• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA KELELAHAN KERJA (BURNOUT) DENGAN PERSEPSI PERAWAT TERHADAP PELAYANAN KEPERAWATAN BERMUTU DI RSUD BALUNG JEMBER

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA KELELAHAN KERJA (BURNOUT) DENGAN PERSEPSI PERAWAT TERHADAP PELAYANAN KEPERAWATAN BERMUTU DI RSUD BALUNG JEMBER"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

150 HUBUNGAN ANTARA KELELAHAN KERJA (BURNOUT) DENGAN

PERSEPSI PERAWAT TERHADAP PELAYANAN KEPERAWATAN BERMUTU DI RSUD BALUNG JEMBER

Risca Surya Irawan, Festa Yumpi, Panca Kursistin Handayani pikaha_ocha@yahoo.co.id

Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Jember ABSTRAKSI

Persepsi perawat terhadap pelayanan keperawatan bermutu adalah proses memberikan nilai atau kesan oleh perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan kepada pasien yang sesuai dengan standar dan kualitas yang diharapkan rumah sakit. Dari proses pemberian nilai atau kesan tersebut akan membentuk sikap dan pandangan perawat dalam menjalankan tugasnya sehingga akan menentukan tercapainya tingkat kepuasan dan harapan pasien kepada rumah sakit. Disisi lain berkembang suatu gejala, yang apabila tidak dilakukan penanganan dengan semestinya, maka dapat mengurangi efektivitas kerja dan pada akhirnya mengganggu proses pelayanan kesehatan yang diberikan. Gejala ini menurut Maslach (1982) disebut kelelahan kerja (burnout)

Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian korelasional. Populasi dari subyek penelitian adalah seluruh perawat yang bertugas di Unit Rawat Inap RSUD Balung-Jember yang berjumlah 58 orang. Pengambilan data menggunakan instrumen angket, kemudian dilakukan analisa data menggunakan bantuan program SPSS 12.0 for window. Pada uji hipotesisnya diperoleh rxy = 0,301 dan taraf signifikansi sebesar p = 0,022 yang artinya ada hubungan yang signifikan antara kelelahan kerja (burnout) dengan persepsi perawat terhadap pelayanan keperawatan bermutu di unit rawat inap RSUD Balung-Jember.

Kata Kunci: Kelelahan kerja (burnout), persepsi perawat terhadap pelayanan keperawatan bermutu

A. PENDAHULUAN

Dewasa ini pembahasan faktor manusia dalam ruang lingkup pekerjaan merupakan faktor yang sangat penting. Persaingan ketat di berbagai bidang pekerjaan membuat manusia yang terlibat didalamnya ingin memberikan yang terbaik bagi orang lainnya, terutama jika industri atau bidang kerja tersebut menyangkut hal-hal yang berhubungan dengan masalah pelayanan. Pelanggan,

(2)

151 tamu, klien, pembeli, nasabah adalah aset yang sangat berharga dalam mengembangkan industri tersebut. Industri jasa adalah bidang yang penuh risiko. Sedikit kesalahan dalam memberikan pelayanan akan mengundang keluhan, selanjutnya ketidakpuasan, dan akhirnya penolakan konsumen untuk datang kembali (Sugiarto, 2002).

Pelayanan kesehatan pada masa kini sudah merupakan industri jasa kesehatan utama dimana setiap rumah sakit bertanggung jawab terhadap penerima jasa pelayanan kesehatan. Keberadaan dan kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan ditentukan oleh nilai-nilai dan harapan dari penerima jasa pelayanan tersebut. Disamping itu, penekanan pelayanan kepada kualitas yang tinggi tersebut harus dapat dicapai dengan biaya yang dapat dipertanggung-jawabkan.

Pelayanan kesehatan di rumah sakit merupakan bentuk pelayanan yang diberikan kepada pasien oleh suatu tim multi-disiplin termasuk tim keperawatan. Tim keperawatan merupakan anggota tim kesehatan garda depan yang menghadapi masalah kesehatan, tim pelayanan keperawatan memberikan pelayanan kepada pasien sesuai dengan keyakinan profesi dan standar yang ditetapkan. Hal ini ditujukan agar pelayanan keperawatan yang diberikan senantiasa merupakan pelayanan yang aman serta dapat memenuhi kebutuhan dan harapan pasien.

Dalam sistem pelayanan kesehatan, para dokter dan perawat mendapat banyak perhatian karena peran dan fungsi mereka memberi bentuk terhadap upaya pelayanan kesehatan (Lumenta,). Perhatian yang besar banyak diberikan kepada profesi perawat dan peran mereka dalam memberikan pelayanan kesehatan. Mutu pelayanan rumah sakit sangat pergantung pada kualitas perawat-perawatnya (Prawasti, 1991), sehingga dewasa ini perawat merupakan profesi yang banyak diusahakan peningkatan kualitasnya. Oleh karena itu, perlu diperhatikan hal-hal yang dapat menjadi hambatan pengembangan kualitas perawat, agar dapat diusahakan pencegahan atau penanganannya sedini mungkin sehingga tidak sampai mengganggu proses pelayanan rumah sakit.

Salah satu hal yang penting untuk diperhatikan berkaitan dengan di atas adalah berkembangnya suatu gejala, yang apabila tidak dilakukan penanganan

(3)

152 dengan semestinya, maka dapat mengurangi efektivitas kerja dan pada akhirnya mengganggu proses pelayanan kesehatan yang diberikan. Gejala ini menurut Maslach (1982) disebut kelelahan kerja (burnout), yaitu sindrom psikologis sejenis stres yang terdiri atas kelelahan emosional, depersonalisasi, dan penurunan pencapaian prestasi diri (reduced personal accomplishment), yang dialami oleh individu yang bekerja memberikan pelayanan bagi orang lain. Burnout merupakan gejala yang lebih banyak ditemukan pada bidang pekerjaan sosial dibandingkan pada bidang pekerjaan lainnya, hal ini disebabkan karena pekerja harus berinteraksi langsung dengan pasien atau klien, menangani klien yang tidak kooperatif, berhubungan dengan penderitaan pasien, dan lain-lain. Contoh profesi yang termasuk dalam bidang ini adalah dokter, polisi, perawat, guru, dan lain-lain.

