4.1 Data Hasil Eksperimen
Pelaksanaan eksperimen dilakukan dengan mengkombinasikan variabel-variabel proses yang terdapat pada mesin gerinda permukaan. Variabel-variabel-variabel proses tersebut adalah tipe abrasif, kecepatan makan dan kedalaman potong. Ketiga variabel proses tersebut diduga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap gaya potong, integritas permukaan benda kerja yang meliputi kekasaran permukaan benda kerja, kepadatan retakan dan surface burning, serta mode pembentukan geram.
Pengambilan data untuk gaya potong pada proses gerinda permukaan dilakukan replikasi sebanyak dua kali masing masing untuk gaya normal dan gaya tangensial. Resultan gaya dihitung dengan persamaan 3.1. Tabel 4.1 menunjukkan data gaya potong yang diperoleh selama eksperimen.
Tabel 4.1 Data Gaya Potong Hasil Eksperimen
Variabel proses Respon
Tipe Abrasif Kecepatan Makan (mm/s) Kedalaman Potong (mm)
Gaya (N) Resultan Gaya (N)
Fz Fx F Replikasi 1 Replikasi 2 Replikasi 1 Replikasi 2 Replikasi 1 Replikasi 2 Rata-rata Aluminum Oxide 150 0.01 110.4 113 45.73 45.39 119.50 121.78 120.63 0.03 208.9 209.6 86.29 86.08 226.02 226.59 226.30 0.06 338.3 339.2 129 129 362.06 362.90 362.48 200 0.01 101.4 102 44.33 46.55 110.67 112.12 111.39 0.03 204.7 195.5 83.71 85.54 221.15 213.39 217.26 0.06 387.5 365.4 140.9 137 412.32 390.24 401.28 250 0.01 112.4 113.2 48.14 44.87 122.28 121.77 122.01 0.03 235.8 232 93.97 94.27 253.83 250.42 252.13 0.06 367.4 365.9 133.7 132.2 390.97 389.05 390.01 Green Silicone 150 0.01 92.26 92.64 36.19 35.44 99.10 99.19 99.14 0.03 180.4 190.6 69.84 74.03 193.45 204.47 198.96 0.06 295.4 302.8 108.6 104.6 314.73 320.36 317.53 200 0.01 75.69 84.2 30.38 34.76 81.56 91.09 86.33 0.03 171.4 172.3 66.92 67.71 184.00 185.13 184.56 0.06 312.9 316.1 116.1 114.4 333.74 336.16 334.95 250 0.01 87.41 83.01 31.7 33.59 92.98 89.55 91.25 0.03 180.9 176.7 72.15 70.59 194.76 190.28 192.52 0.06 279.9 272.2 107.2 105.8 299.73 292.04 295.88
44
Pengambilan data untuk kekasaran permukaan benda kerja juga dilakukan replikasi sebanyak dua kali. Pengukuran tiap spesimen dilakukan tiga kali, yaitu pada posisi awal, tengah dan akhir dari pemakanan. Data hasil pengukuran kekasaran permukaan ditunjukkan pada Tabel 4.2. Rincian data kekasaran permukaan hasil dari eksperimen dapat dilihat pada Lampiran B.
