• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI KARAKTERISTIK SIFAT KUALITATIF PADA DOMBA LOKAL DI BEBERAPA WILAYAH INDONESIA SKRIPSI NOK MALEKHA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STUDI KARAKTERISTIK SIFAT KUALITATIF PADA DOMBA LOKAL DI BEBERAPA WILAYAH INDONESIA SKRIPSI NOK MALEKHA"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI KARAKTERISTIK SIFAT KUALITATIF PADA

DOMBA LOKAL DI BEBERAPA WILAYAH

INDONESIA

SKRIPSI NOK MALEKHA

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

(2)

RINGKASAN

NOK MALEKHA. D14102069. 2009. Studi Karakteristik Sifat Kualitatif pada

Domba Lokal di Beberapa Wilayah Indonesia. Skripsi. Program Studi Teknologi

Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Dr. Jakaria, SPt. M. Si.

Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Cece Sumantri, M. Agr. Sc.

Indonesia memiliki tiga jenis domba lokal, yaitu domba Ekor Tipis (Javanese

thin-tailed), domba Priangan (Priangan of West Java) dan domba Ekor Gemuk

(Javanese fat-tailed). Variasi sifat kualitatif tinggi diantara domba lokal dan tersebar di beberapa wilayah Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan karakteristik sifat kualitatif domba lokal di beberapa wilayah Indonesia yang dapat dijadikan sebagai ciri spesifik domba lokal.

Wilayah pengambilan data mencakup Desa Padasuka Kecamatan Ciomas, Desa Cinagara Kecamatan Cinagara, Margawati (Garut), Indramayu, Pulau Madura (Pamekasan, Sumenep, Bangkalan dan Sampang), Pulau Sumbawa (NTB), Pulau Rote (NTT), Kabupaten Donggala (Sulteng), dan Pulau Kisar (Maluku). Domba yang digunakan sebanyak 768 ekor terdiri dari 63 ekor dari Ciomas (jantan 46 ekor dan betina 17 ekor), 72 ekor dari Cinagara (jantan 53 ekor dan betina 19 ekor), 74 ekor dari Margawati (jantan 12 ekor dan betina 62 ekor), 86 ekor dari Madura (jantan 28 ekor dan betina 58 ekor), 100 ekor dari Indramayu (jantan 42 ekor dan betina 58 ekor), 30 ekor dari Sumbawa (jantan 10 ekor dan betina 20 ekor), 52 ekor dari Rote (jantan 23 ekor dan betina 29 ekor), 60 ekor dari Donggala (jantan 10 ekor dan betina 50 ekor), dan 231 ekor dari Pulau Kisar (jantan 99 ekor dan betina 132 ekor). Karakteristik sifat kualitatif yang diamati meliputi garis muka, posisi daun telinga, bentuk daun telinga, sifat bertanduk, bentuk ekor, bentuk bulu, pola warna bulu dan warna bulu. Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis deskriptif perhitungan frekuensi relatif.

Domba Ciomas, Cinagara, dan Margawati memiliki karakteristik sebagai domba Garut namun memiliki karakteristik sebagai domba Ekor Tipis yaitu bentuk ekor tipis pada domba Cinagara, Margawati dan betina Ciomas. Domba Indramayu, Sumbawa dan Donggala memiliki karakteristik sebagai domba Ekor Gemuk namun memiliki karakteristik domba Garut yaitu bentuk telinga hiris dan bentuk bulu berombak pada domba Indramayu, jantan bertanduk dan bentuk bulu berombak pada domba Sumbawa, jantan bertanduk pada domba Donggala. Domba Madura memiliki karakteristik sebagai domba Ekor Gemuk. Domba Rote memiliki karakteristik sebagai domba Ekor Gemuk tetapi memiliki karakteristik domba Ekor Tipis yaitu bentuk ekor tipis pada domba betina. Domba Kisar memiliki karakteristik sebagai domba Ekor Gemuk tetapi memiliki karakteristik domba Ekor Tipis yaitu bentuk ekor tipis dan memiliki karakteristik domba Garut yaitu jantan bertanduk, pola warna bulu tidak polos dan berkombinasi.

(3)

ABSTRACT

The Study of Qualitative Trait Characteristic of Local Sheep in Some Indonesian Regions

N. Malekha, Jakaria, and C. Sumantri

Sheep in Indonesia are Javanese thin-tailed sheep, Priangan of West Java sheep and Javanese fat-tailed sheep. Qualitative trait variations are high among local sheep and spread in some Indonesian regions. The objected of this research was to get qualitative traits of local sheep in some Indonesian regions which can be as characteristic of local sheep. The research used secondary data of RUT experiment by was done from 2004 up to 2007 in Ciomas, Cinagara, Margawati (Garut), Indramayu, Madura Island (Pamekasan, Sumenep, Bangkalan and Sampang), Sumbawa Island (NTB), Rote Island (NTT), Donggala (Central Sulawesi), and Kisar Island (Maluku). The number of observation sheep were 768 heads. Qualitative traits which observed were facial lines, positions of pinna, shapes of pinna, horned traits, shapes of tail, shapes of wool, wool colors and color patterns of wool. The experimental design used in this research were ralative frequency (descriptive analysis). Sheep from Ciomas, Cinagara, and Margawati have characteristic as Priangan of West Java sheep and Javanese thin-tailed sheep. Sheep from Indramayu, Sumbawa and Donggala have characteristic as Javanese fat-tailed sheep and Priangan of West Java sheep. Sheep from Madura has characteristic as Javanese fat-tailed sheep. Sheep from Rote has characteristic as Javanese fat-fat-tailed sheep and Javanese tailed sheep. Sheep from Kisar has characteristic as Javanese thin-tailed sheep, Priangan of West Java sheep and Javanese fat-thin-tailed sheep

(4)

STUDI KARAKTERISTIK SIFAT KUALITATIF PADA

DOMBA LOKAL DI BEBERAPA WILAYAH

INDONESIA

NOK MALEKHA D14102069

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk Memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

(5)

STUDI KARAKTERISTIK SIFAT KUALITATIF PADA

DOMBA LOKAL DI BEBERAPA WILAYAH

INDONESIA

Oleh

NOK MALEKHA

D14102069

Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan komisi Ujian lisan pada tanggal 20 Mei 2009

Pembimbing Utama Pembimbing Anggota

Dr. Jakaria, SPt. M.Si. Dr. Ir. Cece Sumantri, M. Agr. Sc. NIP. 132 050 623 NIP. 131 624 187

Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Luki Abdullah, M. Sc. Agr NIP. 131 955 531

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 26 Juli 1983 di Pekalongan. Penulis adalah anak pertama dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Tarono dan Ibu Carem.

Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1996 di SD Negeri Tugu VI Cimanggis Depok, pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 1999 di SLTP 2 Cimanggis Depok dan pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2002 di SMU Negeri 98 Jakarta Timur.

Penulis diterima sebagai mahasiswa pada jurusan Teknologi Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada tahun 2002.

Selama mengikuti pendidikan, penulis aktif di Himpunan Mahasiswa Produksi dan Teknologi Peternakan (HIMAPROTER), juga dalam berbagai kegiatan kepanitiaan di kampus, diantaranya dalam kepanitiaan sheep management training tahun 2005 di Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Selama mengikuti pendidikan, penulis pernah mendapatkan beasiswa dari Institut Pertanian Bogor yaitu beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) tahun 2005/2006. Selain itu, penulis juga mendapatkan beasiswa di luar Institut Pertanian Bogor yaitu beasiswa Woman International Club (WIC) dari tahun 2005 sampai tahun 2006.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena dengan limpahan rahmat, hidayah serta curahan nikmat yang tak terhingga dan hanya dengan pertolongan-Nya skripsi dengan judul Studi Karakteristik Sifat Kualitatif pada

Domba Lokal di Beberapa Wilayah Indonesia dapat diselesaikan sebagai salah

satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurah dan terlimpah kepada baginda Nabi Besar Muhammad SAW, kepada keluarga, para sahabat dan kepada umatnya sampai akhir zaman.

Informasi dasar mengenai karakteristik sifat kualitatif pada domba lokal di beberapa wilayah Indonesia saat ini masih belum lengkap. Oleh karena itu, melalui skripsi ini penulis ingin mencoba menambah kelengkapan informasi dasar mengenai karakteristik sifat kualitatif pada domba lokal. Skripsi ini disusun berdasarkan data sekunder hasil penelitian Riset Unggulan Terpadu (RUT). Dengan adanya skripsi ini diharapkan dapat menambah informasi dasar mengenai karakteristik sifat kualitatif pada domba lokal di beberapa wilayah Indonesia, sehingga mempermudah penyusunan program pemuliaan.

Kritik dan saran sangat penulis harapkan untuk perbaikan skripsi yang masih jauh dari sempurna ini. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menambah khazanah pengetahuan bangsa dan berguna untuk kemajuan dunia peternakan.