Bila stres menyerang individu terus menerus dalam waktu yang cukup lama dan individu itu tidak dapat mengatasinya maka akan timbul gejala melemahnya fisik dan psikis. Menurut teori yang dikembangkan oleh Hans Selye (1997) tubuh manusia tidak dapat secara cepat membangun kemampuan untuk mengatasi stres, akibatnya individu mengalami kelelahan fisik dan psikis dalam usahanya melawan stres itu Kondisi seperti ini disebut burnout yaitu kelelahan emosi yang berlebihan, merasa terpisah dari pekerjaan, dan merasa tidak mampu mencapai tujuan.

Menurut hasil survei dari PPNI (Persatuan Perawat Nasional Indonesia) tahun 2006, sekitar 50,9 persen perawat yang bekerja di empat provinsi (tidak disebutkan) di Indonesia mengalami stress kerja, sering pusing, lelah, tidak bisa beristirahat karena gaji rendah tanpa insentif memadai, menyita waktu, beban kerja yang tinggi dan tidak sesuai dengan kapasitas tenaga perawat, misalnya dalam satu bangsal yang terdiri dari 30 orang pasien standarnya ditangani oleh 5 atau 6 orang perawat. Dalam kasus ini hanya 2-3 orang perawat yang bertugas. Hal ini berkorelasi dengan hasil interview dengan beberapa perawat yang bekerja di salah satu Rumah Sakit swasta di Kota Jember bahwa para perawat tersebut sering mengalami pusing, lelah, badan terasa pegal ketika bekerja. Ini dikarenakan beban kerja yang tinggi yaitu dalam setiap shift kerja terdapat empat orang

(4)

153 perawat yang bertugas dan menangani 30 orang pasien, berarti setiap orang perawat menangani 6-7 pasien.

Sementara hasil penelitian yang dilakukan International Council of Nurses (ICN, 2008) menunjukkan, peningkatan beban kerja perawat dari empat pasien jadi enam orang telah mengakibatkan 14 persen peningkatan kematian pasien yang dirawat dalam 30 hari pertama sejak dirawat di rumah sakit. Ini menunjukkan bahwa adanya peningkatan beban kerja berdampak pada kurang maksimalnya kinerja perawat dalam memberikan pelayanan kepada pasien. Perawat kurang memperdulikan standar pelayanan yang telah ditetapkan oleh rumah sakit, hal ini disebabkan karena tingkat ketergantungan pasien yang tinggi dan mempengaruhi ketelitian perawat dalam bekerja. Jika kondisi ini terus berlangsung maka para perawat tersebut rentan mengalami burnout.

Dari hasil survey oleh PPNI dan hasil penelitian ICN dapat disimpulkan bahwa jumlah tenaga perawat yang tidak berimbang dengan beban kerjanya akan mempengaruhi kinerja perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan kepada pasiennya.

Sedangkan dari hasil interview yang dilakukan dengan beberapa perawat unit rawat inap RSUD Balung, bahwa mereka sering mengalami letih dan lesu ketika bekerja sehingga mempengaruhi kinerja mereka dalam memberikan pelayanan kepada pasien. Hal ini disebabkan karena tidak sesuainya antara jumlah perawat yang bertugas dengan jumlah pasien yang ditangani. Di RSUD Balung terdapat 5 ruangan unit rawat inap dengan rata-rata terdapat 20 tempat tidur dan rata-rata 12 orang perawat setiap ruangan. Setiap shift kerjanya hanya 2-4 perawat yang bertugas, berarti setiap perawat bertanggung jawab terhadap 5-6 orang pasien. Beban kerja tersebut tergolong tinggi karena standarnya satu orang perawat hanya menangani 4 orang pasien. Jika keadaan ini terus berlangsung akan mempengaruhi kondisi fisik dan psikis para perawat tersebut. Kondisi fisik dan psikis yang buruk akan berdampak pada bagaimana para perawat tersebut memaknai, menilai atau memberikan kesan dalam memberikan pelayanan keperawatan kepada pasien yang sesuai dengan standar dan kualitas yang diharapkan rumah sakit. Dari proses pemberian nilai atau kesan tersebut akan

(5)

154 membentuk sikap dan pandangan perawat dalam menjalankan tugasnya. Jika tugas tersebut dinilai positif maka perawat tersebut akan melaksanakannya sesuai dengan standar yang telah ditetapkan dan berupaya semaksimal mungkin sehingga pasien merasa puas dan harapannya terhadap rumah sakit akan terpenuhi. Begitu pula sebaliknya, jika perawat menilai tugas tersebut hanya sebagai rutinitas yang membosankan maka perawat tersebut akan cenderung bekerja asal-asalan dan tidak menghiraukan bagaimana kondisi pasien.

Karena itulah, penelitian ini berusaha menelaah hubungan antara kelelahan kerja (burnout) dengan persepsi perawat terhadap pelayanan keperawatan bermutu di unit rawat inap RSUD Balung-Jember.

1. Kelelahan Kerja (Burnout)

a. Pengertian Kelelahan Kerja (Burnout)

Menurut Schuler dan Jackson (1999) kelelahan kerja (burnout) adalah sejenis stres yang banyak dialami oleh orang-orang yang bekerja dalam pekerjaan-pekerjaan pelayanan terhadap manusia lainnya, seperti perawatan kesehatan, pendidikan, kepolisian, keagamaan, dan sebagainya. Jenis reaksi terhadap pekerjaan ini meliputi reaksi-reaksi sikap dan emosional sebagai akibat dari pengalaman-pengalaman yang berkaitan dengan pekerjaan.

Burnout menurut Maslach dan Jackson (1980) merupakan suatu sindrom psikologis yang terdiri dari tiga dimensi, yaitu emotional exhaustion (kelelahan emosional), depersonalization (depersonalisasi), dan reduced personal accomplishment (penurunan pencapaian prestasi diri). Burnout merupakan respon terhadap ketegangan-ketegangan emosional yang muncul karena berhubungan secara intensif dengan orang lain.