Tabel 4.2 Data Kekasaran Permukaan Hasil Eksperimen
Variabel proses Respon
Rata-rata Tipe Abrasif Kecepatan Makan (mm/s) Kedalaman Potong (mm) Kekasaran Permukaan (µm) Replikasi 1 Replikasi 2 Aluminum Oxide 150 0.01 0.44 0.44 0.44 0.03 0.54 0.55 0.55 0.06 0.67 0.68 0.68 200 0.01 0.43 0.42 0.42 0.03 0.56 0.54 0.55 0.06 0.66 0.69 0.68 250 0.01 0.38 0.37 0.38 0.03 0.51 0.51 0.51 0.06 0.70 0.69 0.69 Green Silicone 150 0.01 0.36 0.40 0.38 0.03 0.54 0.54 0.54 0.06 0.70 0.70 0.70 200 0.01 0.39 0.39 0.39 0.03 0.52 0.50 0.51 0.06 0.69 0.69 0.69 250 0.01 0.40 0.32 0.36 0.03 0.50 0.52 0.51 0.06 0.65 0.70 0.68
4.2 Pengaruh Variabel Proses Terhadap Gaya Potong
Gaya potong yang terjadi selama proses gerinda permukaan selalu berubah setiap saat. Pengukuran gaya potong yang terjadi selama proses gerinda permukaan pada penelitian ini menggunakan dinamometer Kistler tipe 9272. Replikasi dilakukan dua kali. Hal ini dilakukan karena adanya variabel proses gangguan yang tidak dimasukkan kedalam rancangan percobaan. Proses dressing dilakukan sebelum eksperimen untuk setiap spesimen, sehingga butiran abrasif yang sudah tumpul hilang dan muncul sisi potong yang baru. Pada setiap eksperimen dilakukan tiga kedalaman potong yang berbeda untuk setiap tipe abrasif dan selama proses gerinda permukaan pendingin dijaga konstan. Gaya
45
yang terjadi pada proses gerinda permukaan adalah gaya potong normal (Fz) dan gaya potong tangensial (Fx). Dari data gaya yang dihasilkan dinamometer maka selanjutnya dilakukan penjumlahan vektor gaya Fx dan vektor gaya Fz. Gambar 4.1 dan Gambar 4.2 menunjukkan hasil pengukuran gaya normal (Fz) dan gaya tangensial (Fx) selama proses gerinda permukaan.
Gambar 4.1 Gaya normal (Fz) yang terjadi pada proses gerinda permukaan dengan tipe abrasif aluminum oxide, kecepatan makan 150 mm/s dan kedalaman potong 0.01 mm.
Gambar 4.2 Gaya tangensial (Fx) yang terjadi pada proses gerinda permukaan dengan tipe abrasif aluminum oxide, kecepatan makan 150 mm/s dan kedalaman potong 0.01 mm.
Waktu (s)
46
Analisis variansi (ANAVA) digunakan untuk mengetahui variabel proses/variabel proses yang memiliki pengaruh secara signifikan terhadap gaya potong. Tabel analisis variansi (ANAVA) untuk gaya potong yang disusun berdasarkan perhitungan ditunjukkan pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3 Analisis Variansi (ANAVA) Variabel Proses pada Gaya Potong
Source DF SS MS F ρ - value A 1 17989 17989 65.97 0.000 B 2 59 30 0.11 0.898 C 2 362813 181407 665.30 0.000 Error 30 8180 273 Total 35 389041
Sumber: Hasil perhitungan
P-value menunjukkan variabel proses mana yang mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap gaya potong. P-value yang lebih kecil dari level of significant () mengindikasikan bahwa variabel proses tersebut memiliki pengaruh yang signifikan terhadap respon. Dalam penelitian ini yang dipakai bernilai 5%. Penarikan kesimpulan menggunakan p-value untuk gaya potong adalah sebagai sebagai berikut:
1. Untuk variabel proses A (tipe abrasif)
P-value = 0 < = 0.05, maka ada pengaruh variabel proses tipe abrasif terhadap gaya potong.
2. Untuk variabel proses B (kecepatan makan).
P-value = 0.898 > = 0.05, maka tidak ada pengaruh variabel proses kecepatan makan terhadap gaya potong.
3. Untuk variabel proses C (kedalaman potong).
P-value = 0 < = 0.05, maka ada pengaruh variabel proses kedalaman potong terhadap gaya potong.
P-value diatas menunjukkan tipe abrasif dan kedalaman potong mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap gaya potong, sedangkan kecepatan makan tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap gaya potong.
