• Tidak ada hasil yang ditemukan

MANAJEMEN PEMBERIAN PAKAN ALAMI PADA LARVA IKAN BANDENG (Chanos-chanos forskall) DI PT. ESAPUTLII PRAKARSA UTAMA KAB. BARRU SULAWESI SELATAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MANAJEMEN PEMBERIAN PAKAN ALAMI PADA LARVA IKAN BANDENG (Chanos-chanos forskall) DI PT. ESAPUTLII PRAKARSA UTAMA KAB. BARRU SULAWESI SELATAN"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

MANAJEMEN PEMBERIAN PAKAN ALAMI PADA LARVA

IKAN BANDENG (Chanos-chanos forskall)

DI PT. ESAPUTLII PRAKARSA UTAMA

KAB. BARRU SULAWESI SELATAN

TUGAS AKHIR

SUARDI

1122109

JURUSAN BUDIDAYA PERIKANAN

POLITEKNIK PERTANIAN NEGERI PANGKAJENE DAN KEPULAUAN PANGKEP

(2)

MANAJEMEN PEMBERIAN PAKAN ALAMI PADA LARVA

IKAN BANDENG (Chanos-chanos forskall)

DI PT. ESAPUTLII PRAKARSA UTAMA

KAB. BARRU SULAWESI SELATAN

TUGAS AKHIR

SUARDI

1122109

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Menyelesaikan Studi pada

Politeknik Pertanian Negeri Pangkajene dan Kepulauan

Telah Diperiksa dan Disetujui oleh Pembimbing

Ir . Nawawi , M.Si. Ir. Fauziah Nurdin, M.P. Ketua Anggota

Diketahui oleh :

Ir. Andi Asdar Jaya, M.Si. Ir. Rimal Hamal, M.P. Direktur Ketua Jurusan

(3)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT berkat rahmat dan nikmat-Nya berupa akal dan pikiran serta kesehatan, sehingga penulis dapat menyelesaikan Pengalaman Kerja Praktik Mahasiswa (PKPM) serta menyusun Tugas Akhir yang berjudul Manajemen Pemberian Pakan Alami pada Larva ikan bandeng (Chanos-chanos forskall) di

PT.Esaputlii Prakarsa Utama sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaikan studi pada

Jurusan Budidaya Perikanan Politeknik Pertanian Negeri Pangkep.

Tidak lupa pula curahan salawat dan taslim kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, manusia pilihan pembawa rahmat segenap alam serta sebagai contoh suri teladan yang terbaik bagi umat manusia. Teristimewa kepada kedua orang tua yang tercinta atas segala bimbingan dan pengorbanan yang disertai doa dan harapan untuk keberhasilan dan kesuksesan penulis dalam menuntut ilmu di Politeknik Pertanian Negeri Pangkep.

Dalam penyusunan Tugas Akhir ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Ir. Nawawi, M.Si selaku pembimbing utama dan Ir. Hj. Fauziah Nurdin M.P. selaku pembimbing anggota yang telah mencurahkan waktu luang dan pemikirannya untuk membimbing penulis. Melalui kesempatan ini juga penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :

1) Ir. Andi Asdar Jaya, M.Si; (Direktur Politeknik Pertanian Negeri Pangkep);

2) Ir. Rimal Hamal, M.P. (Ketua Jurusan Budidaya Perikanan );

3) Ir.joko Hadi Sarwono (Pembimbing Lapangan PT. Esaputlii Prakarsa Utama)

4) Karyawan PT. Esaputlii Prakarsa Utama yang selalu memberi dukungan dan bantuan

dalam pelaksanaan Pengalaman Kerja Praktik Mahasiswa (PKPM);

5) Dosen, pegawai dan teknisi Jurusan Budidaya Perikanan Politeknik Pertanian Negeri

Pangkep yang telah membekali ilmu kepada penulis selama aktif mengikuti kegiatan akademik;

(4)

6) Rekan-rekan sesama mahasiswa Politeknik Pertanian Negeri Pangkep terkhusus angkatan XXIV Budidaya Perikanan.

.

Pangkep, Juli 2014

Penulis

(5)

RINGKASAN

Suardi 1122109. Manajemen pemberian pakan pada larva ikan bandeng

(Chanos-chanos Forskall) di PT.Esaputlii Prakarsa Utama (di bawah bimbingan Nawawi

dan Fauziah Nurdin).

Pemanfaatan Sumber daya hayati perairan saat ini merujuk kepada sistem pengelolaan akuakultur berkelanjutan yang mencakup beberapa komoditi dengan sistem perairan yang terdiri dari air tawar, air payau dan air laut. Pemanfaatan pada budidaya air payau saat ini terus digalakkan dengan komoditi benih ikan bandeng. Teknologi yang diterapkann juga berkembang pesat dari mulai tradisional yang mengandalkan benih dari alam sampai benih dari hatchery dengan pola budidaya yang terencana di tambak.

Tugas akhir ini disusun berdasarkan kegiatan Pengalaman Kerja Praktik Mahasiswa (PKPM) yang telah dilaksanakan sejak Februari - Mei 2014 di PT. Esaputlii Prakarsa Utama Metode pengumpulan data yang digunakan yaitu melalui data primer dan data sekunder.

Tujuan tugas akhir ini diharapkan sebagai sumber informasi dan sekaligus sebagai pedoman dalam pengelolaan pakan untuk lrava ikan bandeng.

Larva dipelihara di dalam wadah (bak) beton volume 7 ton model race way dengan kepaadatan rata-rata 12-20 ekor/liter air. Selama masa pemeliharaan larva ikan bandeng pada umur 3.hari diberikan pakan rotifer 10-20 plankter per ekor larva. Setelah umur 10 hari, larva ikan bandeng selain diberi pakan alami Rotifer 20-30 plankter per ekor larva dan pakan buatan (SP) dengan dosis 5% dari berat biomassa, Selanjutnya larva berumur 16 hari hingga umur 21 hari, diberikan pakan Rotifer 30-50 plankter per ekor larva.

Pemberian pakan alami dilakukan sebanayak 2 (dua) kali yaitu pagi hari dan sore hari, sedangkan pakan buatan TSP diberikan sebanyak 4 (empat) kali yaitu pada pagi,siang dan sore hari.

