• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sintesis ZSM-5 berbahan dasar kaolin Bangka dengan menggunakan TPABr sebagai templat organik : variasi waktu aging

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Sintesis ZSM-5 berbahan dasar kaolin Bangka dengan menggunakan TPABr sebagai templat organik : variasi waktu aging"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

i SKRIPSI

SINTESIS ZSM-5 BERBAHAN DASAR

KAOLIN BANGKA DENGAN

MENGGUNAKAN TPABr SEBAGAI

TEMPLAT ORGANIK : VARIASI WAKTU

AGING

MAULITA DISMAYANDA NRP 1411 100 112 Pembimbing

Prof. Dr. Didik Prasetyoko, M.Sc.

JURUSAN KIMIA

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Surabaya 2015

(2)

ii SCRIPT

SYNTHESIS OF ZSM-5 FROM KAOLIN

BANGKA WITH TPABr AS ORGANIC

TEMPLATE : VARIOUS AGING TIME

MAULITA DISMAYANDA NRP 1411 100 112

Supervisor

Prof. Dr. Didik Prasetyoko, M.Sc.

DEPARTMENT OF CHEMISTRY

Faculty of Mathematics and Natural Sciences Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Surabaya 2015

(3)
(4)

vi AGING

Nama : Maulita Dismayanda

NRP : 1411100112

Jurusan : Kimia FMIPA-ITS

Dosen Pembimbing : Prof. Dr. Didik Prasetyoko, M.Sc

Abstrak

Sintesis ZSM-5 berbahan dasar kaolin Bangka sebagai sumber silika dan alumina dengan menggunakan TPABr sebagai templat organik telah dipelajari. ZSM-5 disintesis untuk membandingkan pengaruh waktu aging 6, 12, dan 24 jam menggunakan metode hidrotermal pada suhu 175°C dengan variasi waktu kristalisasi 12, 24, 36, dan 48 jam. Komposisi molar yang digunakan untuk sintesis ZSM-5 pada penelitian ini adalah 10Na2O : 100SiO2 : 2Al2O3 : 1800H2O : 20TPABr. Padatan hasil sintesis dikarakterisasi menggunakan teknik difraksi sinar-X (XRD), spektroskopi inframerah (FTIR), dan SEM-EDX yang menunjukkan bahwa ZSM-5 telah terbentuk saat waktu kristalisasi 12 jam pada semua variasi waktu aging. ZSM-5 dengan kristalinitas tertinggi didapatkan pada waktu aging 12 jam dengan waktu kristalisasi 36 jam. Kristalinitas semakin meningkat seiring dengan bertambahnya waktu aging namun ukuran partikel dan rasio Si/Al semakin menurun.

(5)

vii

Name : Maulita Dismayanda

NRP : 1411100112

Department : Kimia FMIPA-ITS

Supervisor : Prof. Dr. Didik Prasetyoko, M.Sc

Abstract

Synthesis of ZSM-5 from kaolin Bangka as silica and alumina sources with TPABr as organic template had been studied. ZSM-5 was synthesized to compare the effect of aging time 6, 12, and 24 hours using hydrothermal method in 175°C with variation of cristallization time 12, 24, 36, and 48 hours. Molar compotition that used for ZSM-5 synthesis in this research were 10Na2O : 100SiO2 : 2Al2O3 : 1800H2O : 20TPABr. The solid result were analyzed using X-ray diffraction (XRD), infrared spectroscopy (FTIR), and SEM-EDX which showed that ZSM-5 had been formed at the time 12 hours of crystallization by all variation of aging time. ZSM-5 with the highest crystallinity was produced using 12 hours of aging and 36 hours of crystallization. Cristallinity increased along with increasing aging time but the partical size and ratio of Si/Al decreased.

(6)

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang selalu melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini yang berjudul “Sintesis ZSM-5 Berbahan Dasar Kaolin Bangka dengan Menggunakan TPABr Sebagai Templat Organik : Variasi Waktu Aging”. Dengan penuh kerendahan hati, penulis menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Didik Prasetyoko, M.Sc, selaku dosen pembimbing yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan selama proses penyusunan naskah tugas akhir ini.

2. Bapak Hamzah Fansuri, M.Si, Ph.D. selaku Ketua Jurusan Kimia atas fasilitas yang telah diberikan.

3. Bapak Lukman Atmaja, Ph.D, selaku kepala laboratorium Kimia Material dan Energi yang telah memberikan fasilitas selama pengerjaan tugas akhir ini.

4. Kedua orang tua dan keluarga besar saya yang selalu memberi dukungan, doa, serta semangat yang tiada henti. 5. Sahabat-sahabat saya yang tidak berhenti menyemangati

dan membantu saya dalam menyelesaikan tugas akhir ini (Shinta, Rose, Bias, Supin, Dewa, Tutu, Hani).

6. Teman-teman mahasiswa Kimia FMIPA angkatan 2011 beserta rekan-rekan seperjuangan di Laboratorium KME atas semua bantuan, semangat, dan doanya.

Penulis menyadari bahwa penulisan tugas akhir ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga tugas akhir ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan pembaca.

Surabaya, 11 Juni 2015 Penulis

(7)

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

LEMBAR PENGESAHAN... iv

ABSTRAK... vi

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN... xv BAB I. PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Rumusan Masalah ... 3 1.3 Batasan Penelitian ... 3 1.4 Tujuan Penelitian ... 3 1.5 Manfaat Penelitian ... 4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Kaolin ... 5

2.2 Zeolit... 7

2.2.1 Tinjauan Umum tentang Zeolit... 7

2.2.2 Struktur Zeolit... 7

2.2.3 Klasifikasi Zeolit... 9

2.2.3 Templat Organik... 10

2.3 ZSM-5 ... 11

2.4 Sintesis ZSM-5... 12

2.5 Pengaruh Waktu Aging..... 13

2.6 Pengaruh Waktu Kristalisasi... 16

2.7 Karakterisasi ZSM-5... 17

(8)

x

2.7.2 Spektroskopi Inframerah (FTIR)... 19

2.7.3 Scanning Electron Microscopy – Energy Dispersive X-Ray (SEM-EDX)... 21

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN…... 23

3.1 Alat dan Bahan ... 23

3.1.1 Alat dan Instrumen... 23

3.1.2 Bahan ... 23

3.2 Prosedur Kerja ... 24

3.2.1 Preparasi ZSM-5... 24

3.2.2 Sintesis ZSM-5... 24

3.3 Karakterisasi Hasil Sintesis... 25

3.3.1 Difraksi Sinar-X (XRD)... 25

3.3.2 Spektroskopi Inframerah (FTIR)... 25

3.3.3 Scanning Electron Microscopy – Energy Dispersive X-Ray (SEM-EDX)... 25

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 27

4.1 Sintesis ZSM-5... 27

4.2 Karakterisasi ZSM-5 ... 29

4.2.1 Difraksi Sinar-X... 29

4.2.2 Spektroskopi Inframerah (FTIR)... 37

4.2.3 Scanning Electron Microscopy – Energy Disparsive X-Ray (SEM-EDX)... 43

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 47

5.1 Kesimpulan ... 47

5.2 Saran ... 47

DAFTAR PUSTAKA ... 49

(9)

xi

(10)

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Pengaruh waktu aging pada sintesis B-ZSM-5 (Abrishamkar dkk., 2010)... 16 Tabel 4.1 Hubungan waktu aging terhadap kristalinitas

sampel... 35 Tabel 4.2 Bilangan gelombang dalam cm-1 dari spektra

inframerah sampel dengan variasi waktu aging dan waktu kristalisasi... 39 Tabel 4.3 Hasil EDX dari sampel ZSM-5 dengan

(11)

xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Struktur kaolin (Prasad dkk., 1991)... 5 Gambar 2.2 Unit pembangun primer zeolit (a)

Tetrahedral TO4; (b) Tetrahedral TO4 yang

saling dihubungkan oleh atom O (Xu dkk., 2007)... 8 Gambar 2.3 Unit pembangun sekunder dari struktur

zeolit (Baerlocher dkk., 2011)... 9 Gambar 2.4 Struktur MFI dari ZSM-5 (McCusker &

Baerlocher, 2005)…...………...

12

Gambar 2.5 Sistem pori ZSM-5 (Mastai dkk, 2012)... 12 Gambar 2.6 SEM dari ZSM-5 dengan variasi waktu

aging 0 jam (A) 3 jam (B) 48 jam (C) dengan skala bar mewakili 1μm (Ren dkk., 2012)... 15 Gambar 2.7 Ilustrasi difraksi sinar-X (Skoog dkk.,

1998)... 18 Gambar 2.8 Pola difraksi sinar-X dari ZSM-5 (Treacy &

Higgins, 2001)... 19 Gambar 2.9 Spektra inframerah dari 5 (1);

ZSM-11 (2); ZSM-ZSM-11 (3) (Coudurier dkk., 1982). 21 Gambar 2.10 Gambar SEM dari ZSM-5 dengan templat

TPABr (Yaripour dkk., 2015)... 22 Gambar 4.1 Pola difraktogram sampel (a) kaolin (b)

ZSM-5 pada waktu kristalisasi 12 jam (c) 24 jam (d) 36 jam (e) 48 jam dengan waktu aging 6 jam... 31 Gambar 4.2 Pola difraktogram sampel (a) kaolin (b)

ZSM-5 pada waktu kristalisasi 12 jam (c) 24 jam (d) 36 jam (e) 48 jam dengan waktu aging 12 jam... 32 Gambar 4.3 Pola difraktogram sampel (a) kaolin (b)

ZSM-5 pada waktu kristalisasi 12 jam (c) 24 jam (d) 36 jam (e) 48 jam dengan waktu

(12)

xiii

aging 24 jam... 33 Gambar 4.4 Grafik pembentukan fasa tiap waktu

kristalisasi pada waktu aging (a) 6 jam (b) 12 jam (c) 24 jam... 36 Gambar 4.5 Spekra inframerah kaolin (a), sampel pada

wakru kristalisasi 12 jam (b), 24 jam (c), 36 jam (d), 48 jam (e) dengan waktu aging 6 jam... 40 Gambar 4.6 Spekra inframerah kaolin (a), sampel pada

wakru kristalisasi 12 jam (b), 24 jam (c), 36 jam (d), 48 jam (e) dengan waktu aging 12 jam... 41 Gambar 4.7 Spekra inframerah kaolin (a), sampel pada

wakru kristalisasi 12 jam (b), 24 jam (c), 36 jam (d), 48 jam (e) dengan waktu aging 24 jam... 42 Gambar 4.8 Morfologi ZSM-5 dengan waktu aging 6

jam (a) dan waktu aging 12 jam (b) saat kristalisasi 24 jam... 44 Gambar 4.9 Persebaran unsur dari sampel ZSM-5

dengan waktu kristalisasi 24 jam pada waktu aging (a) 6 jam (b) 12 jam... 45

(13)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A. Skema Kerja... 57 Lampiran B. Perhitungan Komposisi Molar Larutan

Sintesis ZSM-5... 62 Lampiran C. Data Karakterisasi ... 64

(14)

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Zeolit merupakan kristal mikropori yang terdiri atas tetrahedral silika (SiO4

4-) dan alumina (AlO4

5-) dengan rongga yang terbuka atau berpori (Cheetham & Day, 1992). Zeolit banyak digunakan sebagai katalis dalam industri, agen penukar ion untuk pemurnian air dan perawatan limbah, adsorben, dan lain sebagainya (Breck, 1984). Sintesis zeolit dapat dilakukan dengan penambahan bahan-bahan yang banyak mengandung alumino silikat seperti kaolin, abu layang, abu sekam padi, dan lain-lain (Liu dkk., 2003; Rayalu dkk., 2000; Panpa & Jinawath, 2009).