47
Untuk mengetahui level dari tipe abrasif, kecepatan makan dan kedalaman potong yang memberikan pengaruh yang berbeda terhadap gaya potong, maka dilakukan uji Tukey. Tabel 4.4 sampai dengan Tabel 4.6 menunjukkan hasil uji Tukey pada tipe abrasif, kecepatan makan dan kedalaman potong. Rincian uji Tukey dari variabel proses terhadap gaya potong ditunjukkan pada Lampiran C. Tabel 4.4 Hasil Uji Tukey pada Tipe Abrasif
Tipe Abrasif N Mean Grouping
Aluminum Oxide 18 244.8 A
Green Silicone 18 200.1 B
Tabel 4.5 Hasil Uji Tukey pada Kecepatan Makan
Kecepatan makan (mm/s) N Mean Grouping 150 12 224.0 A 200 12 222.6 A 250 12 220.8 A
Tabel 4.6 Hasil Uji Tukey pada Kedalaman Potong
Kedalaman Potong (mm) N Mean Grouping 0.01 12 350.4 A 0.03 12 212.0 B 0.06 12 105.1 C
Hasil uji Tukey pada Tabel 4.4 menunjukkan bahwa gaya potong yang dihasilkan berbeda pada dua tipe abrasif yang dipakai dalam penelitian ini. Tabel 4.5 menunjukkan bahwa perbedaan kecepatan makan pada proses gerinda permukaan menghasilkan gaya potong yang sama. Tabel 4.6 menunjukkan bahwa gaya potong yang dihasilkan berbeda pada ketiga level kedalaman potong pada proses gerinda permukaan.
48
Secara grafik, hubungan antara kedalaman potong dengan gaya potong pada proses gerinda permukaan dengan dua tipe abrasif yang berbeda ditunjukkan pada Gambar 4.3 dan Gambar 4.4.
Gambar 4.3 Grafik pengaruh kedalaman potong terhadap gaya potong pada kecepatan makan 150 mm/s.
Gambar 4.4 Histogram hubungan tipe abrasif, kecepatan makan dan kedalaman potong terhadap gaya potong.
0 50 100 150 200 250 300 350 400 0.01 0.03 0.06 Gay a Poto ng (N) Kedalaman potong (mm) A46 GC46
49
Gambar 4.3 dan Gambar 4.4 menunjukkan bahwa pada kecepatan makan yang sama gaya potong akan naik dengan bertambahnya kedalaman potong. Grafik diatas juga menunjukkan bahwa penggunaan tipe abrasif green silicone menghasilkan gaya potong yang lebih rendah daripada tipe abrasif aluminum oxide.
Hasil eksperimen menunjukkan bahwa variabel proses kedalaman potong mempengaruhi gaya potong. Kedalamanan potong yang tinggi menyebabkan bidang geser bertambah lebar. Hal ini membuat gaya potong semakin besar. Kedalaman potong yang tinggi juga menyebabkan temperatur daerah penggerindaan naik. Kenaikan temperatur daerah penggerindaan berpengaruh pada ketajaman butiran abrasif. Jika temperatur tinggi maka adhesi geram pada butiran abrasif akan mudah terjadi. Hal ini menyebabkan mata potong butiran abrasif menjadi tumpul, sehingga menyebabkan gaya potong semakin besar. Selain kenaikan temperatur, kedalaman potong yang tinggi menyebabkan pematahan butiran abrasif pada roda gerinda. Dalam kondisi ini aksi dari butiran abrasif akan didominasi oleh proses plowing dan rubbing, sehingga mengakibatkan gaya potong bertambah besar.
Variabel proses kedua yang mempengaruhi gaya potong adalah tipe abrasif. Hasil eksperimen menunjukkan bahwa dengan penggunaan roda gerinda dengan tipe abrasif green silicone, gaya potong berkurang sebesar 12% - 25% jika dibandingkan penggunaan roda gerinda dengan tipe abrasif aluminum oxide. Rincian perhitungan dari penurunan gaya potong tersebut ditunjukkan pada Lampiran D. Penurunan gaya potong ini disebabkan oleh kekerasan roda gerinda dengan tipe abrasif green silicone lebih rendah dibandingkan kekerasan roda gerinda dengan tipe abrasif aluminum oxide. Dengan kekerasan yang lebih rendah maka butiran abrasif pada tipe abrasif green silicone akan mudah lepas daripada butiran abrasif pada tipe aluminum oxide. Sebaliknya, dengan kekerasan yang lebih tinggi maka butiran abrasif tidak mudah lepas tetapi akan aus, sehingga membuat gaya potong bertambah besar.