Metode pengelolaan pakan untuk larva I, siang (jam 11 dan jam 13.30 dan sore hari (jam 17). Untuk mempertahankan mutu air media pemeliharaan, dilakukan pergantian air setiap hari setelah larva berumur 10 hari sebanyak 70 % dari volume air pemeliharaan larva.

Data hasil pengamatan (primer dan sekunder) selama PKPM dianalisis secara deskriptif yaitu kelangsungan hidup larva ikan bandeng pada umur D25

adalah rata-rata 83%.

Kualitas air media untuk pemeliharan larva ikan bandeng adalah suhu 280 C-290, pH 7,1-7,5 dan salinitas 31-32 ppt, yang berarti layak untuk larva ikan bandeng.

(6)

DAFTAR ISI

Halaman KATA PENGANTAR ... i RINGKASAN ... iii DAFTAR ISI ... iv I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan dan Kegunaan ... 2

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi dan Klasifikasi ... 3

2.2 Morfologi ... 3

2.3 Siklus Hidup ... 5

2.4 Kebiasaan Makan ... 5

2.5 Pemeliharaan larva ... 6

2.6 Pengolaan Kualitas Air ... 7

2.7 Morfologi Rotifera ... 8

2.7.1 Ekologi Rotifera ... 9

2.7.2 Peranan Pupuk dalam Pembudidayaan Plankton ... 11

2.8. Morfologi chlorella sp ... 14

2.8.1 Habitat... 14

2.8.2 Reproduksi ... 15

. METODE 3.1 Tempat dan Waktu ... 17

3.2 Metode Pengumpulan Data ... 17

3.2.1 Data Primer ... 17

3.2.2 Data Sekunder ... 17

3.3 Alat dan Bahan ... 17

3.3.1 Alat ... 17

3.3.2 Bahan ... 19

(7)

3.4.1.1 persiapan Air ... 20

3.4.1.2 Persiapan Bak ... 20

3.4.1.3 Kultur Pakan Alami ... 20

3.4.2 Pemeliharaan Larva ... 21

3.5 Parameter Yang Diamati Dan Analisa Data ... 22

3.5.1 Parameter Yang Diamati ... 22

3.5.2 Analisa Data ... 22

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Program Pemberian Pakan ... 23

4.1 .Kelangsungan Hidup ... 23

4.2 Pertumbahan Larva Ikan Bandeng ... 24

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 27

5.2 Saran ... 27

DAFTAR PUSTAKA ... 28

LAMPIRAN ... 29 RIWAYAT HIDUP ...

(8)

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pemanfaatan sumber daya hayati perairan saat ini merujuk kepada sistem pengelolaan akuakultur berkelanjutan yang mencakup beberapa komoditi dengan sistem perairan yang terdiri dari air tawar, air payau dan air laut. Pemanfaatan pada budidaya air payau saat ini terus digalakkan dengan komoditi budidaya ikan bandeng. Teknologi yang diterapkann juga berkembang pesat dari mulai tradisional yang mengandalkan benih dari alam sampai dari hatchery hatchery dengan pola budidaya yang terencana. Potensi sumber daya hayati perikanan budidaya sesuai data Direktorat Jendral Perikanan dan Pengembangan Perikanan 2010, diketahui bahwa potensi nener atau benih bandeng di Indonesia cukup melimpah, terutama nener hasil pemijahan alam, (Kordi dan Ghufron 2005).

Selama ini benih ikan bandeng (nener) ikan bandeng yang digunakan untuk pembesaran ikan bandeng itu sendiri masih mengandalkan dari alam. Sedangkan produksi nener alam belum mampu untuk mencukupi kebutuhan budidaya bandeng yang terus berkembang, oleh karena itu peranan usaha pembenihan bandeng dalam upaya untuk mengatasi masalah kekurangan nener tersebut menjadi sangat penting (Nursyamsiah, at al. 2008).

Ketersediaan benih secara berkesinambungan merupakan masalah utama yang dialami oleh para pembudidaya saat ini. Dengan melihat keadaan yang ada pada ketersediaan nener dari alam tidak menjamin kebutuhan para penggelondong maupun kebutuhan pembudidaya di tambak dan Keramba Jaring Apung, walaupun kualitas nener yang bersumber dari alam masih lebih unggul bila

(9)

2

dibandingkan produksi nener di hatchery tetapi dari segi kuantitas harus tetap merujuk ke hatchery.

Usaha para pengelola pembenihan bandeng untuk menghasilkan benih yang memiliki kualitas sama dengan alam terus diupayakan dengan cara melakukan pengelolaan kualitas air, pemberian pakan alami dan pakan buatan serta pengendalian hama dan penyakit secara kontinyu dan frekuensi yang telah ditetapkan. Hal ini dilakukan sebagai bentuk mewujudkan anlisa usaha yang menguntungkan dengan produksi nener yang memiliki kualitas baik dan kuantitas yang tinggi.

1.2 Tujuan dan Kegunaan

Tugas akhir ini bertujuan untuk mengetahui manajemen pemberian pakan larva ikan bandeng. Kegunaan tugas akhir ini diharapkan sebagai sumber informasi dan sekaligus sebagai pedoman dalam pengelolaan pakan larva ikan bandeng.

Kegunaan tugas akhir ini diharapkan dapat menjadi tambahan informasi sekaligus memperluas pengetahuan, keterampilan dan wawasan penulis mengenai pemberian pakan alami nener/benih ikan bandeng (Chanos-chanos).

.

(10)

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Taksonomi dan Klasifikasi

Ikan bandeng termasuk dalam famili Chanidae (milk fish) yaitu jenis ikan yang mempunyai bentuk memanjang, padat, pipih (compress) dan oval. Menurut Sudrajat (2008) taksonomi dan klasifikasi ikan bandeng adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Osteichthyes Subkelas : Teleostei Ordo : Malacopterygii Famili : Chanidae Genus : Chanos Spesies : Chanoschanos Nama dagang : Milkfish

Nama lokal : Bolu

2.2 Morfologi

Ikan bandeng mempunyai badan memanjang seperti torpedo dengan sirip ekor bercabang sebagai tanda bahwa ikan bandeng berenang dengan cepat. Kepala bandeng tidak bersisik, mulut kecil terletak di ujung rahang tanpa gigi, dan lubang hidung terletak di depan mata. Mata diselaputi oleh selaput bening (subcutanaus). Warna badan putih keperak-perakan dengan punggung biru kehitaman (Purnomowati, at al. 2007).