Pendapat lain mengungkapkan bahwa burnout merupakan suatu keadaan penderitaan psikologis yang mungkin dialami oleh seorang pekerja yang berpengalaman setelah bekerja untuk suatu periode waktu tertentu. Burnout yang dialami oleh seseorang akibat kelelahan emosional (emotional exhaustion) dan mempunyai motivasi kerja yang rendah. Sindrom burnout ini banyak ditemukan pada pekerja yang mempunyai profesi sebagai “penolong” antara lain perawat dan

(6)

155 pekerja sosial. Para peneliti meyakini bahwa awal munculnya burnout sebagai hasil dari seringnya berinteraksi dengan orang lain (Spector, Paul E, 2000).

Hal ini sejalan dengan Bernardin (1996) menggambarkan burnout sebagai suatu keadaan yang mencerminkan reaksi emosional pada orang yang bekerja pada bidang pelayanan kemanusiaan, dan bekerja erat dengan masyarakat. Penderita burnout banyak dijumpai pada perawat di rumah sakit, pekerja sosial, guru, dan para pekerja di rumah sakit, pekerja sosial, guru, dan anggota polisi. b. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kelelahan Kerja (Burnout)

Baron dan Greenberg (1995) mengemukakan ada dua faktor yang mempengaruhi burnout, yaitu:

1) Faktor eksternal, yang meliputi kondisi kerja yang buruk, kurangnya kesempatan untuk promosi, adanya prosedur dan aturan-aturan yang kaku, gaya kepemimpinan yang kurang konsiderasi, tuntutan pekerjaan.

2) Faktor internal, meliputi: jenis kelamin, usia, harga diri. Manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan kehadiran manusia lain untuk berinteraksi. Kehadiran orang lain di dalam kehidupan pribadi seseorang begitu diperlukan. Hal ini terjadi karena seseorang tidak mungkin memenuhi kebutuhan fisik maupun psikologisnya secara sendirian. Individu membutuhkan dukungan sosial baik yang berasal dari atasan, teman sekerja maupun keluarga (Ganster, dkk., 1986).

c. Aspek-aspek Kelelahan Kerja (Burnout)

Adapun aspek-aspek kelelahan kerja (burnout) adalah sebagai berikut (Schuler dan Jackson, 1999) :

1) Kelelahan emosional

Seorang pekerja yang yang lelah secara emosional apabila diminta menjelaskan apa yang dirasakan akan berkata ia merasa kehabisan tenaga, dan lelah secara fisik. Bangun pagi mungkin disertai oleh suatu perasaan ketakutan bahwa dia akan melewati suatu hari yang berat di dalam pekerjaan.

(7)

156 2) Sikap depersonalisasi

Pekerja yang telah mencapai tahap paling ekstrem pada kontinum sikap depersonalisasi ini merasa bahwa mereka menjadi tidak berperasaan dan mulai menjadi sinis terhadap orang-orang yang dilayaninya.

3) Perasaan tidak mampu

Banyak profesional di bidang pekerjaan pelayanan manusia memulai karier mereka dengan harapan-harapan yang besar bahwa mereka akan mampu meningkatkan kondisi-kondisi manusia melalui pekerjaan mereka. Setelah satu atau dua tahun bekerja, mereka mulai menyadari mereka tidak dapat berbuat sesuai dengan harapan-harapan tersebut.

Sedangkan menurut Rosyid (1996). Burnout mempunyai lima dimensi utama, yaitu:

1) Kelelahan fisik, ditandai dengan serangan sakit kepala, mual, susah tidur, kurangnya nafsu makan, dan individu merasakan adanya anggota badan yang sakit.

2) Kelelahan emosional, ditandai dengan depresi, merasa terperangkap di dalam pekerjaannya, mudah marah, dan cepat tersinggung.

3) Kelelahan mental, ditandai dengan bersikap sinis terhadap orang lain, bersikap negatif, cenderung merugikan diri sendiri, pekerjaan, maupun organisasi. 4) Rendahnya penghargaan terhadap diri, ditandai dengan individu tidak pernah

merasa puas dengan hasil kerja sendiri, dan merasa tidak pernah melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya maupun orang lain, dan

5) Depersonalisasi, ditandai dengan menjauhnya individu dari lingkungan sosial, apatis, dan tidak peduli dengan lingkungan dan orang-orang disekitarnya. d. Penyebab Individu Mengalami Kelelahan Kerja (Burnout)

Sumber atau penyebab burnout, sebagaimana dikemukakan oleh Cherniss (1980), Maslach (1982), dan Sullivan (1989) terdiri dari empat faktor, yaitu: 1) Faktor keterlibatan dengan penerima pelayanan

(8)

157 Dalam pekerjaan pelayanan sosial (human services atau helping profession), para pekerjanya memiliki keterlibatan langsung dengan objek kerja atau kliennya (Cherniss, 1980).

2) Faktor lingkungan kerja

Faktor ini berkaitan dengan beban kerja yang berlebihan, konflik peran, ambiguitas peran, dukungan sosial dari rekan kerja yang tidak memadai, dukungan sosial dari atasan tidak memadai, kontrol yang rendah terhadap pekerjaan, peraturan-peraturan yang kaku, kurangnya stimulasi dalam pekerjaan.

3) Faktor individu

Faktor ini meliputi faktor demografik (jenis kelamin, latarbelakang etnis, usia, status perkawinan, latarbelakang pendidikan), dan karakeristik kepribadian (konsep diri rendah, kebutuhan dan motivasi diri terlalu besar, kemampuan yang rendah dalam mengendalikan emosi, locus of control eksternal, introvert).

4) Faktor sosial budaya

Faktor ini meliputi keseluruhan nilai yang dianut masyarakat umum berkaitan dengan profesi pelayan sosial.

Beberapa penyebab yang cukup mempengaruhi kelelahan kerja (burnout), seperti yang dilansir dari beberapa sumber (2008), antara lain:

1) Pekerjaan yang berlebihan

Kekurangan sumber daya manusia yang kompeten mengakibatkan menumpuknya pekerjaan yang seharusnya dikerjakan dengan jumlah karyawan yang lebih banyak.