50
4.3 Pengaruh Variabel Proses Terhadap Kekasaran Permukaan
Parameter kekasaran permukaan yang dipakai dalam penelitian ini adalah Ra. Parameter ini banyak digunakan untuk mengidentifikasikan permukaan. Hal ini disebabkan harga Ra lebih sensitif terhadap perubahan yang terjadi pada proses pemesinan. Dengan demikian, jika ada tanda-tanda kenaikan kekasaran maka pencegahan dapat cepat dilakukan. Analisis variansi (ANAVA) digunakan untuk mengetahui variabel proses/variabel proses yang memiliki pengaruh secara signifikan terhadap respon. Tabel analisis variansi (ANAVA) untuk kekasaran permukaan yang disusun berdasarkan perhitungan ditunjukkan pada Tabel 4.7. Tabel 4.7 Analisis Variansi (ANAVA) Variabel proses pada Kekasaran Permukaan Source DF SS MS F ρ - value A 1 0.00126 0.00126 2.52 0.123 B 2 0.00343 0.00171 3.41 0.046 C 2 0.52155 0.26077 519.24 0.000 Error 30 0.01507 0.00050 Total 35 0.54131
Sumber: Hasil perhitungan
P-value menunjukkan variabel proses mana yang mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kekasaran permukaan. P-value yang lebih kecil dari level of significant () mengindikasikan bahwa variabel proses tersebut memiliki pengaruh yang signifikan terhadap respon. Dalam penelitian ini yang dipakai bernilai 5%. Penarikan kesimpulan menggunakan p-value untuk kekasaran permukaan adalah sebagai sebagai berikut:
1. Untuk variabel proses A (tipe abrasif)
P-value = 0.123 > = 0.05, maka tidak ada pengaruh variabel proses tipe abrasif terhadap kekasaran permukaan.
2. Untuk variabel proses B (kecepatan makan).
P-value = 0.046 < = 0.05, maka ada pengaruh variabel proses kecepatan makan terhadap kekasaran permukaan.
51
3. Untuk variabel proses C (kedalaman potong).
P-value = 0 < = 0.05, maka ada pengaruh variabel proses kedalaman potong terhadap kekasaran permukaan.
P-value diatas menunjukkan kecepatan makan dan kedalaman potong mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kekasaran permukaan, sedangkan tipe abrasif tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kekasaran permukaan.
Untuk mengetahui level dari tipe abrasif, kecepatan makan dan kedalaman potong yang memberikan pengaruh yang berbeda terhadap kekasaran permukaan, maka dilakukan uji Tukey. Tabel 4.8 sampai dengan Tabel 4.10 menunjukkan hasil uji Tukey pada tipe abrasif, kecepatan makan dan kedalaman potong. Rincian uji Tukey variabel proses terhadap kekasaran permukaan ditunjukkan pada Lampiran E.
Tabel 4.8 Hasil Uji Tukey pada Tipe Abrasif
Tipe Abrasif N Mean Grouping
Aluminum Oxide 18 0.5430 A
Green Silicone 18 0.5311 A
Tabel 4.9 Hasil Uji Tukey pada Kecepatan Makan
Kecepatan makan
(mm/s) N Mean Grouping
150 12 0.5478 A
200 12 0.5392 A B
250 12 0.5242 B
Tabel 4.10 Hasil Uji Tukey pada Kedalaman Potong
Kedalaman
Potong (mm) N Mean Grouping
0.01 12 0.3942 A
0.03 12 0.5283 B
52
Hasil uji Tukey pada Tabel 4.8 menunjukkan kekasaran permukaan yang dihasilkan sama pada dua tipe abrasif yang dipakai dalam penelitian ini. Tabel 4.9 menunjukkan kekasaran permukaan yang dihasilkan berbeda pada kecepatan makan 150 mm/s dengan 250 mm/s. Tabel 4.9 juga menunjukkan bahwa kecepatan makan 200 mm/s menghasilkan kekasaran permukaan yang sama dengan kecepatan makan 150 mm/s dan 250 mm/s. Hal ini berarti rentang antara kecepatan makan 150 mm/s dengan 200 mm/s atau rentang kecepatan makan 200 mm/s dengan 250 mm/s kurang lebar. Tabel 4.10 menunjukkan kekasaran permukaan yang dihasilkan berbeda pada ketiga level kedalaman potong pada proses gerinda permukaan.
