjukkan material benda kerja yang digunakan.
Gambar 3.2 Benda Kerja
Komposisi kimia dan sifat mekanik dari SKD-11 dapat dilihat pada Tabel 3.1 dan Tabel 3.2 sebagai berikut,
Tabel 3.1 Komposisi Kimia SKD 11 (AISI D2) Jenis Kimia Persentase (%)
Carbon 1.59 Silicon 0.38 Manganese 0.35 Phosphorus 0.024 Chromium 11.68 Nickel 0.36 Molybdenum 0.67 Sulphur 0.015 Copper 0.03 Vanadium 0.39 Sumber: Fathallah dkk., 2009
33
Tabel 3.2 Sifat Mekanik SKD 11 (AISI D2)
Properties Nilai
Ultimate Tensile (MPa) 1850
Yield Strength (MPa) 1530
Elongation (%) 3.6
Sumber: Fathallah dkk., 2009 2. Roda Gerinda
Penelitian ini menggunakan roda gerinda dengan tipe abrasif yang berbeda. Spesifikasi roda gerinda pada penelitian ini ditunjukkan pada Tabel 3.3.
Tabel 3.3 Spesifikasi Roda Gerinda
Kodifikasi A46HV GC46HV
Jenis Alluminum Oxide Green Silicone
Ukuran grit 46 46 Dimensi: Diameter luar (mm) Diameter dalam (mm) Tebal (mm) 200 32 25 200 32 25 Maksimum putaran (RPM) 3350 3200 3.3.2 Peralatan Penelitian
Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah mesin gerinda permukaan, peralatan ukur dan peralatan bantu. Peralatan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Mesin Gerinda Permukaan
Mesin gerinda permukaan yang digunakan pada penelitian ini adalah mesin gerinda permukaan yang berada di Laboratorium Proses Manufaktur Jurusan Teknik Mesin ITS, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.3. Mesin tersebut memiliki spesifikasi sebagai berikut:
Jenis Mesin : Surface Grinding
Model : KGS818AHD
Dimensi meja kerja : 200 x 500 mm Kecepatan putaran : 3000 rpm
34
Secara detil, spesifikasi mesin gerinda permukaan model KGS818AHD dapat dilihat pada Lampiran A.
Gambar 3.3 Mesin gerinda permukaan model KGS818AHD 2. Peralatan Ukur
a. Scanning Electron Microscope (SEM)
Pengamatan kepadatan retakan pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan SEM EVO MA10 seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.4. Alat ini digunakan untuk mengamati partikel dengan perbesaran sampai 150.000 kali dengan resolusi kedalaman 3-100 nanometer.
35 b. Surface Roughness Tester
Pengukuran angka kekasaran permukaan pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Mitutoyo Surftest 301 seperti ditunjukkan oleh Gambar 3.5. Alat ini memiliki kecermatan sebesar 0,01 μm.
Gambar 3.5 Mitutoyo surftest 301 c. Dinamometer
Dinamometer yang digunakan dalam penelitian ini adalah dinamometer merek Kistler tipe 9272 yang memiliki sensor piezoelectric. Dinamometer ini digunakan untuk pengukuran gaya normal dan gaya tangensial (Fz dan Fx) pada saat proses penggerindaan. Dinamometer Kistler 9272 ditunjukkan pada Gambar 3.6, sedangkan spesifikasi dari dinamometer Kistler 9272 dapat dilihat pada Tabel 3.4.
Gambar 3.6. Dinamometer KISTLER tipe 9272. (Instruction Manual Kistler 9272)
36
Tabel 3.4 Spesifikasi dinamometer Kistler 9272
Spesifikasi Simbol Satuan Ukuran
Jarak Pengukuran Fx, Fy kN +5 Fz kN -5…20 Mz N.m +200 Sensitifitas Fx, Fy pC/N -7.8 Fz pC/N -3.5 Mz pC/N.cm -1.6 Frekuensi Pribadi fnx, fny kHz 3.1 fnz kHz 6.3 fn (Mz) kHz 4.2 Temperatur pengukuran oC 0…70 Tinggi Mm 70 Diameter Mm 100 Diameter dalam Mm 15 Berat Kg 4.2
Sumber: Instruction Manual Kistler 9272
d. Data Acquisition System (DAQ)
DAQ yang digunakan dalam penenelitian ini adalah DAQ Kistler tipe 5697A yang digunakan bersama dengan perangkat lunak DynoWare dan dihubungkan ke komputer lewat USB. DAQ ini dapat mengolah dan memperbesar sinyal dan memiliki 8 channel output dengan resolusi yang tinggi. DAQ ini juga dapat mengukur sampel hingga frekuensi 125 kS/s, sehingga dapat dilakukan pengukuran pada proses dinamis. DAQ Kistler tipe 5697A ditunjukkan pada Gambar 3.7.
37
Gambar 3.7 DAQ Kistler tipe 567A ( www.kistler.com)
e. Charge Amplifier
Charge Amplifier tipe 5070A ini memiliki 8 channel input yang digunakan untuk pengukuran gaya penggerindaan dengan dinamometer Kistler. Charge Amplifier tipe 5070A ini ditunjukkan pada Gambar 3.8.
Gambar 3.8 Charge Amplifier tipe 5070A (www.kistler.com)
f. Komputer
Komputer digunakan untuk menampilkan data hasil pengukuran gaya gerinda. Komputer juga dilengkapi dengan perangkat lunak DynoWare. Spesifikasi minimum komputer untuk pengambilan data
38
ini adalah Pentium II 500 MHz, RAM 64 Mb, Harddisk 100 Mb, CD Room dan 1 slot USB untuk DAQ.
g. Peralatan Bantu
Peralatan bantu yang digunakan pada penelitian ini adalah: Mistar ingsut
Alat ini digunakan untuk mengukur dimensi benda kerja. Alat ini mempunyai kecermatan sebesar 0,05 mm.
Meja rata
Meja rata digunakan untuk meletakkan spesimen uji pada saat pengukuran kekasaran permukaan.
3.4 Prosedur Penelitian
Langkah-langkah percobaan yang akan dilakukan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Persiapan spesimen dengan dimensi 40 mm x 10 mm x 5 mm. 2. Balancing dan dressing terhadap roda gerinda.
3. Persiapan komputer dan melakukan instalasi perangakat lunak DynoWare.
4. Pasang kabel konektor USB dan kabel power untuk DAQ, serta pasang juga kabel analog dan kabel power untuk charge amplifier.
5. Nyalakan DAQ dan charge amplifier selama 30 menit untuk warming up. 6. Masukkan data sensitifitas sesuai dengan data kalibrasi berdasarkan
sertifikat kalibrasi.
7. Pasang dinamometer pada meja mesin gerinda permukaan tanpa menggunakan elektromagnet, tetapi digantikan dengan jig.
8. Pasang spesimen pada jig yang sudah dipasang pada dinamometer. 9. Hidupkan mesin gerinda permukaan dan menseting faktor-faktor yang
telah ditetapkan sesuai dengan rancangan eksperimen.
10. Lakukan proses penggerindaan dengan mode plunge surface grinding down cut dengan satu kali pemakanan.