2) Kekurangan waktu

Batas waktu yang diberikan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan terkadang tidak masuk akal. Pada saat si karyawan hendak mendiskusikan masalah tersebut dengan atasannya, si atasan bukannya memberikan solusi pemecahan namun seringkali memberikan tugas – tugas baru yang harus dikerjakan.

(9)

158 3) Konflik peranan

Konflik peranan biasanya terjadi antar karyawan dengan jenjang posisi yang berbeda, yang seringkali disebabkan oleh otoritas yang dimiliki oleh peranan atau jabatan tersebut.

4) Ambigu peranan

Tidak jelasnya deskripsi tugas yang harus dikerjakan seringkali membuat para karyawan mengerjakan sesuatu pekerjaan yang seharusnya tidak dikerjakan oleh karyawan tersebut kalau ditilik dari sisi keahlian maupun posisi pekerjaannya. Konsekuensi dari ketidakpuasan kerja tersebut antara lain: pengurangan kepuasan kerja, pengurangan komitmen pada organisasi, turnover (keluar) atau peningkatan keinginan untuk turnover.

2. Persepsi Perawat Terhadap Pelayanan Keperawatan Bermutu a. Persepsi Perawat Terhadap Pelayanan Keperawatan Bermutu

Berdasarkan teori tentang persepsi dan pelayanan keperawatan bermutu dapat disimpulkan bahwa persepsi perawat terhadap pelayanan keperawatan bermutu adalah proses memberikan nilai atau kesan oleh perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan kepada pasien yang sesuai dengan standar dan kualitas yang diharapkan rumah sakit. Dari proses pemberian nilai atau kesan tersebut akan membentuk sikap dan pandangan perawat dalam menjalankan tugasnya sehingga akan menentukan tercapainya tingkat kepuasan dan harapan pasien kepada rumah sakit.

b. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pelayanan Keperawatan Bermutu Menurut Nurachmah (2001) ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan oleh para manajer keperawatan di rumah sakit dalam meningkatkan dan mempertahankan asuhan keperawatan yang bermutu yaitu: 1) Persepsi dari pasien.

Asuhan keperawatan bermutu dipersepsikan pasien dan keluarga sebagai pelayanan yang dapat memenuhi harapan pasien. Pasien mengharapkan penghargaan atas uang yang telah mereka berikan dan mengharapkan kualitas pelayanan sesuai dengan yang dibutuhkan.

(10)

159 2) Persepsi profesi keperawatan.

Asuhan keperawatan yang bermutu dapat dicapai apabila perawat yang memberikan asuhan tersebut memiliki kompetensi dan kewenangan melalui pendidikan keperawatan yang sesuai.

3) Persepsi pimpinan rumah sakit.

Pelayanan kesehatan yang bermutu termasuk pelayanan keperawatan adalah pelayanan yang diberikan oleh tim kesehatan dimana pelayanan tersebut diberikan secara efektif dan efisien. Bagi manajer rumah sakit, kualitas dinilai dari besaran biaya yang terkendali. Selain itu, menurut manajer rumah sakit, asuhan keperawatan bermutu dapat dicapai apabila perawat memperlihatkan kinerjanya dengan baik, patuh pada pimpinan, melaksanakan keinginan pasien, dan ramah terhadap pasien serta keluarganya.

Pelayanan keperawatan yang diberikan oleh seorang perawat sangat mempengaruhi mutu asuhan keperawatan yang akan diterima oleh pasien. Oleh karena itu untuk dapat memberikan asuhan keperawatan yang berkualitas maka perawat perlu berorientasi pada outcome pasien yang lebih baik Kondisi tersebut dapat tercapai apabila tercipta lingkungan kerja perawat yang berkualitas. Canadian Nursing Association (CAN, 2008) membuat suatu model lingkungan praktik profesional yang berkualitas. CNA mengidentifikasikan enam kondisi tempat kerja yang sehat, yaitu:

1) Kontrol beban kerja.

Jumlah tenaga perawat yang tidak sesuai dengan kapasitas kerja akan mempengaruhi kualitas pelayanan yang diberikan oleh perawat karena apabila beban kerja tinggi maka ketelitian dan keamanan kerja menjadi menurun sehingga dapat menyebabkan stres pada perawat.

2) Kepemimpinan dalam keperawatan.

Perawat yang memiliki kepemimpinan juga harus dapat mengkondisikan lingkungan kerja yang kondusif dan dinamis serta merencanakan pengembangan karier perawat yang jelas dengan cara aktif memberikan dukungan untuk pengembangan diri perawat. Seorang pemimpin juga harus

(11)

160 dapat memotivasi perawat menjadi pekerja yang ulet, dan mempunyai pandangan ke depan sehingga meningkatkan profesionalisme mereka.

3) Kontrol kualitas pelayanan.

Kontrol kualitas pelayanan biasanya dilakukan atau disupervisi oleh perawat menejer terhadap kinerja perawat bawahannya, hal ini dilakukan dalam rangka upaya untuk mendeteksi dan mengurangi komponen atau hasil pelayanan keperawatan yang tidak sesuai dengan standar.

4) Dukungan dan penghargaan.

Sistem dukungan dan penghargaan bagi perawat akan memberikan pengaruh yang cukup baik bagi kinerja perawat. Lingkungan kerja yang lebih memprioritaskan pada budaya penghargaan (reward) akan lebih baik menghasilkan perubahan perilaku perawat bila dibandingkan budaya hukuman (punishment). Secara psikologis lingkungan kerja yang memuaskan akan meningkatkan kinerja perawat sehingga akan meningkatkan outcome pasien (Rogers, 2000).

5) Pengembangan profesi.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Laschinger et al. (2001), apabila perawat tidak mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan karier dirinya maka akan berpengaruh terhadap keinginan perawat untuk melakukan tindakan yang positif di masa mendatang. Pada bagian lain, ia pun mengingatkan apabila lingkungan kerja perawat tidak menjanjikan dalam jangka panjang akan terjadi penurunan kualitas kerja, tidak puas terhadap pekerjaan, kesehatan fisik dan mental yang melemah. Dalam sistem pelayanan kesehatan, kinerja perawat merupakan faktor utama dalam pencapaian outcome pasien yang positif.

