• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Pengaruh Pergeseran Lokasi ENSO terhadap Curah Hujan di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Analisis Pengaruh Pergeseran Lokasi ENSO terhadap Curah Hujan di Indonesia"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

ISSN: 2302-8491 (Print); 2686-2433 (Online)

https://doi.org/10.25077/jfu.9.2.176-182.2020 Open Access

Analisis Pengaruh Pergeseran Lokasi ENSO terhadap Curah Hujan di

Indonesia

Sri Mai Dewi, Marzuki*

Laboratorium Fisika Bumi, Jurusan Fisika

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Andalas Kampus Unand Limau Manis, Padang, 25163 Indonesia

Info Artikel ABSTRAK

Histori Artikel:

Diajukan: 8 Oktober 2019 Direvisi: 14 Oktober 2019 Diterima: 24 Oktober 2019

ENSO (El Nino Southern Oscillation) merupakan gejala penyimpangansuhu permukaan laut di Samudera Pasifik bagian timur dari kondisi normal. Penelitian ini menganalisis dampak dari perbedaan posisi pusat ENSO terhadap curah hujan di Indonesia. Posisi pusat ENSO ditentukan berdasarkan indeks terbesar dari empat indeks Nino selama tahun 1982-2016. Posisi pusat ENSO didefinisikan jauh, menengah dan dekat dari Indonesia ketika indek Nino yang terbesar berturut-turut adalah Nino 1+2, Nino 3 dan Nino 3,4, serta Nino 4. Intensitas curah hujan di setiap posisi ENSO diamati menggunakan data Global Precipitation Climatology Centre(GPCC). Rata-rata curah hujan bulanan pada saat pusat El Nino jauh dari Indonesia lebih tinggi di kawasan Indonesia bagian timur. Selain itu, selama pusat El Nino jauh dari Indonesia, kondisi yang lebih kering teramati di sebagian besar wilayah Indonesia bagian barat dan tengah. Pada sisi lain, rata-rata intensitas curah hujan bulanan pada saat La Nina menengah lebih tinggi dibandingkan La Nina jauh. Perbedaan intensitas curah hujan dari setiap posisi ENSO ini selaras dengan perbedaan pergerakan udara ke atas yang tergambar dari nilai omega dari data reanalisis NCEP dan NCAR. Dengan demikian, posisi ENSO mempengaruhi curah hujan di Indonesia walaupun dampaknya tidak seragam. Kata kunci: Posisi ENSO Indonesia curah hujan GPCC Keywords: ENSO position Indonesia GPCC rainfall

ENSO (El Nino Southern Oscillation) is a periodic fluctuation in sea surface temperature and other meteorological parameters across the equatorial Pacific Ocean. This study investigates the impact of ENSO's central position on rainfall pattern in Indonesia. The location of the ENSO was determined by the largest index of four Nino indexes during 1982-2016 and itis defined far, medium and close to Indonesia when the largest Nino indexes are Nino 1+2, Nino 3 and Nino 3.4, and Nino 4. Rainfall intensity at each ENSO position was observed using Global Precipitation Climatology Centre (GPCC) data. Average monthly rainfall when the El Nino central position is far from Indonesia is higher in the eastern part of Indonesia. In addition, when the El Nino central position is far from Indonesia, drier conditions are observed in large parts of western and central Indonesia. On the other hand, the average intensity of monthly rainfall during medium position of La Nina is higher than that for La Nina cases with the central position being far from Indonesia. The difference in rainfall intensity from each ENSO position coincides with the difference in upward air movement which is reflected by the omega values from the NCEP and NCAR. reanalysis data. Thus, the position of ENSO influences rainfall in Indonesia even though the impact is not uniform.