Bogor, Mei 2009

(8)

DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN ... ii ABSTRACT... iii RIWAYAT HIDUP ... iv KATA PENGANTAR ... v DAFTAR ISI... vi

DAFTAR TABEL... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix DAFTAR LAMPIRAN... x PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan ... 2 Manfaat ... 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 3 Domba... 3

Domba Ekor Tipis (DET) ... 4

Domba Priangan ... 4

Domba Ekor Gemuk (DEG) ... 5

Sifat Kualitatif... 6 Profil Muka ... 7 Warna... 7 Telinga ... ... 9 Tanduk ... 9 Ekor... 10 Wol... 10 METODE... 11

Lokasi dan waktu ... 11

Materi... 11

Prosedur ... 11

Peubah Yang Diamati ... 11

Garis Muka ... 11

Posisi Daun Telinga ... 12

Bentuk Daun Telinga ... 12

Sifat Bertanduk ... 13

Bentuk Ekor ... 13

Bentuk Bulu ... 13

Pola Warna Bulu ... 14

(9)

Analisis Data... 16

Analisis Deskriptif ... 16

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 17

Karakteristik Sifat Kualitatif Domba Lokal... 17

Garis Muka ... 17

Posisi Daun Telinga ... 19

Bentuk Daun Telinga ... 21

Sifat Bertanduk ... 24

Bentuk Ekor ... 26

Bentuk Bulu ... 28

Pola Warna Bulu ... 30

Warna Bulu ... 32

Karakteristik Sifat Kualitatif Masing-masing Domba Lo kal... 34

KESIMPULAN DAN SARAN ... 37

Kesimpuan ... 37

Saran ... 37

UCAPAN TERIMA KASIH ... 38

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Frekuensi Relatif Garis Muka pada Domba Jantan ... 17

2. Frekuensi Relatif Garis Muka pada Domba Betina ... 18

3. Frekuensi Relatif Posisi Daun Telinga pada Domba Jantan... 20

4. Frekuensi Relatif Posisi Daun Telinga pada Domba Betina... 21

5. Frekuensi Relatif Bentuk Daun Telinga pada Domba Jantan... 22

6. Frekuensi Relatif Bentuk Daun Telinga pada Domba Betina... 23

7. Frekuensi Relatif Sifat Bertanduk pada Domba Jantan. ... 24

8. Frekuensi Relatif Sifat Bertanduk pada Domba Betina... 25

9. Frekuensi Relatif Bentuk Ekor pada Domba Jantan ... 26

10. Frekuensi Relatif Bentuk Ekor pada Domba Betina... 27

11. Frekuensi Relatif Bentuk Bulu pada Domba Jantan ... 28

12. Frekuensi Relatif Bentuk Bulu pada Domba Betina... 29

13. Frekuensi Relatif Pola Warna Bulu pada Domba Jantan... 31

14. Frekuensi Relatif Pola Warna Bulu pada Domba Betina ... 32

15. Karakteristik Sifat Kualitatif Domba Ciomas, Cinagara dan Margawati... ... 34

16. Karakteristik Sifat Kualitatif Domba Indramayu, Madura, Sumbawa, Rote dan Donggala... 35

17. Karakteristik Sifat Kualitatif Domba Kisar ... 36

(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Garis Muka Cembung, Lurus dan Cekung ... 12

2. Posisi Daun Telinga Gantung, Tegak Samping dan Tegak Atas . 12

3. Bentuk Daun Telinga Rubak, Hiris dan Rumpung ... 12

4. Bertanduk, Benjolan dan Tidak Bertanduk... 13

5. Bentuk Ekor Lebar, Sedang dan Tipis ... 13

6. Bentuk Bulu Keriting, Berombak dan Lurus ... 14

7. Pola Warna Bulu Putih, Hitam dan Cokelat. ... 14

8. Pola Warna Bulu Bercak Kecil, Bercak Besar dan Bintik-bintik. ... 14

9. Pola Warna Bulu Strip Sempit dan Strip Besar ... 15

10. Warna Bulu Putih Cokelat, Putih Hitam dan Cokelat Putih ... 15

11. Warna Bulu Cokelat Hitam, Hitam Putih dan Hitam Cokelat ... 15

12. Kombinasi Tiga Warna Bulu Putih, Hitam dan Cokelat ... 16

13. Karakteristik Sifat Kualitatif pada Domba Ekor Tipis dan Domba Ekor Gemuk ... 36

14. Karakteristik Sifat Kualitatif pada Domba Jantan dan Betina Priangan/Garut ... 36

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Frekuensi Relatif Warna Bulu pada Domba Jantan... 43 2. Frekuensi Relatif Warna Bulu pada Domba Betina... 43 3. Karakteristik Sifat Kualitatif Domba Lokal Jantan di Beberapa

Wilayah Indonesia ... 44 4. Karakteristik Sifat Kualitatif Domba Lokal Betina di Beberapa

Wilayah Indonesia ... 45

(13)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Domba merupakan ternak ruminansia kecil yang sangat potensial untuk dikembangkan dan sangat populer dikalangan peternak di Indonesia. Pada tahun 2006 populasi ternak domba di Indonesia berjumlah 8.543.200 ekor, antara lain populasi domba di Jawa Barat sebesar 3.860.900 ekor, Jawa Timur sebesar 1.415.100 ekor, Nusa Tenggara Barat sebesar 19.700 ekor, Nusa Tenggara Timur sebesar 57.800 ekor, Sulawesi Tengah sebesar 2.200 ekor, Maluku sebesar 13.500 ekor dan sisanya tersebar di daerah lainnya di Indonesia (Direktorat Jenderal Peternakan, 2007).

Domba merupakan salah satu hewan ternak yang mempunyai peranan cukup penting dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi, sumber protein dan gizi masyarakat Indonesia. Komoditas ternak domba yaitu daging, wol dan kulit sangat berpotensi dan dapat memberi peluang usaha untuk meningkatkan taraf hidup rakyat karena mempunyai beberapa keuntungan, antara lain mudah perawatannya, tidak banyak modal yang dikeluarkan, dan dapat berkembang biak dengan tingkat kesuburan tinggi dan mudah beradaptasi.

Perbedaan-perbedaan pada kondisi lingkungan dan latar belakang genetik dapat menyebabkan individu-individu yang identik secara genetis pada lokus tertentu menunjukkan fenotipe (sifat kualitatif) yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan karena suatu genotipe tertentu tidak selalu merespons dengan cara yang sama. Masing-masing populasi beradaptasi secara potensial terhadap kondisi lokal, dan bukannya teradaptasi secara umum terhadap lingkungan spesies tersebut ditemukan (Elrod, 2007). Sehingga menurut Suparyanto et al. (1999) perbedaan karakteristik morfologis antar agroekosistem dapat dijadikan sebagai gambaran spesifikasi bangsa ternak.

Upaya pengembangan ternak domba di Indonesia saat ini masih perlu ditingkatkan melalui seleksi dan pemurnian. Seleksi perlu dilakukan untuk meningkatkan mutu genetik suatu ternak, sedangkan pemurnian bertujuan untuk melestarikan plasma nutfah dan menambahkan informasi dasar asal-usul domba lokal di Indonesia. Kendala yang dihadapi saat ini adalah kurangnya informasi mengenai karakteristik sifat kualitatif domba lokal di beberapa wilayah di Indonesia.

(14)

Informasi mengenai asal-usul dan karakteristik domba lokal di Indonesia diperlukan untuk program seleksi. Informasi tersebut dapat dilakukan melalui kajian eksterior (fenotipe) yang melibatkan sifat kualitatif (garis muka, posisi daun telinga, bentuk daun telinga, sifat bertanduk, bentuk ekor, bentuk bulu, pola warna bulu dan warna bulu). Untuk mewujudkan hal tersebut perlu dilakukan inventarisasi mengenai karakteristik khususnya sifat kualitatif domba lokal di beberapa wilayah di Indonesia.

Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan karakteristik sifat kualitatif domba lokal di beberapa wilayah Indonesia yang dapat dijadikan sebagai ciri spesifik domba lokal.

Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi perbedaan karakteristik sifat kualitatif domba lokal di beberapa wilayah Indonesia.

(15)

TINJAUAN PUSTAKA Domba

Pada awal sebelum terjadinya proses domestikasi, domba masih hidup liar di pegunungan dan diburu untuk diambil dagingnya. Domba yang sekarang menyebar di seluruh dunia ini sebenarnya berasal dari daerah pegunungan Asia Tengah, dimana sebagian menyebar ke arah barat dan selatan sehingga dikenal sebagai kelompok

urial dan yang lainnya menyebar ke arah timur dan utara yang dikenal sebagai

kelompok argali. Banyak domba yang telah didomestikasi, antara lain Ovis

canadensis (Amerika Utara), Ovis nivicola (Siberia), dan Ovis dalli (Alaska), serta

yang berasal dari bagian Barat dan Selatan Asia, yaitu Ovis musimon, Ovis ammon, dan Ovis orientalis (Ensminger, 2002).

Bangsa domba yang dipelihara sekarang ini adalah domba tipe perah, pedaging, dan penghasil wol. Pada mulanya domba didomestikasi di kawasan Eropa dan Asia. Menurut Ensminger (2002), domba yang kini dipelihara mempunyai taksonomi sebagai berikut:

Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mamalia Ordo : Arthidactyla Famili : Bovidiae Sub-famili : Caprinae Genus : Ovis Spesies : Ovis aries

Menurut Fahmi (1996) domba di Indonesia terdiri dari dua tipe, berekor tipis dan berekor gemuk, dengan beberapa perbedaan bangsa dalam masing-masing tipe, terutama sekali pada tipe ekor tipis. Asal-usul domba tidak diketahui, tetapi agaknya tipe berekor tipis berasal dari India/Bangladesh, dan tipe berekor gemuk berasal dari Barat Asia.

Populasi yang cukup besar dengan tingkat keragaman yang cukup tinggi, baik dalam bangsa maupun antar bangsa menjadikan domba-domba di Indonesia beragam bentuk dan pola warnanya. Perbedaan karakteristik morfologis antar agroekosistem dapat dijadikan sebagai gambaran spesifikasi bangsa ternak tersebut (Suparyanto et

(16)

al., 1999). Domba yang ada di Indonesia terdiri dari domba Ekor Tipis, domba

Priangan/Garut dan domba Ekor Gemuk (FAO, 2004).

Domba Ekor Tipis (DET)

Jumlah yang paling besar dalam tipe ekor tipis adalah Javanese Thin-tailed, yang paling dominan di Jawa Barat, yaitu Provinsi dengan populasi domba tertinggi Fahmi (1996). Bradford dan Inounu (1996) menyatakan bahwa domba Ekor Tipis menyebar di Jawa Barat, Semarang dan Sumatera.

Menurut (Riwantoro, 2005) domba Ekor Tipis baik jantan maupun betina mempunyai garis muka lurus. Domba Ekor jantan bertanduk sedangkan pada betina tidak bertanduk. Bentuk telinga pada jantan maupun betina yaitu rubak. Bentuk bulu baik jantan maupun betina yaitu lurus. Warna dasar bulu pada jantan maupun betina yaitu putih. Pola warna pada jantan maupun betina yaitu polos.