(11)

insang, dengan 14 dada, 11

dubur /

simetris dengan 19 jari (Ghufron dan Kordi 2005).

Gambar 1.

Keterangan : a. Mata, b. Tutup insang, c. Strip pectoralis, d. Strip abdominalls, e. Strip analis, f. Strip caudal, g. strip dorsalis, h. Linea lateralls, dan i. Mulut.

ukuran, warna s

(lubang pelepasan) pada induk bandeng yang matang kelamin menunjukkan bentuk anatomi yang berbeda

terbuka di bagian luarnya yaitu selaput dubur luar dan lubang pelepasan yang membuka pada bagian ujungnya. Di dalam alat genital jantan (vasa

mulai dari testes menyatu sedalam 2

Ikan bandeng juga mempunyai sirip punggung yang jauh di bel insang, dengan 14

dada, 11 12 jari dubur /anal finn

simetris dengan 19 jari (Ghufron dan Kordi 2005).

Untuk lebih jelasnya mengenai Gambar 1.

Keterangan : a. Mata, b. Tutup insang, c. Strip pectoralis, d. Strip abdominalls, e. Strip analis, f. Strip caudal, g. strip dorsalis, h. Linea lateralls, dan i. Mulut.

Ikan bandeng jantan dan betina sulit dibedakan baik secara morfologi, ukuran, warna s

(lubang pelepasan) pada induk bandeng yang matang kelamin menunjukkan bentuk anatomi yang berbeda

Untuk ikan bandeng jantan mempunyai 2 tonjolan kecil (

terbuka di bagian luarnya yaitu selaput dubur luar dan lubang pelepasan yang membuka pada bagian ujungnya. Di dalam alat genital jantan (vasa

mulai dari testes menyatu sedalam 2

Ikan bandeng juga mempunyai sirip punggung yang jauh di bel insang, dengan 14 16 jari

12 jari-jari pada sirip perut, 10

anal finn terletak jauh di belakang sirip punggung), dan sirip ekor ber

simetris dengan 19 jari (Ghufron dan Kordi 2005).

Untuk lebih jelasnya mengenai

Gambar 1

Keterangan : a. Mata, b. Tutup insang, c. Strip pectoralis, d. Strip abdominalls, e. Strip analis, f. Strip caudal, g. strip dorsalis, h. Linea lateralls, dan i. Mulut.

Ikan bandeng jantan dan betina sulit dibedakan baik secara morfologi, ukuran, warna sisik, bentuk kepala dan lain

(lubang pelepasan) pada induk bandeng yang matang kelamin menunjukkan bentuk anatomi yang berbeda

Untuk ikan bandeng jantan mempunyai 2 tonjolan kecil (

terbuka di bagian luarnya yaitu selaput dubur luar dan lubang pelepasan yang membuka pada bagian ujungnya. Di dalam alat genital jantan (vasa

mulai dari testes menyatu sedalam 2

Ikan bandeng juga mempunyai sirip punggung yang jauh di bel 16 jari-jari pada

jari pada sirip perut, 10

terletak jauh di belakang sirip punggung), dan sirip ekor ber simetris dengan 19 jari-jari. Sisik pada ga

(Ghufron dan Kordi 2005).

Untuk lebih jelasnya mengenai

Gambar 1Morfologi Bandeng (

Keterangan : a. Mata, b. Tutup insang, c. Strip pectoralis, d. Strip abdominalls, e. Strip analis, f. Strip caudal, g. strip dorsalis, h. Linea lateralls, dan i. Mulut.

Ikan bandeng jantan dan betina sulit dibedakan baik secara morfologi, isik, bentuk kepala dan lain

(lubang pelepasan) pada induk bandeng yang matang kelamin menunjukkan bentuk anatomi yang berbeda (Purnomowati

Untuk ikan bandeng jantan mempunyai 2 tonjolan kecil (

terbuka di bagian luarnya yaitu selaput dubur luar dan lubang pelepasan yang membuka pada bagian ujungnya. Di dalam alat genital jantan (vasa

mulai dari testes menyatu sedalam 2

Ikan bandeng juga mempunyai sirip punggung yang jauh di bel jari pada sirip punggung, 16

jari pada sirip perut, 10 11 jari

terletak jauh di belakang sirip punggung), dan sirip ekor ber jari. Sisik pada garis susuk berjumlah 75

Untuk lebih jelasnya mengenai morfologi ikan bandeng dapat dilihat pada

Morfologi Bandeng (

Keterangan : a. Mata, b. Tutup insang, c. Strip pectoralis, d. Strip abdominalls, e. Strip analis, f. Strip caudal, g. strip dorsalis, h. Linea lateralls, dan i. Mulut.

Ikan bandeng jantan dan betina sulit dibedakan baik secara morfologi, isik, bentuk kepala dan lain lainnya. Namun pada bagian anal (lubang pelepasan) pada induk bandeng yang matang kelamin menunjukkan

(Purnomowati at al.

Untuk ikan bandeng jantan mempunyai 2 tonjolan kecil (

terbuka di bagian luarnya yaitu selaput dubur luar dan lubang pelepasan yang membuka pada bagian ujungnya. Di dalam alat genital jantan (vasa

mulai dari testes menyatu sedalam 2 10 mm dari lubang pelepasan. Lubang Ikan bandeng juga mempunyai sirip punggung yang jauh di bel

sirip punggung, 16 17 jari

11 jari-jari pada sirip anus/dubur (sirip terletak jauh di belakang sirip punggung), dan sirip ekor ber

ris susuk berjumlah 75

orfologi ikan bandeng dapat dilihat pada

Morfologi Bandeng (Chanos chanos

Keterangan : a. Mata, b. Tutup insang, c. Strip pectoralis, d. Strip abdominalls, e. Strip analis, f. Strip caudal, g. strip dorsalis, h. Linea lateralls, dan i. Mulut.

