BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Berbagai sisi kehidupan manusia bergantung pada tanah. Semua manusia membutuhkan tanah untuk tempat berpijak, membangun tempat tinggal, dan memanfaatkannya untuk mencari nafkah guna melangsungkan kehidupan. Begitu penting arti tanah bagi kehidupan manusia, tidak ada manusia yang tidak membutuhkan tanah. Berdasarkan hal tersebut negara juga telah mengatur dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa : “ Bumi dan air dam kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Tanah sebagai bagian dari bumi yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa berfungsi untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia. Dalam perkembangannya tanah juga menjadi alat investasi yang menguntungkan, sehingga terjadi peningkatan permintaan akan tanah dan bangunan, dan juga persaingan untuk memperolehnya, yang pada akhirnya memaksa orang untuk mengeluarkan pengorbanan yang lebih besar untuk mendapatkannya. Hal ini menyebabkan tanah dan bangunan menjadi sangat bernilai, sehingga orang yang memiliki tanah dan bangunan akan sedapat mungkin mempertahankan hak milik atas tanahnya.1
1
Marihot Pahala Siahaan, 2003, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, hlm. 32.
Tanah merupakan sesuatu yang memiliki nilai yang sangat penting didalam kehidupan masyarakat, hal ini disebabkan karena tanah memiliki nilai ekonomis, sekaligus magis-religio kosmis menurut pandangan bangsa Indonesia, ia pula yang sering memberi getaran didalam kedamaian dan sering pula menimbulkan goncangan dalam masyarakat, lalu ia pula yang sering menimbulkan sendatan dalam pelaksanaan pembangunan nasional.2
Di atas tanah inilah manusia dapat hidup dan melangsungkan atau meneruskan kehidupannya, selain itu tanah terbatas luasnya dan tidak dapat diperbaharui lagi, sedangkan jumlah manusia terus bertambah yang pada akhirnya akan menyebabkan persaingan dalam memperoleh tanah. Persaingan tersebut dapat merupakan persaingan yang baik maupun persaingan yang tidak baik, apalagi jika dihubungkan dengan perkembangan pembangunan yang menyebabkan tanah memiliki nilai ekonomis yang tinggi dan nilainya akan terus meningkat. Tanah tidak dapat dipisahkan dengan manusia karena tanah merupakan salah satu faktor penting dalam kehidupan manusia, tanah merupakan tempat pemukiman, tempat melakukan kegiatan manusia bahkan sesudah matipun masih memerlukan tanah.3
Sebagai negara yang berlatar belakang agraris, tanah mempunyai arti yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat di Indonesia, terlebih lagi bagi para
2
John Salindeho, 1998, Masalah Tanah Dalam Pembangunan, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 38.
3
Achmad Chulaemi, 1992, Pengadaan Tanah Untuk Keperluan Tertentu Dalam Rangka Pembangunan, Majalah Masalah-Masalah Hukum, Nomor 1, FH. Undip, Semarang, hlm. 9.
petani di pedesaan.4 Tanah berfungsi sebagai tempat dimana warga masyarakat bertempat tinggal dan tanah juga memberikan penghidupan baginya.5
Menyadari arti penting dari tanah tersebut di atas, negara yang telah mengatur segala sesuatu mengenai tanah. Dengan sistem pemerintahan desentralisasi di Indonesia sekarang ini memberikan kekuasaan kepada Pemerintah Daerah untuk mengatur tanah di daerahnya masing-masing. Harapannya, dengan adanya kemandirian maka Pemerintah Daerah mampu mengembangkan daerahnya sesuai dengan kondisi dan kebutuhannya.
Dalam hal ini Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki keistimewaan yang pertama kali diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 Tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta yang kemudian mengalami beberapa perubahan, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1955 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 3 jo. Nomor 19 Tahun 1950 Tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta, namun dianggap belum lengkap maka kemudian dibentuk Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Daerah Istimewa Yogyakarta.
Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan warisan dari zaman sebelum kemerdekaan. Keistimewaan ini meliputi sejarahnya, pemerintahannya, juga pertanahannya. Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman, sebagai cikal bakal Daerah Istimewa Yogyakarta. Dipimpin oleh seorang Gubernur, yaitu Sultan Hamengku Buwono yang bertakhta sebagai Raja di Kasultanan
4 IGN. Sugangga, Kebijakan Pemerintah Kabupaten Dalam Hukum Pertanahan Adat di
Wilayah Pantai Utara Jawa Tengah (Studi Kasus Penentuan Hak Tanah Timbul Dalam Masalah-Masalah Hukum), Majalah Ilmiah FH-UNDIP, Vol. XXXI.No.2, April-Juni 2002, hlm. 49.