Salah satu jenis zeolit yang cukup penting, ZSM-5 (Zeolite Socony Mobil-5) merupakan jenis zeolit yang memiliki aktifitas katalis tinggi sehingga banyak sekali diaplikasikan dalam proses cracking (perengkahan), alkilasi, dan lain-lain (Chen dkk., 1996). Kerangka MFI pada ZSM-5 tersusun dari unit pentasil yang disusun secara paralel membentuk sistem pori tiga dimensi (McCusker & Baerlocher, 2005). Setiap lapis kerangka memiliki pori terbuka yang terdiri dari 10 atom oksigen. Sistem pori dari ZSM-5 memiliki dua tipe yaitu saluran berbentuk bulat panjang dan lurus serta saluran berbentuk zig zag yang saling tegak lurus terhadap saluran pertama (Mastai dkk., 2012).

Keberadaan kation diketahui sangat penting dalam proses sintesis zeolit. Kation Na+ biasa digunakan sebagai ion penyeimbang kerangka yang bermuatan negatif dalam zeolit ZSM-5, sedangkan kation TPA+ biasa digunakan sebagai agen pengarah struktur (Jung dkk., 1998). Tetrapropil amonium bromida (TPABr) merupakan salah satu jenis templat organik yang sering digunakan untuk sintesis ZSM-5 (Aramburo dkk., 2011).

(15)

Kaolin mengandung alumino silikat hidrat, sehingga dapat digunakan sebagai bahan utama dalam sintesis zeolit. Terdapat dua cara untuk mengaktivasi silika dan alumina di dalam kaolin, yaitu : (1) aktivasi termal pada kaolin, (2) reaksi hidrotermal dengan media larutan alkali (Alkan dkk., 2005). Liu dkk. (2010) telah mensintesis zeolit ZSM-5 berbahan dasar metakaolin. Kaolin dikalsinasi pada suhu 700°C dan 950°C selama 4 jam untuk menghasilkan metakaolin yang digunakan sebagai sumber silika dan alumina. ZSM-5 berbahan dasar kaolin Bangka secara langsung telah disintesis oleh Rustam (2013). Menurut data XRF, kaolin Bangka mengandung 47% silika (SiO2) dan 22% alumina (Al2O3).

Penambahan Ludox dilakukan untuk sumber silika tambahan. Templat organik yang digunakan berupa TPABr. Fasa kristal yang terbentuk tidak hanya ZSM-5 tetapi juga analsim.

Sintesis zeolit dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti sumber reagen, rasio Si/Al, alkalinitas, kadar H2O,

kation anorganik, templat organik, suhu, aging, dan pengadukan (Cejka dkk., 2007). Proses aging merupakan tahapan pencampuran dari reagen (Zhdanov & Samulevich, 1980). Waktu aging akan mempengaruhi hasil produk yang diperoleh dari sintesis, seperti kristalinitas, kecepatan kristalisasi, dan ukuran partikel (Goncalves dkk., 2008; Abrishamkar dkk., 2010; Ren dkk., 2012).

Zeolit B-ZSM-5 telah disintesis oleh Abrishamkar dkk. (2010) dengan melakukan variasi waktu aging 10 hingga 40 jam. Penelitian ini menunjukkan bahwa waktu aging yang semakin lama dapat mempercepat proses kristalisasi. Sintesis dengan waktu aging 40 jam telah mengurangi waktu kristalisasi menjadi 72 jam dari 96 jam dengan waktu aging 10 jam. Selain itu, kristalinitas produk juga meningkat dengan semakin meningkatnya waktu aging (Abrishamkar dkk., 2010). ZSM-5 yang telah disintesis oleh Goncalves dkk. (2008) menunjukkan bahwa waktu aging mempengaruhi pembentukan prekursor ZSM-5 primer, sehingga waktu aging

(16)

yang semakin lama dapat meningkatkan kristalinitas produk yang dihasilkan. Ren dkk. (2012) telah meneliti pengaruh waktu aging pada sintesis ZSM-5. Ia melaporkan bahwa proses aging tidak mengubah morfologi kristal tetapi mempengaruhi ukuran kristal produk yang dihasilkan. Pertumbuhan inti kristal terjadi selama proses aging,sehingga waktu aging yang semakin lama akan memperbanyak inti kristal yang terbentuk (Ren dkk., 2012). Oleh karena itu, dilakukan sintesis ZSM-5 berbahan dasar kaolin Bangka pada penelitian ini dengan variasi waktu aging 6, 12, dan 24 jam untuk lebih mempelajari pengaruhnya terhadap sintesis ZSM-5.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan beberapa penelitian di atas menunjukkan bahwa aging merupakan salah satu proses yang berpengaruh dalam sintesis zeolit ZSM-5. Permasalahan yang timbul dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh waktu aging terhadap pembentukan ZSM-5 dari kaolin Bangka dengan variasi waktu kristalisasi pada setiap waktu aging-nya.

1.3 Batasan Penelitian

Batasan dalam penelitian ini yaitu :

1. Sintesis ZSM-5 menggunakan kaolin Bangka, NaOH, Ludox, air demineralisasi dan TPABr.

2. Variasi waktu aging dalam sintesis ZSM-5 adalah 6, 12, dan 24 jam.

3. Sintesis ZSM-5 dilakukan melalui proses hidrotermal dengan variasi waktu kristalisasi yaitu 12, 24, 36, dan 48 jam.

4. Karakterisasi produk hasil sintesis dilakukan dengan teknik difraksi sinar-X (XRD), spektroskopi inframerah, dan SEM-EDX.

(17)

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh variasi waktu aging terhadap pembentukan ZSM-5 yang berbahan dasar kaolin Bangka

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini mempunyai beberapa manfaat antara lain :

1. Memberi informasi baru dalam bidang kimia, khususnya mengenai metode dan bahan dasar sintesis ZSM-5.

2. Mengetahui pengaruh waktu aging dalam proses sintesis ZSM-5.

3. Sebagai bahan kajian untuk peneliti lain untuk mengembangkan ide baru.

(18)

5

2.1 Kaolin

Kaolin merupakan mineral alam berwarna putih, termasuk dalam salah satu jenis tanah lempung (clay)dengan

komponen utama berupa hidrat aluminium silikat (2H2O.Al2O3.2SiO2). Struktur dari kaolin terdiri dari oktahedral alumina dan tetrahedral silika yang ditumpuk secara bergantian. Kristal kaolin membentuk simetri pseudo heksagonal. Rumus teoritis dari kaolin adalah Si2Al2O5(OH)4 dan memiliki komposisi teoritis 46,54% SiO2, 39,5% Al2O3, 13,96% H2O (Prasad dkk., 1991). Susunan atom dalam kaolin ditunjukkan pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Struktur kaolin (Prasad dkk., 1991) Mineral yang termasuk di dalam kelompok kaolin diantaranya adalah kaolinit, nakrit, dikrit, dan haloisit (Prasad dkk., 1991). Terdapat dua macam jenis endapan kaolin, yaitu residual dan sedimen. Endapan jenis residual adalah hasil alterasi hidrotermal pada batuan granit, sedangkan endapan jenis sedimenter merupakan kaolin yang telah mengalami perpindahan oleh air, angin, glester, dan telah bercampur dengan bahan lain seperti oksida besi dan titanium.

Fasa Kaolinit

(19)

Jumlah kaolin yang terdapat di Indonesia kurang lebih sebanyak 1 milyar ton. Keberadaan kaolin banyak tersebar di Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Bangka dan Belitung. Selain itu cadangan lainnya juga terdapat di Pulau Sumatera, Jawa, dan Sulawesi Utara. Pulau Bangka dan Belitung terkenal dengan hasil tambang berupa timah dan kaolin. Permintaan akan kaolin Bangka sangat besar mengingat kaolin dapat dimanfaatkan di banyak bidang industri. Kaolin Bangka memiliki keunggulan kandungan besi dan titanium yang rendah.

Kaolin memiliki banyak kegunaan di bidang industri karena permukaannya berwarna putih, memiliki partikel yang halus, bersifat hidrofilik, serta memiliki konduktivitas panas dan listrik yang rendah (Prasad dkk., 1991). Kegunaan kaolin terbanyak yaitu pada industri kertas dimana kaolin digunakan sebagai bahan pengisi (filler) dan sebagai bahan pelapis

(coating). Pada industri keramik, kaolin digunakan sebagai

bahan utama dalam pembuatan keramik (Murray, 1980). Selain itu, kaolin juga digunakan dalam industri cat, plastik, katalis, karet, dan lain-lain (Murray, 2006).

Kandungan alumino silikat hidrat yang terkandung dalam kaolin membuat mineral ini dimanfaatkan sebagai material dalam sintesis zeolit setelah sintesis zeolit A berhasil dilakukan pada 1988 oleh Costa, dkk. Pada penelitian tersebut dilakukan kalsinasi kaolin sebagai sumber silika dan alumina pada suhu 900°C untuk mengubah kaolin menjadi metakaolin (Costa dkk., 1988). Proses kalsinasi bertujuan untuk menghilangkan gugus OH serta penyusunan kembali ion Si dan Al. Penelitian terus berkembang dalam pemanfaatan kaolin untuk sintesis zeolit, seperti zeolit-13X, zeolit-β, dan ZSM-5 (Lucas dkk., 1992; Shen dkk., 2009; (Wang dkk., 2007 ).

(20)

2.2 Zeolit

2.2.1 Tinjauan Umum tentang Zeolit

Zeolit secara umum merupakan mineral alumino silikat hidrat yang memiliki struktur tetrahedral TO4 (T = Si dan Al), berstruktur tiga dimensi yang membentuk kerangka tertentu dan tersusun atas kation berupa logam alkali atau alkali tanah (Xu dkk., 2007). Pada rongga-rongga zeolit terdapat kation-kation dan molekul air. Zeolit memiliki rongga yang berukuran molekular sehingga memungkinkan terjadinya pertukaran kation atau penyaringan molekul (Wise, 2013 ).

Saat ini zeolit tersedia dalam jumlah yang sangat besar dan digunakan untuk beragam aplikasi. Kebanyakan zeolit dimanfaatkan sebagai penukar kation dalam detergen. Ion kalsium dan magnesium dari kandungan air dihilangkan dengan penukaran kation terhadap ion natrium yang tersedia dalam zeolit. Zeolit dapat juga digunakan sebagai adsorben yang baik karena memiliki ukuran pori yang spesifik (Flanigen, 2001). Zeolit memiliki peranan penting dalam dunia industri seperti cracking dan petrokimia yang

digunakan sebagai katalis (Cejka dkk.,2002).

2.2.2 Struktur Zeolit

Zeolit merupakan mineral mikropori yang terdiri atas tetrahedral silika (SiO44-) dan alumina (AlO45-) dengan rongga terbuka atau berpori. Kerangka pada zeolit bermuatan negatif, oleh karena itu perlu dinetralkan dengan kation-kation yang terikat lemah dari golongan logam alkali atau alkali tanah yang menempati rongga-rongga pada zeolit, seperti ion natrium (Na+), kalium (K+), atau kalsium (Ca2+). Selain kation, rongga-rongga pada zeolit juga diisi oleh molekul-molekul air. Setiap kerangka zeolit dihubungkan oleh oksigen sehingga membentuk kerangka tiga dimensi (Cheetham & Day, 1992).

(21)

Struktur zeolit dibagi menjadi dua jenis unit pembangun, yaitu unit pembangun primer (Primery Building Units, PBU) dan unit pembangun sekunder (Secondary Building Units, SBU). Unit pembangun primer pada zeolit

adalah kerangka tetrahedral TO4 yang saling terhubung membentuk struktur tiga dimensi seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.2. Atom T pada zeolit pada umumnya adalah Si, Al, atau P. Namun, dalam beberapa kasus juga terdapat atom-atom lain seperti B, Ga, Be, dan Ge. Unit pembangun sekunder merupakan suatu kerangka yang terbentuk dari gabungan tetrahedral-tetrahedral dari unit pembangun primer seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 2.3.

Gambar 2.2 Unit pembangun primer zeolit (a) Tetrahedral TO4; (b) Tetrahedral TO4 yang saling dihubungkan oleh atom O (Xu dkk., 2007) Diameter pori dan rongga dari zeolit berukuran 0,3 nm sampai dengan 1,2 nm. Ukuran diameter pori secara pasti tentunya berbeda pada masing-masing jenis zeolit tergantung koordinasi dan jumlah kation maupun anion yang tersedia dalam cincin. Salah satu contohnya zeolit Y (FAU) adalah zeolit tiga dimensi dengan ukuran rongga besar yang dibangun oleh sodalit dan terdapat enam cincin ganda dengan sistem 12 cincin pori yang saling berhubungan. Di dalamnya terdiri dari 12 kation (Si4+ dan Al3+) dan 12 anion O2-, tipe ini memiliki ukuran pori sebesar 0,74 nm (Baerlocher dkk., 2001). Beberapa jenis kerangka zeolit yang lain adalah sodalit (SOD), zeolit A (LTA), EMC-2 (EMT), kabasit (CHA),

(22)

ZSM-5 (MFI), ZSM-11 MEL), mordenit (MOR), MCM-22 (MWW), zeolit beta (*BEA), dan TNU- 9 (TUN) (Cejka dkk., 2007).

Gambar 2.3 Unit pembangun sekunder dari struktur zeolit (Baerlocher dkk., 2001)

2.2.3 Klasifikasi Zeolit

Zeolit memiliki lebih dari 50 macam yang telah teridentifikasi dan masih akan terus bertambah. Mineral ini diklasifikasikan berdasarkan asal pembetukannya, komposisi kimia, diameter pori, dan lain-lain. Dyer (2001) menyatakan bahwa zeolit berdasarkan asal pembetukannya digolongkan menjadi dua, yaitu zeolit alam dan zeolit sintesis. Zeolit alam

3 4 6 8

Spiro-5 4-4 6-6 8-8

4-1 4=1 4-2 4-4=1

5-1 5-2 5-3

(23)

merupakan zeolit yang terbentuk akibat proses fisika dan kimia yang kompleks dari batu-batuan yang mengalami berbagai macam perubahan di alam. Beberapa jenis zeolit alam memiliki kation yang bervariasi. Berbeda dengan zeolit alam, zeolit sintesis dibuat di laboratorium dengan komposisi kimia tertentu. Zeolit sintesis memiliki karakter yang hampir sama dengan zeolit alam, namun dapat juga memiliki sifat fisis yang lebih baik (Dyer, 2001).

Rasio Si/Al merupakan salah satu karakteristik yang penting pada zeolit. Klasifikasi zeolit berdasarkan rasio silika dan alumina adalah : (1) Zeolit dengan rasio Si:Al rendah (1,0-1,5); (2) Zeolit dengan rasio Si:Al sedang (2-5); Zeolit dengan rasio Si:Al tinggi (10-tak terhingga). Zeolit memiliki diameter yang berbeda-beda, sehingga zeolit terbagi menjadi 4 golongan yaitu : zeolit pori kecil (8 cincin) berukuran 0,3-0,45 nm; zeolit pori sedang (10 cincin) berukuran 0,3-0,45-0,6 nm; zeolit pori besar (12 cincin) berukuran 0,6-0,8 nm, dan zeolit pori ekstra besar (14 cincin) berukuran 0,8-1,0 nm (Flanigen, 2001).

2.2.4 Templat Organik

Kation organik pertama kali diperkenalkan oleh Barrer dan Denny dalam proses sintesis zeolit yaitu berupa

tetrametilamonium. Penggunaan templat organik

diperbolehkan apabila rasio Si/Al besar (Barrer & Denny, 1961). Kehadiran kation organik menyebabkan terbentuknya zeolit dengan unit pembangun yang spesifik. Tetrapropil amonium bromida (TPABr) merupakan jenis templat untuk sintesis ZSM-5. Penelitian yang dilakukan oleh Rustam (2013), ZSM-5 disintesis dengan menggunakan templat organik berupa TPAOH dan TPABr. Fasa kristal yang terbentuk dari sintesisnya tidak hanya ZSM-5 tetapi juga analsim. Selain TPAOH dan TPABr juga terdapat beberapa jenis templat organik lain, seperti trietanolamin (Naskar dkk., 2012), trietilamin, n-butilamin, 1,6-diaminoheksan (Kawase

(24)

(Sang dkk., 2004). Namun, penggunaan templat tersebut tidak sebaik TPAOH dan TPABr, karena ZSM-5 yang dihasilkan memiliki luas permukaan yang kecil. Penggunaan zeolit sebagai katalis perlu dilakukan kalsinasi sebelumnya pada suhu 400-500°C untuk menghilangkan templat yang terperangkap dalam kristal mikroporinya (Ren dkk., 2012).

Penggunaan templat organik sangat diperlukan dalam sintesis zeolit agar dihasilkan produk dengan kemurnian yang tinggi. Sintesis tanpa templat memiliki beberapa kerugian seperti proses yang kompleks, luar permukaan yang relatif

kecil, membutuhkan penambahan seed, dan memiliki

stabilitas yang rendah (Jun dkk., 2013).

2.3 ZSM-5

Zeolit ZSM-5 merupakan kristalin alumino silikat dengan struktur MFI. Biasanya banyak digunakan dalam industri petroleum dan petrokimia sebagai katalis. Zeolit ini bersifat asam, memilki kestabilan termal yang tinggi dan dikenal mikropori dengan kerangka tiga dimensi (Xue dkk., 2012). Kerangka ZSM-5 merupakan bagian dari zeolit pentasil, ditemukan pertama kali pada tahun 1972 oleh Mobile Company Corporation. Diameter pori yang dimiliki

berukuran sekitar 0,5 nm atau 5 Å (Ren dkk., 2012). Perbandingan Si/Al sebagai parameter kristal zeolit selalu diatas 5 dengan unit pembangun sekunder 5-1 atau disebut juga unit pentasil. Oleh karena itu, zeolit ini deberi nama ZSM-5 (Zeolite Socony Mobil-5).

Formula kimia dari ZSM-5 adalah [Nax(H2O)16] [AlxSi96-xO192] – MFI, dengan x < 27. Kerangka MFI dari zeolit bersilika tinggi ini, terbentuk dari unit pentasil yang disusun secara paralel membentuk sistem pori tiga dimensi seperti pada Gambar 2.4 (McCusker & Baerlocher, 2005). Setiap lapis kerangka memiliki pori terbuka yang terdiri dari 10 atom oksigen. Sistem pori ZSM-5 (Gambar 2.5) memiliki dua tipe : (1) Saluran berbentuk bulat panjang dan lurus

(25)

berukuran 0,51 x 0,54 nm (2) Saluran berbentuk zig zag yang saling tegak lurus terhadap saluran pertama berukuran 0,54 x 0,56 nm (Mastai dkk., 2012).

Gambar 2.4 Struktur MFI dari ZSM-5 (McCusker & Baerlocher, 2005)

2.4 Sintesis ZSM-5

Zeolit ZSM-5 dapat disintesis melalui proses hidrotermal gel yang mengandung alumino silikat beserta pula ion tetrapropil amonium (TPA+) sebagai agen pengarah

Gambar 2.5 Sistem pori ZSM-5 (Mastai dkk., 2012) Unit

Pentasil

Rantai Pentasil

Saluran lurus

(26)

struktur (SDA) atau templat (Mastai dkk., 2012). Sumber alumino silikat bisa didapatkan dari kaolin, abu layang, abu sekam padi, dan lain-lain.

Liu dkk (2010) melakukan sintesis ZSM-5 berbahan dasar kaolin. Sebelum digunakan, kaolin tersebut diaktivasi dengan metode kalsinasi dalam muffle furnace pada suhu

700°C dan 950°C selama 4 jam. Metakaolin yang terbentuk digunakan sebagai sumber silika dan alumina. Aluminium sulfat dan natrium silika ditambahkan sebagai sumber alumia dan silika tambahan. Komposisi molar rasio yang digunakan adalah 40metakaolin (MK) : 80SiO2 : 10etilendiamin (EDA) : 1Al2O3 : 3100H2O. Pengadukan dilakukan pada suhu kamar selama 2 jam. Reaksi hidrotermal dilakukan pada suhu 180°C selama 4 jam. ZSM-5 berbahan dasar metakaolin ini memiliki altivitas katalis yang baik dengan selektifitas yang tinggi (Liu dkk., 2010).

Sintesis ZSM-5 dari kaolin Bangka secara langsung telah dilakukukan oleh Rustam (2013). Kaolin Bangka mengandung 47% silika dan 22% alumina (hasil XRF) sehingga cocok digunakan sebagai bahan dasar dalam sintesis ZSM-5 yang bersilika tinggi. Penambahan Ludox dilakukan untuk sumber silika tambahan. ZSM-5 dengan kristalinitas tinggi dihasilkan dari proses hidrotermal pada suhu 175°C selama 24 jam.

2.5 Pengaruh Waktu Aging

Aging merupakan masa dari pencampuran homogen

reagen hingga permulaan pemanasan kristalisasi. Dari penelitian-penelitian sebelumnya mengungkapkan bahwa

aging mempunyai pengaruh penting pada nukleasi dan

pertumbungan kristal dari zeolit. Pertumbuhan inti kristal dipercaya terbentuk selama masa aging (Zhdanov &

Samulevich, 1980; Twomey dkk., 1994). Walaupun proses pembentukan selama masa aging tidak dimengerti dengan

(27)

dan kristalisasi dari zeolit : (1) meningkatkan laju nukelasi; (2) mengurangi waktu kristalisasi; (3) menurunkan ukuran kristal; (4) meningkatkan jumlah kristal (Cejka dkk., 2007).

Zeolit NaY yang telah disintesis oleh Liu dkk (2003) dilakukan variasi waktu aging antara 8 hingga 14 jam.

Sintesis tersebut berbahan dasar kaolin yang diaktivasi dengan penambahan NaOH kemudian dikalsinasi pada suhu 850°C selama 3 jam. Proses aging dilakukan pada suhu kamar

dengan variasi waktu yang berbeda-beda hingga terbentuk gel. Kemudian dilakukan reaksi hidrotermal selama 24 jam pada suhu 100°C. Sampel zeolit NaY yang murni dengan kristalinitas tinggi dihasilkan saat waktu aging 12 jam namun

peningkatan waktu selanjutnya tidak didapatkan zeolit NaY. Penentuan waktu aging yang tepat sangat diperlukan untuk

pembentukan kerangka struktur dan ukuran partikel. Peningkatan waktu aging dapat menghasilkan zeolit NaY

dengan persentase kristalinitas yang semakin besar tetapi volume pori dan luas permukaan yang semakin kecil (Liu dkk., 2003).

Ren dkk. (2012) meneliti sintesis zeolit ZSM-5 dengan variasi waktu aging. Material yang digunakan antara

lain NaOH, TEOS, TPAOH, dan air demineralisasi sebagai pelarut dengan alkalinitas sebesar 0,008. Proses aging

dilakukan pada suhu kamar dengan waktu 0, 3, dan 48 jam. Reaksi hidrotermal dilakukan pada suhu 210°C selama 2 jam. Gambar 2.6 menunjukkan hasil uji SEM dari ZSM-5. Dari penilitian ini menunjukkan bahwa waktu aging tidak

mengubah morfologi kristal, tetapi ukuran kristal yang semakin kecil dengan menigkatnya waktu aging. Menurut

Ren dkk. (2012) inti kristal terbentuk selama proses aging.

Semakin lama waktu aging menghasilkan inti kristal yang

terbentuk semakin banyak. Oleh karena itu, ukuran kristal menjadi semakin kecil(Ren dkk., 2012).

(28)

Gambar 2.6 Hasil SEM ZSM-5 dengan vaiasi waktu aging 0

jam (A) 3 jam (B) 48 jam (C) dengan skala bar mewakili 1μm (Ren dkk., 2012)

Pengaruh waktu aging pada sintesis ZSM-5 juga

dijelaskan oleh Goncalves, dkk. Proses aging dilakukan pada

rentang waktu 18 hingga 72 jam dengan pemanasan suhu 30°C dan 90°C. Sampel ZSM-5 yang di-aging selama 72 jam

memiliki kristalinitas lebih tinggi dibanding sampel yang

di-aging selama 24 jam. Waktu aging mempengaruhi

pembentukan prekursor ZSM-5 primer. Semakin lama waktu

aging maka semakin banyak prekursor ZSM-5 yang terbentuk

(Goncalves, dkk., 2008).

Abrishamkar dkk (2010) melakukan sintesis B-ZSM-5 dengan variasi aging salah satunya adalah variasi waktu aging. TEOS, asam borat, natrium hidroksida, air

demineralisasi, dan TPABr digunakan sebagai bahan dalam sintesis B-ZSM-5. Setiap sampel memiliki waktu kristalisasi

yang berbeda. Sampel dengan waktu aging 10 jam

membutuhkan waktu kristalisasi 96 jam, tetapi sampel dengan waktu aging 40 jam hanya membutuhkan waktu kristalisasi 72

jam. Selain itu, ukuran pori juga semakin kecil seiring dengan bertambahnya waktu aging seperti yang ditunjukkan Tabel

2.1. Dari penelitian ini didapatkan kesimpulan bahwa waktu

aging yang semakin lama dapat mengurangi waktu kristalisasi

dan ukuran pori. Menurut Abrishamkar dkk (2010) waktu

aging mempengaruhi laju nukleasi dari zeolit sehingga

(29)

Tabel 2.1 Pengaruh waktu aging pada sintesis B-ZSM-5

(Abrishamkar dkk., 2010) Produk Waktu (jam) Aging Kristalisasi Waktu

(jam) Volume Pori Rata-rata (μm3) B-ZSM-5 10 96 65 B-ZSM-5 20 72 60 B-ZSM-5 40 72 60

2.6 Pengaruh Waktu Kristalisasi

Sejak Barrer dan Milton mempelopori sintesis zeolit, metode hidrotermal menjadi rute dasar untuk sintesis zeolit. Sintesis hidrotermal selalu mengacu pada reaksi yang terjadi di bawah kondisi suhu dan tekanan tinggi (>100°C,>1 bar) dengan pelarut air dalam sistem tertutup. Saat ini, konsep sintesis hidrotermal mencakup seluruh wilayah di atas suhu kamar dan 1 bar (Byrappa & Yoshimura, 2001; Rabenau, 1985). Metode sintesis hidrotermal tidak hanya diaplikasikan dalam pembuatan zeolit dan material berpori saja, tetapi juga konduktor superionik, sensor kimia, keramik oksida kompleks, dan bahan magnetik (Cejka dkk. 2007).

Waktu kristalisasi dipercaya dapat mempengaruhi pembentukan fasa dan kristalinitas dari ZSM-5 yang terbentuk. Kim & Chung (2003) melakukan sintesis ZSM-5 dengan variasi waktu kristalisasi antara 1 hingga 48 jam. Hasil XRD menunjukkan pada saat reaksi berjalan 1-3 jam masih belum terbentuk ZSM-5. Puncak khas ZSM-5 semakin muncul saat waktu kristalisasi lebih dari 5 jam. Hasil ini didukung pula oleh uji karakterisasi menggunakan SEM. Dari hasil SEM menunjukkan saat reaksi masih berjalan 1 jam, fasa yang terbentuk berupa gel. Bentuk kubus mulai terlihat saat kristalisasi berjalan 5 jam. Setelah 24 jam, kristal ZSM-5 benar-benar terbentuk dengan ukuran 0,8-1,5 μm namun saat

(30)

waktu kritalisasi berjalan 48 jam hanya sedikit kubus yang telihat (Kim & Chung 2003).

Sintesis ZSM-5 dengan variasi waktu kristalisasi juga dilakukan oleh Mohamed dkk. (2005). Proses kristalisasi dilakukan pada suhu 230°C dengan variasi waktu 12, 24, 45, dan 55 jam. Data XRD menunjukkan bahwa zeolit ZSM-5 dengan kristalinitas tertinggi dihasilkan dari variasi waktu 55 jam sedangkan kristalinitas terendah dihasilkan dari variasi waktu 12 jam. Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin lama waktu kristalisasi akan meningkatkan kristalinitas produk ZSM-5 yang dihasilkan (Mohamed dkk., 2005).

2.7 Karakterisasi ZSM-5 2.7.1 Difraksi Sinar-X (XRD)

Fasa kristal dari sampel zeolit dapat ditentukan dari pengukuran XRD menggunakan radiasi CuKα dengan panjang gelombang λ = 1,5405 Å pada 40 kV dan 30mA. Sudut 2θ yang digunakan untuk menditeksi fasa ZSM-5 adalah sudut pendek dengan rentang 5-50° (Zhang dkk., 2012).

Analisa XRD digunakan untuk melakukan analisis komposisi fasa atau senyawa pada material. Prinsip dasar dari XRD adalah suatu elektron ditembakkan dengan kecepatan tinggi dari katoda menuju elektron pada kulit K logam Cu di anoda yang mengakibatkan elektron tersebut terionisasi. Selanjutnya elektron di kulit α menggantikan kekosongan di kulit K dan menghasilkan sinar-X. Sinar-X dijatuhkan pada sampel padatan, lalu oleh bidang kristal akan dipantulkan dan juga diteruskan. Sinar yang dipantulkan akan menuju detektor. Hukum Bragg merumuskan tentang persyaratan yang harus dipenuhi agar berkas sinar X yang dihamburkan tersebut merupakan berkas difraksi. Ilustrasi difraksi sinar-X ditunjukkan oleh Gambar 2.7.

(31)

Gambar 2.7 Ilustrasi difraksi sinar-X (Skoog dkk., 1998) Sinar-X yang terdifraksi harus memiliki panjang gelombang yang sama dengan jarak antar kisi kristal. Hal tersebut sesuai dengan persamaan yang dituliskan oleh Bragg, yaitu :

n λ = 2 d sin θ

dimana n adalah jumlah bidang kristal, λ adalah panjang gelombang, d adalah jarak antar bidang, dan θ adalah besar sudut datang/pantul.

Data yang didapatkan dari XRD berupa pola difraksi dan nilai intensitas pada sudut-sudut tertentu dari suatu material. Setiap pola XRD yang muncul mewakili satu bidang kristal (Nugandini, 2007). ZSM-5 memiliki sudut yang khas yaitu 2θ = 7,9; 8,8; 23,1; dan 23,9° seperti yang dilaporkan oleh Treacy & Higgins (2001). Tingkat kristalinitas dari zeolit juga dapat ditentukan dari perbandingan intesitas tertinggi pada sudut 2θ = 23,1° antara sampel hasil sintesis dengan sampel standart (Cheng, dkk., 2005). Salah satu contoh pola difraksi sinar-X dari ZSM 5 ditunjukkan oleh Gambar 2.8.

Sinar-X datang

Alur sinar sefasa

(32)

Gambar 2.8 Pola difraksi sinar-X dari ZSM-5 (Treacy & Higgins, 2001)

2.7.2 Fourier Transform Infrared (FTIR)

Spektroskopi inframerah merupakan suatu alat yang digunakan untuk mengidentifikasi material, menentukan komposisi dari campuran, dan membantu memberikan informasi dalam memperkirakan struktur molekul. Sampel mengabsorpsi radiasi IR pada frekuensi yang sesuai dengan vibrasional molekuler dan meneruskan seluruh frekuensi yang lain (Sibilia, 1996).

Spektrum gelombang elektromagnetik pada

inframerah mencakup bilangan gelombang 14.000 cm-1 hingga 10 cm-1. Daerah inframerah jauh berkisar antara 400 hingga 10 cm-1, digunakan untuk menganalisis molekul yang mengandung atom-atom berat seperti senyawa anorganik. Daerah inframerah sedang berkisar antara 4.000 hingga 400 cm-1 berkaitan dengan transisi energi vibrasi dari molekul yang memberikan informasi mengenai gugus-gugus fungsi

Int ensi ta s ( cps) 2θ (°)

(33)

dalam molekul tersebut. Daerah inframerah dekat bekisar antara 12.500 hingga 4.000 cm-1 yang peka terhadap vibrasi

overtone (Barzilai dkk., 1997).

Mekanisme kerja dari alat FTIR adalah sinar yang datang dari sumber sinar akan diteruskan. Lalu sinar tersebut dipecah menjadi dua bagian yang saling tegak lurus. Sinar ini kemudian dipantulkan oleh dua cermin yaitu cermin diam dan cermin bergerak. Sinar hasil pantulan kedua cermin akan dipantulkan kembali menuju pemecah sinar untuk saling berinteraksi. Dari pemecah sinar, sebagian sinar akan diarahkan menuju cuplikan dan sebagian sinar menuju sumber. Gerakan cermin yang maju mundur akan menyebabkan sinar yang sampai pada detektor akan berfluktuasi. Sinar akan saling menguatkan ketika kedua cermin memiliki jarak yang sama terhadap detektor dan saling melemahkan jika kedua cermin memiliki jarak yang berbeda. Fluktuasi sinar yang sampai pada detektor ini akan menghasilkan sinyal pada detektor yang disebut interferogram. Interferogram inilah yang akan diubah menjadi spektra inframerah dengan bantuan komputer berdasarkan operasi matematika (Tahid, 1994).

Spektra inframerah pada ZSM-5 ditunjukkan dengan puncak-puncak khasnya di sekitar bilangan gelombang 1220, 1110, 800, 540, dan 450 cm-1. Pita serapan yang muncul pada 450 cm-1 menunjukkan vibrasi tekuk Si-O atau Al-O sedangkan pada bilangan gelombang 1220, 1110, dan 800 cm -1 menunjukkan adanya vibrasi ulur SiO

4 atau AlO4. Unit pentasil dari ZSM-5 ditandai dengan munculnya pita serapan pada bilangan gelombang 540 cm-1. Karakteristik ZSM-5 dapat ditentukan dari munculnya puncak di bilangan gelombang 1225 dan 540 cm-1 karena puncak tersebut merupakan puncak sensitif ZSM-5 (Yaripour dkk., 2015).. Gambar 2.9 merupakan salah satu contoh spektra dari ZSM-5.

(34)

Gambar 2.9 Spektra Inframerah dari ZSM-5 (1); ZSM-11 (2); ZSM-11 (3) (Coudurier dkk., 1982)

2.7.3 Scanning Electron Microscopy - Energy Dispersive X-Ray (SEM-EDX)

Karakterisasi menggunakan SEM digunakan untuk mengetahui morfologi permukaan dari sampel padat dan pengukuran secara langsung ukuran kristal. Scanning Electron Microscopy merupakan mikroskop yang mengganti fungsi

cahaya dengan elektron. Suatu berkas elektron dilewatkan pada permukaan sampel dan disinkronkan dengan berkas sinar dari tabung katoda. Pancaran elektron menghasilkan sinyal yang memodulasi berkas tersebut, sehingga akan menghasilkan gambar ke dalam bidang 300-600 kali lebih baik dari pada mikroskop optik dan juga dapat menghasilkan gambar tiga dimensi. Kebanyakan alat SEM memiliki jangkauan magnifikasi dari 20x-100.000x (Whyman, 2001).

SEM dapat dipakai untuk mengetahui struktur mikro suatu material meliputi struktur, morfologi, komposisi dan

Bilangan gelombang (cm-1) Tr ansm ita n (% )

(35)

informasi kristalografi permukaan partikel. Morfologi yang diamati oleh SEM berupa bentuk, ukuran, dan susunan partikel (Ewing, 1985).

Teknik EDX memiliki kegunaan untuk menganilisis unsur-unsur kimia yang terkandung dalam sampel. Pengukuran unsur-unsur kimia oleh EDX dilakukan dengan menganalisa pancaran sinar X-ray dari sampel yang dihasilkan dengan adanya elektron yang berpindah. Sinar elektron pada sampel diemisikan oleh sinar-X yang dibawa oleh EDX. Setiap unsur memiliki emisi sinar-X yang khas dalam energi dan panjang gelombangnya. Oleh karena itu, EDX mampu menentukan tiap unsur yang merespon emisi tersebut (Nugandini, 2007).

Gambar 2.10 Gambar SEM dari ZSM-5 dengan templat TPABr (Yaripour dkk., 2015)

Sintesis ZSM-5 dengan templat TPABr yang dilakukan oleh Yaripour dkk (2015) dikarakterisasi dengan teknik SEM. Gambar 2.10 merupakan hasil dari karakterisasi sampel ZSM-5 dengan templat TPABr. Hasil SEM menunjukkan bahwa ZSM-5 memiliki bentuk berbasis heksagonal dengan ukuran yang hampir sama.

(36)

23

Pada penelitian ini dilakukan variasi waktu aging dalam sintesis ZSM-5 dari kaolin Bangka dengan menggunakan TPABr sebagai templat organik. Hasil sintesis berupa padatan akan dikarakterisasi dengan teknik difraksi sinar-X (XRD), spektroskopi inframerah (FTIR), dan SEM-EDX.

3.1 Alat dan Bahan

3.1.1 Alat dan Instrumentasi

Peralatan yang digunakan pada penelitian ini antara lain peralatan gelas dan plastik, necara analitik, oven, peralatan autoklaf stainless steel untuk proses hidrotermal, indikator pH universal, dan pengaduk magnetik. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah XRD JOEL JDX-3530 X-rays Diffraction (XRD) untuk analisa fase kristal dan kristalinitas padatan, Fourier Transform Infrared (FTIR) Shimadzu Instrument Spectrum One 8400S untuk mengetahui framework dan gugus fungsi dalam zeolit, serta serta SEM ZEISS EVO MA 10 dan EDX BRUKER 129 EV untuk mengetahui morfologi kristal dan unsur-unsur yang terkandung dalam zeolit hasil sintesis.

3.1.2 Bahan

Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini antara lain kaolin Bangka (47% SiO2 dan 22% Al2O3), NaOH

(NaOH ≥ 99%, Merck), LUDOX (Ludox AM30, 30% SiO2

dalam air), tetrapropil amonium bromida (TPABr ≥ 99%, Merck), ZSM-5 komersial, dan air demineralisasi.

(37)

3.2 Prosedur Kerja 3.2.1 Preparasi ZSM-5

Sintesis ZSM-5 pada penelitian ini menggunakan metode hidrotermal sesuai dengan prosedur yang telah dilaporkan oleh Rustam (2013) yaitu dengan komposisi perbandingan molar 10Na2O : 100SiO2 : 2Al2O3 : 1800H2O :

20TPABr.

3.2.2 Sintesis ZSM-5

Sintesis ZSM-5 berbahan dasar kaolin Bangka dengan variasi waktu aging yaitu 6, 12, dan 24 jam dilakukan dalam penelitian ini. Bahan-bahan yang digunakan antara lain NaOH sebagai sumber ion Na+ dan agen mineralisasi, kaolin Bangka sebagai sumber alumina dan silika, Ludox sebagai sumber silika tambahan, TPABr sebagai templat organik, dan air demineralisasi sebagai sumber H2O.