Secara grafik, hubungan antara kedalaman potong dengan kekasaran permukaan pada proses gerinda permukaan dengan dua tipe abrasif yang berbeda ditunjukkan pada Gambar 4.5.
Gambar 4.5 Grafik pengaruh kedalaman potong terhadap kekasaran permukaan pada kecepatan makan 250 mm/s.
Grafik diatas menunjukkan bahwa pada kecepatan makan yang sama kekasaran permukaan akan naik dengan bertambahnya kedalaman potong. Grafik diatas juga menunjukkan bahwa penggunaan tipe abrasif green silicone menghasilkan kekasaran permukaan yang sama dengan tipe abrasif aluminum
0.30 0.35 0.40 0.45 0.50 0.55 0.60 0.65 0.70 0.75 0.01 0.03 0.06 Kekasar an Perm uka an (µm) Kedalaman potong (mm) A46 GC46
53
oxide. Hubungan antara kedalaman potong, tipe abrasif dan kecepatan makan terhadap kekasaran permukaan dapat juga ditunjukkan lewat histogram pada Gambar 4.6.
Gambar 4.6 Histogram hubungan tipe abrasif, kecepatan makan dan kedalaman potong terhadap kekasaran permukaan.
Hasil analisis data eksperimen, secara statistik menunjukkan bahwa nilai dari kekasaran permukaan yang dihasilkan sama untuk tipe abrasif yang berbeda, tetapi menghasilkan nilai kekasaran permukaan yang berbeda pada kedalaman potong dan kecepatan makan yang berbeda. Kekasaran permukaan naik dengan bertambahnya kedalaman potong. Kedalaman potong yang kecil membuat butiran abrasif yang terdapat di permukaan roda gerinda sedikit bergesekan dengan benda kerja. Gesekan yang sedikit ini menyebabkan permukaan hasil penggerindaan mempunyai celah yang sempit, sehingga kekasaran permukaan benda kerja juga rendah. Akan tetapi, dengan pemakaian kedalaman potong yang besar, maka butiran abrasif yang terdapat di permukaan roda gerinda akan lebih banyak bergesekan dengan benda kerja, sehingga menyebabkan permukaan hasil penggerindaan mempunyai celah yang lebar. Hal ini menyebabkan
54
kekasaran permukaan semakin tinggi. Gambar 4.7a dan b menunjukkan morfologi permukaan benda kerja yang dilihat alat foto SEM dengan perbesaran 1000x.
(a) (b)
Gambar 4.7 Morfologi permukaan benda kerja yang menunjukkan celah pada permukaan benda kerja. (a) kedalaman potong 0.01 mm, (b) kedalaman potong 0.06 mm.
Variabel proses lain yang mempengaruhi kekasaran permukaan adalah temperatur daerah penggerindaan. Pada kedalaman potong yang besar, temperatur daerah penggerindaan juga akan bertambah tinggi. Hal ini mengakibatkan pelunakan pada permukaan benda kerja. Sebagian geram hasil gesekan yang terbentuk akan menempel pada roda gerinda karena proses adhesi. Selama proses pelepasan material benda kerja yang berulang-ulang, geram yang menempel pada roda gerinda ikut berperan juga dalam proses pelepasan material benda kerja. Hal ini juga mengakibatkan kenaikan temperatur daerah penggerindaan selama proses gerinda permukaan berlangsung. Dengan adanya temperatur yang tinggi, maka sebagian geram yang menempel pada roda gerinda dan sebagian geram hasil gesekan akan menyatu kembali dengan permukaan benda kerja. Hal ini menyebabkan terbentuk globules pada permukaan benda kerja, sehingga kekasaran permukaan semakin tinggi. Gambar 4.8 menunjukkan globules pada permukaan benda kerja.