Copyright © 2020 Author(s). All rights reserved

Penulis Korespondensi:

Marzuki

(2)

I. PENDAHULUAN

ENSO (El Nino Southern Oscillation) merupakan gejala penyimpangan(naik turunnya) suhu permukaan laut Samudera Pasifik bagian timur dari kondisi normal yang disebabkan oleh perbedaan tekanan dan temperatur. Secara umum ENSO terdiri dari dua periode yaitu El Nino dan La Nina. El Nino terjadi pada saat suhu permukaan laut di Samudera Pasifik Tengah dan Timur mengalami peningkatan yang ditandai dengan kemunculan kolam hangat (Nabilah dkk., 2017). Kolam hangat menghasilkan evaporasi dan meningkatkan kelembaban udara sehingga mendorong terbentuknya awan hujan. Awan di barat Pasifik berkurang karena lemahnya evaporasi akibat laut yang lebih dingin yang menyebabkan terjadinya penurunan curah hujan atau kemarau. La Nina ditandai dengan kemunculan kolam hangat di bagian barat Samudera Pasifik termasuk Indonesia (Aldrian, 2008). Heri (2012) menggunakan data curah hujan antara 1974-2007 dan Multivariate ENSO Index (MEI) untuk menentukan tahun terjadinya ENSO di Pulau Jawa. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa pengaruh El Nino secara umum lebih besar dibandingkan La Nina untuk semua wilayah Pulau Jawa. Namun, tidak terlihat adanya perbedaan pengaruh antara ENSO kuat dan lemah.

Beberapa peneliti telah mengamati pengaruh ENSO terhadap curah hujan di Indonesia. Vitri (2014) menganalisa data ORG (Optical Rain Gauge) di Koto Tabang dan menemukan bahwa pengaruh ENSO terhadap variasi curah hujan bulanan terlihat dengan jelas. Irwandi (2018) menemukan bahwa El Nino aktif memiliki efek pada penurunan hujan di wilayah Sumatera Utara sedangkan La Nina aktif memiliki efek pada penambahan curah hujan. Prasetio (2018) dengan menggunakan data curah hujan bulanan dari Januari 1950 hingga Desember 2010 (60 tahun) menyimpulkan bahwa curah hujan Sulawesi mengalami penurunan pada saat El Nino dan tingkat penurunannya dipengaruhi oleh posisi El Nino. Penurunan curah hujan akibat Eastern Pacific (EP) El Nino berkisar antara 5 – 20 mm sedangkan akibat Central Pacific (CP) El Nino berkisar antara 2-12 mm.

Pengaruh ENSO terhadap curah hujan di Indonesia sangat ditentukan oleh intensitas ENSO yang terjadi. Semakin kuat La Nina, maka semakin besar potensinya untuk menimbulkan hujan lebat di Indonesia. Selain intensitas, posisi pusat ENSO di Samudera Pasifik, kemungkinan juga mempengaruhi pengaruh ENSO terhadap Indonesia. Semakin dekat posisi konveksi ke Indonesia, maka akan semakin besar pengaruhnya ke Indonesia. Namun, penelitian tentang ini masih belum banyak dilakukan di Indonesia. Prasetio dkk. (2018) menguji tentang pengaruh posisi El Nino terhadap curah hujan di Indonesia dan penelitian mereka mengambil studi kasus wilayah Sulawesi. Oleh karena itu, penelitian tugas akhir ini menganalisa pengaruh pergeseran lokasi ENSO terhadap curah hujan di seluruh wilayah Indonesia. Pergeseran lokasi ENSO disebabkan oleh pergerakan angin yang terjadi.

II. METODE

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data angin, indeks Nino, dan data GPCC. Indeks Nino didownload dari website NOAA(https://climatedataguide.ucar.edu/climate-data/nino-sst-indices-nino-12-3-34-4-oni-and-tni). Data angin/reanalysis National Centers for Atmospheric Prediction (NCEP) and the National Center for Atmospheric Research (NCAR) di download di website NOAA(https://www.esrl.noaa.gov/psd/data/gridded/data.ncep.reanalysis2.html). Selain itu, data GPCC di download dari website NOAA(https://www.esrl.noaa.gov/psd/cgibin/db_sear ch/DBSearch.pl?Dataset=GPCC+Precipitation+0.5degree+V2018+Full+Reanlysis&Variable=Precipit ation).