Ikan bandeng jantan dan betina sulit dibedakan baik secara morfologi, lainnya. Namun pada bagian anal (lubang pelepasan) pada induk bandeng yang matang kelamin menunjukkan

at al.2007).

Untuk ikan bandeng jantan mempunyai 2 tonjolan kecil (

terbuka di bagian luarnya yaitu selaput dubur luar dan lubang pelepasan yang membuka pada bagian ujungnya. Di dalam alat genital jantan (vasa

10 mm dari lubang pelepasan. Lubang Ikan bandeng juga mempunyai sirip punggung yang jauh di belakang tutup 17 jari-jari pada sirip jari pada sirip anus/dubur (sirip terletak jauh di belakang sirip punggung), dan sirip ekor ber

ris susuk berjumlah 75

orfologi ikan bandeng dapat dilihat pada

Chanos chanos),

Keterangan : a. Mata, b. Tutup insang, c. Strip pectoralis, d. Strip abdominalls, e. Strip analis, f. Strip caudal, g. strip dorsalis, h. Linea lateralls, dan i. Mulut.

Ikan bandeng jantan dan betina sulit dibedakan baik secara morfologi, lainnya. Namun pada bagian anal (lubang pelepasan) pada induk bandeng yang matang kelamin menunjukkan

Untuk ikan bandeng jantan mempunyai 2 tonjolan kecil (papila

terbuka di bagian luarnya yaitu selaput dubur luar dan lubang pelepasan yang membuka pada bagian ujungnya. Di dalam alat genital jantan (vasa deferentia

10 mm dari lubang pelepasan. Lubang

4

akang tutup jari pada sirip jari pada sirip anus/dubur (sirip terletak jauh di belakang sirip punggung), dan sirip ekor berlekuk ris susuk berjumlah 75 80 sisik

orfologi ikan bandeng dapat dilihat pada

Keterangan : a. Mata, b. Tutup insang, c. Strip pectoralis, d. Strip abdominalls, e. Strip analis, f. Strip caudal, g. strip dorsalis, h. Linea lateralls, dan i. Mulut.

Ikan bandeng jantan dan betina sulit dibedakan baik secara morfologi, lainnya. Namun pada bagian anal (lubang pelepasan) pada induk bandeng yang matang kelamin menunjukkan

papila) yang

terbuka di bagian luarnya yaitu selaput dubur luar dan lubang pelepasan yang

deferentia),

(12)

kencing (urinari pore) melebar ke arah saluran besar dari sisi atas. Selain itu 2 tonjolan urogenital yang membuka ke arah ventral anus (Rusmiyati 2012).

Sedangkan untuk betina mempunyai 3 tonjolan kecil (papila) yang terbuka di bagian anal. Satu lubang adalah lubang anus yang sejajar dengan lubang genital pore sedangkan lubang satunya lagi yaitu lubang posterior dari genital pore berada pada ujung urogenital papila. Dari 2 oviduct menyatu kearah saluran yang lebar yang merupakan saluran telur dan saluran tersebut berakhir di genital

pore (Rusmiyati 2012).

2.3 Siklus Hidup

Ikan bandeng merupakan jenis ikan laut yang daerah penyebarannya meliputi daerah tropika dan sub tropika (Pantai Timur Afrika, Laut Merah sampai Taiwan, Malaysia, Indonesia dan Australia). Di Indonesia penyebaran ikan bandeng meliputi sepanjang pantai utara Pulau Jawa, Madura, Bali, Nusa Tenggara, Aceh, Sumatra Selatan, Lampung, Pantai Timur Kalimantan, sepanjang pantai Sulawesi dan Irian Jaya. (Purnomowati at al. 2007).

Ikan bandeng termasuk jenis ikan euryhaline dimana dapat hidup pada kisaran kadar garam yang cukup tinggi (0 140 promil). Oleh karena itu ikan bandeng dapat hidup di daerah tawar (kolam/sawah), air payau (tambak), dan air asin (laut) (Purnomowati at al. 2007).

2.4 Kebiasaan Makan

Ikan bandeng mempunyai kebiasaan makan pada siang hari. Di habitat aslinya ikan bandeng mempunyai kebiasaan mengambil makanan dari lapisan atas dasar laut, berupa tumbuhan mikroskopis seperti: plankton, udang renik, jasad

(13)

6

renik, dan tanaman multiseluler lainnya. Makanan ikan bandeng disesuaikan dengan ukuran mulutnya (Purnomowati at al. 2007).

Pada waktu larva, ikan bandeng tergolong karnivora, kemudian pada ukuran fry menjadi omnivora. Pada ukuran juvenil termasuk ke dalam golongan herbivora, dimana pada fase ini juga ikan bandeng sudah bisa makan pakan buatan berupa pellet. Setelah dewasa, ikan bandeng kembali berubah menjadi omnivora lagi karena mengkonsumsi, algae, zooplankton, bentos lunak, dan pakan buatan berbentuk pellet (Aslamyah 2008).

2.5 Pemeliharaan Larva

Air media pemeliharaan larva yang bebas dari pencemaran, suhu 27 310C

salinitas 30 ppt, pH 8 dan oksigen 5 7 ppm diisikan ke dalam bak tidak kurang dari 100 cm yang sudah dipersiapkan dan dilengkapi sistem aerasi dan batu aerasi dipasang dengan jarak antara 100 cm (Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya 2010).

Larva umur 0 2 hari kebutuhan makanannya masih dipenuhi oleh kuning telur sebagai cadangan makanannya. Hari kedua setelah ditetaskan diberi pakan alami yaitu chlorella dan rotifera. Masa pemeliharaan berlangsung 21 25 hari saat larva sudah berubah menjadi nener. Pada hari ke nol telur-telur yang tidak menetes, cangkang telur larva yang baru menetas perlu disiphon sampai hari ke 8 10 larva dipelihara pada kondisi air stagnan dan setelah hari ke 10 dilakukan pergantian air 10% meningkat secara bertahap sampai 100% menjelang panen (Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya 2010).

Masa kritis dalam pemeliharaan larva biasanya terjadi mulai hari ke 3 4 sampai ke 7 8. Untuk mengurangi jumlah kematian larva, jumlah pakan yang

(14)

diberikan dan kualitas air pemeliharan perlu terus dipertahankan pada kisaran optimal (Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya 2010).

Nener yang tumbuh normal dan sehat umumnya berukuran panjang 12 16 mm dan berat 0,006 0,012 gram dapat dipelihara sampai umur 25 hari saat penampakan morfologisnya sudah menyamai bandeng dewasa (Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya 2010).

2.6 Pengelolaan Kualitas Air

Menurut Effendi (1976) salah satu faktor yang sangat menentukan dalam kehidupan dan pertumbuhan pada ikan adalah kualitas air, makanan, dan keadaan biologis ikan bersangkutan. Beberapa faktor kualitas air yang penting dalam pembenihan ikan bandeng yaitu faktor kimia, faktor fisika, dan faktor biologi. Parameter kualitas air yang menentukan adalah : oksigen terlarut, karbondioksida, derajat keasaman, suhu, kandungan nitrit, kandungan amoniak, dan kadar garam air (salinitas). Mutu air optimal bagi pemeliharaan bandeng dapat dilihat tabel dibawah ini.

Tabel 1. Mutu Air Optimal bagi Pemeliharaan Larva Bandeng.

Parameter Optimum DO (mg/l) 3,0 8,5 ppm Amoniak (mg/l) 0 Ph 7,2 8,3 Temperatur (0C ) 27 30 0C Salinitas (ppt) 29 32 ppt

(15)

8

2.7 Morfologi Rotifera

Rotifera merupakan salah satu jenis zooplankton yang hidup diperairan

tawar didaerah tropis dan subtropis. Berdasarkan klasifikasinya Rotifera sp dapat dimasukkan kedalam : Filum : Rotifera Kelas : Monogononta Ordo : Ploima Famili : Brachionidae Subfamili : Brachioninae Genus : Brachionus

Spesies : Brachionus calyciflorus

Brachionus merupakan zooplankton yang berukuran sekitar 0,1 0,3 mm (Sunyoto & Mustahal 1997 dalam Sachlan 2000). Tubuh umumnya tidak berwarna atau transparan, mempunyai indra seperti bintik mata (Hyman 1951

dalam Sachlan 2000). Tubuh terbagi atas tiga bagian, yaitu kepala, badan dan kaki

atau ekor. Bagian kepala terdapat enam buah duri. Pada duri yang panjang terdapat ujung bagian depan dilengkapi dengan gelang-gelang cilia yang kelihatan seperti spiral disebut korona yang berfungsi untuk memasukkan makanan ke dalam

Brachionus plicatilis memiliki struktur tubuh masih sangat sederhana

dengan tubuh berbentuk bilateral simetris, menyerupai piala. Kulit terdiri dari dua lapisan yaitu, hipodermis dan kutikula (Cole 1993 dalam Sachlan 2000). Antara jenis jantan dan betina terdapat perbedaan bentuk yang menyolok (Gambar 03), dimana yang jantan mempunyai bentuk tubuh jauh lebih kecil daripada betina,

(16)

selain itu jantan juga mengalami regenerasi. Brachionus jantan biasanya hanya muncul pada musim-musim tertentu saja. Sedangkan yang betina hampir ditemukan setiap saat, dan berkembang biak secara partenogenesis (aseksual) dan kawin (seksual) (Mujiman 1998 dalam Sachlan 2000).

Menurut ukurannya Brachionus plicatilis dibagi menjadi dua tipe yaitu B.

plicatilis yang berukuran besar yang disebut dengan tipe-L dan yang berukuran

kecil yang disebut dengan tipe-S (Isnansetyo & Kurniastuty 1995 dalam Sachlan 2000).

2.7.1 Ekologi Rotifera

Brachionus plicatilis hidup di perairan tawar, payau dan laut, bersifat

planktonik (Djarijah 1995 Hyman 1951 dalam Sachlan 2000). Brachionus dapat dijumpai di perairan yang banyak nannoplankton maupun detritusnya, organisme ini ditemui secara melimpah. Nannoplankton dan detritus merupakan pakan dari

(17)

10

Brachionus, selain partikel organik lain, seperti ganggang renik, bakteri, dan protozoa, asalkan sesuai dengan bukaan mulutnya (Priyambod 1998 dalam Sachlan 2000).

Brachionus plicatilis bersifat euthermal. Pada suhu 150C masih dapat tumbuh, tetapi tidak dapat bereproduksi, sedangkan pada suhu di bawah 100C

akan terbentuk telur istirahat. Kenaikan suhu antara 15 350C akan menaikkan laju

reproduksinya. Kisaran suhu antara 22 300C merupakan kisaran suhu optimum untuk pertumbuhan dan reproduksi, disamping itu Brachionus plicatilis juga bersifat euryhalin (Isnansetyo & Kurniastuty 1995 dalam Sachlan 2000 ).

Pennak (1978) dalam Sachlan (2000) menyatakan Brachionus ini juga memiliki kisaran toleransi yang luas terhadap kondisi asam atau basa suatu perairan, karena masih dapat bertahan hidup pada pH 5 dan pH 10. Sedangkan pH optimum untuk pertumbuhan dan reproduksi berkisar antara 7,5 8,0. Pada

umumnya Rotifera planktonik secara normal membutuhkan O2 yang cukup tinggi.

Namun genus Brachionus plicatilis dapat bertahan pada kondisi yang anaerob dalam jangka waktu pendek dan mampu bertahan pada konsentrasi oksigen terlarut yang cukup rendah untuk jangka waktu yang panjang.

Ayodhyao (1981) dalam Sachlan (2000) menyatakan kondisi suhu di suatu perairan sangat erat kaitannya dengan intensitas cahaya. Di samping itu intensitas cahaya juga berpengaruh terhadap kehadiran zooplankton, diantaranya dari jenis

Brachionus plicatilis. Selanjutnya Isnansetyo & Kurniastuty (1995) dalam

Sachlan (2000) menyatakan bahwa kepadatan pakan, jenis pakan, suhu air,

salinitas, penetrasi cahaya dan sifat genetik sangat mempengaruhi

(18)

laju pertumbuhan populasi. Semakin besar ukurannya, maka laju pertumbuhan populasi semakin kecil.

2.7.2 Peranan Pupuk dalam Pembudidayaan Plankton

Pupuk dibedakan menjadi dua macam, yaitu pupuk organik dan pupuk anorganik. Pupuk organik atau pupuk alam merupakan hasil akhir dari perubahan dan penguraian sisa (serasah) tanaman dan binatang, misalnya pupuk kandang, pupuk hijau dan sebagainya, sedangkan pupuk anorganik atau pupuk buatan, yaitu pupuk yang merupakan hasil industri pabrik-pabrik pembuatan pupuk, misalnya pupuk Urea, TSP, DAP dan sebagainya (Kadarini 1997 dalam Sachlan 2000).

Menurut ( Saifuddin 1985 dan Setyamidjaja 1986 dalam Sachlan 2000) pemakaian pupuk organik, yaitu kotoran ternak dapat merangsang pertumbuhan populasi mikroorganisme. Selanjutnya Sutejo (1995) dan Mujiman (1998) dalam Sachlan (2000) menyatakan beberapa jenis kotoran ternak, terutama kotoran ayam merupakan pupuk organik yang banyak dimanfaatkan dalam usaha bercocok tanam, dan pada saat ini banyak juga dimanfaatkan dalam usaha perkembangan budidaya perikanan, diantaranya digunakan dalam pembudidayaan pakan alami ikan, seperti Rotifera,Chorella dari genus Brachionus.

Pupuk kandang berfungsi sebagai pupuk alami untuk meningkatan jumlah alga yang merupakan pakan Rotifera. Pupuk ini memiliki beberapa kelebihan antara lain mudah untuk didapat dan Rotifera tidak mudah mengalami defisiensi nutrisi karena terdapat alga dalam jumlah berlimpah dan keanekaragaman yang tinggi.

Pada kadar oksigen rendah B. plicatilis masih tetap dapat berkembang biak. Salah satu faktor penyebab dapatnya B. plicatilis bertahan hidup pada kadar

(19)

12

oksigen rendah di perairan adalah karena B. plicatilis ternyata membutuhkan Vitamin B12 untuk kehidupannya (Dahril, 1996 dalam Sachlan 2000).Kotoran ayam juga banyak mengandung bakteri, dan beberapa diantaranya berperan menghasilkan Vitamin B12 (Chumaidi & Djajadiredja 1982 dalam Sachlan 2000). Menurut Sachlan (2000) Rotifera dapat tumbuh banyak jika kolam dipupuk dengan pupuk kandang. Selanjutnya mengatakan bahwa pupuk kotoran ayam mempunyai kandungan unsur hara yang cukup tinggi, karena bagian yang padat bercampur dengan yang cair (urine) (Setyamidjaja 1995 Hardjowigeno 1987 dalam Sachlan 2000).

Selain itu pupuk kotoran ayam adalah pupuk yang lengkap karena mengandung hampir semua unsur hara yang bekerja secara perlahan-lahan dalam waktu yang lama (Rafnida 1986 dalam Sachlan 2000 ). Bahkan dari hasil penelitian Setia budiningsih (1998) dalam Sachlan (2000) menunjukkan bahwa pemupukan dengan menggunakan kotoran ayam cenderung memberikan kandungan unsur hara yang lebih lengkap sehingga meningkatkan produktivitas primer perairan.

Selanjutnya Sutejo (1995) dalam Sachlan (2000) menyatakan bahwa berdasarkan kandungan unsur hara, pupuk urea dan TSP termasuk pupuk tunggal, karena hanya mengandung satu macam unsur hara. Urea hanya mengandung N sedangkan TSP hanya mengandung P. Urea dan TSP termasuk pupuk buatan (pupuk anorganik) yang berkadar hara tinggi.

Pupuk yang banyak digunakan baik dalam usaha pembudidayaan tanaman maupun perikanan adalah pupuk Urea dan TSP, karena kandungan unsur hara kedua pupuk ini tinggi dan termasuk pupuk tunggal yaitu pupuk yang hanya

(20)

mengandung satu macam unsur saja, dimana pupuk urea hanya mengandung nitrogen dan pupuk TSP hanya mengandung fosfor (Lingga 1995 dan Sutejo 1995

dalam sachlan 2000). Dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa defisiensi

fosfor dan nitrogen di perairan menentukan fitoplankton serta akhirnya mengurangi produktivitas dalam suatu perairan (Sumawidjaja 1981 dalam Sachlan 2000).

Nutrien dibagi menjadi menjadi makronutrien dan mikronutrien. Nitrat dan fosfat tergolong makronutrien yang merupakan pupuk dasar yang mempengaruhi pertumbuhan fitoplankton. Nitrat adalah sumber nitrogen yang penting bagi fitoplankton baik di air laut maupun air tawar. Bentuk kombinasi lain dari nitrogen seperti ammonia, nitrit dan senyawa organik dapat digunakan apabila kekurangan nitrat (Cotteau 1996 Taw 1990 dalam Sachlan 2000).

Fitoplankton secara umum dapat mempengaruhi pertumbuhan rotifera, karena dapat meningkatkan pertumbuhan Rotifera B. plicatils tersebut. Unsur hara esensial yang harus ada diperairan dan merupakan faktor pembatas fitoplankton adalah unsur fosfor dan nitrogen (Dahril 1996 dalam Sachlan 2000). Fosfor adalah suatu nutrien metabolik kunci dan unsur ini sering mengatur produktivitas perairan alami.

Senyawa N organik biasanya terdapat dalam bentuk terlarut, hanya sedikit sekali di dalam perairan alami sehingga nutrien yang essensial bagi produsen primer, fosfor lebih banyak berperan dari pada nitrogen sebagai faktor pembatas pertumbuhan (Sachlan 2000)

(21)

14

2.8 Morfologi Chlorella sp.

Menurut Vashista (2002) Chlorella sp termasuk dalam : Filum : Chlorophyta Kelas : Chlorophyceae Ordo : Chlorococcales Famili : Chlorellaceae Genus : Chlorella Spesies : Chlorella sp.

Sel Chlorella berbentuk bulat, hidup soliter, berukuran 2 8 m. Dalam sel Chlorella mengandung 50% protein, lemak serta vitamin A, B, D, E dan K, disamping banyak terdapat pigmen hijau (klorofil) yang berfungsi sebagai katalisator dalam proses fotosintesis (Sachlan 2000).

Sel Chlorella umumnya dijumpai sendiri, kadang-kadang bergerombol. Protoplast sel dikelilingi oleh membrane yang selektif, sedangkan di luar membran sel terdapat dinding yang tebal terdiri dari sellulosa dan pektin. Di dalam sel terdapat suatu protoplast yang tipis berbentuk seperti cawan atau lonceng dengan posisi menghadap ke atas. Pineroid-pineroid stigma dan vacuola kontraktil tidak ada (Vashista 2002).

Warna hijau pada alga ini disebabkan selnya mengandung klorofil a dan b dalam jumlah yang besar, di samping karotin dan xantofil (Volesky 1970 dalam Sachlan 2000).

2.8.1 Habitat

Chlorella tumbuh pada salinitas 25 ppt. Alga tumbuh lambat pada salinitas 15 ppm, dan hampir tidak tumbuh pada salinitas 0 ppm dan 60 ppm. Chlorella

(22)

tumbuh baik pada suhu 200C, tetapi tumbuh lambat pada suhu 320C. Tumbuh

sangat baik sekitar 20 230C (Hirata dalam Sachlan 2000).

Tetraselmis tumbuh dengan kondisi salinitas optimal antara 25 dan 35 ppm. Menurut Griffith (1973) dalam Sachlan (2000) bahwa Tetraselmis chuii

masih dapat mentoleransi suhu antara 15 350C, sedangkan suhu optimal berkisar

antara 23 250C.

2.8.2 Reproduksi

Menurut Presscott (1978) dalam Sachlan (2000) Chlorella sp berkembang biak dengan membelah diri membentuk autospora. Sedangkan pada waktu membelah diri membentuk autospora, Chlorella sp. melalui empat fase siklus hidup (Hase 1962; Kumar and Singh 1981 dalam Sachlan 2000 ). Keempat fase tersebut adalah :

1. Fase pertumbuhan (growth), periode perkembangan aktif sel massal yaitu

autospora tumbuh menjadi besar.

2. Fase pematangan awal (early revening), autospora yang telah tumbuh

menjadibesar mengadakan persiapan untuk membagi selnya menjadi sel-sel baru.

3. Fase pematangan akhir (late revening), sel-sel yang baru tersebut

mengadakan pembelahan menjadi dua..

4. Fase autospora (autospora liberation), pada fase ini sel induk akan pecah

dan akhirnya terlepas menjadi sel-sel baru.

Pertumbuhan Chlorella sp. dapat di ukur dengan cara mengamati dan menghitung perkembangan jumlah sel dari waktu ke waktu (Bold dan Wyne 1983

(23)

16

dalam Sachlan 2000). Reproduksi Tetraselmis chuii terjadi secara vegetatif

aseksual dan seksual. Reproduksi aseksual dimulai dengan membelahnya protoplasma sel menjadi dua, empat, delapan dalam bentuk zoospore setelah masing-masing melengkapi diri dengan flagella. Sedangkan reproduksi secara seksual, setiap sel mempunyai gamet yang identik (isogami) kemudian dengan bantuan substansi salah satu gamet tersebut ditandai dengan bersatunya kloroplast yang kemudian menurunkan zygote yang sempurna (Erlina dan Hastuti, 1986

dalam Sachlan, 2000).

(24)

III METODE

3.1Tempat dan Waktu

Tugas akhir ini disusun berdasarkan hasil kegiatan Pengalaman Kerja Praktik Mahasiswa (PKPM) yang telah dilaksanakan selama tiga bulan yaitu pada bulan februari sampai dengan bulan Mei di PT Esaputlii Prakarsa Utama.

3.2 Metode Pengumpulan Data

Metode pengambilan data yang digunakan dalam penyusunan tugas akhir ini yaitu dengan cara pengumpulan data berupa :

3.2.1 Data primer

Data primer yaitu data yang diperoleh dengan cara melaksanakan dan mengikuti kegiatan Teknik Pembenihan ikan bandeng secara langsung serta ikut berperan aktif di lapangan.

3.2.2 Data sekunder

Data sekunder yaitu diperoleh melalui studi pustaka dengan cara mengumpulkan data dari berbagai literature dan melakukan wawancara dengan pembimbing dan teknisi lapangan.

3.3 Alat dan Bahan

Alat yang di gunakan dalam pemeliharaan Pengelolaan Larva Ikan Bandeng dapat dilihat pada di tabel bawah ini :

(25)

18

Tabel 2. Alat yang digunakan.

No Nama Alat Fungsi

1. Bak Larva Wadah pemiliharaan larva

2. Bak kutur pakan alami Wadah kultur Chlorella dan rotifer

3. Bak Sortir Wadah pemiliharaan nener

4, Ember volume 10 liter Wadah sementara rotifera sebelum di

berikan ke larva

5. Ember volume 25 liter Menampung rotifer hasil panen

6. Gayung Untuk menebar pakan alami rotifer

7. Baskom panen Menampung nener yang dipanen

8. Selang spiral Untuk memanen rotifer

9 Selang sipon Untuk menyipon kotoran di bak larva

10. Kantong Saringan rotifer Untuk menyaring rotifer

11. Kantong saringan kultur Untuk menyaring kotoran dan rotifer

12. Pompa dan pipa Mentransfer air alga ke bak kultur rotifer

13. Alat sortir Menampung larva atau nener saat panen

14. Kelambu panen Untuk memisahkan nener ukuran besar

dan ukuran kecil

15. Pompa Untuk menampung nener hasil panen

Mendistribusikan air

16. Mistar Untuk mengukur panjang larva

17. Sikat kawat/pengosok Menghilangkan kotoran

18.. Blower Menyuplai Oksigen

(26)

Tabel 3. Bahan yang akan digunakan.

No. Bahan Fungsi

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. Air laut Air tawar

Pupuk Urea, ZA, dan TSP Pakan buatan PS-P Pakan alami chlorella Pakan alami rotifera

Bibit rotifer dan alga chloella Bangkai ayam

Larva ikan bandeng Kaporit

Telur ikan bandeng

Air media pemeliharaan larva dan kultur pakan alami

Untuk mencuci alat yang sudah dipakai Pupuk untuk kultur chlorella

Pakan buatan untuk larva Pakan alami untuk rotifer Pakan alami untuk larva

Bibit untuk kegiatan kultur massal Untuk menumbuhkan bakteri Benih ikan bandeng yang dipelihara Sebagai desinfektan

Menghasilkan larva ikan bandeng

3.4 Metode Pelaksana 3.4.1 Persiapan air a. Air Laut

Air laut dipompa masuk ke dalam bak reservoar dengan bantuan pompa 10 PK, dengan diameter pipa 6 inchi. Air laut ditampung pada bak reservoar dengan kapasitas 200 ton, Air ditransfer ke Reservoar II melalui filter grafitasi yang diberi arang aktif dan pasir kuarsa. Filter bag dipasang di ujung pipa air masuk ke Reservoar II. dan didistribusikan ke setiap bak pemeliharaan larva dan bak kultur pakan alami.

(27)

20

b. Air Tawar

Air tawar diambil menggunakan sumur bor dengan kedalaman ± 50 meter. Sumur bor terletak di luar lokasi hatcheri yang berjarak ± 500 meter dari lokasi hatchery. Air dipompa menggunakan pompa 2,4 PK menuju tandon air tawar. Tandon berada pada tower dengan ketinggian 5 meter. Air dari tower dialirkan ke unit pembenihan ikan bandeng melalui pipa 2 inchi.

3.4.2 Persiapan Bak

Persiapan alat dan bahan yang akan digunakan dalam kegiatan pencucian bak pemeliharaan larva yaitu penggosok panci atau sikat, selang, selang aerasi dan batu aerasi. Wadah volume 7 ton terlebih dahulu disiram dengan air laut kemudian dinding dan dasar bak disikat dan digosok menggunakan penggosok panci kemudian disemprot dengan air laut menggunakan selang supaya lumut dan kotorannya terlepas. Selain itu selang dan batu aerasi juga dibersihkan dengan cara digosok sampai bersih. Bak dikeringkan (dijemur) selama satu hari. Pengisian air bak pemeliharaan larva sebanyak 70 % dari volume bak. Setiap bak dilengkapi dengan selang aerasi sebanyak 16 titik dengan jarak antar aerasi 50 cm dan 10 cm diatas dasar bak. Kemudia aerasi diatur dengan kekuatan sedang.

3.4.3 Kultur Pakan Alami a. Kultur Chlorella

Bak alga dicuci dan dibersihkan sampai bersih dan dikeringkan selama 1 hari. Air alga dari bak lain ditransfer dengan menggunakan selang spiral 2 inci. Ujung selang spiral dipasangkan kantong saringan kultur alga ukuran 70 mikron. Bak diisi alga sebanyak 30 % dari volume bak. Kemudian alga dipupuk

(28)

menggunakan pupuk Urea 30 ppm, Za 20 ppm, dan TSP 5 ppm. Pupuk TSP sebanyak 250 gram dilarutkan dengan air sebanyak 5 liter. Urea dan Za dimasukkan ke dalam ember kemudian ditambahkan pupuk TSP sebanyak 2 liter (5 ppm). Ketiga pupuk diaduk sampai sampai larut. Pupuk ditebar ke dalam bak kultur alga secara merata. Terakhir diberikan kaporit sebanyak 5 gr sebagai desinfektan.

b. Kultur Rotifera

Bibit chlorella dipompa menggunakan selang spiral ukuran 2 inci masuk ke dalam bak rotifer. Bak kultur rotifer diisi alga sebanyak 20 % dari volume bak kemudian ditambahkan air laut sebanyak 10 %. Setelah dilakukan pengisian alga dan air laut, selanjutnya bibit rotifer yang sudah dipanen dimasukkan ke dalam ember dengan volume 10 liter. Bibit sebanyak 10 liter dimasukkan ke dalam bak kultur. Kepala dan kaki ayam dimasukkan ke dalam kantong yang terbuat dari waring, setelah itu diikat dan digantung di dalam bak kultur rotifer dan diusahakan terendam dengan air. 2 hari setelah kultur dilakukan penambahan alga 20 % dan air laut 10 %. 4 hari setelah kultur dilakukan penambahan alga 20 % dan air laut 20 %. Pemanenan rotifer dilakukan 5-7 hari setelah kultur atau jika sudah terlihat padat dan berwarna merah kecoklatan bisa dipanen.

3.4.4 Pemeliharaan Larva

Larva yang sudah menetas atau larva berumur dua hari di bak pemeliharaan larva dilakukan penyiponan untuk membuang cangkang telur yang sudah menetas dan telur yang tidak menetas. Pemberian pakan alami Chlorella sp. dan Rotifera dilakukan pada larva umur tiga hari sampai panen dengan frekuensi

(29)

22

dua kali sehari. Pergantian air dilakukan pada saat larva berumur 10 hari sebanyak 10 % dan meningkat sampai panen. Pemberian pakan buatan PS-P pada saat larva

berumur 11 hari sampai panen dengan frekuensi pemberian pakan buatan empat kali sehari. Pemanenan dilakukan pada saat larva berumur 17-20 hari. Grading dilakukan terhadap larva dan larva hasil grading dipelihara di bak grading selama 5 hari.

3.5 Parameter yang diamati dan Analaisa Data 3.5.1 Parameter yang diamati

Jenis parameter yang diamati pada kegiatan pengelolaan larva ikan bandeng adalah:

Kelangsungan Hidup (SR)

Pertumbuhan Larva Ikan Bandeng

Kualitas Air Pemeliharaan Larva Ikan Bandeng

3.5.2 Analisis Data

Metode analisis data ynag digunakan adalah metode deskriptif kualitatif yang besumber dari data primer dan data sekunder yang didapatkan selama umur 21 hari pada kegiatan praktikum.

Presentase tingkat kelangsungan hidup (%SR)

% SR =

Referensi

Dokumen terkait