Celah yang sempit pada permukaan benda kerja
Celah yang lebar pada permukaan benda kerja
55
Gambar 4.8 Foto SEM globules pada permukaan benda kerja
Aplikasi cairan pendingin pada proses gerinda permukaan akan mengurangi kenaikan temperatur. Panas yang terjadi selama proses gerinda permukaan akan terserap oleh benda kerja, roda gerinda dan juga oleh cairan pendingin. Dengan terserapnya panas oleh cairan pendingin maka temperatur akan berkurang dan sebagian cairan pendingin akan menguap. Cairan pendingin juga berfungsi untuk mengurangi gesekan antara roda gerinda dengan benda kerja dan menghilangkan geram dari area penggerindaan. Hal ini akan mempertahankan ketajaman butiran abrasif selama proses gerinda permukaan, sehingga pelepasan material akan didominasi oleh proses cutting. Kegagalan pendinginan juga akan mengakibatkan kekasaran permukaan meningkat.
4.4 Pengaruh Variabel Proses Terhadap Surface Burning
Surface burning merupakan salah satu jenis dari kerusakan termal yang terjadi selama proses gerinda permukaan. Hal ini terjadi pada area gesekan antara roda gerinda dengan permukaan benda kerja dimana pada area ini temperatur naik sangat tinggi. Dalam penelitian ini burning terjadi hampir pada seluruh spesimen dengan kuantitas yang berbeda-beda. Pengamatan terhadap burning dilakukan secara visual dengan pencahayaan yang cukup terhadap spesimen yang diletakkan pada alas yang datar. Gambar 4.9 sampai Gambar 4.10 menunjukkan derajat
globules
56
burning yang terjadi pada proses gerinda permukaan. Proses gerinda permukaan tiap spesimen dilakukan dengan satu kali pemakanan dengan menggunakan tipe abrasif yang berbeda.
(a) (b)
(c)
Gambar 4.9 Surface burning pada proses gerinda permukaan dengan tipe abrasif aluminum oxide, (a) kecepatan makan 150 mm/s, (b) kecepatan makan 200 mm/s, (c) kecepatan makan 250 mm/s.
0.01 0.03 0.06 0.01 0.03 0.06
57
(a) (b)
(c)
Gambar 4.10 Surface burning pada proses gerinda permukaan dengan tipe abrasif green silicone, (a) kecepatan makan 150 mm/s, (b) kecepatan makan 200 mm/s, (c) kecepatan makan 250 mm/s.
Pada penelitian ini derajat burning diklasifikasikan dalam Tabel 4.11. Pada kedalaman potong yang rendah, burning muncul dalam kuantitas yang sangat kecil bahkan hampir tidak ada burning. Hal ini mengindikasikan bahwa dengan kedalaman potong yang rendah maka temperatur yang terjadi juga rendah. Data derajat burning hasil eksperimen ditunjukkan pada Tabel 4.12.
0.01 0.03 0.06
58
Tabel 4.11 Klasifikasi Derajat Burning
Derajat
Burning Simbol Pengertian
No Burning N Tidak terjadi burning pada spesimen
Light
L
Burning terjadi pada sebagian kecil spesimen, tampak secara visual, dengan kuantitas burning kurang dari ¼ bagian spesimen dan warna sedikit kecoklatan.
L1
Burning terjadi pada sebagian kecil spesimen, tampak secara visual, dengan kuantitas burning kurang dari 1/8 bagian spesimen dan warna sedikit kecoklatan
Medium M
Burning terjadi lebih besar daripada light, tampak secara visual, dengan kuantitas lebih dari ¼ bagian spesimen dan kurang dari ½ bagian spesimen, warna coklat yang lebih pekat dari light.
Severe
S
Burning terjadi pada ¾ bagian spesimen sampai seluruh bagian spesimen, tampak secara visual, warna biru kemerah merahan.
S1
Burning terjadi pada seluruh bagian, tampak secara visual, warna biru kemerah merahan yang lebih pekat dari S.
S2
Burning terjadi pada seluruh bagian, tampak secara visual, warna biru kemerah merahan yang lebih pekat dari S1.