Pertama-tama proses sintesis diawali dengan menimbang semua bahan yang digunakan sesuai dengan perhitungan stoikiometri. Kemudian dimasukkan setengah bagian dari air demineralisasi yang sudah ditimbang ke dalam beaker gelas sambil diaduk dengan pengaduk magnetik pada kecepatan rendah. Selanjutnya dimasukkan padatan NaOH dan diaduk hingga larut. Serbuk kaolin ditambahkan secara perlahan kedalam larutan NaOH sambil diaduk. Sisa air demineralisasi ditambahkan tetes demi tetes ke dalam campuran putih tersebut agar tidak terjadi penggumpalan. Selanjutnya ditambahkan juga Ludox secara perlahan. Penambahan Ludox juga disertai pengadukan dengan pengaduk magnetik. Setelah bahan-bahan tercampur, dilanjutkan pengadukan selama 2 jam. Kemudian ditambahkan TPABr secara perlahan dan diaduk selama 6 jam. Setelah pengadukan, campuran di-aging sesuai variasi waktu yang telah ditentukan yaitu 6 jam, 12 jam dan 24 jam, masing-masing pada suhu ruang. Campuran tersebut kemudian dimasukkan ke dalam autoklaf untuk dikristalisasi

(38)

25

melalui reaksi hidrotermal pada suhu 175˚C dengan variasi waktu kristalisasi 12, 36, 24 dan 48 jam. Setelah kristalisasi, campuran didinginkan hingga suhu ruang untuk menghentikan reaksi lalu dicuci dengan air demineralisasi hingga pH=7. Kemudian campuran disaring untuk memisahkan padatan dari pelarut. Padatan yang diperoleh dikeringkan pada suhu 110˚C selama 24 jam, lalu dikarakterisasi dengan XRD, FTIR dan SEM-EDX.

3.3 Karakterisasi Hasil Sintesis 3.3.1 Difraksi Sinar X (XRD)

Padatan hasil sintesis dianalisis dengan menggunakan difraksi sinar-X untuk mengetahui informasi tentang struktur, fasa kristal, serta tingkat kristalinitas hasil sintesis. Padatan ZSM-5 dianalisis pada sudut 2θ = 5-50° dengan difraksi sinar-X (sinar-XRD) menggunakan radiasi Cu K α (λ = 1.5405 Å) pada 40 kV dan 30 mA.

3.3.2 Spektroskopi Inframerah (FTIR)

Padatan ZSM-5 hasil sintesis dianalisis dengan spektroskopi inframerah untuk mengetahui gugus fungsi dalam material, membantu memperkirakan struktur material, serta menentukan komposisi campuran. Analisis dilakukan menggunakan FTIR Shimadzu Instrument Spectrum One 8400 S dengan metode pellet KBr. Spektrum diukur pada bilangan gelombang 4000-400 cm-1.

3.3.3 Scanning Electron Mycroscopy – Energy Dispersive X-Ray (SEM-EDX)

Analisis padatan yang didapatkan dari sintesis dengan SEM-EDX dilakukan untuk mengetahui morfologi dan kandungan unsur yang terdapat pada padatan hasil sintesis. Padatan ZSM-5 diletakkan pada alas carbon tape dan dilakukan proses coating dengan Pd/Au selama 15 menit pada tekanan 6 x 10-2 mBar.

(39)
(40)

27

4.1 Sintesis ZSM-5

ZSM-5 berbahan dasar kaolin Bangka dengan templat TPABr telah disintesis menggunakan komposisi perbandingan mol 10 Na2O : 100 SiO2 : 2 Al2O3 : 1800 H2O : 20 TPABr.

Bahan-bahan yang digunakan dalam sintesis ini antara lain kaolin Bangka sebagai sumber silika dan alumina dengan kandungan silika (SiO2) sebesar 47% dan alumina (Al2O3)

sebesar 22%, Ludox sebagai sumber silika tambahan dengan kandungan silika sebesar 30% dan H2O sebesar 70%, NaOH

sebagai sumber kation Na+,air demineralisasi sebagai sumber

H2O, serta tetrapropil amonium bromida (TPABr) sebagai

templat organik pengarah struktur.

Sintesis ZSM-5 diawali dengan melarutkan NaOH dalam air demineralisasi hingga larut sempurna membentuk larutan tak berwarna. NaOH merupakan sumber kation Na+

yang cukup untuk penyeimbang ion pada ZSM-5 serta sebagai agen mineralisasi yang dapat meningkatkan proses pelarutan. Larutan NaOH kemudian dicampur dengan kaolin Bangka di bawah pengadukan magnetik dengan kecepatan 400 rpm pada suhu kamar membentuk larutan berwarna putih. Selanjutnya ditambahkan Ludox secara perlahan-lahan agar tidak terjadi penggumpalan. Pengadukan campuran ini dilakukan selama dua jam. Campuran tersebut menghasilkan gel berwarna putih. Setelah dua jam pengadukan, TPABr ditambahkan ke dalam campuran di bawah pengadukan yang dilanjutkan hingga enam jam hingga homogen. Total pengadukan dilakukan selama delapan jam yang bertujuan untuk mencampur seluruh komposisi dalam sintesis ini merata seluruhnya.

Tahapan selanjutnya adalah proses aging atau

(41)

dari ZSM-5. Selama proses aging, terjadi proses pencampuran

homogen dari seluruh reagen dan proses nukleasi. Waktu

aging sangat berpengaruh terhadap kristal dari ZSM-5

(Zhdanov & Samulevich, 1980). Variasi waktu aging yang

digunakan yaitu 6, 12, dan 24 jam. Campuran hasil aging

dimasukkan ke dalam reaktor autoklaf untuk proses hidrotermal. Proses hidrotermal dilakukan pada suhu 175°C selama 48 jam dengan variasi waktu 12, 24, 36, dan 48 jam. Proses hidrotermal dilakukan pada suhu tersebut karena produk zeolit kaya silika akan terbentuk pada suhu antara 100-350°C. Selama hidrotermal mekanisme yang terjadi adalah terlarutnya sedikit padatan dalam air, difusi zat terlarut, serta dilakukan pada suhu dan tekanan yang tinggi. Proses ini meliputi modifikasi struktur pada gel amorf membentuk embrio inti kristal. Pelarut air sering kali tidak dapat melarutkan zat dalam proses pengkristalan saat suhu tinggi, sehingga perlu ditambahkan agen mineralisasi untuk mempercepat proses kristalisasi dengan cara meningkatkan kemampuan melarutnya. Agen mineralisasi yang biasa digunakan adalah senyawa hidroksida, seperti NaOH (Jumaeri, dkk., 2007).

Setelah hidrotermal, padatan diambil dan dicek pHnya dengan menggunakan kertas pH universal. Nilai pH yang terukur setelah proses hidrotermal sebesar 13. Kemudian padatan dicuci menggunakan air demineralisasi hingga pH = 7 (netral). Selanjutnya padatan dikeringkan pada suhu 110°C selama 24 jam untuk menghilangkan kandungan air. Setelah didapatkan produk hasil sintesis, dilakukan karakterisasi menggunakan difraksi sinar-X (XRD) untuk mengetahui fasa kristal dan kristalinitas produk, spektroskopi inframerah (FTIR) untuk mengetahui gugus fungsi dari produk, serta SEM-EDX untuk mengetahui morfologi dan unsur-unsur kimia yang terkandung dalam produk.

(42)

4.2 Karakterisasi ZSM-5 4.2.1 Difraksi Sinar-X (XRD)

Teknik XRD dilakukan untuk mengidentifikasi fase kristal dan kristalinitas dari produk. Rentang sudut yang digunakan untuk pengukuran difraksi sinar-X pada ZSM-5 menggunakan sudut pendek yaitu 5-50°. Pola XRD dari kaolin Bangka ditunjukkan pada Gambar 4.1 (a) untuk membandingkan hasil difraktogram dari setiap sampel produk. Kahraman (2005) melaporkan bahwa puncak-puncak khas dari kaolin terdapat pada 2θ = 12,3; 24,8; dan 38,3°. Difraktogram yang dihasilkan dari sampel produk pada waktu

aging 6 jam dengan variasi waktu kristalisasi 12, 24, 36, dan

48 jam ditunjukkan pada Gambar 4.1 (b), (c), (d), dan (e). Puncak-puncak yang muncul dari pola difraktogram sampel produk dengan intensitas tinggi terdapat pada 2θ = 7,8; 8,8; 23,1; dan 23,9°. Puncak-puncak tersebut sesuai dengan puncak-puncak khas dari ZSM-5 yang berstruktur MFI (Treacy & Higgins, 2001). Jika dilihat pola XRD dari setiap sampel produk sudah tidak terdapat puncak khas kaolin sehingga dapat mengindikasikan bahwa kaolin sudah larut saat waktu kristalisasi 12 jam. Namun terdapat fasa lain selain fasa ZSM-5 yang terbentuk saat waktu kristalisasi 24, 36 dan 48 jam seperti yang terlihat pada Gambar 4.1 (c), (d) dan (e). Pada waktu kristalisasi 24 jam terlihat puncak dengan intensitas yang cukup kecil muncul di sekitar 2θ = 15,9° dan 26,1°. Berbeda dengan waktu kristalisasi sebelumnya, pada saat kristalisasi 36 dan 48 jam terlihat puncak yang cukup tinggi di sekitar 2θ = 26,1°. Menurut Treacy & Higgins (2001) puncak-puncak tersebut adalah puncak khas dari analsim. Berdasarkan data XRD, fasa kristal yang terbentuk pada sampel dengan waktu aging 6 jam tidak hanya ZSM-5 tetapi

juga analsim, namun terdapat ZSM-5 murni yang dihasilkan dari waktu kristalisasi 6 jam.

Pola difraktogram dari sampel produk pada waktu

(43)

sampel produk memiliki pola yang hampir sama seperti pola sampel produk pada Gambar 4.1. Puncak khas dari kaolin tidak terlihat dari pola difraktogram masing-masing sampel yang artinya kaolin telah larut seluruhnya sebelum waktu kristalisasi 12 jam. Puncak yang muncul pada 2θ = 7,8; 8,8; 23,1; dan 23,9° menunjukkan fasa ZSM-5 terbentuk saat waktu kristalisasi 12 jam. Pada Gambar 4.2 (c) dan (d) terlihat puncak lain yang muncul pada daerah 2θ = 26° meskipun dengan intensitas yang kecil. Gambar 4.2 (e) terlihat pula puncak dengan intensitas cukup tinggi di sekitar 2θ = 26°. Puncak-puncak tersebut merupakan puncak khas dari fasa analsim (Treacy & Higgins, 2001). Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat pengotor berupa fasa analsim yang juga terbentuk saat waktu kristalisasi 24, 36 dan 48 jam pada sampel dengan waktu aging 12 jam. ZSM-5 murni dihasilkan

dari waktu kristalisasi 6 jam.

Pola XRD dari sampel produk dengan waktu aging 24

ditunjukkan pada Gambar 4.3. Hasil difraktogram dari sampel-sampel tersebut memiliki pola yang tidak jauh berbeda dengan sampel pada waktu aging sebelumnya.

Puncak khas kaolin sudah tidak terlihat pada pola difraktogram sampel produk. Pada waktu kristalisasi 12 hingga 48 jam muncul puncak dengan intensitas tinggi pada 2θ = 7,8; 8,8; 23,1; dan 23,9° dimana puncak-puncak tersebut adalah puncak khas dari ZSM-5. Namun, puncak dengan intensitas tinggi juga terdapat pada 2θ = 15,9° dan 26,1° seperti yang terlihat pada Gambar 4.3 (b), (c), (d), dan (e) dimana puncak tersebut merupakan puncak khas dari analsim. Hasil produk sintesis dari waktu aging 24 jam cukup berbeda

dari waktu aging 6 dan 12 jam. Produk berupa ZSM-5 murni

tidak didapatkan dari sintesis dengan waktu aging 24 jam

(44)

Gambar 4.1 Pola difraktogram sampel (a) kaolin (b) ZSM-5 pada waktu kristalisasi 12 jam (c) 24 jam (d) 36 jam (e) 48 jam dengan waktu aging 6 jam

Int ensi ta s ( cps) (a) (e) (d) (c) (b) 2θ(°)

(45)

Gambar 4.2 Pola difraktogram sampel (a) kaolin (b) ZSM-5 pada waktu kristalisasi selama 12 jam (c) 24 jam (d) 36 jam (e) 48 jam dengan waktu aging 12 jam

(a) (e) (d) (c) (b) Int ensi ta s ( cps) θ(°)

(46)

Gambar 4.3 Pola difraktogram sampel (a) kaolin (b) ZSM-5 pada waktu kristalisasi 12 jam (c) 24 jam (d) 36 jam (e) 48 jam dengan waktu aging 24 jam

(a) (e) (d) (c) (b) Int ensi ta s ( cps) θ(°)

(47)

Waktu aging berpengaruh terhadap kristalinitas dari

produk ZSM-5 yang terbentuk. Pada Tabel 4.1 menunjukkan bahwa waktu aging 6 jam memiliki kristalinitas yang lebih

rendah dari waktu aging 12 jam, namun kristalinitas dari

waktu aging 24 jam masih lebih rendah dari kedua waktu aging sebelumnya. Semakin lama waktu aging yang

dilakukan selama sintesis, maka persen kristalinitas produk ZSM-5 yang dihasilkan semakin besar. Hal ini diperkirakan terjadi karena jumlah inti kristal ZSM-5 semakin bertambah

dengan semakin lamanya waktu aging. Seperti yang

dilaporkan oleh Zhdanov & Samulevich (1980) bahwa nukleasi dan pertumbuhan kristal dari zeolit terjadi selama proses aging terjadi. Oleh karena itu, jumlah kristal pada

setiap sampel memiliki jumlah yang berbeda. Semakin banyaknya jumlah bidang kristal ZSM-5 pada suatu sampel maka sinar yang dipantulkan akan semakin banyak sehingga intensitas yang muncul semakin tinggi pula.

Waktu kritalisasi juga mempengaruhi kristalinitas dari ZSM-5. Persen kristalinitas cenderung meningkat dengan semakin lamanya waktu kristalisasi dengan menggunakan waktu aging 6 dan 12 jam, namun kristalinitas menurun saat

waktu kristalisasi 48 jam. Hasil yang tidak signifikan terjadi pada sampel dengan waktu aging 24 jam. Pada waktu aging 6

dan 12 jam, kristalinitas tertinggi dihasilkan saat waktu kristalisasi 36 jam. Saat kristalisasi, terjadi pembentukan zeolit dari fasa larutan menjadi fasa padatan membentuk ikatan Si-O-Al. Proses pertumbuhan kristal dari ZSM-5 juga terjadi saat proses kristalisasi. Kristalinitas tentunya akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya waktu kritaslisasi karena kristal ZSM-5 yang terbentuk pun akan semakin banyak pula (Mohamed dkk.,2005). Oleh karena itu, semakin lama waktu kristalisasi menghasilkan intensitas dan persen kristalinitas dari sampel ZSM-5 semakin besar pula.

(48)

Tabel 4.1 Hubungan waktu aging terhadap kritalinitas sampel

Sampel Intensitas (I) I/Io Kristalinitas (%)

ZSM-5 komersial 23,14 1813 (Io) 1 100 A-6 jam H-12 jam 23,05 1021 0,56 56 A-6 jam H-24 jam 23,07 1222 0,67 67 A-6 jam H-36 jam 23,09 1228 0,67 67 A-6 jam H-48 jam 23,05 1013 0,56 56 A-12 jam H-12 jam 23,08 1265 0,69 69 A-12 jam H-24 jam 23,04 1300 0,72 72 A-12 jam H-36 jam 23,09 1364 0,75 75 A-12 jam H-48 jam 23,03 1082 0,60 60 A-24 jam H-12 jam 23,05 932 0,51 51 A-24 jam H-24 jam 23,07 1334 0,73 73 A-24 jam H-36 jam 23,04 975 0,54 54 A-24 jam H-48 jam 23,15 1214 0,67 67

Ket : A = waktu aging, H = waktu kritalisasi

Fasa yang terbentuk dari sampel hasil sintesis pada masing-masing waktu aging ditunjukkan oleh grafik pada

Gambar 4.4. Fasa ZSM-5 yang merupakan hasil utama dari sintesis ini telah terbentuk saat waktu kristalisasi 12 jam dari masing-masing waktu aging. Intensitas semakin meningkat

(49)

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 12 24 36 48 In te nsi ta s (c ps)

Waktu kristalisasi (jam)

ZSM-5 Analsim

12 jam fasa ZSM-5 memiliki intensitas tertinggi dihasilkan dari waktu kristalisasi 36 jam, lalu intensitas menurun saat waktu kristalisasi 48 jam seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 4.4 (a) dan (b). Fasa ZSM-5 bukan satu-satunya fasa kristal yang terbentuk dalam sintesis ini melainkan terdapat fasa lain yaitu analsim. Fasa analsim muncul dengan intensitas rendah pada waktu kristalisasi 24 jam, sedangkan saat kristalisasi berjalan 36 dan 48 jam fasa analsim muncul dengan intensitas tinggi. ZSM-5 murni dihasilkan dari waktu

aging 6 dan 12 jam dengan waktu kristalisasi 12 jam. Berbeda

dengan waktu aging sebelumnya, fasa analsim dengan

intensitas tinggi muncul saat waktu kristalisasi 12 hingga 48 jam pada aging 24 jam. Intensitas dari fasa ZSM-5 pada aging

24 jam tidak lebih tinggi dari intensitas sampel yang dihasilkan sampel aging 6 dan 12 jam seperti yang

ditunjukkan Gambar 4.4 (c). Hal ini diperkirakan terjadi karena fasa ZSM-5 telah terbentuk sebelum waktu kristalisasi 12 jam, sehingga fasa analsim sudah muncul saat waktu kristalisasi tersebut. Abrishamkar dkk. (2010) melaporkan bahwa waktu aging dapat mengurangi waktu kristalisasi.

Semakin lama waktu aging yang digunakan saat sintesis,

maka produk akan dihasilkan dengan waktu kristalisasi yang semakin singkat.

(50)

Gambar 4.4 Grafik pembentukan fasa tiap waktu kristalisasi pada waktu aging (a) 6 jam (b) 12 jam dan (c) 24

jam.

4.2.2 Spektroskopi Inframerah(FTIR)

Teknik spektroskopi inframerah dilakukan untuk mengetahui gugus fungsi serta ikatan-ikatan yang terbentuk dalam senyawa padatan hasil sintesis. Data yang didapatkan

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 12 24 36 48 In te nsi ta s (c ps)

Waktu kristalisasi (jam)

ZSM-5 Analsim 0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 12 24 36 48 In te nsi ta s (c ps)

Waktu kristalisasi (jam)

ZSM-5 Analsim (b)

(51)

dari spektroskopi inframerah berupa spektra dan bilangan gelombang dari masing-masing sampel seperti yang ditunjukkan Gambar 4.5. Spektra dari kaolin ditunjukkan oleh Gambar 4.5 (a) dengan puncak-puncak pada bilangan gelombang 430, 470, 538, 700, 754, 788, 912, 1008, 1029, dan 1110 cm-1. Seperti yang dilaporkan oleh Chandrasekhar

(1996) bahwa spektra dari kaolin yang muncul pada daerah sekitar 430, 693, 752, 794, 1035, 1096, dan 1114 cm-1

menunjukkan vibrasi ikatan Si-O dari SiO4. Vibrasi ikatan

Al-O dari Al[Al-O(Al-OH)4]6 ditunjukkan pada bilangan gelombang di

daerah sekitar 540 cm-1, sedangkan vibrasi ikatan (Al-O)-H

dari Al[O(OH)]6 ditunjukkan pada bilangan gelombang

sekitar 798 dan 914 cm-1.

Pada Gambar 4.5, 4.6, dan 4.7 terlihat bahwa spektra pada setiap sampel produk memiliki spektra yang hampir sama yaitu muncul pada bilangan gelombang sekitar 1220, 1085, 790, 541, dan 450 cm-1. Spektra dari setiap sampel

sudah tidak terdapat pita serapan khas kaolin yang artinya sampel produk yang terbentuk sudah tidak mengandung kaolin. Puncak-puncak yang muncul tersebut merupakan puncak khas dari ZSM-5 seperti yang dilaporkan oleh Mohamed dkk. (2005), sehingga dapat disimpulkan bahwa sampel produk hasil sintesis yang terbentuk berupa kristal ZSM-5. Hal ini juga didukung dari hasil data XRD sebelumnya.