Domba Priangan (Domba Garut)

Domba priangan ditemukan di Provinsi Jawa Barat, bangsa domba ini digunakan sebagai pejantan tangkas dan pedaging. Bangsa ini merupakan variasi dari domba Ekor Tipis. Beberapa diantaranya Afrikander dan Merino yang diperkenalkan pada abad 19. Bangsa ini biasanya hitam atau belang, kadang-kadang abu-abu atau coklat. Jantan bertanduk dan betina tidak bertanduk (Mason, 1996).

Menurut Heriyadi (2009), proses pembentukan domba Priangan atau domba Garut, diyakini berawal dari persilangan antara tiga bangsa domba, yaitu domba Merino, domba Kaapstad dan domba Lokal di wilayah Priangan. Dalam perkembangan selanjutnya domba hasil silangan tersebut dikenal dengan nama domba Priangan atau domba Garut.

Mulliadi (1996) menyatakan bahwa performa domba Garut dipengaruhi oleh tiga bangsa domba, yaitu domba Kaapstad yang mempengaruhi tinggi dan pemunculan warna putih, domba Merino yang mempengaruhi sifat tanduk dan pemunculan warna putih, sedangkan domba Lokal yang mempengaruhi sifat tangkas dan pemunculan warna hitam dan cokelat.

Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian (2006) dalam pemilihan bibit domba Garut harus memenuhi persyaratan teknis yaitu persyaratan umum dan khusus, peryaratan umum meliputi sehat dan bebas cacat, sedangkan persyaratan khusus meliputi sifat kuantitatif dan sifat kualitatif (warna bulu putih, hitam atau

(17)

putih dan hitam, betina tidak bertanduk, jantan bertanduk, telinga rumpung atau hiris). Menurut FAO (2004) domba Garut memiliki garis muka cembung, posisi telinga semi-pendolous, bentuk ekor lebar atau sedang.

Menurut Riwantoro (2005) garis muka domba Garut Tangkas jantan dan Pedaging jantan cenderung sama dengan domba Ekor Gemuk yaitu berbentuk cembung sedangkan pada betina berbentuk lurus. Domba Garut tangkas jantan mempunyai tanduk khas dan berbentuk rumpung sedangkan pada betina ada yang bertanduk. Tanduk pada domba Garut Pedaging jantan cenderung sama dengan domba Lokal yaitu pendek dan lebih kecil dibanding tanduk domba Garut Tangkas jantan sedangkan pada betina tidak bertanduk. Bentuk telinga domba Garut Tangkas baik jantan maupun betina adalah rumpung. Bentuk telinga hiris ditemukan pada domba Garut Pedaging jantan sedangkan pada betina berbentuk rubak. Bentuk bulu pada domba Garut Tangkas dan Pedaging baik jantan maupun betina umumnya lurus. Warna dasar pada domba Garut Tangkas jantan adalah hitam sedangkan pada betina putih. Warna dasar pada domba Garut Pedaging jantan dan betina adalah putih. Pola warna pada domba Garut Tangkas jantan sama dengan Garut Pedaging jantan, yaitu bercak besar. Domba Garut Tangkas betina mempunyai pola warna bercak kecil sedangkan pada domba Garut Pedaging betina mempunyai pola warna polos.

Domba Ekor Gemuk (DEG)

Menurut Hardjosubroto (1994) domba Ekor Gemuk diduga berasal dari Asia Barat Daya yang dibawa oleh pedagang bangsa Arab pada abad ke-18. Sekitar tahun 1731-1779, pemerintah Hindia Belanda memutuskan mengimpor domba Ekor Gemuk pejantan Kirmani dari Persia. Belum diketahui dengan pasti apakah domba Ekor Gemuk yang ada di Indonesia merupakan keturunan dari domba-domba ini.

Menurut Bradford dan Inounu (1996) domba Ekor Gemuk banyak terdapat di Jawa Timur. Menurut FAO (2004) domba Ekor Gemuk banyak di temukan di daerah Madura, Jawa Timur, dan wilayah Indonesia Timur seperti Lombok, Sumbawa, Kisar dan Sawa. Dijelaskan lebih lanjut oleh Bradford dan Inounu (1996) bahwa tanda-tanda yang merupakan khas domba Ekor Gemuk adalah ekor yang besar, lebar dan panjang. Dijelaskan pula bahwa diantara populasi domba Ekor Gemuk, domba

(18)

yang berada di Pulau Madura mempunyai ekor gemuk yang ekstrim dengan bagian pangkal ekor besar dan bagian ujung ekor kecil.

Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian (2006) dalam pemilihan bibit domba Ekor Gemuk harus memenuhi persyaratan teknis yaitu persyaratan umum dan khusus, peryaratan umum meliputi sehat dan bebas cacat, sedangkan persyaratan khusus meliputi sifat kuantitatif dan sifat kualitatif (warna bulu putih dan kasar, jantan dan betina tidak bertanduk, ekor besar lebar dan panjang).

Menurut Riwantoro (2005) domba Ekor Gemuk jantan mempunyai garis muka cembung sedangkan pada betina lurus. Domba Ekor Gemuk baik jantan maupun betina tidak bertanduk. Bentuk telinga pada jantan maupun betina yaitu rubak. Bentuk bulu pada jantan maupun betina yaitu lurus. Warna dasar bulu pada jantan maupun betina yaitu putih. Pola warna pada jantan maupun betina yaitu polos.

Hardjosubroto (1994) menyatakan bahwa karakteristik khas domba Ekor Gemuk adalah ekor yang besar, lebar dan panjang. Bagian pangkal ekor yang membesar merupakan timbunan lemak (cadangan energi), sedangkan bagian ujung ekor yang kecil tidak berlemak. Pada saat banyak pakan, ekor domba penuh dengan lemak sehingga terlihat ekornya membesar. Namun apabila keadaan pakan kurang, maka ekor domba tersebut akan mengecil karena cadangan energi pada ekornya dipergunakan untuk mensuplai energi yang dibutuhkan dan bulu wolnya kasar. Warna bulu yang putih juga dapat mengurangi stres akibat panas.

Domba Ekor Gemuk mempunyai suatu keistimewaan, yaitu kemampuannya dalam beradaptasi terhadap lingkungan kering (Mulyaningsih, 1990), dan juga terhadap lingkungan yang panas (Hardjosubroto, 1994). Domba ekor gemuk merupakan domba tipe pedaging dengan bobot badan pada jantan dewasa 40-60 kg, dan betina 25-35 kg (Hardjosubroto, 1994). Sutama (1993) melaporkan bahwa pengembangan domba Ekor Gemuk meliputi daerah yang cukup luas dan umumnya mengarah ke wilayah Indonesia bagian Timur dengan kondisi agroekosistem yang kering.

Sifat Kualitatif

Sifat kualitatif adalah suatu sifat mewaris yang diperoleh pada ternak, sifat ini menurut Warwick et al. (1990) dapat diklasifikasikan ke dalam sifat luar, cacat genetik, dan polimorfisme genetik. Ribuan sifat kualitatif pada hewan-hewan

(19)

pertanian, banyak di antaranya yang ternyata diatur oleh satu atau beberapa pasang gen (rangkaian alel). Pada sifat kualitatif dapat dibedakan peran gen yang dominan dan resesif atau sifat interaksi lainnya seperti epistasis dan hipostasis. Sifat-sifat ini dalam populasi secara statistik tidak berdistribusi normal, dan dapat dikelompokkan ke dalam kelas yang berbeda demikian pula sifat ini tidak banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan.

Sifat kualitatif sangat mudah dibedakan tanpa harus mengukurnya, biasanya dikontrol oleh sepasang gen, variasinya tidak kontinu dan bersifat tidak aditif (Noor, 2004). Sifat kualitatif menunjuk pada fenotipe yang dapat diklasifikasikan ke dalam kelompok daripada menunjukkan nilai yang terukur (Damron, 2003). Sedangkan menurut Simm (2000) fenotipe adalah karakteristik penampilan atau yang ditunjukkan pada hewan termasuk performa.

Penanda fenotipik merupakan penanda yang telah banyak digunakan baik dalam program genetika dasar maupun dalam program praktis pemuliaan, karena penanda ini paling mudah untuk diamati dan dibedakan (Sarbaini, 2004). Lebih lanjut Sarbaini (2004) mengemukakan bahwa penanda fenotipik merupakan penciri yang ditentukan atas dasar ciri-ciri fenotipe yang dapat diamati atau dilihat secara langsung, seperti ukuran-ukuran permukaan tubuh, bobot badan, warna dan pola warna bulu tubuh, bentuk dan perkembangan tanduk dan sebagainya.

Profil Muka

Profil muka menunjukkan bentuk dari garis dahi dan hidung, walaupun bukan karakteristik yang spesifik, profil kepala dapat dijadikan sebagai indikator dari bangsa. Tampak dari samping, ada 3 tipe muka yang dapat dibedakan, yaitu lurus, cembung (roman nosed) dan cekung (pike-nosed), berbagai bentuk profil muka ditemukan pada domba mulai dari agak cekung dan kemudian lurus yang merupakan paling banyak ditemukan pada bangsa domba, sampai cembung (Sasimowski, 1987).

Warna

Menutut Hardjosubroto (1999) pada hewan dikenal adanya berbagai macam corak warna kulit dan bulu. Dikenal adanya warna hitam sampai putih dengan berbagai macam derajat pewarnaan atau intensitas warna. Disamping warna hitam, dikenal juga warna merah dan kuning sebagai warna dasar. Kecuali adanya perbedaan warna dasar dan intensitas pewarnaannya, dikenal juga adanya pola warna

(20)

yang kompak dan pola warna samar-samar (dilute), yaitu pola warna dengan dua warna atau lebih yang saling berbaur. Kecuali itu dikenal adanya pola warna yang mulus dan berbintik-bintik. Tergantung dari besar kecilnya pola bintiknya, maka bintik tersebut dapat hanya berupa noda-noda, belang atau bercak.