6) Inovasi dan kreatifitas.

Keinginan untuk berinovasi dan berkreativitas para perawat merupakan aktualisasi diri dari keinginan untuk berkembang (need of achievement). Orang-orang yang seperti itulah yang diharapkan oleh profesi keperawatan sebagai change agent.

(12)

161 c. Komponen Yang Harus Dilaksanakan Perawat Untuk Mewujudkan

Pelayanan Keperawatan Bermutu

Menurut Nurachmah (2001) dalam mewujudkan pelayanan keperawatan bermutu diperlukan beberapa komponen yang harus dilaksanakan oleh tim keperawatan yaitu:

1) Terlihat sikap caring ketika harus memberikan asuhan keperawatan kepada pasien.

Dalam memberikan asuhan, perawat menggunakan keahlian, kata-kata yang lemah lembut, sentuhan, memberikan harapan, selalu berada disamping pasien, dan bersikap “caring” sebagai media pemberi asuhan.

2) Adanya hubungan perawat - pasien yang terapeutik.

Hubungan perawat dan pasien adalah suatu bentuk hubungan terapeutik dan timbal balik yang bertujuan untuk meningkatkan efektifitas hasil intervensi keperawatan melalui suatu proses pembinaan pemahaman tentang dua pihak yang sedang berhubungan. Hubungan profesional ini diprakasai oleh perawat melaui sikap empati dan keinginan berespon serta keinginan menolong pasien. 3) Kolaborasi dengan anggota tim kesehatan lain.

Kaloborasi merupakan salah satu model interaksi yang terjadi diantara dan antar praktisi klinik selama pemberian pelayanan. Kolaborasi meliputi kegiatan berkomunikasi parallel, berfungsi parallel, bertukar informasi, berkoordinasi, berkonsultasi, mengelola kasus bersama (ko-manajemen), serta merujuk. Kaloborasi ini juga merupakan proses interpersonal dimana dua orang atau lebih membuat suatu komitmen untuk berinteraksi secara kontruktif untuk menyelesaikan masalah pasien dan mencapai tujuan, target atau hasil yang ditetapkan.

4) Kemampun dalam memenuhi kebutuhan pasien.

Asuhan keperawatan bermutu marupakan rangkaian kegiatan keperawatan yang diorientasi pada pasien. Asuhan keperawatan bermutu yang diberikan kepada klien dipengaruhi oleh kemampuan perawat dalam berrespon terhadap keluhan dan masalah pasien serta upaya memenuhi kebutuhan pasien.

(13)

162 5) Kegiatan jaminan mutu (quality assurance).

Kegiatan jaminan mutu (quality assurance) adalah membandingkan antara standar yang telah ditetapkan dengan tingkat pencapaian hasil. Kegiatan jaminan kualitas pelayanan asuhan keperawatan merupakan kegiatan menilai, memantau, atau mengatur pelayanan yang berorientasi pada pasien. Dalam keperawatan, tujuan asuhan bermutu adalah untuk menjamin mutu sambil pada saat yang sama mencapai tujuan institusi yang telah ditetapkan sebelumnya.

Kelancaran pelayanan keperawatan di ruang rawat inap maupun rawat jalan dipengaruhi oleh beberapa aspek antara lain dikarenakan adanya (Nurachmah, 2001) :

1) Visi, misi dan tujuan rumah sakit yang dijabarkan secara lokal ruang rawat. 2) Struktur organisasi lokal, mekanisme kerja (standar-standar) yang

diberlakukan di ruang rawat.

3) Sumber daya manusia keperawatan yang memadai baik kuantitas mapun kualitas.

4) Metode penugasan/pemberi asuhan dan landasan model pendekatan kepada klien yang ditetapkan.

5) Tersedianya berbagai sumber/fasilitas yang mendukung pencapaian kualitas pelayanan yang diberikan.

6) Kesadaran dan motivasi dari seluruh tanaga keperawatan yang ada. 7) Komitmen dari pimpinan rumah sakit.

d. Bentuk Pelayanan Keperawatan

Sebagaimana profesi lain, pelayanan keperawatan memiliki bentuk yang bervariasi. Prof. Dr. Azrul Azwar (dalam Marzikah, 2006) membagi bentuk pelayanan keperawatan dalam 6 aspek penanganan, yaitu :

1) Jumlah tenaga pelaksana

a. Pelayanan keperawatan tunggal (solo practice) yang dilaksanakan oleh perorangan.

(14)

163 b. Pelayanan keperawatan berkelompok (group practice) yang dilaksanakan

oleh kelompok.

2) Keahlian tenaga pelaksana

a. Pelayanan keperawatan umum (general nursing service) yang dilaksanakan oleh perawat umum.

b. Pelayanan keperawatan spesialis (specialist nursing service) yang dilaksanakan oleh perawat spesialis.

3) Hubungan pelayanan dengan rumah sakit

a. Pelayanan keperawatan di dalam rumah sakit (hospital based nursing service).

b. Pelayanan keperawatan di luar rumah sakit (comunity based nursing service).

4) Kondisi pasien

a. Pelayanan keperawatan pasien sakit (sick client nursing service). b. Pelayanan keperawatan pasien sehat (healthy client nursing service). 5) Jumlah pasien

a. Pelayanan keperawatan individual (individual nursing service). b. Pelayanan keperawatan keluarga (family nursing service). c. Pelayanan keperawatan kelompok (group nursing service). d. Pelayanan keperawatan komunitas (community nursing service). 6) Orientasi pelayanan

a. Pelayanan keperawatan medis (individual nursing service).

b. Pelayanan keperawatan kesehatan masyarakat (public health nursing service).