59
Tabel 4.12 Data Derajat Burning Hasil Eksperimen
Variabel proses Respon
Tipe Abrasif Kecepatan Makan (mm/s) Kedalaman Potong (mm) Derajat Burning Aluminum Oxide 150 0.01 M 0.03 S 0.06 S2 200 0.01 L 0.03 M 0.06 S1 250 0.01 L 0.03 M 0.06 S Green Silicone 150 0.01 L 0.03 M 0.06 S 200 0.01 L1 0.03 M 0.06 M 250 0.01 N 0.03 L1 0.06 L
Surface burning pada permukaan benda kerja ditandai dengan perubahan warna dari permukaan benda kerja hasil proses gerinda. Secara visual perubahan warna yang terjadi adalah warna coklat dan berangsur-angsur pekat hingga menjadi warna biru kemerah-merahan. Perubahan warna ini merupakan indikator bahwa kerusakan termal telah terjadi dan jika tidak dikendalikan dengan benar maka akan terjadi kerusakan permukaan yang lebih lanjut.
Dari hasil percobaan dapat disimpulkan bahwa kedalaman potong sangat berpengaruh terhadap terjadinya burning. Makin besar kedalaman potong, maka derajat burning juga meningkat. Hal ini ditunjukkan oleh Gambar 4.9a. Kedalaman potong yang kecil membuat butiran abrasif yang terdapat di permukaan roda gerinda sedikit bergesekan dengan benda kerja. Gesekan yang sedikit ini menyebabkan temperatur yang rendah, sehingga derajat burning juga semakin kecil. Akan tetapi, dengan pemakaian kedalaman potong yang besar, maka butiran abrasif yang terdapat di permukaan roda gerinda akan lebih banyak bergesekan dengan benda kerja. Sebagai akibatnya temperatur naik menjadi sangat tinggi, sehingga derajat burning menjadi semakin meningkat juga.
60
Variabel proses kedua yang berpengaruh pada derajat burning adalah kecepatan makan. Hal ini ditunjukkan pada Gambar 4.9a, b, c, dan pada Gambar 4.10 a, b dan c. Semakin tinggi kecepatan makan, maka derajat burning semakin berkurang, karena waktu kontak pada saat gesekan yang terjadi antara roda gerinda dengan benda kerja semakin singkat, sehingga tidak cukup waktu untuk timbulnya temperatur yang tinggi.
Variabel proses ketiga yang berpengaruh terhadap derajat burning adalah tipe abrasif dari roda gerinda. Hal ini dapat kita amati dengan membandingkan derajat burning yang terjadi pada Gambar 4.9c dengan derajat burning yang terjadi pada Gambar 4.10c. Dalam penelitian ini roda gerinda dengan tipe abrasif green silicone yang ditujukan untuk penggerindaan material yang tidak tahan panas menghasilkan derajat burning yang lebih rendah jika dibandingkan dengan roda gerinda dengan tipe abrasif aluminum oxide yang ditujukan untuk penggerindaan secara umum. Hal ini disebabkan oleh kekerasan roda gerinda tipe green silicone lebih rendah dibandingkan kekerasan roda gerinda tipe aluminum oxide. Dengan kekerasan yang lebih rendah maka butiran abrasif pada tipe abrasif green silicone akan lebih mudah lepas daripada butiran abrasif pada tipe abrasif aluminum oxide. Sebaliknya, dengan kekerasan yang lebih tinggi maka butiran abrasif tidak mudah lepas, tetapi akan aus, sehingga membuat penggerindaan didominasi oleh proses plowing dan rubbing. Kondisi ini menyebabkan temperatur daerah penggerindaan bertambah tinggi. Temperatur daerah penggerindaan yang bertambah tinggi akan menyebabkn derajat burning bertambah tinggi juga.
Selain variabel-variabel proses yang sudah disebutkan diatas, variabel proses lain yang berpengaruh terhadap burning adalah aplikasi cairan pendingin. Kegagalan pendinginan pada waktu proses gerinda permukaan akan menghasilkan gesekan yang tinggi yang mengakibatkan temperatur bertambah tinggi. Temperatur yang tinggi pada area gesek antara roda gerinda dan permukaan benda kerja akan disalurkan ke permukaan benda kerja dan butiran abrasif. Hal ini menyebabkan terjadi burning pada permukaan benda kerja.