5
Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko, 2001, Hukum Adat Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, hlm. 172.
Yogyakarta, dan Wakil Gubernur yaitu Adipati Paku Alam yang bertakhta sebagai Raja di Kadipaten Paku Alaman.
Dalam hal pertanahan, Daerah Istimewa Yogyakarta juga memiliki keistimewaan, yaitu yang dikenal dengan istilah Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten. Mengenai penguasaan hak atas tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta terdapat istilah Warga Negara Indonesia pribumi (WNI pribumi) dan Warga Negara Indonesia non pribumi (WNI nonpri). Istilah ini bukan merupakan istilah yang baru karena lahir pada jaman penjajahan Belanda, namun istilah ini terpelihara di Daerah Istimewa Yogyakarta, khususnya menyangkut masalah penguasaan hak atas tanah. Yang dimaksud dengan pribumi adalah penduduk Indonesia yang berasal dari suku-suku asli (mayoritas) di Indonesia, sedangkan non pribumi adalah penduduk Indonesia keturunan Tionghoa, India, Ekspatriat Asing (umumnya berkulit putih).6 Istilah ini diperkuat kembali dengan munculnya Surat Edaran Gubernur DIY PA.VIII/No.K.898/I/A 1975 Tentang Larangan Hak Milik Bagi WNI nonpribumi. Surat Edaran ini berisi :
“Guna Penyeragaman policy pemberian hak atas tanah dalam wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta kepada seorang WNI non Pribumi, dengan ini diminta : Apabila ada seorang WNI non Pribumi membeli tanah hak milik rakyat, hendaknya diproseskan sebagaimana biasa, ialah dengan melalui pelepasan hak, sehingga tanahnya kembali menjadi tanah Negara yang dikuasai langsung oleh Pemerintah Daerah DIY dan kemudian yang berkepentingan / melepaskan supaya mengajukan permohonan kepada Kepala Daerah DIY untuk medapatkan suatu hak.”
Tujuan dari Surat Edaran ini adalah untuk melindungi kepentingan WNI pribumi yang mayoritas bertingkat ekonomi lebih rendah dibandingkan WNI nonpri. Ditakutkan tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta banyak dimiliki oleh
6
WNI nonpri, sedangkan WNI pribumi tidak dapat memiliki tanah didaerah kelahirannya sendiri. Namun banyak pihak terutama dari pihak nonpri keberatan dengan aturan ini, mereka merasa ada pendiskriminasian dalam aturan tersebut. Masalah diskriminasi tersebut terus menjadi perbincangan hangat, karena di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria tidak terdapat istilah pribumi dan non pribumi. Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria menyebutkan : “Hanya warga negara Indonesia dapat memliki hak milik.”
Ada beberapa peraturan yang menghapuskan diskriminasi, diantaranya Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999 Tentang Pengesahan Konvensi Internasional Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965, Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Dilihat dari asas lex superior derogate legi inferiori, peraturan yang lebih tinggi mengalahkan/ mengesampingkan peraturan yang lebih rendah, maka sesuai hierarki peraturan perundang-undangan, kedudukan Undang-Undang lebih tinggi dari Instruksi Kepala Daerah.
Namun kenyataannya sampai pada hari ini di Daerah Istimewa Yogyakarta, masih digunakan istilah WNI pribumi dan WNI nonpri, dan WNI nonpri tidak dapat memiliki tanah dengan status hak milik sesuai dengan yang diperintahkan dalam Surat Edaran Gubernur DIY PA.VIII/No.K.898/I/A 1975 Tentang Larangan Hak Milik Bagi WNI nonpribumi.
SE-06/Pres-Kab/6/1967 Kabinet presidium melarang istilah Tionghoa yang sesungguhnya bersifat etnis, menjadi “cina”. Tionghoa tidak diakui sebagai salah satu suku di Indonesia tetapi lebih sebagai orang asing. Dengan keluarnya Surat Edaran ini, orang-orang Tionghoa tidak diakui sebagai salah satu kelompok suku bangsa di Indonesia, tetapi lebih merupakan orang asing yang berasal dari daratan Cina yang hidup di Indonesia.7
Dalam kenyataan terdapat beberapa praktek penyelundupan hukum berupa perjanjian pinjam nama atau sering dikenal dengan perjanjian tentang hal yang sebenarnya, antara WNI nonpri yang ingin memiliki tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta dengan status hak milik dengan WNI pribumi yang bersedia namanya dipinjam di sertipikat hak milik tersebut. Hal ini merupakan suatu perbuatan yang tidak sesuai dengan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria yang menyebutkan bahwa : “Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan pasal 6.”