Periode tahun El Nino dan La Nina diamati dengan menggunakan indeks Nino. Periode El Nino kuat ditandai dengan nilai indeks +1 sedangkan untuk periode La Nina kuat ditandai dengan nilai -1. Penentuan lokasi ENSO didasarkan pada nilai indeks terbesar di antara empat indeks Nino yang ditampilkan dalam bentuk sebuah time series. Empat indeks Nino yang digunakan adalah Nino 1+2 berada pada 0°S-10°S, 80°B-90°B (jauh dari Indonesia), Nino 3 berada pada 5°S-5°U, 150°B-90°B (jauh dari Indonesia), indeks Nino 3.4 berada pada daerah 5oS-5oU, 120oB-170oB (menengah), dan

indeks Nino 4 berada pada 5°S-5°U dan 160°B-150°B (dekat dengan Indonesia). Lokasi ENSO dapat juga tergambar dari pergerakan udara ke atas. Pergerakan udara ke atas diamati menggunakan kontur angin vertikal (omega) di sekitar equator. Pusat ENSO dimaknai sebagai pusat konveksi yang ditandai dengan kuatnya pergerakan udara ke atas.

(3)

Data curah hujan untuk setiap periode ENSO dikonturkan. Kontur dibuat berdasarkan data curah hujan dari data GPCC. Dari sini akan terlihat perbedaan distribusi spasial curah hujan untuk setiap posisi pusat ENSO. Daerah-daerah dengan dampak ENSO minimal dan maksimal akan dilihat dari kontur curah hujan dari data GPCC. Untuk memudahkan mengamati perbedaan curah hujan dari setiap kondisi maka diplot juga perbedaan intensitas curah hujan antara posisi-posisi tersebut.

III. HASIL DAN DISKUSI

3.1 Penentuan Pusat ENSO dari Indeks Nino

Gambar 1 memperlihatkan time series dari indeks Nino untuk penentuan kekuatan dan lokasi ENSO. Pada gambar diplot empat indeks Nino yang mewakili tiga lokasi yang berbeda yaitu Nino 1+2 berada pada 0°S-10°S, 80°B-90°B (jauh dari Indonesia), Nino 3 berada pada 5°S-5°U, 150°B-90°B (jauh dari Indonesia), indeks Nino 3.4 berada pada daerah 5oS-5oU, 120oB-170oB (menengah), dan

indeks Nino 4 berada pada 5°S-5°U dan 160°B-150°B (dekat dengan Indonesia). Penentuan lokasi ENSO didasarkan pada nilai indeks terbesar di antara empat indeks yang ditampilkan. El Nino kuat ditandai dengan nilai indeks besar dari +1 dan teramati minimal selama 6 bulan berturut-turut.

El Nino kuat yang jauh dari Indonesia terjadi beberapa kali yaitu pada tahun 1982-1983, dan 1997-1998. El Nino pada tahun 1982-1983 terjadi dari bulan Agustus hingga September. El Nino pada tahun 1997-1998 terjadi dari bulan April hingga bulan Agustus. El Nino kuat yang menengah dari Indonesia terjadi pada tahun 1987 dan 2015-2016. El Nino kuat ini terjadi pada tahun 1987 dari bulan Januari hingga Desember, sedangkan tahun 2015-2016 terjadi dari bulan Januari hingga Desember. Untuk El Nino kuat yang dekat dari Indonesia tidak ada terjadi selama periode 1982-2016. La Nina ditandai dengan nilai indeks kecil dari -1 dan teramati minimal selama 6 bulan berturut-turut. Pada tahun 2007 terjadi La Nina kuat yang jauh dari Indonesia. La Nina yang terjadi pada tahun 2007 dimulai dari bulan Mei hingga Desember. La Nina yang menengah dari Indonesia juga terjadi pada tahun 1988-1989, 1998-1999, 1999-2000, 2010-2011. La Nina yang terjadi pada tahun 1988-1989 dimulai dari bulan Mei hingga April. La Nina yang terjadi pada tahun 1998-1999 terjadi dari bulan Juli hingga Februari, tahun 1999-2000 dimulai dari bulan Agustus hingga Maret dan tahun 2010-2011 terjadi dari bulan Juli hingga Februari. Sebagaimana El Nino, La Nina kuat yang dekat dari Indonesia juga tidak pernah terjadi.