Pada ternak dikenal beraneka ragam corak dan warna yang berbeda-beda. Namun demikian ada ternak atau hewan yang memiliki baik warna maupun pola yang seragam. Dalam hal demikian ini, maka pola dan warna ternak sangat berperan dalam penentuan kemurnian bangsa (Hardjosubroto, 1999).

Adanya berbagai macam warna dan corak pewarnaan pada hewan disebabkan karena dalam pewarnaan kulit dan bulu hewan, berbagai macam gen telah berperan aktif. Kecuali adanya berbagai macam gen, maka kerja gen tersebut juga bermacam-macam. Ada gen yang hanya mempunyai hubungan dominan-resesif dengan pasangannya, tetapi ada gen bersifat interaksi satu sama lain, bahkan ada pula yan bersifat multi alel ataupun poligen. Dengan demikian maka gen-gen yang mempengaruhi pewarnaan dapat dikelompokkan menjadi gen penentu pola berbintik-bintik atau tidak, kombinasi warna, intensitas warna dan pemudaran (Hardjosubroto, 1999).

Secara umum menurut Wendelboe (2009) lokus yang mempengaruhi pemunculan warna pada domba dibedakan menjadi tiga lokus, yaitu lokus agouti yang mengatur pola, lokus brown yang mengatur warna, dan lokus spotting yang memberikan bintik. Lokus agouti terdiri atas agouti white (AWt), agouti grey

Mouflon (Agt), agouti grey (Ag), agouti badgerface (Ab), agouti reverse badgerface (At), dan non-agouti (Aa). Lokus brown terdiri atas hitam (dominan) yang disimbolkan BB dan cokelat (resesif) yang disimbolkan Bb . Lokus spotting terdiri atas polos atau non spot (dominan) yang disimbolkan SS dan bintik atau spot (resesif) yang disimbolkan Ss, pola warna strip pada domba belum seluruhnya dimengerti pola pewarisannya.

Salamena (2006) membagi sebaran pola warna ke dalam warna dasar dominan yang dikelompokkan dalam empat kelompok utama yaitu putih, hitam, cokelat, atau kombinasi dari ketiga warna tersebut sesuai dengan sebaran kombinasinya. Pola warna dikelompokkan lagi menjadi polos, bercak (belang) besar dan kecil, bintik-bintik, polos, strip sempit dan besar. Pola warna bercak adalah

(21)

kombinasi dari warna dasar putih dengan bercak-bercak hitam, demikian juga dengan pola warna bintik merupakan kombinasi dari warna dasar putih dengan bintik-bintik hitam atau cokelat.

Telinga

Bentuk telinga merupakan sifat kualitatif bentuknya mulai dari kecil, sedang dan lebar. Menurut Hardjosubroto (1999), telinga pendek dipengaruhi sepasang gen dalam keadaan homozigot resesif (tt), sedangkan telinga sedang atau medium dalam keadaan heterozigot (Tt), dan untuk telinga panjang dalam keadaan homozigot dominan (TT). Kategori istilah tipe telinga menurut Diwyanto (1982) adalah tipe pendek atau rumpung berukuran panjang kurang dari 5 cm, medium atau hiris antara 5-7 cm dan tipe panjang atau rubak lebih dari 7 cm. Sehingga menurut (Sasimowski, 1987) pada domba, panjang dan posisi telinga terkadang menunjukkan karakteristik bangsa.

Bentuk telinga rumpung (sempit) yaitu bila daun telinga menguncup (seperti kuncup bunga ros) atau menggulung dan lubang telinga tidak tampak jelas, berukuran pendek, kecil dan bahkan tampak seolah-olah tidak berdaun telinga. Telinga berdaun hiris (medium) seolah-olah hampir menggulung, tetapi telinga masih tampak jelas dan daun telinga meruncing ke ujung. Telinga rubak (lebar) daun telinga lebar dan panjang, ujung telinga tidak runcing (bulat), lubang telinga tampak jelas (Salamena, 2006).

Tanduk

Bentuk, ketebalan, panjang dan warna tanduk sering berbeda dalam bangsa, tetapi berhubungan dengan kondisi iklim. Pada iklim panas memiliki pengaruh positif pada pertumbuhan tanduk, sedangkan pada kondisi dingin memperlambat pertumbuhan tanduk (Sasimowski, 1987).

Menurut Taylor (2004) sifat mewaris bertanduk dan tidak bertanduk adalah

sex-influenced dan umumnya dikontrol oleh sepasang gen, pertumbuhan tanduk juga

dipengaruhi oleh aktivitas hormon testosteron.

Campbell, et al. (2003) mendapatkan bahwa ekspresi dari sifat bertanduk pada domba dipengaruhi oleh jenis kelamin, walaupun sebenarnya gen sifat bertanduk terletak pada autosom tetapi dalam kondisi tertentu yang seharusnya

(22)

menimbulkan tanduk pada jantan (dominan), tetapi pada betina hal tersebut tidak muncul tanduk (resesif).

Menurut Mulliadi (1996) dikatakan tonjolan apabila panjang tanduk kurang dari 4 cm atau penonjolan tersebut bukan merupakan tulang tanduk, dan dikatakan bertanduk bila menampakan tonjolan tulang tanduk lebih dari 4 cm. Tonjolan pada domba jantan bukan berarti domba tersebut tidak bertanduk melainkan domba tersebut masih berumur kurang dari 1 tahun, dan seiring bertambahnya umur tanduk tersebut berkembang dan bertambah besar. Sedangkan menurut Noor (2004) penonjolan tanduk bersifat heterozigot secara genetik.

Ekor

Karakteristik ekor pada domba sangat penting karena dapat dijadikan sebagai kriteria (long-tailed dan short tailed). Ekor panjang (perpanjangan melebihi hock) atau pendek (tidak mencapai hock), tipis atau tebal. Perubahan ekor dari ekor ukuran sedang sampai ekor gemuk tergantung dari status nutrisi, penampilan dan derajat percampuran dengan non-fat tailed dalam keturunan (Sasimowski, 1987).

Menurut Diwyanto (1982) bentuk ekor dikategorikan kedalam tiga tipe berdasarkan lebarnya ekor, yaitu ekor tipis dengan lebar kurang dari 5 cm, ekor sedang antara 5-7 cm dan ekor gemuk diatas 7 cm.

Wol

Wol adalah pelindung alami penutup tubuh, wol berbeda dari serat binatang lain yaitu permukaannya bergerigi karena adanya crimp (kerutan) yang memiliki penampakan bergelombang sebagat tanda derajat elastisitas yang paling baik. Lain halnya dengan hair yang memiliki permukaan licin, tidak ada crimp atau tidak akan meregang. Sebagai produk kulit atau kutikel binatang vertebrata, wol sama seperti jaringan kulit yang ditemukan pada binatang seperti tanduk dan kuku. Crimp sangat bervariasi dalam ukuran, bentuk, dan jumlah tergantung dari bangsa domba, kehalusan dan karakter wol (Ensminger, 2002).

Berdasarkan keadaan seratnya, ada yang benar-benar lurus (kasar), agak berkerut (sedang) dan serat yang banyak kerutan (halus) (Ensminger, 2002). Wol normal (keriting) bersifat homozigot dominan, wol kasar (lurus) bersifat homozigot resesif, dan wol sedang (berombak) bersifat heterozigot (Noor, 2004)

(23)

METODE Lokasi dan waktu

Wilayah pengambilan data mencakup Desa Padasuka Kecamatan Ciomas dan Desa Cinagara Kecamatan Cinagara dari bulan Maret sampai Mei 2005. Margawati (Garut), Indramayu, Pulau Madura (Pamekasan, Sumenep, Bangkalan dan Sampang) dari bulan Agustus 2005 sampai dengan Januari 2006. Dari tahun 2004 sampai 2007 di Pulau Sumbawa (NTB), Pulau Rote (NTT), Kabupaten Donggala (Sulteng), dan Pulau Kisar (Maluku).

Materi

Data domba yang dikumpulkan merupakan data sekunder hasil pengamatan Riset Unggulan Terpadu (RUT) sebanyak 768 ekor domba yang terdiri dari 63 ekor dari Ciomas (jantan 46 ekor dan betina 17 ekor), 72 ekor dari Cinagara (jantan 53 ekor dan betina 19 ekor), 74 ekor dari Margawati (jantan 12 ekor dan betina 62 ekor), 86 ekor dari Madura (jantan 28 ekor dan betina 58 ekor), 100 ekor dari Indramayu (jantan 42 ekor dan betina 58 ekor), 30 ekor dari Sumbawa (jantan 10 ekor dan betina 20 ekor), 52 ekor dari Rote (jantan 23 ekor dan betina 29 ekor), 60 ekor dari Donggala (jantan 10 ekor dan betina 50 ekor), dan 231 ekor dari Pulau Kisar (jantan 99 ekor dan betina 132 ekor).

Prosedur Peubah yang diamati

Peubah yang diamati dalam penelitian data sekunder ini meliputi sifat kualitatif (garis muka, posisi daun telinga, bentuk daun telinga, sifat bertanduk, bentuk ekor, bentuk bulu, pola warna bulu, dan warna bulu) Salamena (2006). Peubah yang diamati meliputi:

1. Garis Muka

Berdasarkan penonjolan tulang hidung dan dahi maka garis muka jika dilihat dari samping dapat dikelompokan menjadi garis muka cembung jika penonjolan tulang hidung melebihi tulang dahi, lurus jika penonjolan tulang hidung dan dahi sama rata dan cekung jika penonjolan tulang hidung lebih rendah dari tulang dahi. Garis muka cembung, lurus dan cekung dapat dilihat pada Gambar 1.