B. METODE PENELITIAN 1. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini, jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian korelasional, yakni penelitian yang dimaksudkan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara dua variabel atau beberapa variabel (Arikunto, 2002). Seperti pada penelitian ini yang menghubungkan variabel X yaitu kelelahan kerja

(15)

164 (Burnout) dengan variabel Y yaitu persepsi perawat terhadap pelayanan keperawatan bermutu.

2. Tehnik Pengambilan Data a. Populasi

Populasi dalam penelitian juga bersifat heterogen yaitu sumber data yang unsur-unsurnya memiliki sifat atau keadaan yang bervariasi sehingga perlu ditetapkan batasan-batasan yang baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif (Nawawi, 2003).

Populasi dalam penelitian ini adalah perawat di unit rawat inap RSUD Balung Jember yang berjumlah 56 orang. Menurut (Arikunto, 1998) apabila jumlah populasi kurang dari 100 orang, lebih baik diambil semua sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi. Berhubung jumlah populasi dalam penelitian ini adalah 56 orang, maka peneliti memutuskan untuk memakai semua populasi tersebut agar hasilnya menjadi lebih baik.

b. Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini dibedakan antara satu variabel bebas (X) dan satu variabel terikat (Y).

1) Variabel Bebas atau Independent Variable (X)

Variabel bebas adalah sejumlah gejala atau faktor atau unsur yang menentukan atau mempengaruhi ada atau munculnya gejala atau faktor atau unsur lain (Nawawi, 2003).

Variabel Bebas (X) atau Independent Variabel: Kelelahan Kerja (Burnout). 2) Variabel terikat atau Dependent Variable (Y)

Variabel terikat adalah sejumlah gejala atau faktor atau unsur yang ada atau muncul dipengaruhi atau ditentukan oleh adanya Independent Variable (Nawawi, 2003).

Variabel Terikat (Y) atau Dependent Variabel: Persepsi Perawat Terhadap Pelayanan Keperawatan Bermutu.

(16)

165 Metode pengumpulan data atau instrument penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:

1. Angket

Angket adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang pribadinya, atau hal-hal yang ia ketahui (Arikunto, 2002). Metode angket merupakan metode primer dalam penelitian ini.

Peneliti menggunakan jenis angket langsung tertutup, yang mana dalam angket ini responden menjawab secara langsung atau sendiri pertanyaan yang telah disediakan alternatif jawabannya, sehingga responden tinggal memilih jawaban yang paling sesuai dengan dirinya (Arikunto, 2002).

Dalam penyusunan angket digunakan Skala Likert yang sudah dimodifikasi menjadi empat kategori jawaban. Item-item dalam kuisioner ini dibedakan menjadi item favourable dan unfavourable. Item favourable adalah item atau pertanyaan yang menunjukkan sikap mendukung, sesuai, perasan puas, tingkatan tinggi dan sebagainya dari obyek perilaku yang diukur. Sementara item unfavourable adalah pertanyaan yang menunjukkan sikap tidak mendukung, tidak sesuai, tingkatan rendah dan sebagainya dari obyek perilaku yang diukur.

Angket dalam penelitian ini ada dua, yaitu angket kelelahan kerja (Burnout) dan angket persepsi perawat terhadap pelayanan keperawatan bermutu. Kedua angket tersebut dijelaskan sebagai berikut:

1) Angket kelelahan kerja (Burnout)

Angket kelelahan kerja ini dibuat dengan menggunakan metode pengukuran modifikasi skala Likert, dimana indikator item-itemnya didasarkan pada aspek-aspek kelelahan kerja (Burnout) diambil dari Rosyid (1996), yakni: 1) Kelelahan fisik.

2) Kelelahan emosional. 3) Kelelahan mental.

4) Rendahnya penghargaan terhadap diri. 5) Depersonalisasi.

(17)

166 Angket persepsi perawat terhadap pelayanan keperawatan bermutu ini dibuat dengan menggunakan metode pengukuran dengan modofikasi skala Likert, dimana indikator item-itemnya disusun berdasarkan penggabungan antara fungsi persepsi menurut Mashuri (2003) dengan komponen yang harus dilaksanakan oleh tim keperawatan dalam mewujudkan asuhan keperawatan bermutu menurut Nurachmah (2001) yaitu:

a. Adanya dorongan untuk bersikap caring ketika harus memberikan asuhan keperawatan kepada pasien.

b. Adanya perasaan untuk membentuk hubungan yang terapeutik dengan pasien .Adanya dorongan untuk berkolaborasi dengan anggota tim kesehatan lain. c. Adanya kemauan untuk memenuhi kebutuhan pasien.

d. Tergerak untuk melakukan kegiatan jaminan mutu (quality assurance). d. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur

a. Uji Validitas Item atau Butir

Untuk mengetahui koefisien korelasi pada masing-masing butir item menggunakan rumus korelasi Product Moment Karl Pearson yang dikerjakan melalui bantuan SPSS For Windows Release 12.0.

b. Uji Reliabilitas Angket

Pengukuran reliabilitas pada penelitian ini dengan menggunakan pendekatan konsistensi internal yang menggunakan satu bentuk tes yang dikenakan hanya sekali saja pada sekelompok subyek (single-trial administrasion). Pendekatan reliabilitas konsistensi internal bertujuan melihat konsistensi antar item atau antar bagian dalam tes itu sendiri (Azwar, 2001). Program komputer SPSS For Windos Release 12.0 memberikan fasilitas untuk mengukur realibilitas dengan uji statistik Cronbach Alpha (a).Suatu konstruk atau variabel dikatakan reliabel jika memberikan nilai Cronbach Alpha (a) > 0,60). c. Metode Analisis Data

Penelitian ini menggunakan metode Analisa Product Moment dalam menguji hipotesa. Untuk memperoleh hasil koefisien korelasi Product Moment,

(18)

167 maka dapat menggunakan bantuan program menggunakan program komputer SPSS versi 12.0. Untuk menguji signifikansi koefisien korelasi, maka kita harus melihat tabel korelasi Product Moment Person. Apabila hasil perhitungan koefisien korelasi > nilai kritis yang relevan dengan taraf signifikansi 0,05%, berarti koefisien korelasi yang kita amati tersebut signifikan.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Uji Hipotesis