61
4.5 Pengaruh Variabel Proses Terhadap Kepadatan Retakan
Pengukuran kepadatan retakan yang terjadi pada permukaan benda merupakan salah satu cara untuk mengevaluasi kinerja dari proses gerinda permukaan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa variabel-variabel proses gerinda permukaan tidak hanya berpengaruh pada gaya potong, kekasaran permukaan dan surface burning benda kerja saja, tetapi juga mempengaruhi terjadinya retakan pada benda kerja. Retakan ini terjadi pada permukaan benda kerja sebagai akibat dari temperatur dearah penggerindaan yang terlalu tinggi. Ukuran dari retakan pada permukaan benda kerja ini sangat kecil dalam satuan mikrometer, sehingga diperlukan alat pembesar untuk mengamati retakan ini. Dalam penelitian ini digunakan alat foto SEM tipe EVO MA 10. Benda kerja hasil proses gerinda permukaan dibersihkan dari geram maupun cairan pendingin yang menempel, kemudian diletakkan dalam alat foto SEM untuk diamati. Gambar 4.11 menunjukkan foto SEM retak mikro yang ada pada permukaan benda kerja hasil proses gerinda permukaan dengan perbesaran 5000x. Semakin padat retakan pada permukaan benda kerja berarti perbedaan temperatur yang terjadi semakin besar dan tegangan sisa yang terjadi juga semakin besar.
Gambar 4.11 Hasil foto SEM retak mikro pada permukaan benda kerja hasil proses gerinda permukaan dengan tipe abrasif aluminum oxide, kecepatan makan 200 mm/s dan kedalaman potong 0.03 mm.
Retak mikro
62
Retakan permukaan adalah salah satu sumber yang potensial untuk terjadinya kegagalan komponen, sehingga diperlukan pengkualifikasian derajat dari retakan dengan menggunakan standar yang bersifat objektif. Pengkualifikasian dengan cara mengestimasi lebar, panjang atau kedalaman retakan atau bahkan jumlah dari retakan, tidak mudah untuk dilakukan. Oleh karena itu, Lee dan Tai (2003) mendefinisikan suatu kepadatan retakan permukaan sebagai rasio antara panjang retakan keseluruhan di penampang yang diamati dengan luas penampang yang diamati, untuk mengevaluasi seberapa parah keretakan yang terjadi. Tabel 4.13 menunjukkan kepadatan retakan yang terjadi pada penelitian ini. Pengukuran kepadatan retakan pada penelitian ini menggunakan bantuan perangkat lunak AutoCAD.
Tabel 4.13 Hasil Pengukuran Kepadatan Retakan
Kombinasi ke TPR P Ɩ Luas penampang yang diamati (µm²) KRP (µm) (µm) (µm) (µm/µm²) 1 18.42 51.2 38.4 1966.08 0.0094 2 50.27 51.2 38.4 1966.08 0.0256 3 84.45 51.2 38.4 1966.08 0.0430 4 33.16 51.2 38.4 1966.08 0.0169 5 39.65 51.2 38.4 1966.08 0.0202 6 82.92 51.2 38.4 1966.08 0.0422 7 25.60 51.2 38.4 1966.08 0.0130 8 32.55 51.2 38.4 1966.08 0.0166 9 71.73 51.2 38.4 1966.08 0.0365 10 15.52 51.2 38.4 1966.08 0.0079 11 28.63 51.2 38.4 1966.08 0.0146 12 37.24 51.2 38.4 1966.08 0.0189 13 12.26 51.2 38.4 1966.08 0.0062 14 22.15 51.2 38.4 1966.08 0.0113 15 33.24 51.2 38.4 1966.08 0.0169 16 4.52 51.2 38.4 1966.08 0.0023 17 24.14 51.2 38.4 1966.08 0.0123 18 32.16 51.2 38.4 1966.08 0.0164
Sumber: Hasil pengukuran Keterangan: