• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PENYIMPANGAN PADA PROSES PEMILIHAN PENYEDIA JASA KONSTRUKSI SECARA ELEKTRONIK DI PEMERINTAH DAERAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS PENYIMPANGAN PADA PROSES PEMILIHAN PENYEDIA JASA KONSTRUKSI SECARA ELEKTRONIK DI PEMERINTAH DAERAH"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PENYIMPANGAN PADA PROSES PEMILIHAN PENYEDIA JASA SECARA ELEKTRONIK (Siti - Sarwono)

ANALISIS PENYIMPANGAN PADA PROSES PEMILIHAN PENYEDIA JASA

KONSTRUKSI SECARA ELEKTRONIK DI PEMERINTAH DAERAH

oleh :

Siti Kautsariyah

Manajemen Proyek Konstruksi Universitas Katolik Parahyangan E-mail: lilikautsariyah@gmail.com

Sarwono Hardjomuljadi

Manajemen Proyek Konstruksi Universitas Katolik Parahyangan E-mail: sarwonohm2@yahoo.co.id

ABSTRAK : Berdasarkan Perpres No. 4 Tahun 2015 (perubahan keempat dari Perpres 54 Tahun 2010

tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah) bahwa Pemilihan penyedia untuk pekerjaan konstruksi dilakukan secara elektronik (e-procurement) dengan cara e-tendering. Dalam pelaksanaannya masih terdapat berbagai permasalahan dan penyimpangan walaupun telah dilaksanakan secara elektronik. Tujuan penulisan untuk menganalisis penyimpangan penting dan mengusulkan rekomendasi untuk mencegah penyimpangan. Objek yang diamati adalah pemerintah daerah. Mengunakan analisis Relative Importance Index (RII) didapat dua faktor penting yaitu: 1) ”peminjaman bendera” (berikut password) perusahaan lain untuk mengikuti lelang; 2) adanya “pola” dalam penawaran peserta lelang dalam rangka persaingan tidak sehat dalam. Walaupun telah menandatangani ikrar pakta integritas, namun penyimpangan masih terjadi dikarenakan kurang profesionalisme, kurang komitmen dan lemahnya pengawasan para pihak. Sebagai upaya pencegahan yaitu 1) Pendampingan/konsolidasi pengawas internal (APIP) dalam pelaksanaan pemilihan dengan memperkuat kompetensi APIP , 2) Pembinaan dan peningkatan kapasitas (capacity building) kontraktor dengan memperjelas perizinan, dan 3) mendorong tumbuhnya kontraktor baru yang siap dengan tuntutan kebutuhan konstruksi di daerah melalui komunikasi dua arah dan sinergi dengan asosiasi jasa konstruksi untuk meningkatkan daya saing kontraktor lokal.

Kata kunci: penyimpangan, pemilihan penyedia jasa konstruksi, RII, e-procurement

ABSTRACT : Based on Presidential Decree No. 4 In 2015 (the fourth amendment of the regulation 54 Year

2010 concerning Procurement of Government Goods /Services) that the Electoral provider for the construction work is done electronically (e-procurement) by way of e-tendering. In practice there are still many problems and irregularities although it has been conducted electronically. The purpose of writing to analyze the dominant irregularities and proposes recommendations to prevent irregularities. The object being observed is the local government. Using analysis of Relative Importance Index (RII) obtained two important factors: 1) Loan flag (following password) other companies to participate in the auction; 2) the existence of a "pattern" in the bidding auction participants in the framework of unfair competition in. Although it has signed a pledge of integrity pact, but irregularities still occur due to lack of professionalism, lack of commitment and lack of supervision of the parties. As prevention is 1) Mentoring /consolidation internal watchdog (APIP) in elections to strengthen the capacities of APIP, 2) Development and improvement of capacity (capacity building) contractor to clarify licensing, and 3) to encourage the growth of a new contractor who is ready to demand of construction in the area through two-way communication and synergy with associations of construction services to enhance the competitiveness of local contractors.