Hasil dari analisis data korelasi Product Moment yang telah dilakukan diperoleh koefisien korelasi (rxy) = 0,301 dan p = 0,022 dengan taraf signifikansi p < 0,05. Berdasarkan hasil tersebut yang menunjukkan nilai p = 0,022 berada pada taraf signifikan, hal ini berarti hipotesis nol yang mengatakan bahwa “tidak ada hubungan yang signifikan antara kelelahan kerja dengan persepsi perawat terhadap pelayanan keperawatan bermutu” ditolak, sedangkan untuk hipotesis alternatif yang mengatakan bahwa “ada hubungan yang signifikan antara kelelahan kerja dengan persepsi perawat terhadap pelayanan keperawatan bermutu” dapat diterima. Dari hasil analisis dengan nilai r = 0,301 dapat diartikan bahwa terdapat korelasi yang rendah antara kelelahan kerja (X) dengan variabel persepsi perawat terhadap pelayanan keperawatan bermutu (Y). Untuk mengetahui besarnya sumbangan efektif dari kelelahan kerja maka didapatkan R Squared = 0,090. Dengan demikian variabel kelelahan kerja memberi sumbangan efektif sebesar 9 % sedangkan sisanya dipengaruhi oleh faktor lain.

2. Pembahasan

Berdasarkan hasil analisis data didapatkan angka koefisien korelasi (rxy) sebesar 0,301 dan nilai p = 0,022 atau p < 0,05 artinya hipotesis yang diajukan diterima, ini berarti terdapat hubungan yang signifikan antara kelelahan kerja dengan persepsi perawat terhadap pelayanan keperawatan bermutu di Unit Rawat Inap RSUD Balung.

Adanya hubungan yang signifikan antara kelelahan kerja dengan persepsi perawat terhadap pelayanan keperawatan bermutu, membuktikan bahwa kelelahan kerja dapat mempengaruhi persepsi perawat dalam menjalankan atau memberikan

(19)

168 pelayanan kepada pasien. Bila stres menyerang individu terus menerus dalam waktu yang cukup lama dan individu itu tidak dapat mengatasinya maka akan timbul gejala melemahnya fisik dan psikis. Menurut teori yang dikembangkan oleh Hans Selye (1997) tubuh manusia tidak dapat secara cepat membangun kemampuan untuk mengatasi stres, akibatnya individu mengalami kelelahan fisik dan psikis dalam usahanya melawan stres itu. Kondisi seperti ini disebut burnout yaitu kelelahan emosi yang berlebihan, merasa terpisah dari pekerjaan, dan merasa tidak mampu mencapai tujuan.

Kondisi fisik dan psikis yang buruk akan berdampak pada bagaimana para perawat tersebut memaknai, menilai atau memberikan kesan dalam memberikan pelayanan keperawatan kepada pasien yang sesuai dengan standar dan kualitas yang diharapkan rumah sakit. Dari proses pemberian nilai atau kesan tersebut akan membentuk sikap dan pandangan perawat dalam menjalankan tugasnya. Jika tugas tersebut dinilai positif maka perawat tersebut akan melaksanakannya sesuai dengan standar yang telah ditetapkan dan berupaya semaksimal mungkin sehingga pasien merasa puas dan harapannya terhadap rumah sakit akan terpenuhi. Begitu pula sebaliknya, jika perawat menilai tugas tersebut hanya sebagai rutinitas yang membosankan maka perawat tersebut akan cenderung bekerja asal-asalan dan tidak menghiraukan bagaimana kondisi pasien.

Selain itu peneliti juga melakukan analisis sumbangan efektif variabel X terhadap variabel Y. Dari analisa tersebut didapatkan bahwa kelelahan kerja memberikan sumbangan efektif sebesar 9% terhadap persepsi perawat terhadap pelayanan keperawatan bermutu di Unit Rawat Inap RSUD Balung, dengan demikian sisanya sebesar 91% dipengaruhi oleh faktor lain. Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan beberapa perawat yang bertugas di unit rawat inap tersebut bahwa selain faktor kelelahan kerja ada faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi rendahnya persepsi perawat terhadap pelayanan keperawatan bermutu yaitu, beban kerja, gaji, sistem kerja (shift / jam kerja), promosi jabatan, kesehatan dan keselamatan kerja (K3) yang kemungkinan memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap kinerja perawat.

(20)

169 Hasil dari wawancara mengenai hal-hal yang mempengaruhi persepsi perawat terhadap pelayanan keperawatan bermutu tersebut diperkuat oleh teori yang di kemukakan oleh Canadian Nursing Association (CNA, 2008) tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perawat dalam memberikan asuhan keperawatan, yaitu:

1) Kontrol beban kerja.

Jumlah tenaga perawat yang tidak sesuai dengan kapasitas kerja akan mempengaruhi kualitas pelayanan yang diberikan oleh perawat karena apabila beban kerja tinggi maka ketelitian dan keamanan kerja menjadi menurun sehingga dapat menyebabkan stres pada perawat.

2) Kepemimpinan dalam keperawatan.

Perawat yang memiliki kepemimpinan juga harus dapat mengkondisikan lingkungan kerja yang kondusif dan dinamis serta merencanakan pengembangan karier perawat yang jelas dengan cara aktif memberikan dukungan untuk pengembangan diri perawat. Seorang pemimpin juga harus dapat memotivasi perawat menjadi pekerja yang ulet, dan mempunyai pandangan ke depan sehingga meningkatkan profesionalisme mereka.

3) Kontrol kualitas pelayanan.

Kontrol kualitas pelayanan biasanya dilakukan atau disupervisi oleh perawat menejer terhadap kinerja perawat bawahannya, hal ini dilakukan dalam rangka upaya untuk mendeteksi dan mengurangi komponen atau hasil pelayanan keperawatan yang tidak sesuai dengan standar.

4) Dukungan dan penghargaan.