(24)

Gambar 1. Garis Muka Cembung (Adjisoedarmo, 2008), Lurus (Blogspot Domba Garut a, 2009) dan Cekung (Sheep 101, 2009)

2. Posisi Daun Telinga

Posisi daun telinga dapat dikelompokan menjadi posisi daun telinga gantung, tegak samping dan tegak atas. Posisi daun telinga gantung, tegak samping dan tegak atas dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Posisi Daun Telinga Gantung (Adjisoedarmo, 2008), Tegak Samping (Deptan, 2009) dan Tegak Atas (Graymonk, 2009)

3. Bentuk Daun Telinga

Berdasarkan penampakan daun telinga maka bentuk daun telinga dapat dikelompokan menjadi bentuk daun telinga lebar (rubak) jika lebarnya lebih dari 5 cm, sedang (hiris) jika lebarnya antara 5-7 cm dan sempit (rumpung) jika lebarnya kurang dari 5 cm. Bentuk daun telinga lebar (rubak), sedang (hiris) dan sempit (rumpung) dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Bentuk Daun Telinga Rubak, Hiris dan Rumpung (Blogspot Domba Garut a, 2009)

(25)

4. Sifat Bertanduk

Berdasarkan ada atau tidak adanya tanduk maka sifat bertanduk dapat dikelompokan menjadi bertanduk, benjolan jika penonjolan tulang tanduk kurang dari 4 cm dan tidak bertanduk. Sifat bertanduk, benjolan dan tidak bertanduk dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Bertanduk (Disnak Jabar, 2008), Benjolan dan Tidak Bertanduk (Blogspot Domba Garut a, 2009)

5. Bentuk Ekor

Berdasarkan lebar pangkal ekor maka bentuk ekor dapat dikelompokan menjadi bentuk ekor lebar jika lebarnya lebih dari 7 cm, sedang jika lebarnya antara 5-7 cm dan tipis jika lebarnya kurang dari 5 cm. Bentuk ekor lebar, sedang dan tipis dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Bentuk Ekor Lebar, Sedang dan Tipis (Disnak Jabar, 2008) 6. Bentuk Bulu

Berdasarkan ada atau tidak adanya gelombang (crimp) pada bulu maka bentuk bulu dapat dikelompokan menjadi bentuk bulu keriting jika ada crimp, gelombang jika ada crimp namun lebih sedikit dari pada bulu keriting dan lurus jika tidak ada crimp. Bentuk bulu keriting, gelombang dan lurus dapat dilihat pada Gambar 6.

(26)

Gambar 6. Bentuk Bulu Keriting (Flickr, 2009), Berombak (Sheepfarm, 2009) dan Lurus (Made-in-China, 2009)

7. Pola Warna Bulu

Berdasarkan sebaran warna bulu pada bagian badan yang diamati mulai dari leher dan badan tanpa ekor dan kaki maka pola warna bulu dapat dikelompokan menjadi pola warna bulu polos (putih, hitam atau cokelat) dan tidak polos (bercak kecil, bercak besar, bintik-bintik, strip sempit atau strip besar). Pola warna bulu putih, hitam dan cokelat dapat dilihat pada Gambar 7, pola warna bulu bercak kecil, bercak besar, dan bintik-bintik dapat dilihat pada Gambar 8 dan pola warna bulu strip sempit dan strip besar dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 7. Pola Warna Bulu Putih (Adjisoedarmo, 2008), Hitam (Disnak Jabar, 2008) dan Cokelat (Disnak Jabar, 2008)

Gambar 8. Pola Warna Bulu Bercak Kecil (Flickr, 2009), Bercak Besar (Google, 2009) dan Bintik-bintik (Google, 2009)

(27)

Gambar 9. Pola Warna Bulu Strip Sempit (Wendelboe, 2009) dan Strip Besar (Blogspot b, 2009)

7. Warna Bulu

Berdasarkan sebaran warna bulu pada bagian badan yang diamati mulai dari leher dan badan tanpa ekor dan kaki maka warna bulu dapat dikelompokan menjadi warna bulu satu warna (putih, hitam atau cokelat), kombinasi dua warna dan kombinasi tiga warna. Kombinasi dua warna dapat dilihat pada Gambar 10-11 dan kombinasi tiga warna dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 10. Warna Bulu Putih Cokelat, Putih Hitam dan Cokelat Putih (Blogspot Domba Garut b, 2009)

Gambar 11. Warna Bulu Cokelat Hitam, Hitam Putih dan Hitam Cokelat (Blogspot Domba Garut b, 2009)

(28)

Gambar 12. Kombinasi Tiga Warna Bulu Putih, Hitam dan Cokelat (Brassfarm, 2009)

Analisis Data

Data sifat kualitatif domba ditabulasi dan dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif.

Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif perhitungan frekuensi dilakukan dengan menghitung jumlah domba yang mempunyai sifat kualitatif tertentu dibagi dengan jumlah domba yang diamati dikalikan 100%. Analisis menggunakan perhitungan frekuensi relatif (Mulliadi, 1996) dengan formula sebagai berikut:

Frekuensi Relatif Sifat A =

N A sifat

x 100%

Keterangan: A= salah satu sifat kualitatif yang diamati N= total domba yang diamati

(29)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Sifat Kualitatif Domba Lokal Garis Muka

Berdasarkan hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa frekuensi relatif garis muka cembung domba jantan Ciomas, Margawati, dan Indramayu lebih tinggi daripada garis muka lurus dengan frekuensi relatif berturut-turut sebesar 93%; 67% dan 93%. Sisanya memiliki garis muka lurus dengan frekuensi relatif berturut-turut sebesar 7%; 33% dan 7%. Domba jantan Cinagara, Sumbawa, Rote, dan Kisar memiliki garis muka cembung dengan frekuensi relatif mencapai 100% (seragam). Domba jantan Madura dan Donggala memiliki frekuensi relatif garis muka lurus lebih tinggi daripada garis muka cembung dengan frekuansi relatif masing-masing 68% dan 90%. Sisanya memiliki garis muka cembung dengan frekuensi relatif masing-masing 32% dan 10%. Frekuensi relatif garis muka pada domba jantan dapat dilihat selengkapnya pada Tabel 1.

Tabel 1. Frekuensi Relatif Garis Muka pada Domba Jantan Jantan Cembung Lurus Wilayah n % n % Total Ciomas 43 93 3 7 46 Cinagara 53 100 0 0 53 Margawati 8 67 4 33 12 Indramayu 39 93 3 7 42 Madura 9 32 19 68 28 Sumbawa 10 100 0 0 10 Rote 23 100 0 0 23 Donggala 1 10 9 90 10 Kisar 99 100 0 0 99

Keterangan: n=jumlah domba jantan

Menurut Riwantoro (2005) garis muka cembung dimiliki oleh domba Garut Tangkas jantan dan domba Ekor Gemuk jantan sedangkan garis muka lurus dimiliki oleh domba Ekor Tipis jantan dan domba Garut Pedaging jantan.

(30)

muka cembung untuk domba betina Ciomas dan Sumbawa mencapai 100% (seragam). Domba betina Cinagara, Margawati, Indramayu, Rote dan Kisar memiliki frekuensi relatif garis muka cembung berturut-turut sebesar 79%; 77%; 91%; 97% dan 98%. Sisanya memiliki garis muka lurus dengan frekuensi relatif 21% untuk domba betina Cinagara, 23% untuk domba betina Margawati, 9% untuk domba betina Indramayu, 3% untuk domba betina Rote, 2% untuk domba betina Kisar. Lain halnya dengan domba betina Madura dan Donggala yang memiliki frekuensi relatif garis muka lurus lebih tinggi daripada garis muka cembung, 79% garis muka lurus untuk domba betina Madura sedangkan sisanya 21 % garis muka cembung, 100% (seragam) garis muka lurus untuk domba betina Donggala. Frekuensi relatif garis muka pada domba betina dapat dilihat selengkapnya pada Tabel 2.

Tabel 2. Frekuensi Relatif Garis Muka pada Domba Betina Betina Cembung Lurus Wilayah n % n % Total Ciomas 17 100 0 0 17 Cinagara 15 79 4 21 19 Margawati 48 77 14 23 62 Indramayu 53 91 5 9 58 Madura 12 21 46 79 58 Sumbawa 20 100 0 0 20 Rote 28 97 1 3 29 Donggala 0 0 50 100 50 Kisar 130 98 2 2 132

Keterangan: n=jumlah domba betina

Menurut Riwantoro (2005) garis muka lurus dimiliki oleh domba Garut Tangkas dan Pedaging betina, domba Ekor Gemuk betina, domba Ekor Tipis betina. Sedangkan Menurut Mulliadi (1996) domba Garut Tangkas dan Pedaging betina memiliki garis muka cembung.

Berdasarkan frekuensi relatif tertinggi pada garis muka lurus atau cembung maka dapat dikatakan bahwa domba jantan dan betina dari Ciomas, Cinagara, Margawati, Indramayu, Sumbawa, Rote dan Kisar memiliki garis muka cembung sedangkan domba jantan dan betina dari Madura dan Donggala memiliki garis muka

(31)

lurus.

Tingginya frekuensi relatif garis muka lurus pada domba Madura dan Donggala mengindikasikan adanya persilangan domba yang memiliki garis muka lurus dengan garis muka lurus sehingga meningkatkan heterozigositas dan menurunkan homozigositas, hal ini dapat dilihat masih adanya domba garis muka cembung dengan jumlah yang lebih sedikit dibandingkan dengan domba garis muka lurus. Tingginya frekuensi relatif garis muka cembung pada domba Ciomas, Cinagara, Margawati, Indramayu, Rote, dan Kisar mengindikasikan adanya persilangan domba garis muka lurus dengan lurus atau domba garis muka lurus dengan cembung karena masih terdapatnya domba garis muka lurus dan cembung. Lain halnya dengan domba Sumbawa, tingginya frekuensi relatif garis muka cembung mengindikasikan adanya persilangan antara domba garis muka cembung sehingga meningkatkan frekuensi relatif garis muka cembung bahkan mencapai 100%.

Posisi Daun Telinga

Berdasarkan hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa frekuensi relatif posisi daun telinga tegak samping lebih tinggi daripada posisi daun telinga gantung dimiliki oleh domba jantan Ciomas, Cinagara, Margawati, Indramayu, Madura, Sumbawa dan Donggala. Frekuensi posisi daun telinga tegak samping 67% untuk domba jantan Ciomas, 98% untuk domba jantan Cinagara, 75% untuk domba jantan Margawati, 93% untuk domba jantan Indramayu sedangkan sisanya memiliki posisi daun telinga gantung dengan frekuensi relatif masing-masing 33%; 2%; 25% dan 7% sedangkan domba jantan Madura, Sumbawa dan Donggala memiliki frekuensi relatif posisi daun telinga tegak samping 100% (seragam). Sebaliknya domba jantan Rote dan Kisar memiliki frekuensi relatif posisi daun telinga gantung lebih tinggi daripada posisi telinga tegak samping. Frekuensi relatif posisi daun telinga gantung 87% dan posisi daun telinga tegak samping 13% untuk domba jantan Rote sedangkan frekuensi relatif posisi daun telinga gantung pada domba jantan Kisar mencapai 100% (seragam). Frekuensi relatif posisi daun telinga pada domba jantan dapat dilihat selengkapnya pada Tabel 3.

(32)

Tabel 3. Frekuensi Relatif Posisi Daun Telinga pada Domba Jantan Jantan

Tegak Samping Gantung

Wilayah n % n % Total Ciomas 31 67 15 33 46 Cinagara 52 98 1 2 53 Margawati 9 75 3 25 12 Indramayu 39 93 3 7 42 Madura 28 100 0 0 28 Sumbawa 10 100 0 0 10 Rote 3 13 20 87 23 Donggala 10 100 0 0 10 Kisar 0 0 99 100 99

Keterangan: n=jumlah domba jantan

Berdasarkan hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa frekuensi relatif posisi daun telinga tegak samping lebih tinggi daripada posisi daun telinga gantung dimiliki oleh domba betina Ciomas, Cinagara, Margawati, Indramayu, Madura, Sumbawa dan Donggala. Frekuensi relatif posisi daun telinga tegak samping 71% untuk domba betina Ciomas, 95% untuk domba betina Cinagara, 98% untuk domba betina Margawati sedangkan sisanya memiliki posisi daun telinga gantung dengan frekuensi relatif masing-masing 29%; 5% dan 2%. Domba betina Indramayu, Madura, Sumbawa dan Donggala memiliki frekuensi relatif posisi daun telinga tegak samping 100% (seragam). Sebaliknya domba betina Rote dan Kisar memiliki frekuensi relatif posisi daun telinga gantung lebih tinggi daripada posisi daun telinga tegak samping. Frekuensi relatif posisi daun telinga gantung untuk domba betina Rote dan Kisar masing-masing 93% dan 96%. Sisanya memiliki frekuensi relatif posisi daun telinga tegak samping 7% untuk domba betina Rote dan 4% untuk domba betina Kisar. Frekuensi relatif posisi daun telinga pada domba betina dapat dilihat selengkapnya pada Tabel 4.

(33)

Tabel 4. Frekuensi Relatif Posisi Daun Telinga pada Domba Betina Betina

Tegak Samping Gantung

Wilayah n % n % Total Ciomas 12 71 5 29 17 Cinagara 18 95 1 5 19 Margawati 61 98 1 2 62 Indramayu 58 100 0 0 58 Madura 58 100 0 0 58 Sumbawa 20 100 0 0 20 Rote 2 7 27 93 29 Donggala 50 100 0 0 50 Kisar 5 4 127 96 132

Keterangan: n=jumlah domba betina

Berdasarkan frekuensi relatif tertinggi pada posisi daun telinga tegak samping atau gantung maka dapat dikatakan bahwa domba jantan dan betina dari Ciomas, Cinagara, Margawati, Indramayu, Madura, Sumbawa dan Donggala memiliki posisi daun telinga tegak samping sedangkan domba jantan dan betina dari Rote dan Kisar memiliki posisi daun telinga gantung.

Tingginya frekuensi relatif posisi daun telinga tegak samping pada domba Ciomas, Cinagara, Margawati, Indramayu, dan Donggala mengindikasikan adanya persilangan antara domba yang memiliki daun telinga tegak samping sehingga meningkatkan heterozigositas dan menurunkan homozigositas, hal ini dapat dilihat masih adanya domba berdaun telinga gantung dengan jumlah yang lebih sedikit dibandingkan dengan domba berdaun telinga tegak samping. Tingginya frekuensi relatif posisi daun telinga gantung pada domba Rote dan Kisar mengindikasikan adanya persilangan antara domba berdaun telinga tegak samping atau domba berdaun telinga tegak samping dengan gantung karena masih terdapatnya domba berdaun telinga tegak samping dan gantung.

Bentuk Daun Telinga

Berdasarkan hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa perbandingan frekuensi relatif bentuk daun telinga rubak, hiris dan rumpung pada domba jantan Ciomas berturut-turut adalah 22%; 43% dan 35%. Domba jantan Cinagara dan

(34)

Margawati memiliki frekuensi relatif bentuk daun telinga rumpung tertinggi dibandingkan dengan rubak dan hiris bahkan mencapai 100% (seragam). Lain halnya dengan domba jantan Indramayu yang memiliki frekuensi relatif bentuk daun telinga

hiris tertinggi yaitu 100% (seragam). Frekuensi relatif domba jantan Madura, Rote,

Donggala dan Kisar mencapai 100% (seragam) untuk bentuk daun telinga rubak. Selain bentuk telinga rubak dengan frekuensi relatif 60%, domba jantan Sumbawa memiliki bentuk daun telinga hiris dengan frekuensi relatif 10% dan rumpung 30%. Frekuensi relatif bentuk daun telinga pada domba jantan dapat dilihat selengkapnya pada Tabel 5.

Tabel 5. Frekuensi Relatif Bentuk Daun Telinga pada Domba Jantan Jantan

Rubak Hiris Rumpung

Wilayah n % n % n % Total Ciomas 10 22 20 43 16 35 46 Cinagara 0 0 0 0 53 100 53 Margawati 0 0 0 0 12 100 12 Indramayu 0 0 42 100 0 0 42 Madura 28 100 0 0 0 0 28 Sumbawa 6 60 1 10 3 30 10 Rote 23 100 0 0 0 0 23 Donggala 10 100 0 0 0 0 10 Kisar 99 100 0 0 0 0 99

Keterangan: n=jumlah domba jantan

Berdasarkan hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa perbandingan frekuensi relatif bentuk daun telinga rubak, hiris dan rumpung pada domba betina Ciomas berturut-turut adalah 18%; 53% dan 29%. Domba betina Cinagara dan Margawati memiliki frekuensi relatif bentuk daun telinga rumpung tertinggi dibandingkan dengan rubak dan hiris bahkan mencapai 100% (seragam). Lain halnya dengan domba betina Indramayu yang memiliki frekuensi relatif bentuk daun telinga

hiris tertinggi yaitu 100% (seragam). Frekuensi relatif domba betina Rote dan

Donggala mencapai 100% (seragam) untuk bentuk daun telinga rubak. Bentuk daun telinga rubak terbanyak juga dimiliki oleh domba betina Madura, Sumbawa dan Kisar dengan frekuensi relatif berturut-turut sebesar 98%; 85% dan 98%. Selain bentuk daun telinga rubak, domba betina Madura, Sumbawa dan Kisar memiliki bentuk daun telinga hiris dengan frekuensi relatif berturut-turut sebesar 2%; 5% dan 2%. Selain bentuk daun telinga rubak dan hiris, domba betina Sumbawa memiliki

(35)

bentuk daun telinga rumpung dengan frekuensi relatif 10%. Frekuensi relatif bentuk daun telinga pada domba betina dapat dilihat selengkapnya pada Tabel 6.

Tabel 6. Frekuensi Relatif Bentuk Daun Telinga pada Domba Betina Jantan

Rubak Hiris Rumpung

Wilayah n % n % n % Total Ciomas 3 18 9 53 5 29 17 Cinagara 0 0 0 0 19 100 19 Margawati 0 0 0 0 62 100 62 Indramayu 0 0 58 100 0 0 58 Madura 57 98 1 2 0 0 58 Sumbawa 17 85 1 5 2 10 20 Rote 29 100 0 0 0 0 29 Donggala 50 100 0 0 0 0 50 Kisar 130 98 2 2 0 0 132

Keterangan: n=jumlah domba betina

Berdasarkan frekuensi relatif tertinggi pada bentuk daun telinga rubak, hiris atau rumpung maka dapat dikatakan bahwa domba jantan dan betina dari Ciomas dan Indramayu memiliki bentuk daun telinga hiris sedangkan domba jantan dan betina dari Cinagara dan Margawati memiliki bentuk daun telinga rumpung. Bentuk daun telinga rubak dimiliki oleh domba jantan dan betina Madura, Sumbawa, Rote, Donggala dan Kisar.

Tingginya frekuensi relatif daun telinga rubak yang mencapai 100% pada domba Rote dan Donggala mengindikasikan adanya persilangan antara domba berdaun telinga rubak. Tingginya frekuensi relatif telinga rubak pada domba Madura dan Kisar kemungkinan mengindikasikan adanya persilangan domba berdaun telinga

rubak dengan hiris. Begitupula dengan domba Sumbawa yang memiliki frekuensi

relatif daun telinga rubak tinggi mengindikasikan adanya persilangan domba berdaun telinga hiris dengan hiris. Tingginya frekuensi relatif daun telinga hiris yang mencapai 100% pada domba Indramayu mengindikasikan adanya persilangan domba berdaun telinga rubak dengan rumpung. Tingginya frekuensi relatif daun telinga hiris juga terdapat pada domba Ciomas, selain itu terdapat domba berdaun telinga rubak dan rumpung, hal ini mengindikasikan adanya persilangan antara domba berdaun telinga hiris yang dapat meningkatkan heterozigositas dan menurunkan homozigositas, sedangkan tingginya frekuensi relatif daun telinga rumpung pada domba Cinagara dan Margawati disebabkan oleh seleksi secara terus-menerus.