Pita serapan yang muncul di sekitar 1200-1000 cm-1

menunjukkan ikatan internal tetrahedral vibrasi ulur asimetri dari TO4 dimana T adalah Si atau Al. Vibrasi ulur asimetri

eksternal ditunjukkan oleh pita serapan pada 1200 cm-1

sedangkan vibrasi ulur asimetri internal ditunjukkan oleh pita serapan 1100 cm-1. Pita serapan di sekitar 788 cm-1

menunjukkan vibrasi ulur internal (Mohamed dkk., 2005). Cincin lima dalam struktur pentasil zeolit ZSM-5 dapat ditunjukkan dari pita serapan di sekitar 546 cm-1. Pita di

(52)

Keberadaan dari ZSM-5 dapat ditentukan dengan munculnya puncak di daerah-daerah tersebut (Goncalves, dkk., 2008). Bilangan gelombang yang muncul di sekitar 1225 dan 545 cm-1 merupakan puncak sensitif dari struktur MFI (Shukla &

Pandya, 1989).

Tabel 4.2 Bilangan gelombang dalam cm-1 dari spektra

inframerah sampel dengan variasi waktu aging

dan waktu kristalisasi

Sampel Vibrasi Ulur Asimetri Vibrasi Ulur Simetri Struktur Pentasil Vibrasi Tekuk T-O-T Eksternal Internal Aging 6 jam 12 jam 1220 1083 790 541 449 24 jam 1220 1081 790 541 449 36 jam 1220 1083 790 541 449 48 jam 1218 1085 792 541 451 Aging 12 jam 12 jam 1220 1083 790 541 449 24 jam 1220 1081 788 541 449 36 jam 1220 1080 790 541 449 48 jam 1218 1080 788 541 451 Aging 24 jam 12 jam 1220 1085 786 541 449 24 jam 1222 1087 790 541 449 36 jam 1220 1087 788 541 451 48 jam 1220 1083 788 541 449

(53)

Tr ansm ita n (% ) Bilangan gelombang (cm-1) (a) (e) (d) (c) (b)

Gambar 4.5 Spektra inframerah kaolin (a), sampel pada waktu kristalisasi 12 jam (b), 24 jam (c), 36 jam (d), 48 jam (e) dengan waktu aging 6 jam

(54)

Tr ansm ita n (% ) Bilangan gelombang (cm-1) (a) (e) (d) (c) (b)

Gambar 4.6 Spektra inframerah kaolin (a), sampel pada waktu kristalisasi 12 jam (b), 24 jam (c), 36 jam (d), 48 jam (e) dengan waktu aging 12 jam

(55)

Tr ansm ita n (% ) (a) (e) (d) (c) (b) Bilangan gelombang (cm-1)

Gambar 4.7 Spektra inframerah kaolin (a), sampel pada waktu hidrotermal 12 jam (b), 24 jam (c), 36 jam (d), 48 jam (e) dengan waktu aging 24 jam

(56)

Jumlah prekursor dari ZSM-5 dapat ditunjukkan dari besarnya intensitas pita pada bilangan gelombang sekitar 545 cm-1. Sampel dengan waktu aging 6 jam memiliki intensitas

pita pada bilangan gelombang 545 cm-1 yang lebih kecil

dibandingkan sampel dengan waktu aging 12 jam, namun

intensitas pita dari sampel dengan waktu aging 24 jam tidak

lebih tinggi dari waktu aging 12 jam. Intensitas pita pada bilangan gelombang 1220 cm-1 juga perlu diperhatikan karena

merupakan puncak sensitif dari struktur MFI. Data spektra inframerah menunjukkan intensitas pita dari sampel dengan waktu aging 12 jam bernilai paling tinggi dibanding intensitas

pita dari sampel dengan waktu aging 6 dan 24 jam. Hal ini

mengindikasikan bahwa sampel hasil sintesis dengan waktu

aging 12 jam memiliki prekursor ZSM-5 lebih banyak

dibanding waktu aging 6 dan 24 jam. Jadi, meningkatnya

waktu aging dapat meningkatkan jumlah prekursor dan

jumlah struktur pentasil ZSM-5. Waktu aging yang optimum

dari penelitian ini adalah 12 jam. Hasil ini juga didukung dari data XRD sebelumnya.

4.2.3 Scanning Electron Microscopy – Energy Dispersive

X-Ray (SEM-EDX)

Teknik SEM digunakan untuk mengetahui morfologi serta ukuran partikel dari kristal ZSM-5 dan teknik EDX digunakan untuk mengetahui kandungan unsur dari sampel ZSM-5. Morfologi kristal ZSM-5 hasil sintesis dengan waktu

aging 6 jam dan 12 jam ditunjukkan oleh Gambar 4.8 (a) dan

(b). Pada gambar tersebut terlihat bahwa morfologi ZSM-5 dari kedua variasi waktu aging berbentuk agregat dengan

permukaan yang kasar. Kedua sampel memiliki bentuk morfologi yang seragam. Setelah dilakukan pembesaran terlihat bahwa morfologi dari sampel dengan waktu aging 6

jam berbentuk agregat yang masih sedikit menggumpal sedangkan sampel dengan waktu aging 12 jam memiliki

(57)

Hasil analisa SEM dari sampel dengan waktu aging 6

jam memiliki ukuran kristal yang lebih besar dari sampel dengan waktu aging 12 jam. Sampel dengan waktu aging 6

jam memiliki ukuran partikel sebesar 1,2-1,5 μm, sedangkan sampel dengan waktu aging 12 jam berukuran 1,1-1,3 μm.

Hal ini dikarenakan dengan semakin meningkatnya waktu

aging maka inti kristal dari ZSM-5 yang terbentuk semakin

banyak, sehingga dengan semakin banyaknya inti kristal ZSM-5 yang terbentuk maka ukuran partikel akan semakin kecil (Ren dkk., 2012).

(a)

(b)

Gambar 4.8 Morfologi ZSM-5 dengan waktu aging 6 jam (a) dan waktu aging 12 jam (b) saat kristalisasi 24 jam

(58)

Unsur-unsur yang terkandung dalam ZSM-5 hasil sintesis dari waktu aging 6 dan 12 jam dengan waktu

kristalisasi 24 jam dapat diketahui dari hasil EDX. Tabel 4.3 menunjukkan hasil EDX dari masing-masing sampel memiliki kandungan yang sama antara lain Si, Al, Na, dan O. Persebaran dari unsur-unsur tersebut cukup merata dari kedua sampel dan memiliki persentasi kadar yang hampir sama seperti yang ditunjukkan Gambar 4.9 (a) dan (b).

Gambar 4.9 Persebaran unsur dari sampel ZSM-5 dengan waktu kristalisasi 24 jam pada waktu aging (a) 6 jam (b) 12 jam

(a)

(59)

Berdasarkan hasil EDX didapatkan perbandingan Si/Al pada sampel dengan waktu aging 6 jam dan 12 jam

adalah 8,82 dan 7,83, nilai tersebut sesuai dengan perbandingan nilai Si/Al dari kristal ZSM-5. Nilai perbandingan Si/Al dari ZSM-5 yang terbentuk dengan waktu

aging 6 jam lebih besar dari waktu aging 12 jam. Hal ini

diperkirakan terjadi karena perbedaan kecepatan pelarutan reagen pada masing-masing waktu aging. Zhdanov &

Samulevich (1980) menyatakan bahwa aging merupakan

proses pencampuran dari reagen. Oleh karena itu, alumina dari kaolin akan lebih banyak larut pada proses aging yang

semakin lama.

Tabel 4.3 Hasil EDX dari sampel ZSM-5 dengan waktu kristalisasi 24 jam

Sampel (wt %)

Na Al O Si K

Sampel A-6 jam 2,16 3,11 56,01 27,44 0,05

Gambar

Gambar  2.8  Pola  difraksi  sinar-X  dari  ZSM-5  (Treacy  &amp;  Higgins, 2001)
Gambar  4.1  Pola  difraktogram  sampel  (a)  kaolin  (b)  ZSM-5  pada waktu kristalisasi 12 jam (c) 24 jam (d) 36  jam (e) 48 jam dengan waktu aging 6 jam
Gambar 4.3 Pola difraktogram sampel (a) kaolin (b) ZSM-5  pada waktu  kristalisasi 12 jam (c) 24  jam (d)  36 jam (e) 48 jam dengan waktu aging 24 jam
Tabel 4.1 Hubungan waktu aging terhadap kritalinitas sampel  Sampel  2θ  Intensitas  (I)  I/Io  Kristalinitas (%)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan sekolah kategori mandiri dapat mengembangkan diri menjadi sekolah yang unggul dan dapat mengalami percepatan dan pembelajaran (accelerated learning). Tujuan

TEKNIK ENERGI TERBARUKAN – TEKNIK BIOMASSA 19 Permendikbud RI Nomor 62 Tahun 2014 tentang Ekstrakurikuler Pasal 4 Ayat (2), bahwa Pengembangan berbagai bentuk

Diduga mikroba yang berasal dari selokan mampu meningkatkan daya hidrolisis sampah rumah tangga sehingga akan mempercepat tahap pertama proses pembentukan biogas

Hasil keseluruhan yang menunjukkan bahwa produksi biogas pada reaktor tanpa pengadukan lebih besar daripada reaktor dengan pengadukan tidak sesuai dengan teori yang

Berdasarkan permasalahan dan teori yang dikemukakan di atas, penulisan artikel ini bertu- juan untuk menganalisis bagaimana hubungan antara ketahanan pangan, dalam hal

Berwawasan keunggulan, yaitu setiap lulusan Madrasah Muallimin Darussalam Sumedang mempunyai kesempatan untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi

Selain itu, Zulhafizh dkk (2013) mengungkapkan bahwa sikap belajar, motivasi belajar, minat, bakat, peran orang tua, gender, dan pengaruh pendidikan terhadap anak merupakan

Proposisi rasionalitas Homans ini sangat jelas dipengaruhi oleh teori pilihan rasional. Menurut istilah ekonomi, aktor yang bertindak sesuai dengan proposisi rasionalitas