Hak milik dikatakan merupakan hak yang turun temurun karena hak milik tidak hanya berlangsung seumur hidup pemiliknya tapi dapat diwariskan dan diteruskan oleh ahli warisnya, maka tidak ada jangka waktunya. Dikatakan sebagai hak yang terkuat karena dapat menjadi induk dari macam-macam hak atas tanah lain dan dapat dibebani oleh hak atas tanah lain, seperti Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai. Terpenuh artinya menunjuk pada luas wewenang yang diberikan kepada pemegang hak milik dalam menggunakan tanahnya baik untuk usaha pertanian maupun mendirikan bangunan.
7
Dari pengertian di atas tentu perjanjian pinjam nama atau perjanjian tentang hal yang sebenarnya menjadi tidak sesuai, karena nama yang ada di sertipikat tidak mempunyai hak-hak yang disebutkan dan dijamin oleh undang-undang. Bahkan kekuasaannya dibatasi oleh adanya perjanjian tersebut. Ironisnya perjanjian-perjanjian diatas dibuat secara notariil, yang dibuat oleh dan dihadapan pejabat yang berwenang dalam hal ini Notaris.
Daerah Istimewa Yogyakarta terdiri dari empat (4) kabupaten dan satu (1) kota, yaitu Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, Kabupaten Kulon Progo, dan Kota Yogyakarta. Penulis memilih Kabupaten Sleman sebagai lokasi penelitian karena saat ini Kabupaten Sleman sedang berkembang sehingga banyak pengusaha WNI nonpri dibidang property membangun tanah kapling. Lokasi penelitian mudah dijangkau sehingga mudah dalam mendapatkan data yang akurat untuk dianalisis.
Dari beberapa latar belakang permasalahan diatas, penulis tertarik untuk meneliti tentang permasalahan Pelaksanaan Surat Edaran Gubernur DIY PA.VIII/NO.K.898/I/A 1975 Tentang Larangan Kepemilikan Tanah Hak Milik Bagi WNI nonpribumi di Kabupaten Sleman.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana Pelaksanaan Surat Edaran Gubernur DIY PA.VIII/No.K.898/I/A 1975 Tentang Larangan Kepemilikan Tanah Hak Milik Bagi WNI nonpribumi di Kabupaten Sleman?
2. Apakah yang melatarbelakangi larangan pemilikan Hak Milik Atas Tanah Bagi WNI non pribumi di Kabupaten Sleman berdasarkan Surat Edaran Gubernur DIY PA.VIII/No.K.898/I/A 1975 Tentang Larangan Hak Milik Bagi WNI nonpribumi ?
3. Bagaimanakah Penyelesaian Terhadap Permasalahan Yang Timbul Akibat Dari Larangan Hak Milik Bagi WNI nonpribumi Di Kabupaten Sleman ? C. Keaslian Penelitian
Sebagai sebuah karya penulisan yang mencoba melihat permasalahan dalam hal Pelaksanaan Surat Edaran Gubernur DIY PA.VIII/NO.K.898/I/A 1975 Tentang Larangan Kepemilikan Tanah Hak Milik Bagi WNI nonpribumi di Kabupaten Sleman, penulisan ini tentu saja bukan merupakan sebuah penulisan yang bersifat baru sama sekali. Penulisan sejenis yang sudah pernah dilakukan sebelumnya :
1. Tesis, Program Pasca Sarjana Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada, tahun 2009, dengan judul “Pemberian Hak Atas Tanah Kepada WNI Nonpribumi Setelah Berlakunya Undang-Undang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta”, ditulis oleh Westi Agraristanti.8
Permasalahan :
1. Bagaimana Pemberian Hak Atas Tanah Kepada WNI Nonpribumi Sebelum dan Sesudah Berlakunya Undang-Undang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta?
8
Westi Agraristanti, 2009, “Pemberian Hak Atas Tanah Kepada WNI Nonpribumi Setelah Berlakunya Undang-Undang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta”, Tesis, Magiser Kenotariatan UGM, Yogyakarta.
2. Bagaimana Peran PPAT dan BPN Dalam Pemberian Hak Atas Tanah Kepada WNI Nonpribumi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta? 3. Faktor-Faktor Apa Yang Menjadi Pertimbangan Pemerintah Dalam
Pemberian Hak Atas Tanah Kepada WNI Nonpribumi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta?