(2)

Latar Belakang

Infrastruktur merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat seperti transportasi, bangunan gedung dan fasilitas publik lainnya. Pemenuhan kebutuhan infrastruktur tersebut dilakukan pemerintah melalui mekanisme pengadaan barang/jasa. Pada prinsipnya pengadaan merupakan proses untuk mendapatkan barang/jasa berdasarkan kontrak, baik dilakukan melalui penyedia atau swakelola. Saat ini, melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2010 pengadaan barang/jasa dilakukan secara elektronik. Sebagai bentuk perbaikan, upaya percepatan proses pengadaan, percepatan penyerapan anggaran dan pencegahan korupsi, Perpres Nomor 54 Tahun 2010 telah mengalami perubahan sebanyak empat kali, terakhir dengan Perpres Nomor 4 Tahun 2015. Latar belakang lahirnya perpres ini terkait pemanfaatan teknologi informasi guna percepatan proses pengadaan dengan menerapkan e-proc. Dengan e-proc, tidak hanya meningkatkan transparansi, tetapi juga memberikan layanan publik yang lebih baik, efisiensi

harga yang lebih rendah karena kompetisi, biaya transaksi yang lebih murah, dan siklus pengadaan yang lebih pendek/cepat (Manalo 2005 dalam Zulmi 2013). Selain itu dikarenakan seluruh tahapan dalam proses pengadaan menggunakan internet secara online akan meminimalkan tatap muka antara pelaksana pengadaan dengan calon peserta lelang (laporan KPK 2007), sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya persengkongkolan.

Sejak diwajibkannya e-proc hingga saat ini, masih terdapat berbagai permasalahan dan penyimpangan. Modus penyimpangan yang dilakukan antara lain mark up

(penggelembungan anggaran), suap untuk memenangkan tender, menggabungkan atau memecah paket pekerjaan, penunjukan langsung, maupun kolusi antara penyedia dan pengelola pengadaan untuk pengaturan tender (Syarifuddin 2015). Hal ini ditegaskan oleh fakta berbagai kasus/perkara di bidang pengadaan barang/jasa. Berdasarkan data statistik penanganan perkara KPK dari tahun 2004 hingga 2015, sebanyak 30% (145 dari 468 kasus) korupsi terjadi di bidang pengadaan barang/jasa.

Tabel 1. Data Kasus Pengadaan Barang/Jasa yang Ditangani KPK

Ditambahkan dari laporan KPPU bahwa 70% kasus yang diputuskan komisi ini

adalah penyimpangan dan persekongkolan pengadaan barang/jasa.

JENIS PERKARA 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 Total

Pengadaan Barang/Jasa 2 12 8 14 18 16 16 10 11 9 15 14 145 Perizinan 5 1 3 1 3 5 1 19 Penyuapan 7 2 4 13 12 19 25 34 50 20 38 224 Pungutan 7 2 3 1 6 1 20 Penyalahgunaan Anggaran 5 3 10 8 5 4 3 4 2 44 TPPU 7 5 1 13 Merintangi Proses KPK 3 3 JUMLAH 2 19 27 24 47 37 40 39 48 70 58 57 468 Persentase Perkara PBJ 100.00 63.16 29.63 58.33 38.30 43.24 40.00 25.64 22.92 12.86 25.86 24.56 30.98

(3)

Tabel 2. Data Putusan Perkara Kategori Tender dan Non Tender KPPU

Meskipun semangat e-proc adalah untuk percepatan pelaksanaan belanja negara guna percepatan pelaksanaan pembangunan, menghemat anggaran dan mencegah adanya penyimpangan dalam pengadaan barang/jasa, namun berdasarkan data korupsi di atas menunjukkan bahwa pemberlakuan e-proc ternyata belum sepenuhnya mencegah terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam pengadaan barang/jasa pemerintah. Hal yang sama diungkapkan Aprizal (2013) bahwa indikasi kecurangan dan penyimpangan yang terjadi di lelang manual ternyata masih terjadi dalam e-procurement. Indikasi tersebut berupa cover bidding, bid

suppression, dan bid rotation dalam proses

pengadaan barang/jasa. Hal ini disebabkan oleh berbagai tantangan dalam penerapan e-proc antara lain rendahnya tingkat komitmen politik dari pemerintah daerah dan pengawasan internal yang lemah. Dari latar belakang di atas, timbul pertanyaan apakah penerapan pengadaan barang dan jasa secara elektronik sudah sesuai dengan tujuan untuk menekan segala bentuk penyimpangan, termasuk pada pemilihan penyedia jasa konstruksi di Pemerintah Daerah?. Perlu dilakukan identifikasi penyimpangan yang terjadi dalam proses pemilihan penyeda jasa konstruksi di Pemerintah Daerah dan mengetahui penyimpangan dominan sehingga dapat dilakukan pencegahan dan perbaikan pelaksanaan pengadaan barang/jasa.