(36)

Menurut Riwantoro (2005) domba jantan dan betina Garut Tangkas memiliki bentuk daun telinga rumpung, domba jantan Garut Pedaging memiliki bentuk daun telinga hiris sedangkan domba betina Garut Pedaging, domba jantan dan betina Ekor Gemuk serta domba jantan dan betina Ekor Tipis memiliki bentuk daun telinga

rubak.

Sifat Bertanduk

Berdasarkan hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa domba jantan Ciomas, Cinagara dan Margawati 100% bertanduk (seragam). Pada domba jantan Indramayu dan Madura memiliki tanduk itupun hanya berupa benjolan dengan frekuensi relatif masing-masing 31% dan 36%. Sedangkan sisanya tidak bertanduk dengan frekuensi relatif masing-masing 69% dan 64%. Perbandingan frekuensi relatif bertanduk, tidak bertanduk dan benjolan pada domba jantan Sumbawa dan Rote berturut-turut adalah 50%; 20%; 30% dan 35%; 22%; 43%. Domba jantan Donggala dan Kisar memiliki tanduk dengan frekuensi relatif masing-masing 90% dan 99% sedangkan sisanya tidak bertanduk dengan frekuensi relatif masing-masing 10% dan 1%. Frekuensi relatif sifat bertanduk pada domba jantan dapat dilihat selengkapnya pada Tabel 7.

Tabel 7. Frekuensi Relatif Sifat Bertanduk pada Domba Jantan Jantan

Bertanduk Benjolan Tidak Betanduk

Wilayah n % n % n % Total Ciomas 46 100 0 0 0 0 46 Cinagara 53 100 0 0 0 0 53 Margawati 12 100 0 0 0 0 12 Indramayu 0 0 13 31 29 69 42 Madura 0 0 10 36 18 64 28 Sumbawa 5 50 3 30 2 20 10 Rote 8 35 10 43 5 22 23 Donggala 9 90 0 0 1 10 10 Kisar 98 99 0 0 1 1 99

Keterangan: n=jumlah domba jantan

Berdasarkan hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa perbandingan frekuensi relatif bertanduk, tidak bertanduk dan benjolan pada domba betina Ciomas dan Margawati berturut-turut adalah 24%; 52% ; 24% dan 3%; 56%; 41%. Domba betina Cinagara tidak bertanduk dengan frekuensi relatif 95% dan sisanya 5% berupa benjolan. Domba betina Indramayu, Madura, Sumbawa, Rote dan Kisar tidak

(37)

bertanduk 100% (seragam). Sedangkan domba Donggala ada yang bertanduk sebesar 2% dan sisanya tidak bertanduk sebesar 98%. Frekuensi relatif sifat bertanduk pada domba betina dapat dilihat selengkapnya pada Tabel 8.

Tabel 8. Frekuensi Relatif Sifat Bertanduk pada Domba Betina Betina

Bertanduk Benjolan Tidak Betanduk

Wilayah n % n % n % Total Ciomas 4 24 4 24 9 52 17 Cinagara 0 0 1 5 18 95 19 Margawati 2 3 25 41 35 56 62 Indramayu 0 0 0 0 58 100 58 Madura 0 0 0 0 58 100 58 Sumbawa 0 0 0 0 20 100 20 Rote 0 0 0 0 29 100 29 Donggala 1 2 0 0 49 98 50 Kisar 0 0 0 0 132 100 132

Keterangan: n=jumlah domba betina

Berdasarkan frekuensi relatif tertinggi pada sifat bertanduk (bertanduk, tidak bertanduk atau benjolan) maka dapat dikatakan bahwa domba jantan Ciomas, Cinagara, Margawati, Sumbawa, Donggala dan Kisar bertanduk. Sedangkan domba jantan Indramayu dan Madura tidak bertanduk begitupula dengan domba betina dari semua wilayah. Domba jantan Rote bertanduk itupun berupa benjolan.

Adanya tanduk pada domba jantan Indramayu, Madura, Sumbawa, Rote, Donggala dan Kisar serta domba betina Ciomas, Cinagara, Margawati dan Donggala mengindikasikan adanya persilangan dengan domba lain yang bertanduk. Pada domba jantan Ciomas, Cinagara dan Margawati lebih terseleksi karena adanya tanduk yang seragam begitupula untuk domba betina Indramayu, Madura, Sumbawa, Rote dan Kisar untuk sifat tidak bertanduk .

Menurut Riwantoro (2005) domba Garut Tangkas dan Garut Pedaging jantan serta domba Ekor Tipis jantan bertanduk sedangkan domba Ekor Gemuk jantan tidak bertanduk. Pada domba Garut Tangkas dan Garut Pedaging, domba Ekor Tipis, domba Ekor Gemuk betina tidak bertanduk namun ada sifat bertanduk pada domba Garut Tangkas dan Pedaging betina serta domba Ekor Gemuk betina ada yang bertanduk.

(38)

Bentuk Ekor

Berdasarkan hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa frekuensi relatif bentuk ekor sedang tertinggi dibandingkan bentuk ekor tipis dan lebar dimiliki oleh domba jantan Ciomas sebesar 70% (bentuk ekor tipis 28% dan bentuk ekor lebar 2%), domba jantan Sumbawa sebesar 70% (bentuk ekor tipis 30%) dan domba jantan Rote sebesar 74% (bentuk ekor tipis 22% dan bentuk ekor lebar 4%). Bentuk ekor tipis dominan dijumpai pada domba jantan Cinagara dengan frekuensi relatif mencapai 100% (seragam), Margawati sebesar 92% (bentuk ekor sedang 8%) dan Kisar sebesar 60% (bentuk ekor sedang 40%). Sedangkan frekuensi relatif bentuk ekor lebar tertinggi dibandingkan dengan kedua bentuk ekor lainnya dimiliki oleh domba jantan Indramayu sebesar 67% (bentuk ekor sedang 19% dan bentuk ekor tipis 14%), domba jantan Madura sebesar 64% (bentuk ekor sedang 36%), bahkan pada domba jantan Donggala mencapai 100% (seragam). Frekuensi relatif bentuk ekor pada domba jantan dapat dilihat selengkapnya pada Tabel 9.

Tabel 9. Frekuensi Relatif Bentuk Ekor pada Domba Jantan Jantan

Lebar Sedang Tipis

Wilayah n % n % n % Total Ciomas 1 2 32 70 13 28 46 Cinagara 0 0 0 0 53 100 53 Margawati 0 0 1 8 11 92 12 Indramayu 28 67 8 19 6 14 42 Madura 18 64 10 36 0 0 28 Sumbawa 0 0 7 70 3 30 10 Rote 1 4 17 74 5 22 23 Donggala 10 100 0 0 0 0 10 Kisar 0 0 40 40 59 60 99

Keterangan: n=jumlah domba jantan

Berdasarkan frekuensi relatif tertinggi pada bentuk ekor tipis, sedang atau lebar maka dapat dikatakan bahwa domba jantan Ciomas, Sumbawa dan Rote didominasi bentuk ekor sedang. Bentuk ekor tipis dominan pada domba jantan Cinagara, Margawati dan Kisar. Sedangkan bentuk ekor lebar dominan pada domba jantan Indramayu, Madura dan Donggala.

Berdasarkan hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa frekuensi relatif bentuk ekor tipis tertinggi dibandingkan bentuk ekor sedang dan tipis dimiliki oleh domba betina Ciomas sebesar 59%, Cinagara, Margawati sebesar 89%, Rote sebesar

(39)

55% dan Kisar sebesar 88%. Bahkan pada domba betina Cinagara mencapai 100% (seragam). Bentuk ekor sedang juga dimiliki oleh domba betina Ciomas, Margawati, Rote dan Kisar dengan frekuensi relatif berturut-turut sebesar 41%; 11%; 45% dan 12%. Sedangkan bentuk ekor sedang dengan frekuensi relatif tertinggi dibandingkan dengan bentuk ekor tipis dan lebar dimiliki oleh domba betina Indramayu sebesar 62%, Madura sebesar 57%, Sumbawa sebesar 85% dan Donggala sebesar 54%. Pada domba betina Indramayu, selain bentuk ekor sedang juga ada bentuk ekor tipis dan lebar dengan frekuensi relatif masing-masing 22% dan 16%. Bentuk ekor lebar juga dimiliki oleh domba betina Madura dan Donggala dengan frekuensi relatif masing-masing 43% dan 46%. Bentuk ekor tipis juga dimiliki oleh domba betina Sumbawa dengan frekuensi relatif 15%. Frekuensi relatif bentuk ekor pada domba betina dapat dilihat selengkapnya pada Tabel 10.

Tabel 10. Frekuensi Relatif Bentuk Ekor pada Domba Betina Betina

Lebar Sedang Tipis

Wilayah n % n % n % Total Ciomas 0 0 7 41 10 59 17 Cinagara 0 0 0 0 19 100 19 Margawati 0 0 7 11 55 89 62 Indramayu 9 16 36 62 13 22 58 Madura 25 43 33 57 0 0 58 Sumbawa 0 0 17 85 3 15 20 Rote 0 0 13 45 16 55 29 Donggala 23 46 27 54 0 0 50 Kisar 0 0 16 12 116 88 132

Keterangan: n=jumlah domba betina

Berdasarkan frekuensi relatif tertinggi pada bentuk ekor tipis, sedang atau lebar maka dapat dikatakan bahwa domba betina Ciomas, Cinagara, Margawati, Rote dan Kisar didominasi bentuk ekor tipis. Sedangkan bentuk ekor sedang didominasi oleh domba betina Indramayu, Madura, Sumbawa dan Donggala.