Kesimpulan :
1. WNI nonpribumi belum bisa mendapatkan hak milik atas tanah. WNI nonpribumi harus melakukan pelepasan, dengan membayar ganti rugi dan persyaratan lain sesuai ketentuan, kemudian mengajukan permohonan Hak Guna Bangunan. Undang-Undang nomor 40 taun 2008 telah berlaku secara nasional dalam konsiderannya belum menyentuh UUPA pada umumnya dan kebijakan bidang pertanahan Daerah Istimewa Yogyakarta pada khususnya.
2. Peran PPAT dan BPN Dalam Pemberian Hak Atas Tanah Kepada WNI Nonpribumi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah memberi pemahaman, informasi, saran hukum, tidak melakukan pembuatan akta yaitu membantu WNI nonpribumi mendapatkan hak atas tanah sesuai ketentuan Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu melakukan pelepasan. 3. Faktor Yang Menjadi Pertimbangan Pemerintah Dalam Pemberian Hak
Atas Tanah Kepada WNI Nonpribumi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah :
a. Faktor Historis : UUPA berlaku di DIY pada tanggal 24 September 1984, tetapi tidak menghapus Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950
tentang pembentukan DIY.
b. Faktor Ekonomis : Tingkat pendapatan dan taraf hidup masyarakat Indonesia khususnya DIY, dalam hal ini pribumi masih dibawah kelompok nonpribumi. Sehingga terjadi kesenjangan sosial yang mengakibatkan kecemburuan sosial.
c. Faktor Sosiologis : DIY dipastikan terus mengalami perubahan sosial. Masyarakat kini memasuki fase masyarakat berwajah ganda, disatu sisi masyarakat selalu tersusun secara hierarkis, mengikuti pola hubungan patron-client dimasa lalu, dan disisi lain telah hadir dalam kepadatan yang semakin tinggi masyarakat yang memiliki corak horizontal yang kuat.
d. Faktor Yuridis : Keistimewaan DIY dalam tatanan yuridis formal merujuk pada amanat Sri Paduka Ingkeg Sinuwun Kanjeng Sultan dan amanat Sri Paduka Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam. Perbedaan tesis tersebut dengan tesis penulis adalah tesis diatas lebih mengacu pada setelah berlakunya Undang-Undang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis di Yogyakarta, sedangkan penulis lebih membahas Surat Edaran Gubernur DIY PA VIII No. 898/A/1975. Kemudian di tesis tersebut tidak membahas tentang perjanjian tentang hal sebenarnya yang dimanfaatkan sebagai penyelundupan hukum.
2. Tesis, Program Pasca Sarjana Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada, tahun 2012, dengan judul “Perjanjian Penguasaan Tanah Hak Milik
antara WNA dan WNI Secara Notariil Sebagai Suatu Bentuk Penyelundupan Hukum”, ditulis oleh Ida Ayu Putu Ratnayanti.9
Permasalahan :
1. Mengapa Penguasaan Tanah Hak Milik Oleh WNA Dikategorikan Sebagai Penyelundupan Hukum?
2. Bagaimana Akibat Hukum Pengalihan Hak Atas Tanah Yang Mempunyai Indikasi Penyelundupan Hukum Tersebut Terhadap WNI, WNA maupun pihak ketiga?
3. Bagaimana Bentuk Pengawasan Yang Dilakukan Terhadap Pembuatan Akta-Akta Notaris Yang Terkait Dengan Penyelundupan Hukum Yang Terjadi Dalam Praktek Kenotariatan ?
Kesimpulan :
1. Penguasaan tanah hak milik oleh WNA dikategorikan sebagai penyelundupan hukum dikarenakan adanya pembiayaan, adanya ketidaksesuaian kenyataan yuridis dengan fakta nama di sertipikat. Perjanjian juga dibuat seolah-olah menjadi “kedok” sedang WNA yang namanya tidak tercantum didalam sertipikat menguasai dan menggunakan manfaatnya.
2. Akibat hukum pengalihan hak atas tanah yang mempunyai indikasi penyelundupan hukum tersebut terhadap WNI, WNA maupun pihak ketiga;
Melalui perkawinan : Pasal 21 ayat (3), pelepasan.
9
Ida Ayu Putu Ratnayanti, 2012, “Perjanjian Penguasaan Tanah Hak Milik antara WNA dan WNI Secara Notariil Sebagai Suatu Bentuk Penyelundupan Hukum”, Tesis, Magister Kenotariatan UGM, Yogyakarta.
Melalui perjanjian : Pemindahan hak secara terselubung, bertentangan dengan Pasal 26 Ayat (2).