Pemilihan Penyedia Jasa Konstruksi

Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi Pasal 1 ayat 1 Pekerjaan konstruksi adalah seluruh pekerjaan yang berhubungan dengan pelaksanaan konstruksi bangunan atau pembuatan wujud fisik lainnya. Berdasarkan Perpres Nomor 4 Tahun 2015 (perubahan keempat dari Perpres Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah) Pasal 106 Pengadaan Barang/Jasa dilakukan secara elektronik

(e-procurement) dengan cara E-Tendering atau E-Purchasing.

Pemilihan penyedia untuk pekerjaan konstruksi dilakukan melalui e-tendering.

E-tendering adalah tata cara pemilihan

penyedia barang/jasa yang dilakukan melalui penyedia barang/jasa yang terdaftar pada sistem e-procurement. Terdapat tiga metode pemilihan yaitu lelang umum, e-lelang terbatas (pekerjaan kompleks dan jumlah penyedia terbatas) dan e-lelang pemilihan langsung (pekerjaan tidak komplek dengan nilai maksimal Rp5 miliar).

Gambar 1. Skema Metode Pengadaan

Barang/Jasa melalui

e-procurement

JENIS PUTUSAN 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 Total

Tender 3 10 8 22 36 23 31 12 7 7 8 10 177

Non Tender 4 8 4 5 12 9 6 1 2 5 11 2 69

JUMLAH 7 18 12 27 48 32 37 13 9 12 19 12 246

(4)

Sebagai aturan pelaksana Perpres Nomor 54 Tahun 2010 dibuat Peraturan Kepala LKPP

Nomor 1 Tahun 2015 tentang e-tendering, dengan tahapan seperti pada tabel 3.

Tabel 3. Tahapan Pengadaan Barang/Jasa Secara Elektronik Persiapan

Pemilihan 1. PPK menyerahkan rencana pelaksanaan pengadaan (paket, spesifikasi teknis, HPS dan rancangan kontrak) dalam bentuk dokumen elektronik kepada pokja ULP 2. Pokja ULP menyusun jadwal pengadaan

3. Pokja ULP menyusun dan menetapkan dokumen pengadaan Pelaksanaan 4. Pembuatan Paket, Pengumuman dan Pendaftaran Pemilihan 5. Pemberian Penjelasan

6. Pemasukan Data Kualifikasi

7. Pemasukan/Penyampaian Dokumen Penawaran

8. Pembukaan dan Evaluasi Dokumen Penawaran serta Pengumuman Pemenang 9. Sanggahan

10. Penunjukan Penyedia Barang/Jasa 11. Penandatanganan Kontrak

Sumber: Olahan dari Perka Perpres Nomor 54 Tahun 2010 dan LKPP Nomor 1 tentang E-Tendering Penyimpangan dalam Proses Pemilihan

Penyedia Jasa Konstruksi

Secara terminologi “penyimpangan” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI diartikan sebagai proses, cara, perbuatan menyimpang atau menyimpangkan atau sikap tindak diluar ukuran (kaidah) yang berlaku. Arti kata “menyimpang” sendiri menurut sumber yang sama adalah menyeleweng (dari hukum, kebenaran, agama, dan sebagainya). Oleh Karena itu penyimpangan pada prinsipnya merupakan perbuatan yang menyeleweng dari kaidah hukum yang berlaku dalam pengadaan barang/jasa, Perpres Nomor 54 Tahun 2010 (termasuk perubahannya) dan aturan pelaksananya

(Perka LKPP Nomor 1 tentang E-Tendering) serta aturan yang secara tidak langsung terkait dengan pengadaan barang/jasa.

Penelitian Terdahulu tentang

Penyimpangan Pengadaan Barang/Jasa

Dari aturan terkait pengadaan barang/jasa diatas dan penelitian terdahulu dilakukan identifikasi untuk mendapatkan indikator penyimpangan dalam pemilihan penyedia jasa konstruksi secara elektronik. Ditambahkan dari penelitian terdahulu untuk mendapatkan faktor penyimpngan dan diidentifikasi terlebih dahulu pada 11 tahapan tahapan pengadaan barang/jasa dari mulai persiapan hingga penandatanganan kontrak.

Tabel 4. Faktor Penyimpangan dalam Proses Pemilihan Penyedia Jasa Konstruksi

Berdasarkan Penelitian Terdahulu

No Faktor Penyimpangan Referensi

TAHAP PERRSIAPAN PEMILIHAN PENYEDIA BARANG/JASA

(5)

2. Tidak adanya pengumuman Rencana Umum Pengadaan (RUP) secara luas sebelum lelang Perpres 54/2010 Pasal 8

3. Penggabungan atau pemecahan pemaketan tidak sesuai ketentuan

Waluyo, 2010

Suswinarno, A.K, 2012 Sutedi, A, 2014 Effrianto, p, 2015

4. Penggelembungan anggaran (mark up) Rencana Pengadaan

Perpres 54/2010 Pasal 6 (etika) Waluyo, 2010

Suswinarno, A.K, 2012 Sutedi, A, 2014 Alfian, 2015 TAHAP PENYUSUNAN JADWAL

5.

Penggunaan hari libur atau diluar hari kerja untuk tahapan: Pemberian penjelasan, Batas akhir pemasukan penawaran, Pembuktian kualifikasi dan Batas akhir sanggah

Perpres 54/2010 Pasal 61 Alfian, 2015

6. Perubahan jadwal tidak disertai alasan yang dapat dipertanggungjawabkan Perka LKPP No.1/2015 TAHAP PENYUSUNAN DOKUMEN PENGADAAN

7. Spesifikasi teknis pekerjaan mengarah kepada salah satu calon penyedia jasa

Waluyo, 2010

Suswinarno, A.K, 2012 Sutedi, A, 2014 Alfian, 2015 Udoyono, K, 2009 TAHAP PENYUSUNAN DOKUMEN PENGADAAN (lanjutan)

8. Persyaratan kualifikasi yang ditetapkan tidak mengacu persyaratan minimal sesuai kebutuhan pekerjaan Tristianti, A.S, 2014 Ferdian, 2014

9. Persyaratan/kriteria tambahan untuk membatasi lelang

Perpres 54/2010 Pasal 56 Suswinarno, A.K, 2012 Effrianto, p, 2015 Alfian, 2015 10. Informasi dokumen lelang tidak objektif dan tidak rinci menjelaskan metode dan tata cara evaluasi pelelangan Waluyo, 2010 Sutedi, A, 2014

Ferdian, 2014 TAHAP PENGUMUMAN, PENDAFRTARAN DAN DOWNLOAD DOKUMEN PENGADAAN

11. Jangka waktu pengumuman tidak realistis (terlalu singkat) Perpres 54/2010 Pasal 59-62 Waluyo, 2010 Alfian, 2015

12. “Meminjam bendera” (User ID dan Password) perusahaan lain untuk mendaftar Effrianto, P, 2015 TAHAP PENYUSUNAN DOKUMEN PENGADAAN

13. Pada proses Aanwijzing, Pokja tidak segera menjawab setiap pertanyaan yang masuk (mengumpulkan) Perka LKPP No.1/2015 Nasution, S.P, 2012 TAHAP PEMASUKAN (UPLOAD) DOKUMEN PENAWARAN

14. Gangguan yang disengaja terhadap Server dan sistem aplikasi Soetanto, L.A, 2015 TAHAP PEMBUKAAN, EVALUASI DAN KLARIFIKASI DOKUMEN PENAWARAN AAN 15. Harga penawaran dan koreksi aritmatik tidak segera dimasukkan dalam SPSE Perka LKPP No.1/2015 16. Hasil evaluasi dan kualifikasi tidak ditayangkan pada SPSE Perka LKPP No.1/2015 17. Dokumen administrasi (kualifikasi) tidak memenuhi syarat dan legalitas (palsu) Perpres 54/2010 Pasal 118 Waluyo, 2010

Suswinarno, A.K, 2012 18. Adanya “Pola” penawaran peserta lelang dalam rangka persaingan tidak sehat

Perpres 54/2010 Pasal 118 Waluyo, 2010

Sutedi, A, 2014 Ferdian, 2014 TAHAP PENGUMUMAN PEMENANG

(6)

19. Pengumuman pemenang dan pemenang cadangan tidak sesuai format pada SPSE Perpres 54/2010 Pasal 80 Perka LKPP No.1/2015 Waluyo, 2010 Ferdian, 2014 TAHAP SANGGAHAN

20. Pada tahapan sanggahan, terdapat substansi sanggahan yang tidak ditanggapi

Perka LKPP No.1/2015 Waluyo, 2010

Sutedi, A, 2014 Alfian, 2015 21. Adanya bentuk negosiasi dari penyedia yang menang kepada yang tidak menang agar tidak ada sanggahan

UU Nomor 5/1999 Pasal 22 Sutedi, A, 2014

Alfian, 2015 Ferdian, 2014 TAHAP PENUNJUKAN PEMENANG

22. PPK tidak menandatangani SPPBJ Perpres 54 Pasal 85 TAHAP PENANDATANGANAN KONTRAK

23. Penundaan penandatanganan kontrak Waluyo, 2010 Sutedi, A, 2014 24. Mensubkontrakkan pekerjaan utama kepada pihak lain

Perpres 54/2010 Pasal 83 Suswinarno, A.K, 2012 Alfian, 2015

Effrianto, P, 2015 25. Penandatanganan kontrak tidak dilakukan oleh pihak yang berwenang/dipalsukan Perpres 54/2010 Pasal 86

Sumber: Hasil Olahan, 2016

Metode Penelitian

Penelitian dimulai dari pengamatan terhadap tata cara pelaksanaan pemilihan jasa konstruksi secara elektronik sesuai Perpres Nomor 54 tahun 2010 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Perpres Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Juga aturan lain yang berhubungan seperti Perka LKPP Nomor 1 Tahun 2015 tentag E-Tendering. Selanjutnya, indikasi penyimpangan didapat juga melalui studi literatur dari penelitian terdahulu dan sumber lain yang relevan, seperti buku, jurnal, publikasi, maupun karya tulis ilmiah. Berdasarkan kajian literatur ini diperoleh faktor-faktor sebagai dasar untuk meyusun pertanyaan kuesioner. Setelah kuesioner disusun sebagai instrumen penelitian, disebarkan kepada kelompok kecil responden (10 orang). Skala likert yang digunakan (1-6) untuk memberikan rentang kepada responden dalam melakukan penilaian. selanjutnya dilakukan uji validitas dan reliabilitas terhadap kuesioner sebelum disebarkan

kepada responden keseluruhan. Wawancara dilakukan terhadap beberapa responden untuk mendukung data yang diperoleh. Selanjutnya, dari data yang diperoleh dilakukan analisis RII untuk mengetahui peringkat penyimpangan yang dominan, untuk diusulkan rekomendasi untuk mencegah dan mengatasi penyimpangan dominan tersebut.

Relative Important Index (RII)

RII adalah suatu analisis yang memungkinkan suatu kuantitatif relatif, dimana semakin tinggi peringkat (rating) semakin tinggi pula pengaruh/kepentingan yang diberikan oleh variabel yang dimiliki (Harjomuljadi 2009). Nilai RII dari masing-masing faktor dapat ditentukan langsung dari persamaan, sedangkan nilai kelompok indeks faktor ditentukan berdasarkan nilai rata-rata dari semua faktor. Metode perhitungan RII mengunakan rumus sebagai berikut:

(7)

Dimana: W= bobot yang diberikan untuk faktor dominan dengan rentang 1-6.

A= bobot tertinggi (dalam hal ini 6)

N= jumlah responden keseluruhan

Tabel 5. Rentang Nilai RII

Karena rata-rata hasil yang diperoleh dalam bentuk angka desimal, maka perlu untuk menentukan skala penilaian. Nilai maksimum indeks adalah 6 jika semua responden menjawab "sangat penting" dan nilai minimum indeks adalah 1 jika semua responden menjawab "sangat tidak penting".

Karakteistik Responden

Responden berasal pengguna jasa yang ada di Pemerintah Daerah Kabupaten Bangka Selatan, terdiri dari:

1. Responden PPK selaku pejabat yang bertanggung jawab atas pelaksanaan

pengadaan barang/jasa (Perpres 54 Tahun 2010 Pasal 1 ayat 7) sebanyak 22 orang.

2. Responden Kelompok Kerja ULP selaku pihak yang melaksanakan pemilihan penyedia barang/jasa (Perpres 54 Tahun 2010 Pasal 15 ayat 1) sebanyak 23 orang.

Responden memiliki tingkat pengalaman berkecimpung dalam e-proc yang berbeda-beda, dapat dilihat pada gambar 2.

Gambar 2. Pengalaman Responden

Analisis RII dilakukan untuk mengetahui faktor penyimpangan penting pada proses pemilihan penyedia jasa konstruksi secara elektronik menurut pandangan/persepsi PPK dan POKJA. Dari hasil analisis dan pengolahan data terdapat tiga faktor penyimpangan pada proses pemilihan penyedia jasa konstruksi secara elektronik yang masuk kategori penting karena mempunyai nilai RII > 0,65. Hasil perhitungan RII dapat dilihat pada tabel 6.

Tabel 6. Faktor Penyimpangan dalam Proses Pemilihan Penyedia Jasa Konstruksi

Berdasarkan Penelitian Terdahulu

Kode Faktor Penyimpangan dalam Pemilihan Penyedia Jasa Konstruksi secara elektronik Nilai RII Peringkat X12 Pinjam bendera (User ID dan Password) perusahaan lain untuk

mendaftar 0.696 1

X18 Adanya “Pola” harga penawaran peserta lelang dalam rangka

persaingan tidak sehat 0.689 2

Rentang Nilai RII Interpretasi 0,00 - 0,20 Sangat Tidak Penting 0,20 - 0,35 Tidak Penting 0,36 - 0,50 Kurang Penting 0,51 - 0,65 Agak Penting 0,66 - 0,80 Penting 0,81 – 1,00 Sangat Penting 15.6% 51.1% 33.3% < 2 Tahun 2-5 Tahun > 5 Tahun

(8)

Kode Faktor Penyimpangan dalam Pemilihan Penyedia Jasa Konstruksi secara elektronik Nilai RII Peringkat X8 Persyaratan kualifikasi yang ditetapkan tidak mengacu persyaratan minimal sesuai kebutuhan pekerjaan 0.544 3 X7 Spesifikasi teknis pekerjaan mengarah kepada salah satu calon penyedia jasa 0.530 4 X22 Adanya bentuk negosiasi dari penyedia yang menang kepada

yang tidak menang agar tidak ada sanggahan 0.481 5 X9 Persyaratan/kriteria tambahan untuk membatasi lelang 0.444 6 X9 Penggabungan atau pemecahan pemaketan tidak sesuai ketentuan 0.341 7 X3 Dokumen administrasi (kualifikasi) tidak memenuhi syarat dan legalitas (palsu) 0.337 8 X17 Hasil evaluasi dan kualifikasi tidak ditayangkan pada SPSE 0.330 9 X16 Perubahan jadwal tidak disertai alasan yang dapat dipertanggungjawabkan 0.319 10

X6 Mensubkontrakkan pekerjaan utama kepada pihak lain 0.319 10

Dari hasil analisis RII diketahui peringkat tertinggi faktor penyimpangan dalam pemilihan penyedia jasa konstruksi secara elektronik berada dalam kategori “penting”

(0,65>RII<0,80), tidak sampai menjangkau “sangat penting” (RII>0,80).

1) Meminjam bendera (User ID dan

Password) perusahaan lain untuk

mendaftar

Responden berpendapat bahwa Meminjam bendera (User ID dan Password) perusahaan lain untuk mendaftar merupakan faktor penyimpangan dengan kategori “penting”. Karena password seharusnya merupakan pengaman yang rahasia dank ode masuk secara elektronik.

Penyebab dari “Meminjam bendera” (User ID dan Password) perusahaan lain adalah: penyedia ingin mengikuti suatu pelelangan namun tidak memiliki kualifikasi yang dibutuhkan, hal ini dapat dilihat bahwa faktor “Mensubkontrakkan pekerjaan utama kepada pihak lain” termasuk dalam kategori “kurang penting” sehingga penyedia

memang menginginkan tender namun tidak memiliki kualifikasi yang sesuai.

Usulan penanganan sebagai upaya pencegahan yaitu 1) Pendampingan dari pengawas internal (APIP) sebagai kontrol penggunaan password perusahaan lain untuk mengikuti lelang, dan 2) Pembinaan dan peningkatan kapasitas (capacity

building) kontraktor lokal. Dalam hal

peningkatan capacity building kontraktor, pemerintah perlu melakukan pembinaan dan komunikasi dua arah, sehingga tepat sasaran. 3) Pemda juga perlu mendorong tumbuhnya kontraktor baru yang siap

0 0 0,2 0,35 0,50 0,65 0,80 1,00 Sangat Tidak Penting Tidak Penting Kurang Penting Agak Penting Penting Sangat Penting 0,696

(9)

dengan tuntutan kebutuhan konstruksi di daerah melalui komunikasi dua arah dan sinergi dengan asosiasi jasa konstruksi untuk meningkatkan daya saing kontraktor lokal. 4) Diperlukan penyederhanaan proses, izin yang pasti dan cepat serta kewajaran pajak yang harus dibayar kontraktor. 5) mengganti password menggunakan data forensik, seperti finger

print, scan wajah/retina yang terintegrasi dengan SPSE sehingga proses pendaftaran hanya dapat dilakukan oleh perusahaan yang bersangkutan.

2) Adanya “Pola” harga penawaran peserta

lelang dalam rangka kolusi/persaingan tidak sehat

Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Pasal 22 yang menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Dalam Perpres 54 Tahun 2010 Pasal 118 ayat 1 huruf b bahwa salah satu perbuatan atau tindakan penyedia yang dikenakan sanksi adalah melakukan persekongkolan dengan penyedia barang/jasa lain untuk mengatur harga penawaran diluar prosedur pelaksanaan pengadaan barang/jasa, sehingga menghambat/memperkecil dan/atau meniadakan persaingan yang sehat. Sanksi yang diberikan berupa pencairan jaminan penawaran dan disetorkan ke kas negara, serta diusulkan daftar hitam kepada KPA. Dalam pelaksanaan proses pemilihan, Pokja ULP memiliki wewenang untuk melakukan tindakan sesuai Perpres 54 Tahun 2010 Pasal 83 ayat (1) huruf e, dan menyatakan pelelangan gagal apabila dalam evaluasi penawaran ditemukan bukti/indikasi terjadi persaingan tidak sehat. Penjelasan indikasi terjadi persaingan tidak sehat dalam hal ini persekongkolan antar

Penyedia Barang/Jasa harus dipenuhi sekurang-kurangnya 2 (dua) indikasi berikut:

1. Terdapat kesamaan dokumen teknis, antara lain: metode kerja, bahan, alat, analisa pendekatan teknis, harga satuan, dan/atau spesifkasi barang yang ditawarkan (merk/tipe/jenis) dan/atau dukungan teknis.

2. seluruh penawaran dari Penyedia mendekati HPS.

3. adanya keikutsertaan beberapa Penyedia Barang/Jasa yang berada dalam 1 (satu) kendali.

4. adanya kesamaan/kesalahan isi dokumen penawaran, antara lain kesamaan/kesalahan pengetikan, susunan, dan format penulisan.

5. jaminan penawaran dikeluarkan dari penjamin yang sama dengan nomor seri yang berurutan.

Dari uraian di atas, pokja ULP harus dapat bertindak tegas jika mengetahui indikasi pengaturan/persekongkolan dan mengoptimalkan wistleblower system yang ada. Perlu dilakukan pendampingan dan konsolidasi APIP dan Bagian Hukum dalam proses pengadaan, sehingga penguatan APIP

0 0 0,2 0,35 0,50 0,65 0,80 1,00 Sangat Tidak Penting Tidak Penting Kurang Penting Agak Penting Penting Sangat Penting 0,689

(10)

mutlak diperlukan, tidak hanya ketika ada permasalahan tapi lebih bisa mencegah. Selain itu, peran asosiasi-asosiasi perlu ditingkatkan dalam menjaga iklim persaingan usaha yang sehat.

Kesimpulan

1. Secara umum pada proses pelaksanaan

e-proc dalam pemilihan penyedia jasa

konstruksi sudah baik, dibuktikan dengan adanya RUP, penggunaan hari dan jam kerja untuk batas akhir tahapan, pakta integritas, pengumuman pemenang, SPPBJ, transparansi harga penawaran dan koreksi aritmatik dalam SPSE, proses aanwijzing dan substansi sanggah merupakan faktor penyimpangan dalam kategori “kurang penting” (RII < 0,5), sehingga responden menganggap bukan termasuk penyimpangan.

2. Terdapat dua faktor penyimpangan yang dianggap penting dalam pengadaan secara elektronik (RII > 0,65), yaitu: 1) Pinjam bendera (User ID dan Password) perusahaan lain untuk mendaftar, dan 2) Adanya “Pola” penawaran peserta lelang dalam rangka persaingan tidak sehat

3. Usulan penanganan berupa 1) Pendampingan/konsolidasi pengawas internal (APIP) dalam pelaksanaan pemilihan dengan memperkuat kompetensi APIP , 2) Pembinaan dan peningkatan kapasitas (capacity

building) kontraktor dengan

memperjelas perizinan dan skema perpajakan yang wajar, dan 3) mendorong tumbuhnya kontraktor baru yang siap dengan tuntutan kebutuhan konstruksi di daerah melalui komunikasi dua arah dan sinergi dengan asosiasi jasa konstruksi untuk

meningkatkan daya saing kontraktor lokal.

Saran

1. Perlu komitmen yang kuat dari semua pihak agar tidak terjadi penyimpangan dalam pengadaan barang/jasa, karena pakta integritas saja tidaklah cukup. 2. Peningkatan sistem pengawasan

internal dan peningkatan kapasitas SDM pengadaan sehingga dapat terhindar dari penyimpangan.

3. Peran asosiasi-asosiasi jasa konstruksi perlu ditingkatkan dalam menjaga iklim persaingan usaha yang sehat. Untuk penelitian selanjutnya agar melihat persepsi dari penyedia jasa sehingga mendapatkan hasil penelitian berimbang antara pengguna dan penyedia jasa.

Daftar Pustaka

Alfian. (2015), “Pemetaan Jenis dan Risiko Kecurangan Dalam Audit Pengadaan Barang dan Jasa”, Jurnal Pengadaan, Vol.4 Nomor 1ISSN 2089-2861

Aprizal. (2013), “Akuntabilitas Publik Dalam Pelaksanaan E-Proc di Kota Pangkalpinang”, Jurnal Kebijakan &

Administrasi Publik JKAP, Vol 18, No 1

ISSN 0852-9213

Arumsari, Totok P. (ND), “Audit atas Pelaksanaan Lelang secara Elektronik dalam Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah”, (http://www.bpkp.go.id diakses tanggal 17 Juli 2016)

Effrianto, P. (2015), Kiat-Kiat Terhindar dari

Korupsi pada Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Smart, Cetakan I.

Hal.295

Ferdian. (2014), “Kajian Pelaksanaan Pengadaan Jasa Konstruksi Melalui Layanan Pengadaan Secara Elektronik

(11)

(LPSE) Pada Unit Layanan Pengadaan (ULP) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung”, Tesis, Universitas Katolik Parahyangan

Hardjomuljadi, S. (2009), Strategi Pra Kontrak Untuk Mengurangi Dampak Klaim Konstruksi Pada Proyek Pusat Listrik Tenaga Air Di Indonesia, Disertasi, Universitas Tarumanagara Komisi Pemberantasan Korupsi. (2007),

“Mencegah Korupsi Melalui e-Procurement, Meninjau Keberhasilan Pelaksanaan e-Procurement di Pemerintah Kota Surabaya”. Hal.48. (http://acch.kpk.go.id diakses tanggal 30 Juli 2016)

Komisi Pengawas Persaiangan Usaha. (2009), Pedoman Pasal 22 tentang Larangan Persengkongkolan Dalam Tender berdasarkan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, hal. 15

Susila, A. (2012), “Mencermati Rancangan

Undang-Undang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah”. Jurnal AKP vol.1

No. 1. Februari 2012

Suswinarno. A.K. (2012), Aman dari Resiko

dalam Pengadaan Barang/Jasa

Pemerintah, Visi Media. Jakarta. Hal.21

Syarifuddin. (2015), “Implementasi Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Secara E-Procurement pada Dinas Cipta Karya, Perumahan dan Tata Ruang Daerah Sulawesi Tengah”.

E-Jurnal Katalogis, Volume 3 Nomor 11

hal. 25

Sutedi, A. (2014), Pengadaan Barang/Jasa

dan Berbagai Permasalahannya. Sinar

Grafika, Jakarta, Edisi Kedua. Hal 254 Udoyono, K. (2009), E-Procurement dalam

Pengadaan Barang dan Jasa untuk Mewujudkan Akuntabilitas di Kota Yogyakarta, Jurnal Studi

Pemerintahan Vol.3 No.1 http//dx.doi.org/10.19196/jpg.2012. 0008

Waluyo. (ND): Penyimpangan dalam Pengadaan Barang dan Jasa. Inhouse Training Kementerian Pekerjaan Umum

Wibowo, R.A. (2015), “Mencegah Korupsi Pengadaan Barang Jasa (Apa yang Sudah dan yang Masih Harus Dilakukan?)”, Jurnal Integritas, Vol 1, Nomor 1, KPK

Zulmi, F. dan Salomo, R.V. (2013), Transparansi dalam E-Procurement di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Tanggerang Selatan. http://lib.ui.ac.id/naskahringkas/201 5-09/S47589-Fajrin%20Zulmi. Aturan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Pasal 22

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Peraturan Kepala LKPP Nomor 1 Tahun

(12)

Referensi

Dokumen terkait

Poros silinder pengupas biji kopi basah ini adalah memakai bahan karet dengan pisau pengupas terbuat dari plat berbahan baja yang disusun.. Alasan pemakaian rol

[r]

[r]

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum no.60/PRT/1992 tentang Persyaratan Teknis Pembangunan Rumah Susun.. Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 11 Tahun 2004 Tentang Rencana

 Menserasikan gerakan dengan bacaan shalat fardlu..  Mau melaksana- kan shalat fardlu dengan

Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa orang guru, pada kenyataannya dalam proses penerapan kurikulum 2013 siswa lebih banyak dituntut untuk mengeksplor sendiri suatu

bahwa peraturan daerah Kota Maratam Nomor 7 Tahun 2002 tentang Retribusi lzin Keselamatan dan Kesehatan Kerja dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun

(2) Retribusi terhutang sebagaimana dimaksud ayat (1) terjadi pada saat orang pribadi atau badan usaha memperoleh izin gangguan dari Bupati.. Pasal 13 Pungutan