Tingginya frekuensi relatif bentuk ekor tipis pada domba Cinagara dan Margawati karena adanya seleksi terutama sebagai domba aduan, selain memudahkan dalam bergerak juga lebih gesit dalam bertarung. Adanya bentuk ekor tipis pada domba Ciomas dan Indramayu mengindikasikan adanya persilangan dengan domba Ekor Tipis. Sedangkan pada domba Sumbawa, Rote dan Kisar disebabkan karena kondisi lingkungan yang kering ataupun pakan yang kurang

(40)

mencukupi, sehingga kegemukan sulit dicapai yang menyebabkan tidak terjadinya penimbunan lemak di pangkal ekor ataupun karena adanya persilangan dengan domba berekor tipis.

Bentuk Bulu

Berdasarkan hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa frekuensi relatif bentuk bulu berombak tertinggi di bandingkan bentuk bulu lurus dan keriting dimiliki oleh domba jantan Ciomas sebesar 41%, Cinagara sebesar 98%, Margawati sebesar 92%, Indramayu sebesar 83% bahkan pada Sumbawa mencapai 100% (seragam). Sedangkan domba jantan Donggala hanya memiliki bentuk bulu berombak sebesar 40%. Bentuk bulu lurus dan keriting juga dimiliki oleh domba jantan Ciomas dan Indramayu dengan frekuensi relatif berturut-turut sebesar 35%; 24% dan 7%; 10%. Bentuk bulu lurus lebih banyak pada domba jantan Madura, Rote, Donggala dan Kisar dengan frekuensi relatif berturut-turut sebesar 100% (seragam); 100% (seragam); 60% dan 98%. Sedangkan frekuensi relatif bentuk bulu lurus hanya 8% pada domba jantan Margawati. Frekuensi relatif bentuk bulu keriting pada domba jantan Kisar dan Cinagara hanya 2%. Frekuensi relatif bentuk bulu pada domba jantan dapat dilihat selengkapnya pada Tabel 11.

Tabel 11. Frekuensi Relatif Bentuk Bulu pada Domba Jantan Jantan

Keriting Berombak Lurus

Wilayah n % n % n % Total Ciomas 11 24 19 41 16 35 46 Cinagara 1 2 52 98 0 0 53 Margawati 0 0 11 92 1 8 12 Indramayu 4 10 35 83 3 7 42 Madura 0 0 0 0 28 100 28 Sumbawa 0 0 10 100 0 0 10 Rote 0 0 0 0 23 100 23 Donggala 0 0 4 40 6 60 10 Kisar 2 2 0 0 97 98 99

Keterangan: n=jumlah domba jantan

Berdasarkan frekuensi relatif tertinggi pada bentuk bulu berombak, lurus atau keriting maka dapat dikatakan bahwa domba jantan Ciomas, Cinagara, Margawati, Indramayu dan Sumbawa didominasi bentuk bulu berombak. Sedangkan domba jantan Madura, Rote, Donggala dan Kisar didominasi bentuk bulu lurus.

(41)

Berdasarkan hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa frekuensi relatif bentuk bulu berombak tertinggi dibandingkan bentuk bulu lurus dan keriting dimiliki oleh domba betina Cinagara sebesar 53%, Margawati sebesar 81%, Indramayu sebesar 88% dan Sumbawa sebesar 95%. Selain bentuk bulu berombak, domba betina Margawati dan Indramayu memiliki bentuk bulu lurus dan keriting dengan frekuensi relatif berturut-turut sebesar 11%; 8% dan 10%; 2%. Frekuensi relatif bentuk bulu lurus tertinggi dibandingkan bentuk bulu berombak dan keriting dimiliki oleh domba betina Madura sebesar 100% (seragam), Rote sebesar 100% (seragam), Donggala sebesar 60% dan Kisar sebesar 99%. Bentuk bulu lurus juga dimiliki oleh domba betina Sumbawa sebesar 5%. Selain bentuk bulu lurus, domba betina Donggala memiliki bentuk bulu berombak dan keriting dengan frekuensi relatif masing-masing 36% dan 4%. Frekuensi relatif bentuk bulu keriting sebesar 47% tertinggi dibandingkan bentuk bulu lurus sebesar 29% dan berombak sebesar 24% dimiliki oleh domba betina Ciomas. Domba Cinagara dan Kisar juga memiliki bentuk bulu keriting dengan frekuensi relatif masing-masing 47% dan 1%. Frekuensi relatif bentuk bulu pada domba betina dapat dilihat selengkapnya pada Tabel 12.

Tabel 12. Frekuensi Relatif Bentuk Bulu pada Domba Betina Betina

Keriting Berombak Lurus

Wilayah n % n % n % Total Ciomas 8 47 4 24 5 29 17 Cinagara 9 47 10 53 0 0 19 Margawati 5 8 50 81 7 11 62 Indramayu 1 2 51 88 6 10 58 Madura 0 0 0 0 58 100 58 Sumbawa 0 0 19 95 1 5 20 Rote 0 0 0 0 29 100 29 Donggala 2 4 18 36 30 60 50 Kisar 1 1 0 0 131 99 132

Keterangan: n=jumlah domba betina

Berdasarkan frekuensi relatif tertinggi pada bentuk bulu berombak, lurus atau keriting maka dapat dikatakan bahwa domba betina Cinagara, Margawati, Indramayu dan Sumbawa didominasi bentuk bulu berombak. Sedangkan domba betina Madura, Rote, Donggala dan Kisar didominasi bentuk bulu lurus. Bentuk bulu keriting dominan pada domba betina Ciomas.

(42)

Garut dipengaruhi oleh bentuk bulu keriting domba Merino sedangkan bentuk bulu lurus dipengaruhi oleh bentuk bulu domba Ekor Tipis dan Ekor Gemuk. Adanya bentuk bulu berombak pada domba Indramayu, Sumbawa dan Donggala serta bentuk bulu keriting pada domba Indramayu, Donggala dan Kisar mengindikasikan adanya persilangan dengan domba berbulu ombak atau keriting. Tingginya rekuensi relatif bentuk bulu lurus pada domba Madura dan Rote mengindikasikan adanya persilangan antara domba berbulu lurus.

Menurut Ensminger (2002) adanya bentuk bulu lurus pada domba karena penutup tubuh domba selain wol juga ada rambut yang memiliki permukaan licin, tidak ada crimp atau tidak akan meregang sehingga memiliki bentuk lurus. Bentuk bulu berombak dan keriting disebabkan oleh adanya crimp (kerutan), semakin banyak crimp maka semakin halus (keriting).

Pola Warna Bulu

Berdasarkan hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa frekuensi relatif pola warna bulu tidak polos lebih tinggi dimiliki oleh domba jantan Ciomas sebesar 58% (bercak kecil 15%; bercak besar 22%; bintik-bintik 15%; strip sempit 4% dan strip besar 2%) dan sisanya polos sebesar 42%, Cinagara sebesar 66% (bercak kecil 32%; bercak besar 28% dan strip besar 6%) dan sisanya polos sebesar 34%, Margawati sebesar 75% (bercak kecil 25%, bercak besar 42% dan bintik-bintik 8%) dan sisanya polos sebesar 25%, Kisar sebesar 78% (bercak kecil 46%, besar besar 27% dan bintik-bintik 5%) dan sisanya polos sebesar 22%. Frekuensi relatif pola warna bulu polos tinggi dimiliki oleh domba jantan Indramayu sebesar 98% (bercak kecil 2%), Madura sebesar 100% (seragam), Sumbawa sebesar 70% (bercak kecil 10% dan bercak besar 20%), Rote sebesar 65% (bercak kecil 31% dan bercak besar 4%) dan Donggala sebesar 80% (bercak besar 20%). Frekuensi relatif pola warna bulu pada domba jantan dapat dilihat selengkapnya pada Tabel 13.

Gambar

Tabel 1. Frekuensi Relatif  Garis Muka pada Domba Jantan   Jantan  Cembung  Lurus Wilayah  n  %  n  %  Total  Ciomas  43  93  3  7  46  Cinagara  53  100  0  0  53  Margawati  8  67  4  33  12  Indramayu  39  93  3  7  42  Madura  9  32  19  68  28  Sumbaw
Tabel 2. Frekuensi Relatif  Garis Muka pada Domba Betina   Betina  Cembung  Lurus Wilayah  n  %  n  %  Total  Ciomas  17  100  0  0  17  Cinagara  15  79  4  21  19  Margawati  48  77  14  23  62  Indramayu  53  91  5  9  58  Madura  12  21  46  79  58  Su
Tabel 3. Frekuensi Relatif Posisi Daun Telinga pada Domba Jantan   Jantan
Tabel 4. Frekuensi Relatif Posisi Daun Telinga pada Domba Betina   Betina
+7

Referensi

Dokumen terkait

Variabel yang paling dominan anatara Jenis Kelamin, Pendidikan Orang Tua dan Pendapatan orang Tua Terhadap Literasi keuangan adalah variabel Pengujian variabel

Apabila jumlah aset yang dimiliki perusahaan meningkat maka informasi yang diungkapkan perusahaan akan semakin banyak dan lengkap sehingga mampu meyakinkan investor

Gambar 6 menggambarkan rasio BOD/COD yang terjadi pada 40 hari running.Rasio ini didapatkan dengan membagi antara konsentrasi BOD hasil dan COD hasil selama pengukuran

Setelah melakukan tahap uji coba pada website ini, maka dapat diambil kesimpulan bahwa website ini dapat membantu pengguna memperoleh informasi mengenai hewan punah dan terancam

Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai K pada wilayah ini bervariasi dengan nilai rerata sebesar 10.2 m/hari atau tergolong tinggi (>10 m/hari). Nilai K tertinggi dan

Dalam tugas akhir ini akan direncanakan struktur jembatan menggunakan busur rangka batang baja yang melewati sungai Grindulu, Kabupaten Pacitan dengan bentang total 354

Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa semakin baik kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual secara bersamaan yang dimiliki oleh seorang karyawan maka

Menurutnya,berpengaruh positif karena setiap peningkatan kurs rupiah akan mengakhibatkan peningkatan pembiayaan bermasalah (non performing financing) perbankan syariah