3. Bentuk pengawasan yang dilakukan terhadap pembuatan akta-akta notaris yang terkait dengan penyelundupan hukum yang terjadi dalam praktek kenotariatan adalah dengan pemeriksaan rutin, namun hanya terbatas pada tata cara pembuatan akta dan kelengkapan administrasi serta protocol notaris saja, isi dan materi menjadi tanggung jawab notaris.
Perbedaan tesis tersebut dengan tesis penulis adalah tesis diatas subjek yang dibahas adalah Warga Negara Asing, sedangkan tesis penulis subjek yang dibahas adalah Warga Negara Indonesia non pribumi yaitu Warga Negara Indonesia yang haknya dipersamakan dengan Warga Negara Asing di Daerah Istimewa Yogyakarta.
3. Thesis, Program Pasca Sarjana Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada, tahun 2007, dengan judul “Penguasaan Tanah Oleh WNA di Kabupaten Bandung”, ditulis oleh Nyoman Sumardika.10
Permasalahan :
1. Bentuk Instrumen Hukum Apa Sajakah Yang Dilakukan Oleh WNA Untuk Mengikat WNI Dalam Menguasai Tanah di Kabupaten Bandung? 2. Bagaimana Bentuk Penguasaan Tanah Oleh WNA di Kabupaten
Bandung?
10
Nyoman Sumardika, 2007, “Penguasaan Tanah Oleh WNA di Kabupaten Bandung”, Tesis, Magister Kenotariatan UGM, Yogyakarta.
Kesimpulan :
1. WNA mengikat WNI dalam menguasai tanah di Kabupaten Bandung melalui instrument hukum surat pernyataan dan akta notaris berupa sewa menyewa, perjanjian pendahuluan pemberian Hak Guna Bangunan diatas Hak Milik, kuasa, perjanjian pembaharuan Hak Guna Bangunan diatas Hak Milik, perjanjian Hak Pakai atas Hak Milik, pengakuan hutang. 2. Bentuk penguasaan tanah oleh WNA di Kabupaten Bandung adalah
menggunakan instrument perjanjian seolah-olah tidak menyalahi undang-undang yang berlaku karena tidak dalam bentuk pemindahan secara langsung.
Perbedaan tesis tersebut dengan tesis penulis adalah tesis diatas subjek yang dibahas adalah Warga Negara Asing yang objek penelitiannya adalah di Bandung, sedangkan tesis penulis subjek yang dibahas adalah Warga Negara Indonesia non pribumi yaitu Warga Negara Indonesia yang haknya dipersamakan dengan Warga Negara Asing di Daerah Istimewa Yogyakarta. Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut sepengetahuan penulis, berdasarkan penelusuran kepustakaan yang dilakukan sebelumnya, tentang Pelaksanaan Surat Edaran Gubernur DIY PA.VIII/NO.K.898/I/A 1975 Tentang Larangan Kepemilikan Tanah Hak Milik Bagi WNI nonpribumi di Kabupaten Sleman, penulis belum menemukan penelitian yang sama dengan penelitian penulis.
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian.
a. Untuk mengetahui Pelaksanaan Surat Edaran Gubernur DIY PA.VIII/No.K.898/I/A 1975 Tentang Larangan Kepemilikan Tanah Hak Milik Bagi WNI nonpribumi di Kabupaten Sleman.
b. Untuk mengetahui hal-hal yang melatarbelakangi larangan pemilikan Hak Milik Atas Tanah Bagi WNI nonpribumi di Kabupaten Sleman berdasarkan Surat Edaran Gubernur DIY PA.VIII/No.K.898/I/A 1975 Tentang Larangan Hak Milik Bagi WNI nonpribumi.
c. Untuk mengetahui Penyelesaian Terhadap Permasalahan Yang Timbul Akibat Dari Larangan Hak Milik Bagi WNI nonpribumi di Kabupaten Sleman.
2. Manfaat Penelitian.
a. Secara teoritis, diharapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dibidang hukum pada umumnya dan hukum pertanahan pada khususnya, terkait Pelaksanaan Surat Edaran Gubernur DIY PA.VIII/NO.K.898/I/A 1975 Tentang Larangan Kepemilikan Tanah Hak Milik Bagi WNI non pribumi di Kabupaten Sleman.
b. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran dan referensi bagi para peneliti yang selanjutnya, yang berkaitan Pelaksanaan Surat Edaran Gubernur DIY PA.VIII/NO.K.898/I/A 1975 Tentang Larangan Kepemilikan Tanah Hak Milik Bagi WNI non pribumi di Kabupaten Sleman.