Gambar 1Time Series dari Indeks Nino untuk Penentuan kekuatan dan lokasi ENSO. 03/82 09/87 03/93 09/98 02/04 08/09 02/15 07/20 -6 -4 -2 0 2 4 6 Bulan/Tahun Ni la i i n d e k s

(4)

3.2 Pusat Konveksi dari Setiap Lokasi ENSO

Gambar 2 Profil vertikal omega yang menggambarkan pusat Konveksi El Nino kuat untuk lokasi (a) jauh dan (b) menengah.

Gambar 2 memperlihatkan perbandingan plot pusat konveksi dari setiap El Nino yang telah dikelompokkan menggunakan Gambar 1 El Nino yang pernah terjadi adalah El Nino kuat yang jauh dan menengah dari Indonesia. Data yang diplot adalah data pergerakan udara ke atas (omega) dari data angin/reanalysis NCEP/NCAR. Plot menggambarkan tampang lintang bujur (longitude) terhadap ketinggian (level) dalam satuan tekanan (100-1000) hPa. Nilai omega yang negatif menunjukkan bahwa udara bergerak ke atas sedangkan jika positif maka udara bergerak ke bawah. Terlihat pergerakan udara ke atas (omega negatif) pada beberapa lokasi seperti pada bujur 250°-300o E, 150o

-200oE dan 70o-110oE. Hal ini menandakan adanya peluang terbentuknya awan hujan pada

lokasi-lokasi tersebut. Terlihat perbedaan pergerakan udara antara dua lokasi-lokasi El Nino kuat. Pergerakan udara ke atas pada El Nino kuat yang menengah terlihat melingkupi wilayah yang lebih luas, terutama pada bujur 150o-200oE, dari yang dilingkupi oleh El Nino kuat yang jauh dari Indonesia. Menurut Rohmah

dkk. pada kondisi normal pusat konveksi berada di bagian barat Samudera Pasifik namun saat terjadi El Nino pusat konveksi bergeser ke bagian tengah dan timur Samudera Pasifik. Pergeseran pusat konveksi ini terlihat lebih jelas pada El Nino kuat dengan posisi menengah.

Gambar 3 memperlihatkan perbandingan plot pusat konveksi dari setiap La Nina yang telah dikelompokkan menggunakan Gambar 1 La Nina yang pernah terjadi adalah La Nina kuat yang jauh dan menengah dari Indonesia. Data yang diplot adalah data pergerakan udara ke atas (omega) dari data angin/reanalysis NCEP/NCAR. Plot menggambarkan tampang lintang bujur (longitude) terhadap ketinggian (level) dalam satuan tekanan (100-1000) hPa. Nilai omega yang negatif menunjukkan bahwa udara bergerak ke atas sedangkan jika positif maka udara bergerak ke bawah. Terlihat pergerakan udara ke atas (omega negatif) pada beberapa lokasi seperti pada bujur 270°-320oE, 60o

-150oE. Hal ini menandakan adanya peluang terbentuknya awan hujan pada lokasi-lokasi tersebut.

Terlihat perbedaan pergerakan udara antara dua lokasi La Nina kuat. Pergerakan udara ke atas pada La Nina kuat yang menengah terlihat melingkupi wilayah yang lebih luas, terutama pada bujur 60o

-150oE, dari yang dilingkupi oleh La Nina kuat yang jauh dari Indonesia.

Le ve l(h Pa ) (a) 0 50 100 150 200 250 300 350 200 400 600 800 1000 Pa/s -0.05 0 0.05 Longitude Le ve l(h Pa ) (b) 0 50 100 150 200 250 300 350 200 400 600 800 1000 Pa/s -0.05 0 0.05

(5)

Gambar 3 Profil vertikal omega yang menggambarkan pusat Konveksi La Nina kuat untuk lokasi (a) jauh dan (b) menengah.

3.3 Pengaruh Perbedaan Posisi ENSO terhadap Curah Hujan di Indonesia

Gambar 4 Rata-rata curah hujan bulanan untuk El Nino (a) jauh dan (b) menengah serta (c) selisih curah hujan bulanan antara El Nino jauh dan menengah

Gambar 4 memperlihatkan perbandingan rata-rata curah hujan bulanan untuk El Nino jauh

dan menengah dari Indonesia, serta selisih curah hujan bulanan antara El Nino jauh dan menengah dari data GPCC selama tahun 1891 hingga 2016. Di Indonesia Timur terutama Papua, curah hujan lebih tinggi pada saat El Nino jauh dari pada El Nino menengah yaitu kenaikannya mencapai 100 mm/bulan. Di sebagian Sulawesi dan Kalimantan, teramati peningkatan curah hujan sekitar 30-50 mm/bulan. Namun, peningkatan ini tidak terjadi seragam. Misalnya, pada beberapa lokasi di Pulau Sumatera, Bali dan Nusa Tenggara mengalami penurunan curah hujan sekitar 50-100 mm/bulan. Penelitian yang dilakukan oleh Prasetio dkk., menjelaskan bahwa curah hujan Sulawesi berkurang sekitar 4 hingga > 20 mm saat kedua tipe El Nino yaitu Central Pacific (CP) dan Eastern Pacific (EP) El Nino. EP El Nino menyebabkan pengurangan curah hujan Sulawesi lebih banyak dibandingkan dengan CP El Nino dengan perbedaan selisih curah hujan mencapai > 10 mm di Sulawesi Utara dan sebagian Sulawesi Tengah. Penurunan curah hujan akibat EP El Nino berkisar antara 5-20 mm, sedangkan penurunan curah hujan akibat CP El Nino berkisar antara 2 hingga 12 mm.

(a) Le ve l(h Pa ) 0 50 100 150 200 250 300 350 200 400 600 800 1000 Pa/s -0.05 0 0.05 (b) Longitude Le ve l(h Pa ) 0 50 100 150 200 250 300 350 200 400 600 800 1000 Pa/s -0.05 0 0.05

(6)

Gambar 5 memperlihatkan perbandingan rata-rata curah hujan antara La Nina kuat yang jauh dan menengah dari Indonesia serta selisih curah hujan bulanan antara kedua La Nina tersebut dari data GPCC selama tahun 1891 hingga 2016. Dibandingkan periode El Nino (Gambar 4), periode La Nina (Gambar 5) memiliki intensitas curah hujan bulanan yang lebih tinggi yang terlihat dari colorbar yang mencapai 600 mm/bulan. Selain itu, perbedaan curah hujan antara periode La Nina kuat yang jauh dan menengah juga lebih besar dari kasus El Nino dimana untuk kasus La Nina dapat mencapai 200 mm/bulan. Secara umum, rata-rata curah hujan untuk La Nina menengah seperti yang diperlihatkan oleh Gambar 5 (b), mengalami peningkatan curah hujan berkisar 100-150 mm/bulan di Papua, Kalimantan, dan Sumatera. Hal ini juga terlihat dari Gambar 5 (c) dimana pada lokasi tersebut selisih curah hujan bernilai negatif yang berarti curah hujan pada La Nina kuat jauh lebih kecil dari La Nina kuat menengah. Sebagaimana pada Gambar 4, pengaruh pergeseran posisi La Nina terhadap curah hujan juga tidak seragam. Penurunan curah hujan teramati di sebagian wilayah Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara.

Gambar 5 Rata-rata curah hujan bulanan untuk La Nina (a) jauh dan (b) menengah serta (c) selisih curah hujan bulanan antara La Nina jauh dan menengah

.

IV. KESIMPULAN

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa posisi ENSO mempengaruhi curah hujan di Indonesia. Rata-rata curah hujan bulanan pada saat pusat El Nino jauh dari Indonesia lebih tinggi di kawasan Indonesia bagian timur, sebagian Sulawesi dan Kalimantan, dibandingkan dengan El Nino menengah. Selain itu, selama pusat El Nino jauh dari Indonesia, kondisi yang lebih kering (intensitas curah hujan yang lebih rendah) teramati di sebagian besar wilayah Indonesia bagian barat dan tengah. Pada sisi lain, rata-rata intensitas curah hujan bulanan pada saat La Nina menengah lebih tinggi dibandingkan La Nina jauh, kecuali pada sebagian kecil wilayah Indonesia. Perbedaan intensitas curah hujan dari setiap posisi ENSO ini selaras dengan perbedaan pergerakan udara ke atas yang tergambar dari nilai omega dari data NCEP/NCAR reanalisis, terutama di atas wilayah Indonesia dan sekitarnya. Dengan demikian, penelitian ini membuktikan bahwa selain intensitas, posisi ENSO juga perlu dipertimbangkan dalam mitigasi bencana atmosfir yang mungkin ditimbulkan oleh ENSO.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada NASA dan NOAA yang telah menyediakan data untuk tujuan penelitian.

(7)

DAFTAR PUSTAKA

Aldrian, E., Meteorologi Laut Indonesia (Badan Meteorologi dan Geofisika, Jakarta, 2008).

Irwandi dan Pusparini, N., “The Influence of ENSO to the Rainfall Variability in North Sumatra Province”, Research and Development Centre of sIndonesian Agency for Meteorology, Climatology, and Geophysics (BMKG), hal. 1-10. 2018.

Mulyanti, Heri., “Pengaruh El Nino/Southern Oscillation (ENSO) terhadap Curah Hujan Bulanan Pulau Jawa”, Jurnal Geografi UGM, hal 1- 64. 2012.

Nabilah, Farras., “Analisis Pengaruh El Nino dan La Nina terhadap Curah Hujan tahun 1998-2016 menggunakan Indikator ONI”, Jurnal Geodesi UNDIP, 6(4), hal 402-411. 2017.

Prasetio, Budi., “Pengaruh Central El Nino Pasifik Tengah dan Timur terhadap Variabilitas Curah Hujan di Sulawesi”, Jurnal Sains Dirgantara, 15(2), hal 73-84. 2018.

Rohmah, M., Bey, A. Dan Hermawan, E., “Hubungan Kejadian Simultan El Nino dan Indian Ocean Dipole (IOD) terhadap Variasi serta Estimasi Suhu Virtual”, Prosiding SNSA Bogor. 2016. Vitri, Triana., Marzuki, 2014., “Analisis Pengaruh El Nino Southern Oscilation (ENSO) terhadap

Gambar

Gambar 1 memperlihatkan time series dari indeks Nino untuk penentuan kekuatan dan lokasi  ENSO
Gambar 2 Profil vertikal omega yang menggambarkan pusat Konveksi El Nino kuat untuk lokasi  (a) jauh
Gambar 4 Rata-rata curah hujan bulanan untuk El Nino (a) jauh dan (b) menengah serta (c) selisih curah
Gambar 5 memperlihatkan perbandingan rata-rata curah hujan antara La Nina kuat yang jauh  dan menengah dari Indonesia serta selisih curah hujan bulanan antara kedua La Nina tersebut dari data  GPCC selama tahun 1891 hingga 2016

Referensi

Dokumen terkait

fenomena remaja dewasa sekarang ini sangat tidak terkendali dalam menggunakan smart phone yang akan berdampak buruk terhadap psikologis anak jika tidak dimanfaat

Tanjung Pandan Tanjung Pandan BKP Kelas II Pangkal Pinang 26.. Panjang Bandar Lampung BKP Kelas I Bandar

Dalam penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, algoritma atau metode yang digunakan untuk mendeteksi dan mengenali gambar rambu lalu lintas dikembangkan dari

Hal ini menjadi layak dan harus didiskusikan untuk mendapat kesimpulan mengenai desa berdikari di wilayah masing-masing yang disajikan melalui presentasi makalah dari

Hal ini dapat diamati pada kehidupan sehari-hari masyarakat yang selalu mencari informasi mengenai tingkat bunga yang tercipta didalam pasar uang mereka

Pada simulasi, dengan menggunakan nilai parameter kontroler PID konstan pada Tabel 1 dan Tabel 2 diperoleh respon translasi dan rotasi seperti yang ditunjukkan pada Gambar 11

Maka dari itu, setidaknya ada beberapa prinsip penafsiran kontekstual (hermeneutika) Abdullah Saeed yang harus dipahami. Prinsip-prinsip ini penulis simpulkan untuk