Sistem dukungan dan penghargaan bagi perawat akan memberikan pengaruh yang cukup baik bagi kinerja perawat. Lingkungan kerja yang lebih memprioritaskan pada budaya penghargaan (reward) akan lebih baik menghasilkan perubahan perilaku perawat bila dibandingkan budaya hukuman (punishment). Secara psikologis lingkungan kerja yang memuaskan akan meningkatkan kinerja perawat sehingga akan meningkatkan outcome pasien (Rogers, 2000).

(21)

170 5) Pengembangan profesi.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Laschinger et al. (2001), apabila perawat tidak mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan karier dirinya maka akan berpengaruh terhadap keinginan perawat untuk melakukan tindakan yang positif di masa mendatang. Pada bagian lain, ia pun mengingatkan apabila lingkungan kerja perawat tidak menjanjikan dalam jangka panjang akan terjadi penurunan kualitas kerja, tidak puas terhadap pekerjaan, kesehatan fisik dan mental yang melemah. Dalam sistem pelayanan kesehatan, kinerja perawat merupakan faktor utama dalam pencapaian outcome pasien yang positif.

6) Inovasi dan kreatifitas.

Keinginan untuk berinovasi dan berkreativitas para perawat merupakan aktualisasi diri dari keinginan untuk berkembang (need of achievement). Orang-orang yang seperti itulah yang diharapkan oleh profesi keperawatan sebagai change agent.

D. SARAN

1. Bagi RSUD Balung

a. Pihak Rumah Sakit agar memberikan program-program pelatihan untuk kematangan emosi agar para perawat ketika memberikan pelayanan mampu menanggapi setiap situasi dengan sikap yang profesional.

b. Selain program kematangan emosi juga bisa memberikan program pendampingan pada perawat dengan mendatangkan perawat senior atau yang sudah berpengalaman untuk bertukar pendapat dan berdiskusi tentang bagaimana cara memberikan pelayanan yang berkualitas.

c. Selain hal yang tersebut diatas pihak Rumah Sakit mengadakan pertemuan bersama seluruh karyawan (perawat dan non-perawat) untuk menambah keakraban dan keterbukaan agar terjalin hubungan yang harmonis antara atasan dan bawahan.

(22)

171 2. Bagi Perawat

a. Hendaknya para perawat lebih menyadari tentang profesinya dan secara ikhlas dan bertanggungjawab dalam upaya memberikan pelayanan dan asuhan keperawatan, sehingga mutu pelayanan keperawatan berkualitas sesuai dengan harapan pasien.

b. Selain itu para perawat hendaknya terus belajar tentang cara berinteraksi sosial yang baik untuk menjaga hubungan yang harmonis dengan pasien. 3. Bagi peneliti selanjutnya

Dalam melakukan penelitian ini, peneliti mengalami banyak keterbatasan sehingga terdapat banyak kekurangan di berbagai hal. Oleh karena itu bagi peneliti yang tertarik untuk melakukan penelitian yang serupa ada perlunya untuk mempertimbangkan hal-hal berikut:

a. Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini kurang dari seratus. sampel kecil biasanya membutuhkan biaya yang lebih sedikit dan lebih mudah diolah tetapi mempunyai kesalahan sampling (sampling error) yang lebih besar, juga adanya generalisasinya lebih kecil. Untuk itu diharapkan bagi peneliti selanjutnya hendaknya menggunakan sampel dengan jumlah yang lebih dari seratus agar generalisasinya yang diperoleh akan lebih tinggi kekuatannya.

b. Memperhatikan faktor-faktor lain seperti program promosi jabatan, program K3 (keselamatan dan keselamatan kerja) sebagai faktor yang kemungkinan juga berpengaruh.

c. Dalam mengambil data sebaiknya peneliti melakukan wawancara dan observasi secara langsung terhadap proses pelayanan yang dilakukan oleh perawat agar data yang diperoleh lebih objektif dan akurat.

(23)

172 DAFTAR PUSTAKA

Arikunto. (1998). Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka cipta.

_______. (2002). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.

Marzikah, I. (2006). Tingkat Kepuasan Klien Tentang Hak Yang Diterima Dalam Pelayanan Asuhan Keperawatan Di RSUD Balung Jember. Jember: Universitas Muhammadiyah Jember, Skripsi, tidak diterbitkan.

Mashuri. (2003). Psikologi Kognitif. Jember: Sains.

Nawawi, H. (2003). Manajement Sumber Daya Manusia Untuk Bisnis Yang Kompetetif. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Nurachmah. (2001). Asuhan Keperarawatan Bermutu di Rumah Sakit. (Online). http://bondanmanajemen.blogspot.com. Diakses pada 23 januari 2008. Schuler., Jacson. (1999). Manajemen Sumber Daya Manusia Menghadapi Abad

Referensi

Dokumen terkait

Yang Ming International juga telah memiliki Dokumen Prosedur Pelaksanaan Uji Tuntas (Due Dilligence) sebagai panduan dalam melaksanakan kegiatan Uji Tuntas bilamana

Dari hasil benchmark yang telah dilakukan maka diketahui bahwa Laboratorium IPO memiliki nilai tertinggi yang dapat menjadi contoh penerapan 5S yang ideal dan dari

Strategi Program Rumusan Tujuan Rumusan Sasaran Target Capaia n Indikator Nilai data Dasar Sumber dan Thn Data Dasar Program Kegiatan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

One of the hospitals is the National Cancer Center (NCC) and the other is the Hospital for Cancer Registration Center (HCRC). This study was to implement CANREG 5 based on the

struktur akibat tidak memperhitungkan vibrasi tersebut, maka diperlukan adanya studi lebih lanjut tentang adanya beban dinamis dari manusia pada perencanaan Jembatan

Penelitian ini hanya dilakukan pada proses pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) Terpadu dengan pendekatan cooperative learning metode listening team agar

Alat ini dapat mengubah obat cair menjadi uap ( aerosol ) untuk dihirup menggunakan masker sehingga obat langsung masuk ke paru - paru. Tujuan dari pembuatan alat ini

Pembuktian perkara tindak pidana perusakan hutan dalam pemeriksaan di pengadilan sesuai dengan sistem pembuktian negatif yakni ajaran pembuktian yang menyatakan